Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana masyarakat Benuaq di
Kecamatan Muara Lawa mengelola sistem pertanian meliputi klasifikasi ladang,
tahapan pengerjaan ladang, pengetahuan keanekaragaman varietas padi, pembagian
kerja dalam pengerjaan ladang, dan suksesi lahan ladang yang diberakan. Penelitian
ini menggunakan pendekatan etnobotani: pendekatan digunakan untuk memperoleh
data-data etnobotani varietas padi dan sistem peladangan berpindah tradisonal. Data
diperoleh dengan teknik parstisipasi langsung dan wawancara langsung dengan
informan kunci tentang kegiatan dan persepsi mereka tentang peladangan yang
mereka lakukan. Wawancara bebas dilakukan untuk mengetahui pengetahuan mereka
tentang aktifitas peladangan termasuk keanekaragaman padi. Kemudian data
kuantitatif diperoleh dari kuisioner yang dikombinasikan dengan wawancara
terstruktur dengan informan kunci. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem lokal,
praktek dan preferensinya menjaga keanekaragaman padi mereka. Sistem
perladangan padi pada lahan kering, pemilihan lahan untuk ladang, tumbuhan
indikator kesuburan dan kisaran luas ladang masyarakat Benuaq mengindikasikan
pengalaman mereka dalam mengelola pertaniannya. Pengetahuan dan keterlibatan
secara krusial dalam mengembangkan sumberdaya alam yang lestari. Sayangnya
telah terjadi degradasi pengetahuan lokal pada kalangan muda masyarakat Benuaq.
Abstract
This research aim to study how to Benuaq society around Muara Lawa
District, manage agriculture system, internal knowledge about rice varieties, labor
distribution, and successional of land fallow. This research use ethnobotanical
approach: the approach used is collecting ethnobotanical data of rice varieties and
traditional system of shifting cultivation. Data was obtained by using direct
participatory technique by interview the people (key informants) about their practice
and perception. The interviews were unstructured open-ended discussion on
knowledge and farming activities included about diversity in rice varieties.
Subsequently, quantitative data from questionnaires was combined with depth-
interview data from key informants. As a result the Benuaq indigenous systems,
practices and preferences are guarded towards maintaining rice diversity. The Benuaq
systems of upland rice cultivation, site selection for umaq establishment, fertility
indicator plant species and cultivation of a wide range of upland rice varieties indicate
a clearly sophisticated knowledge system at work. Their knowledge and involvement
are crucial in sustainable development on these natural resources. Unfortunately there
has been degradation in the indigenous knowledge among the young Benuaqs.
Pendahuluan
Perladangan berpindah merupakan suatu lapangan usaha para petani untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang sampai saat ini masih terus dilakukan di
Kalimantan Timur. Sebagian besar masyarakat Dayak mempraktekkan sistem
perladangan berpindah dan padi merupakan tanaman utama dalam sistem perladangan
mereka. Kegiatan perladangan ini merupakan perwujudan dari akal pikiran manusia
yang selalu mengikuti bioritme alam sekitarnya, sehingga berhasil menciptakan
teknik pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada di sekitarnya.
Teknik tersebut untuk mewujudkan kesejahteraannya baik secara kualitatif maupun
kuantitatif dengan menggerakkan tenaga, daya dan modal dalam menggali sumber
daya alam yang tersedia, sehingga tercipta upaya pemanfaatan hutan yang
dilaksanakan oleh manusia baik secara modern maupun tradisional.
Sistem perladangan berpindah tradisonal (swidden cultivation) ditemukan
pada banyak wilayah di kawasan tropis. Dove (1983) menyatakan bahwa sistem
perladangan berpindah dipraktekkan oleh 240 sampai 300 juta penduduk di daerah
tropis. Sistem pertanian ladang ini dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang
panjang jika mampu beradaptasi dan berintegrasi dengan kondisi lokal, dan mendapat
dukungan dari strategi subsisten lainnya.. Selain itu, akses lahan dan sumberdaya
alam lainnya harus terjamin serta daya dukungnya tidak terlampaui. Masyarakat
Benuaq salah satu masyarakat lokal di Kalimantan Timur yang masih melakukan
aktivitas peladangan berpindah, meramu dan berburu untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Masyarakat tradisional ini merupakan salah satu kelompok masyarakat
lokal yang menghadapi tekanan dinamika budaya akibat perkembangan Indonesia
yang cepat dan desentralisasi sektor kehutanan.
Masyarakat Dayak Benuaq merupakan bagian dari kelompok Dayak
Lawangan dan perkampungan mereka terletak sepanjang anak-anak Sungai Mahakam
sebelah selatan. Pertanian ladang berpindah mempunyai sejarah panjang dalam
kehidupan masyarakat Dayak Benuaq. Pada masa lalu perkampungan mereka selalu
berpindah-pindah karena aktifitas perladangan dan mencari tempat yang aman dari
serangan musuh manakala terjadi perang antar suku Dayak, namun pada saat ini
88
dari berladang; b) penduduk kampung ini relatif homogen (penduduk asli) yang
merupakan konsekuensi dari penelitian yang dilaksanakan yaitu untuk meneliti
etnoekologi perladangan masyarakat Benuaq; c) masih banyak orang tua yang
mengetahui tentang adat tradisional mereka.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Alat rekam
suara, rol meter ukuran 50 meter, kompas, peta, diameter tape, altimeter, soiltester,
clinometer, hygrometer, magnifying lope, binokuler, jangka sorong, mistar, parang,
gunting stek, haga altimeter, tali plastik, kantong plastik berbagai ukuran, amplop
sample, kertas mounting, label gantung, kertas koran, kantong plastik, sasak, kamera,
film dan alat-alat tulis.
Bahan kimia yang digunakan adalah alkohol 70%, formalin 5%, dan spiritus.
Metode Penelitian
a. Pengumpulan data etnoekologi dan etnobotani di lapangan mela lui dua
pendekatan: emik dan etik
i. Pendekatan emik (pengetahuan)
1. Membuat deskripsi tentang satuan-satuan lingkungan berkaitan dengan
sistem perladangan yang dikenali masyarakat (praxis).
2. Menyusun kembali pola pemikiran masyarakat tadi ke dalam sebuah
sistem melalui daftar pertanyaan baku. Selanjutnya dilakukan berbagai
teknik wawancara seperti wawancara semi terstruktur (Grandstaff &
Grandstaff, 1987), wawancara terstruktur dan wawancara bebas (open
ended) (Gambar 13). Daftar pertanyaan baku yang disiapkan meliputi:
- Klasifikasi ladang.
- Tata cara dan siklus perladangan.
- Luas ladang dan jumlah produksinya.
- Jenis tanaman budidaya selain padi.
- Pembagian kerja dalam pengolahan ladang.
- Kondisi lahan dan suksesi perladangan.
90
Hasil
Klasifikasi ladang
Sistem peladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat Benuaq
umumnya bersifat rotasi pemakaian lahan atau dikenal dengan istilah lokal
perladangan gilir-balik (rotational cultivation). Setelah satu hingga dua kali panen
ladang akan diberakan untuk waktu yang tidak ditent ukan, tergantung suksesi alami
dari lahan tersebut. Bekas lahan tadi akan tumbuh menjadi belukar sampai menjadi
hutan sekunder dan merupakan warisan turun-temurun bagi keluarga si penggarap.
92
Lokasi perladangan umumnya di luar kawasan kampung dikenal dengan istilah umaq
lati tana. Kawasan ini memang dikhususkan untuk kegiatan pertanian terutama
peladangan berpindah (shifting cultivation). Peladangan berpindah adalah suatu
bentuk kegiatan pertanian pada masyarakat pedalaman umumnya dan masyarakat
Dayak khusus nya yang berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan
bercocok tanam yang disesuaikan dengan kondisi dan kaidah-kaidah ekologi
setempat, secara mudah dan murah.
