Anda di halaman 1dari 15

RELEVANSI KEBUDAYAAN JAWA

PRANATA MANGSA PADA ERA MODERN

Karya Ilmiah

Oleh:
Nama : Florensya Eunike Sipota
Sekolah : SMAN 1 Wuryantoro
Email : florensyasipota@gmail.com

LOMBA KARYA TULIS ILMIAH


WONOGIRI
2022
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan relevansi pranata mangsa di Desa


Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri serta unsur kebudayaannya melalui sudut pandang
generasi muda. Pengenalan waktu tradisional merupakan salah satu dari banyak sistem
pengetahuan adat yang ada di Indonesia dan sudah menjadi pedoman untuk mengelola
lingkungan serta mengarahkan kehidupan ke generasi berikutnya. Salah satu kearifan
budaya yang berkaitan dengan hal ini adalah pemanfaatan kalender pranata mangsa
sebagai aspek pengembangan di sektor pertanian Jawa. Penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan metode analisis deskriptif kualitatif yang menggunakan pengumpulan
data seperti wawancara, dan analisis teori yang sudah ada. Sesuai pernyataan di atas
akankah masih relevan penggunaan pranata mangsa di era globalisasi? Pemanasan global
tidak dapat disangkal menjadi faktor utama penyebab sistem penanggalan pranata
mangsa dilupakan. Pemanasan global mengubah sifat alam menjadi terdistorsi, kemarau
menjadi hujan, penghujan menjadi kemarau. Berdasarkan hasil penelitian, pada dasarnya
pranata mangsa masih digunakan oleh petani di Desa Pracimantoro, walaupun di era
modern teknologi canggih sudah menyebar begitu pesat dan iklim yang sulit untuk
ditebak. Namun kenyataannya proses pertanian dapat berjalan dengan tetap berpatokan
pada siklus pranata mangsa. Dengan cara penggabungan teknologi ke dalam sistem
pranata mangsa seperti pengeboran sumur sehingga memperoleh air untuk mengairi
sawah.
Kata kunci: Pranata Mangsa, Kearifan Lokal, Kebudayaan.
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Manusia dan alam saling berhubungan dan bergantung satu sama lain. Pentingnya
untuk melindungi alam dan keseimbangannya untuk menjalani kehidupan yang lebih
harmonis. Perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab menjadi salah satu penyebab
terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan aspek penting yang
mempengaruhi pengelolaan pertanian.
Setiap daerah di Indonesia yang memiliki ciri khas tertentu untuk dijadikan tolak
ukur daerah tersebut. Menurut Koentjaraningrat (1984: 9) kebudayaan berasal dari kata
sansekerta yaitu ‘buddayah’ yang artinya budi atau pikiran. Selain itu, seni, hukum,
kebiasaan, moral dan kemampuan, serta perilaku lainnya yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat tertentu (Mahdayeni, 2019). Pengenalan waktu tradisional
merupakan salah satu dari banyak sistem pengetahuan adat serta budaya Jawa yang ada
di Indonesia dan sudah menjadi tiniten untuk mengelola daerahnya.
Pada hari-hari terakhir cuaca yang sedang berlangsung cukup sulit untuk
diprediksi, dengan hal itu tentu saja mempengaruhi setiap aspek kegiatan khususnya pada
sektor pertanian. Yang mana dalam hal ini pranata mangsa juga andil peran untuk
keberlangsungan kegiatan bercocok tanam. Di kebudayaan Jawa sendiri masih terbatas
yang meneliti tentang relevansi pranata mangsa pada era modern. Dalam penjelasan di
atas siklus pranata mangsa berhubungan dengan kebudayaan Jawa serta korelasinya
dengan musim pancaroba.
Artikel ini bertujuan menjelaskan serta memaparkan perubahan iklim yang
ekstrim memengaruhi penerapan pranata mangsa dalam sektor pertanian di Desa
Pracimantoro Kabupaten Wonogiri, yang tentu saja berhubungan dengan relevansinya
terhadap era globalisasi saat ini. Adapun dampak yang dialami oleh sebagian besar petani
seperti perubahan pola hujan, meningkatnya kejadian iklim ekstrim (banjir dan
kekeringan) sehingga kualitas tanaman menjadi tidak maksimal, dan tingkat gagal panen
semakin tinggi (Salinger 2005). Serta bagaimana penyelesiannya, maka setelah
memahami hal tersebut beserta hasil wawancara dari narasumber yang memang
berprofesi sebagai petani dan juga responden yang menunjukkan eksistensi pada pranata
mangsa akan diulas dalam penelitian ini.

2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang penelitian tentang relevansi pranata mangsa pada era
modern maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

“Apakah pranata mangsa masih relevan di era modern?”


