Anda di halaman 1dari 10

KELOMPOK 8

Kasus Gangguan Ginjal Kronik

Seorang pasien laki-laki berusia 40 tahun, memiliki sejarah menderita diabetes tipe 1 selama 10
tahun. Saat ini BMI pasien adalah 28 kg/m2. Pasien diketahui memiliki hipertensi, dan tekanan
darah pasien diketahui pada pengukuran TD 170/100 mmHg. Albumin kretinin rasio mengalami
penurunan dari tahun sebelumnya, dan saat ini menjadi 62 mg. Nilai serum kreatinin pasien
meningkat dan saat ini 1.8 mg/dL. Nilai HbA1C= 8%; Hb = 9.5, HDL =50, LDL=115,
triglycerides=250. Hasil lab terkait metabolisme mineral adalah sbb: serum Ca = 7.8 mg/dL,
serum fosfat = 4.0 mg/dL, serum PTH hormon 241 pg/mL dan serum 25-hydroxyvitamin D 32
ng/mL. Terapi yang sedang dijalani pasien adalah metformin 1000 mg 2 kali sehari, lisinopril 10
mg, HCT 25 mg. Pasien diketahui bukan merupakan perokok, dan mulai rutin menjalani diet
rendah karbohidrat.

Pasien didiagnosis Chronic Kidney Disease (CKD)

Pertanyaan:

1. Berdasarkan kasus di atas, apa saja factor risiko menderita gangguan ginjal kronik yang
dimiliki oleh pasien tersebut? Jelaskan!
Jawab :
1) Riwayat penyakit hipertensi. Hipertensi dapat meningkatkan tekanan interglomeruler
yang menimbulkan gangguan fungsional dan structural glomerulus. . Diabetes melitus
2) Salah satu akibat dari komplikasi diabetes melitus adalah penyakit mikrovaskuler, di
antaranya nefropati diabetika yang merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal.
Berbagai teori tentang patogenesis nefropati seperti peningkatan produk glikosilasi
dengan proses non-enzimatik yang disebut AGEs (Advanced Glucosylation End
Products), peningkatan reaksi jalur poliol (polyol pathway), glukotoksisitas, dan
protein kinase C memberikan kontribusi pada kerusakan ginjal.
3) Jenis kelamin mempengaruhi penjakit ginjal kronik karena umumnya laki-laki jarang
memperhatikan kesehatan dan menjaga pola hidup, serta kurang patuh dalam
penggunaan obat.
4) Meningkatnya kadar urea dan kreatinin dapat menurunkan fungsi nefron yang
berperan dalam menyaring darah

2. Perlu dilakukan penilaian fungsi ginjal pada pasien CKD, hitunglah fungsi ginjal pada
kasus di atas dengan menggunakan rumus Cockroft and Gault dan MDRD dan pasien
Ny.W termasuk dalam stage berapa berdasarkan gambar di bawah ini!

Rumus Cockroft and Gault


GFR terhitung pada laki-laki = { (140- umur) x BB } / (72 x kreatinin darah )
GFR = { (140-40 ) x BB } / (72 x 1,8 mg/dL) =

Rumus MDRD
eGFR (ml/menit/1,73 m2) = 175 x (1,8 mg/dL)- 1,54 x (40)-0,203
= 175 x 0,404 x 0,472 = 33,370 (Penyakit Ginjal Kronik Stadium Menengah)

3. Marker untuk mengetahui adanya gangguan funsi ginjal adalah proteinuria dan ACR.
Jelaskan yg dimaksud dengan proteinuria dan ACR! Berikan pendapat anda terhadap
nilai ACR pada kasus di atas!
Jawab :
Proteinuria juga disebut albuminuria atau urin albumin adalah suatu kondisi di mana urin
mengandung jumlah protein yang tidak normal. Protein umumnya akan diserap kembali
oleh ginjal. Sehingga adanya kandungan protein dalam urin merupakan hal yang tidak
normal. Keadaan ini menunjukkan adanya kerusakan pada ginjal tarutama bagian
glomerulus. ACR (albumin creatinine ratio) adalah indicator yang digunakan untuk
mendiagnosis kadar protein dalam urin seseorang. Semakin tinggi kadar protein dalam
urin, semakin besar juga nilai ACRnya. Nilai ACR normal yaitu < 3mg/mmol. Nilai ACR
pasien yaitu 62 mg. Nilai ini lebih besar dari nilai ACR normal, sehingga pasien dapat
didiagnosis mengalami proteinuria dan gangguan fungsi ginjal.