Suku Dayak dalam berladang berprinsip pada pola daur penggunaan lahan
dalam skala lokal yang sering dicampurbaurkan dengan perpindahan penduduk
(migrasi). Berdasarkan urutan pengerjaan ladang dan setelah masa panen yang
pertama masyarakat Dayak Benuaq mengklasifikasikan ladang sebagai berikut:
1. Baber
Baber adalah areal ladang yang terus digunakan untuk kegiatan berladang
pada tahun ke dua. Hal ini dipertimbangkan karena lahan masih produktif, walaupun
lahan baber ini sudah ditumbuhi beberapa jenis tumbuhan gulma terutama kelompok
tumbuhan perintis. Lahan ini umumnya ditanami jagung, ubi kayu dan talas
disamping tanaman utama padi ladang. Pengerjaan ladang pada lahan ini lebih
dominan dikerjakan oleh kaum wanita sehingga secara hukum adat Benuaq hasil
ladang yang dibuat pada satuan lingkungan ini merupakan milik kaum ibu.
2. Kelewako
Kelewako adalah areal ladang yang terus digunakan hingga tahun ke tiga atau
merupakan lanjutan dari baber. Pengerjaan ladang pada tipe ini lebih berat jika
dibandingkan dengan baber karena beberapa jenis tumbuhan perintis berkayu telah
berukuran agak besar. Biasanya peladang hanya menanami sebagian dari areal ladang
dengan tanaman ubi kayu (jebao), ubi jalar (ayaq), talas (tenayan atau tonai).
Peladang mungkin lebih menghargai rotasi tanaman karena cara ini mengurangi
tenaga kerja dan persyaratan distribusi tenaga kerja selama suatu jangka waktu yang
panjang.
Selanjutnya berdasarkan letak atau posisinya masyarakat Dayak Benuaq
mengenal beberapa jenis ladang yaitu:
93
1. Umaq Buu
Umaq Buu adalah ladang yang diolah oleh satu keluarga penggarap dan letaknya
terpencil jauh dari ladang- ladang yang lain. Ladang ini dibuat biasanya sebagai
uji coba kesuburan suatu lahan baru di dalam hutan atau lebih tepatnya sebagai
upaya membuka hutan baru sebelum dimulai suatu perladangan secara beramai-
ramai.
2. Umaq Temikng
Umaq Temikng adalah ladang yang dibuat berdampingan dengan ladang milik
tetangga atau sanak saudara dari satu kelompok keluarga maupun antar kelompok
yang berbeda namun masih bertetangga. Umaq Temikng sesuai dengan namanya
yang berarti ladang kembar atau ladang berdampingan yang terdiri dari paling
sedikit dua atau lebih ladang yang dibangun pada waktu yang bersamaan.
Pasangan suami- istri, duda atau janda dengan anak remajanya yang belum
menikah biasanya merupakan kesatuan yang membuat ladang dengan tipe seperti
ini. Bentuk ladang yang dibuat berdampingan juga ditemukan pada masyarakat
Bentian pada Kecamatan Bentian Besar (Sillander, 2002).
3. Umaq Lelekng
Umaq Lelekng adalah ladang yang dibuat secara beramai-ramai oleh satu keluarga
besar atau beberapa keluarga sehingga kelihatan seperti hamparan ladang yang
luas. Pembuatan ladang tipe ini hanya dapat dilakukan pada masa lalu dimana
hutan yang tersedia untuk peladangan masih sangat luas.
Untuk mencegah silang sengketa karena aktifitas berladang maka ada aturan
adat yang harus dipatuhi dikenal dengan adat bekumaq. Misalnya pada umaq temikng
dan umaq lelekng maka pada setiap batas lahan milik setiap penggarap dibuat suatu
batas yang jelas berupa pohon-pohon yang sengaja dibiarkan tetap berdiri berjejer
sepanjang batas ladang tersebut. Pohon-pohon pembatas ini disebut Elakng dan jika
pohon-pohon tadi musnah pada saat pembakaran ladang yang dilakukan beramai-
ramai maka untuk penggantinya harus ditanami dengan pohon-pohon baru berupa
jenis tumbuhan berumur panjang seperti kayu teluyatn (Eusideroxylon zwagerii) atau
kala kng (Durio zibethinus). Hal ini untuk memudahkan kepada ahli waris pemilik
94
1. Pemilihan lahan
Mengumpulkan sisa Ritual (muat luwikng) 2. Penebasan (Nokap)
pembakaran
Gerak pembakaran Alat (tajak ) 3. Menebang (Nowang)
Pembakaran ke 2
4. Membakar (Nyuru)
Arah angin (Kerongo) Biji, stek, tunas
5. Membakar ulang (Mongkekng)
Sekat (Ladekng)
Teknik penyiangan 6. Menugal (Ngasak niruq)
Gender (? ) 5 7. Menyiang (Ngejikut)
4 6 Alat (lingga)
Tekhnik 8. Panen (Ngotepm)
Peneban waktu 9. Pemberaan
Alat 7
3
Ritual / tanda
Kawasan perladangan Gender (? )
Ritual
Peralatan (ekek ) (Uma lati tana) 8
Alat (gentuk )
2
Pengaturan batas
Penyimpanan
Arah penebasan 9
1 Suksesi alami
Ritual / tanda
Agroforestri (simpukng)
Indikator kesuburan Perkebunan (kebotn)
Tanda (nyahuq)
Seleksi (Ngerakng)
Perencanaan (Maduq mede)
Gambar 14 Siklus pengerjaan ladang pada masyarakat Dayak Benuaq (modifikasi Boissiere, 2003)
96
Namun bila dilanjutkan maka diadakan suatu upacara ritual yang dimaksudkan
untuk membersihkan dan menangkal diri dari bahaya yang dapat mengancam saat
mengerjakan ladang. Ritual tersebut dikenal dengan Melas lati tana dan yang
umum dilakukan adalah Pakatn nyahuq yaitu memberi makan para roh penunggu
hutan yang akan dijadikan ladang.
1. Perencanaan (Maduq mede)
Tradisi dan keyakinan masyarakat Dayak Benuaq secara turun temurun
untuk memulai suatu pekerjaan besar seperti membangun rumah dan membuka
ladang dimulai dengan melihat tanda-tanda alam, terutama tanda-tanda bintang
dan bulan. Dengan melihat bintang-bintang itulah mereka akan menentukan
perencanaan pembuatan ladang dan menentukan waktu pemilihan la han. Khusus
untuk kegiatan berladang, bintang yang jadi patokan adalah Bintang Bemari yaitu
tanda untuk memilih lahan dan Bintang Piyuluq (Pengkuluq) yang merupakan
tanda untuk memulai pengerjaan ladang. Hal ini juga berlaku pada masyarakat
Dayak lainnya sebagaimana dinyatakan oleh Sellato (1989) bahwa orang Dayak
memilih waktu untuk berbagai kegiatannya dengan melihat bintang. Khusus untuk
tanda bulan, hal yang diperhatikan adalah tidak boleh memulai suatu pekerjaan
pada saat bulan gelap (bulatn sirepm) atau pada akhir bulan (bulatn liyetn). Selain
memperhatikan tanda bintang dan bulan, masyarakat juga sangat memperhatikan
tanda-tanda alam lainnya seperti suara-suara binatang liar (nyahuq).
Menjadi tradisi pula dalam masyarakat Benuaq untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan besar seperti pembuatan ladang secara gotong-royong
bergiliran yang dikenal dengan istilah pelo atau beroh. Pelo merupakan suatu
kelompok tani dalam melakukan pekerjaan perladangan yang dilakukan secara
bergiliran pada lahan setiap anggotanya. Anggota pelo umumnya merupakan
kerabat dekat dan tetangga yang memiliki ladang berdekatan. Pelo dilakukan
bukan hanya dalam pekerjaan mengolah ladang tetapi juga dalam pekerjaan
lainnya seperti membuat rumah. Sebelum melakukan pekerjaan pembukaan
ladang biasanya anggota kelompok pelo berkumpul dan bermusyawarah untuk
membicarakan waktu dimulainya kegiatan pembuatan ladang dan jadwal
pengaturan pelo. Kegiatan ini dikenal dengan istilah berinu atau musyawarah.
