Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit ginjal kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat global


dengan prevalens dan insidens gagal ginjal yang meningkat. Prevalens penyakit
ginjal kronik meningkat seiring meningkat jumlah penduduk usia lanjut dan
kejadian penyakit diabetes melitus. Penyakit ginjal kronis awalnya tidak
menunjukan tanda dan gejala namun dapat berjalan progresif menjadi gagal ginjal.
Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan ginjal dan atau penurunan
Glomerular Filtration Rate (GRF) kurang dari 60 ml/min/1,73m2 minimal 3 bulan.1

Penyakit ginjal menurut Riskesdas dan Indonesia Renal Registry (IRR)


mengumpulkan data responden yang didiagnosis dokter menderita penyakit gagal
ginjal kronis pada tahun 2013, populasi umur ≥15 tahun yang terdiagnosis gagal
ginjal kronis sebesar 0,2%. Hasil dari Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi
yang meningkat seiring dengan bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam
pada kelompok umur 35-44 tahun yaitu 0,3% dan pada kelompok umur 45-54
meningkat 0,4% dan untuk pra lanjut usia dan lanjut usia mencapai 0,6% serta
prevalensi berdasarkan jenis kelamin laki-laki 0,3% lebih tinggi dari perempuan
0,2%.2

Berdasarkan data-data di atas perlu dilakukan penelitian pada pasien


mengenai hubungan proteinuria dengan diabetes melitus pada penyakit gagal ginjal
kronis.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas permasalahan dan penelitian ini adalah
apakah kadar proteinuria yang tinggi berhubungan dengan diabetes melitus dan
mengakibatkan gagal ginjal.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan proteinuria dengan diabetes melitus pada penyakit


gagal ginjal di RS PGI Cikini.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan Kampus

Dapat menambah referensi bagi perpustakaan dan menjadi data awal bagi
peneliti selanjutnya.

1.4.2 Bagi Masyarakat

1. Memberikan informasi kepada masyarakat agar mengetahui normalnya


proteinuria didalam urin.
2. Faktor-faktor apa saja yang bisa meningkatkan kadar proteinuria.
3. Mencegah terjadinya penyakit diabetes melitus dan kegagalan ginjal.

1.4.3 Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan dalam melaksanakan penelitian khususnya


tentang hubungan proteinuria dengan diabetes melitus pada penyakit gagal ginjal.

1.5 Hipotesis
1. Ada hubungan kadar proteinuria di atas 600 mg/hari dengan penyakit
gagal ginjal.
2. Ada hubungan glukosa plasma vena puasa >126 mg/dl dengan penyakit
diabetes melitus.
3. Ada hubungan laju filtrasi glomerulus (LFG) <15ml/mnt/1,73m2 dengan
penyakit gagal ginjal.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Proteinuria

A. Definisi proteinuria :
Proteinuria adalah adanya protein didalam urin manusia yang melebihi
nilai normalnya yaitu lebih dari 150mg/24 atau pada anak-anak lebih dari
140mg/m2. Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya
diatas 200mg/hari pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang
berbeda.
B. Klasifikasi proteinuria :
Proteinuria rendah : < 500mg/24jam.
Proteinuria sedang 500-4000mg/24jam.
Proteinuria tinggi : >4000mg/24jam.
C. Etiologi dan faktor risiko :
Kadar glukosa darah yang tinggi selama beberapa tahun dan tekanan darah
tinggi.
D. Patofisiologi proteinuria :
Proteinuria dapat meningkatkan melalui salah satu cara dari ke-4 jalan
yaitu:
1. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan
filtrasi dari protein plasma normal terutama abumin.
2. Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal
difiltrasi.
3. Filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal,Low Molecular Weight
Protein (LMWP) dalam jumlah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus.
4. Sekresi yang meningkat dari mekuloprotein uroepitel dan sekresi IgA
dalam respon untuk inflamasi.
Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung mekanisme
pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein
secara normal melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin.
Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah transportasi
albumin, globulin dan protein dengan berat molekul besar lainnya untuk
menembus dinding glomerulus. Jika sawar ini rusak, terdapat kebocoran
protein plasma kedalam urin (proteinuria glomerulus). Protein yang lebih
kecil (<20 kDal) secara bebas disaring tetapi di absorbsi kembali oleh
tubulus proksimal. Normal ekskresi kurang dari 150 mg/hari dari protein
total dan albumin hanya sekitar 30 mg/hari sisa protein pada urin akan
diekskresi oleh tubulus atau sejumlah kecil β-2 mikroglobulin, apoprotein,
enzim dan hormon peptida.
Dalam keadaan normal glomerulus endotel membentuk barier yang
menghalangi sel maupun partikel lain menembus dindingnya. Membran
basalis glomerulus akan menangkap protein besar (>100 kDal) sementara
foot processes dari epitel/podosit akan memungkinkan lewatnya air dan
zat terlarut kecil untuk transpor melalui saluran yang sempit. Saluran ini
ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya akan glutamat, aspartat, dan
asamsilat yang bermuatan negatif pada pH fisiologis. Muatan negatif akan
menghalangi transpor molekul anion seperti albumin.3

