Anda di halaman 1dari 107

The Way of

“SHOTOKAN”
Karate–do
Kumpulan Berbagai Artikel Shotokan Karate

BONDHAN ADI PRATOMO


The Way of “SHOTOKAN” Karate–do
Kumpulan Berbagai Artikel Shotokan Karate

By :
BONDHAN ADI PRATOMO
BAB I
SEJARAH KARATE

1.1. APAKAH KARATE ITU ?


Karate berasal dari pengucapan dalam bahasa Okina-
wa “Kara” yang berarti Cina dan “Te” yang bararti
tangan. Selanjutnya arti dari dua pengucapan itu
adalah tangan Cina, teknik Cina, tinju Cina (pada
masa lampau). Selanjutnya sekitar tahun 1931 Gichin
Funakoshi –dikenal sebagai Bapak Karate Moderen–
mengubah istilah karate ke dalam huruf kanji Jepang
yang terdengar lebih baik. Tahun 1936 buku Karate-do
Kyohan Funakoshi diterbitkan dengan
menggunakan istilah karate dalam huruf
kanji Jepang. Dalam pertemuan bersama
para master di Okinawa makna yang
sama diambil. Dan sejak saat itu istilah
“karate” dengan huruf kanji berbeda na-
mun pengucapan dan makna yang sama
digunakan sampai sekarang.
Karate berasal dari dua kata dalam huruf kanji “kara”
yang bermakna kosong dan “te” yang berarti tangan.
Karate berarti sebuah seni bela diri yang memung-
kinkan seseorang mempertahankan diri tanpa senjata.
Menurut Gichin Funakoshi karate mempunyai banyak
arti yang lebih condong kepada hal yang bersifat
filsafat. Istilah “kara” dalam karate bisa pula disama-
kan seperti cermin bersih yang tanpa cela yang
mampu menampilkan bayangan benda yang dipantul-
kannya sebagaimana aslinya. Ini berarti orang yang
belajar karate harus membersihkan dirinya dari
keinginan dan pikiran jahat.

Selanjutnya Gichin Funakoshi menjelaskan makna


kata “kara” pada karate mengarah kepada sifat keju-
juran, rendah hati dari seseorang. Walaupun demikian
sifat kesatria tetap tertanam dalam kerendahan
hatinya, demi keadilan berani maju sekalipun berjuta
lawan tengah menunggu. Demikianlah makna yang
terkandung dalam karate.
Karena itulah seseorang yang belajar karate sepantas-
nya tidak hanya memperhatikan sisi teknik dan fisik,
melainkan juga memperhatikan sisi mental yang sama
pentingnya. Seiring usia yang terus bertambah, kon-
disi fisik akan terus menurun namun kondisi mental
seorang karate-ka yang diperoleh lewat latihan yang
lama akan membentuk kesempurnaan karakter.

Akhiran kata “Do” pada karate-do memiliki makna


jalan atau arah. Suatu filosofi yang diadopsi tidak
hanya oleh karate tapi kebanyakan seni bela diri
Jepang dewasa ini (Kendo, Judo, Kyudo, Aikido, dll).

1.2. SEJARAH KARATE


Menurut sejarah, Okinawa sebelum menjadi bagian
dari Jepang adalah suatu wilayah berbentuk kerajaan
yang bebas merdeka. Pada waktu itu Okinawa
mengadakan hubungan dagang dengan pulau-pulau
tetangga. Dan memang Okinawa mendapatkan penga-
ruh yang kuat akan budaya Cina. Sebagai pengaruh
pertukaran budaya itu banyak orang-orang Cina
dengan latar belakang yang bermacam-macam datang
ke Okinawa mengajarkan bela dirinya pada orang-
orang setempat. Yang di kemudian hari menginspirasi
nama kata seperti Jion yang mengambil nama dari
biksu Budha. Sebaliknya orang-orang Okinawa juga
banyak yang pergi ke Cina lalu kembali ke Okinawa
dan mengajarkan ilmu yang sudah diperoleh di Cina.

Pada tahun 1477 Raja Soshin di Okinawa memberlaku-


kan larangan pemilikan senjata bagi golongan pende-
kar. Tahun 1609 Kelompok Samurai Satsuma di bawah
pimpinan Shimazu Iehisa masuk ke Okinawa dan
tetap meneruskan larangan ini. Bahkan mereka juga
menghukum orang-orang yang melanggar larangan
ini. Sebagai tindak lanjut atas peraturan ini orang-
orang Okinawa berlatih Okinawa-te (begitu mereka
menyebutnya) dan Ryukyu Kobudo (seni senjata) secara
sembunyi-sembunyi. Latihan selalu dilakukan pada
malam hari untuk menghindari intaian. Tiga aliranpun
muncul masing-masing memiliki ciri khas yang nama-
nya sesuai dengan arah asalnya, yaitu : Shuri-te,
Naha-te dan Tomari-te.
Namun demikian pada akhirnya Okinawa-te mulai
diajarkan ke sekolah-sekolah dengan Anko Itosu (juga
mengajari Funakoshi) sebagai instruktur pertama seki-
tar awal tahun. Dan tidak lama setelah itu Okinawa
menjadi bagian dari Jepang, membuka jalan bagi
karate masuk ke Jepang. Gichin Funakoshi ditunjuk
mengadakan demonstrasi karate di luar Okinawa bagi
orang-orang Jepang.

Gichin Funakoshi dilahirkan di Yamakawa Shuri,


Okinawa, pada tahun 1868, Funakoshi belajar karate
pada Azato dan Itosu. Setelah berlatih begitu lama,
pada tahun 1916 (ada yang pula yang mengatakan
1917) Funakoshi diundang ke Jepang untuk mengada-
kan demonstrasi di Nippon Butokukai Kyoto yang meru-
pakan pusat dari seluruh bela diri Jepang saat itu.

Selanjutnya pada tahun 1921, putra mahkota yang


kelak akan menjadi kaisar Jepang datang ke Okinawa
dan meminta Funakoshi untuk demonstrasi. Bagi
Funakoshi undangan ini sangat besar artinya karena
demonstrasi itu dilakukan di arena istana. Tahun 1922
Setelah demonstrasi kedua ini Funakoshi seterusnya
tinggal di Jepang di sebuah asrama untuk pelajar.

Selama di Jepang pula Funakoshi banyak menulis


buku-bukunya yang terkenal hingga sekarang. Seperti
“Ryukyu Kempo : Karate” dan “Karate-do Kyohan”. Buku-
bukunya masih dianggap sebagai salah satu karya
terbaik dalam dunia karate sekaligus pioner buku
karate di masa itu. Dan sejak saat itu klub-klub karate
terus bermunculan baik di sekolah dan universitas.

Gichin Funakoshi selain ahli karate juga pandai dalam


sastra dan kaligrafi. Nama Shotokan diperolehnya
sejak kegemarannya mendaki gunung Torao (yang
dalam kenyataannya berarti ekor harimau). Dimana
dari sana terdapat banyak pohon cemara ditiup angin
yang bergerak seolah gelombang yang memecah di
pantai. Terinspirasi oleh hal itu Funakoshi menulis
sebuah nama “Shoto” sebuah nama yang berarti kum-
pulan cemara yang bergerak seolah gelombang, dan
“Kan” yang berarti ruang atau balai utama tempat
muridnya-muridnya berlatih.

Simbol harimau yang digunakan karate Shotokan yang


dilukis oleh Hoan Kosugi (salah satu murid pertama
Funakoshi), mengarah kepada filosofi tradisional Cina
yang mempunyai makna bahwa ’’harimau tidak
pernah tidur’’. Digunakan dalam karate Shotokan
karena bermakna kewaspadaan dari harimau yang
sedang terjaga dan juga ketenangan dari pikiran yang
damai yang dirasakan Gichin Funakoshi ketika sedang
mendengarkan suara gelombang pohon cemara dari
atas Gunung Torao.

Sekalipun Funakoshi tidak pernah memberi nama


pada aliran karatenya, murid-muridnya mengambil
nama itu untuk dojo yang didirikannya di Tokyo
tahun sekitar tahun 1936 sebagai penghormatan pada
sang guru. Selanjutnya pada tahun 1949 Japan Karate
Association (JKA) berdiri dengan Gichin Funakoshi
sebagai guru besar.

Shotokan adalah karate yang mempunyai ciri khas be-


ragam teknik lompatan (lihat Enpi, Kanku dai, Kanku
sho dan Unsu), gerakan yang ringan dan cepat. Mem-
butuhkan ketepatan waktu dan tenaga untuk
melancarkan suatu teknik. Shotokan juga mengguna-
kan kuda-kuda yang lebih lebar dan pukulan yang
kuat.
Gichin Funakoshi percaya bahwa akan membutuhkan
waktu seumur hidup untuk menguasai manfaat dari
kata. Dia memilih kata yang yang terbaik untuk
penekanan fisik dan bela diri.

1.3. SHOTO NIJU-KUN (20 PETUNJUK BERLATIH


GICHIN FUNAKOSHI)
Sebagai salah satu langkah modernisasi karate yang
dilakukan Funakoshi adalah mengubah karate dari
seni bela diri yang sebelumya murni hanya teknik
(jutsu) menjadi bela diri yang berfilosofi. Langkah ini
juga dilakukan agar karate juga dapat diterima oleh
masyarakat Jepang mengingat kebanyakan bela diri
Jepang telah berubah menjadi bela diri yang dipenga-
ruhi filsafat Budo dan Bushido seperti kenjutsu berubah
menjadi kendo dan jujutsu menjadi judo. Diduga Funa-
koshi menuliskan Shoto Niju Kun ini berdasarkan
Bubishi, sebuah literatur kuno yang menjadi sumber
dari berbagai aliran bela diri termasuk karate.
VERSI ASLI ARTI

Karate-do wa rei ni hajimari, Karate mulai dan


rei ni owaru koto wo wasuruna berakhir dengan
kehormatan
Karate ni sente nashi Tidak ada serangan
pertama dalam karate
Karate wa gi no tasuke Karate adalah sebuah
pertolongan kepada
keadilan
Mazu jiko wo shire, shikoshite Kenali dirimu sendiri
tao wo shire sebelum kau kenali yang
lain
Gijutsu yori shinjutsu Semangat sebelum teknik
Kokoro wa hanatan koto wo Bersiaplah untuk
yosu membebaskan pikiranmu
Wazawai wa getai ni shozu Musibah datang dari
kekurang perhatian
Dojo nomino karate to omou na Latihan karate tidak
hanya didalam dojo
Karate no shugyo wa issho de Kau tidak akan pernah
aru berhenti belajar karate
Arai-yuru mono wo karate-ka Jadikan karate sebagai
seyo, soko ni myo-mi ari bagian hidupmu dan
akan kau temukan myo
(rahasia hidup)
Karate wa yu no goto shi taezu Karate mirip dengan air
natsudo wo ataezareba moto no panas. Jika tidak
mizu ni kaeru diberikan panas terus-
menerus maka akan
dingin kembali
Katsu kangae wa motsu na Jangan berpikir bahwa
makenu kangae wa hitsuyo kau harus menang, tapi
pikirkan bagaimana agar
tidak kalah dalam
pertarungan
Tekki ni yotte tenka seyo Kemenangan tergantung
dari kemampuanmu
untuk meraih yang
mungkin dari yang tidak
mungkin
Tattakai wa kyo-jitsu no soju Bergeraklah mengikuti
ikan ni ari (sesuai dengan) lawanmu
Hito no te ashi wo ken to omoe Pikirkan bahwa kedua
tangan dan kakimu
adalah pedang
Danshi mon wo izureba Waspadalah terhadap
hyakuman no tekki ari tindakanmu agar tidak
mengundang kesulitan
Kamae wa shoshinsha ni ato wa Pertama kuasai kuda-
shizentai kuda merendah, baru
posisi badan yang
alamiah/wajar
Kata wa tadashiku jissen wa Berlatih kata tidak
betsu mono menggantikan hal yang
sesungguhnya
Chikara no kyojaku, karada no Jangan lupa (1) Aplikasi
shinshuku, waza no kankyu wo ringan dan berat dari
wasaruna kekuatan (2)
meregangkan dan
mengerutkan badan (3)
Kecepatan dan
kelambatan dari teknik
Tsune ni shinen kufu seyo Pikirkan jalan untuk
menjalankan ajaran ini
setiap hari
1.4. KIHON - KUMITE - KATA
Hampir seluruh aliran karate saat ini memasukkan
tiga materi wajib yaitu kihon, kumite dan kata dalam
latihan. Walaupun sebagian dari aliran juga memasuk-
kan materi lain seperti teknik senjata seperti yang
dilakukan oleh Shito-ryu. Adalah Funakoshi yang
memberikan tiga materi ini sebagai komponen latihan
ketika di Jepang dojo-dojo karate mulai banyak ber-
munculan. Pada perkembangan selanjutnya, JKA yang
berdiri tahun 1949 kembali mempertegas hal ini
dengan menstandarisasikan kihon, kumite dan kata
sebagai materi wajib.

