Anda di halaman 1dari 19

CRITICAL BOOK REPORT

MK. ANTROPOLOGI
PEDESAAN

Skor Nilai :

INVOLUSI PERTANIAN
PROSES PERUBAHAN EKOLOGI DI INDONESIA
(Clifford Geertz, 1983)

Disusun Oleh:

RAHMAT SIREGAR NADILA PAKPAHAN ERI W. GINTING UMMI NADRAH


(3172122003) (3172122015) (3171122003) (3171122026)

KELAS : A REGULER 2017


DOSEN PENGAMPU : NOVIY HASANAH, S.Sos., M.Hum.
MATA KULIAH : ANTROPOLOGI PEDESAAN

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN ANTROPOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL – UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
SEPTEMBER 2018
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas semua
limpahan nikmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Critical Book Report
yang berjudul “Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia” ini dengan tepat
waktu.
Terimakasih kami ucapkan kepada segala pihak yang telah membantu, khususnya ibu
dosen pengampu pada mata kuliah ini yang telah memberikan bimbingan dan arahan
sehingga kami dapat menyelesaikan Critical Book Report ini. Adapun maksud dan tujuan
kami untuk menyusun Critical Book Report ini, yaitu dalam rangka memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Antropologi Pedesaan.
Kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan yang ditemukan dalam Critical
Book Report ini. Oleh sebab itu, kami mengharapkan masukan-masukan dan kritik yang
membangun dari pembaca agar dapat lebih baik kedepannya.

Medan, 26 September 2018

KELOMPOK

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................i


DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... .………..1
A. Informasi Bibliografi . …………………………………………………………………….1
BAB II PEMBAHASAN SECARA UMUM BUKU .............................................................. 2
BAB III PEMBAHASAN CRITICAL BOOK REPORT ................................................... 11
A. Latar belakang masalah yang akan dikaji........................................................................ 11
B. Permasalahan yang akan dikaji......................................................................................... 11
C. Kajian teori yang digunakan/konsep yang digunakan ...................................................... 11
D. Metode yang digunakan ................................................................................................... 11
E. Analisis CBR .................................................................................................................... 11
BAB IV PENUTUP ................................................................................................................. 14
A. Kesimpulan....................................................................................................................... 14
B. Rekomendasi .................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Informasi Bibliografi
Buku Utama
1. Judul Buku : Involusi Pertanian: Proses Perubahan
Ekologi di Indonesia
3. Pengarang : Clifford Geertz
3. Penerjemah : S. Supomo
4. Penerbit : Bhratara Karya Aksara
5. Kota terbit : Jakarta
6. Tahun terbit : 1983
7. ISBN :-
8. Dimensi buku : -
9. Tebal buku :-

Buku Pembanding
1. Judul Buku : Pengantar Sosiologi Pedesaan
dan Pertanian
2. Edisi terbit : Cetakan Keempat
3. Pengarang : Rahardjo
4. Penerbit : Gadjah Mada University Press
5. Kota terbit : Yogyakarta
6. Tahun terbit : 2016
7. ISBN : 979-420-555-9
8. Dimensi buku : -
9. Tebal buku :-

1
BAB II

PEMBAHASAN SECARA UMUM BUKU

Buku Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia ini terdiri dari tiga
bab. Dimana masing- masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Maka dari itu kami mencoba
mereview isi buku tersebut, sebagai berikut:

Bab 1 Titik Tolak Menurut Teori dan Fakta


Dalam bab ini penulis menjelaskan bahwa ekologi merupakan ilmu yang mempelajari
hubungan fungsional antara organisme dengan lingkungan hidupnya. Ekologi termasuk
kedalam disiplin ilmu biologi. Terdapat tiga pendekatan yang dipaparkan oleh penulis dalam
memahami hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya yaitu pendekatan
antropogeografi, pendekatan posibilisme dan pendekatan ekologis. Pada pendekatan
antropogeografi memandang berdasarkan penyelidikan mengenai berapa jauh dan bagaimana
cara – cara kebudayaan manusia dibentuk oleh kondisi lingkungan . Sedangkan pada
pendekatan posibilisme memandang bahwa lingkungan tidak dipandang sebagai sebab,
melainkan semata - mata sebagai pembatasan atau penyeleksi. Pendekatan ekologi berusaha
mencapai spesifikasi yang lebih tepat mengenai hubungan antara kegiatan manusia, transaksi
biologis, dan proses alam tertentu, yaitu ekosistem.
Perspektif yang lebih dekat dengan ekologi yaitu ekologi budaya dari Julian Steward.
Yang membedakan perspektif Julian Steward dengan pendekatan lainnya yaitu dalam
kecocokan menerapakan konsep dan asas ekologi itu pada aspek – aspek tertentu dari
kehidupan sosial dan kebudayaan manusia. Aspek – aspek tertentu disebut dengan inti
kebudayaan yang meliputi pola – pola sosial, politik, dan agama.
Pada bab ini penulis juga memaparkan mengenai bentuk – bentuk ekosistem kedalam
dua bentuk yaitu Indonesia dalam dan Indonesia luar. Dalam hal ini penulis
mencontohkannya seperti di luar Jawa dan dan Jawa. Di luar Jawa lebih dominan pada sistem
pertanian yang disebut dengan perladangan. Sedangkan di Jawa disebut pertanian sawah.
Dilihat dari ekologi, ciri yang paling positif yang membedakan perladangan dengan
persawahan adalah lebih berintegrasi ke dalam struktur umum dan ekosistem alami, sebelum
perladangan itu direncanakan. Ladang merupakan suatu sistem, serba tanaman yang beraneka
ragam jenisnya, peredaran zat – zat makanan antara bentuk – bentuk hidup, arsitektur
pelindung tertutup, dan keseimbangan yang ringkih. Sedangkan sawah merupakan suatu

2
sistem yang sangat khusus, tanaman tunggal dan terbuka, sangat tergantung pada mineral
yang dibawa air sebagai makanannya, tergantung pada bangunan air dan keseimbangan yang
stabil.

