Anda di halaman 1dari 58

I.

A. Latar Belakang Masalah

Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya

sangat penting dalam penerimaan devisa negara, penyerapan tenaga kerja serta perkembangan

perekonomian rakyat dan daerah. Perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang dengan

pesat sejak awal tahun 80-an dan sampai akhir tahun 2000 luas total perkebunan kelapa sawit

di Indonesia telah mencapai 3,2 juta ha dengan produksi crude palm oil (CPO) sebesar 6,5

juta ton. Perkembangan perkebunan sawit ini masih terus berlanjut dan diperkirakan pada

tahun 2012 Indonesia akan menjadi produsen CPO terbesar didunia dengan total produksi

sebesar 15 juta ton/tahun. Kondisi yang demikian perlu diimbangi dengan pengembangan

produk turunan kelapa sawit yang memiliki nilai kompetitif yang cukup tinggi (Tri Hayati,

dkk, 2003)

Salah satu produk turunan dari minyak sawit adalah margarin. Penggunaan margarin

yang cukup luas menyebabkan margarin diminati oleh masyarakat. Dipasaran sendiri

margarin terdiri atas 3 tipe yakni margarin meja (table margarines), margarin industri

(industrial/bakery margarines), dan puff pastry margarines. Namun sayangnya, dibalik

tingginya permintaan konsumen akan margarin terdapat isu miring yang menyebutkan bahwa

margarin mengandung lemak trans yang dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah

(arterosklerosis) yang beresiko memicu penyakit jantung koroner.

Selain itu image “lemak” pada margarin menyebabkan sebagian orang enggan

menggunakannya. Melihat permasalahan diatas, maka perlu dikembangkan produk margarin

yang lebih menyehatkan diantaranya dengan adanya penambahan prebiotik.


Prebiotik sendiri didefinisikan sebagai bahan pangan yang tidak dapat dicerna yang

dapat memberikan efek yang menguntungkan karena dapat menstimulasi pertumbuhan

aktivitas bakteri kolon sehingga dapat meningkatkan kesehatan inang. Prebiotik dalam usus,

terutama dalam usus besar yang difermentasikan oleh bakteri probiotik akan menghasilkan

Short Chain Fatty Acid (SCFA) dalam bentuk asetat, propionate, butirat, L-laktat,

karbondioksida dan hydrogen. SCFA tersebut oleh tubuh dapat dipakai sebagai sumber

energy, dan memberikan efek stimulasi selektif terhadap pertumbuhan bakteri probiotik

terutama Bifidobacteria dan lactobacillus yang akan memberikan efek menguntungkan bagi

kesehatan, antara lain memperbaiki metabolisme lipida dan mengurangi kadar kolesterol

dalam darah serta memperbaiki pencernaan (Fuller, 1991).

Salah satu tanaman yang mengandung prebiotik adalah ubi jalar . Ubi jalar mengandung

prebiotik jenis oligosakarida yaitu rafinosa. Kandungan oligosakarida pada ubi jalar

bergantung pada varietasnya. Berdasarkan penelitian Adijuwana (2005), kandungan rafinosa

pada ubi jalar putih varietas Sukuh lebih tinggi dibandingkan dengan ubi jalar putih varietas

Jago dan ubi jalar merah, masing-masing sebesar 2,97%, 2,27% dan 1,26%.

Selain mengandung prebiotik, keunggulan lain ubi jalar adalah mengandung β-karoten.

Telah lama diketahui bahwa β-karoten merupakan antioksidan yang paling efektif dan

berfungsi untuk mencegah beberapa jenis kanker seperti kanker mulut, tenggorokan, paru-

paru, kolon dan lambung. Disamping itu, β-karoten memiliki sifat arterosklerotik dengan

mereduksi plak ateroskelerotik pada pembuluh darah arteri (Tri Hayati, 2003).

Jumlah β-karoten pada ubi jalar berbeda-beda tergantung pada varietasnya. Hal ini

menyebabkan warna umbinya pun beragam. Hasim dan Yusuf (2008) menyebutkan bahwa ubi

jalar putih mengandung 260 mg (869 SI) β-karoten per 100 g bahan, sedangkan ubi jalar
kuning mengandung 2900 mg (9675 SI) β-karoten, dan ubi jalar ungu atau merah jingga

sebesar 9900 mg (32967 SI). Disamping β-karoten, Suprapta (2003) menyebutkan bahwa ubi

jalar ungu mengandung antosianin yang kadarnya dapat mencapai 110,51 mg per 100 g bahan

sedangkan pada ubi jalar orange mengandung senyawa lutein dan zeaxanthin yang merupakan

pasangan antioksidan karotenoid.

Warna umbi yang beragam apabila dilakukan ekstraksi maka akan menghasilkan sari

ubi jalar dengan warna yang beragam pula. Apabila sari ubi jalar ini diaplikasikan untuk

memperkaya margarin, maka perbedaan tersebut dapat berpengaruh terhadap aroma, warna

rasa, daya oles, daya leleh dimulut dan tekstur serta sifat kimia margarin yang dihasilkan.

Komposisi sari ubi jalar juga dapat mempengaruhi sifat fisik, kimia maupun

organoleptik margarin yang dhasilkan. Hal ini dikarenakan sari ubi jalar dipengaruhi oleh cara

ekstraksinya yaitu perbandingan air dan ubi jalar. Cara ekstraksi tersebut dapat mempengaruhi

perbedaan komposisi ubi jalar diantaranya kandungan padatan terlarut sehingga apabila

diaplikasikan ke margarin akan mempengaruhi sifat fisik, kimia maupun organleptik margarin

yang dihasilkan seperti daya oles, tekstur dan daya leleh dimulut.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh

jenis ubi jalar dan jenis sari ubi jalar terhadap kualitas fisik maupun kimia margarin prebiotik

yang dihasilkan.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh variasi jenis ubi jalar dan jenis sari

ubi jalar sehingga dihasilkan margarin sari ubi jalar yang disukai konsumen.

C. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memanfaatkan bahan baku lokal yakni ubi

jalar sebagai bahan diversifikasi untuk produk pangan serta meningkatkan nilai jual dari ubi

jalar yang saat ini belum banyak termanfaatkan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan solusi atas isu lemak trans pada margarin dan mengembangkan produk prebiotik

yang saat ini masih kurang diminat dan dikembangkan.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Margarin

1. Definisi dan Komposisi

Margarin merupakan emulsi minyak dalam air dan pertama kali digunakan pada

bulan oktober 1867 sebagai pengganti mentega. Lemak nabati mulai berkembang secara

komersial kira-kira sejak tahun 1963 dan semenjak itu, baik jenis maupun jumlahnya

semakin meluas. Perkembangan margarine ini direspon positif sejak ditetapkannya

peraturan 2991/94 oleh dewan komunitas eropa (Hamm, Wolf and Richard J. Hamilton,

2000).

Berdasarkan SNI 01-3541-2002 (BSN, 2002), margarin adalah produk makanan

berbentuk emulsi (w/o), baik semi padat maupun cair, yang dibuat dari lemak makan dan

atau minyak makan nabati, dengan atau tanpa perubahan kimiawi termasuk hidrogenasi,

interesterifikasi, dan telah melalui proses pemurnian, sebagai bahan utama serta

mengandung air dan bahan tambahan pangan yang diizinkan.

Menurut Ketaren (2008), pembuatan margarin dimaksudkan sebagai pengganti

mentega dengan penampakan, bau, konsistensi, rasa, dan nilai gizi yang hampir sama

dengan mentega. Ciri-ciri margarin yang paling menonjol adalah bersifat plastis, padat

pada suhu ruang, agak keras pada suhu rendah, teksturnya mudah dioleskan, serta segera

dapat mencair di dalam mulut. Margarin mempunyai titik beku yang tinggi (di atas suhu

kamar) dan titik cair sekitar suhu badan. Pada suhu kamar (25oC) margarin mempunyai

sifat plastis sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengoles makanan (Ketaren, 2008).

Karakteristik margarin dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Margarin


Aspek Margarin
Warna Kuning
Bentuk Padat
Rasa Asin
Aroma Lemak Tidak Harum
Kandungan Air 16%
Asam Lemak Lemak Nabati

Menurut Ketaren (2008), syarat-syarat minyak nabati yang digunakan sebagai

bahan baku margarin yaitu mempunyai bilangan iod yang rendah, warna minyak seperti

mentega, flavor minyak yang baik, asam lemak yang stabil, titik beku dan titik cair

disekitar suhu kamar, dan minyak nabati tersebut harus banyak terdapat di suatu daerah.

Komponen lain yang sering ditambahkan dalam pembuatan margarin adalah air, garam,

flavor mentega, zat pengemulsi (berbentuk lesitin, gliserin, atau kuning telur), zat

pewarna (minyak sawit merah atau beta karoten sintetik), bahan pengawet (sodium

benzoat).

Formula margarin merupakan syarat utama yang harus diperhatikan untuk

memproduksi margarin disamping pengontrolan terhadap kondisi proses. Komposisi

untuk pembuatan margarine yakni 80% fase lemak dan 17% fase air. Fase air terdiri dari

air, garam dan pengawet sedangkan fase lemak merupakan campuran antara minyak

dengan lemak yang berkontribusi terhadap sifat polimorfisme margarin. Bahan lain yang

juga ditambahkan adalah lesitin yang berperan sebagai emulsifier. Penambahan lesitin

dilakukan bersamaan dengan penambahan bahan perasa, pewarna serta antioksidan.

Komposisi bahan untuk pembuatan margarin selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Margarin


NO Formula Berat (g) %
Fat bland 1.000 79,4797
Emulsifier 4,51 0,3585
1
Lesitin 0,50 0,0397
BHA 0,20 0,0159
Β-carotene 30% 0,04 0,0034
2 Flavour 0,05 0,0040
CNO 0,08 0,0062
Air 220,89 17,5561
Garam 30,23 2,4023
3 Dextrose/glukosa 1,16 0,0924
NaOH/CA 0,02 0,0019
Trisodium Citrat Dihydrat 0,50 0,0399
TOTAL 1.258,18 100,00
Sumber Anonim, 2010

2. Jenis-Jenis Margarin

Dalam bidang pangan penggunaan margarin telah dikenal secara luas terutama

dalam pemanggangan roti (baking) dan pembuatan kue kering (cooking) yang bertujuan

memperbaiki tekstur dan menambah cita rasa pangan. Margarin juga digunakan sebagai

bahan pelapis misalnya pada roti yang bersifat plastis dan akan segera mencair di dalam

mulut (Winarno, 1997).

SNI 01-3541-2002 (BSN, 2002) mengklasifikasikan margarin menjadi tiga jenis

yaitu margarin siap makan, margarin industri, dan margarin krim atau spread. Terdapat

beberapa perbedaan syarat mutu di antara ketiga jenis margarin tersebut. Margarin siap

makan dipersyaratkan adanya penambahan vitamin A dan vitamin D dengan kadar lemak

minimal 80%, sedangkan pada margarin industri dan margarin krim tidak dipersyaratkan

adanya penambahan vitamin A dan vitamin D. Perbedaan antara margarin industri dan

margarin krim terletak pada jumlah lemak minimum yang terdapat pada produk.

