Anda di halaman 1dari 27

GAGAL GINJAL KRONIK

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Farmakoterapi


dan Terminologi Medik
Dosen Pengampu : Dra. Sri Haryanti, M.Si., Apt.

Disusun oleh :

Abhiseka Putra Wilaga 1061711001


Alvian D 1061711
Lintang 1061711

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI YAYASAN PHARMASI
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah dengan

mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan cairan dalam tubuh,

menjaga level elektrolit seperti sodium, potasium dan fosfat tetap stabil, serta memproduksi

hormon dan enzim yang membantu dalam mengendalikan tekanan darah, membuat sel darah

merah dan menjaga tulang tetap kuat. Tiap ginjal tersusun dari sekitar sejuta unit penyaring

yang disebun nefron. Nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Glomerulus menyaring

cairan dan limbah untuk dikeluarkan serta mencegah keluarnya sel darah dan molekul besar

yang sebagian besar berupa protein. Selanjutnya melewati tubulus yang mengambil kembali

mineral yang dibutuhkan tubuh dan membuang limbahnya. Ginjal juga menghasilkan enzim

renin yang menjaga tekanan darah dan kadar garam, hormon erythropoietin yang

merangsang sumsum tulang memproduksi sel darah merah, serta menghasilkan bentuk aktif

vitamin D yang dibutuhkan untuk kesehatan tulang (Infodatin).

Gagal Ginjal merupakan suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami

penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan

pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti

sodium dan kalium didalam darah atau produksi urin. Penyakit gagal ginjal berkembang

secara perlahan kearah yang semakin buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu

bekerja sebagaimana fungsinya (Wilson, 2006).

Setiap tahun penderita penyakit gagal ginjal meningkat, di Amerika serikat pada tahun

2002 sebanyak 34.500 penderita, tahun 2007 terdapat 80.000 penderita, dan tahun 2010

mengalami peningkatan yaitu 2 juta orang yang menderita penyakit ginjal. Sedangkan di

Indonesia menurut Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia jumlah yang menderita

penyakit gagal ginjal kronik sekitar 50 orang per satu juta penduduk (Lukman et al., 2013).
Data Dinkes Jawa tengah (2008) bahwa angka kejadian kasus gagal ginjal di Jawa Tengah

yang paling tinggi adalah Kota Surakarta dengan 1497 kasus (25.22 %) dan di posisi kedua

adalah Kabupaten Sukoharjo yaitu 742 kasus (12.50 %).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Gagal Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan patologis dengan penyebab yang

beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan kemudian berakhir

pada gagal ginjal tahap akhir. Penyakit ginjal kronik adalah penurunan progresif fungsi

ginjal dalam beberapa bulan atau tahun. Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai

kerusakan ginjal dan atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari

60mL/min/1,73 m2 selama minimal 3 bulan (KDIGO, 2012). Kerusakan ginjal adalah setiap

kelainan patologis atau penanda keruasakan ginjal, termasuk kelainan darah, atau urin.

Penyakit ginjal tahap akhir adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan

fungsi ginjal kronik ireversibel yang sudah mencapai tahapan dimana penderita memerlukan

terapi pengganti ginjal, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2007).

2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik

Derajat gagal ginjal kronik dan risiko progresivitasnya diklasifikasikan sebagai berikut:
Keterangan: GFR dan albuminuria menggambarkan risiko progresivitas sesuai warna (hijau,

kuning, oranye, merah, merah tua). Angka di dalam kotak menunjukkan frekuensi

monitoring/tahun yang dianjurkan.

1. Stadium 1 (glomerulo filtrasi rate/GFR normal (> 90 ml/min))

Seseorang perlu waspada akan kondisi ginjalnya berada pada stadium 1 apabila kadar

ureum atau kreatinin berada di atas normal, didapati darah atau protein dalam urin,

adanya bukti visual kerusakan ginjal melalui pemeriksaan MRl, CT Scan, ultrasound

atau contrast x-ray, dan salah satu keluarga menderita penyakit ginjal polikistik. Cek

serum kreatinin dan protein dalam urin secara berkala dapat menunjukkan sampai

berapa jauh kerusakan ginial penderita. Bagi penderita GGK stadium l dianjurkan untuk:

a. Melakukan diet sehat, diantaranya:

Mengkonsumsi roti dan sereal gandum whole grain, buah segar dan sayur sayuran,

pilih asupan rendah kolesterol dan lemak, batasi asupan makanan olahan yang

banyak mengandung kadar gula dan tinggi sodium, batasi penggunaan garam dan

racikan yang mengandung tinggi sodium saat memasak makanan, pertahankan

kecukupan kalori, pertahankan berat tubuh yang ideal, asupan kalium dan fosfor

biasanya tidak dibatasi kecuali bagi yang kadar di dalam darah diatas normal dan

pertahankan tekanan darah pada level normal, yaitu: 130/80 bagi penderita

diabetes dan penderita non diabetes Pertahankan kadar gula darah pada level normal.

b. Melakukan pemeriksaaan secara rutin ke dokter, termasuk melakukan cek serum

kreatinin untuk mendapatkan nilai GFR.

c. Minum obat - obatan yang diresepkan oleh dokter.

d. Berolah raga secara teratur.

e. Berhenti merokok.