II.2. Diabetes melitus

A. Definisi diabetes melitus :


Diabetes melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang
dikarakteristikkan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin,
kerja insulin maupun keduanya.13
B. Kriteria diabetes melitus :
Diagnosis klinik untuk diabetes melitus biasanya ditandai dengan
meningkatnya rasa haus, nafsu makan bertambah dan sering buang air
kecil sertai kehilangan berat badan.21,22,23 Untuk diagnosis lebih lanjut
maka dilakukan pemeriksaan glukosa darah, yaitu: Glukosa Plasma Vena
Sewaktu, Glukosa Plasma Vena Puasa, Glukosa 2 jam Post Prandial dan
Tes Toleransi Glukosa Oral.
I. Glukosa plasma vena sewaktu
Apabila kadar glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl (plasma vena)
maka penderita tersebut sudah dapat disebut diabetes melitus.23
II. Glukosa plasma vena puasa
Glukosa plasma dalam keadaan puasa dibagi atas tiga nilai, yaitu:23
 Normal : < 110 mg/dl.
 Glukosa darah puasa terganggu (GDPT) : ≥110 mg/dl - <
126 mg/dl .
 Diabetes melitus : >126 mg/dl.
III. Glukosa 2 jam Post Prandial (GD2PP):26,28
 Normal : ≤ 140 mg/dl.
 Diabetes melitus : ≥ 200 mg/dl.
IV. Glukosa jam ke-2 pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
 Toleransi glukosa normal ≤140 mg/dl
 Toleransi glukosa terganggu (TGT) > 140 mg/dl tetapi <
200 mg/dl
 Toleransi glukosa ≥200 mg/dl disebut diabetes melitus.21,23
C. Epidemiologi diabetes melitus :
Prevalensi diabetes melitus meningkat pada penduduk usia 15 tahun ke
atas sebesar 1,5-2,3% dengan prevalensi di daerah rural/perdesaan lebih
rendah dibandingkan perkotaan.14
Sumber : Riskesdas 2007,2013, Kementrian Kesehatan.
Gambar 1 (Proporsi diabetes melitus pada penduduk usia ≥15 tahun
Hasil wawancara di Indonesia tahun 2017 dan 2013)

Sumber : Riskesdas 2007,2013, Kementrian Kesehatan.


