Anda di halaman 1dari 25

87

V. PENGEMBANGAN KALENDER TANAM DINAMIK DI


INDONESIA UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM

5.1. Pendahuluan

Kalender tanam pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat tani oleh


Kementerian Pertanian (Syahbuddin et al. 2007; Las et al. 2007). Di pihak lain,
IPB melalui CCROM bekerja sama dengan BMKG, melakukan penelitian yang
menghasilkan sebuah Kalender Pertanian Indonesia (Boer et al. 2007). Gaung
kalender tanam semakin terdengar, ketika kalender tanam dipromosikan
Kementerian Pertanian mulai tahun 2007 dan dirangkum/direvisi dalam sebuah
kalender tanam terpadu mulai akhir tahun 2011 (http://www.katam.litbang.go.id).
Menurut Boer (2002), kalender tanaman merupakan sistem penanggalan
yang menunjukkan tingkat kepentingan hubungan antara kondisi lingkungan
dengan fase pertumbuhan tanaman. Jadi kalender tanaman akan memperlihatkan
kondisi lingkungan yang bagaimana yang tidak diinginkan atau diinginkan tanaman
dan pada fase pertumbuhan yang mana tanaman menjadi sangat sensitif terhadap
kondisi lingkungan tersebut. Pendapat Syahbuddin et al. (2007) menyatakan
bahwa Kalender tanam adalah suatu informasi yang menggambarkan potensi pola
tanam dan waktu tanam tanaman semusim, terutama padi, berdasarkan potensi
dan dinamika sumber daya iklim dan air. Kalender tanam ini merekomendasikan
alternatif pola tanam.
Pada awal perkenalan mengenai kalender tanam yang dikeluarkan Litbang
Pertanian, kalender tanam yang ada merupakan tabulasi dari tahun Normal, El-
Nino, La-Nina dan existing petani setempat. Namun demikian sudah
merekomendasikan pola tanam sampai level kecamatan, meskipun masih bersifat
statis. Di lain pihak, kalender pertanian yang diperkenalkan Boer et al. (2007),
menyampaikan permulaan teknik-teknik yang menyajikan informasi kalender
tanam yang dapat diakses dan digunakan pengguna dengan memasukkan nilai
tertentu pada web. Metode yang diperkenalkan dalam hal ini mengarah pada
penggunaan kalender tanam dinamik.
Kalender tanam perlu dikembangkan ke arah yang berorientasi dinamik,
karena dengan dikeluarkannya kalender tanam dinamik, dapat diketahui informasi
untuk setiap musim tanam, berdasarkan hasil prakiraan iklim yang dikeluarkan.
88

Pengembangan kalender tanam dinamik berfungsi sebagai alat bantu


pengambilan keputusan. Kalender tanam dinamik diharapkan dapat membantu
otoritas lokal untuk mengevaluasi dan menilai tingkat risiko pengambilan
keputusan tertentu pada musim tertentu berdasarkan prakiraan iklim yang
diberikan. Informasi iklim pada musim yang akan datang, memungkinkan petani
mempunyai pilihan apakah akan menanam atau tidak, apa jenis tanaman yang
akan ditanam, varietas apa yang akan ditanam dan lain-lain. Sejalan dengan
pernyataan Buono et al. (2010) yang menegaskan bahwa penyusunan kalender
tanam dimaksudkan untuk memberi informasi kepada pengguna secara lebih
dinamis, sehingga diharapkan dapat menjadi panduan operasional baik bagi
penyuluh pertanian maupun petani dalam menjalankan usahataninya secara
berkelanjutan. Informasi yang komphrehensif dari berbagai sektor terkait dapat
membantu otoritas lokal untuk mempersiapkan manajemen potensi risiko iklim ke
depan dan membantu petani untuk memperkirakan waktu tanam menyesuaikan
dengan kondisi iklim.
Adapun manfaat Kalender Tanam, secara umum adalah (Runtunuwu et al.
2009):
• Menentukan waktu tanam per kecamatan berdasarkan kondisi iklim (basah-
kering-normal)
• Menentukan pola tanam berdasarkan potensi sumber daya air
• Menetapkan strategi penyediaan & distribusi sarana produksi
• Perencanaan budidaya & pengelolaan tanaman untuk
menghindari/mengurangi resiko iklim
Dalam kaitannya dengan kalender tanam, ada beberapa hal yang
melatarbelakangi mengapa kalender tanam perlu disusun. Hal ini terkait dengan
perlunya pengelolaan risiko iklim. Hal-hal tersebut, yaitu : 1). kejadian bencana
iklim terutama akibat iklim ekstrim dan pengaruhnya pada ketersediaan air untuk
pertanian yang merupakan bagian dari risiko iklim, 2). Sebagai perencanaan awal
pertanian kaitannya dengan sistem informasi iklim, 3). teknologi yang digunakan
petani menyangkut pola bertanam petani sebagai bagian teknologi adaptasi yang
perlu disiapkan dan 4). kelembagaan yang menyertai, baik itu kelembagaan pusat
maupun daerah, menyangkut sarana dan prasarana.
Pribadi (2008) yang diacu dalam Lassa et al. (2009) menyatakan bahwa
suatu proses pengelolaan risiko bencana dapat melibatkan secara aktif
89

masyarakat yang berisiko dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau,


dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanannya dan
meningkatkan kemampuannya. Menurut Abarquez & Murshed (2004), dalam
pengelolaan risiko bencana diperlukan upaya pemberdayaan komunitas agar
dapat mengelola risiko bencana dengan tingkat keterlibatan pihak atau kelompok
masyarakat dalam perencanaan dan pemanfaatan sumber daya lokal dalam
kegiatan implementasi oleh masyarakat sendiri. Gambar 5.1. menyajikan sistem
pengelolaan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia dengan
mengutamakan komunikasi dan koordinasi pada pihak-pihak terkait.

Gambar 5.1 Ilustrasi salah satu pilar utama dalam sistem pengelolaan risiko
bencana dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia (Lassa et al.
2009)

Dalam kaitannya dengan kalender tanam, kegagalan dan keberhasilan


panen merupakan bagian dari pengelolaan risiko iklim. Berbicara mengenai risiko
(risk) berarti berbicara mengenai peluang (Boer 2002). Jadi dalam hal ini pilihan
pola tanam pada kalender tanam diharapkan dapat mengkalkulasi / menentukan
besarnya peluang suatu keadaan yang tidak diinginkan yang dapat menyebabkan
kegagalan atau kerusakan.