3. TUJUAN PENELITIAN

Pada umumnya penelitian bertujuan menemukan, mengembangkan, atau meneliti


kebenaran. Menurut Sutrisno Hadi dalam “Metodologi Research”

“Penelitian itu sendiri dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan,


mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan
dengan menggunkan metode-metode ilmiah” (1980:3-4)

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

Untuk membuktikan relevansi pranata mangsa dalam era modern.

4. METODE PENELITIAN

1. Metode Pengumpulan Data

Penulis menggunakan metode pengumpulan data untuk melakukan penelitian ini


tentang “Relevansi Kebudayaan Pranata Mangsa di Era Modern” yaitu:

A. Wawancara narasumber

Sugiyono menyatakan, “wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data


apabila ingin melakukan studi pendahuluan untuk menetapkan permasalahn yang harus
diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih
mendalam dan jumlah respondennya sedikit (2017:137)”.

Penulis melakukan wawancara dari beberapa petani di daerah setempat dan beberapa
teman di sekolah untuk mencari informasi yang diperlukan.

B. Analisis Deskriptif

Metode analisis deskriptif meruakan upaya mengumpulkan, menyusun, dan menganalisis


data (Winarno Surakhman, 1990:139) Penulis mengumpulkan tulisan-tulisan sebagai data
dari buku-buku dan internet. Data berupa kutipan-kutipan yang menjadi kunci untuk
menganalisis penelitian.
BAB II

1. DASAR TEORI

Sebagian besar masyarakat masa kini tidak mengetahui bahwa banyak daerah di
Indonesia memiliki kalender tanam tradisional, yang mana tradisi tersebut sudah ada dari
zaman nenek moyang yang diturunkan secara turun menurun hingga saat ini. Kalender
tanam tradisional ini dijadikan sebagai acuan dalam waktu tanam, panen, dan
menggunakan komoditas tertentu. Salah satu kalender tanam tradisional adalah pranata
mangsa yang berasal dari daerah Jawa.

A. Pranata Mangsa
Secarah harfiah pranata mangsa berasal dari kata ‘pranata’ yang berarti aturan
dan ‘mangsa’ yang berarti waktu. Seiring berjalannya waktu, Ronggowarsito akhirnya
menemukan kearifan lokal yaitu pranata mangsa, suatu bentuk pengetahuan Jawa kuno
yang dibudidayakan selama berabad-abad tahun. Pengetahuan yang dikenal dengan
Pranata Mangsa ini diturunkan secara lisan oleh petani (dari mulut ke mulut). Ini juga
bersifat lokal dan temporal (dibatasi oleh ruang dan waktu) artinya detail yang dibuat
untuk satu lokasi mungkin tidak sepenuhnya berlaku untuk lokasi lain. Misalnya, petani
menggunakan pedoman struktur mangsa untuk memilih kapan mulai menanam.

Pranata mangsa diterapkan sesuai dengan tata surya, yang didasarkan pada orbit
matahari dan siklusnya (setahun) adalah 365 hari atau 366 hari dan menggabungkan
sejumlah peristiwa alam yang memberikan panduan untuk kegiatan pertanian dan
kesiapsiagaan bencana (kekeringan, wabah penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau
banjir).

B. Bagian-Bagian dari Pranata Mangsa


Dalam satu tahun dibagi menjadi 12 musim (mangsa), masing-masing dengan
durasi yang lebih pendek namun tetap bervariasi. Ingatlah bahwa aturan ini berlaku ketika
penanaman padi sawah hanya dapat dilakukan setahun sekali, diikuti dengan palawija
atau padi gogo, dan terakhir adalah lahan bera (tidak ditanami). Padi gogo merupakan
jenis padi yang dibudidayakan pada lahan marginal atau lahan kering dimana pemenuhan
kebutuhan air tanaman tergantung pada hujan yang turun (Norsalis, 2011).

Dalam Bahasa Indonesia isitilah pranata mangsa artinya pembagian atau


penentuan mangsa. Penanggalan pranata mangsa sangat penting pengaruhnya,
khususnya bagi petani dan nelayan (Ali Barudin, dalam Adabiyyat Jurnal Bahasa dan
Sastra. 13 (2), 229-252). Setiap mangsa-mangsa itu mempunyai maksud yang berbeda.
Perlu dipahami, pranata mangsa itu jika dihubungkan dengan tahun hijriyah mulainya
dari mangsa ketuju atau kapitu. Mangsa ini berada di bulan Januari di tahun hijriyah.
Maksud-maksud yang berbeda ini akan dijelaskan di bawah ini:

a. Mangsa kesatu (kasiji) adalah kesatu sudah menginjak puncaknya kemarau. Mangsa
kesatu atau bisa disebut kasa terjadi dalam 41 hari tanggal 22 Juni samapai 1 Agustus.
b. Karo (Pusa), Ketiga - Paceklik, yaitu pada 2 Agustus – 24 Agustus (23 hari) dengan
istilah Jawa bantala rengka ("bumi merekah").
c. Mangsa ketiga (katelu). Mangsa ini terjadi dalam 24 hari dari tanggal 25 Agustus
sampai 17 September. Mangsa ini disebut semplah karena matahari tepat di attas ubun-
ubun kepala yang membuat cuaca panas sekali.
d. Kapat (Sitra), Labuh - Semplah, yaitu pada 19 September – 13 Oktober (25 hari). Pada
mangsa ini cocok untuk menggarap lahan padi gogo.