Gambar 2 (Proporsi DM, TGT, GDP terganggu pada penduduk usia ≥15
tahun di Indonesia tahun 2007 dan 2013)

D. Etiologi dan faktor risiko diabetes melitus :


Diabetes melitus berkaitan dengan faktor risiko yang tidak dapat diubah
meliputi riwayat keluarga dengan diabetes melitus (first degree relative),
umur ≥45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir
bayi >4000 gram atau riwayat pernah menderita diabetes melitus
gestasional dan riwayat lahir dengan berat badan rendah (<2,5 kg ).4,15
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes melitus adalah penderita
polycystic ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom metabolik memiliki
riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler
seperti stroke, PJK, atau peripheral rrterial diseases (PAD), konsumsi
alkohol, faktor stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin, konsumsi kopi
dan kafein.16,17,18
E. Patofisiologi dan manifestasi klinis diabetes melitus :
Pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar
glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan
karbohidrat. Jika hiperglikemia berat dan melebihi ambang ginjal untuk
zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria akan mengakibatkan diuresis
osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa
haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien
mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa
lapar semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat
kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.
Pasien diabetes melitus tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang
eksplosif dengan polidipsia, poliuria, berat badan menurun, polifagia,
lemah, samnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu.
Sebaliknya pasien diabetes melitus tipe 2 mungkin sama sekali tidak
memperlihatkan gejala apapun. Pada hiperglikemia yang berat, pasien
tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan samnolen.
F. Tatalaksana diabetes melitus :
I. Pencegahan diabetes melitus :16
 Diet :
Pada penyandang diabetes melitus perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan,
jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi
yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%, lemak 20-
25% dan protein 10-15%.
 Exercise (latihan fisik / olahraga)
Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu)
selama kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai dengan
Continous, Rhythmical, Interval, Progresive, Endurance
(CRIPE). contoh adalah olah raga ringan jalan kaki biasa
selama 30 menit. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang
gerak atau bermalasmalasan.
 Pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan.
Pendidikan kesehatan pencegahan primer harus diberikan
kepada kelompok masyarakat risiko tinggi. Pendidikan
kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien
diabetes melitus. Sedangkan pendidikan kesehatan untuk
pencegahan tersier diberikan kepada pasien yang sudah
mengidap diabetes melitus dengan penyulit menahun.
II. Pengobatan diabetes melitus :
 Antidiabetik oral penatalaksanaan pasien diabetes melitus
dilakukan dengan menormalkan kadar gula darah dan
mencegah komplikasi. Bagi pasien diabetes melitus tipe 1
penggunaan insulin adalah terapi utama. Indikasi
antidiabetik oral terutama ditujukan untuk penanganan
pasien diabetes melitus tipe 2 ringan sampai sedang. Obat
golongan ini ditambahkan bila setelah 4-8 minggu upaya
diet dan olah raga dilakukan, kadar gula darah tetap di atas
200 mg% dan HbA1c di atas 8%.27
 Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808
pada manusia. Untuk pasien yang tidak terkontrol dengan
diet atau pemberian hipoglikemik oral, kombinasi insulin
dan obat-obat lain bisa sangat efektif.
G. Komplikasi diabetes melitus :
Diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan
komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi diabetes
melitus dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :18,19
Komplikasi akut
 Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di
bawah nilai normal (< 50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering
terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 1 yang dapat
dialami 1-2 kali per minggu, kadar gula darah yang terlalu
rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan
energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami
kerusakan.
 Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat
secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan
metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis
diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan
kemolakto asidosis.
Komplikasi kronis
 Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler
yang umum berkembang pada penderita diabetes melitus
adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian
otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal
jantung kongetif, dan stroke.
 Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler
terutama terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 1
seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati,
dan amputasi.
II.3. Gagal ginjal kronik