5.2. Pranata Mangsa, indigenous knowledge cikal bakal kalender tanam


90

Secara tradisional, kalender tanam telah lama dikembangkan oleh petani


Indonesia. Masyarakat Jawa dan Bali menyebutnya Pranata Mangsa (Sunda),
Pranoto Mongso (Jawa) dan Kerta Masa (Bali). Pranata Mangsa dibutuhkan
sebagai penentuan atau patokan untuk bercocok tanam (Syahbuddin 2007)
Pranata mangsa merupakan pengetahuan indigenous. Menurut Johnson
(1992) yang diacu dalam Sunaryo dan Joshi (2003), pengetahuan indigenous
adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat
dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam.
Pengetahuan ini juga merupakan hasil kreativitas dan inovasi atau uji coba secara
terus-menerus dengan melibatkan masukan internal dan pengaruh eksternal
dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi baru setempat. Oleh karena itu
pengetahuan indigenous ini tidak dapat diartikan sebagai pengetahuan kuno,
terbelakang, statis atau tak berubah.
Pranata mangsa adalah semacam penanggalan yang dikaitkan dengan
kegiatan usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau
penangkapan ikan. Pranata mangsa berbasis peredaran matahari dan siklusnya
(setahun) berumur 365 hari (atau 366 hari) serta memuat berbagai aspek fenologi
dan gejala alam lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan
usaha tani maupun persiapan diri menghadapi bencana (kekeringan, wabah
penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau banjir) yang mungkin timbul pada
waktu-waktu tertentu.
Pranata mangsa berbentuk kalender tahunan yang bukan berdasarkan
kalender Syamsiah (Masehi) atau kalender Komariah (Hijrah/lslam) tetapi
berdasarkan kejadian-kejadian alam yaitu seperti musim penghujan, kemarau,
musim berbunga, dan letak bintang di jagat raya, serta pengaruh bulan purnama
terhadap pasang surutnya air laut (Wiriadiwangsa 2005). Pranata Mangsa
dibutuhkan pada saat itu sebagai penentuan atau patokan bila akan mengerjakan
sesuatu pekerjaan. Contohnya melaksanakan usaha tani seperti bercocok tanam
atau melaut sebagai nelayan, merantau dan mungkin juga berperang.
Tabel Pranata Mangsa selama setahun dengan sistem pertanaman padi
masih setahun sekali (IP100):

1. Kasa (Kahiji) 22/23 Juni - 2/3 Agustus. Musim tanam palawija.


91

2. Karo (Kadua) 2/3 Agustus - 25/26 Agustus. Musim kapok bertunas tanam
palawija kedua.
3. Katiga (Katilu) 25/26 Agustus - 18/19 September. Musim ubi-ubian
bertunas, panen palawija.
4. Kapat (Kaopat) 18/19 September-13/14 Oktober. Musim sumur kering,
kapuk berbuah, tanam pisang.
5. Kalima (Kalima), 13/14 Oktober - 9/10 November. Musim turun hujan,
pohon asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda.
6. Kanem (Kagenep) 9/10 November - 22/23 Desember. Musim buah-buahan
mulai tua, mulai menggarap sawah.
7. Kapitu (Katujuh) 22/23 Desember - 3/4 Pebruari. Musim banjir, badai,
longsor, mulai tandur.
8. Kawolu (Kadalapan) 2/3 Februari. Musim padi beristirahat, banyak ulat,
banyak penyakit.
9. Kasonga (Kasalapan) 1/2 Maret - 26/27 Maret. Musim padi berbunga,
turaes (sebangsa serangga) ramai berbunyi.
10. Kadasa (Kasapuluh) 26/27 Maret -19/20 April. Musim padi berisi tapi masih
hijau, burung- burung membuat sarang, tanam palawija di lahan kering.
11. Desta (Kasabelas) 19/20 April - 12/13 Mei. Masih ada waktu untuk
palawija, burung-burung menyuapi anaknya.
12. Sada (Kaduabelas) 121/13 April- 22/23 Juni. Musim menumpuk jerami,
tanda-tanda udara dingin di pagi hari (Sumber: Wiriadiwangsa, 2005 dari
Buku Unak-anik Basa Sunda Th.2000).
92

Gambar 5.2 Sistem penanggalan musim bukti kepandaian ilmu astronomi nenek
moyang (http://forum.vivanews.com/sejarah-dan-budaya/130540-
teknologi-kuno-bangsa-indonesia-yang-canggih.html)

Teknik membaca mangsa didasarkan atas nampaknya Rasi Waluku


(Orion) Apabila Rasi Waluku terbit pada waktu shubuh, hal ini berarti hari tersebut
adalah permulaan mangsa kasa (mangsa pertama). Dengan terbitnya Rasi Waluku
merupakan pertanda bagi para petani untuk mempersiapkan bajaknya (waluku-
nya). Apabila pada shubuh hari Rasi waluku telah merembang (dekat dengan
zenith) maka berarti permulaan mangsa kapat (mangsa labuh/hujan kiriman).
Apabila waktu shubuh Rasi Waluku mulai tenggelam berarti permulaan mangsa
kapitu (mangsa ketujuh). Pada mangsa kapitu biasanya ditandai dengan musim
hujan rendheng. Apabila pada waktu maghrib Rasi Waluku merembang maka
pertanda permulaan awal mangsa kasanga (mangsa kesembilan). Apabila pada
waktu maghrib Rasi Waluku mulai terbenam maka pertanda awal mangsa desta
(mangsa kesebelas). Pada masa ini orang-orang tidak bisa melihat Rasi Waluku,
sehingga diartikan sebagai masa selo atau apit. Yang artinya meng-apit waluku-
nya (menyimpan bajaknya).
Menurut Supriyono (2012), fenomena mongso untuk penciri dimulainya
pertanaman terbagi ke dalam empat musim, yaitu;
1. Fenomena Mongso Labuh (http://infotani.com/2012/01/05/pranata-mangsa-
fenomena-cuaca-pertanian/)