Bab 2 Perwujudan Pola yang Tetap

Pada umumnya berkembangnya persawahan di Jawa ( sejak sebelum Masehi )


disebabkan oleh adanya kombinasi yang menguntungkan. Seperti yang dikatakan oleh ahli
geologi Belanda, Mohr, bahwa keempat unsur dunia purba adalah api, air, tanah, dan udara.
Apa yang diperoleh dari kegiatan yang sangat hebat lebih dari 30 gunung berapi yang masih
aktif di pulau Jawa; gunung tersebut yang menyediakan zat-zat makanan untuk tumbuh-
tumbuhan yang tidak tersedia dalam tanah yang tipis.
Ekspansi persawahan di luar batas kawasan yang sangat cocok tersebut dalam zaman
prakolonial, dan bahkan sampai pada pertengahan abad lalu, terjadi secara lambat laun,
setengah-setengah, coba-coba, dan maju mundur. Pada dasarnya, perluasan semacam itu
dapat terjadi dalam tiga jurusan: ke utara, ke arah pantai laut Jawa, ke barat, ke arah tanah
pegunungan Sunda, dan ke timur, ke arah kawasan yang lebih kering yang disebu Ujung
Kering.
Menurut Mohr, ada 3 (tiga) fungsi irigasi yang kurang disadari :
1. Fungsi pengairan, yaitu menyediakan air untuk lahan yang kering
2. Fungsi pengontrolan, yaitu mengatur persedian agar tidak kelebihan dan juga tidak
kekurangan.
3. Fungsi pemupukan, yaitu menyuburkan tanah-tanah dengan unsur hara yang diangkat.
Sejak zaman dahulu, penanaman padi barangkali telah di lakukan sekedarnya di
beberapa tempat, khususnya di sekitar ratusan muara sungai kecil yang membelah pantai,
yang hampir tidak bervariasi itu.
Pada permulaan zaman penjajahan, pola ekologi secara keseluruhan boleh dikatakan
sudah tetap. Ekonomi kolonial yang lahir dari perkawinan antara ekonomi dengan politik itu
adalah suatu ekonomi yang hampir tidak ada perbedaan tajam antara perdagangan bebas,
pemborongan, kuota, dan monopoli, yang semuanya itu dilakukan dibawah bayang-bayang
mulut meriam. Sistem tanam paksa yang sesungguhnya, petani dibebaskan dari pajak tanah
dan sebagai gantinya harus menanam tanam ekspor milik pemerintah pada seperlima luas
tanahnya atau, sebagai alternatif, bekerja selama 66 hari setiap tahun di perkebunan-
perkebunan milik pemerintah atau dalam proyek lain.

