Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada sistem pertanian di Indonesia, padi masih menjadi komoditas strategis.


Beras tetap menjadi sumber utama gizi dan energi bagi lebih dari 90% penduduk
Indonesia. Kebutuhan akan beras akan semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk. Selain masih menjadi sumber utama ketahanan
pangan, usahatani padi juga merupakan sumber ekonomi lebih dari 30 juta petani.

Upaya untuk meningkatkan produksi produksi padi dihadapkan pada ancaman


utama, yaitu: 1) stagnasi dan pelandaian produktivitas akibat kendala teknologi
dan input produksi, 2) instabilitas produksi akibat serangan hama-penyakit dan
cekaman iklim, 3) penurunan produktivitas akibat degradasi sumber daya lahan
dan air serta penurunan kualitas lingkungan, dan 4) penciutan lahan, khususnya
lahan sawah beririgasi akibat dikonversi menjadi lahan nonpertanian.

Sampai saat ini sekitar 90% produksi padi nasional dipasok dari lahan sawah
irigasi. Sementara lahan sawah tadah hujan, lahan kering, dan lahan pasang surut
yang tersebar luas di berbagai daerah belum banyak berkontribusi dalam
peningkatan produksi padi. Dengan melihat besarnya kontribusi sawah irigasi atau
padi sawah terhadap produksi padi nasional, maka diperlukan usaha untuk
menjaga produktivitas lahan sawah irigasi agar dapat berproduksi secara
berkelanjutan.

Optimasi produktivitas padi di lahan sawah merupakan salah satu peluang


peningkatan produksi gabah nasional. Hal ini sangat dimungkinkan bila dikaitkan
dengan hasil padi pada agroekosistem ini masih beragam antar lokasi dan belum
optimal. Rata-rata hasil 4,7 ton/ha, sedangkan potensinya dapat mencapai 6 -7
ton/ha. (Pramono dkk., 2005).

Menurut Ito (2000), pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang


memanfaatkan fungsi perputaran energi dan diselaraskan dengan kebutuhan
produksi. Penerapanteknologi budi daya yang berkelanjutan terjadi jika lahan
yang dikelola dapat memberikan produksi tanaman dan atau hewan yang

1
memuaskan tanpa menimbulkan kerusakan atas lahan tersebut sehingga
produktivitasnya dapat dipertahankan oleh sistem pertanian itu sendiri.
Konsep pertanian yang mengupayakan pemanfaatan sumber daya yang
terdapat di dalam sistem secara optimum dikenal dengan istilah LEISA (low-
external-input and sustainable agriculture). Sistem LEISA ini bertujuan
mengurangi dan meningkatkan efisiensi penggunaan input eksternal yang
meliputi sumber energi dari fosil, menekan biaya produksi, meningkatkan
kemampuan berswasembada, meningkatkan kesadaran akan bahaya polusi pada
kesehatan manusia, dan melestarikan lingkungan (Adnyana, 2001).
1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari kegiatan praktikum ini yaitu :


 Untuk mengidentifikasi sistem pertanian yang sedang berlangsung pada
suatu agroekosistem ke dalam sistem produksi pertanian berkelanjutan
baik secara mandiri maupun kerjasama dalam kelompok.
 Untuk mengetahui sistem pertanian di Desa Hegarmanah dan apakah
petani disana sudah menerapkan sistem pertanian berkelanjutan (LEISA)
atau tidak.

2
BAB II

METODOLOGI

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian (Survei)

Praktikum mata kuliah Sistem Pertanian Berkelanjutan II ini dilaksanakan


pada bulan Oktober di Desa Hegarmanah, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten
Sumedang, Provinsi Jawa Barat.
2.2 Desain Penelitian (Survei)

Desain penelitian ini adalah metode survei dengan menggunakan teknik


RRA (Rapid Rural Appraisal = Pemahaman Pedesaan dengan Cepat) yaitu PRA
(Partisipatory Rural Apparaisal) yang bertujuan untuk menganalis agroekosistem
di Desa Hegarmanah secara cepat yang meletakkan penekanan khusus pada
partisipasi masyarakat lokal dalam menganalisis situasi saat ini.

Penelitian survei adalah jenis penelitian yang mengumpulkan informasi


tentang karakteristik, tindakan, pendapat dari sekelompok responden yang
representatif yang dianggap sebagai populasi. Tujuan dari penelitian survei antara
lain yaitu untuk menghasilkan deskripsi beberapa aspek dari populasi yang
dipelajari dan memerlukan informasi dari subjek yang dipelajari dan
mengumpulkan informasi tentang variabel dari sekelompok objek atau populasi.

2.3 Diagram Alur Proses Penilaian Kondisi Existing

Praktikum ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan proses. Alur proses


praktikum dan penilaian kondisi eksis agroekosistem setempat disajikan pada
Gambar 1.