Menurut Dyson (1979) terbentuknya kelompok di daerah perladangan masyarakat
97
Faktor lain yang juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan ladang
adalah warna dan struktur tanah. Berdasarkan warna dan struktur tanah
masyarakat Benuaq membedakan beberapa tipe tanah yaitu 1. tana metapm yaitu
tanah yang berwarna hitam; 2. tana meaq yaitu tanah yang berwarna merah; 3.
tana ronan yaitu tanah yang strukturnya lempung (tanah liat); dan 4. tana one
yaitu tanah berpasir yang dibagi lagi menjadi tiga tipe yaitu: a. tana one lemit
(tanah berpasir kuning) biasanya ditemukan di daerah pinggir sungai; b. tana one
99
metapm (tanah berpasir hitam) biasanya di lahan bengkar; dan c. tana one bura
(tanah berpasir putih) biasanya ditemukan pada lahan lati jaras yang merupakan
lahan kerangas yang tidak subur. Tipe tanah-tanah di atas kecuali tana one bura
biasanya relatif subur walaupun tingkat kesuburannya bervariasi tergantung
tingkatan suksesi lahan.
Peladang Dayak Benuaq umumnya lebih senang membuat ladang pada
tipe tanah yang strukturnya lempung karena biasanya lebih subur. Menurut Ohta
et al. (1993) partikel-partikel lempung berperana n penting dalam menyimpan
nutrien- nutrien tanah. Oleh karena itu, kemungkinan masa bera yang diperlukan
untuk meningkatkan kandungan nutrien mungkin lebih pendek pada tanah
bertekstur lempung. Sedangkan berdasarkan topografinya, lahan kerereng yang
merupakan lahan dilereng- lereng bukit lebih disukai untuk membuat ladang.
Menurut masyarakat peladang tanah pada lereng bukit lebih subur dan cepat
kembali kesuburannya saat diberakan. Pengetahuan lokal (indigenous knowledge)
yang dimiliki oleh peladang Benuaq ini sejalan dengan apa yang dikemukakan
oleh beberapa ahli seperti Mackinnon et al. (2000) menyatakan bahwa batuan
pulau Kalimantan ini miskin kandungan logam dan pelapukan sempurna yang
dalam disertai dengan pelindian menghasilkan tanah yang kesuburannya rendah di
berbagai dataran rendah. Lereng yang lebih curam mungkin lebih subur karena
erosi dan tanah longsor terus membuka bahan induk yang baru.
3. Ritual pembukaan ladang
Ritual diadakan untuk melakukan komunikasi antara peladang dengan
makhluk gaib penunggu hutan. Ritual ini dilakukan dengan berbagai cara dan
yang paling sederhana untuk persyaratan pembukaan ladang adalah ritual Ngentas
(ritual ini dapat diartikan sebagai ritual bertanya pada makhluk gaib apakah hutan
tersebut boleh digarap atau tidak), tetapi ritual ini sudah sangat jarang dilakukan
dalam pembukaan ladang namun masih dilakukan dalam ritual pengobatan. Ritual
yang masih dilakukan dalam membuka ladang pada saat ini adalah ritual Melas
Lati Tana atau Pakatn Nyahuq (memberi makan roh-roh penjaga hutan). Apabila
para makhluk gaib dapat menerima dengan baik, maka dipercaya akan ada tanda-
tanda atau isyarat tertentu yang diperlihatkan kepada para peladang melalui mimpi
atau tanda-tanda lainnya (nyahuq). Tradisi melaksanakan upacara ritual untuk
100
hutan melalui Pawang Belian yang disebut ritual Bebayar Betahur. Upacara
Bebayar Betahur pelaksanaannya biasanya dapat menunggu sampai setelah
musim panen. Sebelumnya dilakukan acara perjanjian yang disebut Besapaq
Besawei yaitu permohonan si penggarap lahan kepada makhluk gaib agar
dilindungi dari bahaya.
Pekerjaan menebang hanya dilakukan oleh kaum pria saja walaupun
terkadang ada kaum wanita ikut membantu. Menurut Dove (1988) ada dua tujuan
utama dari tahapan menebang. Pertama pohon-pohon perlu ditebang supaya mati
dan cepat kering dan pembakaran ladang akan menghasilkan banyak abu. Abu ini
merupakan faktor penting bagi keberhasilan ladang, karena dapat dipakai sebagai
sumber makanan bagi tanaman yang sedang tumbuh. Kedua adalah untuk
memungkinkan matahari menyinari permukaan ladang. Jika pohon-pohon
dibiarkan berdiri maka permukaan ladang akan tertutup oleh kanopi pohon dan
kurang baik bagi pertumbuhan padi.
6. Membakar (Nyuru)
Lahan yang telah ditebang dibiarkan selama 20 hingga 45 hari hingga
kayu-kayu dan daun-daunnya mengering. Tahap berikutnya adalah nyuru atau
membakar ladang yang dilakukan pada bulan September atau Oktober.
Pembakaran adalah teknik menghilangkan gulma, hama serta penyakit. Pada
pembakaran ladang terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu arah
angin dan pemerataan tumpukan bekas tebangan sehingga tidak terjadi kebakaran
ke lahan- lahan di sekitarnya. Beberapa hal yang harus dilakukan pada saat
melakukan pembakaran ladang adalah:
1. Pembuatan suatu sekat seperti jalan di sekeliling ladang yang akan
dibakar untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan di luar lokasi
ladang. Ranting-ranting dan daun-daun kering pada area sekat tersebut
disapu dan dibersihkan. Sekat ini dikenal dengan istilah ladekng pada
masyarakat Benuaq dan merupakan cara tradisional untuk melokalisasi
kebakaran hutan. Cara ini juga dikenal pada etnis Dayak lainnya seperti
ngeladih pada etnis Iban dan ikkar pada etnis Tamambaloh (Supardiyono,
1999).
103
bila ladang bersih maka diibaratkan lautan yang tenang dan tidak bergejolak,
dengan demikian pelayaran roh padi akan tenang dan nyaman. Pekerjaan ini
dapat dilakukan dalam waktu 3 hingga 8 hari tergantung dari hasil pembakaran
ladang pertama dan dilakukan oleh kaum pria dan wanita secara bersama-sama.
Kegiatan ini juga dilakukan oleh masyarakat peladang Dayak lainnya di
Kalimantan Timur seperti masyarakat Dayak Kenyah yang menyebut tahap ini
dengan istilah Mekup (kom. pri).
12. Lemit morakng/ Luai uruk Padi mulai menguning pada bagian ujung
tangkai.
13. Luai tengah Padi sudah mulai menguning sampai bagian
tengah tangkai.
14. Luai melus Padi sudah menguning semuanya dan saatnya
untuk dipanen
dan menaburkan bibitnya yang biasanya dilakukan untuk menanam jagung. Hal
ini biasanya dilakukan oleh wanita dewasa dengan alat tugal sambil membawa
keranjang berisi bibit jagung; 2). menaburkan benih pada lokasi di dalam ladang
yang telah dibersihkan, biasanya digunakan untuk menanam bayam, terong dan
tanaman lain yang mempunyai biji berukuran halus; 3). menanam batang (stek)
atau bagian tunas tumbuhan tersebut yang biasanya dilakukan untuk menanam
keladi, nenas, pisang, tebu, dan ubi kayu.
Penanaman jenis tanaman non-padi tidak selalu sama pada setiap ladang
tergantung kemauan pemilik ladang. Bagi pemilik ladang yang rajin maka
ladangnya akan ditanami dengan berbagai macam tanaman pangan, namun
sebaliknya bagi pemilik yang malas hanya menanam beberapa jenis tanaman saja.
Keanekaragaman jenis tanaman yang dibudidayakan di ladang masyarakat Dayak
Benuaq seperti ditampilkan pada tabel 7. Penanaman jagung dan palawija lainnya
sering dilakukan secara tumpang sari dengan tanaman padi. Sedangkan
penanaman ubi kayu biasanya dilakukan sebagai tanaman terakhir sebelum masa
bera dalam daur perladangan karena ubi kayu masih memberikan hasil yang
lumayan di tanah-tanah tandus dan bahkan tanah tererosi. Selain itu ubi kayu tidak
mempunyai waktu panen khusus, sehingga umbinya dapat dipanen sesuai
kebutuhan dan merupakan sumber karbohidrat bila bahan pangan lainnya mulai
berkurang.
9. Menyiangi (Ngejikut)
Menyiangi rumput atau memberantas tumbuhan pengganggu atau gulma di
ladang oleh peladang Benuaq disebut ngejikut, dilakukan setelah padi berumur
satu hingga tiga bulan. Pertumbuhan padi akan lambat karena bersaing dengan
rumput-rumput liar jika ladang tidak disiangi. Penyiangan dilakukan sekitar bulan
Oktober hingga November ketika pertumbuhan padi mencapai sekitar setinggi
lutut orang dewasa. Pekerjaan ini akan dilakukan sebelum batang padi keras
karena jika batang padi sudah keras akan mudah patah akibat aktifitas penyiangan.