3
Dilihat dari segi perkembangan, Sistem Tanam Paksa merupakan suatu usaha untuk
membangunkan ekonomi perkebunan dengan tenaga kaum petani, dalam hal ini jelas
berhasil. Ciri-ciri umum involusi yang disebutkan oleh Goldenweister untuk fenomena
estetika tersebut juga merupakan ciri khas dari perkembangan sistem sawah sesudah kira-kira
pertengahan abad kesembilan belas: keuletan pola dasar yang meningkat; penggarapan intern
yang terlalu teliti dan terlalu penuh dengan hiasan; penjelimatan teknis, dan keahlian teknis
yang tidak ada habisnya.
Mekanisme pabrik gula yang pesat pada paruh kedua abad kesembilan belas dengan
pasti menyebabkan Sistem Tanam Paksa , berdasarkan penggunaan tenaga kerja (Jawa) untuk
menggantikan modal (Belanda), menjadi ketinggalan zaman. Di samping segi hak milik tanah
dan penggunaan tanah, proses involusi itu juga mempengaruhi segi distribusi dengan polanya
yang khas tanpa mengalami perubahan. Akan tetapi, di bawah tekanan jumlah penduduk yang
terus menigkat dan sumber daya yang terbatas, masyarakat desa Jawa terbagi menjadi dua,
seperti golongan tuan tanah besar dan golongan setengah budak.
Jadi, masih dipertahankannya sistem pemilikan tanah secara tradisional, asimilasi
palawija pada pola padi dari penggunaan tanah, dan penjelimetan sistem hubungan kerja yang
sudah mapan, semuanya itu adalah bagian dari satu kesatuan yang utuh.
Ada tiga ciri khas pengembangan luar Jawa ( atau Indonesia Luar ) yan dapat di
pergunakan untuk menetapkan sebuah pola, ketiga ciri itu sangat berlainan dengan pola jawa.
Pertama, pengembangan itu secara geografis hanya terbatas di tempat-tempat tertentu. Kedua,
fokus pengembangan itu tidak lagi ditujukan pada rempah-rempah, manis-manisan, dan
bahan perangsang. Ketiga, kaum petani memainkan peranan yang relatif lebih besar dalam
ekonomi ekspor dari seluruh ekspor luar Jawa.
Dilihat dari sudut pandang ekologis dalam banyak hal tembakau adalah jembatan yang
sangat ideal antara sawah di jawa atau Indonesia dalam dengan di Indonesia luar. Di Sumatra
dan di beberapa tempat di luar Jawa lainnya tembakau itu ber integrasi kedalam kerangka
serba tanaman sistem ladang. Di sektor perkebunan hal itu demikian juga, di daerah kerajaan
Jawa ( Yokyakarta dan Sumatera ) suatu sistem sewa yang bergiliran, yang telah di lukiskan
di depan, untuk perkebunan tebu. Dan tanah dan tenaga kerjanya berselang seling setiap
tahun untuk penanaman tembakau di bawah pimpinan orang-orang Eropa.
Kalau dilihat sepintas lalu, hubungan antara tembakau ladang dengan padi ladang itu
kelihatannya juga memiliki hubungan yang simbiotis, dan pezer memang mempergunakan
kalimat itu untuk menerangkannya. Di Jawa perkebunana gula dan desa padi memiliki
hubungan yang komplementer (saling mengisi), karena kedua sistem itu saling menyesuaikan
4
diri sehingga masing-masing memberikan sumbangan yang positif pada kelangsungan hidup
yang lain. Dan keduanya tetap hidup bersama bukanlah karena adaptasi timbal balik yang
positif, melainkan karena yang teliti agar yang satu tidak merintangi yang lain.
Tentu saja petani ladanglah yang sebagian besar terpaksa harus menghindari
pengusaha perkebunan tembakau, dari pada yang sebaliknya, namun jumlah mereka bukanlah
banyak pada tahun 1915. Kepadatan penduduk asli di Sumatra Timur tampaknya kurang dari
6 orang per kilometer persegi. Perceraian antara perkebunan tembakau dengan ladang itu
tampak lebih jelas lagi dari segi tenaga kerja, sebaliknya dari apa yang dilihat di Jawa
penduduk setempat di Sumatra Timur tidak diambil untuk bekerja di perkebunan, baik karena
jumlah mereka yang tidak cukup besar maupun psikologis mereka itu tidak senang bekerja di
perkebunan, namun berbeda dengan rekan rekan mereka yang ada di Jawa, mereka itu
bukanlah bagian dari perkebunan, oleh karena itu ekosistem ladang itu tidak mengalami
perubahan yang serius sebagai involusional sebagai akibat perbenturannya dengan sistem
tembakau perkebunan. Pertama-tama sistem ladang itu berbeda dengan sistem sawah, tidak
mampu mengalami perubahan semacam itu. Kedua, perkebunan- perkebunan di Sumatra
yang lebih menghadapi kekurangan tenaga kerja dan kelebihan tanah daripada yang
sebaliknya, memandang penduduk asli setempat bukanlah sebagi sumber yang dapat di
manfaatkan. Jadi berbeda dengan pengusaha perkebunan tebu yang memandang penduduk
Jawa yang penuh sesak itu, melainkan sebagai gangguan setempat, seperti nyamuk belaka.
Dalam sejarah pertanian, pohon-pohon karet untuk pertama kalinya bisa disadap.
Karet itu pertama kalinya ditanam dan di Jawa secara kecil-kecilan pada tahun 1869-an (
yaitu Fucus elesticus, jenis Asia ). Mengenai karet inilah ekonomi ekspor rakyat ( pemilik
tanah kecil ) di luar Jawa itu sudah lepas landas. Sebagai pohon yang mudah berintegrasi
dengan kompleks ladang, seperti halnya tebu dan kompleks sawah, dengan cepat dan
mudahnya karet itu tersebar luas dari tempat pendaratannya di pantai timur Sumatra, merata
keseluruh pulau itu menjalar ke berbagai daerah di Kalimantan.
Demikianlah, berkurangnya peran produksi padi dibandingkan dengan tanaman pohon
telah menyebabkan, pergeseran dari ladang yang sejati ke kebun yang permanen atau
setengah permanen. Pengurangan pembatasan produksi padi karena lebih memilih tanaman
perdagangan menyebabkan impor beras menjadi lebih besar. Beras itu mula mula di
datangkan dari daerah-daerah sawah di dataran tinggi, dimana proses pergeseran ke tanaman
perdagangan itu tidak begitu ketara dibandingkan di daerah perbatasan. Kemudian, dari Jawa,
yang makin lama mengalami kesulitan untuk sekedar mencukupi kebutuhan sendiri.

5
Demikianlah, pada waktu sebagaian besar petani Jawa bergeser ke arah involusi
pertanian, kemiskinan bersama, elastisitas sosial, dan kebudayaan yang mengatur, minoritas
kecil petani luar Jawa bergeser ke arah spesialisasi pertanian, individualisme yang tegas,
pertentangan sosial, dan rasionalisasi kebudayaan.