Mulai

Perumusan Masalah

Tujuan

3
Pengumpulan Data

Data Primer Data Sekunder


 Karakteristik kondisi agro-ekosistem  Monografi desa
 Kondisi biofisik agroekosistem  Profil desa
 Kondisi sosial ekonomi agro-
ekosistem
 Kondisi kelembagaan
 Potensi sumberdaya alam
 Pelaksanaan sistem usahatani
 Permasalahan sistem usahatani

Evaluasi dan Analisis Data

Rekomendasi atas Kondisi Eksis

Rancangan Model Sistem Pertanian


Berkelanjutan (SPT)

Selesai

Gambar 1. Alur proses penilaian kondisi eksis agroekosistem

2.4 Proses Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam praktikum yang dilaksanakan dengan


metode survei ini dilakukan dengan teknik wawancara. Wawancara merupakan
teknik pengambilan data dimana peneliti langsung berdialog dengan responden
untuk menggali informasi dari responden. Wawancara yang dilakukan merupakan
wawancara semi terstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan dengan

4
menggunakan pedoman dan bebas/lepas. Wawancara dilakukan untuk
memperoleh data primer, dengan petani sebagai responden/narasumber.
Sementara itu, pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengambil
data kepada instansi-instansi pemerintah yang terkait dengan praktikum lapangan,
seperti kantor Desa.
2.5 Metode Analisis Data (Deskriptif)

Metode analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan


metode penelitian kuntitatif less dominant kualitatif yang bersifat analisis
deskriptif. Desain penelitian deskriptif bertujuan untuk menerangkan atau
menggambarkan masalah penelitian yang terjadi berdasarkan karakteristik orang,
tempat, dan waktu. Penelitian deskriptif dilakukan untuk mendeskripsikan
seperangkat peristiwa atau kondisi populasi saat ini yaitu dengan menggali
kondisi dan permasalahan yang terdapat di agroekosistem di Desa Cileles.

5
BAB III

ANALISIS AGROEKOSISTEM

3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

3.1.1. Profil Desa Hegarmanah

Desa Hegarmanah adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan


Jatinangor Kabupaten Sumedang. Desa Hegarmanah dibentuk pada tahun 1983,
desa ini merupakan pemekaran dari Desa Cikeruh. Berdasarkan SK Bupati
Sumedang nomor 140/SK.19 Pem/1983 tanggal 22 Januari 1983 Desa Cikeruh
terbagi menjadi Desa Cikeruh dan Desa Hegarmanah. Pada saat desa ini dibentuk,
sebagian wilayah Desa Hegarmanah merupakan lahan tidur eks perkebunan karet.
Seiring dengan perkembangan wilayah, lahan tidur eks perkebunan karet tersebut
berubah dengan adanya Perguruan Tinggi Universitas Padjadjaran pada tahun
1988 khususnya Fakultas Pertanian dan Peternakan.

Kondisi Geografis

Desa Hegarmanah memiliki luas wilayah sekitar 331 hektar. Batas wilayah
Desa Hegarmanah menurut mata angin adalah sebagai berikut :

• Utara : Desa Cileles


• Selatan : Desa Jatimukti
• Timur : Desa Cinanjung
• Barat : Desa Cikeruh
Sedangkan untuk letak atau lokasi Desa Hegarmanah beserta jaraknya ke kota
kecamatan, kota kabupaten maupun kota provinsi adalah sebagai berikut :
• Elevasi : ± 700 mdpl
• Jarak ke kota kecamatan : ± 0,05 KM
• Jarak ke kota kabupaten : ± 23 KM
• Jarak ke kota provinsi : ± 21 KM

6
Gambar 2. Peta Desa Hegarmanah

Demografi

• Jumlah Penduduk : 9.914 jiwa

• Laki-laki : 5.084 jiwa

• Perempuan : 4.830 jiwa

• Jumlah keluarga : 2.869 KK

Kondisi Sarana dan Prasarana

• Jalan utama : Beraspal

• Kondisi Pasar : Permanen

• Sarana transportasi : Angkot, ojeg, bis umum

• Sarana kesehatan : Puskesmas

• Sarana komunikasi : Warnet, kantor pos

• Sarana pendidikan : TK, SD, SMP, SMA, Perguruan tinggi

7
Kondisi Umum Pertanian Desa

• Curah hujan rata-rata : 110 mm/tahun

• Jumlah bulan basah : 6 bulan

• Tipe iklim :C

Berdasarkan klasifikasi Schmidt–Ferguson, iklim di Kecamatan Jatinangor


tergolong ke dalam iklim agak basah dengan nilai Q=0,59 yang didapat dari
perbandingan jumlah rata-rata bulan kering (curah hujan kurang dari 60 mm)
dengan jumlah rata-rata bulan basah (curah hujan diatas 100 mm).
Berdasarkan klasifikasi Oldeman, tipe iklim di Kecamatan Jatinangor
termasuk kedalam tipe-C dimana terdapat 5-6 bulan basah berurutan dengan
curah hujan diatas 100 mm.