2. Stadium 2 (penurunan GFR ringan atau 60 s/d 89 ml/min)


Seseorang perlu waspada akan kondisi ginjalnya berada pada stadium 2 apabila: kadar
ureum atau kreatinin berada di atas normal, didapati darah atau protein dalam urin,
adanya bukti visual kerusakan ginjal melalui pemeriksaan MRl, CT Scan, ultrasound
atau contrast x-ray, dan salah satu keluarga menderita penyakit ginjal polikistik.
3. Stadium 3 (penurunan GFR moderat atau 30 s/d 59 ml/min)
Seseorang yang menderita GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR moderat yaitu
diantara 30 s/d 59 ml/min. Dengan penurunan pada tingkat ini akumulasi sisa-sisa
metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Pada stadium ini
muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia atau keluhan pada
tulang. Gejala-gejala iuga terkadang mulai dirasakan seperti:
a. Fatique: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
b. Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak
dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat
penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah
atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak
cairan yang berada dalam tubuh.
c. Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya
kandungan protein di urin, Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi
coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah. Kuantitas urin bisa
bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering terbangun untuk buang air
kecil di tengah malam.
d. Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik
dan infeksi.
e. Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
Penderita GGK pada stadium ini biasanya akan diminta untuk menjaga kecukupan
protein namun tetap mewaspadai kadar fosfor yang ada dalam makanan tersebut,
karena menjaga kadar fosfor dalam darah tetap rendah penting bagi kelangsungan
fungsi ginjal. Selain itu penderita juga harus membatasi asupan kalsium apabila
kandungan dalam darah terlalu tinggi. Tidak ada pembatasan kalium kecuali didapati
kadar dalam darah diatas normal. Membatasi karbohidrat biasanya luga dianjurkan
bagi penderita yang juga mempunyai diabetes. Mengontrol minuman diperlukan
selain pembatasan sodium untuk penderita hipertensi.
4. Stadium 4 (penurunan GFR parah atau 15-29 ml/min)
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15-30% saja dan apabila seseorang berada
pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu dekat diharuskan menjalani terapi
pengganti ginjal/dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi
penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul pada stadium ini. Selain
itu besar kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi),
anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya.
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah: fatique: rasa lemah/lelah yang
biasanya diakibatkan oleh anemia, kelebihan cairan, perubahan pada urin: urin yang
keluar dapat berbusa yang menandakan adanya kandungan protein di urin, rasa sakit
pada ginjal, sulit tidur, nausea: muntah atau rasa ingin muntah, perubahan cita rasa
makanan, bau mulut uremic: ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi
melalui bau pernapasan yang tidak enak, dan sulit berkonsentrasi.
Penderita GGK stadium 4 dianjurkan untuk melakukan diet sehat antara lain:
a. Mengkonsumsi roti dan sereal gandum whole grain, buah segar dan sayur sayuran.
Namun konsumsi beberapa jenis sayuran, buah dan sereal gandum perlu dibatasi
apabila kadar fosfor dan kalium dalam tubuh berada diatas normal.
b. Pilih asupan rendah kolestrol dan lemak.
c. Menjaga asupan protein sesuai dengan kecukupan gizi yang dianjurkan untuk orang
sehat yaitu 0.8 gram protein/kilogram berat badan.
d. Batasi asupan makanan olahan yang banyak mengandung kadar gula dan tinggi
sodium.
e. Pertahankan berat tubuh yang ideal, salah satunya dengan melakukan aktivitas
olahraga yang sesuai dengan kemampuan.
f. Menjaga kecukupan asupan protein, namun perlu diperhatikan konsumsi makanan
yang mengadung kadar protein yang tinggi.
g. Asupan vitamin D dan besi biasanya disesuaikan dengan kebutuhan.
h. Membatasi asupan loslor dan kalsium dan kalium apabila kadar dalam darah diatas
normal.
Rekomendasi untuk memulai terapi pengganti ginjal adalah apabila fungsi ginjal hanya
tinggal 15% ke bawah. Uraian diatas adalah upaya-upaya dilakukan untuk
memperpanjang fungsi ginjal serta menunda terapi dialisis atau transplantasi selama
mungkin.
5. Stadium 5 (penyakit ginjal stadium akhir terminal atau < 15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja secara
optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau transplantasi
agar penderita dapat bertahan hidup. Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara
lain, kehilangan nafsu makan, nausea, sakit kepala, merasa lelah, tidak mampu
berkonsentrasi, gatal - gatal, urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali, bengkak,
terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki, keram otot dan perubahan warna
kulit. Seseorang didiagnosa menderita gagal ginjal terminal disarankan untuk
melakukan hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
Diet sehat bagi penderita gagal ginjal terminal yang menjalani dialisis antara lain:
a. Mengkonsumsi roti dan sereal gandum whole grain, buah segar dan sayur sayuran.
Namun konsumsi beberapa jenis sayuran, buah dan sereal gandum yang
mengandung kadar fosfor dan kalium yang tinggi perlu dibatasi atau dihindari.
b. Pilih asupan rendah kolestrol dan lemak.
c. Menjaga asupan protein sesuai dengan kecukupan gizi yang dianjurkan untuk orang
sehat yaitu 0.8 gram protein/kilogram berat badan.
d. Batasi asupan makanan olahan yang banyak mengandung kadar gula dan tinggi
sodium.
e. Pertahankan berat tubuh yang ideal salah satunya dengan mengkonsumsi cukup
kalori dan melakukan aktivitas olahraga yang sesuai dengan kemampuan
f. Meningkatkan asupan protein sesuai dengan kebutuhan individu masing masing
penderita yang ditentukan oleh ahli gizi.
g. Asupan vitamin D dan besi disesuaikan dengan kebutuhan.
h. Membatasi asupan fosfor tidak lebih dari 1000 mg atau sesuai dengan kebutuhan
individu masing- masing menurut rekomendasi ahli gizi.
i. Membatasi asupan kalium tidak lebih dari 2000 mg s/d 3000 mg atau disesuaikan
dengan kebutuhan individu masing-masing menurut rekomendasi ahli gizi.