Tujuan terapi pada gagal ginjal kronis adalah memperlambat progresi dari CKD dan
meminimalkan perkembangan/keparahan dari komplikasi. Perlu dilakukan terapi terhadap
gangguan yang menyebabkan penyakit ginjal atau kondisi lain yang dapat mempercepat
seperti diabetes mellitus, hipertensi dyslipidemia dan intake protein yang tinggi. Komplikasi
yang dapat terjadi pada penderita gangguan ginjal adalah abnormalitas cairan dan elektrolit,
anemia, mineral and bone disorder, komplikasi kardiovaskular dan status nutrisi yang buruk.

4. Jelaskan kaitan antara DM dan gangguan ginjal kronik! apa tujuan dan target terapi dan
bagaimana penanganan DM pada pasien tersebut?
Jawab :

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah
yang melebihi normal. Pada dasarnya, DM disebabkan oleh hormon insulin penderita yang tidak
mencukupi atau tidak efektif sehingga tidak dapat bekerja secara normal. Padahal insulin mempunyai
peran utama mengatur kadar gula dalam darah. Jadi pada DM terjadi kelainan metabolik yang
bersifat kronik, yang ditandai oleh gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, yang
diikuti oleh komplikasi baik mikro maupun makrovaskuler dengan gejala klinik utama adalah
intoleransi glukosa. Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskuler yang sering ditemukan
baik pada diabetes melitus tipe 1 maupun diabetes melitus tipe 2.
Kaitan penyakit diabetes mellitus dengan gannguan gagal ginjal kronik adalah dengan diabetes,
pembuluh darah kecil dalam tubuh terluka. Ketika pembuluh darah di ginjal terluka, ginjal tidak
dapat membersihkan darah dengan benar. Tubuh akan mempertahankan lebih banyak air dan garam
dari yang seharusnya, dan dapat mengakibatkan kenaikan berat badan serta bengkak pada
pergelangan kaki. Akan terdapat protein dalam urin, dan limbah akan menumpuk dalam darah.
Diabetes juga dapat menyebabkan kerusakan saraf dalam tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
kesulitan dalam mengosongkan kandung kemih. Tekanan yang dihasilkan dari kandung kemih yang
penuh dapat melukai ginjal. Jika urin tetap berada dalam kandung kemih untuk waktu yang lama,
dapat mengembangkan infeksi dari pesatnya pertumbuhan bakteri dalam urin yang memiliki tingkat
gula tinggi.
Terapi pengobatan DM memiliki tujuan untuk mencegah komplikasi dari DM itu sendiri dan
dapat memperbaiki kualitas hidup pasien. Pengobatan diabetes tipe 1 bertujuan untuk menormalkan
kadar gula darah, dan mencegah komplikasi. Kadar gula darah pasien akan dijaga agar berada pada
kisaran 80-130 mg/dL sebelum makan, dan di bawah 180 mg/dL dua jam setelah makan.
Target terapi Diabetes Melitus :

Terapi yang dapat dilakukan adalah :