Margarin industri minimal mengandung 80% lemak, sedangkan margarin krim

mengandung lemak berkisar 62-78%.

a. Margarin meja (table margarines)

Menurut Winarno (1997), margarin meja terdiri dari :

1) Soft Tube Margarines, dengan ciri-ciri sebagai berikut :


- Temperatur emulsi soft tube margarines sekitar 95 – 1050F (35 – 40,60C)

- Berbentuk lembut dan tetap dapat dioles pada suhu 5 – 10 0C

- Produk terlalu lembut, oleh karena itu, dibungkus di dalam plastic tube atau

plastic cup yang dilengkapi dengan pelekat penutup

2) Stick Margarines, dengan ciri-ciri sebagai berikut :

- Temperatur emulsi stick margarines disesuaikan dan diatur di bawah suhu

tubuh pada 100 – 105 0F (37,8 – 40,6 0C)

- Dapat dioles pada suhu 20 – 25 0C

- Lebih kaku dibanding mentega putih (Shortening)

3) Low fat margarines

Merupakan margarin rendah lemak atau biasa disebut dengan margarin diet,

mempuanyai kandungan lemak 40-50%.

b. Margarin industri (industrial margarines)

Margarin industri dirancang untuk industri roti dan kue yang dibuat dari

minyak nabati yang telah dimurnikan. Aplikasi yang direkomendasikan untuk biskuit,

industri kue dan toko roti. Sedikit lebih keras dibandingkan dengan margarin meja dan

digunakan untuk campuran roti dan kue. Margarin industri ini harus disimpan ditempat

yang kering dan dingin atau suhunya sekitar 300C.

c. Puff pastry margarines


Puff pastry margarines sangat berbeda dengan margarin meja maupun

margarin industri. Fungsi puff pastry sebagai pelindung antara lapisan – lapisan dari

adonan kue.

3. Bahan-bahan untuk pembuatan margarin

a. Bahan yang Larut dalam Lemak

1. RBDPO (Refined Bleached Deodorized Palm Oil)

Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) merupakan hasil proses

refining dari CPO (crude Palm Oil). Tujuan refining adalah untuk menghilangkan

senyawa-senyawa non-gliserida seperti fosfatida dan kontaminan lainnya serta

deodorisasi ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi asam lemak bebas

yang menyebabkan bau yang tidak diinginkan (Tri Hayati, dkk, 2003).

Proses pengolahan RBDPO terdiri atas tiga tahap, yakni degumming,

bleaching dan deodorisasi. Tahap pertama yakni degumming yang bertujuan untuk

menghilangkan gum (fosfatida) yang masih terkandung dalam CPO dan bersifat

tidak larut (non-hydratable) seperti garam magnesium dan garam kalsium yang

dapat mengganggu stabilitas minyak pada tahap selanjutnya. Pada tahap ini

dilakukan pencampuran antara CPO dan asam phospat dengan konsentrasi 0,1%-

0,2% dengan suhu berkisar antara 90-1100C dan waktu proses 15 menit (Yusuf

Basiron, 2000)

Tahap kedua yakni bleaching bertujuan untuk menghilangkan kompleks

trace metal seperti Fe dan Cu yang sudah terperangkap dengan PO 4- dari asam
fosfat membentuk koagulan, serta pigmen, fosfatida, sisa asam fosfat dan produk

oksidasi yang dihilangkan dengan adsorpsi dari tanah pemucat Selanjutnya, CPO

akan dialirkan kedalam bleacher untuk dicampur dengan tanah pemucat (bleaching

earth). Bleaching earth yang ditambahkan yakni sebesar 0,5%-2% dari berat CPO.

Proses ini memerlukan waktu 30 menit dengan suhu 950C dan tekanan 20 mmHg –

25 mmHg dan selama proses berlangsung, air serta zat-zat penyebab bau maupun

warna akan menguap Selanjutnya, minyak dan tanah pemucat akan dipisahkan

melalui proses filtrasi menggunakan filter leaf (Yusuf Basiron, 2000).

Setelah proses bleaching kemudian dilakukan tahap deodorisasi. Tujuan

utama deodorisasi adalah menghilangkan senyawa yang mudah menguap seperti

FFA, odor dan warna dengan menggunakan suhu dan tekanan tinggi serta uap

panas. Suhu yang digunakan selama proses berkisar antara 240-270 0C dengan

tekanan vakum 2-5 mmHg. Umumnya, penggunaan suhu diatas 2700C dihindari

guna meminimalkan terjadinya kehilangan minyak serta tokoferol dan tokotrienol,

juga menghindari kemungkinan terjadinya isomerisasi dan reaksi termokimia yang

tidak diinginkan (YusufCrude Palm2000).


Basiron, Oil Diagram alir proses pengolahan RBDPO

dapat dilihat pada Gambar 1.


Degumming
0,1% - 0,2% ortho-phosporic acid
Temp : 850C
Time : 15 minutes

Bleaching
0,5% - 2,0% bleaching earth
Temp : 950C
Time : 30 minutes

Filtration (Temp : 600C - 700C)

Deodorization
Temp : 2400C - 2700C
Time : ± 30 minutes

RBDPO
Bleaching earth

FFA, Odour,
colour component

Gambar 1. Diagram Alir Pengolahan RBDPO

Sifat fisik dan komposisi Kimia dan sifat fisik RBDPO dapat dilihat pada

tabel dibawah ini.

Tabel 3. Sifat Fisik RBDPO


Sifat Fisik Rata-rata Range
Refractive Index 1,4548 1,4544-1,4550
Density (g/ml) 0,8899 0,8896-0,8910
Solid Fat Content
100C 53,7 46,1-60,8
150C 39,1 33,4-50,8
20 C
0
26,1 21,6-31,3
25 C
0
1,3 12,1-20,7
300C 10,5 6,1-14,3
350C 7,9 3,5-11,7
400C 4,6 0-8,3
45 C
0
melted melted
Sumber : Siew et al (1992;1993)

Tabel 4. Komposisi kimia RBDPO


Asam Lemak (% b/b) Rata-Rata Range
C12:0 0,2 0,1-0,4
C14:0 1,1 1-1,4
C16:0 44,1 40,9-47,5
C18:0 4,4 3,8-4,8
C18:1 39 36,4-41,2
C18:2 10,6 9,2-11,6
C18:3 0,4 0,1-0,6
C20:0 0,4 0,2-0,7
IV (Wijs) 52,1 50,1-54,9
SMP (0C) 36,7 33-39
0
Cloud Point ( C) NA NA
Keterangan NA-not applicable
Sumber : Siew et al (1992;1993)
2. RBDPKO (Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil)

Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) merupakan hasil proses

refining dari crude PKO (Palm Kernel Oil). Tujuan refining adalah untuk

menghilangkan senyawa-senyawa non-gliserida seperti fosfatida dan kontaminan

lainnya serta deodorisasi ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi asam

lemak bebas yang menyebabkan bau yang tidak diinginkan (Tri Hayati, dkk, 2003).

Secara umum proses pengolahan RBDPO dan RBDPKO sama. Namun,

yang membedakan keduanya adalah suhu proses pengolahan RBDPKO pada tahap

deodorisasi adalah 240-2450C (Yusuf Basiron, 2000).

CPKO

Degumming
0,1% - 0,2% ortho-phosporic acid
Temp : 850C
Time : 15 minutes

Bleaching
Bleaching earth 0,5% - 2,0% bleaching earth
0,1% - 0,2% ortho-phosporic acid
Temp :0 950C
Temp : 85 C
Time : 30 minutes

Filtration (Temp : 600C - 700C)

FFA, Odour, Deodorization


colour component Temp : 2400C - 2450C
Time : ± 30 minutes

RBDPKO
Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan RBDPKO

Sifat fisik dan Komposisi Kimia RBDPKO dapat dilihat pada tabel dibawah

ini.

Tabel 5. Sifat Fisik RBDPKO


Sifat Fisik Rata-rata Range
0
Refractive Index 40 C 1,45409 1,4500-1,4518
0
Density T 40 C(g/ml) NA 0,899-0,914
Solid Fat Content
50C 72,8 68-76,8
100C 67,6 61,6-71,2
15 C
0
55,7 50,5-60
0
20 C 40,1 34,2-45,5
250C 17,1 10,2-21,5
0
30 C melted melted
350C
Keterangan : NA- not available
Sumber : Tang et al (1995c)
Tabel 6. Komposisi Kimia RBDPKO
Asam Lemak (% b/b) Rata-Rata Range
C6:0 0,3 0,1-0,5
C8:0 4,2 3,4-5,9
C10:0 3,7 3,3-4,4
C12:0 48,7 46,3-51,1
C14:0 15,6 14,3-16,8
C16:0 7,5 6,5-8,9
C18:0 1,8 1,6-2,6
C18:1 14,8 13,2-16,4
C18:2 2,6 2,2-3,4
C20:0 ND ND
IV (Wijs) 17,9 16,2-19,2
SMP (0C) 27,3 25,9-28
Sumber : Tang et al (1995c)

3. Stearin
Stearin merupakan hasil proses refining yang dilanjutkan dengan proses

fraksinasi. Pada dasarnya fraksinasi terdiri dari kristalisasi dan filtrasi yang

bertujuan untuk memisahkan fraksi padat dan cair minyak sawit. Fraksi cair yaitu

olein yang digunakan sebagai minyak goreng sedangkan fraksi padat yaitu stearin

digunakan sebagai bahan baku margarin atau shortening (Yusuf Basiron, 2000)

Stearin memiliki slip melting point (SMP) pada kisaran suhu 45-56°C,

sedangkan olein pada kisaran suhu 13-23°C. Hal ini menunjukan bahwa stearin

yang memiliki slip melting point lebih tinggi akan berada dalam bentuk padat pada

suhu kamar (Pantzaris, 1994). Stearin hasil fraksinasi yang tidak murni merupakan

campuran dari berbagai asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh dengan

komponen terbanyak adalah asam palmitat (Ketaren, 2008).

Stearin pada umumnya digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan

shortening, margarin, dan pasta (Ketaren, 2008). Hal ini juga didukung oleh stearin

yang bersifat plastis. Hal utama yang menyebabkan stearin mempunyai sifat plastis

dan beku pada suhu ruang adalah tingginya kandungan asam lemak palmitat pada

stearin. Karakteristik fisik dari stearin sangat berbeda dengan produk-produk

lainnya dari minyak sawit terutama pada parameter titik leleh dan nilai bilangan

iod. Dari hasil survey MARDI tahun 1997/1998 (Satiawihardja et.al, 2001),

karakteristik fisik dan kimia dari fraksi stearin dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel

8. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa nilai mutu merupakan kisaran dari

beberapa nilai. Hal ini menunjukkan bahwa setiap jenis minyak, meskipun berasal

dari sumber minyak yang sama memiliki karakteristik yang unik. Kandungan lemak

padat (solid fat content, SFC) merupakan rasio antara lemak padat terhadap lemak
cair ketika lemak didinginkan di bawah titik leleh komponen dengan titik leleh

tertinggi dan sangat bergantung pada kondisi campuran trigliserida (Ketaren, 2008).

Nilai SFC ini merupakan salah satu parameter mutu yang penting pada stearin.

Proses pengolahan stearin dijelaskan sebagai berikut.

RBDPO yang dihasilkan dari proses refining selanjutnya akan dilakukan

fraksinasi untuk memisahkan olein dengan stearin. Fraksinasi terdiri atas 2 tahap

yaitu cooling (pendinginan) dan filtration (pemisahan) .

