PENDAHULUAN
Resusitasi cairan merupakan bagian dari tata laksana hemodinamik yang bertujuan
untuk mencukupi kebutuhan oksigen. Keberhasilan resusitasi cairan amat tergantung
pada kinerja jantung. Otto Frank, Patterson dan Starling, serta Sarnoff dan Berglund
telah meletakkan dasar fisiologis kinerja jantung. Aplikasi klinis dari penelitian dasar
tersebut sangat individual dan membutuhkan pemahaman hemodinamik yang utuh.
Pengetahuan tentang fisiologi ventrikel sangat berkembang sejak Frank, seorang peneliti
Jerman, melakukan penelitian pada sediaan jantung kodok, pada tahun 1894. Hasil
penelitian ini diperkuat oleh Patterson dan Starling yang melakukan penelitian pada
sediaan jantung anjing, pada tahun 1914. Mereka mendapatkan bahwa kontraksi sistolik
ventrikel berkorelasi secara proporsional dengan regangan pada fase diastolik.
Selanjutnya konsep syok berubah, dari sindrom klinis menjadi keseimbangan antara
konsumsi dan pasokan oksigen. Curah jantung menjadi target utama terapi dengan
pemberian cairan resusitasi untuk meningkatan preload. Akhir-akhir ini, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemberian cairan resusitasi dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Pembahasan ini akan mengupas aplikasi hukum Frank
Starling dalam resusitasi cairan, sesuai konsep yang berkembang saat ini.
Selain mekanisme Frank Starling, Arthur Guyton juga mengemukakan beberapa
pendapat tentang hal apa saja yang dapat mempengaruhi kerja jantung dan bagaimana
hubungannya dengan pemberian cairan nantinya. Dalam referat ini akan dibahas
mengenai bagaimana 2 pendekatan tersebut diaplikasikan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Jantung adalah organ berongga dan berotot seukuran kapalan tangan. Jantung
berfungsi sebagai pompa yang memberi tekanan pada darah untuk menghasilkan gradien
tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah ke jaringan. Organ jantung teletak di
rongga toraks (dada) sekitar garis tengah antara sternum (tulang dada) di sebelah anterior
dan vertebra (tulang belakang) di posterior. Jantung terdiri dari empat ruang yaitu atrium
kanan, atrium kiri, ventrikel kanan, dan ventrikel kiri (Sherwood, 2013).
Atrium adalah ruangan sebelah atas jantung dan berdinding tipis, sedangkan
ventrikel adalah ruangan sebelah bawah jantung. dan mempunyai dinding lebih tebal
karena harus memompa darah ke seluruh tubuh. Atrium kanan berfungsi sebagai
penampung darah rendah oksigen dari seluruh tubuh. Atrium kiri berfungsi menerima
darah yang kaya oksigen dari paru-paru dan mengalirkan darah tersebut ke paru-paru.
Ventrikel kanan berfungsi menerima darah dari atrium kanan dan memompakannya ke
paru-paru. Ventrikel kiri berfungsi untuk memompakan darah yang kaya oksigen
keseluruh tubuh (Sherwood, 2013).
Dinding jantung memiliki tiga lapisan tersendiri dari lapisan tipis dibagian dalam
yaitu endotel, merupakan suatu jenis jaringan epitel yang melapisi bagian dalam seluruh
sistem sirkulasi. Lapisan tengah yaitu miokardium, terdiri dari otot jantung dan
membentuk bagian terbesar dinding jantung. Suatu lapisan tipis dibagian luar yaitu
epikardium, yang membungkus jantung (Sherwood, 2013). Kebanyakan lapisan dinding
6
jantung terdiri oleh miokardium, khususnya di ventrikel. Ketika jantung berkontraksi,
khususnya ventrikel, miokardium akan memproduksi gerakan seperti memeras karena
serat otot jantungnya yang berbentuk double helix. Gerakan ini menyebabkan volume
ruang ventrikel mengecil sehingga darah terpompa masuk ke aorta atau arteri pulmonaris
(Moore et al., 2010).