- Pemberian insulin
Insulin diberikan beberapa kali dalam sehari. Pemberian dilakukan melalui suntikan, karena
insulin akan dicerna lambung dan tidak dapat masuk ke aliran darah bila diberikan dalam bentuk
pil. Jenis insulin yang diberikan adalah kombinasi antara insulin kerja cepat dan insulin kerja
panjang, dengan dosis suntikan 2 kali sehari atau dapat ditingkatkan menjadi 3-4 suntikan sehari.
Selain melalui suntikan, insulin juga dapat diberikan menggunakan pompa insulin. Pompa insulin
diprogram untuk memasukkan insulin ke dalam tubuh secara terus-menerus, sedikit demi sedikit. Hal
tersebut untuk menjaga kadar gula darah selalu normal. Pada jam makan, pasien bisa menambah
kadar insulin, tergantung kepada kadar karbohidrat yang dikonsumsi. Pengobatan dengan insulin
harus disertai dengan pemeriksaan kadar gula darah secara rutin, guna memastikan selalu dalam
batas normal. Hal tersebut dikarenakan kadar gula darah dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti
olahraga, obat-obatan, dan kondisi kesehatan secara umum.
Di samping pemberian insulin, dokter dapat meresepkan beberapa jenis obat pada penderita
diabetes, seperti:
 Aspirin. Obat ini untuk menjaga kesehatan jantung pasien.
 Obat tekanan darah tinggi. Obat penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE inhibitor),
dan angiotensin II receptor blockers (ARB) dapat diberikan guna menjaga kesehatan ginjal
pasien. Jenis obat di atas diberikan pada pasien dengan tekanan darah di atas 140/90 mm Hg.
 Obat penurun kolesterol. Obat ini diberikan agar kadar kolesterol selalu terjaga, karena pasien
dengan kondisi ini akan sangat berisiko terserang penyakit jantung.

- Terapi Non Farmakologis:


Diet sehat
Untuk membantu proses penyembuhan, pasien dapat mengonsumsi makanan tinggi serat dan
rendah lemak, seperti gandum, sayur dan buah-buahan. Penting bagi pasien untuk mengetahui
jumlah asupan karbohidrat pada makanan yang dikonsumsi, agar kadar insulin yang disuntikkan
berada dalam jumlah yang tepat.
Olahraga
Pasien perlu melakukan olahraga, misalnya dengan berjalan kaki atau berenang. Lakukan
sedikitnya 150 menit dalam sepekan, dan jangan melewatkan lebih dari 2 hari tanpa olahraga. Bila
melakukan olahraga secara rutin, disarankan untuk memeriksa gula darah lebih sering. Hal ini agar
asupan nutrisi dan dosis insulin yang diberikan, sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh.