400
350
300
250
200
150
100
50
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

Gambar 3. Rata-Rata Curah Hujan Berdasarkan Bulan Kecamatan Jatinangor


2001-2010 (Badan Penyuluh Kecamatan Jatinangor)

Tabel 1. Kondisi umum wilayah dan pertanian

- Klasifikasi wilayah : Menengah


- Bentuk wilayah : Berbukit dan dataran
- Penggunaan lahan utama : Ladang, sawah dan pemukiman
- Intensitas penggunaan lahan : Intensif
- Vegetasi utama : Padi dan palawija
- Sumber pengairan : Irigasi dan curah hujan

8
- Sistem tanam : Rotasi, tumpang gilir
- Pola tanam : Padi-Palawija

Tabel 2. Macam penggunaan lahan pertanian

No Penggunaan Lahan Luas (Ha) Presentase (%)

1 Sawah irigasi teknis 50,00 40,43

2 Sawah irigasi 1/2 teknis 36,82 29,78

3 Pertanian lahan kering 36.85 29,80

Jumlah 123,67 Ha

Brikut status kepemilikan lahan di Desa Hegarmanah :

• Jumlah keluarga memiliki pertanian : 953 keluarga

• Tidak memiliki : 1.617 keluarga

• Memiliki kurang 10 Ha : 430 keluarga

• Memiliki 10-50 Ha : 28 keluarga

• Jumlah keluarga petani : 953 keluarga

Keadaan Penduduk Desa, Sosial Ekonomi dan Kelembagaan


Dari hasil survei yang dilakukan dan berdasarkan data monografi yang
tersedia maka didapatkan informasi sebagai berikut :

Tabel 3. Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persentase


1 Tidak/belum bekerja 2128 21.46%
2 Ibu rumah tangga 2153 21.72%

9
3 Pelajar/mahasiswa 1856 18.72%
4 Pensiun 107 1.08%
5 PNS 182 1.84%
6 TNI/POLRI 28 0.28%
7 Petani 88 0.89%
8 Buruh 604 6.09%
9 Pegawai swasta 1218 12.29%
10 Wiraswasta 1391 14.03%
11 Lain-lain 159 1.60%
Total 9914
Sumber : Monografi Desa Hegarmanah
Dari data diatas dapat dilihat bahwa pada umumnya masyarakat Desa
Hegarmanh bermata pencaharian sebagai wirasawasta disamping ibu rumah
tangga. Untuk petani sendiri hanya 0,89 % dari jumlah penduduk keseluruhan.
Hal ini diduga terjadi karena kebanyakan lahan-lahan yang ada di Desa
Hegarmanah telah dialihfungsikan untuk pembangunan kos kosan mahasiswa
Unpad.

Tabel 4. Tingkat Pendidikan

No Tingkat pendidikan Jumlah (orang) Persentase


1 Belum sekolah 1733 17.48%
2 Belum tamat SD 1195 12.05%
3 Tamat SD/sederajat 2353 23.73%
4 SLTP/sederajat 1745 17.60%
5 SLTA/sederajat 2303 23.23%
6 D1/D2 40 0.40%
7 D3/S.muda 172 1.73%
8 D4/S1 359 3.62%
9 S2 13 0.13%
10 S3 1 0.01%
Jumlah 9914

10
Berdasarkan data diatas umumnya penduduk Desa Hegarmanah tingkat
pendidikannya adalah lulusan SD/sederajat dan SLTA/sederajat yaitu sekitar 23 %
dari total penduduk keseluruhan. Sedangkan untuk penduduk yang tingkat
pendidikan D4/S1 hanya sekitar 3 %.

Kelembagaan

1. Kelompok Tani

• Jumlah : 6 kelompok
• Jumlah pengurus : 24 orang
• Kepemimpinan : dipilih anggota
• Masa kepemimpinan : 5 tahun
• Pembina : Petugas/aparat pemerintah
• Kegiatan rutin : Gotong royong saluran air
• Jumlah : 6 kelompok
• Jumlah pengurus : 24 orang
• Kepemimpinan : dipilih anggota
• Masa kepemimpinan : 5 tahun
• Pembina : Petugas/aparat pemerintah

2. Lembaga Tani Tingkat Desa


• Nama lembaga : Mitra Cai
• Tugas pokok
Mengurus tercukupinya aliran air untuk irigasi lahan pertanian
3. Tenaga Penyuluh/pendamping
• Jumlah : 2 orang
• Tingkat pendidikan : SMK Petanian & D-3
• Penugasan : Kecamatan
• Tugas pokok
memberi sosialisasi mengenai teknologi dalam pertanian dan melakukan
pendampingan kepada petani