e. Mangsa kelima (kalima). Di mangsa ini matahari sudah tumbuk atau artinya matahari
tepat di atas kepala. Kejadian ini terjadi sebelum hujan datang. Dan mangsa ini terjadi
dalam 27 hari mulai tanggal 13 Oktober sampai 8 November.

f. Mangsa keenam (kaenem). Mangsa yang terakhir ini terjadi dalam 43 hari dimulai
tanggal 9 November sampai 21 Desember.

g. Mangsa ketujuh (kapitu). Mangsa ketuju menjadi mangsa pertama jika dilihat dari
tahun hijriyah yang berada di bulan Januari. Mangsa ini ada 43 hari dari tangal 22
Desember sampai 2 Februari. Di mangsa ketuju ini keadaannya musim penghujan.

h. Kawolu (Wisaka), Rendheng - Pangarep-arep, yaitu pada 4 Februari – 28/29 Februari


(26/27 hari). Pada mangsa ini identik dengan padi yang mulai menghijau.

i. Mangsa kesembilan (kasanga) dimulai 1 Maret sampai 26 Maret yang jumlahnya 25


hari.
j. Kasepuluh (Srawana) pada 26 Maret – 18 April (24 hari)
k. Mangsa kesebelas (kasewelas). Mangsa ini juga bisa disebut dheta. Mangsa kesebelas
ini yaitu sesotya sinara wedi.. Mangsa ini sudah mulai memasuki musim kemarau.
Dimulai tanggal 19 April sampai 11 Mei jumlahnya ada 23 hari.
l. Mangsa kedua belas (karolas). Mangsa yang masih menginjak musim kemarau.
Keadaan yang dulunya hujan dan tanah yang terisi air akan hilang di mangsa keduabelas
ini. Jumlahnya ada 41 hari, dimulai tanggal 12 Mei sampai 21 Juni.
Diagram berikut menggambarkan bagaimana mekanisme pendugaan panjang
satu tahun pranata mangsa dibagi menjadi 12 mangsa simetris.

Figure 1Sistem kalender pranata mangsa


C. Tata Laku yang Dilakukan dan Ciri-Ciri Setiap Bulan Dalam Pranata Mangsa
Mangsa, khusunya di Desa Pracimantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Seperti yang
sudah penulis katakan bahwa pranata mangsa di kebudayaan Jawa ada 12 mangsa yaitu
mangsa kesatu sampai keduabelas. Setiap mangsa tersebut mempunyai tata laku dan
pertanda atau ciri-ciri. Tanda atau ciri-cirinya berdasarkan keadaan alam di dunia. Bisa
hewan bisa juga dari mangsanya itu sendiri. Dalam jurnal Metahumaniora (10 (2), 160-
171), Budi Gustaman menjelaskan jika tanda-tanda datangnya suatu mangsa bisa dilihat
berdasarkan keadaan alam.
Tata laku dan pertanda atau ciri-ciri pranata mangsa akan dijelaskan di bawah ini:
1. Mangsa kasa (kartika) atau bisa disebut mangsa ketiga terang yang mana memiliki
ciri-cirik sebagai berikut: daun-daun bergugur, kayu megering, belalang masuk ke dalam
tanah. Dan tuntutan bagi petani itu sendiri yaitu saatnya membakar jerami, kemudian
mulai menanami palawija.
2. Karo (pusa) atau bisa disebut ketiga paceklik yang mana memiliki ciri-ciri sebgai
berikut: tanah mengering dan retak-retak, pohon randu dan mangga mulai berbunga.
3. Mangsa katelu (mangga sari) yang mana menurut narasumber, “….mbok bilih mangsa,
niki mangsane mangsa katelu, dereng wani nenandur nek wong gunung istilahe, lagi
mangsane guwak rabuk nyang ngalas” (Pak Sugiran 64 tahun. 25 September 2022).
Sesuai pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-cirinya yaitu petani baru
menyiapkan peralatan dengan mencampur pupuk dengan tanah supaya menyiapkan
sawah tersebut menjadi gembur. Dan tanda-tanda lainnya yaitu pohon-pohon sudah
menjatuhkan daunnya. Serta biasanya pada mangsa itu petani belum berani menanam
tanaman yang membutuhkan perawatan ekstra. Penjelasan tentang mangsa ketiga ini
sesuai dengan penjelasan Sobirin Supardiyono (2018: 252).
4. Mangsa kapat (sitra) labuh semplah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kapuk randu
mulai berbuah, burung-burung kecil mulai bersarang dan bertelur. Sedangkan tuntutan
para petani sendiri yaitu: panen palawija, saat menggarap lahan untuk padi gogo.
5. Kalima (manggakala) memiliki ciri-ciri sebagai berikut mulai terdapat hujan besar,
ulat bermunculan, laron keluar dari liang. Adapun tuntutan petani antara lain: mulai
menyebar padi gogo.
6. Kanem atau bisa disebut labuh udan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut buah
mangga, durian, dan semacamnya sudah mulai bermunuculan. Pada mangsa ini para
petani sudah menyebar benih padi di pembenihan.
7. Kapitu atau bisa disebut rendeng udan memiliki ciri-ciri seperti intensitas hujan yang
lebih sering dari biasanya, sungai banjir akibat hujan akibat curah hujan yang tinggi. Pada
umumnya para petani sudah memindahkan bibit padi ke sawah.
BAB III
PEMBAHASAN