Secara klinis, kinerja jantung diperankan oleh curah jantung. Untuk memantau
kinerja jantung, seringkali digunakan nilai indeks (cardiac index=CI), yaitu cardiac
output dibagi luas permukaan tubuh. Curah jantung (cardiac output=CO) dipengaruhi
oleh isi sekuncup (stroke volume=SV) dan frekuensi denyut jantung. Isi sekuncup
dipengaruhi preload, afterload dan kontraktilitas. Apabila curah jantung dapat diukur,
afterload dapat dihitung dengan memasukan nilai tekanan darah sistemik dan tekanan
vena sentral, dinyatakan sebagai systemic vascular resistance (SVR). Banyak parameter
pengukuran yang digunakan sebagai indikator preload dan kontraktilitas, tetapi karena
sifatnya yang dinamis dan individual, penilaian secara matematis umumnya sulit
digunakan secara umum dalam klinis. Sejak satu abad terakhir ini mengoptimalkan
preload dan kontraktilitas digunakan prinsip dasar yang mengacu pada hukum Frank-
Starling. Ketika isi sekuncup menurun secara akut, tubuh mengadakan kompensasi
melalui sistem endokrin dan saraf otonom sehingga denyut jantung dan SVR meningkat.
Kondisi ini akan mempertahankan curah jantung dan perfusi organ vital. Apabila
pasokan masih tidak mencukupi, maka akan terjadi peningkatan oxygen extraction ratio
(O2ER) sehingga saturasi vena sentral akan menurun. Pada keadaan lanjut, bila
kebutuhan oksigen tetap tidak terpenuhi akan terjadi metabolisme anaerob yang antara
lain dapat dinilai dengan peningkatan kadar laktat darah.
7
Saat ini dikenal 2 pendekatan yang bisa digunakan untuk mengukur atau menilai
keadaan hemodinamik seseorang, yaitu dengan mekanisme Frank Starling dan Guyton
Approach.
Dari penelitian tersebut didapatkan kurva Frank- Starling dibagi menjadi dua
bagian. Bagian yang menggambarkan peningkatan tajam isi sekuncup pada setiap
perubahan preload dikenal dengan istilah daerah preload dependence. Bagian yang
menggambarkan peningkatan tidak nyata isi sekuncup pada setiap perubahan preload
dikenal dengan daerah preload independence.
8
Dalam melakukan intervensi hemodinamik, sering digunakan prinsip Frank
Starling dan Guyton. Dimana keduanya menjelaskan mengenai pemahaman dan
kaitannya dengan cardiac output, central venous pressure, fluid challenge dan
vasopressor. Hukum Frank Starling adalah adanya hubungan antara pengisian ventrikel
dan kontraksi yang akan dihasilkan. Dalam hal ini, dikenal dengan heart filling-force
relationship. Cardiac output banyak dipengaruhi oleh perubahan stroke volume.
Curah jantung diartikan sebagai sejumlah volume darah yang dipompa tiap
ventrikel per menit. Faktor penentu curah jantung adalah kecepatan jantung berdenyut
per menit dan volume darah yang dipompa jantung per denyut/ isi sekuncup (cardiac
output = heart rate x stroke volume). Kedua variabel ini dapat dipengaruhi oleh keadaan
psikologis dan obat-obatan. Isi sekuncup jantung sendiri dipengaruhi oleh preload,
afterload, dan kontraktilitas miokardium.
9
Kontraktilitas adalah penentu ketiga pada volume sekuncup. Kontraktilitas
merupakan perubahan kekuatan kontraksi yang terbentuk tanpa tergantung pada
perubahan panjang serabut miokardium. Peningkatan kontraktilitas merupakan hasil
intensifikasi hubungan jembatan penghubung pada sarkomer. Kekuatan interaksi ini
berkaitan dengan konsentrasi ion Ca++ bebas intrasel. Kontraksi miokardium secara
langsung sebanding dengan jumlah kalsium intrasel.