Mongso labuh adalah saat dimulainya kegiatan bercocok tanam setelah


musim kemarau yang dimulai pada mongso IV yang diawali dengan kegiatan
93

pengolahan tanah. Untuk menanam benih, petani menunggu sampai tanah


menjadi dingin dan cukup lembab. Indikasi dinginnya tanah yang dipedomani
petani adalah mulai bertunasnya umbi-umbian, baik yang disimpan di rumah
maupun yang masih berada di kebun, seperti, gadung, uwi, talas dll. Apabila saat
itu tanah masih kering, mereka menunggu pergantian musim yang ditandai dengan
hembusan angin konstan berubah-ubah arah selama beberapa hari dan pada
saat angin berhenti itulah saat pergantian mongso yang sering disertai dengan
turunnya hujan yang disebut sebagai hujan menjelang pergantian mongso (udan
mapag mongso).
Komponen cuaca yang relevan dengan fenomena dinginnya tanah adalah
suhu tanah permukaan setiap jam 13.00 yang mendekati suhu maksimum
hariannya. Rata2 dasarian suhu tanah permukaan mencapai puncaknya pada
dekade ke 28 atau dekade-1 Oktober yang masih masuk mongso IV dan pada
dekade berikutnya yang mulai masuk mongso V suhu tanah permukaan mulai
menurun dan pada perioda tersebut umbi2an mulai bertunas dan rumput mulai
menghijau meskipun hujan belum turun.
Penyimpangan cuaca yang bisa mengacaukan perhitungan ini adalah
curah hujan berkepanjangan pada musim kemarau, terlebih pada saat munculnya
fenomena alam La-Nina, karena penyakit bulai sudah mulai muncul pada mongso
V. Meskipun demikian, pertanaman pada mongso V resikonya tetap lebih rendah.

2. Fenomena Mongso Bedhidhing


Mongso ke II dikenali masyarakat sebagai musim dingin atau mongso
bedhidhing dan masih bisa dijumpai setiap tahun. Fenomena alam yang sering
terjadi pada mongso ini adalah minyak kelapa membeku di pagi hari, banyak ayam
sakit dan mati sehingga sering disebut juga musim aratan atau pagebluk. Kapuk
randu mulai membentuk kuncup bunga sehingga ada masyarakat yang
menyebut bunga kapuk sebagai Karo.
Pada mongso I, bumi berada pada jarak terjauh ke matahari dan
dampaknya mulai dirasakan pada mongso ke II dimana udara malam sangat
dingin. Data cuaca pertanian yang relevan dengan fenomena ini adalah rata2
suhu udara minimum di malam hari, yang setiap tahun mencapai suhu terendah
pada dekade 23 atau dekade-2 Agustus, artinya yang masih bagian dari mongso
karo.
94

3. Fenomena Mongso Rendengan


Sampai saat ini mongso VI masih diyakini sebagai masa tanam terbaik
untuk padi sawah dan sepanjang situasinya mendukung para petani berupaya
agar bisa tanam pada mongso VI. Kenyataan yang belum berubah sampai saat ini
adalah, padi yang ditanam pada mongso kanem memiliki resiko terendah
terhadap penyakit tanaman disamping produktivitasnya paling tinggi. Selama tiga
dekade pengamatan, dengan jenis padi dan cara tanam yang sama, tanaman
dengan masa panen sekitar mongso IX memiliki produktivitas tertinggi,
sedangkan memasuki mongso X produktivitasnya mulai menurun dan
penurunannya bisa mencapai 50%.
Faktor cuaca pertanian yang berperan disini bukan saja cuaca pada saat
tanam, tetapi juga cuaca menjelang panen, terutama untuk ukuran padi genjah,
yang relevan dengan jenis padi yang ditanam saat ini. Di dalam hal ini suhu tanah
pada kedalaman 1 meter setiap jam 07.00 pagi adalah komponen cuaca yang
paling berperan, terutama di dataran rendah. Suhu tanah ini mencapai puncaknya
pada dekade ke 10 atau dekade 1 April yang masuk mongso ke- X. Pada kondisi
suhu tinggi dari dalam tanah sawah akan keluar cairan berwarna merah pada
malam hari yang pada pagi harinya berubah menjadi kuning kecoklatan dan
dikenal sebagai karat tanah. Cairan inilah yang menyebabkan kerusakan
perakaran tanaman yang potensial dan mengganggu proses fisiologis sehingga
pengisian malai tidak sempurna atau dalam kata lain banyak bulir padi yang
kosong atau hampa.

4. Fenomena Mongso Gadu


Padi sawah yang ditanam pada mongso X – XI pertumbuhannya sangat
lambat dan anakannya kurang sehingga produktivitasnya juga kurang, tetapi yang
jauh lebih penting bagi petani adalah masalah hama tikus. Tanaman yang masa
tanamnya mongso X – XI apabila terserang hama tikus tingkat kepulihannya
<30%, sebaliknya, pertanaman mulai mongso XI pertumbuhannya berangsur-
angsur lebih bagus dan apabila terserang tikus tingkat kepulihan masih bisa >80%.
(Supriyono, 2012 diambil dari http://infotani.com/2012/01/05/pranata-mangsa-
fenomena-cuaca-pertanian/).
Masyarakat Dayak memilah Bulan Berladang atas Bulan-4 sampai Bulan-6
yang menandakan saatnya penyiapan lahan, kemudian dilanjutkan dengan
95

pembakaran dan Bulan-7 sampai Bulan-9 saatnya menyemai benih. Bulan-4


ditandai apabila buaya mulai naik ke darat untuk bertelur. Bulan-6 ditandai
munculnya “Bintang Tiga” pada dinihari seperti kedudukan matahari jam 9.00 pagi
bertepatan dengan bulan Juli, saat kegiatan penebangan telah selesai. Bintang-
bintang yang ribuan banyaknya diantaranya yang muncul secara periodik juga
diyakini oleh masyarakat, khususnya di Kalimantan sebagai pertanda akan
datangnya air pasang atau mulainya air surut (Wisnubroto dan Attaqi 1997).
Pranata mangsa yang merupakan kearifan lokal ini merupakan kalender
tanam tradisional yang sudah diadopsi petani di suatu wilayah tertentu secara
turun temurun. Suatu tool untuk sinkronisasi kalender tanam dinamik dengan
pranata mangsa akan sangat berguna untuk menggabungkan keduanya.