Kihon adalah berlatih teknik-teknik dasar : memukul,


menendang, bertahan dan menangkis. Teknik-teknik
ini adalah awal juga sekaligus akhir dari karate.
Seorang karate-ka bisa saja mempelajarinya dalam
hitungan bulan bahkan tahun. Dari sini teknik-teknik
dasar membutuhkan latihan yang teratur, dikerjakan
dengan penuh konsentrasi dan usaha yang sebaik-
baiknya.
Dalam kumite seseorang melakukan dengan seorang
rekan bertanding. Prinsip-prinsip kihon tetap berlaku
dalam kumite. Seorang karate-ka harus mengerjakan
teknik karate dengan sesuai, kekuatan dan kecepatan
yang benar dan juga kontrol yang baik. Teknik ini
dikenal dengan Sundome yang artinya menghentikan
teknik kira-kira tiga inci sebelum sasaran. Sundome
adalah kebalikan dari Full Contact yang mengizinkan
karate-ka melancarkan teknik sekeras-sekerasnya pada
sasaran. Beberapa aliran karate di dunia masih ada
yang menerapkan metode ini.

Kata, latihan bentuk resmi yang menggabungkan


teknik-teknik dasar dalam karate : pukulan, tendang-
an, bertahan dan menangkis kedalam satu rangkaian
pergerakan yang telah ditentukan.

Kata mengkombinasikan teknik menyerang dan berta-


han, pergerakan badan yang sesuai dan perubahan
arah. Kata mengajarkan seorang karate-ka menghadapi
begitu banyak penyerang dari sedikitnya empat arah.
Kata telah menjadi inti dari latihan karate sejak zaman
dulu. Shotokan mempunyai 26 kata yang terus dilatih
hingga kini walaupun ada yang populer dan ada pula
yang tidak. Inilah 26 kata Shotokan :

Nama Arti & Uraian Makna

Heian Ada yang mengartikan pikiran


yang damai, mencintai keda-
maian dan pikiran yang tenang.
Walaupun ada pula yang tidak
setuju dengan nama ini.
Menurut legenda seluruh kata
Heian berasal dari kata Kanku-dai
yang disederhanakan oleh Yasu-
tsune Itosu. Tujuannya untuk
mengajari pemula ketika karate
telah diterima secara terbuka di
Okinawa. Karena itulah banyak
teknik yang berbahaya telah
dihilangkan. Nama aslinya
Pinan dan kata ini banyak aliran
karate lain yang masih memper-
tahankan nama ini kecuali Sho-
tokan yang telah menggunakan
nama Heian.
Ada lima versi kata Heian yaitu
Heian Shodan, Nidan, Sandan,
Yondan dan Godan dengan ting-
kat kesulitan yang berbeda.
Tekki Aslinya bernama Naihanchi dan
saat ini dalam Shotokan memiliki
tiga versi yaitu Tekki Shodan,
Nidan dan Sandan. Tekki Shodan
dan Nidan menurut legenda ber-
asal dari Itosu sementara Tekki
Sandan tidak begitu jelas. Tekki
berarti kuda-kuda yang kuat,
bertahan dalam posisi menung-
gang kuda (kiba dachi) dan ksat-
ria yang kuat. Tidak begitu jelas
mengapa dikerjakan dalam ku-
da-kuda kiba dachi.
Bassai Aslinya bernama Passai yang
berarti menembus benteng, me-
nembus pertahanan lawan de-
ngan mencari titik lemahnya,
walaupun ada juga tidak setuju
dengan arti ini. Bassai adalah
kata yang sangat tua, dan dalam
Shotokan saat ini ada dua versi
yaitu Bassai-dai dan Bassai-sho.
Kanku Aslinya bernama Kushanku
yang menurut legenda meng-
ambil nama dari seorang atase
militer Cina yang bertugas di
Okinawa. Kushanku berubah na-
ma menjadi Kanku-dai yang ber-
arti menatap langit, setelah na-
ma ini terinspirasi dari gerakan
pembukanya. Kanku adalah kata
yang paling banyak versinya
dan hampir seluruh aliran kara-
te memegang kata ini walau
dengan nama yang berbeda.
Shotokan memiliki dua versi
Kanku-dai dan Kanku-sho dimana
keduanya mempunyai tingkat
kesulitan yang cukup tinggi.
Enpi Atau kadang diucapkan Empi
berarti burung layang-layang
terbang. Menurut legenda kata
ini versi aslinya adalah Wanshu
ahli bela diri Cina yang datang
ke Okinawa. Enpi adalah kata
Shotokan yang sangat populer
dan sangat sering ditemukan
dalam turnamen.
Jion Salah satu Shitei kata (wajib) Sho-
tokan selain Kanku-dai. Jion ber-
arti kebaikan hati, pengampun-
an, kasih sayang. Ada pula yang
mengartikan Jion nama biksu
Budha, dan kenyataannya me-
mang ada biksu yang bernama
Jion. Nama kata ini tidak
berubah dan dipercaya sebagai
salah satu kata yang menunjuk-
kan karakter dari Shotokan.
Hangetsu Kata yang sangat tua ini bararti
bulan separuh dan sekaligus
mengambil dari nama kuda-
kudanya yaitu Hangetsu dachi.
Nama aslinya adalah Seishan
yang berarti tiga belas. Kata ini
berasal dari Naha dan menam-
pilkan teknik-teknik pernafasan.
Gankaku Kata yang juga sangat tua ini
berarti bangau di atas batu.
Nama ini tampaknya diambil
dari gerakan kuda-kudanya
yaitu tsuruashi dachi yang sering
mengangkat sebelah kaki. Nama
aslinya adalah Chinto yang
berarti pertempuran fajar. Kata
ini termasuk salah satu kata
yang sulit.
Jitte Berarti seolah-olah bertarung
dengan kekuatan sepuluh
orang. Nama kata ini tidak
mengalami perubahan. Menurut
legenda kata ini boleh dikerja-
kan dengan sebuah tongkat
sebagai senjata.
Sochin Berarti ketenangan hati, mem-
berikan kedamaian bagi orang
banyak, penekanan yang besar.
Salah satu kata Shotokan yang
sangat populer dan sangat se-
ring ditemukan dalam turna-
men. Nama Sochin juga diambil
dari kuda-kuda kata ini. Walau-
pun gerakannya tidak panjang,
Sochin juga termasuk kata Shoto-
kan dengan tingkat kesulitan
tinggi.
Nijushiho Berarti 24 langkah. Nama asli-
nya adalah Niseishi dan milik
Shotokan saat ini hampir mirip
dengan milik Shito-ryu. Meng-
gambarkan kekuatan air yang
kadang kuat kadang lemah.
Unsu Berarti tangan bagai menyibak
awan diangkasa. Nama aslinya
adalah Hakko dan kata ini juga
sangat tua. Versi Shotokan lebih
pendek daripada Shito-ryu yang
memegang versi asli kata ini.
Unsu adalah salah satu kata
Shotokan dengan tingkat
kesulitan yang sangat tinggi.
Meikyo Berarti cermin yang jernih atau
cermin yang terang. Nama ini
diambil dari gerakan awalnya.
Nama aslinya adalah Rohai
yang diduga berasal dari salah
satu Rohai Itosu. Kata ini sangat
jarang muncul di turnamen.
Wankan Artinya mahkota raja. Tidak
jelas mengapa diberikan nama
ini. Wankan adalah kata Shoto-
kan yang paling pendek.
Jiin Berarti halaman kuil pengam-
punan, kebaikan hati. Sama
seperti Jion dan Jitte, kata ini
mempunyai gerakan awal yang
sama. Tampak pengaruh Bud-
hisme yang kuat dalam kata ini.
Sama seperti Meikyo dan Wan-
kan, kata ini juga sudah sangat
jarang yang melatihnya.
Chinte Berarti tangan-tangan yang luar
biasa. Mengandung teknik-tek-
nik Cina yang membedakan
dengan seluruh kata Shotokan
yang lain.
Gojushiho Berarti 54 langkah. Nama asli-
nya adalah Useishi yang dalam
bahasa Okinawa juga berarti 54.
Kata ini sangat panjang dan
bersama-sama Unsu dikelom-
pokkan sebagai kata dengan
kesulitan yang tinggi. Kata ini
juga mempunyai dua versi;
Gojushiho-sho dan Gojushiho-dai
dimana dua gerakan dan embu-
sen kata ini nyaris tidak ada
perbedaan.
BAB II
TENTANG GICHIN FUNAKOSHI

Jika ada laki-laki yang dipercaya menempatkan karate


sampai dapat diterima di Jepang, dan pada posisi yang
dapat dinikmati oleh orang-orang Jepang, dialah Gichin
Funakoshi. Dilahirkan di Yamakawa Prefektur Shuri
Okinawa tanggal 10 November 1868, Funakoshi masih
memiliki garis darah keturunan keluarga samurai salah satu
bangsawan di Okinawa. Funakoshi terlahir bukan sebagai
anak yang sehat karena seringnya sakit-sakitan. Namun dari
ketekunannya mampu menjadikannya Shotokan sebagai
salah satu aliran karate yang tidak hanya empat besar di
Jepang namun terbesar di dunia.

Akibat kondisi fisiknya yang kurang baik, orang tuanya


membawanya pada Azato dan Itosu untuk belajar karate.
Selain dari mereka Funakoshi juga menerima pelajaran dari
Arakaki Seisho (yang dipercaya menemukan kata unsu) dan
Sokon Matsumura yang merupakan tokoh sentral dari tidak
hanya 4 besar aliran karate di Jepang namun juga aliran
karate lain.

Funakoshi diberikan kepercayaan oleh para tokoh bela diri


di Okinawa membawa karate ke Jepang. Sekitar tahun 1916
demonstrasi pertama karate di luar Okinawa dilangsung-
kan. Butokuden yang saat itu adalah pusat seni bela diri dan
olahraga Jepang masa itu dipilih sebagai tempat untuk
melakukan demonstrasi. Namun sayang sekali demonstrasi
itu tidak berlangsung sukses, hal itu karena kebanyakan
orang Jepang tidak tertarik dengan bela diri tangan kosong.
Karena saat itu sudah ada Naginata (bela diri bersenjata
tongkat dengan pisau tajam diujungnya) dan kendo yang
merupakan penerus dari teknik samurai.