10
menjadi lebih lambat daripada normal. Semakin panjang pembuluh, sedangkan diameter
pembuluh sama, maka zat cair yang mengalir lewat pembuluh darah tersebut akan
memperoleh tahanan semakin besar dan konsekuensi terhadap besar tahanan tersebut,
debit zat cair akan lebih besar pada pembuluh darah yang pendek. Sedangkan efek
diameter/jari-jari pembuluh darah yang semakin besar memiliki pengaruh terhadap
kecepatan aliran darah yang semakin cepat.
Konsep menurut Arthur Guyton dikatakan bahwa faktor penentu cardiac output
adalah tekanan atrium kiri dan mean circulatory filling pressure. Cardiac output
merupakan hasil dari stroke volume dan heart rate. Pada konsep ini, seluruh tekanan
pada sistem jantung dan sistem sirkulasi (sebagai contoh, yang diukur pada vena besar,
ruang jantung dan pada arteri) merupakan derivat dari gaya yang dicetuskan oleh
jantung.
11
II. 7 Faktor Perifer yang Menentukan Cardiac Output
Guyton mengatakan bahwa, selain fungsi hati, karakteristik dari sirkulasi perifer
(dan khususnya venous circulation), memainkan peran penting menentukan cardiac
output. Dua kunci utama pada sirkulasi perifer yang menentukan cardiac output ini
adalah right atrial pressure (PRA) dan mean circulatory filling pressure (MCFP). PRA
sebagai determinan dari cardiac output bukanlah sebuah konsep yang baru.
Membuktikan hubungan ini dalam praktiknya merupakan hal yang sulit, karena banyak
hal yang dapat terjadi dalam respon terhadap perubahan PRA atau cardiac output.
Untuk mengatasi hal ini, Guyton melakukan transfusi rapid terhadap anjing yang
dianestesi yang sebelumnya telah mengalami miokardium yang rusak atau yang telah
menerima infus Epinefrin. PRA dapat merupakan sebuah indikator adanya gangguan
dari aliran darah vena ke atrium kanan.
Selain itu, ada pula yang disebut dengan mean systemic filling pressure, yang
sering sukar dibedakan dengan MCFP dan hampir mirip dalam nilainya. MSFP
menggambarkan tekanan yang dicetuskan oleh elastic recoil pada sirkulasi sistemik
selama no flow state. Secara singkat, hal ini merupakan tekanan di seluruh sistem
vaskular ketika jantung berhenti bekerja dan tidak ada aliran darah. MSFP dapat
dipengaruhi oleh distribusi aliran dan volume sebelum sirkulasi berhenti bekerja
(sebagai contoh, MSFP akan lebih tinggi pada prosedur yang menghambat aliran darah
jantung kanan). MCFP adalah apa yang mengatur aliran darah ke atrium kanan pada
model Guyton. MCFP adalah tekanan yang mengatasi resistensi vena dan PRA.
12
II.8 Apa yang Mengontrol Mean Circulatory Filling Pressure?
Apabila venous return ke jantung dan cardiac output bergantung kepada MCFP,
pertanyaannya adalah, apa yang mengontrol MCFP? Hal ini tidak secara eksplisit
diterangkan pada konsep Guyton namun hal ini dibuktikan bahwa ia percaya bahwa
resistensi pada organ dan otot adalah permasalahan utama. Selama periode peningkatan
oxygen demand (latihan, demam, peningkatan metabolisme), organ yang terkena akan
mengeluarkan mediator yang menyebabkan vasodilatasi. Konsep ini hampir mirip
dengan model Krogh dan Caldini yang menyebutkan bahwa dalam waktu yang singkat,
darah berpindah secara cepat dari sistem arteri lewat pembuluh darah ke dalam sirkulasi
vena dengan resistensi yang kecil. Sedangkan pada waktu yang panjang, transit
kompartemen melalui vaskular membutuhkan waktu yang lebih lama, dan lebih sedikit
darah yang tersedia untuk mengisi sirkulasi vena. Peningkatan proporsi aliran darah
melalui kompartemen konstan waktu singkat akan menyebabkan penurunan total waktu
transit total aliran darah ke sistem vena. Dengan demikian, redistribusi dari cardiac
output selama exercise dapat meningkatkan venous return.