1. Musim Pancaroba
Pancaroba adalah masa dimana terjadinya transisi atau pergantian antara dua
musim. Pancaroba juga merupakan masa peralihan antara dua musim utama di daerah
iklim muson, hal ini terjadi ketika musim kemarau menuju musim penghujan dan musim
penghujan menuju musim kemarau.
Dalam pranata mangsa atau sistem penanggalan Jawa, pancaroba antara musim
penghujan dan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Maret dan April, kondisi ini
disebut sebagai mangsa (musim) marèng. Sedangkan pancaroba antara musim kemarau
dan musim penghujan biasanya terjadi pada bulan Oktober hingga Desember, kondisi ini
disebut mangsa (musim) labuh.

2. Ciri-Ciri Musim Pancaroba


Masa pancaroba umumnya ditandai dengan frekuensi tinggi badai, hujan yang
sangat deras disertai petir, guntur dan angin kencang.

Pada musim peralihan juga ditandai dengan perilaku khas beberapa hewan dan
tumbuhan. Misalnya pada masa marèng, tonggeret akan memasuki masa kawin dan
mengeluarkan suara khas. Pada masa labuh, rayap akan mencapai tahap dewasa dan
keluar dari sarangnya di tanah menjadi laron.

Menurut pendapat para ahli, pancaroba juga ditandai dengan turunnya hujan
lokal secara mendadak secara sporadis atau tidak tentu. Curah hujan yang turun pada
masa ini umumnya memiliki intensitas sedang hingga lebat, tetapi dengan durasi singkat
dan tidak merata. Selain itu, hujan seringkali disertai dengan angin kencang dan kilatan
petir (Boer, Rizaldi. 2003).