Walau demikian tawaran demonstrasi berikutnya datang


dari calon putra mahkota negeri Jepang yang berkunjung ke
Okinawa. Dan sekitar tahun 1922 awal musim panas
Funakoshi kembali melakukan demonstrasi di Tokyo atas
prakarsa Menteri Pendidikan Jepang. Demonstrasi ini ber-
jalan sukses, Jigaro Kano (salah satu pendiri Judo) sangat
terkesan dengan demonstrasi itu dan meminta Funakoshi
tinggal di Jepang. Sejak saat itu Funakoshi tinggal di Jepang.

Selama di Jepang Funakoshi tinggal di Suidobata, sebuah


asrama kecil di Tokyo. Siang hari Funakoshi bekerja sebagai
tukang kebun dan penjaga asrama. Untuk membayar
makanannya, Funakoshi membujuk koki di asrama itu dan
sebagai ganti diajarinya karate. Dan sejak saat itu banyak
bermunculan klub karate baik di sekolah maupun
universitas. Begitu antusiasnya orang-orang Jepang berlatih
karate, sampai-sampai sulit ditemukan tempat kosong
untuk berlatih. Tiap hari diisi dengan latihan karate di
hampir seluruh pelosok Jepang.

Di Jepang langkah modernisasi karate yang dilakukan


Gichin Funakoshi diantaranya tahun 1931 pengubahan
huruf kanji karate yang sebelumnya lebih bermakna Cina
kini dengan dialek Jepang berikut huruf kanjinya namun
dengan pengucapan yang sama. Untuk penegasan
pengubahan dialek dan penulisannya, dalam bukunya
Karate-do Kyohan yang terbit tahun 1936 Funakoshi
menggunakan perubahan ini. Selain itu juga pengubahan
dan penulisan nama-nama kata yang sebelumnya masih
menggunakan dialek Okinawa. Hal itu penting dilakukan
agar karate dapat diterima oleh budaya Jepang. Selama di
Jepang pula Funakoshi menulis buku-buku yang terkenal
sampai sekarang. Setelah Karate-do Kyohan adalah buku
Karate-do Nyumon yang diterbitkan tahun 1943.

Sekitar tahun 1936 (ada yang mengatakan tahun 1937, ada


pula yang 1939) dojo yang pertama berdiri di Meishojuku.
Murid-murid Funakoshi menganugerahkan nama Shotokan
pada papan nama perguruan sebagai penghormatan dan
penghargaan pada Funakoshi. Walau demikian, sebenarnya
Funakoshi tidak pernah memberikan nama apapun pada
alirannya. Namun sayangnya dojo ini hancur karena saat itu
Jepang dilanda serangan akibat Perang Dunia II. Setelah
perang tahun 1949 pengikut Funakoshi kembali bersatu, dan
mendirikan sebuah wadah yang bernama Asosiasi Karate
Jepang (Japan Karate Association) dengan Gichin Funakoshi
sebagai instruktur kepala.

Funakoshi sangat menekankan murid-muridnya agar


menguasai teknik-teknik dasar sebelum belajar tingkat
lanjut. Adalah keyakinan Funakoshi bahwa karate adalah
seni bela diri daripada olah raga. Bagi Funakoshi kata
adalah karate. Dalam bukunya Karate-do Kyohan Funakoshi
menyatakan, ’’Beberapa anak muda antusias pada karate percaya
bahwa karate hanya bisa dipelajari lewat instruktur di dojo.
Walaupun kebanyakan dari mereka adalah orang yang mahir
teknik, tetapi bukanlah karateka sejati. Sebuah nasihat bijak
berkata bahwa semua tempat dapat menjadi dojo, dan itu berarti
setiap orang yang ingin mengikuti jalan karate tidak boleh lupa
hal ini. Karate-do tidak hanya berlatih cara membela diri tapi juga
menguasai seni untuk menjadi bagian anggota masyarakat yang
baik dan jujur.’’

Hal ini juga yang mempertegas keyakinannya untuk


mencari kesempurnaan karakter dari berlatih karate
daripada sekedar memecahkan rekor atau prestasi. Gichin
Funakoshi meninggal pada tanggal 26 April 1957.
BAB III
KARATE-DO KYOHAN

3.1. KEHILANGAN SEIKAT RAMBUT


Kelahiranku dan Restorasi Meiji
terjadi pada tahun yang sama,
1868. Para pendahulu telah
melihat hari yang “bercahaya”
di Edo, ibukota Shogun yang
sebelumnya, yang di kemu-
dian hari dikenal dengan
Tokyo. Aku dilahirkan di dis-
trik Yamakawa-cho, di ibukota kerajaan di Shuri. Jika
orang-orang kesulitan dengan catatan resminya, dia
pastilah mengira aku dilahirkan di tahun ketiga Meiji
(1870), namun kenyataan sebenarnya kelahiran-ku
terjadi di tahun pertama pemerintahan Meiji, dan aku
harus memalsukan catatan resmi kelahiranku agar
diloloskan duduk mengikuti ujian sebuah sekolah
kedokteran di Tokyo.
Di masa itu ada sebuah peraturan hanya bagi mereka
yang lahir di tahun 1870 atau sesudahnya yang
diperbolehkan untuk mengikuti ujian. Karena itu aku
tidak memiliki pilihan lain kecuali memalsukan
catatan resmi, karena lebih mudah dilakukan. Aneh,
tidak pernah pendaftaran sampai seketat seperti hari
ini.

Setelah mengubah tanggal kelahiranku, aku memba-


yangkan duduk melakukan ujian dan selanjutnya
lulus, namun (tentu saja) aku masih belum masuk ke
sekolah kedokteran Tokyo.

Diantara berbagai perubahan yang dilakukan oleh


Pemerintahan Meiji yang baru selama 20 tahun
pertamanya adalah penghapusan rambut ikat, sebuah
gaya rambut kaum laki-laki yang sudah menjadi
bagian dari kehidupan tradisional Jepang yang bahkan
lebih lama dari ingatan siapapun. Di Okinawa, rambut
ikat tidak hanya simbol dari kedewasaan dan
kejantanan tapi juga keberanian itu sendiri. Sejak
adanya pengumuman resmi pelarangan rambut ikat di
seluruh negeri, protespun bermunculan dari seluruh
pelosok negeri tanpa kecuali. Aku merasa ada sebuah
garis sejarah yang begitu kuat seperti halnya di
Okinawa.

Disinilah mereka yang percaya bahwa takdir masa


depan Jepang dibutuhkan untuk mengadopsi nilai-
nilai barat, dengan mereka yang percaya pada pihak
yang sebaliknya selalu berselisih dalam segala
perubahan yang sudah ditetapkan pemerintah. Tidak
(terasa langsung di Okinawa), namun tampaknya hal
“gila” penghapusan rambut ikat itu menimbulkan
kegemparan orang-orang Okinawa. Umumnya, orang-
orang golongan shizoku (yang mempunyai hak khusus)
pasti dengan keras menentang, sementara penghapus-
an rambut ikat yang disebut sebagai penghapusan
pajak mendapat dukungan datang dari mereka yang
termasuk golongan heimin (orang biasa). Di kemudian
hari kelompok ini dikenal dengan Kaika-to (kelompok
pencerahan) yang menjadi pendahulu Ganko-to (baca:
“Kelompok Keras”).
Keluargaku selama generasinya turun temurun telah
bekerja pada seorang pejabat golongan bawah, dan
seluruh klan tanpa ragu dan sudah jelas menentang
penghapusan rambut ikat. Seperti sebuah tindakan
sangat dibenci oleh setiap anggota keluargaku,
sekalipun demikian aku tidak merasakan suatu
perubahan atau suatu hal yang lain. Akibat tradisi
seperti keluargaku, sekolah menolak murid-murid
yang masih bergaya tradisional. Dan demikianlah,
masa depan hidupku begitu dipengaruhi oleh sebuah
rambut ikat yang begitu merepotkan.

Umumnya, tentu saja, seperti halnya yang lain, aku


harus menyesuaikan, tapi sebelum kuceritakan
bagaimana kisahnya, aku harus kembali ke beberapa
tahun sebelumnya. Ayahku Gisu adalah pejabat kecil,
dan aku hanyalah satu-satunya anaknya. Lahir
prematur, aku hanyalah bayi yang sakit-sakitan, dan
karena itu baik ayah dan keluarga orang tuaku sadar
aku tidak akan berumur panjang. Mereka memberikan
perhatian lebih padaku. Kenyataannya aku dimanja-
kan dan disayangi oleh kakek dan nenekku. Benar,
tidak lama setelah kelahiranku aku kemudian tinggal
bersama orang tua ibu, dan disana kakekku mengajar-
kan empat dan lima ajaran klasik tradisi Konfusianis –
pelajaran penting bagi anak dari golongan Shizoku.

Selama tinggal di rumah kakekku, aku mulai masuk


sekolah dasar, dan setelah suatu waktu aku menjadi
teman dekat salah seorang teman sekelasku. Dan akan
menjadi suatu takdir yang akan mempengaruhi
seluruh hidupku (dan jauh lebih mendasar daripada
rambut ikat) dimana teman sekelasku adalah anak
dari Yasutsune Azato, seorang laki-laki yang paling
menakjubkan di Okinawa sebagai ahli seni karate
terbesar.

Master Azato termasuk salah satu dari dua golongan


atas keluarga Shizoku Okinawa : Udon, yang meru-
pakan golongan tertinggi dan sama dengan daimyo
(gubernur) jika di luar Okinawa; Tonochi yang
merupakan keturunan dari pemimpin suatu kota atau
desa. Azato termasuk golongan ini, keluarganya
menempati posisi yang dihormati di desanya yang
terletak antara Naha dan Shuri. Begitu besar pengaruh
mereka hingga bahkan gubernur Okinawa tidak
menganggap mereka sebagai pengikutnya melainkan
sebagai teman dekat yang mempunyai derajat yang
sama.

Master Azato tidak hanya menguasai seluruh seni


karate seluruh Okinawa tapi juga mahir menunggang
kuda, seni pedang Jepang (kendo) dan juga memanah.
Lebih dari itu dia juga seorang terpelajar yang pandai.
Adalah keberuntunganku berhadapan dengannya dan
kemudian menerima pelajaran karateku yang pertama
lewat tangannya yang luar biasa.

Pada masa itu berlatih karate dilarang oleh peme-


rintah, karena itu latihan dilakukan di tempat yang
rahasia, dan murid-murid dilarang keras oleh gurunya
untuk berkata-kata pada siapapun bahwa mereka
sedang berlatih karate. Aku akan membahas ini lebih
lanjut berikutnya; untuk sekarang cukup diketahui
bahwa latihan karate hanya bisa dilakukan malam hari
dan rahasia.
Rumah Azato jaraknya cukup jauh dari rumah
kakekku, tempat dimana aku tinggal. Namun sejak
antusiasku pada seni ini, tidak pernah kurasakan
berjalan di malam hari terasa begitu lama. Setelah
beberapa tahun berlatih kurasakan kesehatanku
meningkat dengan pesat, dan sejak itu aku tidak lagi
menjadi anak yang sakit-sakitan seperti sebelumnya.
Aku menikmati karate, namun –lebih dari itu– aku
merasa berhutang budi pada seni bela diri ini karena
meningkatkan kesehatanku, dan sejak saat itu aku
memutuskan untuk lebih sungguh-sungguh menjadi-
kan karate-do sebagai sebuah jalan hidup.