Bab 3 Kesimpulan
Malaeise terjadi pada tahun 1930; selama empat tahun setelah itu pendapatan ekspor
Hindia Belanda merosot sampai 70 persen, pada bulan Mei 1940 negeri Belanda di duduki
Jerman, dan Hindia Belanda menempati kedudukan yang tidak lazim : tanah jajahan tanpa
negeri induk. Pada tahun 1942 kekosongan itu terisi, dengan Tokyo sebagai ibu kota baru.
Pada bulan agustus 1945 Republik Indonesia menyatakan kemerdekaannya, dan pada akhir
tahun 1949 berhasil mencapainya. Malaeise, perang, pendudukan, dan revolusi, semuanya itu
terjadi dalam jangka waktu dua dasawarsa. Hanya tinggal perang saudara dan inflasi saja
yang masih belum terjadi, dan keduanya tiba dalam tahun 50-an.
Akibat dari kekacaubalauan tersebut atas pola dasar perekonomian, Indonesia ternyata
tidak sehebat yang mungkin dibayangkan orang. Penyerahan kedaulatan , pemolitikan
masyarakat secara menyeluruh, dan kemenangan nasionalisme yang radikal memang sangat
mengubah lingkungan moral dari aktivitas ekonomi. Perekonomian masih tetap yang dulu
juga, ketika struktur tematis yang di umumkan oleh VOC, di perkembangkan oleh sistem
Tanam Paksa, dan diselesaikan oleh sistem perkebunan besar dualisme teknologi.
Akan tetapi dalam kerangka batasan-batasan umum ini, banyak juga perubahan yang
telah terjadi, kecuali yang bersangkutan dengan minyak bumi. Sejak pemerintah Indonesia
mengambil alih milik mereka dalam bulan Desember 1957, boleh dikatakan Eropa dan
Belanda tidak punya peran apa-apalagi, perusahaan perkebunan paling menderita dalam
pendudukan Jepang, yang memusatkan seluruh perhatiannya ke usaha peperangan, dan yang
pabrik-pabriknya banyak di bumi hanguskan oleh kaum revolusioner Indonesia yang penuh
gelora.
Sementara itu, pergeseran yang telah setengah abad lamanya, yaitu pergeseran ke arah
ekspor bahan mentah industri, yang mengakibatkan merosotnya ekspor bahan makanan,
rempah, tempah serat-seratan, dan sebagainya terus berlangsung antara tahun 1940 dengan
1956 volume ekspor karet, timah, dan minyak bumi meningkat sebanyak 40 persen.
Involusi terus berlangsung tanpa ampun dan terus meluas, karena proses yang pada
mulanya terasa terutama di daerah gula itu, sekarang terdapat hampir seluruh Jawa,
dibandingkan dengan angka tahun 1920, maka angka-angka yang berdasarkan pendaftaran

