Pedoman Pelayanan TB
Pedoman Pelayanan TB
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak dahulu penyakit Tuberkulosis oleh masyarakat dikenal sebagai penyakit
menular dan merupakan salah satu masalah utama kesehatan di masyarakat indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya penderita tuberkulosis yang ditemukan di
masyarakat dan kematian yang disebabkannya.
Pada tahun 1995, puskesmas merupakan ujung tombak dalam pelayanan di
masyarakat dengan menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-
course). Dengan berjalannya waktu strategi DOTS telah mulai dikembangkan di Balai
Pengobatan Paru-Paru dan di Rumah Sakit, baik rumah sakit swasta maupun rumah
sakit pemerintah.
Pada tahun 2004 survey prevalensi tuberkulosis menunjukkan bahwa pola
pencarian pengobatan tuberkulosis ke rumah sakit ternyata cukup tinggi, yaitu sekitar
60 %.
Pasien tuberkulosis ketika pertama kali sakit mencari pengobatan ke rumah
sakit. Melihat dari besarnya animo masyarakat mencari pengobatan tuberkulosis ke
rumah sakit, maka RSUP Ratatotok Buyat membuka pelayanan klinik TB DOTS yang
bekerjasama dengan pemerintah dalam hal ini adalah dinas kesehatan Kabupaten
Minahasa Tenggara..
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Pedoman pelayanan TB di RSUP Ratatotok Buyat disusun dengan tujuan agar dapat
meningkatkan mutu pelayanan TB dengan strategi DOTS.
2. Tujuan Khusus
a. Sebagai pedoman manajerial dan operasional dalam penanggulangan TB di
RSUP Ratatotok Buyat
b. Sebagai indikator mutu penerapan standar pelayanan rumah sakit dalam
program penanggulangan TB melalui indikator standar pelayanan minimal
D. BATASAN OPERASIONAL
Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman tb
(mycobacterium tuberculosis). Sebagaian besar kuman tb menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ lain
Batasan operasional dalam pelayanan Tuberkulosis adalah memberi asuhan
keperawatan kepada pasien tuberkulosis.
E. DASAR HUKUM
1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
2. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
3. Undang-Undang RI. No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 647/Per/Menkes/V/2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat;
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan
Pasien Rumah Sakit;
6. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Rl Nomor 364/ Menkes/SK/V/2009 tentang
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis;
8. Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 884/Menkes/VII/2007 tentang Ekspansi TB
Strategi DOTS di Rumah Sakit dan Balai Kesehatan / Pengobatan Penyakit Paru;
9. Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Upaya Pelayanan Medik Nomor YM.02.08/III/673/07
tentang Pelaksanaan TB di Rumah Sakit.
10. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : HK.02.02/II/1697/2016 tentang
Pemberhentian dan Pengangkatan Dalam Dan Dari Jabatan Administrasi Di Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
B. Distribusi ketenagaan
1. Instalasi rawat inap
2. Poliklinik dalam
C. Pengaturan Jaga
Pengaturan jadwal jaga dilakukan berdasarkan hari kerja
BAB III
STANDAR FASILITAS
A. Denah Ruangan
Ruang pojok dots terletak berdampingan dengan ruang poliklinik Urologi dan Klinik
Umum didalam gedung Poliklinik Depan bagian timur.
B. Standar Fasilitas
1. Kriteria umum ruangan
a. Struktur fisik
Lantai porselen dan dinding dicat terang.
b. Kebersihan
Cat dan lantai berwarna terang dan sehingga kotoran terlihat dengan mudah.
Ruangan bersih bebas dari debu dan kotoran sampah atau limbah rumah
sakit.Hal ini berlaku pula untuk mebel, perlengkapan, instrumen, pintu,
jendela, steker listrik, dan langit-langit
c. Pencahayaan
Listrik berfungsi baik, kabel dan steker tidak membahayakan dan semua
lampu berfungsi baik dan kokoh. Pencahayaan terang dari cahaya alami atau
listrik
d. Ventilasi
Suhu ruangan dijaga 24-26 °c dan pendingin ruangan berfungsi dengan baik
e. Pencucian tangan
Wastafel dilengkapi dengan dispenser sabun, serta tissu untuk mengeringkan
tangan
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN TB DOTS
1. PENEMUAN PASIEN TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama
dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB
menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB,
penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan
TB yang paling efektif di masyarakat.