3. Etiologi Gagal Ginjal Kronik

Menurut Wilson dan Price (2006) klasifikasi penyebab gagal ginjal kronik adalah sebagai

berikut :

a. Penyakit infeksi tubulointerstitial: Pielonefritis kronik atau refluks nefropati

b. Penyakit peradangan: Glomerulonefritis


c. Penyakit vaskuler hipertensif: Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna, Stenosis

arteria renalis

d. Gangguan jaringan ikat: Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis

sistemik progresif

e. Gangguan congenital dan herediter: Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal

f. Penyakit metabolik: Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis

g. Nefropati toksik: Penyalahgunaan analgesi, nefropati timah

h. Nefropati obstruktif: Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi, neoplasma, fibrosis,

retroperitineal), traktus urinarius bawah (hipertropi prostat, striktur uretra, anomaly

congenital leher vesika urinaria dan uretra)

Dari data yang dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRB) pada tahun 2007-2008

didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes

melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Sudoyo & Aru, 2006)

1. Glomerulonelritis

Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.

Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan

glomerulonelritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain

seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multiple atau

amiloidosis.

2. Diabetes Mellitus

Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang

terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

3. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan tekanan darah diastolik > 90

mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi).

2. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang

semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang

tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan

genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik

merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu

dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh

karena sebagian besar baru bermanilestasi pada usia di atas 30 tahun.

3. Obesitas

Obesitas meningkatkan risiko dari faktor risiko utama dari PGK seperti hipertensi dan

diabetes. Pada obesitas, ginjal juga harus bekerja lebih keras menyaring darah lebih dari

normal untuk memenuhi kebutuhan metabolik akibat peningkatan berat badan. Peningkatan

fungsi ini dapat merusak ginjal dan meningkatkan risiko terjadinya PGK dalam jangka

panjang.

4. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

Berdasarkan proses perjalanan penyakit dari berbagai penyebab pada akhirnya akan

terjadi kerusakan nefron. Bila nefron rusak maka akan terjadi penurunan laju filtrasi

glomerolus dan terjadilah penyakit gagal ginjal kronik yang mana ginjal mengalami

gangguan dalam fungsi eksresi dan dan fungsi non-eksresi. Gangguan fungsi non-eksresi

diantaranya adalah gangguan metabolisme vitamin D yaitu tubuh mengalami defisiensi

vitamin D yang mana vitamin D bergunan untuk menstimulasi usus dalam mengabsorpsi

kalsium, maka absorbs kalsium di usus menjadi berkurang akibatnya terjadi hipokalsemia

dan menimbulkan demineralisasi ulang yang akhirnya tulang menjadi rusak. Penurunan

sekresi eritropoetin sebagai factor penting dalam stimulasi produksi sel darah merah oleh

sumsum tulang menyebabkan produk hemoglobin berkurang dan terjadi anemia sehingga

peningkatan oksigen oleh hemoglobin (oksihemoglobin) berkurang maka tubuh akan

mengalami keadaan lemas dan tidak bertenaga.