11
3.1.2 Pelaksanaan Sistem Pertanian Di Desa Hegarmanah

Tipe Penggunaan Lahan Agroekosistem Sawah Irigasi Non Teknis

Nama Responden : Pak Daim / 70 tahun

Lokasi tempat Kajian : Dusun Sukamaju RT/RW : 02/04

1. Produksi : Padi
2. Orientasi pasar : Dikonsumsi sendiri atau untuk dijual
3. Ukuran dan konfigurasi
lahan
- Luas lahan garapan : 150 tumbak = 0,21 Ha
- Status kepemilikan : Lahan Pemerintah
- Konfigurasi lahan : Satu hamparan
4. Pemodalan :
- Jumlah : ± Rp. 1.200.000
- Perolehan modal : Dana sendiri
5. Tenaga kerja manusia
- Jumlah : 9 orang/musim
- Sumber tenaga kerja : 1 orang anggota keluarga (tidak diupah) dan 8
orang lain (diupah)
6. Sumber tenaga ternak
- Penggunaan ternak : 1 ekor kerbau
- Status kepemilikan : Pinjaman
ternak
- Alasan penggunaan : Mempermudah dalam pengolahan tanah
ternak
7. Penggunaan Mesin
pertanian
- Jenis mesin yang : -
digunakan
- Status kepemilikan : -
mesin

12
- Alasan penggunaan : -
mesin
8. Pendidikan dan pelatihan
- Pendidikan formal : SMP
- Pelatihan (sekolah : Penyuluhan, mengikuti jika ada penyuluhan
lapang, workshop,
penyuluhan)
- Apakah hasil pelatihan : Tidak
tersebut diterapkan?
9. Sumber pengetahuan
petani
- Sumber informasi : Informasi dari tenaga penyuluh dan Informasi dari
teman (sesama petani)
- Upaya mendapatkan : Diskusi dengan sesama petani
informasi
10. Teknologi budidaya
- Pembibitan - Jenis varietas Ciherang
- Tidak dilakukan perlakuan pada benih
- Kadang membuat benih sendiri
- Pola tanam - Tidak melakukan rotasi hanya menanam padi
- Pola tanam: monokultur
- Alasan pemilihan jenis tanaman yang
diusahakan : karena bisa dikonsumsi sendiri
- Pengolahan lahan - Minimum tillage
- Dilakukan 1 bulan setelah panen
- Cara pengolahan menggunakan bantuan ternak
(kerbau)
- Pengairan - Sumber pengairan air irigasi Mitra Cai
- Pemupukan - Jenis pupuk : urea
- Dosis : 70 kg masing-masing saat waktu tanam,
45 HST, 60 HST

13
- Ketersediaan pupuk : membeli dari toko
pertanian
- Pengendalian - Jenis hama : beurem, penggerek batang, tikus,
Organisme penggangu burung
tanaman - Teknik pengendalian hama menggunakan
pestisida
- Apakah cara pengendalian yang dilakukan
efektif atau sudah mulai tidak efektif lagi :
efektif
- Apakah petani tahu mengenai pengendalian
hama dan penyakit secara terpadu? Kalo tahu,
darimana informasi tentang tsb diperoleh?
Tidak tahu
- Pemanenan - Secara manual
- Pengelolaan pasca - Menjemurnya di atas terik matahari
panen
- Pengelolaan sisa - Untuk ternak
tanaman - Dibakar
11. Kebutuhan infrastruktur
- Pabrik pengolahan Tidak, karena masih bisa untuk diolah sendiri
(pasca panen)
- Tenaga penyuluh/ Ya, agar meningkatkan hasil produksi
pendamping
- Jalan/sarana transportasi Ya, agar mempermudah distribusi
- Tempat penampungan Tidak, karena hasilnya kebanyakan di konsumsi
hasil (gudang bersama) sendiri
12. Pemasaran Hasil
- Cara pemasaran : Tengkulak
- Pengangkutan hasil : Menggunakan mobil pick up
13. Pendapatan
- Produktivitas : ± 10 ton/ha/tahun

14
5 ton/ha per musim tanam
- Jumlah produksi : 1 ton
- Pendapatan : 1 kw = Rp.500.000
10 kw x Rp. 500.000 = Rp. 5.000.000
14 Biaya produksi
- Biaya untuk benih : Sendiri (5kg x Rp. 40.000 = Rp. 200.000)
- Biaya untuk pupuk : Urea Rp. 2400/kg x 70 kg = Rp. 168.000 x 3 = Rp.
504.000
- Biaya untuk pestisida : -
- Biaya tenaga kerja : 8 orang x Rp. 50.000 = Rp. 400.000
- Biaya untuk pengairan -
(kalau ada)
- Biaya sewa lahan (kalau -
ada)
- Sumber pendanaan : Dana sendiri
13. Analisis usaha tani :

3.2 Rangkuman Hasil Analisis Atas Dasar Kondisi Eksis

Sistem pertanian di Desa Hegarmanah masih menggunakan sistem


pertanian tradisional atau sesuai dengan kebiasaan yang diwariskan turun-temurun
sejak dahulu. Petani sawah di Desa Hegarmanah masih mengandalkan benih dari
hasil pertanaman sebelumnya dan masih banyak yang menggunakan pupuk kimia
sintetik secara berlebihan dan penggunaan pestisida yang masih belum
menggunakan prinsip PHT.