13
II. 10 Penggunaan Klinis dari Model Guyton
Pada gambar 2, perpotongan dari kurva cardiac output dan kurva venous return
dari subjek normal terjadi dalam satu perpotongan : point A, dimana P RA adalah 0.
Dengan transfusi akut, MCFP akan meningkat. Kita bisa melihat bahwa hal ini berefek
terhadap cardiac output dengan melihat perpotongan dari kurva venous return
(peningkatan MCFP) dengan normal kurva cardiac output : point B. Model ini
menjelaskan bahwa peningkatan MCFP dengan pemberian cairan akan meningkatkan
cardiac output.
Mean arterial pressure adalah determinan penting dari aliran darah organ. Ketika
MAP turun di bawah kadar autoregulasi organ, maka terdappat penurunan linear pada
aliran darah organ pula. Cardiac output (CO) dan total peripheral resistance (TPR)
adalah faktor utama yang menentukan MAP (MAP = CO/TPR). Stroke volume (SV)
merupakan determinan utama dari CO (CO = SV x heart rate) dan ditentukan oleh
kontraktlitas ventrikel dan left ventricular end diastolic volume (LVEDV). LVEDV oleh
mekanisme Frank Starling merupakan determinan utama dari SV. Jumlah darah yang
dipompa keluar dari darah (cardiac output) sama dengan venous return (volume yang
masuk ke atrium kanan). Menurut Guyton, venous return ditentukan oleh perbedaan
tekanan antara vena perifer dan atrium kanan. Venous return menjadi faktor utama yang
mempengaruhi cardiac output. Sistem vena dapat dibagi menjadi 2 kompartemen yaitu
unstressed dan stressed volume, dimana volume intravaskular yang mengisi sistem vena
ke titik di mana tekanan intravaskular mulai naik disebut unstressed
15
volume, sedangkan volume yang meregangkan vena dan menyebabkan tekanan
intravaskular naik disebut stressed volume. Stressed blood volume merupakan
kontributor utama dari tekanan vena, yaitu venous return. Unstressed volume normalnya
adalah 75% dari volume darah vena. Sistem vena, bertindak sebagai reservoir yang dapat
secara cepat merekrut darah dari unstressed blood compartment untuk memelihara
venous return ke jantung kanan.
Rivers dkk mengajukan metode early goal directed therapy sebagai cara
mengatasi syok septik (pada orang dewasa). Langkah awal protokol tersebut adalah
pemberian bolus kristaloid sebanyak 500 ml tiap 30 menit untuk mencapai tekanan vena
sentral (central venous pressure =CVP) 8-12 mmHg. Selanjutnya, bila mean arterial
pressure kurang dari 65 mmHg, protokol menganjurkan pemberian vasopresor untuk
mempertahankan tekanan minimal 65 mmHg. Jika mean arterial pressure lebih dari 90
mmHg, protokol menganjurkan pemberian vasodilator. Pemberian cairan resusitasi
hingga nilai CVP tertentu, dikenal dengan metode statis. Kelemahan metode ini adalah
menggunakan nilai baku yang sama untuk semua orang. Ketika kontraktilitas menurun,
nilai statis yang ditentukan dapat berada pada daerah preload independence kurva
Frank-Starling.
Pada tahun 1979, Weil dan Henning memperkenalkan teknik fluid challenge
dengan metode dinamis yang kemudian di kenal dengan rule of Weil atau perasat 5-2.