3. Pengaruh Musim Pancaroba Bagi Para Petani dan Sistem Bercocok Tanam
Pengaruh yang dirasakan olah petani di desa Pracimantoro, Wonogiri, Jawa
Tengah.
Pertanian, terutama subsektor tanaman pangan, paling rentan terhadap perubahan
pola curah hujan, karena tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang
relatif sensitif terhadap cekaman (kelebihan dan kekurangan) air. Secara teknis,
kerentanan tanaman pangan sangat berhubungan dengan sistem penggunaan lahan dan
sifat tanah, pola tanam, teknologi pengelolaan tahan, air, tanaman, dan varietas (Las et
sl., 2008b).
Oleh sebab itu, kerentanan tanaman pangan terhadap pola curah hujan akan
berimbas pada luas areal tanam, dan panen, produktivitas, dan kualitas hasil.
Pertanda dan ciri-ciri yang dirasakan oleh petani di daerah Pracimantoro sebagai
berikut:
(1)... “Eneng, eneng pengaruhe nek kanggone wong nandur gogo, yo teka-teki.
Iso urip iso mati nek saiki wes ulur arak o wes udan. Marai pranata mangsane urung
tekan” (Pak Sugiran 25/9). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulakan bahwa
pengaruh musim panca roba yaitu:
a. Perubahan musim yang tidak teratur di daerah tropis, menyebabkan pertanian di daerah
tropis kalah saing dengan pertanian di daerah subtropis, maupun daerah lainnya.
b. Rendahnya hasil baik secara kuantitas maupun kualitas, juga ketidakstabilan produksi.
Hasil dari panen tidak sesuai atau tidak seimbang dengan effort yang diberikan untuk
merawat tanaman. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, pernyataan tersebut sudah sesuai
dengan opini Las et ls.
(2)… ”Ya, karena musim sangat mempengaruhi keberhasilan panen. Beberapa bibit juga
sangat sensitif dengan suhu. Jika suhu atau musim tidak tepat, maka tingkat kegagalan
panen akan tinggi. Untuk penyelesaiannya adalah dengan mengikuti cuaca yang sedang
berlangsung belakangan” (Suci Suryani 2022).
Menurut Ayu Wahyuni terhadap pengaruh musim pancaroba sebagai berikut:
(3)…”Tentu saja berpengaruh, karena dengan musim atau cuaca yang tidak menentu
akan menjadi faktor gagal atau tidaknya panen. bercocok tanam saat musim pancaroba
cukup ekstrim, di mana dalam musim pancaroba dipengaruhi oleh angin besar, musim
kemarau dan musim hujan.”
4. Solusi Terhadap Musim Pancaroba
Berdasarkan teori di atas bagi para petani itu sendiri sudah mengantisipasi apabila
terjadi hal tersebut. Menurut Bapak Sariyo (68 tahun) salah seorang petani di Desa
Pracimantoro mengatakan:
(1)… “Penyelesaianne nek enek udan mangsa kanem, sing nandur saiki mati tandureane.
Mbesok kanem nebo udan terus ulur neh” (Pak Sariyo 2022).
(2)...“Sistem bercocok tanam yang dianut saat ini dengan menggunakan metode
hidroponik, yaitu metode menanam tanpa menggunakan tanah, karena kebutuhan
nutrisi oleh tumbuhan berasal dari air.”(Ayu Wahyuni 2022)
(3)…”Ada, ketika musim pancaroba atau bisa disebut salah mangsa, terkadang sawah
perlu aliran air lain ketika hujan tidak turun, seperti sumur bor yang ada di dekat
sawah.” (Rindiazafa 2022)
Jadi apabila terjadi musim pancaroba sebagian petani akan menggunakan sumur
bor untuk mengairi sawah sebagai ganti sebab tiada hujan, selain itu petani akan
merubah cara mereka dengan menebak hujan di musim berikutnya.
5. Jenis sawah
Sawah adalah lahan usaha pertanian yang secara fisik berpermukaan rata, dibatasi
oleh galengan serta dapat ditanami padi, palawija atau tanaman budidaya lainnya.
Berdasarkan narasumber, sawah di Daerah Pracimantoro sebagai berikut:
(1)…. “Nek model sawah kene sawah ke gur podo sawah. Nek mangsa saiki ke
tanduranne jagung kabeh sing sawahe sawah tadahan. Sawah anu, tumpang le ngarani”
(Sugiran 2022).
Sawah tumpang atau juga bisa disebut tumpang sari adalah sawah yang dalam
suatu sistem pertaniannya menggunakan sistem pertanian campuran (polyculture) yang
berupa pelibatan dua jenis atau lebih tanaman pada suatu areal lahan tanam dalam waktu
yang bersamaan atau hampir bersamaan. Tumpang sari yang umum dilakukan adalah
penanaman dalam waktu yang hampir bersamaan. Adapun beberapa jenis tanaman yang
umum dilakukan dengan sistem tumpang sari yaitu jagung dan kedelai, atau jagung dan
kacang tanah. (Wikipedia).
(2)… “Ning nek sawah bledon, tandurane ijik pari. Sing sawah banyune okeh koncoran
iku jik pari. Nek sawahku kui kalebu jenis sawah jenenge sawah tadahan. Tadahan karo
tumpang bedo. Nek ora enek udan, ora enek banyu.” (Sugiran)
Lahan sawah tadah hujan hanya mengandalkan hujan untuk pemenuhan
kebutuhan air. Penentuan pola dan jadwal tanam sangat diperlukan agar kegagalan panen
dapat dihindari sehingga keuntungan maksimum dapat diperoleh.
(3)… “Nek tumpang ke yo kur banyu lep-lepan ning nek renek banyu lep-lep an yo asat.
Ning nek sawah bledon ki udan terang enek banyune wae, ora asat. Nek lemah ngenglo
kui kur yen enek udan banyune, kui tadahan.” (Sugiran)
(4)… ”Kalo jenis sawah yang sedang saya garap ini temasuk jenis sawah beririgasi,
lebih tepatnya berada di desa Baran, Puloharjo” (Suci Suryani)
Menurut Hansen et al., “Irigasi secara umum dapat didefenisikan sebagai
penggunaan air pada tanah untuk keperluan penyediaan lengas tanah yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan tanaman” (1992). Karakteristik sawah irigasi diantaranya yaitu:

a. Sistem pertanian irigasi cocok dari segi musim, dikarenakan waktu penanaman
padi tidak bergantung pada air hujan, selam air di waduk atau bendungan masih
ada, maka budidaya beragam jenis padi bisa dilakukan kapan saja tanpa harus
menunggu musim hujan.
b. Pada sawah irigasi petani bisa panen 2-3 kali tanaman padi. Pada saat-saat tertentu
sawah tersebut ditanami dengan tanaman palawija, seperti jagung, kacang hijau,
kacang tanah, dan lain-lain.