Sebelum padi berumur lebih dari tiga bulan pekerjaan menyiangi ini lebih
diintensifkan oleh kaum wanita yang dilakukan dengan gotong-royong secara
bergiliran.
110
atas bantuan alat-alat tersebut sehingga panen berhasil dengan baik. Tujuan
upacara ini juga untuk memberi ucapan selamat kepada bumi yang telah
menanggung beban berat ibarat ibu yang sedang hamil dan sekarang melahirkan
bayinya berupa padi yang siap dipanen. Demikian juga para roh halus penjaga
ladang turut disapa pawang dengan mantra- mantranya sebagai ucapan terima
kasih atas bantuan mereka ikut menjaga dan memelihara isi ladang dari gangguan
hama dan semua roh jahat yang dapat menggagalkan panen.
Menurut Sellato (1989a) pada masyarakat Dayak padi merupakan sumber
segala kehidupan dan daur pemanenannya disertai banyak larangan (tabu) dan
upacara ritual. Pemanenan padi (ngotepm) umumnya dilakukan hanya oleh kaum
perempuan saja yaitu ibu dan anak-anak perempuannya dilakukan secara gotong-
royong oleh para ibu- ibu secara bergiliran (pelo). Pemanenan dilakukan dengan
alat ani-ani (gentuk), selanjutnya padi hasil panenan dimasukkan ke kantong yang
dibuat dari anyaman bambu dan rotan yang diikatkan pada pinggang yang disebut
gamak (Benuaq). Setelah gamak penuh mereka memindahkan ke keranjang
anyaman yang lebih besar yang disebut lamar. Isi atau volume lamar dapat
menampung sekitar 4-5 kali isi gamak dan selanjutnya lamar digunakan untuk
membawa hasil panen ke rumah. Pada zaman dulu padi disimpan dalam lumbung
padi yang dikenal dengan istilah kelengkikng namun sudah sangat jarang
ditemukan saat ini.
Umur padi ladang dapat dipanen berkisar 4-6 bulan, tergantung varietas
padi yang di tanam karena setiap varietas mempunyai masa panen yang berbeda.
Masyarakat biasanya menghitung hasil panen padi dengan ukuran kaleng bekas
minyak goreng. Satu kaleng setara dengan 10 kg gabah kering, dimana untuk
ladang seluas sekitar 1 ha didapatkan hasil berkisar 100 hingga 250 kaleng atau
sekitar 1 hingga 2 ton gabah kering. Hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh
kesuburan lahan, masa bera lahan dan umur ladang. Hasil panen ladang pada
tahun pertama biasanya lebih banyak dan semakin berkurang pada panen
berikutnya.
Perladanga n padi secara gilir-balik mempunyai peran sentral dalam
pertanian tradisional masyarakat Dayak Benuaq. Hal ini tercermin pada produksi
padi di Kabupaten Kutai Barat setiap tahunnya. Pada tahun 2005 tercatat luas
112
panen padi ladang sebesar 14.515 ha dan padi sawah sebesar 2.597 ha sehingga
luas panen padi keseluruhan mencapai 17.112 ha. Produksi padi ladang mencapai
35.829 ton yang jauh lebih besar dibandingkan dengan produksi padi sawah yang
hanya sebesar 8.245 ton, namun hasil per hektar untuk padi sawah sebesar 31,75
Kw/ha jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan 24,68 Kw/ha untuk padi ladang
(Anonim, 2006). Pada tahun berikutnya 2006 luas panen keseluruhan berkurang
menjadi 15.096 ha terdiri dari padi ladang seluas 13.506 ha dan padi sawah seluas
1.597 ha. Hal ini menyebabkan produksi padi ladang berkurang menjadi 35.100
ton dan produksi padi sawah menjadi 5.177 ton. Namun hasil per hektar
menunjukkan adanya peningkatan untuk padi ladang 25,99 Kw/ha dan padi sawah
32,56 Kw/ha (Anonim, 2007).
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari peladang, hasil panen yang
didapatkan lebih banyak pada ladang di hutan primer terutama pada musim panen
ke dua jika dibandingkan dengan ladang yang dibuat pada hutan sekunder. Namun
masyarakat Dayak Benuaq jarang membuka hut an primer dalam aktivitas
perladangan saat ini. Pembukaan hutan sekunder atau bekas ladang terdahulu
lebih disukai berkaitan dengan biaya pengolahan yang lebih murah jika
dibandingkan membuka hutan primer. Hal ini juga dibatasi oleh berkurangnya
luas hutan primer di sekitar kampung yang dapat dijadikan ladang.
khusus yang dimilikinya atau dari mana varietas tersebut berasal. Terkadang nama
yang diberikan menunjukkan asal dari bibit padi tersebut seperti pare bentian dan
pare kenyah. Beberapa varietas padi mempunyai mitos pada masyarakat Benuaq
seperti pare bawiiq yang dipercaya bibitnya pertama kali ditemukan pada usus
babi dan pare tekayo (dari usus rusa). Kebanyakan peladang Benuaq lebih suka
menanam varietas padi lokal walaupun produksinya lebih rendah dibandingkan
varietas yang datang dari luar, namun padi mereka lebih adaptif pada kondisi
tanah yang miskin dan rasanya lebih disukai. Beberapa peladang mengakui bahwa
mereka lebih menyukai rasa beras dari padi ladang dibandingkan padi sawah.
Pada saat ini pencarian plasma nutfah padi untuk meningkatkan hasil
panen dan tahan terhadap penyakit giat dilakukan oleh Departemen Pertanian dan
keanekaragaman varietas padi yang sangat tinggi di lingkungan masyarakat Dayak
termasuk yang dimiliki peladang Benuaq merupakan sesuatu yang mungkin untuk
dimanfaatkan. Hasil penelitian ini diperoleh informasi penting bahwa para
peladang memiliki pengetahuan yang unik tentang padi mereka dan memelihara
keanekaragaman genetik padi mereka dengan kondisi lingkungan setempat seperti
dikemukakan juga oleh beberapa peneliti padi lokal yaitu pada suku Dayak
Kenyah (Setyawati, 1997) dan suku Filipino di luar Kalimantan (Fujisaka, 1987).
Beberapa para peladang yang berumur lanjut masih menyimpan dan memelihara
beberapa varietas padi yang mereka sukai. Mereka menanam varietas padi
tersebut tidak untuk dimakan tetapi untuk memperbarui bibitnya sehingga suatu
ketika mereka dapat memanfaatkan kembali bibit tersebut. Hal ini menunjukkan
kepada kita bahwa masyarakat lokal tersebut mempunyai pemikiran dalam
memelihara dan menyelamatkan plasma nutfah yang berada di tangan mereka.
Beberapa petani yang berusia lanjut, kepala adat (mantiq) dan istrinya
dapat menyebutkan semua varietas yang ditemukan dalam penelitian ini (103
varietas) sedangkan yang lainnya hanya dapat menyebutkan 10 hingga 40 varietas
saja. Secara umum responden yang berusia lebih tua dapat menyebutkan dan
mengetahui lebih banyak varietas padi dibandingkan dengan yang muda (Tabel 8).
Peladang yang berusia lebih dari 50 tahun dapat menyebutkan sekitar 60%
sedangkan yang lebih muda (40-50 tahun) hanya dapat menyebutkan 40% dari
total varietas. Pengetahuan ini terus berkurang hingga para responden yang paling
114
muda (20-30 tahun) hanya dapat menyebutkan sekitar 20% saja dari total varietas.
Pengetahuan tentang keanekaragaman padi ini diperoleh dari pengalaman mereka,
tukar pikiran dengan anggota pelo, dan observasi pada peladang lainnya. Namun
tampaknya pengetahuan ini semakin berkurang pada kalangan pemuda seiring
masuknya pengaruh budaya dari luar.
adalah padi yang dibeli di pasar atau beredar di pasaran. Padi kita dipandang
berjiwa dan mempunyai roh, sedangkan padi orang tidak berjiwa sehingga tidak
ada tabu yang berlaku kepadanya. Perspektif ini berkembang karena dalam pola
pikir masyarakat Benuaq selalu mempertanyakan tentang asal- usul segala
sesuatunya (Hopes, 1997). Salah satu mitos (tempuutn) mengenai asal- usul padi
adalah bahwa sisa penciptaan langit dan bumi kemudian dijadikan beberapa jenis
yang salah satunya adalah padi (luikng). Dalam mitos tersebut dikisahkan bahwa
padi adala h Luikng Walo (roh padi yang berjumlah delapan gadis) anak dari
pasangan Beritutn Tautn dan Diakng Serunai (Madrah & Karaakng, 1997).