5.3. Pengembangan Model Kalender Tanam di Indonesia

5.3.1. Kalender Tanam Kementerian Pertanian

Hasil-hasil penelitian mengenai kalender tanam telah dilakukan mulai TA


2007 (Pulau Jawa), tahun 2008 (Pulau Sumatera), tahun 2009 (Pulau Sulawesi
dan Kalimantan) dan 2010 (Bali, Papua Barat, NTB, NTT, Maluku) di Kementerian
Pertanian melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kalender
tanam Kementerian Pertanian telah menyusun Peta Kalender Tanam Pulau Jawa
dan Sumatera berbasis kabupaten dengan skala 1:1.000.000 dan berbasis
kecamatan dengan skala 1:250.000. Peta ini menggambarkan waktu tanam dan
pola tanam tanaman semusim, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika
sumber daya iklim dan air (Las et al. 2007a dan Las et al. 2007b).
Peta kalender tanam tersebut disusun berdasarkan kondisi periode tanam
yang dilakukan oleh petani saat ini, dan berdasarkan tiga kejadian iklim yaitu tahun
basah (TB), tahun normal (TN), dan tahun kering (TK). Dengan demikian kalender
dan pola tanam yang akan diterapkan dapat disesuaikan dengan masing-masing
kondisi iklim tersebut. Dengan kata lain, dalam penggunaannya kalender tanam
ini bersifat ‘look up table’. Peta kalender tanam dalam atlas ini disusun
sesederhana mungkin agar mudah dipahami oleh para penyuluh, petugas dinas
pertanian, kelompok tani dan petani dalam mengatur kalender tanam dan pola
tanam, sesuai dengan dinamika iklim. Atlas ini juga memiliki keunggulan, yaitu
dinamis, karena disusun berdasarkan beberapa kondisi iklim, operasional pada
96

skala kecamatan, spesifik lokasi, karena mempertimbangkan kondisi sumberdaya


iklim dan air setempat, mudah diperbaharui), dan mudah dipahami oleh pengguna
karena disusun secara spasial dan tabular dengan uraian yang jelas.

Gambar 5.3 Diagram alir penyusunan peta kalender tanam aktual dan potensial
(Syahbuddin 2007)
Dalam kalender tanam yang disusun Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian diperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
• Pola Tanam (waktu tanam, jenis tanaman, dll) dengan 4 skenario :
 Eksisting
 CH Normal,
 Kering (El-Nino),
 Basah (La-Nina)
• Pola curah hujan dan ketersediaan air irigasi
• Elastisitas ketersediaan air menurut skenario perubahan/anomali iklim
(maju-mundur, Basah, Kering, Normal)  awal musim & jumlah CH
• Indeks & tingkat kekeringan, perubahan waktu dan durasi ketersediaan air
• Alternatif pola tanam (waktu tanam, varietas, dan jenis tanaman, dll)

Kalender tanam hasil riset Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian


ditampilkan dalam dua bentuk yaitu :
- Spatial dalam bentuk Peta Kalender Tanam
- Tabular dalam bentuk Tabel Rekomendasi Pola Tanam (& Waktu Tanam) per
Kecamatan, oleh karena itu kalender tanam ini berdasarkan ‘look up table’.
97

Publikasi dalam bentuk Atlas Kalender Tanam sudah disusun sebanyak 3


volume:
- Volume I : Jawa (+ Madura) (2007)
- Valume II : Sumatera, Kalimantan (2008)
- Valume III : Bali, NTB, Sulawesi,dll (2008/09)
- Volume IV : Papua, Maluku, Malut, Bali, NTT, NTB, dan Makasar (2010)

Kalender Tanam Terpadu


Pada akhir tahun 2011, Badan Litbang Pertanian meluncurkan ”Soft
Launching Kalender Tanam Terpadu”. Pada kalender tanam terpadu sudah
menggabungkan teknologi-teknologi yang mendukung untuk tercapainya produksi
yang optimal, diantaranya varietas dan proporsi benih yang dianjurkan, pemupukan
berimbang, metodologi identifikasi bencana banjir, kekeringan dan OPT serta
menggunakan prediksi musim. Kalender tanam tepadu ditunjang dengan basisdata
yang terorganisir dengan baik. Kalender tanam yang dihasilkan diharapkan dapat
membantu di dalam menetapkan strategi penyediaan dan distribusi sarana produksi
serta perencanaan pola tanam, teknik budidaya pengelolaan tanaman untuk
menghindari/mengurangi resiko iklim pada tanaman pangan lahan sawah. Oleh
karena itu, diharapkan para pengambil kebijakan dapat dengan mudah dan cepat
melakukan perencanaan pertanian tanaman pangan di lahan sawah yang
mempertimbangkan prediksi iklim near real time yang meliputi waktu tanam, luas
tanam, rekomendasi dan kebutuhan pupuk, rekomendasi varietas dan kebutuhan
benih, serta informasi wilayah rawan banjir, kekeringan dan rawan OPT (Ramadhani
et al. 2011). Pengguna dapat mengakses dan juga menambahkan data pada feature
yang sudah disediakan, sesuai lokasi yang ingin diketahui. Akses tersedia di situs
Badan litbang Pertanian, http://www.litbang.deptan.go.id/, klik Kalender Tanam
Terpadu.
Desain sistem kalender tanam terpadu terdiri dari tiga tahapan (Gambar
5.4) (Ramadhani et al, 2011):
1. Desain database, data yang sudah dikumpulkan dalam tahap sebelumnya
disimpan dalam bentuk tabel relasional. Dalam tahap ini, tabel dibuat sesuai
dengan tingkat data administrasi dan data pendukungnya.
98

2. Desain aplikasi berbasis desktop untuk mendukung kemampuan updating


data secara otomatis, aplikasi desktop ini dibutuhkan sebagai alat penghasil
data dinamis jika data tertentu atau algortima analisis diperbaruhi sewaktu-
waktu, sehingga aplikasi berbasis web dapat menampilkan data atau
informasi yang telah diubah secara cepat dan mudah.
3. Desain aplikasi berbasis web untuk publikasi data, perancangan antar muka
dalam aplikasi berbasis web ini akan terdiri dari peta digital dan interaktif,
data tabular yang mudah digunakan, dan kemampuan menyediakan peta
digital yang sudah di-layout dalam bentuk Portable Document Format (pdf)
dan tabel tabularnya secara dinamis.