5. Jelaskan kaitan antara Hipertensi dan gangguan ginjal!apa tujuan dan target terapi dan
bagaimana penaganan HT pada pasien tersebut?
Jawab:
Seseorang yang mengalami kerusakan ginjal akan memproduksi renin dalam jumlah yang
berlebih sehingga akan meningkatkan tekanan darah akibat dipicunya angiotensin oleh
renin. Selain itu, regulasi garam-air dalam ginjal akan terganggu sehingga pengaturan
tekanan darah akan terganggu. Misalnya, ketika tekanan darah meningkat, seharusnya
ginjal lebih banyak mengeksresikan garam-air, sehingga volume darah menurun dan
tekanan darah juga akan menurun. Mekanisme ini akan terganggu jika fungsi ginjal
mengalami penurunan.
Tujuan dan target: mengurangi progresitifitas CKD dengan mempertahankan tekanan
darah normal.
Hipertensi pada penderita CKD bisa ditangani dengan pemberian obat-obatan β-blocker
(propnaolol dll) dan CCB.
6. Jelaskan kaitan antara anemia dan gangguan ginjal!apa tujuan dan target terapi dan
bagaimana penaganan anemia pada pasien tersebut?
Jawab:
Kerusakan ginjal pada seseorang menyebabkan produksi eritropoietin, sehingga sel-sel
sumsum tulang memproduksi eritrosit lebih sedikit. Hal inilah yang menyebabkan anemia
pada penderita gangguan ginjal.
PGK (Penyakit Ginjal Kronis) pada umumnya bersifat progresif. Hal ni berarti bahwa
pada saat tertentu fungsi ginjal akan terus menurun sampai pada tahap akhir (the point of
no return). Progresivitas penyakit ini akan terus berlanjut meskipun lesi yang mengawali
proses terjadinya kerusakan ginjal tersebut dihilangkan. Kerusakan struktur dan fungsi
ginjal bisa disertai dengan penurunan LFG. Penurunan laju fitrasi glomerulus ini
berhubungan dengan gambaran klinik yang akan ditemukan pada pasien. Salah satunya
adalah penurunan kadar hemoglobin atau hematokrit di dalam darah yang dapat
dikatakan sebagai anemia.Anemia terjadi pada 80-90% pasien PGK, terutama bila sudah
mencapai stadium III. Anemia terutama disebabkan oleh defisiensi Erythropoietic
Stimulating Factors (ESF). Dalam keadaan normal 90 % eritropoeitin (EPO) dihasilkan
di ginjal tepatnya oleh juxtaglomerulus dan hanya 10% yang diproduksi di hati.
Eritropoetin mempengaruhi produksi eritrosit dengan merangsang proliferasi, diferensiasi
dan maturasi prekursor eritroid. Keadaan anemia terjadi karena defisiensi eritropoietin
yang dihasilkan oleh sel peritubular sebagai respon hipoksia local akibat pengurangan
parenkim ginjal fungsional. Respon tubuh yang normal terhadap keadaan anemia adalah
merangsang fibroblas peritubular ginjal untuk meningkatkan produksi EPO, yang mana
EPO dapat meningkat lebih dari 100 kali dari nilai normal bila hematokrit dibawah 20%.
Pada pasien PGK, respon ini terganggu sehingga terjadilah anemia dengan konsentrasi
EPO yang rendah, dimana hal ini dikaitkan dengan defisiensi eritropoietin pada PGK.
Faktor lain yang dapat menyebabkan anemia pada PGK adalah defisiensi besi, defisiensi
vitamin, penurunan masa hidup eritrosit yang mengalami hemolisis, dan akibat
perdarahan.
Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht > 30%,
baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Bila dengan terapi
konservatif, target Hb dan Ht belum tercapai dilanjutkan dengan terapi EPO.
Variasi terapi anemia pada penyakit ginjal kronik adalah sebagai berukut :
a) Suplementasi eritropoetin
b) Pembuangan eritropoesis inhibitor endogen dan toksin hemolitik endogen dengan
terapi
c) Transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis.
d) Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine Mengkoreksi
hiperparatiroid
e) Terapi Androgen
f) Mengurangi iatrogenic blood loss
g) Suplementasi besi
h) Suplementasi asam folat
i) Transfuse darah