Keragaman varietas padi sangat tinggi di lingkungan masyarakat Dayak,
hal ini juga berkaitan dengan kelompok masyarakat Dayak yang berbeda-beda.
Banyaknya keragaman habitat, iklim, budaya dan praktek bertanam padi pada
masyarakat Dayak menyebabkan timbulnya seleksi varietas padi selama ribuan
tahun. Berkaitan dengan kekayaan varietas padi lokal yang dimiliki oleh
masyarakat Dayak ini, menimbulkan kekuatiran dengan berakhirnya perladangan
berpindah secara bertahap dapat menjadi penyebab hilangnya keragaman genetik
padi. Karena padi gogo yang mereka budidayakan dapat ditanam pada kondisi
tanah yang dari segi pertanian dianggap miskin. Padi mereka dapat hidup pada
kondisi lahan yang sering tidak menunjang kehidupan tanaman perdagangan
lainnya, sehingga membuat lahan yang sebetulnya tidak dapat digunakan untuk
pertanian menjadi lahan yang produktif. Menurut Bernsten et al. (1982) di
kawasan Indonesia sendiri diperkirakan terdapat lebih dari 8000 varietas padi
lokal.
Mulyoutami et al. (2006) bahwa wanita suku Benuaq memainkan peranan penting
dalam aktivitas utama berladang meliputi menanam, memelihara dan memanen.
Bahkan sayur-sayuran dan tanaman palawija lainnya pun umumnya ditanam dan
dipelihara oleh kaum wanita.
Aktifitas utama masyarakat Benuaq selain berladang adalah berkebun karet
dan aktifitas ini tidak hanya didominasi oleh kaum pria saja namun kaum wanita
juga sangat berperanan. Seperti aktifitas menyadap karet (nores) yang merupakan
kegiatan harian untuk mendapatkan uang tunai bagi kebutuhan keluarga, selain
dilakukan oleh kaum pria juga banyak oleh dikerjakan oleh kaum wanita. Pada
tabel 9 ditampilkan persentase pembagian kerja antara pria dan wanita dalam
tahapan-tahapan pengerjaan ladang dan kebun karet pada beberapa responden di
Kecamatan Muara Lawa.
Tabel 9 Pembagian kerja antara pria dan wanita di ladang dan kebun karet
Aktifitas Pria % Wanita %
Umaq/Ladang
Nokap (Menebas) 90 10
Noweng (Menebang) 95 5
Nyuru (Membakar) 75 25
Ngasaq (Menugal) 50 50
Ngejikut (Menyiangi) 25 75
Ngotapm (Panen) 25 75
Mengangkut ke kampung 75 25
Mengeringkan 20 80
Menggiling 50 50
Kebun karet
Mencari bibit 95 5
Menanam 75 25
Menyiangi tahap 1 70 30
Menyiangi tahap 2 70 30
Memangkas 95 5
Nores (menyadap) 50 50
Menjual 50 50
kerja yang dilakukan oleh peladang dalam satu musim adalah 86 hingga 220 hari.
Hal ini sangat tergantung pada luas ladang dan jumlah tenaga kerja yang dimiliki
namun umumnya luas ladang mereka berkisar antara 1-2 hektar. Jumlah rata-rata
hari kerja peladang Benuaq di Kecamatan Muara Lawa tidak jauh berbeda dengan
masyarakat Benuaq di Kecamatan Tanjung Isui yang berkisar 57 hingga 184 hari
(Gonner, 2000) dan hari kerja masyarakat Kantu di Kalimantan Barat yang
berkisar 88 hingga 170 hari (Dove, 1985).
Mengukir; 5%
Budidaya rotan;
13% Kerajinan Berkebun/
tangan; 5% beternak; 14%
30
Tw
Sw
Lo
T
I Ps
N
G
G Ix
G Ek
Lc Pl
i 15
Mt
(M) Mt Lg
Ak
Eg
Vp
Vp Go
Mg
De
En Mg
To
Vp Pc Mg
Fsp
Vp Mtc Gp
To
1 Ma
Ms
0 Belukar Hutan sekunder awal Hutan sekunder muda Hutan sekunder tua Hutan sekunder lebih tua
Ladang (Bengkar tuhaq)
(Urat) (Balikng bataakng) (Bataakng) (Bengkar uraq)
(Umaq)
1 5 10 20 30 40 50
Waktu (tahun)
Gambar 18 Tahapan regenerasi hutan bekas ladang berdasarkan pengetahuan lokal Dayak Benuaq
120
diameter pohon rata-rata sebesar paha orang dewasa. Tahap keempat yaitu bengkar
uraq merupakan hutan sekunder tua yang telah diberakan antara 30-40 tahun dan
tahap ini berlanjut hingga ke tahap kelima bengkar tuhaq yang merupakan hutan
sekunder lebih tua yang telah diberakan lebih dari 45 tahun. Setelah mencapai
tahapan klimaks kemungkinan dapat pulih kembali menjadi hutan primer seperti
sedia kala (asli bengkar) namun membutuhkan waktu yang sangat lama. Riswan et al.
(1985) yang meneliti regenerasi dan suksesi jenis di hutan Dipterocarpaceae
campuran di Kalimantan Timur menaksir bahwa setelah terbentuk rumpang yang
luas, diperlukan waktu 60 hingga 70 tahun bagi sejumlah jenis dalam tahap
perkembangannya untuk mencapai maksimumnya dan selama itu pula bagi jenis
tahap dewasa untuk menjadi jenis yang dominan. Oleh karena itu diperlukan waktu
ratusan tahun untuk pulih kembali seperti semula.
1. Urat
Urat adalah bekas ladang yang telah diberakan 1 hingga 3 tahun. Secara
umum urat berarti semak belukar. Pada tingkat regenerasi ini bekas ladang telah
ditumbuhi oleh jenis-jenis pionir sebesar jari tangan. Vegetasi pada satuan lingkungan
ini tidak ditemukan pohon, hanya berisi belta dan semai dari beberapa jenis tumbuhan
pionir. Hasil pencuplikan data pada bekas perladangan yang diberakan selama 1
tahun didapatkan 39 jenis tumbuhan pionir awal (early pioneer species). Beberapa
jenis yang menonjol pada petak ini berturut-turut adalah Bekakang (Melastoma
affine) dengan Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 69,33 diikuti oleh Kelebotok
(Trema orientalis) 41,85, Tenterisik (Gaertnera vaginans) 29,85, Kelepapa (Vitex
pinnata) 22,32, Keranyik (Milletia sericea) 12,61, Empar (Ficus padana) 12,55,
121
2. Balikng Bataakng
Balikng batakng adalah bekas ladang yang berumur sekitar 5 hingga 15 tahun
setelah diberakan. Pada umumnya satuan lingk ungan ini ditandai dengan semakin
besarnya diameter batang jenis-jenis tumbuhan pionir yang tumbuh di dalamnya.
Pada masyarakat Benuaq satuan lingkungan ini dicirikan dengan diameter pohon
sebesar lengan orang dewasa. Hal ini merupakan kategori lahan yang tergolong tipe
balikng bataakng dalam tahapan suksesi lahan menurut kearifan lokal Benuaq.
Menurut Inoue dan Lahjie (1990) setiap kelompok suku Dayak memiliki klasifikasi
untuk hutan sekunder, namun umur dari tahapan-tahapan suksesi tersebut tidak jelas
dan mereka mempunyai standar tersendiri untuk klasifikasi seperti kelas diameter
pohon yang terdapat di dalamnya.
Satuan lingkungan balik bataakng ini tergolong hutan sekunder muda yang
berisi berbagai jenis tumbuhan pionir. Vegetasi pada lingkungan ini masih sedikit
ditemukan tingkatan pohon, tetapi didominasi oleh jenis-jenis pionir berdiameter
kurang dari 10 cm (belta) dan tumbuh mengelompok seperti Elaeocarpus oxypyren,
Eurya nitida, dan Pternandra courulescens dengan tinggi kurang dari 10 m (Gambar
20). Sejumlah tumbuhan berkayu dengan diameter yang kecil menghasilkan
kerapatan yang tinggi dan basal area yang kecil dalam hutan sekunder muda ini.