Gangguan clerence renal terjadi akibat penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi.

Penurunan laju filtrasi glomerulus di deteksi dengan memeriksa clerence kretinin urine

tamping 24 jam yang menunjukkan penurunan clerence kreatinin dan peningkatan kadar

kreatinin serum. Retensi cairan dan natrium dapat megakibatkan edema, CHF dan

hipertensi. Hipotensi dapat terjadi karena aktivitasbaksis rennin angiostenin dan kerjasama

keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Kehilangan garam mengakibatkan resiko

hipotensi dan hipovolemia. Muntah dan diare menyebabkan perpisahan air dan natrium

sehingga status uremik memburuk. Asidosis metabolic akibat ginjal tidak mampu

menyekresi asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekrsi asam akibat tubulus ginjal tidak

mampu menyekresi ammonia (NH3-) dan megapsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-).

Penurunan eksresi fosfat dan asam organic yang terjadi.

Anemia terjadi akibat produksi eritropoietin yang tidak memadai, memendeknya usia

sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat

status uremik pasien terutama dari saluran pencernaan. Eritropoietin yang dipreduksi oleh

ginjal menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah dan produksi

eritropoitein menurun sehingga mengakibatkan anemia berat yang disertai dengan keletihan,

angina dan sesak nafas.

Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolism. Kadar

kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah satunya meningkat

maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi melaui glomerulus ginjal

maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan sebaliknya, kadar serum kalsium menurun.

Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parahhormon dari kelenjar paratiroid,

tetapi gagal ginjal tubuh tidak dapat merspons normal terhadap peningkatan sekresi

parathormon sehingga kalsium ditulang menurun, menyebabkan terjadinya perubahan

tulang dan penyakit tulang (Nurlasam, 2007).

5. Gejala Gagal Ginjal Kronik

Gejala klinis yang terjadi pada penderita Gagal Ginjal Kronik, yaitu :
1) Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah, diare, pucat

(anemia), dan hipertensi.

2) Nokturia (buang air kecil di malam hari).Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan

kaki. Pembengkakan yang menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan).

3) Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.

4) Tremor tangan.

5) Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi.

6) Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat dijumpai adanya

pneumonia uremik.

7) Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah, berat jenis

sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)

8) Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju endap darah

(LED) tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal, serta asupan protein,

serum kreatinin meningkat pada kerusakan glomerulus.

9) Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebih menonjol

yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif, edema paru, perdarahan

gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-kejang dan kesadaran menurun sampai

koma.

6. Diagnosis Gagal Ginjal Kronik

Diagnosis penyakit gagal ginjal kronik umumnya dilakukan melalui pemerikasaan rutin

urin dan darah. Melalui pemeriksaan rutin, terutama pada orang-orang beresiko tinggi, akan

mudah untuk mendeteksi jika ada penurunan fungsi ginjal. Jika memang dicurigai positif,

maka tes tersebut dapat diulang untuk memastikan diagnosis. Macam-macam tes untuk

mendeteksi kadar kerusakan ginjal:

a. Tes urin
Salah satu gejala penyakit ginjal adalah terdapat protein atau darah dalam urin.

Perubahan pada urin ini dapat muncul 6-10 bulan atau lebih lama sebelum gejala timbul

b. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

Laju filtrasi gromerulus / LFG (Gromerular Filtration Rate / GFR) adalah pengukuran

terhadap seberapa baik ginjal bekerja berdasarkan jumlah kotoran yang berhasil

disaring ginjal dari darah. Hasil perkiraan laju filtrasi glomerulus normal adalah 90 ml

cairan per menit.

c. Pemindaian

Dalam kasus gagal ginjal stadium lanjut, ginjal dapat mengkerut dan berbentuk tidak

utuh. Sebelum perubahan bentuk ginjal tersebut terjadi, pemindaian digunakan untuk

mengetahui apakah terjadi penymbatan tidak normal dalam aliran urin pasien. Proses

ini dilakukan dengan alat seperti Computerised Tomography (CT) Scan atau

pemindaian Magnetic Resonance Imaging (MRI).

d. Biopsi ginjal

Biopsi dilakukan dengan mengambil sampel kecil dari jaringan ginjal. Deteksi

kerusakan ginjal kemudian dilakukan dengan memeriksa sel-sel ini dengan mikroskop.