6
pemilihan umum tahun 1955 ( analisis daerah per daerah dari angka-angka sensus tahun 1961
belum kita proleh ), membuktikan bahwa makin banyak tempat di pulau Jawa yang kondisi
demografisnya dan tentunya juga kondisi sosialnya.
Di bagian dari Indonesia dalam yang berinvolusi, Bali, Lombok, dan beberapa tempat
yang kurang berinvolusi di Jawa dan juga beberapa kantor di Indonesia luar ( tanah pusat
Minangkabau, Batak, Sulawesi tenggara). Kepadatan penduduk walaupun tinggi tetap tidak
terlampau berlebihan, dan tata kekeluargaan, politik, serta keagamaan yang sudah mapan
masih tetap kokoh. Indonesia luar pada umumnya bercirikan :
1. Kantong atau enklave perkebunan dan pertambangan yang terpusat di tempat – tempat
tertentu, yang mempergunakan cara kerja padat modal dan angkatan kerja yang tercabut
dari daerah asalnya.
2. Kebun tanaman ekspor yang di usahakan rakyat petani yang terpusat di beberapa daerah
tertentu yang sekarang mengalami beberapa hambatan yang serius karena kebijaksanaan
ekonomi pemerintah dan,
3. Perladangan tradisional, yang pada umumnya di kerjakan secara kekeluargaan, dan kini
meluas ke hutan-hutan di pedalaman pulau-pulau yang besar di sebelah barat , serta
kedaerah yang berbukit dan berhutan musim di pulau-pulau kecil di daerah timur.
Untuk Jawa, kasus lain yang jelas sebanding adalah Jepang. Banyak perbedaan antara
kedua negeri itu , perdebatan geografi, sejarah, kebudayaan, dan tentu saja pendapatan per
kapita , Jepang kira kira dua kali Jawa.
Dalam bidang pertanian, makin jauh orang memasuki pertengahan abad kesembilan
belas , makin miriplah keduanya. Hasil padi per hektar pada permulaan zaman Meiji (1868)
barangkali kurang lebih sama dengan hasil padi di Jawa pada permulaan sistem perkebunan
Korporasi (1870). Sekarang Jepang kira-kira dua setengah kali lebih tinggi antara tahun 1978
dengan 1942. Persentasi angakatan kerja Jepang yang bekerja dibidang pertanian turun dari
sekitar 80 ke sekitar 40 angka untuk Jawa apada akhir abad kesembilan belas tidak di ketahui.
Tetapi pada tahun 1930 dan barangkali juga sekarang masih tetap di atas 65 persen.
Dalam abad pertama dalam usaha modrenisasi Jepang berhasil mempertahankan jumlah
penduduk yang relatif tidak berubah di dalam bidang pertanian, padahal jumlah penduduk
seluruhnya telah meningkat dua setengah kalii lipat. Semua kenaikan dalam angkatan kerja
itu praktis terserap ke dalam aktivitss bukan pertanian, jumlah penduduk pedesaan hampir
tidak berubah. Hampir semua tambahan penduduk itu terserap kedalam daerah kekotaan.
Kenaikan dalam iuran dan produktivitas itu berdasarkan pada pola-pola tradisional dari
organisasi pedesaan yang diwariskan. Pada umumnya, dari zaman Tokugawa. Sawah
7
keluarga yang kecil-kecil, yang rata-rata luasnya kurang lebih 1 hektar per batih pembagian
antara petani pemilik tanah dengan penggarap sewa yang tinggi dalam bentuk hasil sawah
semua ciri-ciri yang khas itu masih tetap ada selama periode (1878-1917) ini. Sementara itu,
kecenderungan yang kuat untuk mengkonsolidasi tanah tidak ada dan ini menyebabkan
pemilikan tanah kecil-kecil yang bertebaran terus di dapat dan di pertahankan.
Secara spesifik, di Jepang pertanian rakyat ( petani ) secara komplementer berhubungan
dengan manufaktur yang berkembang di dalam tangan pengusaha pribumi, sedangkan di
Jawa pertanian rakyat itu secara komplementer berhubungan dengan struktur pertanian
industri yang berkembang di bawah manajemen asing.
Untuk sebagaian besar Jepang berhasil mempertahankan dan Jawa kehilangan, ekonomi
yang utuh selama empat dasawarsa yang merupakan masa kritis dalam abad ke sembilanbelas
(1830-1870).sementara di Jawa, Van der Bosch menumpangksn ekonomi tanaman ekpor di
atas sistem sawah yang tradisional itu, maka Jepang menutup diri dari campur tangan barat
dan bergerak ke ekonomi pedesaan yang lebih komersial dan lebih aktif dengan tenaga dan
kemampuan sendiri. Di dalam pola dasar yang pada umumnya tetap tidak berubah, pertanian
rakyat di dalam kedua masyarakat itu makin menjadi lebih padat karya, lebih berketerampilan
dan lebih produktif.
Perbandingan antara Jepang dan Jawa jelas bahwa nilainya tidak terletak pada
anggapan bahwa seandainya perkembangan di Jawa dibiarkan jalan sendiri maka
perkembangan itu akan mengikuti jalan yang di tempuhnya Jepang atau bahwa Jawa sekarang
akan berada dalam keadaan yang dari segi ekonomis lebih kokoh.dan jumlah kemungkinan
semacam itu tidak terbatas banyaknya.
Ada dua parameter penting yang sangat berubah : kehadiran pemerintah penjajahan
Jepang di Jawa di gantikan dengan golongan elite pribumi yang kuat di Jepang;
pengembangan pertanian yang padat modal di Jawa digantikan dengan pengembangan sistem
manufaktur yang padat modal di Jepang.
Kenyataan bahwa industri padat modal yang tiba di Jawa itu mengambil bentuk
pertanian, hanyalah memperkuat proses tersebut, lebih dari manufaktur. Pertanian industri,
khususnya pengusaha gula, memungkinkan terjadinya pembagian kerja secara tajam antara
angkatan kerja yang tradisional dengan golongan elite pimpinan yang modren. Pertanian
perkebunan adalah cara yang jauh lebih efektif untuk mengawinkan tenaga kerja industrial
dengan sarana produksi industrial daripada industri manufaktur. Sesudah dalam keadaan
yang relatif konstan, untuk waktu yang lama, konsumsi perkapita di Indonesia sekarang
barang kali merosot, tetapi masih tetap lebih tinggi dari pada konsumsi perkapita India,
8
Maroko. Walaupun ada kecenderungan besar yang sudah berlangsung selama satu setengah
abad menuju kelumpuhan ekonomi, ekonomi Indonesia masih memiliki kekendoran yang
belum digunakan masih memiliki potensi untuk tumbuh. Yang menyedihkan adalah bahwa
potensi ini tampaknya juga sedang dalam proses untuk disia-siakan begitu saja. Kecuali usaha
minyak bumi dan pertambangan lainnya, dan usaha manufaktur sekedarnya, kemungkinan
untuk menanamkan modal dalam ekonomi pertanian tampaknya menyangkut tiga hal.
Pertama, ada satu kemajuan teknis yang penting dalam pertanian Jepang yang belum
sepenuhnya di terapkan di Jawa yaitu pemupukan dan pemilihan bibit unggul. Kedua, ada
revolusi pertanian dari perladangan ke pengusahaan kebun-kebun perdagangan di berbagai
tempat di Indonesia luar. Dan ketiga, ada sektor onderneming yang lama, yang sekarang
kebanyakan dibawah manajemen negara.
Sejak revousi, proporsi yang lebih besar dari jumlah kenaikan penduduk yang telah di
serap dan di tampung ke kota-kota, baik sebagai pegawai negeri yang jumlahnya berlebihan,
sebagai pelajar atau mahasiswa sambilan, sebagai pedagang yang setengah menganggur, dan
sebagai buruh tidak berketerampilan dan tidak bermata pencaharian. Demikianlah, Indonesia
kini bergeser dari industrialisasi tanpa urbanisasi ke urbanisasi tanpa industrialisasi. Tetapi
apabila sebahagian besar kenaikan produktivitas pertanian itu dapat disalurkan ke investasi
sektor industri ( termasuk investasi dalam modal manusiawi) maka penumpukan dan lain
lainnya itu agaknya akan dapat sungguh-sungguh memberikan sumbangan yang dinamis pada
keadaan ekonomi umumnya. Kalau tidak disalurkan demikian , kenaikan itu hanya akan lebih
mempercepat proses involusi, bukan hanya dalam bidang pertanian belaka, tetapi diseluruh
masyarakat.
Proses Involusi yang terjadi di Jawa merupakan bagian langsung dari alam ekonomi
dimana penanaman tanaman industrial tersebut diatas terjadi dan ini lebih besar pengaruhnya
daripada pergeseran harga di pasaran dunia atau perubahan teknologi. Secara keseluruhan
produksi baahan-bahan ekspor dari perkebunan-perkebunan pada tahun 1955 kira-kira hanya
tiga produksi. Produksi tahun 1938 : dan kalau karet yang waktu hidupnya sudah terbatas itu
tidak turut di perhitungkan, angka itu akan merosot hingga kurang dari setengahnya.
Pertanian perkebunan dewasa ini hampir tidak dapat dikatakan sebagai pelopor dalam bidang
apapun juga, kecuali dalam soal kemacetan dan kehancuran.
Dalam pengambil alihan perkebunan-perkebunan Belanda pada tahun 1957, kira-kira
separuh dari seluruh hasil perkebunan berada langsung dibawah kekuasaan pemerintah,
sedangkan separuh lagi, untuk sementara tetap berada di dalam tangan asing. Namun
kurangnya tenaga yang terdidik dalam pucuk pimpinan, mengakibatkan makin meluasnya
9
kemacetan dalam roda pemerintahan, dan makin menghebatnya ektremisme di bidang
ideologi sebagai akibat dari kegelisahan umum, agaknya tidak akan memungkinkan
kebangkitan kembali itu. Dalam pertengahan tahun 1959 keadaan keungan merosot, keadaan
sosial masyarakat merosot, dan dalam segala bidang kita merosot. Oleh karena itu pencarian
diagnosis yang benar dari rasa gerah yang terdapat di Indonesia akan membawa orang jauh
melampaui analisis proses ekologi dan proses ekonomi, dan memasuki penelitian mengenai
dinamik politik, sosial, dan kebudayaan bangsa indonesia