Sumber Benih
Sumber benih yang digunakan petani umumnya masih mengunakan benih
dari hasil pertanaman sebelumnya, petani menggunakan benih bersertifikat hanya
jika datang bantuan benih dari pemerintah. Varietas padi yang biasa digunakan
adalah varietas IR 64 dan Ciherang.

15
Pola Penanaman
Pola penanaman petani di Desa Hegarmanah menggunakan sistem rotaasi
dan tumpang gilir sesuai dengan musim. Sebagian besar petani biasanya pada saat
musim hujan pada Desember-Juli petani menanam padi sawah selama dua musim
kemudian pada musim kemarau atau sekitar Agustus-Oktober petani menanam
palawija yaitu jagung atau cabe, tetapi tidak semua petani menanam pada bulan-
bulan tersebut dikarenakan petani kurang dapat memprediksi kapan datang musim
hujan dan musim kemarau. Selain menggunakan sistem tumpang gilir, masih
banyak juga petani yang masih menanam padi sawah secara monokultur.

Gambar 4. Pola Penanaman Petani di Desa Hegarmanah

Padi Musim I Padi Musim II Palawija Bera


Des Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agst Sep Okt Nop

Untuk teknologi pola tanam, sebagian petani di Desa Hegarmanah telah


mengetahui dan menggunakan pola tanam jajar legowo dan juga SRI walaupun
sebagian besar petani masih menggunakan sistem tanam tradisional dengan
banyak benih di satu lubang tanam. Petani tetap bertahan pada pola tanam yang
lama disebabkan karena ketakutan petani akan benih yang tidak tumbuh
khususnya pada musim kemarau jika menggunakan pola tanam SRI dan juga
untuk pola tanam jajar legowo petani masih mempunyai banyak pertimbangan dan
rasa lebar atau mubazir jika sebagian lahannya tidak ditanam oleh padi.

Pemupukan
Petani di Desa Hegarmanah masih menggunakan konsep HEIA (high
external input agriculture). Petani melakukan pemupukan yaitu dengan
menggunakan pupuk kimia sintetis berupa urea dan phonska dengan dosis yang
berlebihan. Dosis tersebut digunakan karena kebiasaan tanpa melihat analisis
tanah tersebut ataupun bagan warna daun (BWD).

16
OPT dan Pengendaliannya
Organisme pengganggu tanaman yang utama yang terdapat pada sawah di
Desa Hegarmanah ini adalah penyakit tungro yang sering disebut petani hama
beureum, wereng dan keong mas. Untuk saat ini penyakit tungro merupakan
penyakit yang paling meresahkan warga Desa Hegarmanah karena dapat
mengakibatkan gagal panen.

Penyakit tungro yang biasa disebut petani dengan nama Hama Beureum
merupakan salah satu penyakit pada tanaman padi. Penyakit ini disebabkan oleh
virus RTBV (Rice Tungro Bacilliform Virus) yang ditularkan oleh wereng hijau
(Nephotettix impicticeps) sebagai vektor. Penyakit ini merupakan penyakit yang
sangat meresahkan bagi petani khususnya petani padi dikarenakan sampai saat ini
belum ada pengendalian yang tepat jika sudah terjadi serangan. Oleh karena itu
dibutuhkan pengendalian dan pencegahan sebelum penyakit tersebut menyerang.

Untuk pengendaliannya, petani di Desa Hegarmanah belum menerapkan


pengendalian terpadu, seperti penggunaan benih unggul, tanam serempak, dan
lain-lain, petani masih sangat tergantung dengan pestisida.

17
BAB IV

RANCANGAN SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN DAN


PENGEMBANGAN LEISA DI DESA HEGARMANAH
4.1 Konsep LEISA
LEISA (low external input for sustainable agriculture) merupakan prinsip
pengetahuan agroekologi petani maupun ilmuwan yang mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya lokal yang ada dengan mengkombinasikan berbagai
macam komponen system usaha tani yatu tanaman, hewan, tanah, air, iklim, dan
manusia yang saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar.

Gambar 5. Rancangan sistem pertanian berkelanjutan


Pada sistem ini setidaknya memungkinkan dipadukan tiga jenis usahatani,
antara lain: tanaman pangan, peternakan, dan perikanan. Ketiga jenis usaha tani
tersebut sudah banyak dilakukan oleh para petani di pedesaan. Produk sampingan
dari usahatani yang dilakukan menjadi input yang sangat berharga bagi usaha tani
yang lainnya, sehingga terbentuklah simpul-simpul yang menyatukan antara yang
satu dengan yang lainnya. Pada sistem pertanian ini telah terintegrasi dua jenis
usahatani, yaitu tanaman pangan dan peternakan.