Metode ini mempertimbangkan status preload pada kurva Frank Starling yang
ditentukan oleh compliance jantung. Compliance adalah ukuran distensibilitas stuktur
sferis yang ditentukan oleh perubahan volume untuk setiap perubahan tekanan
(pressure). Berdasarkan pemikiran ini, maka peningkatan nilai CVP yang tinggi secara
mendadak, menandakan penurunan compliance jantung, atau kurva Frank-Starling telah
sampai pada daerah preload independence. Perasat Weil menganjurkan pemberian
cairan resusitasi yang dipandu nilai CVP.Apabila CVP kurang atau sama dengan 8 cm
H2O maka cairan resusitasi diberikan 200 ml melalui vena perifer, dalam waktu 10
menit. Jika CVP lebih dari 8 cm H20, tetapi kurang dari 14 cm H20 maka cairan
resusitasi diberikan 100 ml dalam waktu 10 menit. Jika CVP sama atau lebih besar dari
14 cm H20, cairan resusitasi diberikan 50 ml dalam waktu 10 menit. Namun, apabila
selama pemberian cairan resusitasi nilai CVP meningkat lebih dari 5 cm H20,
pemberian harus dihentikan. Bila kurang dari 2 cm H20, pemberian cairan diulangi dari
langkah awal. Apabila CVP meningkat kurang dari 5 cm H20 tetapi lebih dari 2cm H20
16
dari nilai awal, pasien dipantau selama 10 menit; tetapi jika setelah pemantauan nilai
CVP tetap lebih dari 2 cm H2O, pemberian cairan resusitasi dihentikan. Pada keadaan
CVP turun kembali hingga 2 cm H2O atau lebih rendah, pemberian cairan diulangi dari
awal hingga tanda syok teratasi. Penyesuaian jumlah cairan terhadap kenaikan CVP
bertujuan untuk mencegah pemberian cairan berlebihan di luar kemampuan jantung.
Tujuan utama dari resusitasi cairan adalah untuk menormalisasi aliran darah ke
jaringan dengan mempertahankan oxygen delivery yang adekuat. Hal ini membutuhkan
adanya peningkatan SV dan cardiac output. Interaksi dinamis antara fluid loading pada
tekanan vena, venous return dan SV menentukan apakah bolus cairan menjadi berguna
atau justru berbahaya. Pada pasien yang responsif terhadap pemberian cairan
(peningkatan SV setidaknya 10%), fluid loading meningkatkan stressed blood volme
yang mana akan meningkatkan MCFP (atau tekanan vena).
17
DAFTAR PUSTAKA
Aaronson, Phillip I., and Ward, Jeremy PT., 2010, At a Glance Sistem Kardiovaskular
3th ed, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Alwi, Idrus., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid III, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Fauci AS. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw- Hill
Companies. 2005 ; 124:776-80.
Henderson, W. 2010. Clinical review: Guyton - the role of mean circulatory filling
pressure and right atrial pressure in controlling cardiac output. Critical care 14
: 243.
Jose, G. 2017. Frank Starling Mechanism and Short Term Adjustmen of Cardiac
Flow. Journal of Experimental Biology 220, 4391-4398
Paul. 2014. The Pyshiology of Volume Resuscitation. Curr Anesthesiol Rep. 4:353
– 359.
Saks, V., Dzeja, P., Schlattner, U., Vendelin, M., Terzic, A. and Wallimann, T.
(2006). Cardiac system bioenergetics: metabolic basis of the Frank-Starling
law. J.Physiol.571,253-273.
Solaro, R. J. (2007). Mechanisms of the Frank-Starling law of the heart: the beat goes
on. Biophys. J. 93, 4095-4096.
Winton FR. The influence of venous pressure on the isolated mamalian kidney. J
Physiol. 1931;72:49–61.
18
19