Tahap pertama yakni cooling. Pengontrolan pada tahap pendinginan

merupakan hal yang sangat kritis selama berlangsungnya proses pemadatan karena

berpengaruh langsung terhadap selektivitas kristalisasi dan efisiensi pemisahan

(Hamm, Wolf and Richard J. Hamilton, 2000). Kecepatan kristalisasi sangat

dipengaruhi oleh design alat crystallizer. Hal ini dikarenakan kristalisasi merupakan

reaksi eksotermis sehingga efisiensi penghilangan panas dari bahan sangat

dipengaruhi oleh design alatnya (Hamm, Wolf and Richard J. Hamilton, 2000).

Secara umum, penyaringan bertujuan untuk memisahkan olein dari fase padat

(stearin). Ada 2 sistem penyaringan yang digunakan, yakni penyaringan vakum dan

penyaringan bertekanan. Penyaringan bertekanan dibagi menjadi dua tahap, yaitu

pemasukan dan pengeluaran. Pada tahap pemasukan, sebagian besar olein telah

dipisahkan dari slurry sedangkan pada tahap yang kedua kristal dipisahkan secara

mekanik untuk mengekstrak olein yang masih tertahan pada fase padat (Yusuf

Basiron, 2000).

Tabel 7. Karakteristik fraksi stearin minyak sawit


Asam Lemak (% b/b) Rata-Rata Range
C12:0 0,2 0,1-0,3
C14:0 1,2 1,1-1,7
C16:0 56,8 49,8-68,1
C18:0 4,9 3,9-5,6
C18:1 29 20,4-3,4
C18:2 7,2 5-8,9
C18:3 0,1 0-0,5
C20:0 0,2 0-0,5
IV (Wijs) 37,7 27,8-45,1
0
SMP ( C) 51,4 46,6-53,8
Cloud Point (0C) NA NA
Keterangan NA-not applicable
Sumber : Siew et al (1992;1993)

Tabel 8. Solid Fat Content (%Massa) stearin (n=150) menggunakan


NMR
Sifat Fisik Rata-rata Range
Refractive Index 1,4493 1,4482-1,4501
Density (g/ml) 0,8822 0,8813-0,8844
Solid Fat Content
100C 76 49,5-84,1
15 C
0
68,9 37,2-79
20 C
0
60,2 25,2-71,2
25 C
0
50,6 15,8-63,5
30 C
0
40,4 11,2-55
35 C
0
34,3 7,2-46,6
40 C
0
28,1 6,1-38
45 C
0
22,4 1-32,2
50 C
0
12,5 0-21,3
55 C
0
0,6 0-9,1
Sumber : Siew et al (1992;1993)

4. Emulsifier
Margarin merupakan salah satu jenis emulsi. Emulsi adalah sistem yang

terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarutkan, salah satu cairan

terdispersi dalam bentuk globula-globula di dalam cairan lainnya. Cairan yang


terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan

yang mengelilingi globula-globula tersebut dinamakan fase kontinyu atau fase

pendispersi (Muchtadi, 1990). Menurut (Suryani,dkk, 2002), emulsi adalah disperse

atau suspense suatu cairan dalam cairan lain yang tidak bercampur dalam keadaan

biasa. Molekul-molekul kedua cairan tersebut bersifat saling antagonistik yang

disebabkan oleh perbedaan kepolarannya. Jika diamati di bawah mikroskop, droplet

emulsi memiliki diameter globula lebih dari 0.1 μm (1000 Å). Emulsi yang

memiliki diameter globula antara 0.1-0.15 μm termasuk makroemulsi, sedangkan

emulsi yang memiliki diameter globula kurang dari seperempat panjang gelombang

sinar putih atau sekitar 0.14 μm sampai dengan 0.002 μm termasuk mikroemulsi

(Suryani, dkk, 2002).

Sistem emulsi yang umum dijumpai adalah campuran antara minyak dan air.

Minyak dan air merupakan cairan yang tidak dapat berbaur karena mempunyai sifat

kepolaran dan berat jenis yang berbeda. Air bersifat polar dan memiliki berat jenis

yang lebih besar daripada minyak (Suryani, dkk, 2002). Terdapat dua tipe emulsi

yaitu emulsi minyak dalam air (o/w) dan emulsi air dalam minyak (w/o). Jika fase

lipofilik merupakan fase terdispersi maka emulsi yang terbentuk adalah emulsi

minyak dalam air, sebaliknya jika fase hidrofilik merupakan fase terdispersi maka

emulsi disebut emulsi air dalam minyak (Ketaren, 2008). Tipe emulsi dapat dilihat

pada gambar dibawah ini.


(a)

(b)
Gambar 3. Emulsi w/o (a) dan emulsi o/w (b)

Margarin merupakan salah satu emulsi air di dalam minyak (w/o). Gambar 4

menunjukkan bentuk emulsi margarin. Margarin merupakan salah satu emulsi air di

dalam minyak (w/o). Berikut adalah gambar emulsi margarin.

Emulsifier

\\\

Gambar 4 . Bentuk emulsi margarin (Binks dan Murakami, 2006)

Menurut Ketaren (2008) untuk menstabilkan emulsi yang terbentuk, maka

biasanya ditambahkan bahan untuk menstabilkan emulsi (emulsifying agent). Kerja

emulsifier dapat diperkuat dengan adanya stabilizer (McClements, 1999). Menurut

Pomeranz (1985), emulsifier mendistribusikan partikel kecil suatu cairan dalam

cairan lain untuk memperbaiki homogenitas dan kualitas tekstur sehingga terbentuk

konsistensi yang diinginkan. Stabilizer memberikan tekstur dan rasa yang seragam
dan lembut. Emulsifier melapisi permukaan droplet dan menghasilkan hambatan

energi yang mengurangi kemungkinan droplet terkoalisi.

Cara kerja emulsifier pada sistem emulsi minyak dalam air adalah

menyelubungi lemak yang terdispersi. Bagian emulsifier yang nonpolar larut dalam

lapisan luar butir-butir lemak, sedangkan bagian yang polar menghadap pelarut air

(continous phase). McClements (2004) menyatakan bahwa ada dua peranan penting

dari emulsifier selama proses homogenisasi yaitu menurunkan tegangan antar muka

antara fase air dan minyak.

Parameter yang sering digunakan untuk pemilihan jenis emulsifier adalah

berdasarkan nilai HLB (Hydrophile-Lipophile Balance). HLB merupakan angka

atau bilangan yang menyatakan daya tarik relatif emulsifier terhadap air dan

terhadap minyak secara serempak. HLB yang rendah cenderung untuk membentuk

emulsi w/o, pengemulsi dengan HLB menengah membentuk emulsi o/w, dan

pengemulsi yang HLB-nya tinggi merupakan senyawa pelarut (Deman, 1997).

Pembuatan margarin biasanya menggunakan HLB berkisar antara 4-6 (Aulia,

2010). Jenis emulsifier yang umumnya digunakan untuk pembuatan margarin

antara lain adalah lesitin dan propilen glikol

a. Lesitin
Gambar 5. Struktur Kimia Lesitin

Lesitin merupakan emulsifier yang umumnya digunakan pada margarin.

Emulsifier pada margarin berperan agar terbentuk emulsi antara fase yang larut

dalam lemak dan fase yang larut dalam air. Kemampuan lesitin sebagai

emulsifier dapat dilihat dari strukturnya seperti yang ditunjukkan oleh Gambar

5 (Pomeranz, 1985). Radikal asam lemak rantai panjang membentuk

bagian lipofilik dan menunjukkan afinitas kuat terhadap lemak, sedangkan

radikal fosfat menunjukkan afinitas kuat terhadap air. Sehingga dalam

campuran minyak dan air, lesitin mampu membentuk emulsi dengan

menurunkan tegangan permukaan interfasial antara fase minyak dan air. Nilai

HLB lesitin berkisar antara 3-4. Selain sebagai bahan pengemulsi, lesitin juga

berperan sebagai antioksidan dan bahan penggumpal. Lesitin yang

ditambahkan pada margarin sebesar 0,35% (Schwitzer, 1955).

b. Propilen Glikol

CH2  OH

CH  OH

CH3

Gambar 6. Struktur Kimia Propilen Glikol


Propilen glikol merupakan emulsifier dari ester polyhydric alcohol.

Propilen glikol adalah propana-1,2-diol dengan rumus molekul C3H8O2

(Gambar 4) dan berat molekul 76,10. Propilen glikol mempunyai sifat tak

berwarna, hampir tidak berbau, bersih, cairan viskos dengan rasa sedikit manis,

higroskopik serta larut dalam air, aseton dan kloroform

Propilen glikol mempunyai dua gugus polar dan satu gugus nonpolar,

sehingga bersifat higroskopik karena dua gugus polar akan lebih kuat mengikat

air dibandingkan satu gugus nonpolar yang mengikat lemak/minyak. Propilen

glikol dalam pembuatan margarin tidak hanya sekedar sebagai emulsifier tetapi

juga berperan sebagai stabilizer (penstabil) emulsi yang terbentuk (Schwitzer,

1955). Sifat-sifat propilen glikol dapat dilihat pada Tabel 9 berikut.

Tabel 9. Sifat-sifat propilen glikol


Rumus Molekul C3H8O2
Berat Molar 76.09 g/mol
Kenampakan tak berwarna
Densitas 1.036 g/cm³
Melting Point −59 °C (−74 °F)
Titik didih 265 °C (538 K)
larut dalam air, aseton, alkohol dan
Daya larut
kloroform
Sumber. Anonim, 2012

5. BHT (Butyl Hidroksitoluen)


Gambar 7. Stuktur kimia BHT

Margarin merupakan bahan pangan yang mengandung lemak dalam

persentase tinggi. Minyak ini ditandai dengan derajat ketidakjenuhan yang tinggi

dan biasanya mengandung beberapa antioksidan alami. Karena ketidakjenuhannya

tinggi dan jumlah antioksidan alami yang berkurang akibat proses maka perlu

ditambahkan antioksidan sintetik diantaranya adalah BHT (butyl hidroksitoluen)

(Wisnu, 2005).

BHT dibuat melalui reaksi antara p-cresol (4-methylphenol) dengan

isobutylene (2-methylpropene) dengan katalis asam sulfur. Jumlah BHT yang

ditambahkan pada margarin sebesar 0,02% (Wisnu, 2005). Sifat BHT dapat dilihat

pada Tabel 10.

Tabel 10. Sifat BHT (Butyl HidroksiToluen)


CH3(C6H4)OH + 2 CH2=C(CH3)2
Rumus struktur
→ ((CH3)3C)2CH3C6H2OH
Rumus Molekul C15H24O
Berat Molar 220.35 g/mol
Kenampakan Serbuk berwarna putih
Densitas 1,048 g/cm3
Melting Point 70–73 °C
Titik didih 265 °C (538 K)
Daya larut 1.1 mg/L (20 °C)
Sumber Anonim, 2011
b. Bahan yang Larut dalam Air

1. Air

Air merupakan komponen kedua yang terpenting setelah minyak, untuk

menghasilkan suatu emulsi air dalam minyak. Dalam margarin, molekul-molekul

air terperangkap atau terdispersi dalam kristal dan cairan minyak sebagai fase

kontinyu. Menurut SNI 01-3541-2002, kadar air margarin adalah maksimal 18%

(BSN, 2002). Perbandingan yang tepat antara air dan minyak dalam emulsi akan

sangat menentukan kestabilan emulsi, karakteristik produk (terutama tekstur),

ketahanan produk (terutama secara mikrobiologis), dan kerusakan produk/

ketengikan (berkaitan dengan hidrolisis minyak). Air juga berperan sebagai media

untuk melarutkan bahan-bahan tambahan seperti garam dan dextrose.

