ABSTRAK
Sejak awal abad ke 20 hingga sekarang, sebagaimana terekam dalam literatur
dan ensiklopedia, umumnya hubungan antara kebudayaan dan perilaku manusia dengan
pembudidayaan tanaman padi dapat dipahami melalui cara bercocok tanam. Pada
beberapa daerah di Jawa Tengah perilaku petani dalam usahatani padi berdasarkan
warisan leluhur yang diberikan secara turun temurun membekas hingga sekarang
sebagai kearifan lokal setempat. Permasalahan muncul saat pemerintah menggenjot
peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus tumbuh
dengan cepat dan alih fungsi lahan pertanian yang tak terkendali. Namun terkadang
muncul benturan dengan kebiasaan petani dalam membudidayakan padi dengan
komponen teknologi yang diintroduksikan pemerintah. Tulisan ini akan mereview
kebiasaan petani dalam berusaha tani, khususnya padi di beberapa Kabupaten di Jawa
Tengah, yang dilakukannya secara turun temurun dan sudah menjadi kearifan lokal
(local wisdom) setempat. Metode penelitian yang dipakai adalah menggunakan survey,
dengan teknik interview mendalam kepada tokoh masyarakat (key person). Sampel
dipilih secara purposif, dengan pertimbangan bahwa tidak semua daerah memiliki
kearifan lokal yang sangat spesifik. Penelitian dilaksanakan tahun 2011 dengan
mengeksplorasi pengalaman peneliti dalam melakukan kegiatan di beberapa daerah.
Data dan informasi yang terkumpul dianalisis dengan cara deskriptif eksploratif dan
disajikan secara kaulitatif. Hasil penelitian menginformasikan bahwa terdapat beberapa
perilaku petani dalam bercocok tanam padi, seperti (1) penentuan tanggal tanam saat
tabur (Tegal); (2) penggunaan batang kates untuk hama keong emas (Banyumas); (3)
penggunaan bangkai kepiting untuk memikat walang sangit (Sragen); (4) menggunakan
telur OPT di lahan untuk diamati (Pati); (5) menghindari tanam bulan pebruari
(Grobogan), dan lainnya. Kearifan lokal di beberapa daerah tersebut ternyata mampu
mendukung kelestarian lingkungan, melanggengkan budaya, dan mendukung
peningkatan produksi padi. Disarankan untuk mendayagunakan lokal wisdom tersebut
sebagai upaya dalam melestarikan budaya dan mengamankan lingkungan.
Kata kunci: identifikasi, kearifan lokal, usahatani, padi
PENDAHULUAN
Sejak awal abad ke 20 hingga sekarang, sebagaimana terekam dalam literatur
dan ensiklopedia, umumnya hubungan antara kebudayaan dan perilaku manusia dengan
pembudidayaan tanaman padi dapat dipahami melalui cara bercocok tanam (Siregar,
1987). Pengetahuan petani tentang cara bercocok tanam sebenarnya telah dimiliki
secara turun temurun dari nenek moyangnya yang biasa dikenal dengan kearifan lokal
153
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Juni, 2013
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
154
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Juni, 2013
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
yang masih dilakukan oleh petani walaupun kian hari tergerus oleh perkembangan
teknologi yang ikut mempengaruhi pengetahuan mereka.
METODE
Metode penelitian yang dipakai adalah menggunakan survey, dengan teknik
interview mendalam kepada tokoh masyarakat (key person). Sampel dipilih secara
purposif, dengan pertimbangan bahwa tidak semua daerah memiliki kearifan lokal yang
sangat spesifik. Penelitian dilaksanakan tahun 2011 dengan mengeksplorasi pengalaman
peneliti dalam melakukan kegiatan di beberapa daerah. Data dan informasi yang
terkumpul dianalisis dengan cara deskriptif eksploratif dan disajikan secara kaulitatif.
155
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Juni, 2013
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
156
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Juni, 2013
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Pilihan tanggal 22 Juni sebagai hari pertama dalam kalender pranoto mongso
menurut Wisnubroto, (2000) mempunyai alasan, bahwa tanggal ini merupakan hari
pertama bergesernya kedudukan matahari dari garis balik utara ke garis balik selatan.
Perpindahan kedudukan matahari berhubungan dengan keadaan unsur-unsur
meteorologist suatu wilayah yang akan berpengaruh pada fenologi tanaman dan hewan
yang merupakan dasar utama indikator mangsa dalam pranoto mongso.