Pembuatan desain sistem Pembuatan sistem informasi


Brainstorming kalender tanam terpadu kalender tanam terpadu

Layout peta
Desain database kalender tanam
Inventarisir
hasil penelitian
Pembuatan Pembuatan
Aplikasi Aplikasi
Desain Desain berbasis web desktop
Penyusunan aplikasi aplikasi
algoritma berbasis berbasis Testing aplikasi
analisis web desktop berbasis web
dan desktop

Instalasi server
di tempat
Verifikasi lapang colocation

Gambar 5.4 Diagram alir proses pembuatan sistem kalender tanam terpadu
(Ramadhani et al. 2011)

Kalender tanam terpadu ini direncanakan akan diupdate setiap 3 kali


setahun, yaitu untuk informasi awal musim hujan, awal musim kemarau dan
informasi untuk MK II. Update pertama untuk tahun 2012 dilakukan untuk
informasi musim tanam II (MK I).
Adapun pendekatan yang digunakan dalam pengembangan kalender
tanam terpadu pada dasarnya sama dengan informasi yang dikeluarkan
sebelumnya, yaitu penyusunan peta kalender tanam aktual dan potensial dengan
99

menggunakan analisis klimatologis. Kalender tanam aktual didasarkan pada


informasi luas baku sawah dan luas tanam dengan menginformasikan kalender
tanam existing petani. Analisis dilakukan dengan menggunakan data luas tanam
rata-rata sepuluh harian per kecamatan untuk periode lima sampai sembilan tahun
terakhir tergantung ketersediaan data di setiap provinsi. Awal tanam MT I
ditentukan pada saat 8% dari luas baku sawah kecamatan yang bersangkutan
telah ditanami padi. Awal tanam MT II ditentukan pada saat 6% dari luas baku
sawah telah ditanami padi. Sedangkan awal tanam MT III ditentukan pada saat 2%
dari luas baku sawah telah ditanami padi (Runtunuwu et al. 2008).
Kalender tanam potensial berdasarkan informasi curah hujan (isohyets,
onset dan indeks pertanaman), informasi yang dikeluarkan berupa kalender tanam
pada kondisi tahun El-Nino, La-Nina dan Normal. Penyusunan kalender tanam
potensial menggunakan informasi iklim/curah hujan sebagai parameter utama di
dalam penentuan onset musim tanam. Komponen utama deliniasi kalender tanam
adalah curah hujan dan ketersediaan air irigasi. Kegiatan yang dilakukan pada
tahap awal adalah menginventarisasi data sumberdaya iklim, terutama curah
hujan, yang kemudian dianalisis untuk menentukan karakteristik curah hujan, yaitu
variabilitas iklim, zona agroklimat, potensi awal musim tanam (onset), dan
intensitas pertanaman (IP) (Runtunuwu et al. 2008).
Onset Waktu Tanam Potensial Onset mencirikan waktu tanam pada MT I.
Onset dimulai apabila curah hujan telah melebihi 35 mm/dasarian selama tiga
dasarian berturut-turut. Penentuan ini sangat terkait dengan jumlah dasarian (1
dasarian = 10 hari) selama setahun yang memiliki curah hujan lebih dari 35
mm/dasarian (LGP, length growth period).
Karakteristik sumberdaya iklim di atas masih merupakan informasi per
stasiun iklim, sehingga perlu dispasialkan untuk mendapatkan informasi utuh di
seluruh wilayah. Spasialisasi dilakukan berdasarkan tiga variabilitas iklim, yaitu
tahun basah, tahun normal, dan tahun kering. Dari masing-masing variabilitas iklim
tersebut dibuat dua layer zonasi digital, yaitu layer zona agroklimat dan layer
gabungan antara onset kalender tanam potensial dan IP. Kedua layer digital
selanjutnya ditumpangtepatkan (overlay) untuk mendapatkan kombinasi data yang
memiliki karakteristik iklim yang relatif homogen. Agar informasi yang diperoleh
sesuai dengan target, yaitu mengenai sawah, maka kedua layer tersebut juga
ditumpangtepatkan dengan layer distribusi sawah dari setiap kecamatan. Hasil
100

overlay merupakan basis data kalender tanam yang kemudian digunakan untuk
menentukan onset setiap kecamatan, berdasarkan onset areal sawah yang
terluas.
Pada kalender tanam terpadu ada penambahan informasi baru berupa
informasi hasil prakiraan iklim sebagai input dinamik sekaligus mengembangkan
Atlas Kalender Tanam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Kementerian Pertanian menjadi suatu informasi yang dinamik dan interaktif. Hasil
prakiraan yang dikeluarkan merupakan hasil prakiraan Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Hingga Januari 2012, terhadap hasil prakiraan
BMKG ini tidak dilakukan analisis, hanya dilakukan interpretasi saja.

Tabel 5.1 Contoh kalender tanam tanaman pangan (padi) pada tahun normal

Gambar 5.5 Diagram alir kalender tanam dengan menggunakan informasi


prakiraan iklim BMKG
101

Informasi hasil prediksi musim yang terdiri dari prediksi awal musim,
pergeseran musim dan sifat hujan, serta perkembangan prediksi iklim near real
time dari BMKG sedemikian rupa dimanfaatkan sebagai input dinamik yang akan
menjadi dasar pemilihan skenario anomali iklim pada Kalender Tanam yang akan
diterapkan pada musim yang akan datang. Beberapa hal yang dilakukan antara
lain, mempelajari peluang kejadian skenario anomali iklim dalam 2-3 musim
berurutan, penyetaraan satuan peta dasar terkecil dari zona musim (ZOM) atau
daerah bukan zona musim (Non-ZOM) menjadi berbasis administrasi di tingkat
kecamatan, menterjemahkan informasi prediksi musim dari berbasis ZOM dan
Non-ZOM menjadi berbasis kecamatan, serta menyusun informasi awal tanam dan
luas tanam berdasarkan informasi prediksi musim dan perkembangan prediksi
iklim near real time (Gambar 5.5) (Pramudia et al. 2011).
Pada kalender tanam terpadu, selain dilengkapi dengan hasil informasi
prakiraan iklim, juga dilengkapi dengan informasi identifkasi OPT dan analisis
wilayah rawan banjir dan kekeringan, varietas dan pupuk. Untuk identifikasi
wilayah rawan kekeringan, banjir dan organisme pengganggu tumbuhan (OPT)
dilakukan analisis tingkat kerawanan banjir dan kekeringan, analisis wilayah
endemis OPT dan waktu puncak luas serangan banjir, kekeringan dan OPT.