18
4.2 Pengembangan LEISA

Potensi yang terdapat pada lahan sawah irigasi non teknis/sederhana di


Desa Hegarmanah ini sudah semakin berkurang. Di tengah hingar bingar
pembangunan dan alih fungsi lahan di Kecamatan Jatinangor, Desa Hegarmanah
hendaknya bisa mempertahankan budaya pertaniannya. Luasnya lahan pertanian
khususnya lahan sawah dan juga aksesibilitas yang dekat dari pusat pemerintahan
dan pasar merupakan potensi yang layak dikembangkan di Desa Hegarmanah
untuk menjadi lebih baik dengan memanfaatkan berbagai teknologi khususnya
penerapan dan pengembangan LEISA yang mendorong sistem pertanian
berkelanjutan yang nantinya berdampak pada perekonomian desa semakin
meningkat. Berikut beberapa sistem LEISA yang dapat dikembangkan di Desa
Hegarmanah.

1. Penggunaan Benih yang Bermutu dan Bersertifikat.


Sebagian besar petani sawah Desa Hegarmanah masih menggunakan benih
dari hasil pertanian sebelumnya untuk dijadikan benih di pertanaman selanjutnya.
Hal itu tentu saja mempunyai banyak kerugian dan kelemahan seperti sifat atau
karakteristik telah menurun, tempat infeksi penyakit dari tanaman sebelumnya,
produktivitas lebih rendah, dan lain-lain. Menurut Podesta (2009) usahatani padi
yang menggunakan benih sertifikat lebih efisien secara teknis dibandingkan
usahatani padi benih non sertifikat. Hal itu dikarenakan benih bersertifikat telah
terjamin kualitasnya dan karakteristiknya seperti produktivitas dan ketahanan
penyakit sehingga petani tidak lagi membutuhkan input-input yang berlebihan.

Dalam penanaman benih juga sebaiknya tidak menggunakan benih yang


banyak dalam satu lubang, cukup dua sampai tiga benih per lubang. Penanaman
dua sampai tiga benih per lubang akan merangsang jumlah anakan yang lebih
banyak sehingga dapat meningkatkan produktivitas padi tersebut.

2. Penggunaan Pola Tanam Tumpang Gilir


Salah satu kelemahan lahan sawah irigasi non teknis adalah terjadinya
pemborosan air dan tidak adanya bangunan penampung air secara permanen

19
sehingga biasanya pada lahan sawah irigasi non teknis akan mengalami
kekeringan pada saat musim kemarau.

Padi di sawah yang memanfaatkan irigasi teknis dapat dipanen tiga kali
setahun. Sawah dengan irigasi non-teknis sangat tergantung pada persediaan air di
daerah setempat. Bila air mencukupi, panen dilakukan tiga kali setahun. Petani di
Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, misalnya, mengandalkan mata air yang selalu
tersedia sehingga produktivitas lahannya tinggi. Ini berbeda dengan petani di
beberapa daerah lain yang persediaan airnya terbatas. Mereka hanya bisa panen
sekali dalam setahun. (KOMPAS 22 September 2007)

Oleh karena itu dengan sistem pertanian dengan pola tanam tumpang gilir
dapat menjamim keberlanjutan lahan tersebut pada saat musim kemarau. Pola
tanam tumpang gilir adalah salah satu pola tanam polikultur yang dilakukan
secara secara beruntun sepanjang tahun dengan mempertimbangkan faktor-faktor
lain untuk mendapat keuntungan maksimum. Selain untuk menjamin
keberlanjutan, sistem pertanian dengan pola tanam tumpang gilir juga mempunyai
berbagai manfaat seperti:

 Pengolahan yang bisa dilakukan dengan menghemat tenaga kerja, biaya


pengolahan tanah dapat ditekan, dan kerusakan tanah sebagai akibat terlalu
sering diolah dapat dihindari
 Hasil panen secara beruntun dapat memperlancar penggunaan modal dan
meningkatkan produktivitas lahan
 Dapat mencegah serangan hama dan penyakit yang meluas
 Kondisi lahan yang selalu tertutup tanaman, sangat membantu mencegah
terjadinya erosi
 Kondisi lahan yang selalu tertutup tanaman, sangat membantu mencegah
terjadinya erosi
 Sisa komoditi tanaman yang diusahakan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
hijau
Lahan sawah di Desa Hegarmanah, kecamatan Jatinangor merupakan
lahan sawah dengan irigasi non teknis yang ketersediaan air tidak terjamin
sepanjang tahun sehingga sangat cocok dengan pola tanam tumpang gilir. Sistem

20
pertanian pola tanam tumpang gilir ini menjamin keberlanjutan pertanian ketika
musim kemarau tiba yaitu dengan menanam palawija. Sistem pertanian yang
diterapkan di Desa Hegarmanah telah sesuai dengan ekologi yang berupa sawah
irigasi non teknis yaitu dengan pola tumpang gilir padi dengan palawija. Hal
terpenting dalam penentuan waktu tanam padi dan palawija adalah berdasarkan
curah hujan daerah setempat.