Sebagaimana ditulis oleh Wiriadiwangsa, (2005); dan Simanjuntak, at all; 2010:
dalam Fidiyani, at all (2008) Indikator perpindahan mangsa didasarkan pada
penampakan rasi bintang sebagai penunjuk. Indikator ini dapat dimanfaatkan untuk
memperkirakan permulaan musim hujan dan permulaan musim kemarau. Meski
indikator ini diakui sangat sulit, indikator dan rasi bintang dapat dilihat dalam tabel 2.
Tabel 2. Tafsir Indikator Masing-Masing Mangsa dan Bintang Penunjuk
Mangsa Indikator Tafsir Bintang penunjuk
1 Sotya murca saka Dedaunan gugur Sapi gumarang
embanan
2 Bantala rengka Permukaan tanah retak Tagih
3 Suta manut ing bapa Tanaman yang menjalar (ubi) Lumbung
tumbuh dan mengi-kut
penegaknya (lanjaran)
4 Waspa kemembeng Sumber air banyak yang Jaran dawuk
jroning kalbu kering
5 Pancuran emas su- Mulai musi hujan Banyak angrem
mawur ing jagad
6 Rasa mulyo kesuci- Pohon buah-buahan ber-buah Gorong mayit
an
7 Wisa kentar ing ma- Munculnya banyak pe-nyakit Bima sakti
ruta
8 Anjrah jroning ka- Periode kawin beberapa Wulanjar ngirim
yun macam hewan
9 Wedaring wacana Gareng (tonggreret) ber- Wuluh
mulya bunyi
10 Gedhing minep jro- Beberapa macam ternak Waluku
ning kalbu bunting
11 Sotya sinarawedi Telur burung menetas dan Lumbung
induknya menyuapi anak-nya
(ngloloh)
12 Tirta sah saking sas- Orang sukar berkeringat Tagih
ana
Sumber: Fidiyani, at all (2008)
Gejala alam dijadikan penanda bagi petani dalam memperkirakan kapan musim
hujan mulai dan berhenti serta kapan kemarau panjang akan terjadi. Hal ini dapat
diketahui dengan indikator pranoto mongso. Sebagai contoh berbunyinya tongeret
(Tibicen Sp) merupakan penanda musim kemarau sudah dekat (Simanjuntak, at all;
2010). Kenyataan di lapangan bahwa kalender pranoto mongso ini masih menjadi
157
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Juni, 2013
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
pilihan petani sebagai suatu karifan lokal jawa dalam mempersiapkan diri untuk mulai
bercocok tanam, walaupun adanya fenomena global yang mempengaruhi pergeseran
musim hujan yang akan mempengaruhi masa tanam petani.
Terkait dengan kearifan lokal, terkadang petani telah mempunyai pengetahuan
lokal (local knowledge) dengan inovasi teknologi yang diperkenalkan oleh pemerintah,
seperti inovasi PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) yang telah digalakkan untuk di
terapkan, dengan tujuan untuk mendongkrak produksi padi. Beberapa komponen PTT,
seperti tanam benih muda umur kurang dari 21 hari untuk memperpendek masa bero
ternyata erat kaitannya dengan kearifan lokal yang sudah dilaksanakan oleh petani. Apa
yang dinamakan sistim metok 14 hari, 12 hari dengan lahan tetap digaru untuk
memperbaiki aerasi tanah telah dilaksanakan oleh petani di Jawa tengah. Keuntungan
tanam pindah dengan menggunakan bibit muda umur kurang dari 21 hari adalah
tanaman tidak stres akibat pencabutan bibit di persemaian, pengangkutan, dan
penanaman kembali di sawah.
Kearifan Lokal dalam pengendalian OPT dan Lingkungan
Masyarakat pedesaan umumnya sangat mengenal lingkungannya dengan baik.