Kekayaan jenis dalam tegakan hutan sekunder muda ini berisi sekitar 50 jenis per
1000 meter2 dalam dua lapis stratifikasi. Lapisan atas (> 5 m) di tempati oleh jenis-
jenis seperti: Elaeocarpus oxypyren, Helicia robusta, Macaranga gigantea,
Rhodamnia cinerea, Trema orientalis, dan Vitex pinnata. Sedangkan lapisan bawah
(< 5 m) ditempati oleh Eurya nitida, Guioa diplopetala, Macaranga trichocarpa,
Melastoma affine, dan Pternandra courulescens. Menurut Schmidt-Vogt (2001)
secara sistem rotasi tradisional maka ladang yang diberakan akan menjadi hutan
sekunder setelah 15-17 tahun masa bera. Hutan sekunder ini akan mempunyai
struktur yang komplek dengan pohon-pohon yang bervariasi tinggi dan diameternya.
123
Hasil pencuplikan pada petak bekas perladangan yang diberakan lebih kurang
10 tahun ditemukan 47 jenis tumbuhan pada tingkatan belta. Jenis-jenis yang
menonjol adalah kelepapa (Vitex pinnata) dengan INP 54,54, mengkelunai
(Macaranga trichocarpa) INP 20,55, potung (Euodia glabra) INP 20,34, nkodoi
(Elaeocarpus oxypyren) INP 18,35 dan balik angin (Alphitonia incana) INP 14,41.
Sedangkan tingkatan pohon ditemukan hanya sembilan jenis dan lima jenis pohon
dominan adalah potung (Euodia glabra) INP 91,69, bengkuukng (Macaranga
gigantea) INP 46,55, nepoq (Ixonanthes sp) INP 25,24, jamuq danum (Syzigium sp)
INP 25,08 dan balik angin (Alphitonia incana) INP 22,63. Tingkatan semai yang
ditemukan sebanyak 27 jenis dan lima jenis yang menonjol adalah mengkelunai
(Macaranga trichocarpa) INP 99,02, keranyik (Milletia sericea) INP 34,78, biayukng
(Saccharum spontaneum ) INP 29,09, uwe iya (Plectocomiopsis geminiflora) INP
11,89, dan kelepapa (Vitex pinnata) INP 11,27. Jenis-jenis yang mempunyai INP
tertinggi pada tingkatan pohon, belta, dan semai ditampilkan pada lampiran 3.
Dalam siklus perladangan masyarakat Dayak Benuaq terkadang membuat
ladang pada satuan lingkungan ini. Hal ini biasanya disebabkan oleh keadaan yang
mendesak sehingga peladang tidak sempat memilih lahan lain yang lebih tua usianya.
Namun hal ini juga disebabkan keterbatasan lahan yang dimiliki sehingga masa bera
yang yang diberikan pada lahan-lahan perladangan jadi semakin singkat. Masa bera
yang semakin singkat ini akan membuat produksi ladang menjadi menurun karena
lahan yang belum kembali kesuburannya sudah diolah kembali. Dalam hal ini
perladangan berpindah yang dilakukan pada lahan yang terbatas dan masa bera yang
pendek tidak akan memberikan hasil yang memadai bagi peladang.
3. Bataakng
Bataakng menurut katagori lokal adalah bekas ladang yang sudah diberakan
dan pohon-pohon yang ada di dalam satuan lingkungan tersebut rata-rata diameternya
sudah mencapai sebesar paha orang dewasa. Selain ditandai dengan besarnya
diameter jenis-jenis pohon pionir yang tumbuh di dalamnya, juga ditandai dengan
munculnya anakan jenis-jenis klimak. Umur bera satuan lingkungan ini berkisar
125
antara 20 hingga 30 tahun. Pada tegakan bataakng (20 tahun) umumnya pohon-pohon
terkonsentrasi pada diameter 10-15 cm. Frekuensi besarnya pohon meningkat dengan
bertambahnya umur hutan sekunder, seperti pada tegakan bengkar uraq dan bengkar
tuhaq. Demikian juga variasi kekayaan jenis meningkat (pohon dan belta) dengan
bertambahnya umur tegakan. Dari 9 jenis pohon pada tegakan balik bataakng dan
meningkat pada tegakan bataakng (18 jenis), selanjutnya pada tegakan bengkar uraq
(65 jenis).
Vegetasi pada tipe lahan ini didominasi oleh jenis-jenis pohon sekunder yang
tumbuh cepat seperti Macaranga spp, Artocarpus spp, Euodia glabra, Vitex spp, dan
jenis lainnya. Hasil pencuplikan data untuk tingkatan pohon diperoleh lima jenis yang
menonjol dengan Indeks Nilai Penting tertinggi yaitu bengkuukng (Macaranga
gigantea) 74,22 diikuti oleh jenis kelepapa (Vitex pinnata) 32,94, potung (Euodia
glabra) 30,68, nancakng (Macaranga triloba) 29,59, dan nepoq (Ixonanthes sp)
25,19. Pada tingkatan belta Indeks Nilai Penting tertinggi juga dari jenis bengkuukng
(Macaranga gigantea) 50,95, diikuti oleh jenis berencemoq (Pternandra
coerulescens) 13,58, keranyik (Milletia sericea) 12,33, kalajempik (Guioa
diplopetala) 9,75 dan potung (Euodia glabra) 9,22. Selanjutnya tingkatan semai
Indeks Nilai Penting Tertinggi diperoleh dari jenis keranyik (Milletia sericea) 69,91,
diikuti oleh jenis toyung tekayo (Timonius wallichianus) 24,80, kalajempik (Guioa
diplopetala) 21,85, tenterisik (Gaertnera vaginans) 14,33 dan sengkulai (Timonius
flavescens) 13,60.
Struktur vegetasi di lahan ini dapat dibedakan atas 2 strata yaitu lapisan atas
(> 10 m) dan lapisan bawah (< 10 m). Lapisan atas didominasi oleh beberapa jenis
pohon sekunder yaitu Macaranga gigantea, Macaranga triloba, Euodia glabra,
Ixonanthes sp. dan Vitex pinnata. Sedangkan lapisan bawah disusun oleh beberapa
jenis tumbuhan bawah seperti Ficus spp, Vernonia arborea, Pternandra
coerulescens, Milletia sericea, dan anakan dari beberapa jenis primer yang mulai
tumbuh pada lahan tersebut (Gambar 21). Jenis-jenis yang mendominasi pada satuan
lingkungan ini pada tingkatan pohon, belta dan semai ditampilkan pada lampiran 4.
126
Gambar 22 Struktur vegetasi ladang diberakan > 40 tahun (bengkar uraq) dengan
diameter = 5 cm
Ket: Aa: Artocarpus anisophyllus (2), Ak: A. Kemando (24), Ao: A. odoratissimus (15),
De: Dillenia excelsa (19, 20), Dk: Durio kutejensis (23), Ek: Eugenia kunstleri (8),
Go: Glochidion obscurum (12), Gp: Garcinia parvifolia (11),
129
Lb: Litsea brachystachys (4), Lc: Lithocarpus conocarpus (18), Lg: L. gracilis (14),
Lo: Litsea odorifera (21), Nsp: Nephelium sp (22), Pe: Platea exelsa (3),
Pl: Phoebe laevis (17), Ps: Pithecellobium splendens (7), Ssp: Syzigium sp (5),
Sw: Schima wallichii (1, 16), Tw: Tristianopsis whiteana (13),
Vp: Vitex pinnata (6), Xs: Ixonanthes sp (9,10).
diberakan lebih dari 20 tahun (bataakng) sedangkan pada lahan diberakan 10 tahun
yaitu 0,25 % dan 1 tahun yaitu 0,23 % tergolong sedang.