A. Definisi gagal ginjal kronik :


Penyakit ginjal kronik adalah adanya kerusakan struktural atau fungsional
ginjal dan/atau penurunan laju filtrasi glomerulus kurang dari 60mL/
menit/1,73m2 yang berlangsung lebih dari tiga bulan.(7)
Patofisiologi Sylvia A Price gagal ginjal kronik adalah perkembangan
gagal ginjal yang progresif dan lambat. Gagal ginjal kronik berhubungan
dengan hipertensi karena peningkatan tekanan dan regangan yang
berlangsung kronis pada arteriol kecil dan glomeruli akan menyebabkan
pembuluh ini mengalami sklerosis. Lesi ini bermula dari adanya
kebocoran plasma melalui membran intima pembuluh-pembuluh ini,
penebalan progresif pada dinding pembuluh yang nantinya akan membuat
pembuluh darah menjadi vasokonstriksi dan akan menyumbat pembuluh
darah tersebut (Guyton and Hall, 2007). Penyumbatan arteri dan arteriol
akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga
seluruh nefron rusak, yang menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronik.(8)
B. Kriteria penyakit ginjal kronik(9):
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural dan fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
a. Kelainan patologis
b. Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urin, atau kelinan dalam tes pencitraan.
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1.73 m2 dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG
sama atau lebih dari 60 ml/menit/1.73 m2, tidak termasuk kriteria gagal
ginjal kronik.
Tahapan gagal ginjal kronik adalah(9) :
1. Derajat 1 :Kerusakan ginjal dengan LFG (laju filtrasi glomerulus)
normal atau meningkat (≥90 ml/mnt/1,73m2 )
2. Derajat 2 : Kerusakan ginjal dengan LFG (laju filtrasi glomerulus)
ringan (60-89 ml/mnt/1,73m2 ).
3. Derajat 3 : Kerusakan ginjal dengan LFG (laju filtrasi glomerulus)
sedang (30-59 ml/mnt/1,73m2 ).
4. Derajat 4 : Kerusakan ginjal dengan LFG (laju filtrasi glomerulus) berat
(15-29 ml/mnt/1,73m2 ).
Derajat 5 : Gagal ginjal ( <15ml/mnt/1,73m2 atau dialisis )
C. Fungsi utama ginjal sebagai organ pengatur dalam tubuh(5) :
Fungsi ekskresi :
1. Mengeluarkan zat toksis / racun.
2. Mengatur keseimbangan air, garam/elektrolit, asam/basa.
3. Mempertahankan kadar cairan tubuh dan elektrolit (ion-ion).
4. Mengeksresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein
(terutama urea,asam urat dan kreatinin).
5. Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.

Fungsi non ekskresi :

Mensintesis dan mengaktifkan hormon

1. Renin, penting dalam pengaturan tekanan darah.


2. Eritropoetin, merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum
tulang.
3. 1,25-dihidrosivitamin D3 : hidrosilasi akhir vitamin D3, menjadi
bentuk yang paling kuat.
4. Prostaglandin : sebagian besar adalah vasidilator, bekerja secara
lokal dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal.
5. Degradasi hormon polipeptida.
6. Insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan,
ADH dan hormon gastrointestinal (gastrin, polipeptida intestinal
vasoaktif).

D. Fisiologi ginjal :
Ginjal menjalankan fungsi vital sebagai pengatur volume dan komposisi
kimia darah dengan mengekskresikan zat terlarut dan air secara selektif.
Bila kedua ginjal gagal menjalankan fungsinya, akan menyebabkan
kematian dalam waktu 3-4 minggu.
Fungsi ginjal dicapai dengan filtrasi plasma melalui glomerulus dan diikuti
dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai
disepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air diekskresikan
keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin.

Pembentukan urin dimulai dengan proses filtrasi glomerulus plasma.