Penting untuk melakukan deteksi dini PGK yang dapat dilihat dalam diagram di bawah ini:

Siapa yang berisiko tinggi Apa yang perlu


Seberapa sering?
menderita penyakit ginjal? dilakukan?
Umur >50 tahun Tiap 12 bulan
Periksa
Diabetes
Tekanan darah
Hipertensi
Urine dipstick
Perokok
(microalbuminuria jika
Obesitas
diabetes)
Riwayat keluarga
CCT atau eGFR
menderita penyakit ginjal
Keterangan : CCT = Creatinin Clearens Test

eGFR = Perkiraan laju filtrasi glomerulus


7. Penatalaksanaan Terapi Gagal Ginjal Kronik

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi (Suwitra, 2007):

a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya

penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Bila LFG sudah

menurun sampai 20 30 % dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak

banyak bermanfaat

b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi kormobid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien

gagal ginjal kronik dimana hal ini untuk mengetahui kondisi kormobid yang dapat

memperburuk keadaan pasien. Kondisi kormobid antara lain, gangguan keseimbangan

cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus

urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit

dasarnya.

c. Menghambat perburukan fungsi ginjal

Faktor utama terjadinya perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi

glomerulus dan ini dapat dikurangi melalui dua cara yaitu:

1) Pembatasan asupan protein yang mulai dilakukan pada LFG 60 % ml/mnt,

sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.

2) Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Selain itu sasaran

terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria.

d. Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler dan komplikasi

Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler adalah

pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian displipidemia,

pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan

cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.

e. Terapi Pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal meliputi dialisis (hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan

trasplantasi ginjal. Terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan pada saat ini

adalah hemodialisis dimana jumlahnya dari tahun ke tahun terus bertambah.

Pengaturan Cairan pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis

Pada populasi hemodialisis, penambahan berat akibat cairan interdialisis (interdialytic

weight gain) merupakan suatu tantangan yang besar bagi pasien dan petugas kesehatan.

Pembatasan asupan air merupakan satu dari sejumlah pembatasan diet yang dihadapi oleh

orang yang menjalani dialisis. Kelebihan berat akibat cairan memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap angka morbiditas dan mortalitas pada orang-orang yang menjalani hemodialisis.

Kelebihan cairan berhubungan dengan berbagai macam komplikasi seperti hipertensi, ascites,

edema perifer. Hal ini tentunya mempengaruhi kualitas hidup pasien (Pace, 2007).

Ada berbagai pendekatan yang digunakan untuk merumuskan asupan cairan pada pasien

yang menjalani dialisis. Kopple dan Massry (2004) merekomendasikan sebagai berikut:

Asupan cairan (mL/hari) =

600 mL + urin output + kehilangan cairan ekstrarenal

dimana 600 mL mewakili kehilangan cairan bersih per hari (900 mL insensible water loss

dikurangi 300 mL cairan yang diproduksi melalui proses metabolisme). Kehilangan cairan

ekstrarenal meliputi diare, muntah dan sekresi nasogastrik.

Penyesuaian Dosis

Strategi penyesuaian dosis pada pasien gagal ginjal dapat membantu dalam terapi obat

individu dan dapat mencegah penurunan kualitas hidup pasien lebih lanjut (Falconnier dkk,

2001). Metode yang direkomendasikan dalam mengatur penyesuaian dosis adalah dengan

mengurangi dosis, memperpanjang interval dosis atau kombinasi keduanya (Munar dan Sigh,

2007).

a. Menggunakan Rumus Cockcroft & Gault (Bauer, 2006)


Untuk Laki-laki :
Untuk Perempuan:

CrClest adalah bersihan kreatinin dalam mL/min, umur dalam tahun, BW (Body

Weight) adalah bobot badan pasien dalam kg, SCr adalah kreatinin serum. Nilai 0,85

adalah faktor koreksi untuk perempuan karena perempuan memiliki massa otot yang

lebih kecil dari pada laki-laki. Persamaan ini hanya berlaku untuk pasien dengan bobot

badan yang normal, memiliki usia diatas 18 tahun dan memiliki kreatinin serum yang

stabil.

b. Menggunakan Rumus Jellife & Jellife (Bauer, 2006).

Pasien yang memiliki konsentrasi kreatininserum yang tidak stabil, bersihan kreatininnya

dihitung dengan persamaan Jeliffe & Jeliffe, sebagai berikut :

Essmale = IBW[29,3-(0,203 x umur)] atau

Essfemale = IBW[25,1-(0,175 x umur)]

Ess adalah nilai eksresi kreatinin, IBW adalah bobot badan ideal dalam kg dan umur

dalam tahun. Setelah didapatkan nilai Ess, dilakukan perhitungan terhadap nilai koreksi

produksi kreatinin dengan rumus :

Esscorrected = Ess[1,035 (0,0337 x Scrave)]

CrCl (in mL/min/1.73m2) = E/(14,4 x Scrave)