2. Garam

Penambahan garam pada margarin bertujuan untuk memberikan cita rasa.

Selain itu, garam juga dapat berperan sebagai anti-mikrobia. Garam yang

ditambahkan pada margarin umumnya berkisar antara 1-3%. Sifat-sifat garam

dapat dilihat pada Tabel 11

Tabel 11. Sifat garam


Nama kimia Garam dapur
Rumus molekul NaCl
Bobot molekul 58,443
Densitas 2,165 gr/ml
Titik lebur 801 0C
Titik didih 1413 0C
Kelarutan Larut dalam air, metanol dan gliserol
Kenampakan Butiran kristal putih atau powder
Sumber Anonim, 2011

3. Dextrose

Gambar 8 Struktur kimia dextrose

Penambahan dextrose pada margarine bertujuan sebagai penambah rasa.

Dextrose yang ditambahkan pada margarin sebesar 0,09%. Sifat-sifat dextrose

dapat dilihat pada Tabel 12

Tabel 12. Sifat – sifat dekstrose


Rumus Molekul C6H12O6
Berat Molar 180.16 g/mol
Kenampakan serbuk Putih
Densitas 1.54 g/cm3
Melting Point
α-D-glucose 146 °C
β-D-glucose 150 °C
Daya larut 91 g/100 mL

4. Proses Pembuatan dan Standar Mutu Margarin

a. Pembuatan margarin

Menurut Schwitzer (1955), komposisi dan proses pembuatan margarin adalah

sebagai berikut. Komposisi untuk pembuatan margarin adalah 80% lemak dan 17%

air. Fase yang larut dalam lemak seperti RBDPO sebanyak 85%, RBDPKO sebanyak
10% dan 5% stearin dicampur dengan emulsifier, lesitin, BHA, flavor serta β-caroten.

Bahan-bahan tersebut kemudian dihomogenisasi pada suhu 760C selama 15 menit.

Sedangkan bahan yang larut dalam fase air seperti garam non yodium dextrose,

trisodium citrat dihydrat dan CA dilarutkan kedalam aquades kemudian

dihomogenisasikan selama 15 menit pada suhu 330C.

Tahap berikutnya adalah mencampur kedua bahan tersebut, yakni bahan yang

larut dalam fase air dan minyak. Suhu pada saat pencampuran harus selalu dijaga

yakni berkisar 50-600C. Pemanasan yang diiringi dengan homogenisasi menggunakan

homogenizer ini bertujuan agar fase lemak meleleh sehingga mempermudah

pencampuran antarfase dalam pembuatan margarin (McClements, 2004)..

Selanjutnya campuran bahan tersebut didinginkan pada suhu 250C dengan

menggunakan refrigerator bath. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan proses

kristalisasi lemak dan menghindari emulsi berubah ke wujud masing-masing (wujud

semula) jika tidak segera didinginkan (Ketaren, 2008).

Setelah pendinginan selesai maka di lanjutkan proses kristalisasi dilakukan

pada suhu 17-220C. Homogenizer yang digunakan dalam penelitian ini tergolong

dalam homogenizer rotor yang memiliki sejenis pisau pemotong dan mampu berputar

dengan kecepatan tertentu. Ketika adonan margarine mengenai bagian ini, adonan

akan dipotong dengan cepat membentuk droplet-droplet dengan ukuran kecil dan

seragam.

Perubahan suhu secara nyata akan mengubah kekuatan dan plastisitas produk

margarin dengan perubahan pada jumlah kristal yang ada, kekerasan, dan viskositas

dari trigliserida cair. Penurunan suhu dapat menimbulkan kristalisasi dan peningkatan
viskositas (Kusnandar, 2010). Laju pendinginan, agitasi, dan tingkat pendinginan

akan menentukan kecepatan pertumbuhan kristal dan aglomerasi kristal yang

selanjutnya akan berpengaruh pada tekstur dan karakteristik pencairan dari produk

(Podmore, 1994). Pada proses ini suhu dan kecepatan pendinginan sangat

mempengaruhi ukuran kristal yang terbentuk. Kristal lemak yang diharapkan

berukuran kecil sehingga margarin yang dihasilkan bertekstur halus. Selain itu,

penggunaan suhu rendah secara langsung dalam pembuatan emulsi akan

memperlambat gerakan partikel terdispersi sehingga mengurangi benturan antar

partikel terdispersi. Pemakaian suhu rendah akan meningkatkan viskositas yang akan

memperbesar ketahanan terhadap benturan antar partikel terdispersi (Podmore, 1994).

Pada proses pendinginan ini, kristal yang terbentuk hanya sebagian sehingga

dilanjutkan dengan proses tempering pada suhu 5-70C selama 72 jam untuk

menyempurnakan pembentukan kristal (Budijanto et.al, 2001). Pada tahap tempering,

waktu memainkan peranan yang penting. Dimana selama proses ini berlangsung

bantuk α akan berubah menjadi bentuk β’ yang lebih stabil dengan titik leleh yang

lebih tinggi dan terbentuklah margarin. Secara skematis proses pembuatan margarin

dapat dilihat pada Gambar 9.


Gambar 9. Proses pembuatan margarin secara skematis

Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pembuatan:

1. Suhu emulsi (emulsion temperature)

Ada 2 hal yang paling jelas berubah selama proses akibat pengeluaran panas

latent kristalisasi yakni peningkatan solid fat content (SFC) dan suhu produk. Ketika

suhu emulsi 40, 45 dan 500C maka akan menghasilkan SFC berturut-turut adalah

15,9%, 13,9% dan 15,6%. Pada suhu 45 dan 50 0C, emulsi mempunyai SFC yang

sedikit lebih tinggi didalam pin worker dibandingkan didalam pipa pendingan.

Kristalisasi yang terjadi lebih awal dalam pipa pendingin mengakibatkan

kristalisasi menjadi minimum didalam pin worker yang mengindikasi suhu produk

rendah. Kristalisasi didalam pipa pendingin menjadi tidak homogen dan agitasi

menjadi terlepas sehingga merusak beberapa kristal aglomerat. Kristalisasi yang

minimum dan kerusakan ikatan kristal akan mempercepat pembentukan kristal β’

menjadi bentuk β pada minggu keempat.


2. Kecepatan aliran emulsi (emulsion flow rate)

Kecepatan emulsi margarin melewati pipa scraped-surface dan pin worker

system akan berpengaruh terhadap produk akhir. Jika emulsi berjalan sangat lambat

maka margarin yang dihasilkan menjadi keras dan rapuh begitu pula dengan

pendinginan yang terlalu cepat. Kristalisasi berjalan dengan cepat agar kristal-kristal

tersebut dapat terikat satu sama lain dengan cepat. Jika kristalisasi terlalu cepat akan

berdampak pendinginan tidak cukup dan mempercepat terjadinya pengerasan

khususnya margarine paket.

3. Suhu gesekan-permukaan pipa pendingin (Screped-surface tube cooler temperature)

Proses dimulai pada tempat yang berbeda dimana suhunya cukup jatuh untuk

proses kristalisasi atau nukleasi hingga kristal terbentuk. Jadi, ketika lemak meleleh

dan mendingin secara alami akan terbentuk granual dengan proses kristalisasi lambat.

Pendinginan cepat akan menghasilkan kristal yang lebih kecil dan seragam.

Pendinginan instan, TAG dengan daya leleh tinggi dan rendah akan memperbaiki

pencampuran kristal. Jadi, emulsi yang melalui permukaan pendingin pada suhu yang

sangat rendah akan mendapat pendinginan yang sangat besar seiring dengan

meningkatnya suhu sampel untuk membentuk kristal dan proses nukleasi.

4. Kecepatan pin worker (pin worker speed)

Pin worker selain berperan dalam proses kristalisasi juga berperan untuk

memperbaiki tekstur produk akhir. Perbedaan SFC akan memberikan peningkatan

waktu simpan yang disebabkan oleh peningkatan kecepatan pin worker. Perputaran pin

worker akan menimbulkan perlawanan terhadap aliran produk. Putaran pisau scraped-
surface akan memebrikan lebih banyak kekuatan untuk mendinginkan sehingga

menurunkan waktu induksi yang dibutuhkan

b. Standar mutu Margarin

Standar mutu margarin menurut SNI No. 01-3541-1994 dapat dilihat pada

Tabel 13 sedangkan menurut CODEX STAN 32-1981 dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 13. Standar Mutu Margarin Menurut SNI


No
Kriteria Satuan Persyaratan
Test
Keadaan (Bau, Rasa, Normal (margarin meja
A -
Warna) Normal (margarin dapur)
maks.18,0 (margarin meja )
B Air % (b/b)
maks.18,0 (margarin dapur)
Min. 80,0 (margarin meja )
C Lemak % (b/b)
Min. 80,0 (margarin dapur)
Asam Lemak bebas
dihitung sebagai asam maks.0,3 (margarin meja )
D % (b/b)
lemak olaet maks.0,3 (margarin dapur)
(dari % lemak)
maks. 4,0 (margarin meja )
E Garam dapur (NaCl) % (b/b)
maks. 4,0 (margarin dapur)
Vitamin
F - Vitamin A IU/100 g 1400-3500 (margarin meja )
- Vitamin D IU/100 g 250-350 (Margarin meja)
Bahan Tambahan Sesuai dengan SNI 01.-0222-
Pangan 1987
- Antioksidan - -
G
- Pewarna - -
makanan - -
- Stabilizer - -
Cemaran logam
- Tembaga (Pb) maks. 0,1 (margarin meja )
mg/Kg maks. 0,1 (margarin dapur)
- Seng (Zn)
maks. 0,1 (margarin meja )
mg/Kg maks. 0,1 (margarin dapur)
- Timah
mg/Kg maks. 0,1 (margarin meja )
H
maks. 0,1 (margarin dapur)
- Raksa (Hg)
mg/Kg maks. 40/250 (margarin meja)
maks. 40/250 (margarin dapur)
- Arsen (As)
mg/Kg maks. 0,03 (margarin meja )
maks. 0,03 (margarin dapur)

