(Martini, Nath, & Bartholomew, 2012) (Shier, Butler, & Lewis, 2012)
VI. Pengkajian
- Anamnesa
Riwayat penyakit yang menjelaskan berapa lama pasien sakit, adakah demam, adakah nyeri perut
dan di mana lokasinya, bagaimana gambaran nyeri tersebut (kram, tumpul, seperti terbakar, dan
sebagainya), apakah lokasinya berpindah, intensitasnya, dan apakah berhubungan dengan
anoreksia, muntah, atau ileus. Riwayat penyakit yang lalu, riwayat masuk rumah sakit,
pengobatan, penyakit kronik, dan operasi sebelumnya merupakan informasi yang penting. Riwayat
penyakit penting untuk diketahui seperti sirosis hepatis dan sindroma nefrotik pada anak-anak
yang berpotensi menjadi peritonitis primer. Riwayat operasi sebelumnya harus menimbulkan
kecurigaan terhadap komplikasi oleh karena prosedur itu sendiri (misalnya kebocoran dari
anastomosis usus). Mekanisme injuri yang tidak diketahui pada pasien trauma juga dapat
menimbulkan infeksi intra-abdominal. Adanya tanda hipotensi menunjukkan kemungkinan
terjadinya iskemia atau infark usus. Pasien dengan peritonitis umumnya mengeluh nyeri abdomen
yang difus. Nyeri pada peritonitis bersifat konstan dan akan bertambah berat saat menarik nafas
dalam, batuk, maupun bergerak, sehingga pasien lebih memilih dalam posisi berbaring. Pasien
juga mengeluh anoreksia, mual dan muntah. Hampir selalu ditemukan gejala anoreksia. Gejala
mual sering ditemukan dan jarang disertai dengan muntah. Pasien juga mungkin mengeluh demam,
kadang-kadang dengan menggigil, haus, buang air kecil yang sedikit, ketidakmampuan untuk
buang air besar atau flatus, dan perut yang makin distensi. Pada pasien dengan asites, tanda dan
gejala peritonitis mungkin tidak begitu jelas, dengan demam sebagai satu-satunya manifestasi
infeksi. Pasien dengan ascites, gejala yang ditemukan seperti nyeri abdomen, mual, muntah, dan
perubahan status mental mungkin tidak spesifik. Oleh karena itu, pasien asites dengan demam
harus dilakukan parasintesis, kecuali ada penjelasan lain terhadap demam yang terjadi. Inokulasi
dari cairan asites ke dalam botol kultur darah harus dilakukan di tempat tidur pasien.
- Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan peritonitis biasanya tampak berbaring tenang di tempat tidur, telentang, dengan
lutut tertekuk dan sering dengan pernapasan interkostal yang terbatas karena gerakan apapun akan
memperberat nyeri abdomen Keadaan umum pasien tampak lemah. Suhu tubuh berkisar antara
38 ͦC - 40 ͦC, bahkan bisa mencapai 42°C. Suhu subnormal 35°C merupakan klinis pasien dengan
sepsis intraabdomen atau syok septik. Demam adalah mekanisme endogen dasar untuk membantu
melawan infeksi. Bahkan, peningkatan suhu tubuh yang biasanya ditemukan selama infeksi
bakteri, termasuk peritonitis, tampaknya menjadi penting untuk mengoptimalkan pertahanan host
terhadap bakteri. Pemeriksaan denyut nadi menunjukkan takikardia yang lemah. and a diminished
palpable peripheral pulse volume are indicative of hypovolemia. Tekanan darah dipertahankan
dalam batas normal pada awal proses penyakit, kemudian seiring berlanjutnya proses peritonitis
tekanan darah turun ke tingkat shock. Respirasi semakin cepat dan dangkal untuk memenuhi
kebutuhan oksigen jaringan dan untuk mengoreksi asidosis yang timbul. Sklera dan konjungtiva
dapat terlihat ikterus atau pucat. Dada diperkusi dan diauskultasi untuk menyisihkan pneumonia,
khususnya pada lobus bawah, yang dapat mengakibatkan temuan abdominal. Pemeriksaan jantung
harus dapat menyisihkan ada tidaknya gagal jantung kongestif atau penyakit katup jantung,
meskipun terapi cairan yang agresif diperlukan dan gagal jantung kongestif yang akut dengan
pembesaran hepar dan peregangan kapselnya dapat menyebabkan nyeri perut. Pada pemeriksaan
abdomen biasanya ditemukan tanda-tanda inflamasi peritoneum.