Scrave adalah nilai rata-rata dua kreatinin serum yang ditentukan dalam mg/dL, Scr1
adalah kreatinin serum pertama dan Scr2 adalah kreatinin serum kedua, keduanya dalam
mg/dL, dant selisih waktu antara pengukuran Scr1 dan Scr2.
c. Menggunakan Rumus Salazar & Corcoran (Bauer, 2006).
Pasien yang obesitas, diukur bersihan kreatininnya dengan menggunakan persamaan
Salazar & Corcoran sebagai berikut :
Wt adalah bobot badan dalam kg, umur dalam tahun, Ht tinggi dalam meter, dan SCr
adalah kreatininserum dalam mg/dL.
d. Perhitungan Penyesuaian Dosis (Shargel, et al, 2005).
Setelah bersihan kreatinin dihitung dengan persamaan yang sesuai, dilakukan
perhitungan penyesuaian dosis untuk obat yang dieksresikan terutama melalui ginjal,
golongan obat yang bersifat nefrotoksik maupun golongan obat dengan indeks terapi
sempit yang dieksresikan melalui ginjal. Metode yang dapat digunakan dalam
penyesuaian dosis adalah Metode fraksi eksresi obat dalam bentuk utuh.
Penyesuaian dosis dihitung dengan menggunakan rumus GuistiHayton dengan
menggunakan data nilai fraksi obat yang dieksresikan dalam bentuk utuh () untuk
masing-masing obat yang perlu penyesuaian. Untuk sebagian besar obat, nilai telah
ada dalam literatur.
Rasio bersihan kreatinin pada ginjal normal dan ginjal yang terganggu fungsinya dihitung
dengan persamaan

ku/kn adalah rasio bersihan kreatinin pada ginjal yang terganggu fungsinya dengan

ginjal yang normal, adalah fraksi obat yang dieksresikan dalam bentuk utuh,

adalah nilai bersihan kreatinin pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan

adalah nilai bersihan kreatinin pada ginjal normal.


Dosis dihitung dengan menggunakan rasio bersihan kreatinin. Penyesuaian dosis
berdasarkan dosis awal

Dengan Du adalah dosis pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal dan Dn adalah
dosis pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Penyesuaian dosis juga dapat dilakukan
dengan mengubah interval pemberian obat dengan persamaan:
dengan u adalah interval untuk pasien uremia dan N adalah interval pada fungsi ginjal
normal.
Kasus

Identitas pasien:

Nama : Tn J
Tanggal lahir : 8/08/1955

Usia : 62 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Berat/Tinggi badan : 61 kg/-

Ruangan : Baitul Izzah I

Tanggal masuk : 1/10/2016

Diagnosis : CHF CKD

Keluhan pasien:

Tanggal 1 : Pasien mengeluh mual, muntah dan edema

Tanggal 2 : Pasien mengeluh pusing

Tanggal 3 : Pasien merasa mual

Tanggal 4 : Pasien tidak bisa tidur

Tanggal 5 : Pasien mengeluh nyeri perut dan susah tidur

Tanggal 6 : Pasien mengeluh pusing dan mual

Tanggal 7 : Pasien mengeluh pusing

Tanggal 8 : Pasien mengeluh batuk, sesak, dan sakit punggung

Tanggal 9 : Pasien mengeluh pusing dan tangan terasa sakit

Tanggal 10 : Pasien mengeluh pusing

Tanggal 11 : Pasien mengatakan pusing dan perut sakit

Pemeriksaan dan tanda-tanda vital

Tanggal
Jenis Nilai normal
1/10 2/10 3/10 4/10 5/10 6/10 7/10 8/10 9/10 10/10 11/10
Albumin 3,4-4,8 g/dl 2,02 1,52 1,52
Ureum 10-50 mg/dl 107
Kreatinin 0,6-1,1 mg/dl 2,57 2,75
darah
Hb 13,2-17,3 g/dl 7,4 10
Hematokrit 33-45 % 21,3 27,7
Kolesterol <200 mg/dl 197
TG <160 mg/dl 151
Asam Urat 3,5-7,2 mg/dl 7,1
Ureum 10-50 mg/dl 82
Natrium 135-147mmol/L 138,2
Kalium 3,5-5 mmol/L 4,38
Klorida 9,5-105 mmol/L 111,5
Calsium 8,8-10,8 8,0
mmol/L
Fe 70-200 g/L 89,5
PH urin 4,8-7,4 6,0
Urobilinog <2 mg/dl 0,2
en
Tekanan 120/80 mmHg 160/ 170/ 150/ 170/ 150/ 140/ 160/ 140/ 180/ 140/9
Darah 90 90 90 110 100 80 80 100 100 0
Respiration 18-22x/menit 20 20 20 22 20 20 23 19 20 24
Rate
Nadi 80 75 80 96 84 68 80 79 86 75
Suhu 36-37C 36 36 36 36 36 36 37 37 36 36 36