Tabel 14. Standar mutu margarin menurut Codex Stan 32-1981


Kriteria Satuan Persyaratan
Lemak b/b dari produk min 80%
Air b/b dari produk maks 16%
Tambahan
 Vitamin A dan
turunannya
 Vitamin D batas maksimum dan
 Vitamin E dan minimum
turunannya disesuaikan dengan
persyaratan yang
 Vitamin lainnya
berlaku di masing-
 Sodium Chloride masing negara
 Gula
 Protein
Zat Tambahan Makanan
a. Warna
 -Karoten mg/kg mak 25
maks 20 (dihitung
 Ekstrak Annato mg/kg sbg total bixin atau
norbixin)
 Curcumin atau maks 5 (dihitung sbg
mg/kg
Turmeric total carcumin)
 beta-apo-carotenal mg/kg maks 25
 methyl and ethyl ester
of beta-apo- mg/kg maks 25
8'carotenoic acid
b. Emulsifier
 Mono and
diglycerides of fatty Limited by GMP
acid
 Mono and
diglycerides of fatty
acid esterified with
the following acids:
g/kg 10
acetic; acetyltartaric;
citric; lactic; tartaric;
and their sodium and
calcium salt
 Lecithins and
components of Limited by GMP
commercial lecithin
 polyglycerol ester of
g/kg 5
fatty acids
 1,2-propylen glycol of
g/kg 20
fatty acids
 Ester of fatty acids
with polyalcohols
other than glycerol:
Sorbitan g/kg 10
monopalmitate
Sorbitan monostearate
Sorbitan tristearate
 Sucrose esters of fatty
acids (including g/kg 10
sucroglycerides)
Zat Pengawet
 Sorbic acid and its mg/kg 1000 (individually or
sodium, potassium in combination
and calcium salts
 benzoic acid and its
expressed as the
sodium and potassium mg/kg
acids
salts
Antioxidants
 propyl gallate mg/kg 100
 Butylated
mg/kg
hydroxytoluen (BHT) 75
 Butylated
mg/kg
hydroxyanisole (BHA) 175
 any combination of 200, but limits in
propyl gallte, BHA, mg/kg 4.5.11-4.5.3 not to be
BHT exceeded
 Natural and synthetic
mg/kg 500
tocopherols
 Ascorbyl sterate mg/kg 500, indvidually or
 Ascorbyl palmitate mg/kg in combination
 Dilauryl
mg/kg 200
thiodipropionate
Antioxidant synergists
 Citric Acid Limited by GMP
 Sodium citrate Limited by GMP
 Isopropyl citrate
mixture 100, individually or
mg/kg
 Phosporic acid in combination
 Monoglyceride citrate
Pengatur Keasaman
 Citric and lactic acids
and their potassium Limited by GMP
and sodium salts
 L-tartaric acid and its
sodium and
Limited by GMP
sodium/potassium
salts
 sodium hydrogen
carbonate, sodium Limited by GMP
hydroxide
Antifoaming agent
 dimetyl polysiloxane
(dimethyl silicone)
singly or in 10
combination with
silicon dioxide
Contaminants
 Iron (Fe) mg/kg 1,5
 Copper (Cu) mg/kg 0,1
 Lead (Pb) mg/kg 0,1
 Arsenic (As) mg/kg 0,1

5. Kristal Lemak

Lemak juga dapat memiliki sifat plastik, artinya mudah dibentuk atau dicetak atau

dapat diempukkan (cream), yaitu dilunakkan dengan pencampuran dengan udara. Lemak

yang plastis biasanya mengandung kristal gliserida yang padat dan sebagian trigliserida

cair. Bentuk dan ukuran kristal mempengaruhi sifat lemak pada margarin.

Mekanisme pembentukan kristal dijelaskan oleh Bender (1978), yaitu jika lemak cair

didinginkan maka panas dari molekul-molekul akan berangsur-angsur menurun. Jika

molekul-molekul tersebut telah mencapai ukuran 5 A0, maka molekul-molekul ini akan

tarik menarik dengan adanya gaya Van der Waals. Gaya tarik menarik ini akan diikat oleh

adanya suatu efek yang disebut zippering effect. Jika rantai dari molekul cukup panjang

maka kekuatan tarik menarik akan lebih besar. Hasil yang diperoleh dari tarik menarik ini

adalah radikal asam lemak dalam molekul lemak diluruskan dalam keadaan paralel dan

molekul-molekul menjadi menumpuk dan membentuk kristal. Molekul-molekul yang

simetris dan asam-asam lemak dengan panjang rantai yang serupa dapat meluruskan

dirinya sendiri secara lebih mudah dan membentuk kristal dengan lebih mudah pula.
Bentuk polimer yang khas pada suatu lemak tergantung pada kondisi

terbentuknya kristal itu, perlakuan terhadap lemak sesudah kristalisasi dan komponen

asam lemak. Jika lemak didinginkan, terbentuk kristal α yang segera hilang berubah

menjadi bentuk β’ halus. Pada beberapa lemak bentuk β’ ini stabil, tetapi dalam lemak

lainnya kristal β’ ini berubah menjadi bentuk intermediat dan akhirnya berubah menjadi

bentuk β yang besar-besar. Sifat-sifat kristal lemak dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Sifat-sifat kristal lemak


Bentuk Polimer Sifat Ukuran (μm)
Α Rapuh, transparan, pipih 5
β’ Jarum halus 1
25-50
Β Besar-besar dan berkelompok
Kadang-kadang 100
Sumber Winarno, 1984
Bentuk polimorfisme kristal dapat dilihat pada tabel berikut

Gambar 10. Polimorfisme kristal lemak (Podmore, 1994)

Gambar 10. Polimorfisme kristal lemak

Karakteristik kristalisasi lemak menentukan tampilan produk akhir, seperti

mengkilap (glossy effect), serta tampak padat dan penuh. Terdapat tiga karakter kristal

utama pada lemak yaitu temper, feather, dan individual. Penampakan karakteristik kristal

temper umumnya lebih disukai dibandingkan dua karakteristik lainnya. Ketiga jenis

kristal ini terbentuk pada kisaran suhu yang sama, yaitu 26°C, namun memiliki perbedaan

pada titik leleh (Bender, 1978).


Kristal temper meleleh pada suhu 33,4°C dengan karakteristik cenderung rapat,

padat, serta terlihat seperti titik-titik kecil yang memiliki sebaran yang cenderung merata

di bawah mikroskop perbesaran 120 kali. Kristal individual meleleh pada suhu 29,7°C

dengan karakteristik kristal rapat, kurang padat, dan terlihat seperti garis dengan ukuran

beragam dengan sebaran yang cenderung beragam pula di bawah mikroskop. Kristal

feather meleleh pada suhu yang lebih tinggi dari kristal individual (sekitar 32,4-35,1°C)

dengan karakteristik kristal terlihat memanjang dan menyerupai bulu, rapat dan padat,

namun dapat terlihat dalam alur yang kurang beraturan (Dimick and Manning, 1987).

6. Karakteristik Fisik Margarin


Menurut Podmore (1994), karakteristik fisik yang penting dari margarin adalah

tekstur, kekuatan, dan daya gunanya. Karakteristik tersebut terutama dipengaruhi oleh

perbandingan solid-liquid, titik cair kristal, geometri kristal (ukuran, bentuk, alignment),

tingkat pembentukan campuran kristal, dan kemampuan kristal untuk saling menyatu

membentuk sebuah jaringan. Sedangkan menurut Bumbalough (2000), karakteristik fisik

margarin, terutama tekstur, spreadability, warna, penampakan, dan melting profile,

merupakan fungsi dari struktur lemak dan kondisi proses yang digunakan dalam proses

produksi.
Pada umumnya, semakin besar jumlah trigliserida padat dalam campuran,

kekakuan jaringan akan semakin meningkat pula, karena terjadi peningkatan jumlah

kristal dan kekuatan saling menyatu di antara kristalkristal tersebut. Perubahan suhu

secara nyata akan mengubah kekuatan dan plastisitas produk dengan perubahan pada

jumlah kristal yang ada, kekerasan, dan viskositas dari trigliserida cair. Kristalisasi lemak

diawali dengan pembentukan inti kristal (nucleation) dalam sistem supercooled. Laju

pendinginan, agitasi, dan tingkat pendinginan akan menentukan kecepatan pertumbuhan

kristal, ukuran kristal, dan aglomerasi kristal, yang selanjutnya akan berpengaruh pada

tekstur dan karakteristik pencairan dari produk (Podmore, 1994).


Polimorfisme merupakan suatu fenomena pada kristal lemak yang dapat berada

dalam bentuk berbeda-beda. Satu jenis trigliserida dapat memiliki lebih dari satu bentuk

kristal yang berbeda-beda titik cairnya. Lemak dan trigliserida dapat memiliki tiga bentuk

kristal dasar, yaitu α (alfa), β’ (beta prime), dan β (beta). Kristal alfa adalah bentuk yang

paling tidak stabil dan memiliki titik cair terendah, sedangkan kristal beta memiliki

kestabilan dan titik cair paling tinggi. Ketiga bentuk kristal tersebut dapat berada dalam

bermacam-macam kombinasi, sehingga setiap trigliserida akan memiliki perilaku


polimorfisme dan pencairan masing-masing (Timms,1994). Titik leleh bentuk polimorfik

beberapa gliserida menurut Lutton (1972) dapat dilihat pada Tabel 16.
Brennan et al. (1990) menyebutkan bahwa terdapat dua tipe polimorfisme,

yaitu enantiotropisme (reversibel) dan monotropisme (irreversibel). Hampir semua

polimorfisme trigliserida bersifat monotropik, dimana kristal bertitik cair rendah hanya

dapat bertransformasi menjadi bentuk kristal dengan titik cair yang lebih tinggi. Proses

kristalisasi berlangsung sangat cepat pada bentuk kristal bertitik cair rendah. Kemudian

kristal tersebut dapat bertransformasi menjadi kristal dengan titik cair yang lebih tinggi,

dan kecepatan transformasinya merupakan fungsi dari temperatur. Jika kristal dicairkan

dan lemak cair tersebut didinginkan kembali, maka dapat dihasilkan kembali kristal

dengan titik cair rendah.

Tabel 16. Titik leleh bentuk polimorf tri stearin (SSS), 2-palmitoildistearin (SPS) dan 2-
stearoildipalmitin (PSP)
Titik Leleh (0C)
Bentuk
SSS SPS PSP
α 54,7 51,8 471
β’ 64 692 69
β 73,3 68,5 65,5
Sumber Lutton (1972)
1
Titik lunak
2
Sulit diperoleh
Slip melting point (MP) adalah temperatur pada saat lemak dalam pipa kapiler

yang berada di dalam air menjadi cukup leleh untuk naik dalam pipa kapiler. Sedangkan

Lawson (1995) menyatakan bahwa complete melting point adalah temperatur pada saat

lemak padat menjadi minyak cair seluruhnya. Setiap asam lemak murni memiliki titik

cair spesifik. Minyak dan lemak merupakan campuran dari bermacam-macam asam

lemak berupa trigliserida, sehingga tidak memiliki titik cair yang tajam (sharp).
Menurut Deman (1997) titik leleh margarin dipengaruhi antara lain oleh titik

lebur asam lemak yang dikandungnya seperti yang ditunjukkan Tabel 17, panjang rantai

dan ketidakjenuhan asam lemak serta konfigurasi cis dan trans. Titik leleh asam lemak

akan semakin naik dengan meningkatnya jumlah atom karbon yang terikat. Semakin

banyak jumlah ikatan tidak jenuh maka titik leleh akan semakin rendah.

Selain itu, tata susun asam lemak dalam jenis trigliserida yang berbeda juga

mempengaruhi titik lebur trigliserida yang terbentuk seperti yang ditunjukkan oleh Tabel

18 berikut.

Tabel 17 Titik leleh beberapa asam lemak


Asam Lemak Titik Leleh (0C)
Oleat (cis) 13
Elaidat (trans) 44
Stearat 70
Linoleat (cis-cis) -5
Linelaidat (trans-trans) 28
Butirat -8
Tabel 18 Titik leleh beberapa trigliserida
Trigliserida Titik Leleh (0C)
Trijenuh SSS 72
PPP 65
SPP 62
Dwijenuh POP 37
OPP 34
SOP 35
SPO 39
PSO 36
Dwitakjenuh OOP 19
OOS 23
Tritakjenuh OOO 5
EEE 42
LLL -10
Menurut Lawson (1995), faktor-faktor yang penting dalam menentukan titik

cair dan melting behaviour dari suatu produk antara lain adalah
a. Rata-rata panjang rantai dari asam lemak. Semakin panjang rantai maka titik cairnya

akan semakin tinggi.


b. Posisi asam lemak pada molekul gliserol juga mempengaruhi titik cair.
c. Proporsi relatif dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Semakin tinggi

proporsi asam lemak tidak jenuh, maka titik cairnya akan semakin rendah.
d. Teknik proses, seperti derajat hidrogenasi dan winterisasi.