Sekitar 125ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman.
Proses filtrasi pada glomerulus dinamakan ultrafiltrasi glomerulus, karena
filtrat primer mempunyai komposisi sama seperti plasma kecuali tanpa
protein. Sel-sel darah dan molekul-molekul protein yang bermuatan
negatif seperti albumin secara efektif tertahan oleh seleksi ukuran dan
seleksi muatan yang merupakan ciri khas dari sawar membran filtrasi
glomerulus, sendangkan molekul yang positif seperti air dan kristaloid
sudah langsung tersaring. 173 L cairan berhasil disaring melalui
glomerulus dalam waktu sehari, tetapi saat filtrat mengalir melalui tubulus
akan diambil berbagai zat dari filtrat sehingga hanya sekitar 1,5 L/hari
yang diekskresi sebagai zat urin.6
E. Manifestasi Klinis gagal ginjal kronis :
Pada stadium awal penderita penyakit ginjal kronis belum memiliki tanda-
tanda yang dirasakan. Inilah perlu dilakukan tes laboratorium secara
cepat.(10,11)Pada stadium lanjut penderita penyakit ginjal kronis memiliki
gejala yaitu lemah, terjadi penurunan kesadaran dan pemusatan perhatian
serta kesiagaan, gangguan makan (anoreksia), mual, muntah, nokturia
(buang air kecil pada malam hari), uremic frost (terdapat Kristal putih
pada glabela), kejang-kejang sampai koma, perubahan sistem imun yang
menyebabkan daya tahan tubuh menurun dan keadaan ini mempermudah
terjadinya infeksi.(9,11,12)
F. Tatalaksana gagal ginjal kronis :
Terdapat 2 jenis terapi pengganti ginjal yaitu : dialisis dan transplantasi
ginjal.
1. Dialisis
Dialisis yang terdiri dari hemodialisis dan dialis peritoneal
 Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser)
Cara yang umum yang dilakukan menggunakan mesin cuci
darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Darah
dipompa keluar dari tubuh, masuk ke dalam mesin dialiser
untuk dibersihkan melalui proses difusi dan ultrafiltrasi
dengan dialisat (cairan khusus untuk dialisis), kemudian
dialirkan kembali ke dalam tubuh. Agar prosedur hemodialisis
dapat berlangsung, perlu dibuatkan akses untuk keluar
masuknya darah dari tubuh. Akses tersebut dapat bersifat
sementara (temporer) Akses temporer berupa kateter yang
dipasang pada pembuluh darah balik (vena) di daerah leher.
Sedangkan akses permanen biasanya dibuat dengan akses
fistula, yaitu menghubungkan salah satu pembuluh darah balik
dengan pembuluh darah nadi (arteri) pada lengan bawah, yang
dikenal dengan nama cimino. Untuk memastikan aliran darah
9 pada cimino tetap lancar, secara berkala perlu adanya getaran
yang ditimbulkan oleh aliran darah pada cimino tersebut.
 Dialisis peritonial (cuci darah melalui perut)
Metode cuci darah dengan bantuan membran selaput rongga
perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi
dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi
pada mesin dialisis. Dapat dilakukan pada di rumah pada
malam hari sewaktu tidur dengan bantuan mesin khusus yang
sudah diprogram terlebih dahulu. Sedangkan continuous
ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) tidak membutuhkan
mesin khusus tersebut, sehingga dapat dikatakan sebagai cara
dialisis mandiri yang dapat dilakukan sendiri di rumah atau di
kantor.
2. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal
ginjal terminal. Ginjal yang dicangkokkan berasal dari dua sumber,
yaitu donor hidup atau donor yang baru saja meninggal (donor
kadaver). Akan lebih baik bila donor tersebut dari anggota keluarga
yang hubungannya dekat, karena lebih besar kemungkinan cocok,
sehingga diterima oleh tubuh pasien. Selain kemungkinan penolakan,
pasien penerima donor ginjal harus minum obat seumur hidup. Juga
pasien operasi ginjal lebih rentan terhadap penyakit dan infeksi,
kemungkinan mengalami efek samping obat dan resiko lain yang
berhubungan dengan operasi.
G. Komplikasi gagal ginjal kronik :25
Tahap GFR (mL/min Deskripsi Komplikasi
per 1.73 m2)
1 ≥90 Kerusakan ginjal atau ↑ GRF Pasien berisiko mengalami gagal
ginjal.
2 60-89 Kerusakan ginjal ringan ↓ Hipertensi .
GRF
3 30-59 Moderat ↓ GRF ↑ ringan serum kreatin, ↓
ringan serum kalsium, onset
anemia.
Anoreksia, anemia sedang,
4 15-29 Parah ↓ GRF hyperkalemia
hyperphosphatemia, dislipidemia,
neuropati,
hipertrofi ventrikel kiri.