(5)… “Sawah yang orang tua saya miliki adalah tegal berundak. Sawah ini berupa batuan
dan tanahnya keras hanya bisa ditanami ketika musim hujan atau. Ini berada di Dusun
Jenar Desa Pracimantoro” (Rindiazafa 2022).
Tegal atau Kebun adalah lahan pertanian bukan sawah (lahan kering) yang
ditanami tanaman semusim atau tahunan dan terpisah dengan halaman sekitar rumah serta
penggunaannya tidak berpindah-pindah. Sumber:
(http://indoagropedia.pertanian.go.id/books/tegalkebun).
6. Pranata mangsa pada era modern
Ilmu pranata mangsa, menurut Hernia Nur Hidayah, masih dimanfaatkan oleh
sebagian besar petani. Oleh karena itu, pranata mangsa harus digunakan sekali lagi
karena keberadaan mereka sangat membantu dalam meningkatkan efisiensi penggunaan
lahan pertanian dan sumber pangan. Analisis aplikasi kalender pranata mangsa perlu
diintegrasikan ke dalam sains, yang merupakan potensi peningkatan akurasi kalender.
Untuk membuat penanggalan lembaga buruan yang lebih tepat, diterapkan pranata
mangsa pada zaman modern dengan memanfaatkan tinjauan ilmiah berupa arah angin
serta menyesuaikan peredaran matahari.
Berdasarkan pernyataan di atas, penulis akan membandingkan dengan jawaban
dari sudut pandang petani dan menurut pandangan anak muda khususnya Gen Z saat ini.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas penulis mewawancarai salah seorang petani
di Desa Pracimantoro mengenai apakah pranata mangsa masih relevan dengan sistem
bercocok tanam saat ini, melihat iklim pancaroba yang cukup ekstrim.
(1)…”Nek jenenge pranata mangsa kui pandingane koyo ilmu titen seko wong-wong tuek
jaman biyen kanthi saiki ijik kanggo. Masalahe wong tani kene iki patokane yo gur
istilahe pranata mangsa kui. Dadi yo diarani ijik relevan arako enek sebagian tani sing
wes ra nggatok pranata mangsa.” (Sugiran 2022)
Berdasarkan pernyataan yang Bapak Sugiran katakan, untuk saat ini pranata
mangsa masih relevan digunakan sebagai patokan bercocok tanam di desa Pracimantoro.
Walaupun tak dipungkiri bahwa saat ini teknologi sudah semakin maju, namun pranata
mangsa tetap digunakan sehingga menjadi khasanah kebudayaan bangsa.
Penulis akan menunjukkan relevansi pranata mangsa menurut sudut pandang
generasi muda yang khususya memiliki kerabat yang berprofesi sebagai petani.
Menurut Rindiazafa, (2)… “Untuk masa sekarang, beberapa petani masih berpatokan
pada pranata mangsa ketika ingin menanam bibit bahan makanan pokok. Karena sejak
dulu sudah menjadi tradisi yang turun temurun, hal itu juga dirasa cocok sebagai
perkiraan.”(2022)
Sedangkan menurut pendapat Ayu Wahyuni (18 tahun) seorang responden yang
mengisi kuesioner penulis menyatakan bahwa, (3)… “Menurut saya pranata mangsa
masih digunakan, namun jarang diterapkan karena untuk bercocok tanam pada zaman
sekarang tidak harus menyesuaikan musim. Ada banyak cara dan teknologi untuk tetap
bercocok tanam dalam kondisi apapun.” (2022)
Lain halnya dengan pendapat Suci Suryani mengatakan bahwa, (4)…”Tidak,
karena sekarang musim sudah tidak pasti dan berubah-ubah. Maka dari itu keluarga
saya menggunakan sistem dengan mengikuti cuaca yang sedang mendominasi
belakangan ini. Karena pada dasarnya orang tua saya sebagai petani juga masih belum
memiliki penyelesaian yang pasti untuk masalah ini, jadi kami hanya mengikuti cuaca
yang mendominasi agar jika terjadi hal yang tidak diinginkan, kami khusunya orang
tua saya tidak terlalu mengalami kerugian dan gagal panen.”
Era modern dan era globalisasi saat ini ternyata menuntut para pelaku tani menjadi
berwawasan internasional. Petani mulai mengesampingkan indegeneous
knowledge. Kearifan lokal dari leluhur yang mana didapatkan dari pengalaman nenek
moyang mulai ditinggalkan. Seperti yang diutarakan Robert Chambers bahwa masyarakat
kita memiliki keunggulan yaitu kemampuan mempelajari dari pengalaman. Padahal justru
dari pengalaman inilah masyarakat kita pada masa lalu mengetahui permasalahan yang
kita hadapi sekaligus solusinya. Akankah local wisdom itu akan kita tinggalkan?
Menurut Wahyu Aziz Nugroho dalam artikel yang dibuatnya yaitu Belajar dari
leluhur: Pranata Mangsa mengatakan:
“Sejatinya ada beberapa musabab yang menjadikan pranata mangsa mulai
ditinggalkan, Era globalisasi yang mendorong masyarakat kita untuk lebih open minded,
termasuk petani, sehingga mulai melunturkan budaya ketimuran kita yang cenderung
ekspresif dengan mengkiblat pada budaya barat yang cenderung progresif. Globalisasi
juga menjadi faktor kunci yang menggerogoti sistem pranata mangsa, sehingga musim
kita menjadi agak semrawut. Padahal sejatinya masih terdapat korelasi yang nyata antara
gejala alam yang tersebut pada pranata mangsa dengan kondisi saat ini.”
Namun, hal ini menjelaskan mengapa pranata mangsa mulai berkurang dan
bahkan dampaknya terhadap industri pertanian dianggap kurang signifikan. Pertanian saat
ini dianggap sebagai profesi tingkat rendah, ukuran kemiskinan, dan tanda
ketidakberdayaan. Akhirnya, banyak petani yang mulai kehilangan jiwanya sebagai
petani. Idealisme tentang marwahnya menjadi petani termasuk idealisme petani sebagai
bagian dari alam dan implikasinya yang harus bersahabat dengan alam, seperti yang
diajarkan dalam pranata mangsa, bukan justru memerintah alam dalam bertani. Dan hal
itu dibantah oleh petani di Desa Pracimantoro, yang menegaskan bahwa pranata mangsa
masih diperlukan. Sekalipun cuaca berubah-ubah mereka tetap bisa bertani sebagai mana
mestinya karena mereka memiliki cara tersendiri untuk menanggulanginya.
Sudah saatnya buku lama itu kita buka kembali, kita gali berbagai macam
kearifan lokal dalam sistem budidaya, kita terapkan berbagai macam local
wisdom masyarakat desa yang terbungkus apik dalam kesederhanaan dan kesahajaan
pranata mangsa. Harapannya adagium kuno “Negara gemah ripah loh jinawi, tata
tentrem kerta raharja, murah sandang murah pangan” benar-benar akan terwujud di
bumi Nusantara. (Zaki, Muhammad Khoiru. 2016. Relevansi Penanggalan Pranata
Mnagsa Dalam Penentuan Waktu Tanam Padi Sawah. Thesis, Universitas Sebelas
Maret).
BAB IV
KESIMPULAN