Nilai pH H2 O merupakan kandungan asam aktual yang ada pada sampel
lokasi penelitian, sedangkan nilai pH KCl merupakan pH optimal yang digunakan
untuk mengetahui kondisi lahan yang bersifat paling asam. Dari tabel dapat diketahui
bahwa tingkat keasaman tanah yaitu pH H2 O terendah adalah 4,60 pada lahan yang
telah diberakan 10 tahun (balik bataakng) dengan pH KCl yaitu 3, 80. Sedangkan
tingkat pH H2 O tertinggi adalah 5,10 pada lahan yang telah diberakan lebih dari 20
tahun (bataakng) dengan pH KCl yaitu 4,00.
Nilai C/N menunjukkan tingkat pelapukan, semakin kecil nilai C/N berarti
tingkat pelapukan relatif makin tinggi. Dengan nilai C/N >12 menunjukkan bahwa
tingkat pelapukan relatif rendah. Nilai C/N terendah adalah pada lahan yang
diberakan lebih dari 20 tahun (bataakng) yaitu 9,78 yang menunjukkan bahwa
pelapukan pada tipe lahan tersebut relatif tinggi dibandingkan dengan lahan urat dan
balik bataakng.
Nilai kapasitas tukar kation (CEC) menunjukkan kemampuan tanah untuk
mempertahankan atau membutuhkan hara antara koloid tanah dengan larutan tanah.
Pada dasarnya nilai CEC digunakan untuk keperluan praktis, mengingat CEC dari
berbagai tanah adalah sangat beragam. Bedasarkan tabel nilai CEC terendah sampai
tertinggi berturut-turut terdapat pada lahan diberakan lebih dari 20 tahun (bataakng)
sebesar 3,70 me/100 gr tanah, lahan diberakan 1 tahun (urat) sebesar 4,62 me/100 gr
tanah, dan lahan diberakan selama 10 tahun (balik bataakng) sebesar 9,25 me/100 gr
tanah. Menurut Sembiring dkk. (2000) pada tanah alami yang normal nilai CEC
adalah sebesar 17,66 me/100 gr tanah. Hal ini menunjukkan bahwa lahan-lahan di
atas memiliki kandungan zat hara yang rendah karena nilainya j auh dibawah normal.
Kandungan P tersedia pada tipe lahan diberakan lebih dari 20 tahun yaitu 2,2
ppm, lahan diberakan 10 tahun yaitu 6,9 ppm dan lahan bera 1 tahun yaitu 10 ppm.
Nilai P pada lahan diberakan lebih dari 20 tahun termasuk rendah, karena pada tapak
tanah yang tidak terganggu secara alami akan terdapat kandungan P sebesar 7,50 ppm
(Sembiring dkk., 2000). Sedangkan pada lahan diberakan 10 tahun dan 1 tahun nilai
131
P termasuk normal. Perbedaan ini diduga ada kaitannya dengan lapisan tanah yang
belum lapuk sehingga fosfat sukar larut dan belum dapat tersedia bagi tanaman.
Pembahasan
Pengembangan pertanian dengan pendekatan budaya mereka sendiri
merupakan langkah yang bijaksana untuk meningkatkan kearah kehidupan yang lebih
baik. Karena hingga saat ini peladangan berpindah tradisional (swidden agriculture)
merupakan tulang punggung ekonomi dan budaya bagi masyarakat Dayak Benuaq.
Menurut Conklin (1963) ada tiga pilar utama dalam perladangan yaitu lingkungan,
kebudayaan dan temporal. Pilar lingkungan terdiri dari faktor iklim, edafis, dan
biotik. Pilar kebudayaan perladangan adalah faktor teknologi, sosial, dan etnoekologi.
Pilar temporal perladangan menunjukkan pada lima fase suksesif dalam aktifitas
perladangan, yaitu fase pembersihan lahan, penebangan, pembakaran, penanaman dan
pemberaan. Tiga fase pertama lebih berkaitan dengan pembersihan vegetasi-vegetasi
yang tidak relevan dengan keperluan perladangan, sedangkan dua fase selanjutnya
berhubungan dengan aktifitas kontrol terhadap vegetasi yang baru tumbuh dan yang
ditanam.
Proses antropisasi terhadap lingkungan alami yang dilakukan oleh masyarakat
Dayak Benuaq untuk kegiatan pertanian telah mempengaruhi keanekaragaman jenis
tumbuhan di kawasan Kabupaten Kutai Barat. Mosaik - mosaik hutan yang terbentuk
dicirikan dengan jenis-jenis tumbuhan tertentu yang mendominasi sehingga pengaruh
aktivitas masyarakat terhadap keanekaragaman ditingkat ekologis sangat jelas
terlihat. Secara ringkas Tabel 11 berikut memberikan gambaran formasi vegetasi di
setiap satuan lingkungan yang ada di Kutai Barat saat ini.
Tabel 11 Antropisasi dan formasi vegetasi di Kabupaten Kutai Barat
Tipe aktivitas Tipe lingkungan Formasi vegetasi utama
Pertanian inisial (umaq Hutan primer, sekarang Hutan primer didominasi
buu) hanya ditemukan di oleh jenis-jenis pohon
daerah bagian hulu Dipterocarpa seperti Shorea
sungai Lawa spp, Dipterocarpus spp,
Dryobalanops sp, Hopea spp
dan Eusideroxylon zwageri
132
120
Jumlah jenis/ suku 100
80
60
40
20
0
1- 3 th (Urat) 5-10 th (Balik 11 - 30 th > 35 th (Bengkar
bataakng) (Bataakng) uraq)
Lama masa bera (tipe)
Gambar 23 Pertambahan jenis dan suku serta tumbuhan bermanfaat pada lahan bera
harus tetap terjaga keseimbangannya. Secara ringkas sistem pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan alami serta lingkungan antropisasi disajikan dalam Gambar 24.
Hutan
Asli Bengkar : Hutan primer
Bengkar Tuhaq: Hutan sekunder tua
Lati Lajah: Hutan gambut
Payaq: Hutan rawa
Perladangan
Umaq: Ladang tahun I
Baber : Ladang tahun II
Kelewako: Ladang tahun III
nutrien tanah tidak perlu dilengkapi hingga 30 tahun masa bera. Penelitian tersebut
juga menunjukkan bahwa di dalam tanah karbon dan phospor yang tersedia tidak
terbentuk hingga sekurang-kurangnya 15 tahun masa bera, dan selanjutnya
produktifitas tanah diperkirakan kembali pulih setelah lebih 15 tahun masa bera.
Panjang masa bera merupakan faktor kritis untuk keberlanjutan perladangan
masyarakat Dayak. Menurut Mayer (1988) peladangan berpindah dengan masa bera
yang cukup panjang dapat merupakan bentuk penggunaan lahan pertanian yang
efisien dan bersifat terlanjutkan di daerah yang kesuburannya rendah. Namun pada
dasarnya mengenai perladangan berpindah, hingga saat ini masih terdengar silang
pendapat, apakah kegiatan ini merusak ataukah selaras dengan alam (lihat Dove,
1985; Kartawinata et al. 1984; Mubyarto dkk, 1991; Zakaria, 1994). Hasil
pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat peladang berpindah
khususnya suku Dayak Benuaq mengenal berbagai etika dan aturan yang bersifat
positif menyangkut perladangan, yang memungkinkan penekanan kerusakan yang
ditimbulkan seperti Adat Sukat Pertanahan dan Tanam Tumbuh (Madrah, 2001) dan
Adat Bekumaq (Asy’arie, 2004). Aturan-aturan tersebut tersebut tidak hanya
menyangkut mengenai pemilihan lahan yang harus benar-benar cermat agar
produksinya tinggi dan tidak menguruskan tanah, tetapi juga upaya- upaya yang
dilakukan guna mencegah terjadinya kebakaran hutan dan pelaksanaan pemberaan
lahan setelah pemane nan dalam waktu yang cukup panjang agar tanah mampu subur
kembali.
Peladangan berpindah tradisional di daerah yang kepadatan penduduknya
rendah, dapat merupakan kegiatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip ekologi seperti
di daerah Apo Kayan (Kartawinata et al. 1984; Jessup dan Vayda, 1988). Sistem ini
berkelanjutan, jika kondisi hasil tanaman yang rendah dan kepadatan penduduk yang
rendah dalam sistem ini dari segi sosial dan ekonomi masih tetap sesuai keinginan.