Namun demikian, tidak terlintas pikiran dalam


benakku bahwa karate mungkin akan menjadi sebuah
pekerjaan, dan sejak kontroversi pelarangan rambut
ikat telah menjadikan pekerjaan di bidang kedokteran
menjadi pilihan yang mustahil bagiku. Sekarang aku
mulai memutuskan jalan yang lain. Sejak kupelajari
ajaran klasik Cina dari kakekku ketika masih kecil,
kuputuskan menggunakan pengetahuan itu untuk
menjadi seorang guru. Selanjutnya, Aku mengikuti
ujian dan diberikan posisi sebagai asisten guru di
sebuah sekolah dasar. Pengalaman pertamaku menga-
jar di kelas terjadi tahun 1888, ketika aku berumur 21
tahun.

Tapi rambut ikat masih saja dipermasalahkan,


sebelum aku dijinkan menjalankan tugasku sebagai
guru aku sudah harus keluar meninggalkannya. Hal
ini bagiku sebenarnya masuk akal. Jepang saat itu
masih menjadi negara yang penuh gejolak; perubahan
besar terjadi dimana-mana dalam berbagai segi
kehidupan. Aku merasa sebagai seorang guru
berkewajiban untuk menolong generasi yang lebih
muda, yang suatu hari akan menentukan takdir
negara kita, untuk menjembatani jarak yang lebar
yang memisahkan antara Jepang yang lama dan yang
baru. Aku harus bisa menjadi orang yang “mengu-
mumkan” rambut ikat tradisional kita sudah menjadi
bagian dari masa lalu. Namun demikian, aku tergetar
saat berpikir tentang apa yang akan dikatakan anggota
keluargaku yang lebih tua.
Pada masa itu, para guru mengenakan seragam resmi
(bukan seperti yang dipakai oleh murid-murid
sebelum akhir masa perang), sebuah jaket berwarna
gelap yang dikancingkan sampai dengan leher,
kancing diberi hiasan timbul sebuah bunga ceri mekar.
Tidak lama setelah memakai seragam ini, aku
memotong rambut ikatku, selanjutnya aku mengun-
jungi orang tuaku untuk memberitahukan bahwa aku
sudah dipekerjakan sebagai asisten guru di sebuah
sekolah dasar.

Ayahku benar-benar tidak dapat mempercayai penge-


lihatannya,” Apa yang telah kau lakukan pada dirimu
?” dia benar-benar marah. “Kau anak seorang samurai
!”. Ibuku bahkan lebih marah daripada ayah, menolak
untuk bicara denganku. Dia pergi meninggalkan
rumah lewat pintu belakang, dan pergi menuju rumah
orang tuanya. Aku membayangkan semua keributan
ini pasti menimpa anak-anak muda saat ini sebagai
sebuah tindakan yang paling konyol.
Dalam beberapa hal, walaupun orang tuaku sangat
keberatan, aku memasuki pekerjaan yang telah kuikuti
untuk tiga puluh tahun berikutnya. Tapi aku tidak
ingin melupakan cinta sejatiku. Aku mengajar di
sekolah selama siang hari, kemudian sejak karate
masih dilarang, dengan sembunyi-sembunyi di malam
hari menuju ke rumah Master Azato dengan mem-
bawa sebuah lentera yang redup dimana saat itu tidak
ada bulan. Setiap malam aku akan berada kembali di
rumah sebelum fajar. Para tetangga mengira-ngira
darimana saja aku dan apa saja yang telah kulakukan.
Banyak yang mengira jawaban yang mungkin dari
pertanyaan itu adalah rumah bordil.

Kenyataannya tentu saja berbeda. Setiap malam di


belakang rumah Azato sambil sang guru mengamati,
aku berlatih sebuah kata (bentuk resmi) berulang kali,
berminggu-minggu, kadang kala sampai berbulan-
bulan sampai aku berhasil menguasainya sampai
memuaskan guruku. Mengulang satu kata dengan
berulang kali sangatlah melelahkan, bahkan kerap kali
menjengkelkan dan kadang kala terkesan merendah-
kan. Berulang kali aku harus menjilat debu di lantai
dojo atau di belakang rumah Azato. Namun latihan
begitu ketat, dan tidak pernah aku dijinkan untuk
berpindah ke kata yang lain hingga Azato percaya aku
sudah benar-benar paham dengan apa yang telah
kukerjakan.

Meskipun sudah tergolong berumur, dia selalu duduk


tegak kokoh di beranda ketika kami sedang berlatih,
mengenakan sebuah hakama, dengan sebuah lentera
redup di sampingnya. Sangat sering, aku tidak mampu
melanjutkan (latihan) bahkan sampai lentera itu mati.

Sesudah mengerjakan suatu kata, aku akan menunggu


keputusan langsungnya. Keputusannya selalu saja
singkat. Jika dia masih tidak puas dengan teknikku,
dia akan berkata,”kerjakan lagi”, atau ,”sedikit lagi!”.
Sedikit lagi, sedikit lagi, begitu seringnya sedikit lagi,
sampai keringatku bercucuran dan aku hampir roboh;
Mengerjakan kata berulang kali adalah cara Azato
untuk memberitahuku bahwa masih ada yang harus
dipelajari, untuk dikuasai. Kemudian jika dia menge-
tahui apa yang aku kerjakan sudah memuaskan,
keputusannya hanya ditunjukkan dengan satu kata,
“bagus !”. Satu kata itu adalah pujian yang paling
tinggi darinya. Sampai aku bisa mendengar kata-kata
itu terucap darinya berulang kali, namun begitu aku
tidak pernah berani memintanya untuk mulai meng-
ajariku kata yang baru.

Namun setelah waktu latihan selesai, biasanya


beberapa saat sebelum fajar, dia akan menjadi seorang
guru yang berbeda. Dia akan menjelaskan esensi dari
karate, atau mirip dengan orang tua yang ramah,
bertanya tentang hidupku sebagai seorang guru di
sekolah. Ketika malam hampir berakhir, aku akan
mengambil lenteraku dan pulang ke rumah, per-
jalananku berakhir bersamaan dengan pandangan
curiga dari para tetangga.

Tidak bisa kuabaikan keadaanku saat ini sebagai


teman baik dari Azato, seorang laki-laki yang juga
dilahirkan dalam sebuah keluarga shizoku di Okinawa
dan juga dikenal pandai dalam karate itu sendiri.
Kadang-kadang aku berlatih di bawah pengawasan
dua master, Azato dan Itosu pada waktu yang
bersamaan. Dalam keadaan ini, aku akan lebih
mendengarkan pada diskusi keduanya, dengan begitu
akan kupelajari hal yang besar tentang seni ini dalam
aspek spiritual yang sama dengan aspek fisiknya.

Jika bukan karena dua master besar ini, aku akan


menjadi orang sangat berbeda hari ini. Sangat tidak
mungkin bagiku untuk menunjukkan rasa pengharga-
anku untuk mereka yang telah mengarahkanku pada
jalan yang menjadi sumber kebahagiaanku sepanjang
hidup selama delapan dekade.
3.2. SYARAT-SYARAT BAGI YANG BERLATIH
Kata "bu" dari budo (seni bela diri) ditulis dengan
huruf Cina bermakna "menghentikan" dalam sebuah
huruf yang menyerupai dua kapak menyilang yang
berarti untuk menghentikan pertentangan. Sejak
karate sebagai suatu budo, arti ini harus dipertimbang-
kan dalam-dalam, dan tinju seharusnya tidak boleh
dipakai sembarangan.

Masa muda adalah kekuatan dan keadilan. Kekuatan


dirangsang oleh bu (seni bela diri) dan itu bisa menjadi
hal yang baik atau kadang-kadang perbuatan jahat.
Dengan demikian jika karate-do diikuti dengan benar,
maka akan membentuk watak seseorang dan dia akan
membela keadilan. Tetapi jika digunakan untuk tujuan
jahat, maka hal itu akan merugikan masyarakat dan
akan bertentangan dengan kemanusiaan.

Kekerasan digunakan sebagai sebuah pilihan akhir


dimana rasa kemanusiaan dan keadilan sudah tidak
mampu mengatasi, tetapi jika tinju digunakan samba-
rangan tanpa pertimbangan, maka yang orang yang
menggunakannya akan kehilangan rasa hormat dari
orang lain dan memberikan keburukan baginya, ketika
dia melakukan tindakan seperti orang barbar.

Kebanyakan pemuda yang bersemangat tinggi pada


umumnya cenderung berbicara dan bertindak dengan
tergesa-gesa, karena itu kehati-hatian sangatlah
penting.

Seseorang harus memiliki kehormatan tanpa kekejam-


an. Seni bela diri harus memberikan seseorang akan
hal ini. Seni bela diri akan mencegah seseorang untuk
bertindak ceroboh yang tidak ada gunanya dan mem-
beri kesulitan bagi orang lain. Ahli bela diri dan orang
suci bisa kelihatan seperti orang dungu, jika mereka
dengan congkaknya menyatakan kepada dunia bahwa
mereka adalah murid pemula atau ahli bela diri.

Bertahan pada hal ini berarti kemunduran; mereka


yang berpikir telah mempelajari segalanya dan
menjadi pembual yang sombong memamerkan jasa
mereka setelah belajar gerakan beberapa kata dan
mendapatkan ketangkasan pada gerakan fisik mereka,
adalah tidak pantas untuk disebut sebagai orang yang
serius berlatih dalam seni bela diri.

Dikatakan bahwa seekor cacingpun setiap inci panjang


tubuhnya mempunyai nyawa yang hampir satu inci
pula. Dengan demikian seseorang yang terus berlatih
untuk mendapatkan kemampuan dalam karate, harus
lebih berhati-hati dengan tiap perkataannya. Sekali
lagi, dikatakan bahwa semakin tinggi pohon, semakin
kuat anginnya. Tapi apakah setiap pohon mampu
bertahan melawan angin? sama dengan orang yang
berlatih karate-do, harus menimbang sikap yang baik
dan penuh kerendahan sebagai kebajikan yang
tertinggi.

Mencius berkata, “Ketika langit (baca : Tuhan) ingin


memberikan hal yang baik kepada seseorang, per-
tama-tama dia akan memberi sakit kepada hati orang
itu; menyebabkan dia menggunakan tulang dan
ototnya; membuat badannya menderita kelaparan;
memberi kemiskinan dan mempermalukan dia. Dalam
hal ini akan membangkitkan kemauannya, memper-
kuat sikapnya dan selanjutnya dia mampu menyele-
saikan apa yang sebelumnya dia tidak sanggup
menyelesaikannya”.

Seorang laki-laki harus kesatria dan tidak pernah


mengancam; mengalahkan tapi tidak pernah meren-
dahkan; tidak ada tanda-tanda ketidakpantasan di
tempat tinggalnya; tidak pernah ada keterpaksaan
dalam kebiasaanya; sekalipun satu kesalahan kecil saja
ditegur, tidak akan menuduh siapapun. Demikianlah
kekuatan kemauannya.

Seorang laki-laki harus berpikiran luas dan berke-


inginan kuat. Tanggung-jawabnya akan berat, dan
jalan yang ditempuhnya amatlah panjang. Jadikan
kebajikan sebagai tugas sepanjang hidup. Ini benar-
benar sebuah tugas yang sangat penting. Ini adalah
usaha sepanjang hidup, benar-benar perjalanan yang
sangat panjang.
Orang biasa akan menarik pedangnya ketika situasi
yang menggelikan dan akan bertarung dengan mem-
pertaruhkan hidupnya. Seorang yang luar biasa tidak
akan terganggu sekalipun tiba-tiba berhadapan
dengan kejadian genting yang tidak terduga, juga
tidak akan marah ketika menemukan dirinya dalam
situasi yang tidak dikehendakinya, dan ini karena dia
mempunyai kebesaran hati dan cita-citanya yang
tinggi.

Delapan pokok yang penting dalam karate :


- Pikiran sama dengan bumi dan langit.
- Irama peredaran tubuh adalah mirip dengan bulan
dan matahari.
- Aturan termasuk kekerasan dan kelembutan.
- Bertindak sesuai dengan perubahan dan waktu.
- Teknik akan keluar ketika masalah sudah
ditemukan.
- “Ma” membutuhkan, memajukan dan memundur-
kan, mempertemukan dan memisahkan.
- Mata tetap waspada sekalipun pandangan berubah.
- Telinga mendengarkan dengan baik ke semua arah.
Karena itu Aku berkata : “Kenali dirimu dan lawanmu;
dalam seratus pertarungan kau tidak akan dalam bahaya.
Ketika kau abaikan lawanmu tapi kau kenali dirimu,
kesempatanmu untuk menang atau kalah adalah sama saja.
Jika kau abaikan baik dirimu dan lawanmu, maka kau
membahayakan dirimu dalam setiap pertarungan. Untuk
mendapat seratus kemenangan dalam seratus pertarungan
bukanlah kemampuan yang tertinggi. Untuk menaklukkan
lawan tanpa bertarung adalah kemampuan yang tertinggi”.

Ketika burung pemangsa akan menyerang, mereka


terbang rendah tanpa melebarkan sayapnya. Ketika
hewan buas hendak menyerang, mereka merunduk
rendah dengan telinganya dekat kekepalanya. Serupa,
dengan orang bijak ketika akan bertindak, dia selalu
terlihat lemah.

Lin Hung Nien berkata, sebuah batu tanpa air di


dalamnya adalah keras. Sebuah batu tanpa air di
dalamnya adalah padat. Jika sebuah tubuh keras
dalamnya (hatinya) dan padat (kaku) luarnya, bagai-
mana bisa ditembus ? Jika sesuatu telah membuka,
selanjutnya sesuatu itu akan diisi. Jika sesuatu memi-
liki setitik rongga, maka setitik air akan mengisinya.

3.3. PERJUMPAAN DENGAN ULAR BERBISA


Di Okinawa, ada seekor ular ganas yang sangat
beracun yang bernama habu. Syukurlah, gigitannya
tidak lagi menjadi hal yang menakutkan daripada
ketika masa mudaku, jika seseorang sampai digigit
pada tangan atau kakinya, satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan hidupnya adalah segera memotong-
nya. Sekarang sebuah obat penawarnya yang mujarab
tengah dikembangkan, tetapi harus langsung disuntik-
kan sesegera mungkin setelah gigitan. Habu dari
Okinawa, yang panjangnya enam sampai tujuh kaki
tetaplah seekor binatang buas yang harus dihindari.

Kembali ke masa lampau sebelum dikembangkannya


obat penawar, pada suatu malam aku pergi ke rumah
Master Azato untuk waktunya berlatih karate. Ini
terjadi beberapa tahun sesudah pernikahanku, dan
aku meminta anakku yang tertua yang masih di
sekolah dasar menemaniku dengan membawa lentera
kecil yang akan menerangi jalan yang akan kami lalui
di pulau ini pada malam hari.

Ketika kami berjalan melewati Sakashita, antara Naha


dan Shuri, kami melewati sebuah kuil tua yang
dibangun untuk menghormati dewa kuno dan untuk
menyembah Dewi Pengampun, yang dalam Jepang
moderen disebut Kannon. Baru saja kami melewati
kuil, aku melihat samar-samar di tengah jalan sebuah
benda yang pada mulanya aku kira kotoran kuda.
Tetapi seiring kami berjalan semakin dekat aku sadar
bahwa apa yang telah kulihat dalah sesuatu yang
hidup, dan tidak sekedar hidup melainkan juga
bersiap menyerang, menatap marah pada dua
pengganggu.

Ketika anakku melihat dua mata yang tajam berkilau


dimalam hari, dan lalu diterangi cahaya lentera, lidah
merah yang tajam menjulur keluar, dia menjerit
ketakutan dan melompat kearahku sambil memegang
kakiku dalam ketakutannya. Dengan cepat kusembu-
nyikan dia di belakangku, kuambil lentera darinya
dan mulai mengayunkannya pelan-pelan dari kanan
ke kiri, menerangi mataku untuk mengawasi ular itu.

Aku tidak mampu, tentu saja, mengatakan berapa


lama kejadian ini berlangsung, tetapi akhirnya ular itu
tetap menatapku, berjalan menyusur ke kegelapan
kebun kentang terdekat. Itulah saat satu-satunya aku
dapat melihat betapa besar dan panjangnya habu itu.

Sebelumnya aku sudah sering melihat habu, tapi tidak


hingga malam itu kulihat satu ekor yang bersiap
menyerang. Sebagaimana yang diketahui orang-orang
Okinawa tentang sifat ular yang berbahaya ini, aku
sangat ragu jika ular ini akan menyingkir dengan
begitu tenang, begitu tunduk tanpa membuat suatu
serangan. Dengan sangat takut kupegang lentera di
depanku saat aku berjalan mengendap-endap ke
kebun mencari ular tadi.

Kemudian aku menemukan dua mata yang bersinar


terkena cahaya lentera dan aku sadar ternyata habu
tadi memang benar sedang menungguku. Dia sudah
menyiapkan jebakannya dan sekarang menungguku
untuk memasukinya. Untunglah begitu melihatku
dengan lentera yang mengayun ini, ular itu
membatalkan serangannya dan saat ini menyingkir
demi kebaikannya ke dalam kegelapan kebun itu.

Tampaknya aku telah mendapat pelajaran yang


penting dari ular itu. Ketika kami melanjutkan
perjalanan menuju rumah Master Azato, aku berkata
pada anakku, “Kita semua tahu bahayanya habu.
Tetapi saat ini hal itu tidak membahayakan. Habu yang
telah kita jumpai tampaknya memahami taktik dari
karate, dan ketika dia menyusur ke dalam kebun itu
bukanlah melarikan diri dari kita. Dia sedang mem-
persiapkan sebuah serangan. Habu itu mengerti dengan
sangat baik semangat karate”.
BAB IV
KARATE-DO NYUMON

4.1. KISAH PEMABUK DAN PEDAGANG TUA


Di masa lalu adalah wajar jika
sejarah dihiasi dengan kisah
tentang bela diri, meskipun
akhirnya cerita-cerita itu ha-
nya berakhir menjadi sebuah
mitos belaka. Sebagai contoh-
nya, sebuah kejadian yang ter-
jadi di Cina di masa lampau.

Di sebuah festival yang dipadati banyak pengunjung,


saat itu orang-orang sibuk memadati tenda-tenda
pedagang yang berwarna-warni. Mereka asyik melihat
barang-barang yang tengah dijajakan pedagang seperti
makanan, pakaian, mainan, perhiasan dan kembang
api. Tiba-tiba sebuah teriakan memecah di tengah
keramaian.
“Perkelahian! Ada orang akan berkelahi!”
“Tidak! pasti pertarungan antara orang-orang kenpo
itu lagi.”

Orang-orang segera berkumpul demi menyaksikan


perkelahian itu. Anak-anak muda yang penasaran
menerobos kerumunan agar bisa melihat keributan itu
dari dekat. Sebaliknya, wanita dan anak-anak yang
menangis ketakutan berusaha menjauh dari tempat
itu.

Di tengah kerumunan berdiri satu sosok menakutkan,


jenggotnya yang tebal dan hitam berkilauan diterpa
sinar matahari. Wajahnya memancarkan amarah
karena pengaruh minuman arak. Master Yang yang
terkenal rupanya sedang mabuk dan membuat ma-
salah lagi. Dengan amarah yang mendidih, dia tengah
mendorong dan menyudutkan seorang pedagang tua
berambut putih yang sedang menjual bawang.

Khawatir dengan nyawa orang tua itu, orang-orang


menunggu dan berharap agar ada seseorang untuk
maju dan menyelamatkannya. Namun semua orang
sudah tahu jika Master Yang adalah pemarah yang
menutup telinga untuk alasan apapun. Karena itulah
tidak ada seorangpun yang berani maju mendekat.
Sambil menonton mereka hanya bisa berbisik-bisik
satu sama lain. Sebagian dari mereka merasa kasihan
dengan orang tua itu, sementara yang lain penasaran
apa yang bakal terjadi pada pria tua malang itu.
Namun anehnya pedagang tua itu tampak benar-
benar tenang.

Dengan sedikit terhuyung-huyung dan terbatuk-batuk


karena sakit asmanya, dia menyeringai dan berkata,
”jika kau merobohkanku sekarang, hal itu tak akan
menyelesaikan apapun. Jika bertarung adalah yang
kau inginkan, aku juga tak keberatan. Kau benar-benar
bermulut besar, namun kalau banyak omong saja
siapapun juga pandai. Nah, bisakah kita mulai?”.

Pria tua itu terbatuk-batuk sambil meregangkan


badannya, menunjukkan kesiapannya menghadapi
lawan yang bertubuh jauh lebih besar. Para penonton
hanya terpaku menyaksikannya.

Mereka berbisik-bisik,
“orang tua itu pasti sudah tidak waras! Tidakkah dia
tahu tengah menghadapi Master Yang?”.
“Kelihatannya tidak begitu, apalagi dia sudah dengan
jelas mengatakan apa yang akan dilakukannya.”
“Orang tua itu pastilah orang asing dari sekitar sini,
setidaknya aku belum pernah melihatnya sebelum
ini.”

Disamping reputasi Master Yang memang buruk, dia


sudah terkenal sebagai ahli kenpo yang juga mahir
senjata tongkat dan tombak. Dia mempunyai lebih
dari seratus murid, dan menjadi tokoh utama dalam
banyak kisah yang menceritakan kekuatannya. Be-
berapa diantaranya mengisahkan bahwa Master Yang
pernah merobohkan seekor kuda yang tengah berlari
kencang dengan memberikan pukulan pada hidung-
nya.
Sementara yang lain menceritakan Master Yang mam-
pu menebas dan mengayunkan sebilah pedang besar
yang beratnya tidak kurang dari 20 kilogram seolah
tidak memegang apapun. Dia juga mampu meremuk-
kan 10 tumpuk genting dengan tangan kosong.
Kesombongan dan kegemarannya minum-minum
membuat namanya menjadi buruk, namun kekuatan-
nya yang besar serta kemahirannya dalam pertarung-
an membuatnya ditakuti sekaligus dihormati di
seluruh kota.

Orang-orang yang memadati tempat itu benar-benar


terkesan dengan reaksi berani dari pedagang bawang
yang sudah tua itu. Master Yang sendiri merasa
terkejut, namun sesaat kemudian kemarahan sudah
menguasainya lagi.

“Dasar orang tua bodoh! sebelumnya aku berpikir


akan mengampuni nyawamu, namun pikiranku telah
berubah. Persiapkan dirimu. Aku, Master Yang akan
mengirimkan mayatmu ke kuburan!”.
Dengan sebuah kiai (teriakan) yang sangat keras, dia
segera melayangkan tinjunya ke kepala orang tua itu.
Tenaga dan kemarahan serangannya mirip dengan
amukan Raja Deva yang bertubuh raksasa. Orang-
orang yang berkerumun hanya bisa menahan napas,
menunggu hancurnya tulang kepala orang tua itu.

Dengan gerakan yang perlahan, orang tua itu meng-


hindar ke kiri, berdiri dengan tenang dan sedikit
menyeringai seolah tidak terjadi apa-apa.

Master Yang kehilangan keseimbangan karena serang-


annya sendiri dan jatuh terjerembab dengan wajahnya
mendarat lebih dulu di tanah. Dia segera bangkit
dengan kebingungan dan wajah yang menakutkan.
Dia kembali melayangkan tinju yang mampu meng-
hancurkan rumah dengan perut lawan sebagai sasa-
rannya.