10
BAB III
PEMBAHASAN CRITICAL BOOK REPORT

A. Latar belakang masalah yang akan dikaji


Buku ini ditulis oleh penulis dilatar belakangi oleh involusi pertanian yang ada di
Indonesia khususnya wilayah Jawa dan luar Jawa. Penulis menggambarkan involusi dengan
taraf produktifitas yang dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Involusi pertanian
yang terjadi di Indonesia berpengaruh pada kemiskinan yang menimpa masyarakat Indonesia.
Dalam buku ini penulis menjelaskan proses perubahan ekologi di Indonesia mulai dari zaman
purba hingga zaman penjajahan: berkembang.

B. Permasalahan yang akan dikaji


Terkait latar belakang masalah yang akan dikaji maka dari itu permasalahan yang akan
dikaji dalam buku ini yaitu bagaimana involusi pertanian terjadi di Indonesia sehingga
berdampak pada kemiskinan di Indonesia.

C. Kajian teori yang digunakan/konsep yang digunakan


Teori atau konsep yang kami gunakan dalam mereview buku ini menggunakan teori
deskriptif, dimana kami menjelaskan isi dari buku Involusi Pertanian ini setiap bab agar lebih
mudah untuk dipahami.

D. Metode yang digunakan


Metode yang kami gunakan dalam memahami isi buku ini yaitu metode kalimat dengan
cara membaca menelaah kalimat demi kalimat yang ada dalam bacaan, agar lebih memahami
isi buku. Selain itu agar lebih mudah memahami isi buku dan mendapatkan hasil atau laporan
CBR yang efektif kami menggunakan buku pembanding yang berjudul Sosiologi Pedesaan
dan Pertanian karangan Rahrdjo untuk dijadikan acuan dalam menganalisis buku Involusi
Pertanian.

E. Analisis Critical Book Report


Untuk menganalisis buku Involusi Pertanian karangan Clifford Geertz yang
diterjemahkan oleh S. Supomo, tidaklah akurat data yang kami peroleh dalam menganalisis
buku tersebut jika tidak ada buku pembanding. Maka dari itu kami menggunakan buku yang
berjudul Sosiologi Pedesaan dan Pertanian karangan Rahardjo sebagai pembanding untuk
menganalisisnya.
Pada buku Sosiologi Pedesaan dan Pertanian karangan Rahardjo menjelaskan mengenai
sejauh mana pertanian dengan segala karakteristik yang melekat ( lingkungan) dapat

11
mempengaruhi atau bahkan menciptakan suatu bentuk komunitas dan sejauh mana manusia
dengan tingkat peradaban atupun pola kebudayaannya mampu mengubah dan menguasai
alam dalam bentuk budi daya pertanian. Sedangkan dalam buku Involusi Pertanian karangan
Clifford Geertz yang diterjemahkan oleh S. Supomo menjelaskan mengenai proses perubahan
ekologi pada pertanian di Indonesia yang berpengaruh pada pendapatan perkapita
masyarakat di Indonesia atau lebih tepatnya involusi pertanian.
Kedua buku ini memiliki persamaan. Penulis sama- sama membahas wilayah pertanian
di Jawa dalam contoh kajiannya. Meskipun tidak sebanyak buku Involusi pertanian.