Profil Penggunaan obat

Nama Obat Regimen dosis Rute 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11


Parenteral
Infus Ringer ml/jam Iv
Laktat 20 tpm
Resfar 1 fl/hr/4jam Iv
Furosemid 0,5 cc/jam Iv
4A/Hari
Albuminal 25% 100cc Iv
Per Oral
Spironolacton 3 x 25 mg Po
Irbesartan 1x 150 mg Po
Digoxin 2x Po
Chaana 3 x II caps Po
Furosemid 1x1 Po

Masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat

Analisis SOAP

SUBJEKTIF

a. Pasien : Bapak J, 60 tahundi rawat inap 1 Oktober 11 Oktober


b. Diagnosa : CHF CKD
c. Riwayat Penyakit : -

OBJEKTIF

Pemeriksaan tanda-tanda vital

Tanggal
Parameter Nilai normal
1/10 2/10 3/10 4/10 5/10 6/10 7/10 8/10 9/10 10/10 11/10
Tekanan 120/80 mmHg 160/ 170/ 150/ 170/ 150/ 140/ 160/ 140/ 180/ 140/9
Darah (TD) 90 90 90 110 100 80 80 100 100 0
Respiration 18-22x/menit 20 20 20 22 20 20 23 19 20 24
Rate
Nadi 80 75 80 96 84 68 80 79 86 75
Suhu 36-37C 36 36 36 36 36 36 37 37 36 36 36
Kesimpulan
TD TD TD TD TD TD TD TD TD TD TD

RR RR

Jenis Nilai normal 1/10 3/10 4/10 8/10 Keterangan

Albumin 3,4-4,8 g/dl 2,02 1,52 1,52 Menurun


Ureum 10-50 mg/dl 107 Meningkat
Kreatinin 0,6-1,1 mg/dl 2,57 2,75 Meningkat
darah
Hb 13,2-17,3 g/dl 7,4 10 Menurun
Hematokrit 33-45 % 21,3 27,7 Menurun
Kolesterol <200 mg/dl 197 Normal
TG <160 mg/dl 151 Normal
Asam Urat 3,5-7,2 mg/dl 7,1 Normal
Ureum 10-50 mg/dl 82 Meningkat
Natrium 135-147mmol/L 138,2 Normal
Kalium 3,5-5 mmol/L 4,38 Normal
Klorida 9,5-105 mmol/L 111,5 Meningkat
Calsium 8,8-10,8 8,0 Menurun
mmol/L
Fe 70-200 g/L 89,5 Normal
PH urin 4,8-7,4 6,0 Normal
Urobilinog <2 mg/dl 0,2 Normal
en
Tekanan 120/80 mmHg 170/ 150/ 160/ Meningkat Hasil Pemeriksaan
Darah 90 90 80
Lab

Assesment

Albumin menurun bisa disebabkan oleh keadaan malnutrisi, nefrotik sindrom


Ureum dan kreatinin darah meningkat disebabkan oleh penurunan fungsi ginjal untuk
mempertahankan homeostasis tubuh sehingga mengakibatkan gagal ginjal
Kadar Serum Kreatinin
Kadar serum kreatinin pasien pada tanggal 1 menunjukkan hasil 2,57 mg/dL nilai ini
diatas rentang normal dari serum kreatinin yaitu 0,6 1,1 mg/dL.
Hitungan Klirens Kreatinin (tgl 1) berdasar rumus Cockroft Gault :
(140)
= 72
(14062) 61
= = 25,71 /
72 2,57

Kadar serum kreatinin pasien pada tanggal 8 menunjukkan hasil 2,75 mg/dL nilai ini
diatas rentang normal dari serum kreatinin yaitu 0,6 1,1 mg/dL.
Hitungan Klirens Kreatinin (tgl 1) berdasar rumus Cockroft Gault :
(140)
= 72
(14062) 61
= = 24,03 /
72 2,75
Berdasarkan perhitungan klirens kreatinin, didapatkan hasil klirens kreatinin pasien
adalah 24,03 ml/menit, maka dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami gagal ginjal
kronis.