5.3.2. CCROM-IPB dengan BMG


Sejalan dengan penyusunan kalender tanam Kementerian Pertanian, pada
tahun yang sama (tahun 2007) Boer et a.l juga melakukan riset terkait kalender
tanam yang disebut sebagai kalender pertanian. Kalender tanam yang dihasilkan
sudah lebih bersifat dinamik, karena sudah memasukkan hasil prakiraan musim,
sebagai alat bantu pengambilan keputusan. Kalender tanam yang dihasilkan
menggunakan Bayesian network dan decision network. Dalam Decision Network
(DN), keputusan pemilihan pola ditetapkan berdasarkan informasi iklim dan
informasi lainnya yang diperoleh sebelum keputusan dibuat (Buono et al 2010).
Informasi dimaksud diantaranya adalah indeks ENSO yang dapat digunakan
sebagai indikator tentang kemungkinan perubahan awal masuk musim hujan,
prakiraan panjang musim hujan atau sifat hujan pada musim tanam.
102

Dalam penyusunan decision network, ada lima jenis data yang digunakan,
yaitu; data ENSO (dalam kajian ini ialah data SOI Phase), lama musim hujan, sifat
musim, luas tanam dan kejadian kekeringan untuk pengambilan keputusan bentuk
pola tanam dengan tingkat risiko terkena kekeringan minimum. Keterkaitan antara
informasi-informasi ini disusun dalam suatu perangkat lunak SIPOTAN dengan
menggunakan bahasa pemograman PHP berbasis web. Ke lima jenis data ini
disusun dalam bentuk Bayesian Network dan nilai yang digunakan dalam bentuk
kode nilai.

Tabel 5.2 Nilai ke lima peubah yang digunakan dalam penyusunan Bayesian
Network (Boer et al. 2007)

No Variabel Nilai Arti Ketersedi


aan Data
1 E-Phase : 1 Near Zero Ags ’89
SOI Phase s/d Nov.
2 Consistent Negative, Rapidly Falling
Bln Agustus ’07
3 Consistent Positive, Rapidly Rising
2 CH : 1 CH<(0.85*Rataan tahunan) Jan ’89
Curah s/d Sep.
2 (0.85*Rataan tahuan)<CH<1.15*Rataan
Hujan ’06
Tahunan)
3 CH>(1.15*Rataan Tahunan)
3 SDMH : 1 Sisa MH <10 dasarian Nov. ’89
Sisa s/d Des.
2 Sisa MH : 10, 11, 12, dan 13 dasarian
Dasarian ’01
Musim 3 Sisa MH > 13 dasarian
Hujan
4 LT : 1 LT<0.85*LT Rataan tahunan Okt. ’89
Luas s/d Sep.
2 0.85*LT Rataan tahunan<LT<1.15*LT Rataan
Tanam ’06
Tahunan
3 LT>1.15*LT Rataan Tahunan
5 K: 1 Tidak ada lahan kekeringan Jan. ’89
Kekeringan s/d Des.
2 0<luas lahan kekeringan<5000 Ha
’04
3 5000 Ha<luas lahan kekeringan<15.000 Ha
4 luas lahan kekeringan>15.000 Ha
Praproses untuk mentransformasi mendapatkan nilai-nilai setiap peubah kategori
tersebut adalah sebagai berikut (Boer et al. 2007):
1. SOI (SOI Phase) : diambil dari situs www.longpadock.qld.gov.au.
2. CH (Curah Hujan) :
103

a. Dihitung rata-rata tahunan nilai curah hujan untuk setiap bulan (ada
12 bulan)
b. Untuk setiap bulan, nilai CH adalah :
CH = 1  jika : Nilai CH < 0.85*Rata-rata Tahunan
CH = 2  0.85*Rata-Rata Tahunan<Nilai CH<1.15*Rata-rata
Tahunan
CH = 3  Nilai CH>1.15*Rata-rata Tahunan
3. SDMH (Sisa Dasarian Musim Hujan) :
a. Ditentukan Jumlah Sisa Dasarian pada setiap bulan berdasar
informasi Awal Musim Hujan (AMH) dan Lama Musim Hujan (LMH).
b. Nilai SDMH adalah sebagai berikut :
SDMH=1  Jika Jumlah Sisa Dasarian <10 dasarian
SDMH=2  Jika Jumlah Sisa Dasarian 10, 11, 12, atau 13 dasarian
SDMH=3  Jika Jumlah Sisa Dasarian >13
4. LT (LuasTanam) :
a. Dihitung rata-rata tahunan nilai LuasTanam untuk setiap bulan (ada
12 bulan)
b. Untuk setiap bulan, nilai Luas Tanam adalah :
LT = 1  jika : Nilai LT < 0.85*Rata-rata Tahunan
LT = 2  0.85*Rata-Rata Tahunan<Nilai LT<1.15*Rata-rata
Tahunan
LT = 3  Nilai LT>1.15*Rata-rata Tahunan
5. K (Kekeringan) :
Penentuan kode untuk variabel K adalah mengikuti aturan seperti pada
berikut :
1 Tidak ada lahan kekeringan
2 0<luas lahan kekeringan<5000 Ha
3 5000 Ha<luas lahan kekeringan<15.000 Ha
4 luas lahan kekeringan>15.000 Ha

Dari grafik di atas, maka luas lahan kekeringan dibagi menjadi 4 daerah
seperti telah disebutkan di atas.

Dalam kajian ini, untuk menentukan tingkat kekeringan terdapat empat


peubah, yaitu SOI Phase, Curah Hujan (CH), Sisa Dasarian Musim Hujan (SDMH)
dan Kejadian Kekeringan (K). Keterkaitan tiga peubah tersebut adalah seperti
dalam Gambar 5.6 berikut (Boer et al. 2007):
104

CH

ENSO K
Phase SDMH

Gambar 5.6 Bayesian Network dengan tiga peubah

Setelah diperoleh diagram keterkaitan di atas, dengan menggunakan data sample,


maka pada setiap node dihitung tabel peluang bersyaratnya, (Conditional
Probability Table, CPT). Secara lengkap akan diperoleh suatu BN, seperti
digambarkan pada Gambar 5.7 berikut :

P(CH|E)
E 1 2 3
1 0.3774 0.2075 0.4151
2 0.4737 0.0702 0.4561
3 0.3889 0.1944 0.4167

CH

Nilai P(ENSO)
1 0.3630 P(SDMH|E)
2 0.3904 E 1 2 3
3 0.2466 1 0.6792 0.1132 0.2075
2 0.6316 0.1579 0.2105
3 0.6667 0.0833 0.2500
ENSO K
Phase SDMH