Kelebihan Buku
 Dilihat dari aspek tampilan buku, buku Involusi Pertanian merupakan buku yang
menampilkan gambar yang yang dapat mewakili isi buku, dengan perpaduan warna
putih keabu-abuan yang menambah elegan buku ini, yang memiliki makna bahwa putih
merupakan warna yang memiliki integritas yang kuat yang menyangkut mutu, sifat, atau
keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan
kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran, yang merupakan hal yang
memang harus diterapkan dalam setiap penulisan yang berkualitas dan bermutu tinggi,
serta memiliki bobot edukasi yang mumpuni. Selain itu warna keabu-abuan pada buku
ini, juga bermakna serius, bisa di andalkan dan warna abu-abu adalah warna alam1, yang
mencakup pada bagian isi dan pembahasan yang berkaitan erat dengan ekologi / alam.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa editor menggunakan perpaduan warna yang
beragam di dalam sebuah karya bukan hanya sebagai penambah nilai estetik buku, tetapi
juga memiliki tujuan menyampaikan pesan secara tidak langsung berdasarkan makna
dari perpaduan warna yang dituang dalam cover buku kepada para pembaca, untuk
menerangkan bagaimana sebenarnya kualitas dan bobot buku yang disajikan.
 Dari aspek layout dan tata letak, serta tata tulis, termasuk penggunaan kata, penggunaan
font sudah baik, font yang digunakan dalam buku Utama dan buku pembanding adalah
font Times New Roman dan Book Antiqua, yang tergolong kedalam jenis tulisan serif,
yang ujungnya lancip dan memberi efek membaca lebih cepat, dan jenis tulisan ini cocok
digunakan untuk buku-buku yang perlu dibaca menerus dan cepat, misalnya koran, buku

1
Psikologi dan Arti War na. https://nasional.kompas.com>2008/10/09 menjelaskan bahwa warna abu-abu
memiliki arti serius, bisa diandalkan dan stabil. Warna abu-abu merupakan warna yang permanen, misalnya batu
atau karang

12
novel dan kisah sejarah.2 Dan penggunaan tulisan yang digunakan penulis pada buku
Involusi Pertanian dan Sosiologi pedesaan dan pertanian ini, merupakan salah satu
strstegi pemilihan penulisan yang tepat, karena memang dilihat dari segi isi buku yang
membahas mengenai sejarah ekologi, perubahan, dan perkembangan sistem pertanian di
Indonesia. Serta merupakan tindakan yang tepat bagi penulis untuk memberikan
pemahaman yang lebih kepada pembaca dalam memahami buku Involusi Pertanian
tersebut dengan strategi pemilihan font yang tepat sesuai keinginan maupun arahan yang
di harapkan penulis kepada pembaca, berupa hal yang membuat pembaca mampu
memaknai tulisan yang di uraikan penulis, dengan tujuan positif, yakni menghadirkan
pemahaman yang kuat bagi para pembaca. Dan jika dilihat dari aspek lainnya susunan
huruf-huruf pada buku utama dan pembanding, tertata dengan rapi, ukurannya sudah
tepat, tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar serta tidak ada kesalahan dalam penulisan.
Tata letak gambarnya juga sudah sangat cocok, membuat para pembaca tidak bosan
karena disetiap tulisan diselingi dengan gambar dan penjelasannya yang menarik.
 Dari aspek isi buku, isi buku Involusi Pertanian yang kami review ini, memiliki materi
serta penahapan materi yang konsisten dan relevan, dan dapat dilihat dari pembahasan
materi bab 1 sampai dengan bab 3, yang memiliki progres dan kesignifikanan penulisan
dalam penyajian materinya, sehingga tidak ada materi yang memiliki alur maju mundur /
melompat-lompat. Dan dapat disimpulkan bahwa, penulisan, penahapan materi serta
penyajian dalam isi buku ini, sangat sistematis serta saling berkesinambungan antara
materi 1 dengan materi yang lainnya. Selain itu dalam buku Involusi Pertanian ini
penulis juga mencantumkan footnote (catatan kaki) yang memperkuat sumber kalimat
yang diungkapkan penulis dengan melakukan perujukan sumber kepada pembaca untuk
lebih mendalami pembahasan materi dalam ruang lingkup yang lebih luas.
 Dari aspek tata bahasa ,buku Involusi Pertanian menggunakan penulisan dan penggunaan
bahasa sesuai dengan standart EYD yang baik. Kemudian, buku ini juga memiliki
perbendaharaan kata yang luas sehingga dapat menambah wawasan pembaca.
Kekurangan Buku
 Dilihat dari aspek tampilan buku, kekurangan yang dapat dilihat dari tampilan buku ini
akan selalu berbeda dalam perspektif orang yang memandang, namun kami sebagai

2
Memilih Font yang PAS untuk Buku Anda – Penerbit Garudhawaca.
http://penerbitgarudhawaca.com/memilih-font-yang-pas-untuk-buku-anda/. Pada perinsipnya font digolongkan
menjadi dua, yaitu font serif dan san serif. Serif itu ujungnya lancip sedang san serif yang tumpul. San serif
yang terkesan tegas akan memberi efek lambat dalam membaca oleh karena itu buku-buku akademik
disarankan memakai ini. Jenis tulisan serif merupakan jenis tulisan yang memiliki ciri ujungnya lancip yang
memberi efek membaca lebih cepat dan ini pemilihan penulisan untuk koran, buku novel dan kisah sejarah.