Hemoglobin menurun, maka pasokan ke berbagai bagian tubuh berkurang, sehingga fungsi
tubuh akan terhambat dan mengalami anemia, gagal ginjal
Hematokrit menurun menandakan adanya gangguan pada ginjal
Kalsium menurun menyebabkan hipokalsemia, penyebab hilangnya kalsium dalam jangka
lama melalui air kemih atau kegagalan untuk memindahkan kalsium dari tulang
Tekanan darah tinggi menandakan pasien mengalami hipertensi

Analisis DRP

1. DPR ada indikasi tidak ada obat (butuh obat) : -

2. DRP tidak ada indikasi ada obat (tidak butuh obat) : -

3. DRP dosis terlalu tinggi : -

4. DRP dosis terlalu rendah : -

5. DRP efek samping : Irbesartan = Hiperkalemia

Spironolakton = Nyeri kepala, urtikaria

Digoksin = Diare, nyeri kepala, mual, muntah

Furosemid = Hipokalemia, hiperurisemia

6. DRP salah obat : -

7. DRP interaksi obat : Interaksi Minor:

Irbesartan + Digoxin : Irbesartan dan Digoxin bersamaan menaikan kadar kalium


Irbesartan + Furosemid : Irbesartan meningkatkan dan furosemid menurunkan kadar
serum kalium
Irbesartan + Spironolakton : Irbesartan dan spironolakton bersamaan meningkatkan kadar
kalium
Digoxin + Furosemid : Digoxin memingkatkan dan furosemid menurunkan kadar
kalium
Digoxin + Spironolakton :
Spironolakton dan digoksin bersama-sama meningkatkan kadar kalium
Menurunkan klirens ginjal
Spironolakton meningkatkan efek digoxin
Spironolakton meningkatkan dan furosemid menurunkan kadar kalium

PLAN

Disarankan untuk melakukan perhitungan nilai CrCl agar mengetahui kondisi ginjal dari
pasien. Akan tetapi berat badan pasien belum diketahui
Jika nilai CrCl rendah, pasien disarankan untuk hemodialisa
Pasien dengan gagal ginjal kronis (GFR < 25 ml/menit) yang tidak menjalani perawatan
dialisis, asupan kalori yang diperbolehkan untuk usia kurang dari 60 tahun adalah 35
kcal/kg/hari (K/DOQI, 2002)
Kalsium rendah diberikan terapi pengobatan, seperti kapsul CaCO3, injeksi Ca glukonas
Pemberian Channa dan Albuminal masih belum bisa menormalkan kadar albumin pada
pasien. Perlu penambahan pemberian albuminal untuk bisa menaikkan kadar albumin
pada pasien
Dilakukan monitoring kadar kalium pada pasien karena ada interaksi antar obat yang
berpengaruh terhadap kadar kalium

KIE

Mengurangi konsumsi garam < 2 g (KDIGO, 2012)


Membatasi asupan protein 0,8 g/kgbb/hari pada pasien dengan GFR 30 ml/menit/1,73
m2 (KDIGO, 2012)
Mencegah kondisi stress dengan dukungan dari keluarga pasien
Dianjurkan mengonsumsi makanan yang tinggi zat besi seperti protein hewani
Mengurangi asupan cairan baik melalui makanan dan minuman
Menghindari makanan atau minuman yang mengandung kalium, seperti pisang, air
kelapa
Istirahat yang cukup
Furosemid tidak dianjurkan untuk dikonsumsi malam hari karena obat ini menyebabkan
sering buang air kecil sehingga mengganggu waktu tidur
Spironolakton tidak dianjurkan untuk dikonsumsi malam hari karena obat ini
menyebabkan sering buang air kecil sehingga mengganggu waktu tidur

DAFTAR PUSTAKA

Bauer, L. A. 2006. Clinical Pharmacokinetics Handbook. Washington: McGram Hill.

Falconnier, A. D., Haefeli, W. E., Schoenenberger, R. A., Surber, C., Martin-Facklam, M.


2001. Drug Dosing in Patient with Renal Failure Optimized by Immediate Concurrent
Feedback. JGIM, 16, 369375.

Infodatin. 2017. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia

KDIGO. 2012. KDIGO Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Kidney Disease. Official Journal of the International Society of Nephrology. Vol. 3
Issue 1.

Kopple, J.D. dan Massry, S.G. 2004. Nutritional Management of Renal Disesase. Jakarta: EGC

Lukman, N., Kanine, E., dan Wowiling, F. 2013. Hubungan Tindakan Hemodialisa dengan
Tingkat Depresi Klien Penyakit Ginjal Kronikdi BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
1 (1)

Munar, M.Y, Singh, H. 2007. Drug Dosing Adjustment in Patients with Chronic Kidney
Disease. American Academy of Family Physician, 75, 10, 14871496.

Suwitra, K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Sudoyo, A. W., Editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Shargel, L., Wu-Pong, S., Yu, A. B. C. 2005. Applied Biopharmaceutics and
Pharmacokinetics. Fifth edition. United States : The McGraw-Hill Companies.

Sudoyo dan Aru. (2006). Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen llmu Penyakit
Dalam FKUI.

Wilson, M. L dan Price, A. S. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis proses-proses Penyakit Edisi
6. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai