anEthnoecological
a) samodaya@ymail.com
b) spilornis_cheela@ymail.com
Abstrak. Kehadiran dan distribusi berbagai keluarga cicada sebagai salah satu indikator perubahan
musim petani Jawa dan Bali. Pemahaman perubahan musim adalah sebagai upaya mengoptimalkan
hasil panen sebagai sarana untuk mendukung kebutuhan dasar. Masyarakat memahami perilaku hewan
cicada family berdasarkan kondisi musim. Pedoman musim tradisional didasarkan pada posisi matahari
dari posisi ekuator, bulan, astronomi disebut pranotomongso. Keluarga Cicada merupakan salah satu
indikator perubahan musim antara musim hujan dan musim kemarau. Ada dua pilihan jangkrik:
garengpung sebagai indikator musim kemarau dan indikator tenggoreknongas musim hujan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan dinamika pertumbuhan garengpung dan
tenggoreknong (cicada) sebagai serangga indikator perubahan musim. Penelitian ini merupakan
penelitian eksploratif dan data dilakukan melalui observasi. Observasi lapangan terhadap manifestasi
dan dinamika dua serangga dilakukan. Penelitian dilakukan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Provinsi Bali selama periode 2015 sampai 2016. Korelasi antara dinamika kehadiran dan munculnya
garengpung dan tenggoreknongvoice dapat dimanfaatkan sebagai indikator perubahan dinamika musim
hujan dan musim kemarau. Perhitungan perubahan musim hujan dan musim kemarau sangat relevan
dengan perhitungan pranotomongso. Kehadiran dan dinamika munculnya cicada masih relevan sebagai
salah satu informasi ekologis melalui pendekatan etnoekologis.
INTROUCTION
Keunikan budaya berbagai suku di Indonesia adalah zamrud dari khatulistiwa karena keunikannya
ditentukan oleh sifat geologi, lokasi geografis, klimatologi dan diwujudkan dengan adanya
keanekaragaman tumbuhan dan hewan [1] Kehadiran tumbuhan dan hewan tertentu pada umumnya
dimanfaatkan. sebagai penentu musim sebagai dasar perhitungan musim tanam dan pemanenan. [2]
Pengetahuan tradisional musim berdasarkan perilaku tanaman musiman dapat dipelihara sebagai
sumber informasi ekologis melalui pendekatan etno sains yaitu pendekatan ekologi etno [3].
Pengetahuan diperoleh dari kejadian alam sehari-hari dan hasil abstraksi dalam beradaptasi dengan
lingkungannya.
Ekologi dilihat dari pandangan sejarah dan perkembangan etnis Indonesia dimana pengetahuan
masyarakat didominasi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Pemahaman tentang keunikan lingkungan
alamnya adalah sebagai pemahaman awal fenomena ekologis. Pemahaman tidak hanya bisa ditafsirkan
sebagai ekologi material tapi di luar itu [6] Ada persepsi keunikan setiap etnik sebagai esensi pendekatan
ekologi etno [7] Ekologi etno sebagai disiplin dimana pendekatannya relevan dengan keunikan
lingkungan dan persepsi masyarakat. Praksis dan artefak ekologi etno adalah sebagai produk aktivitas
masyarakat dalam pemanfaatan keunikan sumber daya alam. Ada empat prinsip utama ilmu
pengetahuan sebagai dasar pengembangan etnologi. Keempat komponen tersebut adalah antropologi,
etnobiologi, agronomi dan lingkungan geografisnya. [7] Ekologi etno bertujuan untuk menemukan
ketertarikan antara pengetahuan, pemahaman dan perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan
biofisika dan lingkungan sosialnya sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Antropologi
berkontribusi pada keunikan tingkah laku etnik dalam merespon dinamika musim, seperti etnis Jawa dan
Bali dalam menanggapi musim kemarau dan perubahan rutin musim hujan. Etnobiologi berkontribusi
pada fenomena interaksi antara manusia dan mahluk hidup, seperti kehadiran dan dinamika bidang dan
hewan tertentu seiring perubahan musim. Cicada yang sekelompok serangga mengidentifikasi alternasi
musim baik Jawa maupun Bali. Agronomi menekankan pada pendekatan praktis masyarakat pertanian
saat menentukan musim tanam. Geografi lingkungan menekankan pada keunikan pengetahuan
tradisional masyarakat dalam menumbuhkan tanaman mereka. Studi ini didasarkan pada cara
pemanfaatan alam oleh kelompok masyarakat (etnis) yang relevan dengan keunikan, kepercayaan,
pengetahuan, obyektif dan penglihatannya. Inti ilmiah atau corpus mencakup kemunculan simbol,
konsepsi terhadap alam dan praksisnya dalam bentuk serangkaian aktivitas dan artefak hasil
manajemen. [7] Pranatamangsa (Jawa) atau pranatamnagsa (Bali) dan Kertamasasystem adalah sebagai
kalender pola pertanian masyarakat Jawa dan Bali.
Setiap tradisi di dunia menggunakan simbolisme namun simbolisme digunakan untuk kepentingannya
dalam budaya Baalin dan penggunaannya pada etnis yang berbeda yang tersebar di Indonesia [3]. Petani
Jawa dan Bali yang populer dengan serangga keluarga cicada yang digunakan sebagai bagian dari sistem
pertanian. Namun, tidak begitu banyak nilai manfaat langsung dibandingkan dengan pemanfaatan
hewan lain baik lokal, nasional maupun global. Masyarakat etnis Jawa dan Bali secara inheren
memanfaatkannya sebagai indikator musim hujan dan musim kemarau berubah sebagai sarana untuk
mengoptimalkan hasil panen. Pola pemanfaatan keberadaannya dalam sistem pertanian dinamakan
sebagai Pranotomongso (Jawa) atau Pranatamangsa (Bali). Ada berbagai cara melihat pranatamongso
dan hubungan antara manusia dan lingkungan sosial dan biofisik mereka. [3]
Pranatamangsa dan Kertamasa adalah dua pengetahuan masyarakat Jawa dan Bali yang berdasarkan
perhitungan musim. Perhitungan musim ditandai dengan perilaku tumbuhan dan hewan tertentu dan
astronomi. Pranatamangsa, Kertamasa dan Warigahave dikenal oleh nenek moyang masyarakat
Nusantara terutama oleh masyarakat Jawa dan Bali. Khususnya di Bali, Wariga ditulis dalam bahasa
papirus dan di Jawa ditulis dalam bentuk primbon [10] Tujuan perhitungan Wariga adalah untuk
menemukan cara terbaik dalam melakukan aktivitas tertentu; Hal ini juga berlaku dalam penentuan di
bidang pertanian. Inti wariga dan pranatamangsa, adalah bagian dari Jyotisa. [9]. [10] Jyotisa adalah ilmu
yang melibatkan astronomi, objek ekstra-terestrial sebagai dasar pembagian waktu dan pengaruhnya
terhadap kehidupan. Implementasi wewaranraks pada urutan satuan waktu. Unit pesanan dan waktu
terdiri dari; unit Tahun, Bulan / Sasih, PenaggalPangelong, Wuku, Hari / Wara dan dawuh. Perhitungan
berdasarkan bulan dengan urutan bulan pertama (Kaesa), sampai dengan bulan kedua belas (Sadha).
Urutan nama bulan yang lengkap sebagai berikut: Kaesa, Kalro, Katiga, Kapat, Kalima, Kaenem, Kapitu,
Kawolu, Kasanga, Kadasa, JhistaandSadha.
Masyarakat Jawa dan Bali adalah dua etnis tertentu yang memiliki keunikan sistem pranatamangsa
dalam menentukan musim tanam dengan memahami tanda alam. Warisannya dilakukan secara lisan
dan perintah perhitungan bulan Pranatamangsa seperti pranotomongsoTable 1 [8]
1 Kaesa 23 Juni-2 Aug. Musim kemarau. Matahari berada di garis lintang Utara, menuju ke Selatan
3 Ketiga 26 Aug. -18 Sept. Kering, matahari berasal dari Utara dan sudah masuk khatulistiwa
4 Kapat 19 Sept. -13 Okt. Memasuki musim hujan, matahari berada di khatulistiwa
6 Kanem 10 Nov. -22 Dec. Musim hujan, musim buah, waktu mulai mengalir, matahari menuju ke garis
lintang selatan
7 Kapitu 23 Des. -3 Feb. Banjir, angin kencang, mulai menanam padi, Matahari berada di Selatan, angin
kencang dari Barat tanpa tujuan.
Musim hujan, padi sedang dalam tahap reproduksi, Matahari bergeser dari Selatan ke Utara, Angin dari
Barat Laut ke Timur tanpa tujuan.
9 Kasasnga 2 Maret -26 Maret Musim hujan. Matahari ada di khatulistiwa. Angin kencang.
10 Kadasa 27 Maret -19 April Transisi dari musim hujan ke musim kemarau. Matahari bergeser ke Utara
12 Sadha 13 Mei-22 Juni Udara dingin, akhir panen padi. Musim untuk menanam tanaman