Mereka hidup dalam berbagagai ekosistem alami, dan telah lama hidup berdampingan
dengan alam secara harmonis, sehingga mereka sangat mengenal berbagai cara
memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan, termasuk pengetahuan dalam
mengendalikan OPT tanama padi. Di Banyumas dan beberapa daerah lain di Jawa
Tengah petani memanfaatkan batang pepaya untuk umpan keong mas, yang sering
mengganggu pertanaman padi. Perkembangbiakan keong mas amat cepat apabila tidak
dikendalikan. Dari telur hingga menetas keong mas hanya butuh waktu 7-14 hari. Satu
ekor keong mas dalam satu bulan dapat menghasilkan telur 1000 butir dengan masa
hidup dewasa selama 3 tahun (Pitojo, 1996)
Batang pepaya (Carica papaya) yang digunakan oleh petani adalah batang yang
sudah tidak produktif lagi sehingga pepaya yang masih produktif masih bisa
dimanfaatkan lagi. Umpan berupa daun pepaya tidak lepas dari kebiasaan keong mas
yang suka memakan jaringan dari tumbuhan. Pemanfaatannya dengan cara batang
pepaya dibelah-belah, lalu diletakkan di sawah yang terserang hama keong mas.
Jumlahnya tergantung dari besar kecilnya serangan. Batang pepaya yang besar
menyebabkan keong mas yang terperangkap lebih banyak. Mengapa petani
menggunakan batang pepaya sebagai pengendali alami hama keong mas?
Pepaya tumbuh hampir diseluruh wilayah Indonesia, sehingga mudah didapat.
Petani menggunakan batang pepaya untuk mengendalikan penyebaran hama keong mas,
karena batang pepaya sangat efisien, murah, dan praktis. Selain itu keong mas yang
tertangkap dapat digunakan untuk pakan itik, pakan ikan, maupun makanan untuk
manusia karena keong yang mati tidak berbahaya atau beracun seperti jika memakai
pestisida.
Contoh kearifan lokal yang ditulis oleh Suhartini, (2009) seperti nyabuk gunung,
merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut
158
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Juni, 2013
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng bukit sumbing dan sindoro. Cara ini
merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut garis
kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di Dieng yang bercocok tanam
dengan membuat teras yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya
longsor. Masih banyak contoh-contoh lain yang tidak memungkinkan untuk dituangkan
dalam paper yang sangat terbatas ini tentang kearifan lokal yang dilakukan oleh petani
di Jawa yang berkaitan dengan bercocok tanam padi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kearifan lokal seperti penggunaan kalender pranoto mongso masih dilakukan
oleh petani yang diperoleh secara turun temurun dari nenek moyangnya. Walaupun
keberadaan pranoto mongso kian tergerus oleh adanya modernisasi pertanian seperti
adanya irigasi teknis, kerumitan perhitungan pranoto mongso, tidak tertariknya generasi
muda untuk mempelajarinya, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Effendy, Sobri. 2001. Urgensi Prediksi Cuaca dan Iklim di Bursa Komoditas Unggulan
Pertanian. Bogor: Program Pasca Sarjana/S3, Institut Pertanian Bogor:
Fidiyani R, dan U Kamal, 2008 Cara Berhukum Orang Banyumas dalam Pengelolaan
Lahan Pertanian. Studi Berdasarkan Perspektif Antropologi Hukum. Fakultas
Hukum Universitas Negeri Semarang.
Setijo, P. 1996. Petunjuk Pengendalian dan Pemanfaatan Keongmas. Trubus Agriwidia.
Ungaran
Simanjuntak, Bistok Hasiholan; Sri Yulianto J.P. dan Krsitoko Dwi H. 2010.
Penyusunan Model Pranatamangsa Baru Berbasis Agrometerorologi dengan
Menggunakan LVQ (Learning Vector Quantization) dan MAP Alov untuk
Perencanaan Pola Tanam Efektif, Laporan Akhir Hibah Bersaing Tahun Ke 1.
Salatiga: Universitas Satyawacana.
Siregar, Hadrian, 1987. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Jakarta. Sastra Budaya.
Sunaryo dan L. Joshi. 2003. Peranan pengetahuan ekologi lokal dalam sistem
agroforestri. Bahan Ajaran 7. World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast
Asia Regional Office, Bogor, Indonesia : 28 pp.
Wiriadiwangsa, Dedik. Pranoto mongso Masih Penting Untuk Pertanian. Tabloid
Sinar Tani, Edisi 9 15 Maret 2005;
Wisnubroto, Sukardi. Sumbangan Pengenalan Waktu Tradisional Pranoto mongso
pada Pengelolaan Hama Terpadu. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia
Vol. 4 No. 1, 2000;
.
159