CH SDMH P(K|CH,SDMH) n
1 2 3 4
1 1 0.6304 0.1957 0.0652 0.1087 46
1 2 1 0 0 0 7
1 3 0.8750 0.1250 0 0 8
2 1 0.8182 0.1818 0 0 11
2 2 1 0 0 0 5
2 3 0.8333 0.1667 0 0 6
3 1 0.8462 0.1538 0 0 39
3 2 1 0 0 0 6
3 3 1 0 0 0 18

Gambar 5.7 Bayesian network


105

Kemudian dibentuk decision network untuk membentuk pola tanam (Gambar 5.8)

CH

SOI K
Phase SDMH U

D: Pola Tanam

Gambar 5.8 Decision network

Nilai dari keputusan (D) adalah berupa pilihan pola penanaman, yaitu :

a. D1= padi-padi penanaman dimulai awal musim hujan


b. D2= padi-padi penanaman dimulai satu bulan setelah musim hujan
c. D3= padi-padi penanaman dimulai dua bulan setelah musim hujan
d. D4= padi-padi penanaman dimulai tiga bulan setelah musim hujan

Sedangkan node U adalah fungsi utilitas yang nilainya tergantung dari Keputusan
(D) yang diambil dan kemunculan (outcome) dari node Kekeringan (K). Oleh
karena node K mempunyai 4 kemungkinan nilai (Tabel 3.2) dan D juga mempunyai
4 kemungkinan tindakan, maka node U terdiri dari 4x4=16 kemungkinan/baris.
Dari sini dapat dihitung nilai harapan kerugian yang timbul dari setiap keputusan
yang diambil. Sedangkan penghitungan Fungsi Utilitasnya dengan
menggunakan alur logika sebagai berikut :

a. Penetapan 3 bulan mundur setelah AMH sebagai tanam kedua dari D1,
satu bulan berikutnya adalah tanam kedua dari D2, satu bulan berikutnya
lagi sebagai tanam kedua dari D3, dan satu bulan berikutnya sebagai
tanam kedua dari D4.

b. Penghitungan proporsi luas tanam setiap D1, D2, D3, dan D4 pada bulan
berjalan.

c. Proporsi luas tanam dikalikan dengan total luas lahan kekeringan


106

5.3.3. I-MHERE B2C IPB

Mulai tahun 2010 riset tentang kalender tanam dilaksanakan oleh


Departemen Geofisika dan Meteorologi dengan CCROM melalui I-MHERE B2C
IPB (Boer et al. 2010). Penelitian ini diberi judul besar “Improving Research
Excellence On Agricultural Adaptation (A)” dengan aktivitas “Increasing The
Resilience Of Agriculture System To Global Warming and Climate Change (A2)”.
Topik ini merupakan salah satu upaya dalam adaptasi terhadap perubahan iklim.
Salah satu rekomendasi untuk mengatasi penurunan produksi padi dalam
menghadapi keragaman dan perubahan iklim adalah dengan pengaturan waktu
tanam. Penelitian pada tahun I telah menghasilkan sistem penentuan kalender
tanam dinamik dan semi-dinamik berdasarkan kondisi iklim yang digambarkan
oleh kondisi ENSO. Penelitian ini merupakan pengembangan dari riset yang
dilakukan tahun 2007. Hasil penelitian tersebut memerlukan verifikasi dan
sosialisi kalender tanam yang telah dihasilkan. Verifikasi dilakukan untuk
mengetahui detail wilayah mana saja yang dapat ditanami pada ketiga musim
tanam dan memverifikasi berapa luas tanam maksimum yang dapat ditanami pada
ketiga musim tanam pada kondisi normal. Sebagai bahan sosialisasi dibuat
modul/panduan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Modul/panduan berupa
booklet dan dapat di download di website, berisi cara menggunakan kalender
tanam dinamik maupun semi-dinamik. Namun demikian pemanfaatan kelendar
tanaman dinamik tidak akan efektif apabila tidak disertai dengan pembangunan
kemampuan kelembagaan daerah untuk memanfaatkannya dalam menyusun
strategi dan program pengelolaan risiko iklim. Penguatan kelembagaan daerah
dalam pengelolaa risiko iklim dilakukan melalui konsultasi dengan pejabat
berwenang, diskusi, workshop dan pelatihan untuk para pemangku kepentingan
terkait serta pembentukan kelompok kerja yang akan berperan dalam melakukan
penataan dan penyusunan perangkat yang diperlukan dalam pengembangan
sistem pengelolaan risiko iklim yang lebih efektif.
107

Gambar 5.9 Model DN untuk kalender dinamik tanaman (Boer et al. 2010)

Untuk tahun 2011, penelitian dilaksanakan dalam bentuk penelitian lapang


dan desk study. Penelitian lapang dilakukan untuk meninjau langsung
persawahan dan wawancara dengan PPL dan petugas lapangan pelapor
gangguan tanaman di setiap wilayah hujan untuk mendapatkan informasi
mengenai ketersediaan air irigasi dan periode tanam pada bagian wilayah
108

kecamatan yang mendapat rekomendasi tanam. Informasi ini diperlukan untuk


mengetahui wilayah mana saja yang dapat ditanami pada ketiga musim tanam dan
memverifikasi berapa luas tanam maksimum yang dapat ditanami pada ketiga
musim tanam pada kondisi normal. Kegiatan lapang juga dilakukan dalam rangka
identifikasi dan penetapan SKPD yang akan menjadi pengguna kalender tanam
dinamik dan semi dinamik serta pelatihan terhadap petugas PPL dan SKPD dalam
memanfaatkan informasi kalender tanam yang telah disusun.
Desk studi dilakukan untuk melakukan validasi, evaluasi sistem
pengelolaan risiko iklim dan menyusun bahan panduan penggunaan kalender
tanam sebagai bahan sosialisasi hasil yang telah diperoleh dari penelitian tahun
2010. Bahan panduan yang disusun akan di upload di website CCROM_SEAP
dan Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB.

5.4. Pengembangan Model Kalender Tanam Dinamik dalam penelitian ini

Pengembangan kalender tanam dinamik dalam penelitian ini dititikberatkan


pada penambahan decision yang dihasilkan. Decision network yang dihasilkan
menggunakan suatu pemodelan risiko iklim dengan mengukur fungsi utility
sebagai pendekatannya. Dengan demikian, kalender tanam dinamik yang
dikembangkan merupakan sistem informasi yang menyajikan pemilihan
tatalaksana pertanaman (pola, awal penanaman, pemupukan, irigasi, varietas ,
teknik budidaya lain) yang mempertimbangkan kemunculan kejadian iklim yang
bersifat probabilistik untuk mengurangi risiko terkait kejadian iklim tersebut,
dengan menggunakan analisis ekonomi untuk melihat kombinasi pilihan
tatalaksana terbaik.
Pemodelan tersebut dikaitkan dengan strategi teknologi budidaya dalam
hubungannya dengan produktivitas padi, yang dikuantifikasi berdasarkan
komponen-komponen sistem informasi dan kalender tanam dalam hubungannya
dengan produktivitas tanaman. Sehingga decision yang dihasilkan, tidak saja
menyangkut waktu tanam, tetapi juga sudah memasukkan pilihan teknologi
budidaya seperti pupuk, irigasi dan varietas. Mengingat pemilihan pupuk, varietas
maupun penggunaan irigasi akan memberikan produksi yang berbeda pada
tanaman. Disamping itu, juga dilakukan analisis keuntungan dan kerugian yang
dijabarkan melalui penggunaan Sistem Inferensi Fuzzy yang digabung dengan
109

hasil simulasi DSSAT (Decision Support System for Agrotechnology Transfer)


(Jones et al. 2003), sehingga berdasarkan pilihan kombinasi pada decision, dapat
diketahui keuntungan atau kerugian akibat pemilihan salah satu jenis atau
kombinasi teknologi tersebut.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari pola alternatif tanam ideal yang
menguntungkan secara ekonomi, ditinjau dari kombinasi teknologi budidaya padi
(pupuk, irigasi, varietas) suatu usaha tani pada suatu musim tertentu. Kombinasi
teknologi budidaya tersebut diharapkan dapat memberi produksi maksimal dengan
tingkat kerugian yang minimal

Sistem Inferensi Fuzzy (Fuzzy Inference System)


Fungsi utility diharapkan dapat menggambarkan potensi pola tanam dan
waktu tanam tanaman semusim, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika
sumber daya iklim dan air, serta kalkulasi input dan output pada suatu usaha tani,
sehingga diketahui keuntungan dan kerugiannya. Nilai risiko untuk setiap
kombinasi antara keputusan pola tanam dengan kemunculan kejadian peubah
iklim diprediksi sebagai rata-rata dari beberapa tahun kejadian bencana
kekeringan. Dengan demikian, komponen ketakpastian dari data kurang
diakomodasi oleh model. Oleh karena itu, fungsi risiko yang memetakan
kombinasi keputusan dengan kejadian iklim ke nilai kerugian diformulasikan
dengan model Fuzzy Inference System (FIS). Dengan model FIS, tranformasi
dari kombinasi pola tanam dengan kejadian iklim ke nilai risiko dilakukan
berdasarkan kepakaran. Pengetahuan berdasar pakar tersebut selanjutnya
diformalkan dalam dengan aturan atau rule yang berbentuk (Jika ... Maka ...) dan
dinyatakan dalam logika fuzzy. Dengan demikian, faktor ketidakpastian
terakomodasi dan keterbatasan data dapat diatasi.
Pada Gambar 2, x sebagai peubah input dalam penelitian ini terdiri dari 3
peubah, yaitu nilai anomali SST Nino4, Panjang Musim Hujan (PMH), dan Curah
Hujan Musim Kemarau (CHMK). Selanjutnya ketiga input tersebut akan
memasuki rule 1 hingga rule ke r, untuk menghasilkan himpunan fuzzy output
yang merupakan nilai risiko kekeringan. Nilai prediksi risiko ini, yaitu y, dihitung
dengan formula defuzzykasi terhadap himpunan fuzzy aggregate dari hasil semua
rule.
110

Hasil keluaran dari FIS berupa nilai kekeringan dalam ha. Untuk
mengetahui keuntungan dan kerugian usaha tani per ha, digunakan hasil dari
simulasi DSSAT yang digabungkan dengan hasil analisis usaha tani, sehingga
diperoleh input, output dan keuntungan / kerugian dalam bentuk rupiah. Kombinasi
yang paling menguntungkan itulah yang dipilih sebagai alternatif pola tanam ideal.

Dengan demikian pengembangan penelitian ini dari riset sebelumnya


adalah jumlah decision yang lebih banyak.dengan kombinasi yang bervariasi.
Kombinasi tersebut merupakan gabungan dari teknologi budidaya dengan tanggal
tanam, terutama ketersediaan air Irigasi yang sangat mempengaruhi hasil
tanaman. Hasil riset sebelumnya utility berupa table sehingga nilainya discret dan
data terbatas.

5.5. Simpulan

Riset kalender tanam dimulai sejak tahun 2007 oleh Kementerian Pertanian
yang lebih bersifat ‘look up table” dengan menggunakan tahun-tahun El-Nino,
La-Nina dan Normal yang diperoleh berdasarkan data rata-rata historis jangka
panjang. Prediksi disesuaikan dengan pola yang terbentuk pada tahun-tahun
tersebut dengan panduan peta dan table-tabel.
Riset kalender tanam yang disusun oleh Boer et al, lebih bersifat dinamik, karena
sudah memasukkan hasil prakiraan iklim, dan menggunakan Peluang yang
ditampilkan dalam Bayesian network. Decision yang dihasilkan adalah pilihan pola
tanam.
Pengembangan penelitian ini dari riset sebelumnya adalah jumlah decision
yang lebih banyak.dengan kombinasi yang bervariasi. Kombinasi tersebut
merupakan gabungan dari teknologi budidaya dengan tanggal tanam. Dengan
demikian, kalender tanam dinamik yang dikembangkan merupakan sistem
informasi yang menyajikan pemilihan tatalaksana pertanaman (pola, awal
penanaman, pemupukan, irigasi, varietas, teknik budidaya lain) yang
mempertimbangkan kemunculan kejadian iklim yang bersifat probabilistik untuk
mengurangi risiko terkait kejadian iklim tersebut, dengan menggunakan analisis
ekonomi untuk melihat kombinasi pilihan tatalaksana terbaik.
111

Berdasarkan state of the art kalender tanam ini, maka pada bab berikutnya
akan dipaparkan mengenai pengembangan decision network yang dioptimasi
dengan sistem inferensi fuzzy untuk penyusunan kalender tanam dinamik.

Anda mungkin juga menyukai