Strategi penemuan
• Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan
tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung dengan
penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk
meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.
• Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan
pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus
diperiksa dahaknya.
• Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.
Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya
untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang
digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila
dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:
1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.
2. DIAGNOSIS TB
Diagnosis TB paru
• Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -
pagi - sewaktu (SPS).
• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman
TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis.
• Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
• Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.
pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis
atau aspergiloma).
Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan
untuk:
1. menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah
timbulnya resistensi,
2. menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan
pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
3. mengurangi efek samping.
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
6) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal,
default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan
secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis
spesialistik.
4. PENGOBATAN TB
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
• OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
• Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).
• Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Lanjutan
o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT
KDT. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam
satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB :
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Catatan:
• Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan berat badan.
• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan
golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas
karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu
dapat juga meningkatkan
terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.
5. TATALAKSANA TB ANAK
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis
maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama.
Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria
lain dengan menggunakan sistem skor . Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI
telah membuat Pedoman NasionalTuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem
skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang
dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional
penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak.
Lihat tabel 3.5. tentang sistem pembobotan (scoring system) gejala dan pemeriksaan
penunjang.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang
lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat
OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan
kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi,
seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang
dan sendi, funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.
Catatan :
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti
Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis.
Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan badan.
Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan)
harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya :
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah
pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang.
Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan
pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.
Keterangan:
• Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
• Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
Keterangan :
*) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama pengobatan
sebelumnya kurang dari 5 bulan: lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis
selesai dan 1 bulan sebelum akhir pengobatan harus diperiksa dahak.
Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak
memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
• Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian
kembali OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat
lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan
penyebab dari efek samping tersebut.
• Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau
karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu
kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam
proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti
hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.
• Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan
lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain.
Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan
risiko terjadinya kambuh.
• Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap
Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh
sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek.
Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin
tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan
lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko
besar terjadi keracunan yang berat.
BAB V
LOGISTIK
A. Logistik OAT
Paket OAT dewasa terdapat 2 macam jenis dan kemasan yaitu :
a. Dalam bentuk kombinasi dosis tetap terdiri dari paket kategori 1, kategori 2, dan
sisipan yang dikemas dalam blister berisi 28 tablet
b. Dalam bentuk kombipak terdiri dari paket kategori 1, kategori 2, dan sisipan, yang
dikemas dalam blister untuk satu dosis. Kombipak ini disediakan khusus untuk
pengatasi efek samping KDT
B. Logistik Non OAT
a. Alat laboratorium terdiri dari : mikroskop, slide box, pot sputum, kaca sediaan, rak
pewarna dan pengering, lampu spirtus, ose, botol plastik bercorong, pipet, kertas
pembersih lensa mikroskop, kertas saring.
b. Bahan diagnostik terdiri dari : reagen ziehl neelsen, eter alkohol, minyak imersi,
Lysol, tuberculin PPD RT 23
BANDINGKAN
• OAT dalam bentuk Obat Kombinasi dosis tetap (KDT) / Fixed Dose Combination (FDC)
terdiri dari paket Kategori 1, kategori 2 dan sisipan yang dikemas dalam blister, dan tiap
blister berisi 28 tablet.
• OAT dalam bentuk Kombipak terdiri dari paket Kategori 1, kategori 2, dan sisipan, yang
dikemas dalam blister untuk satu dosis, kombipak ini disediakan khusus untuk pengatasi
effek samping KDT.
Sedangkan OAT anak untuk sementara masih menggunakan kombipak anak.
b. Logistik lainnya
• Alat Laboratorium terdiri dari : Mikroskop, Slide Box, Rak pewarna dan pengering, Lampu
• Bahan Diagnostik terdiri dari : Pot sputum, kaca sediaan, Reagensia Ziehl Neelsen, Eter
Alkohol, Minyak imersi, Lysol, Kertas pembersih lensa mikroskop, kertas saring, tuberkulin
PPD RT 23 dan lain lain.