Beberapa penonton menutupi matanya, hingga tidak


mampu melihat pemandangan di depannya. Namun
wajah pria tua itu seakan tak peduli seiring diterima-
nya pukulan yang penuh tenaga itu. Ini terlihat dari
mimik mukanya yang sama sekali tidak berubah
walaupun sejenak. Dia tetap berdiri di tempatnya,
tetap menyeringai dan tersenyum lebar di mulutnya.

Master Yang ketakutan melihat tinjunya masih


tertahan di perut lawannya. Akibat tidak mampu
memukul lebih dalam atau menarik kembali tinjunya,
dia terlihat mirip dengan seekor lalat yang terperang-
kap di perekat. Mengepakkan sayapnya demi ber-
usaha melepaskan diri. Penonton yang menyaksikan
hal itu hanya memandang dengan kagum. Mereka
tidak pernah melihat kejadian seperti ini sebelumnya.

Jika dilihat lebih dekat, terlihatlah tinju Master Yang


yang besar itu dijepit dalam lipatan perut orang tua
itu. Master Yang dengan kekuatan yang tidak terka-
lahkan, berdiri dengan keringat bercucuran. Tinjunya
ditangkap, wajahnya berubah merah dibakar amarah,
dia berusaha melawan dan meronta-ronta demi
mencari kesempatan. Sampai akhirnya, Master Yang si
pemabuk yang terkenal angkuh berhasil ditundukkan
dalam rasa malunya. Terjatuh pada kedua lututnya,
dia bersujud berkali-kali sambil berkata, ”Master! aku
telah gagal menyadari ada seorang ahli seperti Anda,
hingga aku bertindak begitu bodoh. Mulai sekarang
aku akan lebih berhati-hati dan menghormati orang
lain. Aku sungguh-sungguh memohon ampun
padamu”.

Melihat lawannya penuh penyesalan, orang tua itu


berkata, ”baiklah jika kau sudah benar-benar menger-
ti. Kau sudah terkenal sebagai seorang yang sombong
dan pembual. Jangan lupa dunia ini begitu luas.
Berhati-hatilah dengan dirimu, berhati-hati dalam
ucapan dan tindakanmu”.

Orang tua itu meregangkan kembali otot-otot perut-


nya dan Master Yang terduduk di tanah dengan
beratnya. Orang tua itu lalu melangkah dan mengam-
bil karungnya yang berisi bawah putih. Sambil
terbatuk-batuk diapun pergi meninggalkan lingkaran
penonton yang mengerumuninya.
4.2. MENYADARI SEBUAH OMONG KOSONG
Aku merasa perlu disini sejak awal, untuk memberi-
kan sebuah ulasan singkat tentang apakah sesuatu itu
adalah karate atau bukan, sejak begitu banyaknya
tulisan omong kosong tentang hal ini sekarang.
Kemudian, bersamaan ketika kesempatan itu datang
aku bermaksud memperjelas apakah karate itu pada
kenyataannya. Namun sebelum menjelaskan lebih
jauh, aku hanya dibenarkan untuk menyingkirkan
beberapa konsep keliru yang terus mengaburkan
esensi dari seni ini.

Suatu ketika, sebagai contoh, aku mendengar seseo-


rang yang berprofesi sebagai seorang ahli (bela diri)
bercerita pada pendengarnya yang terkesima, ”Dalam
karate kita memiliki kata yang disebut nukite. Hanya
menggunakan lima jari dari satu tangan, seseorang
dapat menembus ke dalam tulang rusuk lawannya,
memegang tulang-tulangnya dan menarik keluar dari
tubuhnya. Ini, tentu saja, ”orang yang disebut sang
ahli melanjutkan”, sebuah kata yang amat sulit untuk
dikuasai. Seseorang harus berlatih untuk itu dengan
menusukkan jari-jari ke dalam satu bejana penuh
berisi kacang setiap hari selama berjam-jam, hingga
ratusan kali. Awalnya jari-jari akan terluka karena
latihan, dan tangan akan berdarah. Kemudian, lama-
lama darah membeku, bentuk jari-jari akan berubah
aneh.”

“Umumnya rasa sakit akan menghilang. Kemudian


kacang di dalam bejana harus diganti dengan pasir.
Untuk pasir tentu saja lebih keras dan jari-jari akan
menghadapi tantangan yang lebih keras. Meski begitu,
sejalan dengan proses latihan, jari-jari biasanya
menembus pasir dan mencapai dasar bejana. Setelah
berlatih dengan pasir, latihan dilanjutkan dengan batu
kerikil. Sampai disini setelah latihan yang lama baru-
lah keberhasilan dicapai. Akhirnya berlatih dengan
butir logam. Pada akhirnya dengan latihan yang lama
dan keras, jari-jari akan menjadi cukup kuat tidak
hanya untuk menghancurkan papan kayu yang tebal
namun juga menghancurkan sebuah batu keras atau
meremukkan tubuh seekor kuda”.
Tidak diragukan lagi kebanyakan dari mereka men-
dengar akan hal ini menjadi percaya begitu saja.
Banyak dari mereka yang berlatih karate masih saja
memilih, untuk satu atau alasan yang lain, percaya
pada mitos semacam itu. Sebagai contoh, seseorang
yang tidak begitu paham dengan seni karate berkata
pada seorang yang mahir, ”aku tahu kau berlatih
karate. Tunjukkan padaku, apakah kau benar-benar
bisa menghancurkan sebuah batu besar dengan jari-
jarimu? Bisakah kau benar-benar melubangi perut
orang dengan tanganmu ?”.

Haruskah sang ahli menjawab apakah salah satu atau


kedua-duanya dari aksi itu benar-benar mungkin, dia
akan mengatakan tidak lebih dari kebenaran yang
sesungguhnya. Namun ada beberapa ahli atau orang
yang menganggap dirinya ahli mengangkat bahu
dengan entengnya dan berkata, ”Yah, kadang-kadang
aku bisa melakukannya”. Hasilnya, orang awam akan
salah paham dan benar-benar terpengaruh tentang
seni karate. Mereka akan penasaran antara takut dan
takjub, mungkinkah si ahli telah mendapatkan keku-
atan diluar batas manusia biasa.

Kenyataannya para antusias karate yang begitu berle-


bihan dan benar-benar menyesatkan tentang seni bela
diri ini adalah orang yang pandai bicara, cukup benar,
dan dia akan benar-benar berhasil memberi takjub
pendengarnya dan meyakinkan mereka bahwa karate
adalah sesuatu yang menakutkan. Namun apa yang
dikatakannya adalah benar-benar keliru, dan lebih
jauh dia mengetahuinya. Sebagaimana mengapa dia
melakukannya –terdengar menarik.

Barangkali, jauh di masa lampau, ada seorang ahli


karate yang mampu melakukan aksi menakjubkan
seperti itu. Tentang hal itu aku tidak mampu
membuktikan, namun aku dapat meyakinkan para
pembaca sejauh pengetahuanku. Tidak ada manusia
yang pernah hidup dimana, sekalipun dia mungkin
saja telah berlatih dan terlatih, mampu melampaui
kekuatan manusia secara alami.
Ada juga ahli yang selalu mengatakan, ”Dalam
karate,” mereka berkata, “Sebuah pegangan yang kuat
adalah penting. Untuk mencapainya seseorang harus
berlatih selama berjam-jam. Cara terbaiknya adalah
menggunakan ujung-ujung jari dan kedua tangan,
untuk mengangkat dua ember timba yang berat, lebih
baik jika berisi penuh dengan sesuatu seperti pasir,
dan mengayunkan memutar berulangkali. Seseorang
yang yang telah memperkuat pegangannya sekuat
mungkin dengan cara ini mampu menarik daging
lawan keluar dengan mudah dari tulangnya”.

Benar-benar omong kosong! suatu hari orang seperti


ini datang ke dojoku dan menawarkan untuk mengaja-
riku bagaimana menarik daging keluar dari tulangnya.
Aku memohon padanya untuk menunjukkannya
padaku, akan tetapi meledaklah tawaku ketika dia
setidaknya berhasil mencubit sedikit kulitku bahkan
tanpa meninggalkan bekas biru atau kehitaman.

Sekarang, sudah tidak diragukan lagi bahwa pegang-


an yang kuat adalah keuntungan besar bagi para
praktisi karate. Aku ingat dengan seorang laki-laki
yang sanggup memutari rumahnya di Okinawa
dengan bergantung di sepanjang atap. Tidak bermak-
sud melebih-lebihkan, sejak orang-orang menyadari
bagaimana bentuk rumah-rumah di Okinawa.

Aku telah melihat sendiri bagaimana Master Itosu


meremukkan batang bambu tebal dengan tangan
kosongnya. Ini mungkin saja tampak sebagai atraksi
yang luar biasa, tapi adalah keyakinanku jika pegang-
annya yang luar biasa kuat adalah anugerah yang
sudah alami, tidak hanya diperoleh lewat latihan,
untuk memperoleh kekuatan yang luar biasa, dia
hanya dapat sekuat itu dan tidak akan lebih jauh lagi.
Ada batas kekuatan fisik manusia yang tidak seorang-
pun mampu melampauinya.

Sementara benar bahwa ada seorang ahli karate yang


mempunyai tenaga untuk memecahkan sebuah papan
yang tebal, atau beberapa lapis genteng dengan sekali
serangan tangannya, Aku menjamin pada para pemba-
caku bahwa setiap orang mampu melakukan hal yang
sama setelah melalui latihan yang cukup. Tidak ada
yang luar biasa dari hal semacam itu.

Sesuatu yang juga tidak menunjukkan dari semangat


karate sejati; adalah sekedar demonstrasi dari kekuat-
an seseorang yang didapat melalui berlatih. Tidak ada
yang misterius tentang itu. Sering aku ditanya oleh
orang-orang yang tidak tahu dengan karate, apakah
peringkat yang didapat orang yang berlatih bergan-
tung dari jumlah genteng atau papan yang berhasil
dihancurkannya dalam sekali serangan tangannya.
Tentu saja, dalam hal ini tidak ada hubungan antara
keduanya. Sejak karate sebagai salah satu seni bela diri
yang telah diperbaiki.

Beberapa orang yang berlatih karate yang bermulut


besar tentang berapa banyak papan atau genteng yang
bisa dipecahkannya dengan tangan kosong, atau me-
nyatakan mampu menarik daging dari tulangnya atau
menarik tulang dari tubuh, adalah orang yang tahu
sedikit saja tentang apakah karate itu sesungguhnya.
BAB V
KARATE-DO “MY WAY OF LIFE”

5.1. KEBANGGAAN YANG MEMBAHAYAKAN


Suatu sore, saat baru saja kulewati
usiaku yang ketiga puluh, aku ber-
jalan pulang dari Naha ke Shuri.
Jalan yang kulalui begitu sepi dan
semakin sepi setelah melewati Kuil
Sogenji. Sepanjang jalan di sebelah
kiri terbentang sebuah pemakam-
an, dan di dekatnya terdapat sebuah kolam besar yang
jauh di masa lalu digunakan para pendekar untuk
memberi minum kudanya.

Di samping kolam ada sebidang tanah kosong dengan


sebuah panggung dari batu di tengah-tengahnya;
disinilah anak-anak muda Okinawa datang untuk
menguji kekuatannya dalam pertarungan gulat. Tidak
seperti biasanya, saat aku lewat beberapa anak muda
tengah melakukan pertarungan gulat.
Seperti yang telah kutulis sebelumnya, gulat Okinawa
sangatlah berbeda dengan apa yang dikerjakan di
Jepang. Aku sangat gemar dengan olah raga itu dan
(harus kuakui) mempunyai cukup rasa percaya diri.
Aku berdiri dan mengamati untuk sejenak.