7. Jelaskan kaitan antara gangguan mineral dan tulang dan gangguan ginjal!apa tujuan dan
target terapi dan bagaimana kondisi pasien tersebut?
Jawab :
Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronis, atau disebut juga Chronic
Kidney Disease-Mineral and Bone Disorder (CKD-MBD) terjadi ketika ginjal gagal
untuk mempertahankan tingkat kalsium dan fosfor yang tepat dalam darah, menyebabkan
kadar hormon tulang yang abnormal.
Ginjal yang sehat menghilangkan kelebihan fosfor dari darah. Ketika ginjal berhenti
bekerja secara normal, kadar fosfor dalam darah bisa menjadi terlalu tinggi, yang
berdampak pada tingkat kalsium yang lebih rendah dalam darah dan mengakibatkan
tingkat PTH tinggi serta hilangnya kalsium dari tulang.
Peningkatan insiden gagal ginjal kronik membutuhkan terapi transplantasi ginjal.
Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian etelcalcitide karna etelcalcitide bersifat
aktivator allosterik dan meningkatkan CaSR terhadap kalsium ekstravaskuler.
Etelcalcitide dapat mengaktifkan jalur sinyal CaSR pada kelenjar paratiroid. Aktivasi
reseptor CaSR terjadi melalui pembentukan jembatan disulfida antara asamamino D-
cysteine etelcalcetide dengan asamamino L-cysteine CaSR. Ketersediaan dan indikasi
penggunaan etelcalcitide dapat menjadi salah satu pilihan tatalaksana gangguan
mineralisasi tulang yang akibat penyakit ginjal kronik.
Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik ialah suatu sindrom
klinik yang terjadi akibat gangguan sistemik pada metabolisme mineral dan tulang pada
penyakit ginjal kronik. Sindrom ini mencakup salah satu atau kombinasi dari hal berikut:
a) Kelainan laboratorium akibat gangguan metabolisme kalsium, fosfat, hormon
paratiroid, dan vitamin D.
b) Kelainan tulang dalam hal turn over, mineralisasi, volume, pertumbuhan linear,
atau kekuatannya.
c) Kalsifikasi vaskular atau jaringan lunak lain.
Pada penyakit ginjal kronik, terjadi peninggian kadar fosfat serum, penurunan
sintesis vitamin D, 1,25-dihydroxyvitamine D3, dan penurunan absoprsi kalsium di usus
halus. Penurunan kadar 1,25-dihydroxyvitamine D3 dan kalsium serum merangsang
pelepasan hormon paratiroid yang akan meningkatkan absorbsi kalsium di usus,
reabsorpsi kalsium di ginjal, dan pelepasan kalsium oleh tulang. Calcium-sensing
receptor(CaR), yang terdapat pada permukaan sel utama kelenjar paratiroid
merupakan regulator penting dalam homeostasis kalsium karena memiliki peran utama
pada pengaturan sintesis dan sekresi hormon paratiroid. Pada penyakit ginjal kronik,
penurunan kadar kalsium akan menurunkan aktivitas CaR yang mengakibatkan
penurunan signaling through CaR dan peningkatan sintesis dan sekresi hormon
paratiroid. Peningkatan sekresi hormon paratiroid akan melepaskan kalsium dari
jaringan tulang dan akan meningkatkan ekskresi fosfat melalui ginjal. Komplikasi
yang juga disebabkan oleh gangguan metabolisme mineral akibat penyakit ginjal
kronik adalah peningkatan mortalitas kardiovaskular dan fraktur.
Strategi ke depan dalam penatalaksanaaan GMT-PGK adalah:
a) mencegah dan mengatasi hiperfostaemia
b) menghambat hiperplasi kelenjar paratiroid.
Modalitas Terapi GMT-PGK

Modalitas terapi tergantung pada stadium penyakit dan tujuan terapi yang diberikan. Pada
stadium pradialisis, terapi terutama ditujukan pada pengendalian fosfat. Usaha ini
dilakukan dengan:
o pemberian diet rendah fosfat,
o pemberian pengikat fosfat (phosphate binders).
Pemberian diet rendah fosfat terkendala dengan malnutrisi yang bisa terjadi pada
penderita. Berbagai jenis pengikat fosfat sudah tersedia, baik yang calcium base maupun
yang noncalcium base, namun usaha pengendalian fosfat pada penderita penyakit ginjal
kronik tetap menjadi masalah. Dialisis, walaupun dalam jumlah terbatas dikatakan dapat
mengurangi hiperfosfatemia. Hasil yang baik dilaporkan terjadi pada hemodialisis setiap
hari (daily hemodyalisis). Pemberian Vitamine D3 Receptor Activator (VDRA) dengan
tujuan menghambat terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, dilaporkan banyak
memberikan hasil, walau masih terdapat sedikit kontroversi. Pemberian preparat
calcimemetik yang dapat mengakibatkan down regulation Calcium Sensing Receptor
(CsR) sehingga sekresi PTH dapat dihambat, dilaporkan juga banyak memberikan hasil,
dan apabila sudah terjadi hipertrofi kelenjar paratiroid (parathyroid adenoma), atas
indikasi tertentu, dilakukan paratireoidektomi; baik medical maupun surgical.

Anda mungkin juga menyukai