Petani di Desa Pracimantoro yang biasanya tergolong buruh tani tetap mengikuti
aturan penanggalan pranata mangsa. Pranata mangsa yang masih diakui sebagai warisan
nenek moyang menjadi contoh penting bagaimana mengelola pertanian, terutama dalam
menghadapi perubahan iklim supaya pranata mangsa tetap dilestarikan.
Dengan adanya pranata mangsa ini, mangsa atau cuaca tertentu dapat
diperkirakan terlebih dahulu. Jenis budaya pranata mangsa ini mengandung apa yang
disebut dengan maksud, makna, tanda, dan warisan. Strategi yang digariskan oleh
Koentjaraningrat digunakan untuk melestarikan budaya yang sudah ada dalam wujud
pranata mangsa agar tidak tergerus oleh zaman. Jadi melalui banyak pernyataan di atas,
penulis dapat mengambil kesimpulan.

Yang pertama, pranata mangsa masih relevan di era modern saat ini, hal itu
terbukti bahwa masih banyak petani yang menerapkan penanggalan kuno tersebut. Selain
itu kalender Jawa juga masih cocok untuk dijadikan sebagai patokan dalam bercocok
tanam maupun dalam sektor lainnya.

Kedua, musim pancaroba sangat berpengaruh terhadap sistem bercocok tanam


khususnya di Desa Pracimantoro. Begitu juga dengan sistem penanggalan Jawa ini,
pancaroba memengaruhi siklus pranata mangsa. Namun hal ini tidak menjadikan petani
Desa Pracimantoro beralih dari sistem mangsa tersebut.

Ketiga, tidak menutup mata era globalisasi sanggup mengikis kearifan budaya
lokal terhadap pranata mangsa, namun tidak sedikit juga anak-anak generasi muda yang
masih mengetahui tradisi ini. Walaupun tidak terlalu dalam, namun hal ini cukup baik
dan patut dipertahankan.