Kemudian tiba-tiba salah satu dari mereka berteriak


padaku,
“Hei kau! Kemari dan cobalah! Kecuali tentu saja kau
takut”.
“Benar!” teriak yang lain. “Jangan hanya berdiri dan
melihat saja. Itu sangat tidak sopan!”.

Aku benar-benar tidak ingin mencari masalah, karena


itu aku berkata,
“maafkan aku, tapi aku harus pergi sekarang,” dan
mulai melangkah pergi.

“Oh tidak, kau tidak bisa pergi begitu saja!” Bersamaan


dengan itu sepasang anak muda berlari mengejarku.

“Melarikan diri?” ejek salah satu dari mereka.


“Apa kau tidak punya sopan santun?” yang lain
bertanya.

Bersama-sama keduanya meraih bajuku dan menye-


retku ke panggung batu itu. Disana tengah duduk
seorang laki-laki yang tampak lebih tua yang kupikir
bertindak sebagai wasit –dan mungkin pegulat yang
terkuat di kelompok ini. Tentu saja aku bisa meng-
gunakan kemampuan yang kumiliki dan melarikan
diri tanpa perlu kesakitan, namun kuputuskan untuk
bergabung dalam olah raga itu. Pertarungan pertama-
ku, dengan yang terlihat paling lemah dari semuanya.
Aku menang mudah. Anak muda yang kedua juga
menjadi korban yang mudah. Dan begitu pula yang
ketiga, keempat dan kelima.

Sekarang hanya tersisa dua laki-laki, salah satunya


adalah wasit, dan keduanya terlihat seperti lawan
yang tangguh.
“Baiklah,” kata si wasit dengan sebuah anggukan
pada yang lain, “sekarang tiba giliranmu. Apa kau
siap bertarung dengan orang asing ini?”.

“Aku takut tidak dapat bertarung lagi,” aku menja-


wab. “aku rasa sudah cukup, dan aku juga yakin tidak
akan menang. Permisi”.

Namun mereka mendesakku. Lawanku yang berikut-


nya dengan pandangan marah, mencengkram tangan-
ku hingga aku tidak punya pilihan untuk bertarung.
Pertarungan ini juga menjadi milikku, dan dalam
waktu yang cepat.

”Sekarang aku benar-benar harus pergi,” aku berkata.


“Terima kasih. Permisi”.

Kali ini, tampaknya alasanku diterima. Namun saat


aku mulai beranjak pergi menuju ke arah Shuri, aku
mempunyai sebuah firasat akan terjadi sesuatu di
tengah perjalanan. Dan ternyata aku benar, belum
seberapa jauh kudengar suara di belakangku.
Beruntung bagiku, sebelumnya saat meninggalkan
Naha, aku sudah menyiapkan sebuah payung yang
membantuku saat hujan.

Sekarang hujan telah berhenti, aku menggunakan


payung itu sebagai tongkat untuk berjalan; ternyata
payung itu juga berguna. Selanjutnya kuputuskan
menggunakan payung itu sebagai senjata untuk mem-
bela diri, karena itu aku membukanya dengan cepat
dan mengarahkannya kebelakang kepalaku untuk
menghindari sebuah serangan dari belakang.

Baiklah, aku tidak akan membuat panjang cerita ini.


Sekalipun ada tujuh atau delapan orang dalam
kelompok itu, aku berhasil menghindari seluruh
serangan yang ditujukan padaku, sampai akhirnya
kudengar suara dari laki-laki yang lebih tua berkata,
“Siapa laki-laki ini? Tampaknya dia tahu karate”.

Seranganpun dihentikan. Mereka berdiri mengelilingi-


ku sambil menatap dengan marah, namun tidak ada
serangan lagi begitu juga usaha untuk menghentikan-
ku untuk meneruskan perjalanan lagi. Saat berjalan
kembali kubaca sebuah sajak kesukaanku sambil
mendengarkan suara gerakan yang mencurigakan,
namun tak ada siapapun.

Saat aku tiba di Shuri, aku dipenuhi dengan penyesal-


an yang dalam. Kenapa aku harus terlibat dengan
pertarungan gulat itu? Aku bertanya pada diriku,
apakah hal itu hanya rasa ingin tahu belaka? Namun
jawaban yang sebenarnya memasuki pikiranku : hal
itu terjadi karena aku begitu percaya diri dengan
kekuatanku. Pendeknya, hal itu adalah kebanggaan
semata. Hal itu sebuah ejekan pada semangat karate-
do, dan aku merasa sangat malu. Sekalipun kucerita-
kan kisah itu sekarang, setelah bertahun-tahun kemu-
dian, aku masih merasa sangat malu.
5.2. SEORANG PRIA SEDERHANA
Saat aku masih bekerja sebagai seorang asisten guru di
sebuah sekolah di Naha, dalam sehari aku harus
berjalan kaki dua setengah mil sebanyak dua kali,
karena aku dan istriku tinggal di rumah orang tuanya
di Shuri. Suatu hari ada pertemuan guru yang berlang-
sung cukup lama, karena itulah aku terlambat saat
kembali pulang, dan tidak berapa lama hujanpun
turun. Akupun memutuskan untuk “menghambur-
kan” uangku dengan menyewa sebuah jinriksha (sema-
cam becak seperti di Cina yang ditarik menggunakan
tenaga manusia).

Untuk menghabiskan waktu, kubuka sebuah perca-


kapan dengan penarik jinriksha itu. Dan kutemukan
hal yang cukup mengejutkan, bahwa ternyata dia
memberikan jawaban yang sangat singkat dari semua
pertanyaanku. Biasanya penarik jinriksha sangat suka
diajak bicara seperti layaknya tukang cukur. Lebih
jauh, nada bicara dan suara penarik jinriksha ini
terdengar sangat sopan, dan bahasanyapun menun-
jukkan orang yang cukup berpendidikan.
Saat itu di Okinawa saat itu ada dua macam jinriksha,
yaitu hiruguruma (jinriksha yang berjalan di siang hari)
dan yoruguruma (jinriksha yang berjalan di malam
hari). Aku cukup mengetahui bahwa beberapa penarik
jinriksha di malam hari adalah orang baik-baik.

Aku penasaran, mungkinkah laki-laki yang tengah


menarikku malam ini menuju ke Shuri adalah sese-
orang yang kukenal? Jika benar demikian, tentu
uangku akan ditolaknya. Namun demikian, masih ada
pertanyaan yang ingin kucari jawabannya. Namun itu
tidaklah mudah, karena pria itu mengenakan topi
yang tepinya cukup lebar, yang membuat wajahnya
selalu tersembunyi dariku.

Karena itulah, kubuat rencana dengan berpura-pura


yang memungkinkanku dapat mengetahui siapa orang
ini. Aku memintanya menghentikan jinriksha sebentar
dengan begitu aku mungkin mendapatkan jawaban-
nya. Ketika dia menurunkan penarik roda ke tanah,
aku mendapatkan kesan yang jelas bahwa dia bukan-
lah penarik jinriksha biasa. Namun saat aku turun dan
mencoba mengintip wajahnya, dengan cepat dia
memutar kepalanya. Namun masih ada hal lain yang
mengganjal, aku serasa begitu kenal dengan tinggi
badan dan tubuhnya yang ramping.

Tidak berapa lama hujan berhenti, dan bulan yang


berwarna pucatpun muncul dari balik awan. Setelah
rasa lelah kupulihkan, akupun kembali ke jinriksha
sambil mencoba melihat lagi melihat ke wajah laki-laki
itu, yang ternyata ditutupinya lagi.

Sedikit kesal dengan kegagalanku, aku mencoba ren-


cana lain yang kuyakini akan berhasil. “Kita sudah
menempuh jarak yang cukup jauh, mengapa kita tidak
berjalan saja sebentar?”.

Pria itu setuju, namun aku kembali tidak berhasil,


karena dia menolak berjalan di sampingku. Dia selalu
berjalan tertinggal satu atau dua langkah di bela-
kangku. Tiba-tiba di sebuah persimpangan jalan aku
berbalik arah sambil meraih gagang penarik dari
jinriksha itu, dan dalam waktu yang bersamaan kucoba
melihat wajahnya. Namun demikian, secepat apapun
aku, pria itu ternyata masih lebih cepat saat dia
menarik topinya dalam-dalam.

Benar, begitu cepat, reaksinya membuatku sekarang


benar-benar yakin bahwa dia bukanlah penarik
jinriksha biasa. Kenyataannya, aku sangat yakin meng-
enalnya. Kulepas topiku sambil berkata, “Maafkan jika
aku bertanya, tapi bukankah Anda Tuan Sueyoshi?”.

Dia tampak terkejut, namun menjawab dengan jelas,


“Bukan”.

Kamipun berdiri selama beberapa saat dalam sebuah


kebisuan. Aku meraih jinriksha itu, dia menundukkan
pandangannya ke tanah. Wajahnya tersebunyi di balik
topinya yang lebar dan turun hingga kelututnya.
Aku tahu ternyata tidak salah mengenalinya. Dia
benar-benar Sueyoshi. Kuraih tangannya sambil mem-
bantu menegakkan tubuhnya. Akupun lalu berlutut
sambil menyebutkan namaku, dan aku juga memohon
maaf padanya atas penasaran dan ketidaksopananku.
Aku sangat mengetahui bahwa dia berasal dari sebuah
keluarga golongan atas yang juga merupakan penerus
dari pendekar, dan dia juga seniorku dalam karate-do.
Lebih jauh, diapun tercatat sebagai ahli seni tongkat
dan dikemudian hari mendirikan perguruan bojitsu-
nya sendiri.

Namun sekarang ini, tentu saja, dia tengah menarik


jinriksha yang tengah kutumpangi. Berjalan sedikit
demi sedikit ke Shuri, kami bercakap-cakap dengan
akrab tentang karate dan seni tongkat.

Kemudian, karena sungguh merasa malu akibat telah


kuketahui jati dirinya, dia memintaku untuk tidak
mengatakan pada siapapun bahwa dia sedang bekerja
sebagai penarik jinriksha. Dia juga berkata padaku
bahwa istrinya tengah sakit dan terbaring di tempat
tidur. Dan untuk menghidupi istri, diri sendiri, dan
membeli obat yang dibutuhkannya, dia bekerja seba-
gai petani di siang hari dan malamnya menarik
jinriksha.
Bicara masalah nama besar dan keberuntungan,
sesungguhnya dia telah memilikinya. Tapi mungkin
demi uang dia harus bekerja yang dirasakannya akan
merendahkan martabatnya. Apa yang dilakukannya
dalam hal ini serupa dengan ungkapan “setiap inci
dari seorang samurai”. Dan caranya yang tangkas
dalam menarik jinriksha menunjukkan keahliannya
dalam seni bela diri. Meskipun dia meninggal tidak
lama setelah aku pindah ke Tokyo, aku tidak pernah
lupa menghabiskan sore itu bersamanya. Bagiku dia
telah menunjukkan perwujudan dari semangat samu-
rai yang sempurna.

5.3. BERLATIH HIDUP – MELAWAN TOPAN


Barangkali akan lebih rendah hati jika membiarkan
orang lainlah yang menceritakan perbuatan kepah-
lawanan seorang anak muda ini daripada aku lakukan
sendiri. Tetapi hasilnya aku menelan rasa malu, aku
disini untuk menjelaskan kalimat dari Yukio Togawa,
pengarang, yang tidak bertanggung-jawab dengan
menjamin kepada para pembaca bahwa kejadian yang
diceritakannya memang benar-benar terjadi. Para
pembaca dapat merasakan suatu hal yang gila, tetapi
aku tidak menyesal.