Berdasarkan grafik rata-rata curah hujan di Kecamatan Jatinangor (gambar


3), musim hujan dimulai dari Oktober sampai April, dan pada bulan Mei sudah
mulai memasuki musim kemarau sampai September. Rekomendasi pola tanam
tumpang gilir di Desa Hegarmanah adalah musim pertama padi dimulai dari bulan
Oktober karena pada bulan tersebut sudah mulai musim hujan sampai bulan
Januari, kemudian musim kedua padi dimulai pada bulan Februari sampai Mei.
Budidaya palawija sebaiknya dimulai pada bulan Juni sampai Agustus yaitu pada
saat musim kemarau dan pada bulan September lahan diberakan atau
diistirahatkan.

Rekomendasi pola penanaman dapat dilihat di bagan berikut

Padi Musim I Padi Musim II Palawija Bera


Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sep

3. Penggunaan pestisida sintetik secara bijaksana


Penggunaan pestisida sintetik dijadikan sebagai alternatif pilihan terakhir
dalam pengendalian OPT. Pestisida sintetik diaplikasikan jika kerugian yang
ditimbulkan oleh OPT telah mencapai ambang ekonomi. Aplikasi pestisida
sintetik secara bijaksana dan sesuai dengan prinsip 5T.
4. Integrasi Tanaman – Ternak - Perikanan
Integrasi tanaman dan ternak dimaksudkan untuk mendukung pertanian
berkelanjutan, penggunaan sumber daya alam secara optimal dan efisiensi
penggunaan lahan dalam upaya peningkatan pendapatan. Telah kita sadari
bersama bahwa ternak memberikan kontribusi yang besar terhadap kesejahteraan
petani, namun hingga kini peranan ternak tersebut dalam usahatani belum

21
dimanfaatkan secara maksimal oleh sebagian besar petani. Jenis ternak yang
banyak dipelihara di Desa Hegarmanah yaitu sapi, ayam dan domba. Ketiga jenis
ternak tersebut dapat dintegrasikan dengan kegiatan pertanian.
5. Sisa brangkasan tanaman dan rerumputan sebagai pakan ternak
Kegiatan panen jagung dan kacang tanah meninggalkan bagian tanaman
yang tidak diambil/brangkasan. Sisa brangkasan tersebut dapat digunakan untuk
pakan ternak sapi dan domba.
Brangkasan jagung merupakan limbah pertanian yang banyak terdapat di
pedesaan dan hampir merata di lahan kering. Hasil pertanian seperti jerami jagung
jika dicampur dengan bahan pakan lain yang mempunyai kandungan nutrien
lengkap akan menghasilkan susunan pakan yang rasional dan murah. Brangkasan
jagung baik diberikan untuk ternak sapi karena mengandung serat dan protein
yang cukup. Pakan dari brangkasan jagung memiliki kualitas yang baik, karena
brangkasan jagung memiliki kandungan serat kasar 27,8% dan protein 7,4%
(Erawati & Hipi, 2011).
6. Pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk organik
Petani di Desa Hegarmanah sebagian besar masih bergantung terhadap
penggunaan pupuk kimia anorganik, hal ini terlihat dari hasil survey wawancara
dimana rata-rata petani menggunakan TSP dan Urea dalam
pemeliharaan/pemupukan. Penggunaan pupuk kimia dalam dosis tinggi dan terus
menerus dapat memicu kerusakan tanah, seperti pengerasan struktur tanah, yang
secara tidak langsung dapat mengurangi kualitas lahan dan tanaman budidaya
dalam waktu yang lebih lama.

Pengembangan sektor peternakan sekarang ini diarahkan tidak hanya


terkait dengan pemenuhan pangan namun juga berkaitan dengan kesehatan dan
lingkungan. Intensifikasi usaha peternakan telah mencapai efisiensi produksi
tetapi juga perlu melihat isu lingkungan, yang menjadi perhatian baik di negara
maju dan berkembang. Dampak dari sektor ini pada pencemaran lingkungan
(amonia, gas rumah kaca, dan patogen), mengevaluasi risiko kesehatan terkait dan
menilai potensi peranan sistem pengolahan limbah dalam pelemahan isu-isu
lingkungan dan kesehatan (Kasworo dkk., 2013). Maka dari itu pemanfaatan
kotoran ternak menjadi pupuk organik bisa meminimalkan permasalahan di atas.