Gejala uremik, anemia berat,


5 <15 Gagal ginjal malnutrisi, hiperparatiroidisme
sekunder, asidosis metabolik.
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Metode penelitian pada penelitian ini adalah korelasional dengan


menggunakan dengan pendekatan cross sectional untuk melihat hubungan
proteinuria dengan diabetes melitus dengan kejadian penyakit gagal ginjal.

3.2 lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RS PGI Cikini.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2017.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah rekam medik pasien diabetes melitus
dengan kadar proteinuria yang meningkat pada penyakit gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis di RS PGI Cikini.

3.3.2 Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah rekam medik pasien diabetes melitus
dengan kadar proteinuria yang meningkat pada penyakit gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis di RS PGI Cikini.
3.3.3 Kriteria Inklusi

1. Rekam medik pasien gagal ginjal kronik yang melakukan


hemodialisis secara regular 2 kali dalam seminggu.
2. Rekamedik pasien proteinuria dengan diabetes melitus pada
penyakit gagal ginjal kronik.

3.3.4 Kriteria Eksklusi

1. Data rekam medik yang kurang lengkap.


2. Pasien gagal ginjal dengan tidak adanya penyakit diabetes melitus.
1.4 Cara Pengumpulan Data
1.4.1 Data Sekunder
Penelitian dimulai dengan pencatatan informasi yang diperoleh
dari rekam medik pasien proteinuria dengan diabetes melitus
pada penyakit gagal ginjal di RS PGI Cikini tahun 2017.
Informasi yang dicatat adalah :
1. Nama
2. Nomor Rekam Medik
3. Tanggal masuk Rumah Sakit
4. Umur
5. Jenis kelamin
6. Pekerjaan
7. Pendidikan terakhir
8. Keluhan utama
9. Kadar protein urin
10. Kadar glukosa plasma vena puasa
11. Laju filtrasi glomerulus
3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen pada penelitian ini adalah hasil rekam medik pada pasien gagal
ginjal dengan diabetes melitus dan adanya peningkatan proteinuria.

3.6 Rencana Pengelolahan dan Analisis Data

3.6.1 Penglolahan Data

1. Editing
Peneliti melakukan pengecekan hasil rekam medik sudah lengkap,
jelas, dan relevan.
2. Coding
Pemberian kode tertentu untuk hasil rekam medik yang bersifat
kategori.
3. Tabulating
Menyusun data-data tersebut ke dalam tabel untuk dianalisis.
4. Cleaning
Pengecekan kembali data yang sudah dimasukan sudah benar atau
belum.

3.6.2 Analisis Data

A. Analisis Univariat
Untuk menampilkan distribusi frekuensi dan presentase dari tiap-
tiap variabel dalam bentuk tabel atau gambar.
B. Analisis Bivariat
Untuk melihat hubungan antar variabel independen dan dependen.
3.7 Kerangka Teori

Gagal Ginjal Kronik Patofisiologi gangguan gagal ginjal kronik


penurunan fungsi renal yang menyebabkan
hasil sisa metabolisme tidak dapat terbuang
dengan baik

Proteinuria Diabetes Melitus

Tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan


metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai
akibat dari insufiensi fungsi insulin
3.8 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel


Dependen

Pola makan :
1. Jenis Proteinuria
2. Jumlah
3. Frekuensi

Diabetes Melitus

Gagal Ginjal Kronik


3.9 Definisi Operasional

No Variabel Definisi operasional Cara Kategori skala


1 Proteinuria protein di dalam urin Rekam a. Proteinuria rendah :
manusia yang medik < 500mg/24jam
melebihi nilai b. Proteinuria sedang : Ordinal
normalnya. 500-4000mg/24jam
c. Proteinuria tinggi :
>4000mg/24jam

2 Diabetes Diabetes Melitus Rekam a. Normal : < 110


melitus adalah penyakit medik mg/dl.
kelainan metabolik b. Glukosa darah puasa
yang terganggu (GDPT) :
dikarakteristikkan ≥110 mg/dl - < 126 Ordinal
dengan hiperglikemia mg/dl .
kronis serta kelainan c. Diabetes melitus :
metabolisme >126 mg/dl.
karbohidrat, lemak
dan protein
diakibatkan oleh
kelainan sekresi
insulin, kerja insulin
maupun keduanya.
3 Gagal Penyakit ginjal kronik Rekam a. Laju Filtrasi
ginjal adalah adanya medik Glomerulus <
kronik kerusakan struktural 60mL/menit/1,73m2.
atau fungsional ginjal b. Berlangsung >3
dan/atau penurunan bulan. Nominal
laju filtrasi
glomerulus kurang
dari 60mL/
menit/1,73m2 yang
berlangsung lebih dari
tiga bulan.
BAB 4

LAMPIRAN

4.1 Rencana Jadwal Penelitian

Bulan
No. Kegiatan Agustus September Oktober November Desember
2017 2017 2017 2017 2017
1 Pertemuan awal,
penetapan judul,
pembahasan disain
penelitian dan cara
pengumpulan data
2 Pembahasan bab I, II,
dan III
3 Pengumpulan dan
pengolahan data
4 Pembuatan bab IV,
V, VI, dan VII
5 Penyusunan laporan
akhir
6 Sidang
7 Pengumpulan skripsi
Bulan
No. Kegiatan Januari 2018 Februari 2018

1 Pertemuan awal, penetapan judul,


pembahasan disain penelitian dan cara
pengumpulan data
2 Pembahasan bab I, II, dan III
3 Pengumpulan dan pengolahan data
4 Pembuatan bab IV, V, VI, dan VII
5 Penyusunan laporan akhir
6 Sidang
7 Pengumpulan skripsi
4.2 Daftar Pustaka