Oleh sebab itu, menjadi tugas kita sebagai generasi muda bagaimana
menggabungkan teknologi dengan kebudayaan lokal pranata mangsa ini agar
kedepannya sektor pertanian Indonesia lebih berkembang hingga kancah dunia.
UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas berkat dan rahmatNya yang telah melindungi dan membimbing sehingga penulis
dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Relevansi Kebudayaan Jawa Pranata
Mangsa Pada Era Modern.”
Karya ilmiah ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan serta dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, dalam kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Ambrusius Kuncoro B.W, S.Pd, M.Pd selaku guru sejarah di SMA N 1
Wuryantoro.
2. Bapak Suratno, S.Pd selaku pembimbing yang telah memberikan dukungan serta
bimbingan terhadap penulis.
3. Ibu Aprilia Kurniasih, S.sos selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan,
arahan, dukungan serta masukan kepada penulis.
4. Himpunan mahasiswa pendidikan sejarah Universitas PGRI Yogyakarta sebagai
penyelanggara kegiatan.
5. Terima kasih kepada seluruh narasumber serta responden yang telah membantu penulis
mendapatkan informasi.
6. Terima kasih kepada Papi, Mami, dan Mbak Olvie yang selalu memberi dukungan doa
serta semangat selama mengerjakan karya ilmiah ini.
7. Temanku Rindiazafa, Claudia, dan Ethan yang selalu memberikan semangat dan selalu
menemani penulis mengerjakan karya ilmiah.
8. SMA N 1 Wuryantoro yang telah memfasilitasi penulis untuk menyelesaikan karya
ilmiah.
9. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari dalam penulisan karya ilmiah ini masih terdapat kekurangan,
untuk itu diharapkan kritik dan saran yang membagun agar dapat menyempurnakan karya
ilmiah ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga karya tulis ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Wonogiri, 15 Oktober 2022

Florensya Eunike Sipota


DAFTAR PUSTAKA

Fidiyani, Rini; Kamal,Ubaidillah.2012.Penjabaran Hukum Alam Menurut Pikiran Orang


Jawa Berdasarkan Pranata Mangsa. Jurnal Dinamika Hukum vol.12 no.3
http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2012.12.3.117
Gustaman, Budi. (2020). Kalender Petani Dan Sumber Pengetahuan Tentang Musim
Tanam. Metahumaniora. 10 (2), 160-171.
http://dx.doi.org/10.24198/metahumaniora.v10i2.28762
Hadi, Sutrisno. 1980. Metodologi Research. Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM.
Handayani, Rif’ati Dina, Zuhdan Kun Prasetyo, Insih Wilujeng. 2018. Pranatamangsa
Dalam Tinjauan Sains. Ponorogo: Calina Media
Hansen, V. E. et al., 1986. Dasar-dasar dan Praktek Irigasi. Jakarta : Erlangga.
Las, I., H. Syahbuddin, E. Surmaini, dan A.M. Fagi. 2008. Iklim dan tanaman padi:
Tantangan dan peluang. Dalam Buku Padi: Inovasi Teknologi dan Ketahanan
Pangan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.
Mahdayeni., Alhaddad, M. R., & Saleh, A. S. (2019). Manusia dan Kebudayaan (Manusia
Dan Sejarah Kebudayaan, Manusia Dalam Keanekaragaman Budaya Dan
Peradaban, Manusia Dan Sumber Penghidupan). Tadbir: Jurnal Manajemen
Pendidikan Islam, 7(2), 154-165. https://doi.org/10.30603/tjmpi.v7i2.1125
Norsalis, E. 2011. Padi Gogo dan Sawah. Jurnal Online Agrokoteknologi 1(2):14
Nugroho, Wahyu Aziz. 2016. Belajar dari Leluhur: Pranata Mangsa. Dema Pertanian
UGM. Yogyakarta
Retnowati, Arry, Esti Anantasari, Muh Aris Marfai, and Andreas Dittmann. 2014.
“Environmental Ethics in Local Knowledge Responding to Climate Change: An
Understanding of Seasonal Traditional Calendar PranotoMongso and Its
Phenology in Karst Area of GunungKidul, Yogyakarta, Indonesia.” Procedia
Environmental Sciences 20: 785–94.
http://dx.doi.org/10.1016/j.proenv.2014.03.095
Salinger, M.J. 2005. Climate variability and change: past, present, and future over view.
Climate Change 70: 9-29.
Sobirin, Supardiyono. (2018). Pranata Mangsa Dan Budaya Kearifan Lingkungan. Jurnal
Budaya Nusantara. 2 (1), 196-266.
https://doi.org/10.36456/b.nusantara.vol2.no1.a1719
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung :
Alfabeta, CV.
Winarno Surakhmad. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar. Bandung : Tarsito

Anda mungkin juga menyukai