22
7. Pembuatan / pengoptimalan fungsi embung
Dampak perubahan iklim dapat mengakibatkan terjadinya kekeringan,
kondisi ini telah dirasakan oleh petani sehingga menyebabkan resiko usaha
pertanian yang semakin meningkat dan sulit diprediksi. Petani sebagai ujung
tombak pelaksanaan pembangunan pertanian diharapkan mampu melaksanakan
usahatani dengan meminimalisir dampak perubahan iklim yang terjadi, sehingga
tidak berpengaruh terhadap produksi. Embung merupakan teknologi konservasi
air yang sederhana, biayanya relatif murah dan dapat dijangkau kemampuan
petani. Selain untuk mengatasi kekeringan, embung juga merupakan salah satu
teknik pemanenan air (water harvesting) (Nuchsin, 2014).
Embung adalah bangunan (kolam) permanen dan penyimpan air hujan.
Embung biasanya dibuat pada areal pertanian lahan kering, sebagai upaya
menampung aliran permukaan. Daya tampung kedung bervariasi tergantung
kondisi kemiringan lahan namun jarang yang melebihi 100 m3, kecuali dibuat
secara permanen. Dimensi panjang selalu menyilang arah lereng. Keberadaan
embung selain efektif mengendalikan erosi dan konservasi air, juga berpotensi
meningkatkan pendapatan petani lahan kering (Hafif, 2006). Embung dapat dibuat
di dekat lahan petani. Untuk mengefisienkan biaya, maka pembuatan embung
dapat diperuntukan untuk beberapa petani (kelompok). Dengan adanya embung
tersebut petani di wilayah ini dapat menanam tanaman semusim 2 kali setahun
dan memiliki cadangan air disaat saluran air dari hulu terhambat.
8. Pengendalian OPT dengan Sistem PHT
Pengendalian Hama Terpadu merupakan konsep yang dianjurkan untuk
mengamankan produksi pangan dan hortikultura dari serangan OPT dan
merupakan prinsip ekologi dasar pada LEISA yaitu meminimalkan serangan hama
dan penyakit melalui cara yang aman yang saling melengkapi dan sinergi dalam
penggunaan sumber daya genetik yang mencakup penggabungan dalam system
pertanian terpadu dengan tingkat keanekaragaman fungsional yang tinggi.
Konsep PHT didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi dalam
rangkaian pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan

Pengendalian Hama Terpadu di Desa Hegarmanah ini dapat dilakukan dari


masa awal tanam yakni dari segi pemilihan benih atau bibit, dimana benih yang

23
digunakan haruslah benih yang bermutu yang berkualitas baik yaitu dapat di uji
dengan metode sederhana yaitu dengan perendaman benih padi dengan air panas
dimana apabila benih tersebut mengambang maka benih tersebut kualitasnya
kurang baik serta penggunaan benih bersertifikat yang terbebas dari penyakit.
Selain itu media semai yang baik soil treatment sebelum pindah tanam yaitu
dengan cara mengolah tanah kemudian dilakukan pembalikan tanah, solarisasi,
pembersihan gulma. Pemberian jamur antagonis Trichoderma sp dan pupuk yang
sesuai. Dapat menggunakan system tanam jajar legowo ini dimaksudkan untuk
memaksimalkan potensi padi untuk menyerap unsur hara dan memudahkan
penyiangan selain itu apabila terserang hama keong dapat menggunakan teknik
pengendalian biologis yaitu memanfaatkan bebek sebagai agen biologisnya.

Untuk pengendalian Hama Beureum dan penggerek batang dapat


digunakan perangkap jenisnya light trap dan yellow sticky trap untuk imago
penggerek batang padi dan untuk hama beureum (atau virus tungro yang
disebabkan oleh vector wereng hijau) dapat dilakukan pengendalian dengan cara
memanfaatkan parasitoid Gonatocerus sp untuk telur wereng hijau serta
penggunaan predator Menochilus sp. Selain itu untuk mengatasi hama beureum
ini dapat dilakukan dengan cara mencabut tanaman yang terserang agar tidak
menyebar dan jangan pernah memakai benih dari tanaman yang terserang virus
ini, serta penggunaan alat-alat pertanian yang bersih

24
DAFTAR PUSTAKA

Anonym. 2012. Jenis-Jenis Pola Tanam. Blog Universitas Brawijaya. Diakses


melalui: http://blog.ub.ac.id/ikha/files/2012/06/Pola-Tanam.doc
BPP Jatinangor. 2012. Data Curah Hujan Kecamatan Jatinangor 2001-2010.
Firman, A., L. Herlina., dan M.Sulistyati. 2005. Analisis development diamond
dan potensi wilayah pengembangan peternakan yang berwawasan
lingkungan di Kabupaten Majalengka. Universitas Padjadjaran.
Hafif, B. 2006. Manfaat embung kecil. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Lampung.
Herlina. 2011. Kajian variasi jarak dan waktu tanam jagung manis dalam sistem
tumpangsari jagung manis (Zea mays saccarata Sturt) dan kacang tanah
(Arachis hypogeal L.). Universitas Andalas. Padang.
Jat, M. K. and A. S. Tetarwal. 2014. Department of Entomology. Haryana
Agricultural University.

25

Anda mungkin juga menyukai