Inspeksi dan Auskultasi
Abdomen diinspeksi untuk mencari tanda-tanda distensi dan jejas. Perut akan tampak distensi,
seiring dengan perkembangan ileus atau asites. Pasien diminta untuk menunjukkan titik yang
paling nyeri pada perutnya dengan satu jari. Auskultasi dimulai dari kuadran yang berlawanan dari
titik tersebut. Auskultasi dilakukan untuk menentukan apakah bising usus hilang, normal, atau
meningkat. Bising usus yang meningkat menandakan obstruksi sebagai proses primer penyakit
atau sebagai bagian dari proses inflamasi lokal. Sering kali sebuah fokus inflamasi sebagian
ditutup oleh usus kecil. Ileus lokal muncul sebagai hasil dari obstruksi fungsional. Pada peritonitis
bising usus akan menurun dan hampir tidak terdengar.
Palpasi dan Perkusi
Palpasi pada abdomen dilakukan pada tahap terakhir dari pemerikaan, adalah untuk mengetahui
apakah nyeri yang dihasilkan oleh proses intraabdomen menyebabkan inflamasi peritoneum
parietal. Pemeriksaan abdomen pada pasien dengan asites menunjukkan adanya tanda shifting
dullness. Palpasi dimulai dari kuadran paling jauh dari titik yang paling nyeri. Kegunaan dari
palpasi abdomen adalah untuk mengkonfirmasi lokasi yang paling nyeri dan tekanan dari berbagai
bagian dari dinding abdomen anterior. Untuk melakukan hal ini, pemeriksa mulai dari bagian perut
yang tidak menunjukkan gejala dan menekan sampai daerah yang paling nyeri. Pada pasien dengan
peritonitis akut akan ditemukan kekakuan pada otot dinding abdomen dengan tanpa perbedaan
yang berarti dari satu kuadran dengan kuadran yang lain. Pasien dengan nyeri lokal dan
peningkatan tonus dinding abdomen yang terlokalisasi, pertahanan volunter dan involunter harus
dibedakan. Kekakuan dari otot-otot abdomen dihasilkan oleh pertahanan volunter dan juga refleks
spasme otot. Refleks spasme otot dapat menjadi sangat kuat sehingga perut dapat kaku seperti
papan, seperti yang biasa tampak pada peritonitis yang disebabkan oleh perforasi dari ulkus
peptikum. Pertahanan volunter pada penemuan nyeri tekan sedang dapat salah diinterpretasikan
sebagai kekakuan jika pasien tampak begitu gelisah dan palpasi terlalu kuat. Biasanya tidak perlu
terburu-buru untuk memeriksa rebound tenderness pada saat palpasi, jika sudah dapat ditemukan
pada saat dilakukan auskultasi dan perkusi. Palpasi yang terlalu kuat dapat menyebabkan pasien
kesakitan sehingga mereka kemudian tidak mau bekerja sama untuk pemeriksaan selanjutnya.
Hiperesonan disebabkan oleh gas yang terakumulasi pada usus yang distensi, biasanya terdengar
pada perkusi. Tidak adanya pekak hati pada perkusi menunjukkan adanya udara bebas dalam
rongga peritoneum. Pneumoperitoneum akibat ruptur organ berongga dapat menyebabkan
menurunnya pekak hati pada perkusi. Pemeriksaan Rektum dan Vagina. Pemeriksaan rektum dan
vagina penting untuk melokalisasi nyeri yang luas dan mengetahui apakah terdapat massa di pelvis
atau abses di cavum Douglass. Pemeriksaan vagina atau serviks dapat menjadi kunci untuk
mengetahui sumber dari proses inflamasi. Pemeriksaan rectum secara hati-hati dapat mendeteksi
adanya peritonitis pelvis. Ditemukannya iliopsoas dan oburator sign dapat membantu untuk
mendeteksi inflamasi pada retroperitoneal atau pelvis dan abses.
- Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan (Malik et al., 2003; Srivastava et al.,
2014), yaitu:
1. Tes darah
2. Rontgen toraks
3. Uji pencitraan (CT scan) abdomen
4. Analisis cairan abdomen (paracentesis)
5. Tes mikrobiologis (pertumbuhan kultur mikobakteri)
6. Biopsi peritoneum
7. Laparoskopi atau minilaparotomi
VIII. Terapi/Medikasi
Beberapa penanganan bagi penderita peritonitis, yaitu:
Pemberian obat-obatan. Pengobatan yang diberikan berupa antibiotik suntik atau
obat antijamur bila dicurigai penyebabnya adalah infeksi jamur, untuk mengobati serta
mencegah infeksi menyebar ke seluruh tubuh. Pengobatan dimulai dengan protokol multi-obat:
rifampisin, etambutol, dan moksifloksasin. Pasien dipulangkan ke rumah setelah dua minggu
melanjutkan terapi medis (Srivastava et al., 2014). Jangka waktu pengobatan akan disesuaikan
dengan tingkat keparahan yang dialami pasien.
Pembedahan. Tindakan pembedahan dilakukan untuk membuang jaringan yang terinfeksi atau
menutup robekan yang terjadi pada organ dalam.
Perawatan lainnya. Bergantung pada tanda dan gejala, perawatan saat di rumah sakit mungkin
termasuk obat penghilang rasa sakit, cairan intravena (IV), oksigen tambahan dan, dalam
beberapa kasus, transfusi darah (Mayo Clinic Staff, 2018).
Daftar Pustaka
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. (Eds.). (2013). Nursing
Interventions Classification (NIC) (6th ed.). United States of America: Elsevier Mosby.
Kaya, M., Isikdogan, A., Kaplan, M., & Celik, Y. (2011). Differentiation of tuberculous
peritonitis from peritonitis carcinomatosa without surgical intervention. Saudi Journal of
Gastroenterology, 17(5), 312. https://doi.org/10.4103/1319-3767.84484
Malik, G. H., Al-Harbi, A. S., Al-Mohaya, S., Kechrid, M., Sheita, M. S., & Azhari, O. (2003).
Tuberculous peritonitis in patients on chronic peritoneal dialysis: case reports. Saudi
Journal of Kidney Diseases and Transplantation : An Official Publication of the Saudi
Center for Organ Transplantation, Saudi Arabia, 14(1), 65–69. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17657092
Martini, F. H., Nath, J. L., & Bartholomew, E. F. (2012). Fundamentals of Anatomy &
Physiology (9th ed.). Boston: Pearson.
Mayo Clinic Staff. (2018). Peritonitis - Diagnosis and treatment - Mayo Clinic. Retrieved
October 7, 2019, from https://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/peritonitis/diagnosis-treatment/drc-20376250
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (Eds.). (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC). St Louis Mosby (5th ed.). United States of America: Elsevier.
https://doi.org/10.1097/00129191-200301000-00012
NANDA International. (2018). Nursing Diagnoses Definitions and Classification 2018-2020. (T.
H. Herdman & S. Kamitsuru, Eds.) (11th ed.). New York: Thieme.
Shier, D., Butler, J., & Lewis, R. (2012). Hole’s Essentials of Human Anatomy & Physiology
(11th ed.). New York: McGraw-Hill.
Srivastava, U., Almusa, O., Tung, K.-W., & Heller, M. T. (2014). Tuberculous peritonitis.
Radiology Case Reports, 9(3), 971. https://doi.org/10.2484/rcr.v9i3.971