Dalam hal ini panjang masa bera merupakan faktor kritis sehingga perlu dipikirkan
lebih dalam oleh masyarakat peladang berpindah pada daerah yang mempunyai
keterbatasan lahan. Menurut Rappaport (1971) pada kelompok sistem pertanian
subsisten, 90%-95% dari daerah pencarian pangan suatu kelompok biasanya berada
138
dalam keadaan bera pada setiap waktu tertentu. Keterbatasan lahan ini sudah mulai
pula dirasakan oleh para peladang berpindah di Kecamatan Muara Lawa. Hal ini
diindikasikan dengan pendeknya masa bera yang dilakukan dan hasil ladang yang
cenderung terus menurun dalam beberapa dekade terakhir diakibatkan oleh tekanan
daya dukung lingkungan yang tidak lagi mendukung sistem perladangan berpindah
yang adaptif atau integral dengan alam lingkungannya. Hasil ladang ini tampaknya
mengungkap realitas hubungan ekologis antara masyarakat Benuaq sebagai peladang
berpindah dan sumberdaya alam di lingkungannya.
Kesimpulan
Sistem peladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat Benuaq
umumnya bersifat rotasi pemakaian lahan atau dikenal dengan istilah lokal
perladangan gilir-balik (rotational cultivation). Sistem ini merupakan suatu bentuk
pertanian yang memiliki karakteristik antara lain: rotasi lahan ladang, membersihkan
dengan api, alat-alat pengolahan sederhana, tidak ada penggunaan hewan-hewan
penarik dan manusia menjadi satu-satunya tenaga, tanpa pemupukan, dan periode
yang pendek dalam pemakaian tanah dengan masa bera yang panjang. Tahapan
pengerjaaan ladang oleh masyarakat Benuaq melalui 9 tahap yang merupakan siklus
pengerjaan ladang yang dilakukan sepanjang tahun. Siklus pengerjaan ladang dimulai
dari pemilihan lahan, penebasan (nokap), menebang (nowang), membakar (nyuru ),
membakar ulang (mongkekng), menugal (ngasak), menyiangi (ngejikut), panen
(ngotepm) dan tahap akhir lahan diberakan.
Klasifikasi ladang berdasarkan urutan pengerjaan setelah masa panen pertama
adalah baber yaitu ladang yang terus diusahakan untuk kegiatan berladang pada tahun
ke dua dan kelewako yaitu ladang yang terus diusahakan hingga panen ketiga atau
merupakan lanjutan dari kelewako. Selanjutnya berdasarkan letak atau posisi ladang
masyarakat Benuaq mengenal tiga jenis ladang: Umaq buu yaitu ladang yang
letaknya terpencil dan hanya diolah oleh satu orang penggarap saja; Umaq temikng
yaitu ladang yang dibuat berdampingan terdiri dari dua hingga lima ladang secara
berdampingan; Umaq lelekng yaitu ladang yang dibuat secara beramai-ramai oleh
139
suatu keluarga besar atau beberapa keluarga sehingga merupakan hamparan ladang
yang sangat luas.
Pengetahuan lokal peladang Benuaq tentang pertanian (Indigenous
agricultural knowledge) tercermin dari pengenalan mereka pada keanekaragaman
varietas padi, tahapan pertumbuhan padi dalam terminologi lokal, dan tumbuhan
indikator kesuburan. Mereka mengenal 103 varietas padi lokal yang secara umum
dibagi dua yaitu pare (padi biasa) sebanyak 67 varietas dan pulut (padi ketan)
sebanyak 36 varietas. Mereka juga mengenal 14 tingkat pertumbuhan dan
perkembangan tanaman padi ladang dalam terminologi lokal. Selanjutnya mereka
mengenal 15 jenis tumbuhan indikator ekologis yang berhubungan dengan tingkat
kesuburan tanah pada lahan yang diberakan dan menjadi pertimbangan dalam
pemilihan lahan.
Panjangnya masa bera merupakan faktor kritis untuk keberlanjutan
peladangan berpindah. Klasifikasi lahan bekas ladang berdasarkan pengetahuan
tradisional dan terminologi lokal Benuaq dimulai dari satu lapisan jenis pionir hingga
berkembang menjadi struktur yang komplek seperti halnya sistem klasifikasi ilmiah.
Tahapan suksesi berdasarkan kearifan lokal Benuaq dimulai dari urat, balikng
bataakng, bataakng, bengkar uraq dan bengkar tuhaq. Berdasarkan hasil analisis
tanah pada tiga tahapan suksesi diketahui bahwa lahan-lahan yang diberakan lebih
lama mempunyai tingkat kesuburan yang lebih baik dibandingkan lahan yang lebih
muda usia pemberaannya.
140
Daftar Pustaka
Asy’arie H. 2004. Fungsi Hutan dan Sistem Ladang Berpindah-pindah Menurut Adat
dan Kepercayaan Masyarakat Tradisional di Kalimantan Timur. Samarinda:
Biro Humas Setdaprov Kalimantan Timur.
Berns ten RH, Siwi BH, Beachell HM. 1982. The development and diffusion of rice
varieties in Indonesia. IRRI Res. Pap. Ser. 71.
Conklin H. 1963. The Study of Shifting Cultivation- el studio del cultivo de roza.
Washington DC: Union Panamericana, Secretari Gene ral, Organizacion de los
Estados Americanos.
Crevello S. 2004. Dayak Land Use Systems and Indigenous Knowledge. J. Hum.
Ecol. 16(2): 69-73.
Dove MR. 1985. Swidden agriculture in Indonesia. The subsistence Strategies of the
Kalimantan Kantu. Berlin, New York, Amsterdam: Mouton Publishiers.
Dove MR. 1988. Sistem perladangan di Indonesia: studi kasus dari Kalimantan
Barat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dyson L. 1979. Sistem dan Motivasi Gotong Royong pada Suku Bangsa Dayak
Tunjung di Desa Juhan Asa Kabupaten Kutai Kalimantan Timur [skripsi].
Jakarta: Fakultas Sastra, Universitas Indonesia .
Freeman JD. 1970. Report on the Iban. London: The Athlone Press.
Jessup TC. 1981. Why Do Apo Kayan Shifting Cultivators Move? Borneo Research
Bulletin 13 (1): 16-32.
Jessup TC, Vayda AP. 1988. Dayaks and Forests of Interior Borneo. The University
Museum Magazine of Archeology/Anthropology University of Pennsylvania.
Expedition 30(1): 5-17.
Kartawinata K, Soedjito H, Jessup TC, Vayda AP & Colfer CJP. 1984. The impacts
of development on interactions between people and forests in East
Kalimantan: a comparison of two areas of Kenyah Dayak settlement.
Environmentalist 4. Suppl. No. 7: 87-95.
Madrah D. 2001. Adat Sukat Dayak Benuaq dan Tonyooi. Jakarta: Puspa Swara dan
Yayasan Rio Tinto.
Mubyarto, Soetrisno L, Sudiro P, Awang AA, Sulistyo, Dewanta AS, Rejeki NS,
Pratiwi E. 1991. Kajian Sosial Ekonomi Desa-desa Perbatasan di Kalimantan
Timur. Yogyakarta: Aditya Media Press.
142
Mulyoutami E, Rismawan R, Joshi L. 2006. Knowledge and use of local plants from
Simpukng (forest garden) among Dayak people in East Kalimantan. Bogor:
ICRAF Working Paper.
Nanang M. 2004. Time Investment and Subsistence Value. Media CSF Vol. 5(1): 10.
Okimori Y, Matius P. 2000. Tropical Secondary Forest and Its Succession Following
Traditional Slash-and-Burn Agriculture in Mencimai, East Kalimantan. Di
dalam: Guhardja E, Fatawi M, Sutisna M, Mori T, & Ohta S, editor.
Rainforest Ecosystems of East Kalimantan: El Nino, Drought and Human
Impacts. Tokyo: Springer-Verlag.
Richards PW. 1996. The Tropical Rain Forest: An Ecological Study (2 nd Edition).
Cambridge: Cambridge University Press.
Setyawati I. 1997. Knowledge and Use of Rice Varieties in Apau Ping. In: Sorensen,
K.W & B. Morris (ed.). People and Plants of Kayan Mentarang. London:
WWF-Indonesia Programme.
Sillander K. 2002. Houses and social organization among the Bentian of East
Kalimantan. Borneo Research Bulletin 33: 82-99
Whitmore TC. 1984. Tropical Rainforests of The Far East (2nd edition). Oxford:
Clerendon Press.