• Barang cetakan seperti Buku Pedoman, format pencatatan dan pelaporan serta bahan KIE
2. MANAJEMEN OAT
a. Perencanaan Kebutuhan Obat
Rencana kebutuhan Obat Tuberkulosis dilaksanakan dengan pendekatan perencanaan dari
bawah (bottom up planning). Perencanaan kebutuhan OAT dilakukan terpadu dengan
perencanaan obat lainnya yang berpedoman pada :
• buffer-stock,
• perkiraan waktu perencanaan dan waktu distribusi (untuk mengetahui estimasi kebutuhan
• Direktur Jenderal Binfar dan Alkes, cq Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan.
• Khusus untuk OAT yang tidak memenuhi syarat, harus segera dilaporkan kepada Direktur
• Bila OAT tersebut rusak bukan karena penyimpanan dan distribusi, maka akan dilakukan
• Dimusnahkan.
• Sputum pot = jumlah perkiraan kasus BTA positif yang akan diobati x 40 buah.
• Kaca sediaan = jumlah perkiraan kasus BTA positif yang akan diobati x 40 buah.
• Reagensia Ziehl Neelsen yang diperlukan untuk menemukan 1 pasien BTA positif terdiri
dari : 100 cc Carbon Fuchsin, 400 cc Asam Alkohol dan 100 cc Methylen Blue.
Bahan Uji tuberkulin terdiri dari tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU, semprit tuberculin 1 cc
jarum nomor 26.
Barang lainnya
Barang cetakan (Buku Pedoman, formulir pencatatan dan pelaporan serta bahan KIE dll)
yang dibutuhkan untuk semua tingkat pelaksana dapat disediakan melalui pengadaan pusat,
propinsi dan kabupaten/kota dengan jumlah sesuai kebutuhan.
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN
BAB VII
KESELAMATAN KERJA
Agar tidak terjadi infeksi silang maka dilakukan upaya pencegahan dan pengendalian
infeksi melalui komponen kewaspadaan standar meliputi :
1. Cuci tangan
2. APD (sarung tangan, masker, pelindung mata dan wajah, gaun/apron)
3. Peralatan perawatan pasien
4. Pengendalian lingkungan
5. Penanganan linen
6. Penanganan limbah
7. Kesehatan karyawan
8. Penempatan pasien
9. Penyuntikan yang aman
10. Batuk efektif
Bandingkan
7.1. Pengertian.
kerja / aktifitas karyawan lebih aman. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan pribadi ataupun rumah sakit.
7.2. Tujuan.
c. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan
proses kerjanya.
d. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya
kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
a. Setiap petugas medis maupun non medis menjalankan prinsip pencegahan infeksi,
yaitu :
o Pengeringan.
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU
Ada pertemuan khusus secara formal antara pimpinan dan staf pelaksana di lapangan.
Mengenai rencana kegiatan, dan evaluasi, yang dilakukan setiap satu bulan. Mutu
dinilai dari penemuan kasus , angka keberhasilan, dan angka keberhasilan rujukan
BANDINGKAN
Pemantauan Mutu OAT. Mutu OAT diperiksa melalui pemeriksaan pengamatan fisik
obat yang meliputi :
BAB IX
PENUTUP
Pada dasarnya pelayanan TB DOTS baik di rawat jalan maupun di rawat inap merupakan
bagian pelayanan di RSUP Ratatotok Buyat tidak saja membutuhkan ketrampilan teknis medis
ataupun asuhan keperawatan saja, tetapi unsur pengelolaan/manajemen pelayanan juga sangat
mempengaruhi keberhasilan pelayanan ini. Dimana masing-masing pihak terkait dapat
memahami perannya yang selanjutnya akan melakukan pelayanan sesuai kriteria yang telah
ditetapkan.
Telah disusun suatu Pedoman Pelayanan TB DOTS RSUP Ratatotok Buyat sebagai acuan
untuk melaksanakan dan mengelola pelayanan kesehatan tuberkulosis di ruang lingkup RSUP
Ratatotok Buyat