7. Karakteristik Margarin

Kondisi proses selama proses produksi maupun penyimpanan merupakan hal yang

perlu diperhatikan. Sebab, kerusakan fisik maupun kimia yang timbul selama proses

maupun setelah proses akan berpengaruh terhadap karakteristik margarin yang dihasilkan.

Karakteristik margarine menurut Miskandar, dkk (2005) , meliputi:

a. Daya oles (Spreadibility)

Daya oles merupakan sifat terpenting pada margarine meja. Bagi konsumen,

daya oles berarti kemudahan mengoles margarin setipis mungkin pada roti. Ada 3

kondisi yang dibutuhkan agar margarin memiliki daya oles yang baik. Pertama, terdiri

atas fase minyak cair dan minyak padat. Kedua, kristal lemak harus dapat tersebar

merata. Terakhir, proporsi yang tepat antara fase padat dan cair serta Kristal yang

terbentuk dapat meleleh dibawah suhu tubuh.


[

b. Konsistensi dan tektur (consistency and texture)

Konsistensi merupakan ukuran kehalusan, keserasian dan sifat plastis pada

margarin. Sedangkan tekstur menunjukkan struktur margarin. Konsistensi dan tekstur

margarin pada prinsipnya sangat bergantung pada tekhnik yang digunakan selama

proses serta minyak dan lemak yang digunakan.


Dalam beberapa kasus dimana kristalisasi antara minyak dan lemak berjalan

lambat, maka akan terjadi pengerasan pada margarin selama proses penyimpanan.

Minyak dan lemak mempunyai lebih dari 30% komponen trigliserida yang tersusun

atas POP (Palmitat-oleat-palmitat). Bentuk ini menyebabkan kristalisasi berjalan

lambat oleh karena itu rentan mengalami pengerasan. Walaupun POP mempunyai titik

leleh 300C namun suhu kristalisasinya hanya 200C. perbedaan yang mencolok antara

suhu leleh dan suhu kristalisasi akan menyebabkan waktu kristalisasi menjadi lama.

Pengerasan pada margarin disebabkan karena kondisi proses yang tidak tepat

misalnya pengadukan yang berlebihan selama proses pendinginan akan menghasilkan

kristal kecil yang berlebih. Selain itu, strukturnya akan lebih padat dan terjadi

penurunan daya kapilaritas antara padatan yang menyebabkan meningkatnya

viskositas seiring dengan struktur yang semakin rapuh.

Mekanikal kerja selama dilakukannya pendinginan cepat akan menghasilkan

margarin dengan konsistensi dan stabilitas yang lebih baik. Selain itu, kristalisasi

dengan menggunakan scraped surface heat exchanger akan memberikan pengaruh

yang baik terhadap daya oles dan konsistensi margarin

c. Pemisahan minyak (Oil separation)

Pemisahan minyak terjadi ketika matrik kristal tidak cukup untuk

memperangkap fase minyak seluruhnya. Hal ini dapat terjadi karena transformasi

kristal menjadi bentuk β. Kristal bentuk β akan membesar secara kontinyu sampai

jaringan tidak dapat memperangkap minyak dan minyak kemudian akan keluar dan

fase air akan bergabung.


Kelemahan pemisahan minyak pada margarin ditentukan dari bentuk dan

ukuran sampel yang terdapat pada kertas penyaring (suhu 270C dan waktu proses 24-

48 jam) serta mengukur minyak yang terpisah.

d. Tekstur berpasir (Sandiness)

Pada margarin, polimorfisme dalam bentuk β’ sangat diharapkan. Hal ini

karena bentuk β’ mempunyai kristal yang kecil yang mudah bergabung dengan fase

minyak sehingga dapat menghasilkan margarin yang lembut serta struktur yang

homogen. Bentuk β’ juga membuat permukaan margarin terlihat lebih halus dan

mengkilap.

Secara umum, bentuk polimorfisme β pada margarin tidak diinginkan kecuali

pada margarin pastry. Bentuk kristal β mempunyai tendensi untuk berkembang

menjadi besar sesuai aglomerat yang diinginkan. Kristal yang besar ini akan

menghasilkan sensasi “berpasir” dimulut. Kristal β terjadi karena rasio antara minyak

dan lemak yang kurang tepat serta kondisi proses yang kurang dikontrol. Kristal

bentuk β mempunyai suhu kristalisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan β’

sehingga menghasilkan konsistensi yang keras. Kondisi ini cocok untuk pembuatan

pastry.

B. PREBIOTIK

1. Pengertian

Prebiotik merupakan produk alami yang berasal dari zat pati tanaman. Suatu

senyawa atau bahan pangan dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik jika (a) tidak

terhidrolisa atau terserap pada jalur pencernaan makanan tanpa mengalami perubahan

struktur dan tidak diekskresikan dalam ginjal; (b) diproduksi dari substrat tertentu yang
dapat menstimulasi pertumbuhan satu atau sejumlah terbatas bakteri dalam saluran

pencernaan; dan (c) dapat menekan jumlah bakteri pathogen (E.coli, C. perfingens) dan

meningkatkan jumlah bakteri yang menguntungkan (Bifidobacteria) (Fuller, 1997) .

Prebiotik didefinisikan sebagai bahan makanan yang tidak dapat dicerna dan

diserap dapat diperoleh dari (a) Air susu ibu dalam bentuk human milk oligosaccharide

dengan jumlah 3-6 mg/L (Kunz dan Rudolf, 1996); (b) sayur buah dan produk alami

lainnya, misalnya : onion, asparagus, chicory (mengandung inulin), pisang, artichoke,

bawang putih dan Bombay, susu sapi, madu, dan serealia (gandum dan biji-bijian) ; (c)

prebiotik buatan, yang umumnya disintesa dengan cara hidrolisa polisakarida alami dan

sintesa secara enzimatis (Anonim, 2006)

Untuk memperoleh oligosakarisa yang akan dipakai sebagai bahan prebiotik dapat

dilakukan melalui cara yaitu : (a) ekstraksi langsung polisakarida alami dari tumbuhan ;

(b) hidrolisa polisakarida alami ; (c) sintesa secara enzimatik dengan menggunakan enzim

hidrolase dan atau enzim glikosil transferase dimana kedua enzim tersebut akan

mengkatalisis reaksi transglikolisasi sehingga terbentuk oligosakarida sintetis dari mono

dan disakarid. Beberapa prebiotik pada saat ini sedang disintesa secara enzimatis, seperti

galaktooligosakarida, fruktooligosakarida, isomalto-oligosakrida, gentioligosakarida,

xilooligosakarida, laktulosa dan laktusukrosa (Anonim, 2006).

2. Oligosakarida

Kandungan oligosakarida dalam ubi jalar relatif tinggi dan sebagian besar terdiri

dari raffinosa, stakhiosa, dan verbaskosa . Oligosakarida adalah polimer yang disusun

oleh 2 sampai 10 monosakarida. Oligosakarida bersifat sangat mudah larut dalam air atau

pelarut polar lainnya. Monosakarida penyusunnya dapat satu jenis (homooligosakarida)


atau lebih dari satu jenis (heterooligosakarida). Contoh karbohidrat yang termasuk

golongan oligosakarida adalah adalah rafinosa, stakiosa dan verbaskosa (Tabel 19).

Struktur kimia dari masing-masing oligosakarida tersebut dapat dilihat pada Gambar 11

(Kusnandar, 2010).

Tabel 19. Jenis oligosakarida, jenis ikatannya dan sumbernya


Monomer Susunan ikatan
Oligosakarida DP Smber pangan
penyusun glikosidik
Rafinosa 3 α-D-galaktosa α(1 6)Gal α(1 2) Glu Kacang kedelai,
α-D-glukosa β(1 2) Fru K.hijau, ubi
β-D-fruktosa jalar, talas, bit
Stakiosa 4 α-D-galaktosa α(1 6)Gal α(1 6) Gal Kacang-
α-D-glukosa α(1 2)Glu β(1 2) Fru kacangan
β-D-fruktosa
Verbakosa 5 α-D-galaktosa α(1 6)Gal α(1 6) Gal Biji-bijian
α-D-glukosa α(1 6)Gal α(1 2) Glu
β-D-fruktosa β(1 2) Fru

Rafinosa adalah oligoisomer yang tersusun oleh tiga jenis monosakarida, yaitu 1

unit α-D-galaktosa, 1 unit α-D-glukosa dan 1 unit β-D-fruktosa. Stakiosa adalah

oilgoisomer yang tersusun oleh 4 monosakarida, yaitu 2 unit α-D-galaktosa, 1 unit α-D-

glukosa dan 1 unit β-D-fruktosa. Stakiosa dapat dihasilkan dengan menambahkan 1 unit
α-D-galaktosa ke dalam struktur rafinosa melalui ikatan α(1 6). Verbaskosa adalah

oligoisomer yang tersusun atas 5 unit monosakarida, yaitu 3 unit α-D-galaktosa, 1 unit α-

D-glukosa dan 1 unit β-D-fruktosa. Verbaskosa dapat dihasilkan dengan menambahkan 1

unit α-D-galaktosa ke dalam struktur stakiosa melalui ikatan α(1 6). Ketiga

oligosakarida ini tidak dapat dicerna oleh manusia, namun dapat menjadi makanan bagi

bakteri yang terdapat dalam usus besar (Kusnandar, 2010).

Hasil pemecahan oligosakarida rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa oleh bakteri

dalam usus besar akan menghasilkan gas. Mikroba yang juga dapat memanfaatkan

oligosakarida tersebut adalah kelompok bakteri asam laktat (misalnya lactobacillus casei,

dan bifidobacterium longum) yang dapat tumbuh dalam usus besar manusia dan dapat

menekan pertumbuhan mikrobia patogen (bakteri ini disebut bakteri probiotik).

Oligosakarida yang dapat digunakan untuk mendukung pertumbuhan mikrobia probiotik

disebut dengan prebiotik (Kusnandar, 2010).

Rafinosa dapat dimetabolisme oleh mikroflora usus sehingga dihasilkan asam

laktat, asam asetat, asam butirat, hidrogen peroksida, bakteriosin, dan metabolit lainnya.

Rafinosa tidak dapat dicerna karena mukosa usus mamalia tidak mempunyaai enzim α-

galaktosidase sehingga oligosakarida tersebut tidak dapat diserap oleh tubuh. Didalam

usus, oligosakarida ini akan difermentasi oleh bakteri-bakteri yang ada dalam usus

sehingga terbentuk gas karbon dioksida, hidrogen, dan metan. Oligosakarida yang

mengandung ikatan α-galaktosida pada bahan pangan terkait dengan timbulnya flatulensi,

yaitu suatu keadaan menumpuknya gas-gas dalam lambung (Kusnandar, 2010).

3. Manfaat
Selain untuk menumbuhkan prebiotik atau bakteri bermanfaat dalam usus, prebiotik

juga berguna untuk membunuh kuman-kuman yang tak perlu memiliki penangkal

penetralisir efek samping antibiotic, dan mencegah infeksi, sehingga membantu fungsi

pencernaan. Prebiotik dalam usus, terutama dalam usus besar yang difermentasikan oleh

bakteri probiotik akan menghasilkan Short Chain Fatty Acid (SCFA) dalam bentuk asetat,

propionate, butirat, L-laktat, karbondioksida dan hydrogen. SCFA tersebut oleh tubuh

dapat dipakai sebagai sumber energy, dan memberikan efek stimulasi selektif terhadap

pertumbuhan bakteri probiotik terutama Bifidobacteria dan lactobacillus yang akan

memberikan efek menguntungkan bagi kesehatan, antara lain (a) memperbaiki keluhan

malabsorbsi laktosa ; (b) meningkatkan ketahanan alami terhadap infeksi di usus oleh

kuman pathogen, Clostridium perfingens, Escherchia coli, Salmonella, Shigella, Listeria;

(c) sukresi kanker; (d) memperbaiki metabolisme lipida dan mengurangi kadar kolesterol

dalam darah; (e) memperbaiki pencernaan (Fuller, 1991); (f) stimulasi imunitas

gastrointestinal (Macfarlane, 1999)

C. UBI JALAR

1. Asal

Ubi jalar atau ketela rambat atau “sweet potato” diduga berasa dari benua Amerika.

Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah

Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian tengah. Ubi jalar menyebar ke seluruh

dunia terutama negara-negara beriklim tropika, diperkirakan pada abad ke-16. Orang-

orang spanyol dianggap berjasa menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia terutama

Filipina, Jepang, dan Indonesia (Widjanarko, Simon, 2008).


2. Taksonomi

Sistematika (taksonomi) tumbuhan, tanaman ubi jalar diklasifikasikan sebagai

berikut

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Convolvulales

Famili : Convolvulaceae

Genus : Ipomoea

Spesies : Ipomoea batatas

Ubi jalar adalah tanaman yang tumbuh baik didaerah beriklim panas dan lembab,

dengan suhu optimum 270C dan lama penyinaran 11-12 jam perhari. Tanaman ini dapat

tumbuh sampai ketinggian 1.000 m dari permukaan laut. Ubi jalar membutuhkan tanah

subur untuk media tumbuhnya. Di Jepang, ubi jalar adalah salah satu sumber karbohidrat

yang cukup popular. Beberapa varietas ubi jepang cukup dikenal hingga ke Indonesia.

Selanjutnya beberapa varietas yang diusahakan tersebar secara luas di Indonesia,

diantaranya varietas ibaraki, beniazuma, dan naruto (Widjanarko, Simon, 2008).

3. Jenis-jenis Ubi jalar

Ubi jalar sebagai bahan baku pada pembuatan tepung mempunyai keragaman jenis

yang cukup banyak, yang terdiri dari jenis-jenis local dan beberapa varietas unggul. Jenis-

jenis ubi jalar tersebut mempunyai perbedaan yaitu pada bentuk, ukuran, warna daging
umbi, warna kulit, daya simpan, komposisi kimia, sifat pengolahan dan umur panen

(Widjanarko, Simon, 2008) .

Berdasarkan varietasnya, ubi jalar terdiri atas Lampengan, Sawo, Cilembu, Rambo,

Jahe, Kleneng, Gedang, Tumpuk, Georgia, Layang-layang, Karya, Daya, Borobudur,

Prambanan, Mendut, dan Kalasan. Dari beberapa varietas tersebut, jenis Daya,

Borobudur, Prambanan, Mendut, dan Kalasan merupakan varietas yang diunggulkan

karena:

- Berdaya hasil tinggi, di atas 30 ton/ha

- Berumur pendek (3-4 bulan)

- Rasa ubi enak dan manis

- Tahan terhadap hama penggerek

- Kadar beta karoten tinggi di atas 10 mg/ 100 gr bahan

- Keadaan serat ubi relative rendah (Ristek, 2007)

Berdasarkan jenisnya ubi jalar terbagi atas ubi putih, kuning, ungu atau ungu

kemerah-merahan. Kulit ubi maupun dagingnya mengandung pigmen karotenoid dan

antosianin yang menentukan warnanya. Kombinasi dan intensitas yang berbeda-beda

dari keduanya menghasilkan warna putih, kuning, ungu maupun ungu kemerah-merahan

pada kulit dan daging buah ubi (Widjanarko, Simon, 2008).

4. Sifat Fisik dan Kimia Ubi Jalar

Ubi jalar mempunyai keragaman sifat fisik yang sangat luas berupa variasi bentuk,

ukuran, warna kulit, dan warna daging umbi yang sangat ditentukan varietasnya. Bentuk

umbi beragam, ada yang bulat-lonjong, lonjong, halus/rata, dan berlekuk. Umbi yang

lonjong dan tidak ada lekukan akan memudahkan pengupasan sehingga rendemen umbi
terkupas tinggi. Demikian pula warna kulit dan daging ubi jalar beragam dari putih,

kuning, merah, dan ungu tergantung varietasnya.

Warna kuning/orange pada umbi disebabkan oleh adanya senyawa betakaroten yang

bermanfaat bagi kesehatan tubuh karena dapat berfungsi sebagai provitamin A. Di

samping itu, betakaroten juga dilaporkan dapat memberi perlindungan/pencegahan

terhadap kanker, penuaan dini, penurunan kekebalan, penyakit jantung, stroke, katarak,

sengatan cahaya matahari, dan gangguan otot (Mayne 1996). Hal ini berkaitan dengan

kemampuannya untuk menangkap radikal bebas, yang dipercaya sebagai penyebab

terjadinya tumor dan kanker (Hongmin et al. 1996). Oleh karena itu, keberadaan senyawa

alami tersebut merupakan suatu kelebihan yang perlu ditonjolkan untuk meningkatkan

citra ubi jalar yang selama ini dianggap sebagai makanan inferior. Warna daging umbi

juga turut menentukan jenis dan kualitas produk yang akan dihasilkan.

Ubi jalar mempunyai komposisi kimia yang kaya karbohidrat, mineral, dan vitamin.

Vitamin A pada ubi jalar dalam bentuk provitamin A mencapai 7.000 SI/100 g atau dua

setengah kali lebih besar dari rata-rata kebutuhan manusia, terutama ubi jalar yang daging

umbinya berwarna orange atau jingga. Demikian juga untuk vitamin B1, B6, niasin, dan

vitamin C, cukup memadai jumlahnya pada ubi jalar. Ubi jalar mengandung gula antara

2,0–6,7% dan amilosa sebesar 9,8–26%. Kandungan gula yang tinggi memberi rasa

manis yang kuat, sedangkan amilopektin memberikan sifat mempur/lunak.

Menurut Almatsier (2006), Vitamin A esensial untuk kesehatan dan kelangsungan

hidup, karena dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi, salah satu

akibatnya adalah kematian pada anak, dimana perbedaan kematian antara anak yang

kekurangan dengan yang tidak kekurangan vitamin A kurang lebih sebesar 30%.
Selain mengandung zat gizi, ubi jalar juga mengandung senyawa anti gizi. Salah

satu diantaranya, adalah tripsin inhibitor yang dapat menghambat kerja enzim tripsin

sehingga menurunkan tingkat penyerapan protein. Aktivitas tripsin inhibitor pada ubi

jalar berkisar antara 7,6–42,6 TIU/100 g (Damardjati dan Widowati 1994 dalam Utomo et

al. 1999), namun aktivitasnya dapat dihilangkan dengan perlakuan panas, seperti

perebusan, pengukusan maupun penggorengan. Komponen lain adalah senyawa penyebab

flatulensi (kembung) yang umumnya merupakan senyawa golongan karbohidrat

(stachiosa, raffinosa, verbakosa) yang tidak dapat dicerna, lalu difermentasi oleh bakteri

perut menghasilkan gas H2 dan CO2. Namun, keberadaan senyawa tersebut dapat

dikurangi melalui pemasakan.

Pada ubi jalar terdapat senyawa yang tidak berbahaya bagi kesehatan tetapi dapat

mempengaruhi preferensi konsumen terhadap produk olahannya. Senyawa tersebut

berupa ipomeaemarone, furanoterpen, koumarin dan polifenol yang terbentuk di dalam

jaringan pada saat ubi jalar terluka akibat serangan serangga atau dikupas saat pengolahan

karena kontak dengan oksigen (Onwueme 1998). Selain menimbulkan rasa pahit,

senyawa polifenol khususnya juga dapat menyebabkan warna umbi menjadi gelap/coklat

yang dapat terikut pada produk akhirnya. Gambaran di atas menunjukkan, bahwa sifat

fisik dan kimia umbi merupakan informasi yang penting pada pengembangan teknologi

pengolahan ubi jalar sebagai dasar ataupun penentu kriteria kualitas produk yang

dihasilkan dan teknik atau proses yang akan dilakukan

5. Nilai Gizi

Ubi jalar mengandung zat gizi yang berpengaruh positif pada kesehatan (probiotik,

serat makanan dan antioksidan serta potensi penggunaannya yang cukup luas dan cocok
untuk program diversifikasi pangan (Jamriati, 2007). Komponen gizi dalam ubi jalar

selengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 20. Komponen Gizi Ubi Jalar berdasarkan warna umbi


Kandungan Ubi Jalar
No
Gizi Merah Putih Kuning Ungu
1 Kalori (kal) 123 123 136 -
2 Protein (g) 1,8 1,8 1,1 0,77
3 Lemak (g) 0,7 0,7 0,4 0,94
4 Karbohidrat (g) 27,9 27,9 32,3 -
5 Air (g) 68,5 68,5 68,5 70,46
6 Serat kasar 0,9 0,9 1,4 3
7 Kadar Gula (g) 0,4 1,2 0,3 -
8 Beta karoten 31,20 174,2 - -
Sumber : Departemen Kesehatan RI (1996)
Tabel 21. Komponen Gizi Ubi Jalar
No Komponen Jumlah
1 Kadar air (%) 72,84
2 Pati (%) 24,28
3 Protein (%) 1,65
4 Gula Reduksi (%) 0,85
5 Mineral (%) 0,95
6 Asam Askorbat (mg/100 g) 22,7
7 K (mg/100 g) 204
8 S (mg/100 g) 28
9 Ca (mg/100 g) 22
10 Mg (mg/100 g) 10
11 Na (mg/100 g) 13
12 Fe (mg/100 g) 0,59
13 Mn (mg/100 g) 0,355
14 Vitamin A (IU/100 g) 20063
15 Energi (kJ/100 g) 441
Sumber : Kotecha dan Kadam (1998)

Meskipun kandungan karbohidrat dan gula pada ubi jalar tinggi, lemak hampir

tidak ditemukan. Selain rendah lemak, ubi jalar juga bebas, kolesterol, sumber serat,

kalori dan vitamin C yang merupakan antioksidan yang membantu memperlambat

penuaan (Anonim, 2008)


Ubi jalar selain sebagai sumber karbohidrat yang baik, juga sebagai sumber serat

pangan dan sumber beta karoten yang baik. Karbohidrat yang dikandung ubi jalar

termasuk klasifikasi low glycemix index (LGI) yang berarti komoditi ini sangat cocok

untuk penderita diabetes (Anonim, 2008).

III. METODE PENELITIAN

A. Bahan, Alat, Tempat dan Waktu Penelitian

1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar adalah ubi jalar

merah, ubi jalar putih, ubi jalar kuning, ubi jalar ungu RBDPO, RBDPKO, stearin, ,

propilen glikol, lesitin, BHT, garam, dan dextrose. Bahan kimia yang digunakan dalam

penelitian ini adalah hexane, alcohol netral, phenolptalein, glukosa anhodrat, nelson,

arsenomolibdat, aquadest, kertas indikator pH, HCl 25%, NaOH 45%, kertas whatman

dan kertas saring.

2. Alat

Alat yang digunakan untuk pembuatan margarine prebiotik adalah timbangan

analit, kompor listrik, mixer, blender, gelas beaker, gelas piala, refrigerate bath, baskom

dan spatula. Sedangkan bahan yang digunakan untuk pengujian adalah eksikator, oven,

alat distilat soxhlet, tabung reaksi soxhlet, cawan, Erlenmeyer, botol timbang, buret dan

statif, gelas ukur, pipet tetes, thermometer, labu godog, dan hot plate

3. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium THP instiper Yogyakarta. Penelitian

ini dilaksanakan selama 2 bulan mulai tanggal November 2011-Januari 2012.


B. Metode Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Blok

Lengkap Teracak (RBL), atau Randomized Complete Block Design (RCBD) yang terdiri

dari dua faktor perlakuan (Gomez dan Gomez, 1984), yang disusun secara faktorial dengan

dua faktor, yaitu :

Faktor pertama adalah Variasi jenis ubi jalar yang terdiri atas 4 taraf, yaitu :

A1 = Ubi jalar Merah

A2 = Ubi jalar Putih

A3 = Ubi jalar kuning

A4 = Ubi jalar Ungu

Faktor kedua adalah jenis sari ubi jalar (perbandingan ubi jalar dengan air) yang terdiri

dari 2 taraf, yaitu :

B1 = 1:1 (ubi jalar 1kg : air 1L)

B2 = 1:2 (ubi jalar 1kg : air 2L)

Percobaan mengkombinasikan faktor A dan B sehingga diperoleh 4 x 2 = 8

kombinasi perlakuan masing-masing perlakuan diulang 2 kali yang dinyatakan sebagai blok

sehingga diperoleh 4 x 2 x 2 = 16 satuan eksperimental sebagaimana tercantum pada Tabel

19 sehingga akan diperoleh data yang seragam.

Untuk mengetahui beda antar perlakuan dilakukan uji keragaman (ANOVA). Jika

beda nyata dilakukan uji jarak berganda ducan (Gomez dan Gomez, 1984).

Tabel 22. Tata letak dan urutan eksperimentasi


Blok I Blok II
1 2 1 2

A3B1 A2B2 A4B2 A2B1


3 4 3 4

A3B2 A4B2 A3B1 A2B2


5 6 5 6

A4B1 A1B1 A3B2 A1B1


7 8 7 8

A1B2 A2B1 A4B1 A1B2

Keterangan : 1,2,3...8 : Urutan percobaan


A,B : Lambang taraf faktor
I,II : Ulangan

C. Pelaksanaan Penelitian

1. Pembuatan sari ubi jalar (Mengacu pada Nur Hidayat, 2006)

Mengacu pada tata letak dan urutan eksperimentasi (TLUE) urutan yang pertama kali

dilakukan adalah A3B1 dimana ubi jalar kuning (A3) sebanyak 1 kg dikupas kemudian

dicuci. Selanjutnya ubi jalar dipotong-potong dan dilakukan blansing dengan air hangat

dengan cara dikukus

hingga ubi jalar lunak. Setelah itu, biarkan dingin dan kemudian masukkan ke dalam

blender dengan ditambahkan air sebanyak 1 liter (B1=1:1). Setalah bahan tersbut halus

kemudian dilakukan penyaringan dengan menggunakan penyaring tahun untuk kemudian

dipanaskan pada suhu sekitar 700C selama 15 menit. Selama tahap ini berlangsung,

larutan ubi jalar hendaknya diaduk untuk menghindari adanya pati yang mengendap dan
menjadi lengket pada beaker glass. Setelah pemanasan selesai, angkat dan endapkan

larutan ubi jalar tersebut selama 8 jam guna memisahkan pati yang terikut didalam sari.

Setelah pengendapan ini maka akan terjadi pemisahan dimana sari ubi jalar bersada

diatas sedangkan pati akan mengendap. Sari ubi jalar yang diperoleh ini adalah bagian

yang mengandung prebiotik yang selanjutnya akan digunakan untuk pembuatan margarin.

Sebelum digunakan untuk pembuatan margarin, sari ubi jalar ini dilakukan analisa kadar

pati, kadar gula reduksi, kadar total padatan dan padatan terlarut.

Perlakuan kedua, ketiga dan seterusnya dilakukan dengan cara yang sama seperti

diatas sesuai dengan TLUE. Setelah blok I selesai maka dilanjutkan dengan blok II

dengan cara yang sama seperti diatas sesuai dengan TLUE yang tertera pada Tabel 22.

2. Pembuatan Margarin Prebiotik (Schwitzer, 1955 yang dimodifikasi)

Untuk pembuatan margarin prebiotik ubi jalar, dilakukan pencampuran antara

bahan yang larut dalam fase air dan bahan yang larut dalam fase padat. Berdasarkan

TLUE perlakuan yang pertama kali

dilakukan adalah A3B1 (A3= ubi jalar kuning dan B1= ekstrak ubi jalar 1:1) sebanyak

55,2225 g (7,796%), yang dicampur dengan dextrose sebanyak 0,29 g (0,082%), dan

7,5575 g (2,4023%) garam untuk kemudian dilakukan homogenisasi dengan suhu 33 0C

selama 15 menit. Tujuan dilakukannya pemanasan sekaligus homogenisasi ini adalah agar

dextrose dan garam dapat larut merata pada sari ubi jalar.
Sedangkan fase yang larut dalam minyak seperti RBDPO sebanyak 212,5 g (85%),

RBDPKO sebanyak 25 g (10%), stearin 12,5 g (5%), propilen glikol 1,1275 g (0,32%),

lesitin 0,125 g (0,035%) dan BHT 0,025 g (0,0071%), dihomogenisasi selama 15 menit

dengan suhu 760C. Tujuannya adalah agar komponen lemak tersebut dapat meleleh secara

sempurna.

Tahap selanjutnya adalah mencampur bahan yang larut dalam fase air dan minyak.

Suhu pada saat pencampuran harus selalu dijaga yakni berkisar 50-60 0C. Sebab, suhu

yang terlalu tinggi akan beresiko terjadinya oksidasi sedangkan suhu yang terlalu rendah

akan menyebabkan emulsi yang terbentuk menjadi terlalu viskos. Selanjutnya campuran

bahan tersebut didinginkan pada suhu 250C. Pada tahap pendinginan biasanya akan

ditambahkan es yang bertujuan untuk menurunkan suhu pada kisaran 250C agar terbentuk

emulsi yang stabil. Tahap selanjutnya adalah kristalisasi pada suhu 17-220C. Kristalisasi

bertujuan agar bahan-bahan tersebut tercampur secara merata dan membentuk emulsi

yang lebih stabil yang ditandai dengan bahan tersebut mulai memadat. Pada tahap ini, es

tetap digunakan agar terbentuk kristal yang lebih homogen. Setelah kristal mulai

terbentuk selanjutnya bahan tersebut dipindahkan kedalam wadah untuk kemudian di

tempering pada suhu 5-70C selama 72 jam. Pada tahap tempering, waktu memainkan

peranan yang penting. Pada tahap ini, bahan tersebut ditempatkan ditempat yang gelap

pada suhu rendah. Dimana selama proses ini berlangsung bantuk α akan berubah menjadi

bentuk β’ yang lebih stabil dengan titik leleh yang lebih tinggi dan terbentuk magarin

prebiotik.

Margarin prebiotik yang telah diperoleh ini selanjutnya dilakukan analisis yang

meliputi analisis fisik seperti titik leleh dan kestabilan emulsi, analisis sifat kimia
meliputi kadar air, kadar lemak, kadar ALB kadar gula reduksi dan total padatan dan

padatan terlarut serta uji kesukaan organoleptik yang meliputi aroma, warna, rasa, tekstur,

daya leleh dimulut, dan daya oles.


\\

3. Analisis Hasil Penelitian

a. Analisis yang dilakukan pada sari ubi jalar, meliputi

1. Kadar Pati (Slamet Sudarmadji, 2007)

2. Kadar Gula Reduksi (Slamet Sudarmadji, 2007)

3. Padatan Terlarut (Rangana, S. 1997)

b. Analisis yang dilakukan pada margarine prebiotik meliputi:

1. Penentuan Kadar Lemak dengan metode Soxhlet (Woodman, 1941)

2. Penentuan Titik Cair (ICBS-4, 1998)

3. Penentuan Kadar Asam Lemak Bebas (AOCS Ca 5a-40,1997)

4. Penentuan Kadar Air

5. Pengujian organoleptik margarin prebiotik ubi jalar menggunakan uji kesukaan

meliputi aroma, warna, rasa, tekstur, daya oles dan daya leleh dimulut. Penilaian

ditujukan dalam bentuk skor angka yaitu nilai 7 menunjukkan sangat suka, nilai 6

menunjukkan suka, nilai 5 menunjukkan agak suka, nilai 4 menunjukkan netral,

nilai 3 menunjukkan agak tidak suka, nilai 2 menunjukkan tidak suka dan nilai 1

menunjukkan sangat tidak suka (Kartika, Bambang,

1988).
Ubi Jalar 1 kg

A1 : Merah A2 : Putih A3 : Kuning A4 : Ungu

Pengupasan dan pemotongan

Pencucian

Blansing dengan air hangat hingga lunak

Pendinginan

Ekstraksi dengan menambah air

B1 = 1 : 1 B2 = 1 : 2

Bubur ubi jalar

Penyaringan

Filtrat/sari ubi jalar Ampas

Pemanasan 70-800C selama 15 menit

Pengendapan semalam Pati

Sari Ubi Jalar Jernih Analisa

 Gula Reduksi
 Pati
 Padatan terlarut
Gambar 12. Diagram Alir Proses Pembuatan Sari Ubi Jalar

Fase air Fase minyak + bahan


Sari ubi jalar 55,2225 g yg larut dalam minyak

RBDPO 212,5 g
A1:Mera A2:Puti A3:Kunin A4:Ung
RBDPKO 25 g
h h g u
Stearin 12,5 g
B1=1:1 B2=1:2 B1= 1:1 B2= 1:2 B1=1:1 B2=1:2 B1= 1:1 B2=1:2 Propilen glikol 1,1275 g
Dextrose 0,29 g Lesitin 0,125 g
Garam 7,5575 g BHT 0,025 g

Homogenisasi (suhu 330C) Homogenisasi (suhu 760C)

Homogenisasi (suhu 500 - 600C)

Didinginkan hingga 250C

Kristalisasi 170- 220C

Dituangkan kewadah

Tempering (didiamkan) pada suhu 50-70C selama 48 jam

Margarin prebiotik

Analisis sifat fisik Analisis sifat kimia Uji Organoleptik


Kadar air Aroma
Titik leleh
Kadar lemak
Kandungan ALB Warna

Rasa

Daya oles

Daya Leleh dimulut


Gambar 13. Diagram Alir Pembuatan Margarin Prebiotik Ubi Jalar

Anda mungkin juga menyukai