13
pereview memandang buku ini memiliki tampilan yang jika dibandingkan dengan buku
Sosiologi Pedesaan dan Pertanian karangan Rahardjo, buku ini terlihat lebih sederhana,
jika tidak dimaknai dengan baik, perpaduan warna pada buku ini pun lebih cenderung
didominasi oleh dua warna dasar, yakni hitam dan putih yang di ballancekan dengan
perpaduan warna abu-abu, sehingga buku ini terkesan klasik. Namun dalam buku
sosiologi pedesaan dan pertanian karangan Raharjo buku ini memiliki kelebihan dalam
desain cover atau tampilan buku. Karena pada buku ini cover menggambarkan isi dari
buku yang dibuat penulis. Penulis menambahkan gambar masyarakat atau orang yang
sedang melakukan hal yang berhubungan dengan pertanian ditambah dengan warna
cover hijau yang melambangkan pada pertanian. Sehingga dari segi cover saja pembaca
sudah memahami isi buku yang akan dibacanya.
 Dari aspek isi buku, buku ini memiliki materi dengan tahapan pembahasan materi yang
disajikan secara lengkap dan sistematis, namun penggunaan kata yang sukar di cerna
pada buku ini memiliki bobot yang tinggi, sehingga kami sebagai pereview buku ini pun
harus membaca berulang-ulang kali, hanya untuk sekedar memahami satu paragraf utuh.
Serta memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk mengenahui makna yang hendak
disamapaikan penulis kepada pembaca melalui kalimat-kalimat penjelas. hal ini
dikarenakan, Buku involusi yang kami review adalah sebuah buku terjemahan yang
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan pemilihan kalimat, diksi dalam
memaknai kaliamat yang hendak di sampaikan penulis di dalam bahasa asing. Dan hal
ini berdampak negatif kepada pembaca yang susah mencerna tulisan dan merasa buku ini
menjadi membosankan. Namun dilihat dari luar isi buku yang terjemahan perivew yakin
bahwa buku ini memiliki kualitas yang bagus , serta memiliki bobot edukasi yang tinggi,
jika dalam segi penerjemahan dilakukan dengan menggunakan pemilihan bahasa dan
pemaknaan yang baik terhadap buku aslinya.

14
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dalam hal ini perivew mengambil kesimpulan dari 2 aspek. Pertama, dari aspek
pembahasan, pembahasan menganai buku involusi pertanian oleh Clifford Geertz, dapat
disimpulkan bahwa involusi merupakan pertumbuhan kembali menjadi bentuk yang lebih
sederhana, jika di kaitkan kedalam isi buku dapat dilihat bahwa perubahan sistem pertanian
yang terjjadi pada masyarakat indonesia memiliki arus turun naik, yang semula warga
indonesia dan luar indonesia yang sejatinya memiliki keahlian bertani, banyak yang
melakukan putar haluan untuk mengubah lahannya menjadi lahan perkebunan yang di tanami
berbagai tanaman expor yang dianggap memiliki nilai jual yang tinggi dan dapat memajukan
kehidupan masyarakat pada saat itu, tentunya ini tidak lepas dari pengaruh VOC sebagai
orang yang melakukan penjajahan di indonesia untuk beralih menjadi orang orang yang
memprioritaskan lahannya unruk hasil-hasil perkebunan, yang sempat mengakibatkan
kurangnya pemasok bahan pokok seperti beras yang terjadi di indonesia luar, seperti
minangkabau yang sempat tidak memiliki beras karna terlalu berfokus pada tumbuhan-
tumbuhan yang menghasilkan barang barang expor. Namun karena kurangnya keahlian dan
kodal para petani dalam mengelola perkebunannya maka semua kembali untuk bertani.
Selain itu jika dilihat dalam segi masa penjajahan tentunya nilai jual barang yang di hasilkan
masyarakat akan di jual kepada VOC yang tentunya memanfaatkan hal tersebut untuk
mendapatkan keuntungan yang besar dari penjualan barang-barang tersebut kepada negara-
negara eropa.
Dalam segi buku, buku ini memiliki keunggulan yang baik, namun karna kurangnya
penggunaan bahasa yang tepat pada terjemahan, buku ini terasa memiliki tingkat kesukaran
yang tinggi bagi pembaca untuk memahami maksud yang di tuju / maksud yang hendak
disampaikan oleh penulis. Sehingga tidak heran bila pembaca merasa bosan dengan isi buku
tersebut dengan resiko turunnya minat untuk membaca buku ini.

4.2 Rekomendasi
Saran yang dapat kami berikan yaitu, pertama dari segi materi yang ditawarkan buku,
memang memiliki kualitas yang bagus, namun karena penerjemahan kata dan makna dalam
buku yang tidak tepat, membuat buku ini seakan memiliki citra yang cukup baik walau
dalam versi aslinya buku ini memiliki kualitas dan bobot edukasi yang mumpuni. Dari hal ini
perivew mengajak pembaca, penulis untuk mengembangkan dan melakukan penyederhanaan
bahasa di dalam penggunaan kalimat penjelas untuk dapat menterjemahkan makna dan
kalimat yang baik dan berkesinambungan, sehingga tingkat kesukaran bahasa pada kalimat
penjelas di dalam buku dapat terminimalisir.

15
DAFTAR PUSTAKA

Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia.


Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Rahardjo. 2016. Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

16

Anda mungkin juga menyukai