1. National Kidney Foundation. K/DOQI clinical practice guidelines for


chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification. Am J
Kidney Dis. 2002;39(suppl 1):S1-S266.
2. Pusat data dan kementrian kesehatan RI.Situasi penyakit ginjal menurut
karakteristik di Indonesia tahun 2013.Situasi penyakit ginjal
kronis.2013(3-4)
3. Bawazier L.A. (2009). Ginjal Hipertensi: Proteinuria. Dalam: Sudoyo,
A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, K,M., Setiati, S. (ed. V) Ilmu
Peyakit Dalam. Jakarta: Interna Publising 956 – 961
4. Bennett,P.Epidemiology of Type 2 Diabetes Millitus.InLeRoithet.al,
Diabetes Millitus a Fundamental and Clinical
Text.Philadelphia:LippincottWilliam&Wilkin s.2008;43(1): 544-7.
5. Lorraine M. Wilson.Anatomi dan fisiologi ginjal dan saluran
kemih.Patofisiologi.Egc.Ed.6.2005(867-86)
6. John E. Hall, Ph.D.pembentukan urine oleh ginjal.Guyton dan Hall
fisiologi kedokteran.Elsevier Inc.ed.12.2011(326-330)
7. Tjekyan RMS. Prevalensi dan Faktor Risiko penyakit ginjal kronik di
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012. M KS [Internet].
2014;(4):275-82. Available from :
http://eprints.unsri.ac.id/5558/1/Prevalensi
_dan_Faktor_Risiko_Penyakit_Ginjal_Kronik_di.pdf.
8. Adhiatma AT, Wahab Z, Fajar I, Widyantara E. Analisis Faktor-faktor
yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis di
RSUD Tugurejo Semarang analysis of factors related to chronic kidney
disease in hemodialysis patients of RSUD Tugerejo Semarang. 2014;1-10.
9. Suwitra, Ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Interna Publishing. Edisi VI. Jilid
2
10. Kidney C, Guideline D, Up F, Clinical A, Oversight G. Management of
Chronic Kidney Disease Objectives : Key Points. 2014;(March).
11. Lorraine M. Wilson.Gagal Ginjal Kronik.Patofisiologi. EGC.2003.Ed
6.Volume 2.Halaman 912
12. Pusparini. Perubahan respons imun pada penderita gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis. J Kedokteran Trisakti. 2000;19(3):115-24.
13. World Health Organisation. Diabetes mellitus : Report of a WHO Study
Group. World Health Organisation. Geneva-Switzerland. 2006. S5-36.
14. Riskesdas 2013,pusat data dan informasi kementrian kesehatan, Halaman
1-3.
15. Wild S , Roglic G, GreenA, Sicree R, king H.Global prevalence of
diabetes: estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetic
care. 2004;27(3);1047-53.
16. Buraerah, Hakim. Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2 di
Puskesmas Tanrutedong, Sidenreg Rappan,. Jurnal Ilmiah Nasional;2010
[cited 2010 feb 17]. Available from
:http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID= 61&src=a&id=186192.
17. Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat adn Risk of Clinic Type Diabetes.
A,erican Journal of Epidemiology.2003;15(1);150-9. 5.
18. Hastuti, Rini Tri. Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita
Diabetes Melitus Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
[dissertation]. Universitas Diponegoro (Semarang). 2008.
19. Waspadji S. Kaki diabetes. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
III.Ed 5.Jakarta: Interna publishing, 2009.Halaman 1961.
20. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengendalian dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta.
2015.
21. World Health Organisation. Diabetes mellitus : Report of a WHO Study
Group. World Health Organisation. Geneva-Switzerland. 2006. S5-36.
22. Widjayanti, A., Ratulangi, B.T. Pemeriksaan Laboratorium Penderita
Diabetes. Available from:
http://www.tempo.co.id/medika/online/tmp.online.old/pus-1.htm. Access :
6 Juli 2008.
23. John. MF Adam. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang
Baru. Cermin Dunia Kedokteran. 2006; 127:37-40.
24. David E. Schteingart.Pankreas:Metabolisme Glukosa dan Diabetes
melitus.Patofisiologi.EGC.2003.Ed 6.Volume 2.halaman 1263.
25. National Kidney Foundation. K/DOQI clinical practice guidelines for
chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification. Am J
Kidney Dis 2002; 39(2 Suppl 1): S1–S266.
26. Hardjono. Tes Diabetes Melitus. Dalam Hardjono dkk. Interpretasi Hasil
Diagnostik Tes Laboratorium Diagnostik. Cetakan 3. Lembaga Pendidikan
Universitas Hasanudin. Makasar. 2006.Halaman 201-206.
27. Departemen Kesehatan. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes
Melitus.2005.
28. Rachmawati, A.M., Bahrun, U., Rusli, B., Hardjoeno. Tes Diabetes
Melitus. Dalam Hardjono dkk. Interpretasi Hasil Diagnostik Tes
Laboratorium Diagnostik. Cetakan 3. Lembaga Pendidikan Universitas
Hasanudin. Makasar. 2007.Halaman 167
HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal skripsi ini diajukan oleh :

Nama Mahasiswa : Grietje Harlens Noya

NIM : 1461050143

Program Studi : Pendidikan Dokter

Judul Skripsi : Hubungan Proteinuria Dengan Diabetes Melitus


Pada Penyakit Gagal Ginjal Di RS PGI Cikini Pada
Tahun 2017

Telah disetujui oleh pembimbing untuk dilanjutkan pada tahap uji etik
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk melanjutkan penelitian
dan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada Program Studi
Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia.

Jakarta, Desember 2017

Peneliti Pembimbing

Grietje Harlens Noya Prof. Dra. Rondang R.Soegianto, M.SC.,Ph.D


Formulir Pengambilan Rekam Medik

Nama pasien
Nomor rekam medik
Umur pasien
Jenis kelamin
Pekerjaan
Pendidikan terakhir
Tanggal masuk RS
Rawat jalan/rawat inap
Keluhan utama
Diagnosis
Etiologi
Kadar glukosa plasma vena puasa
Laju filtrasi glomerular
Kadar protein urin

Anda mungkin juga menyukai