“Langit yang di atas” tulis Tuan Togawa, “berwarna


hitam, dan dari sana muncul angin melolong yang
menyapu bersih apapun yang berdiri dijalannya.
Gudang yang besar bagaikan ranting pohon yang
ditarik, debu dan batu kerikil beterbangan ke udara,
menyengat wajah seorang pemuda”.

“Okinawa dikenal sebagai pulaunya angin topan, dan


kekejaman badai tropis ini sulit untuk dijelaskan.
Untuk melawan serangan angin ganas yang melanda
pulau ini setiap tahunnya, selama musim badai
rumah-rumah di Okinawa dibangun merendah dan
sekuat mungkin. Rumah-rumah itu selain dikelilingi
tembok batu yang tinggi, pada genting di atapnya juga
masih dilindungi dengan batu. Tetapi angin yang
berhembus memang sungguh luar biasa (kadang-
kadang kecepatannya bisa mencapai seratus mil
perjam) yang masih saja menggetarkan rumah-rumah,
walaupun sudah ada tindakan pencegahan sebelum-
nya”.

“Pada suatu angin topan aku ingat, semua orang di


Shuri berkumpul bersama-sama di rumah mereka
masing-masing. Berdoa agar angin topan itu segera
lewat tanpa meninggalkan kerusakan yang besar.
Tidak, ternyata aku salah ketika berkata semua orang-
orang Shuri berkumpul di rumah : ternyata ada seo-
rang anak muda, di atas atap rumahnya di Yamakawa-
cho, yang bermaksud melawan angin topan itu”.
“Setiap orang yang melihat anak muda yang sendirian
ini pastilah akan menyimpulkan bahwa dia sudah ke-
hilangan akal sehatnya. Hanya memakai pakaian
hingga sebatas pinggangnya, dia berdiri di atas gen-
ting atap rumahnya yang licin dan dipegang oleh
kedua tangannya, sebuah tatami (tikar jepang dari
jerami) untuk melindungi tubuhnya dari angin yang
melolong. Pasti dia telah jatuh ketanah berkali-kali,
hampir disekujur tubuhnya yang telanjang telah
berlumuran lumpur”.
“Anak muda itu tampaknya berumur sekitar dua
puluh tahun, atau bahkan mungkin lebih muda.
Ukuran tubuhnya kecil, tidak sampai lima kaki, tetapi
bahunya besar dan otot-ototnya terlihat kekar. Ram-
butnya disisir seperti gaya seorang pegulat sumo,
dengan sebuah jambul dan sebuah peniti perak,
menandakan bahwa dia termasuk golongan shizoku”.
“Tetapi ini bukanlah hal yang penting. Yang menarik
adalah ekspresi di wajahnya ; mata yang terbuka lebar,
berkilau dengan sorot yang aneh, keningnya melebar,
kulit yang memerah seperti tembaga. Dia mengatup-
kan giginya ketika angin itu bertiup ke arahnya, dia
mengeluarkan sebuah aura yang berkekuatan luar
biasa. Ada yang bilang anak muda ini adalah salah
satu pengawalnya raja-raja Deva”. “Sekarang anak
muda di atas atap itu menurunkan posisi badannya,
mengangkat tikar jerami itu melawan angin yang
mengamuk.

Kuda-kuda yang dilakukannya sangat mengesankan,


dia berdiri mengangkang seolah-olah sedang menung-
gang kuda. Benar, setiap orang yang tahu karate dapat
dengan cepat mengetahui anak muda itu sedang
melakukan kuda-kuda menunggang kuda, kuda-kuda
yang paling stabil diantara semua kuda-kuda karate.
Dan dia menggunakan angin topan itu untuk mem-
perbaiki tekniknya, dan lebih jauh lagi untuk memper-
kuat tubuh dan pikirannya. Angin menabrak tikar dan
anak muda itu dengan kekuatan penuh, tetapi dia
berdiri di atas pijakannya dan tidak menghindarinya”.
BAB VI
ANTARA KARATE DAN KOBUDO

Harus diakui bahwa Okinawa (Ryukyu) mempunyai kein-


dahan baik alam dan budaya. Tidak mengherankan jika
Okinawa menjadi aset unggulan Jepang yang terus dipeli-
hara. Jika ingin berkunjung ke Jepang tidak salah jika
Okinawa dijadikan prioritas. Sebagai tempat asal karate,
Okinawa ternyata juga mempunyai sisi lain dalam dunia
bela diri. Dari pulau kecil itu ternyata ada bela diri lain
disamping karate yaitu kobudo (atau sebelumnya kobutsu).
Kobudo berlawanan dengan karate karena menggunakan
beragam senjata.

Istilah “kobu” dapat ditafsirkan kuno atau lama. Tidak


mengherankan karena kobudo memang mempunyai sejarah
yang justru lebih tua daripada karate. Meskipun menyan-
dang makna “kuno” bukan berarti kobudo ketinggalan
jaman. Sebaliknya, kobudo tetap dipertahankan hingga kini
sebagai warisan leluhur. Sayangnya sejarah pasti kobudo
sulit diungkap karena banyak fakta yang hilang. Apalagi
banyak dokumen yang berhubungan telah hancur dalam
Perang Dunia II. Meskipun dari arti namanya saling ber-
tolak belakang, antara kobudo dan karate ternyata masih
berhubungan erat.

Sekitar abad ke-12 penguasa lokal yang disebut Aji men-


jalankan kekuasaannya dari benteng yang berdiri di atas
tanah kekuasaan mereka (gusuku). Di kemudian hari
pemerintahannya ternyata mengalami perpecahan hingga
Ryukyu terbagi menjadi tiga kerajaan yang independen.
Ketiganya ingin menunjukkan dominasinya dengan saling
menyerang dan berusaha menaklukkan satu sama lain. Saat
itu mereka menggunakan senjata dan bela diri meski
dengan gaya teknik yang tidak sekompleks sekarang. Dalam
persenjataan mereka telah menggunakan senjata tradisional
seperti bo (tongkat) dan alat pertanian dari logam yang telah
dimodifikasi.

Tahun 1429 Ryukyu memasuki pemerintahan Raja Sho


Hashi dan mengalami perubahan besar. Raja Sho merasa
bahwa perang lagi tidak berguna dan hanya berakibat
perpecahan. Selanjutnya muncul inisiatif darinya untuk
menyatukan ketiga kerajaan itu dalam satu pemerintahan
yang independen (unifikasi). Tentu saja upaya itu tidak
mudah karena Raja Sho harus memerangi kedua penguasa
lainnya yang jelas-jelas menolak. Setelah berhasil mengalah-
kan kedua pesaingnya, Raja Sho akhirnya berhasil menyatu-
kan seluruh wilayah Ryukyu. Setelah kekuasaan Raja Sho
Hashi berakhir, cita-cita itu diteruskan oleh keturunannya
yaitu Sho Shin. Sebagai dukungan unifikasi dibuatlah kebi-
jakan anti perang berupa undang-undang. Pada pokoknya
kebijakan itu melarang penduduk untuk menyimpan dan
menggunakan senjata untuk perang. Sebagai realisasinya
seluruh senjata kemudian disita dari penduduk setempat
dan dikumpulkan di satu gudang yang konon bersebelahan
dengan istana Shuri.

Berakhirnya perang dan adanya undang-undang membuat


Ryukyu memasuki masa damai. Banyak penduduk yang
kemudian beralih pekerjaan menjadi pedagang karena
Dinasti Sho membuka pintu lebar-lebar untuk pendatang
dari luar. Hasilnya terjadilah pertukaran kebudayaan yang
dipercaya mempengaruhi cikal bakal kemunculan karate
dan kobudo dengan teknik yang lebih sistematis. Karena
menggunakan kapal sebagai media transportasi, penduduk
Ryukyu harus mempersenjatai diri dari serangan perompak
Jepang. Meski dilarang Dinasti Sho, banyak yang percaya
bahwa kobudo sebenarnya masih dilatih meski tidak dalam
dojo resmi. Pendapat itu berasal dari teknik dan senjata
tradisional Cina yang kemudian diadaptasi oleh masyarakat
setempat.

Sejarah mencatat perubahan besar dalam kobudo dan karate


terjadi setelah Ryukyu dijajah oleh kelompok Satsuma tahun
1609. Akibat tidak mempunyai senjata yang memadai lagi,
penduduk Ryukyu hanya mengandalkan peralatan seada-
nya yaitu alat pertanian dan tempurung kura-kura sebagai
perisai. Tentu saja benda-benda itu tidak cukup melawan
pasukan samurai berkuda yang dipersenjatai pedang.
Akhirnya Ryukyu berhasil dikuasai samurai penjajah itu
dan aturan larangan menggunakan senjata kembali dilanjut-
kan. Penduduk setempat kemudian mulai mengembangkan
bela diri tangan kosong yang berguna sebagai upaya per-
tahanan diri. Sejak saat itulah awal karate sebagai bela diri
alternatif mulai dikembangkan. Meski demikian seluruh
latihan bela diri baik tangan kosong atau senjata sebenarnya
masih dilatih meski rahasia. Selama 300 tahun penduduk
Ryukyu masih mewariskan ke generasi berikutnya meski
tanpa ada dokumen atau keterangan yang menjelaskannya.

Karate dan kobudo akhirnya berhasil muncul ke permukaan


setelah Jepang memasuki Restorasi Meiji. Kedua bela diri itu
akhirnya dimasukkan dalam salah satu pelajaran di sekolah.
Pemerintah Ryukyu menganggapnya sebagai aset penting
yang harus dipertahankan. Melalui latihan yang melelah-
kan, ternyata kedua bela diri tradisional itu mampu mem-
berikan kontribusi besar baik fisik dan mental seseorang.
Lebih jauh pemerintah Ryukyu yakin bahwa bela diri dapat
membentuk karakter seseorang hingga mereka dapat mem-
berikan tanggung-jawab sosial yang baik. Tidak heran jika
karate dan kobudo dianggap memberikan inspirasi besar ke
seluruh dunia hingga kini.

Setelah Ryukyu menjadi bagian Jepang dan berganti nama


menjadi Prefektur Okinawa, makin membuka jalan untuk
karate dan kobudo memasuki Jepang. Hal itu baru terjadi
setelah tahun 1917 pemerintah Jepang mengundang wakil
Okinawa untuk memberikan sumbangan demonstrasi bela
diri di Kyoto. Pemerintah Okinawa menanggapi hal itu
dengan positif dan mencari orang terbaik untuk pantas
sebagai wakilnya. Setelah melalui berbagai pertimbangan,
ditunjuk dua orang dari disiplin bela diri yang berbeda,
yaitu Gichin Funakoshi (karate) dan Shinko Matayoshi
(kobudo). Funakoshi dipilih sebagai wakil karena selain
mahir karate juga terpelajar. Sedangkan Matayoshi dipilih
karena menguasai banyak teknik senjata hasil berlatih di
Cina. Keduanya dianggap sebagai dua nama terbaik dalam
bela diri Okinawa era modern.

Shinko Matayoshi (1888-1947) diang-


gap sebagai salah satu nama terbaik
dalam dunia kobudo Okinawa mo-
deren. Matayoshi lahir di Naha
dalam keluarga yang terpandang dan
telah berlatih kobujutsu sejak usia
remaja. Saat usianya menginjak 22 tahun, dirinya pergi ke
Manchuria melalui utara Jepang dan bergabung dengan
gerombolan penjahat berkuda hanya untuk belajar teknik
senjata mereka. Hasilnya teknik berkuda dan memanah
Matayoshi berbeda dengan gaya Okinawa umumnya.
Setelah itu Matayoshi melanjutkan perjalanannya ke
Fuchow dan Shanghai untuk belajar tinju Shaolin, aku-
puntur dan pengobatan herbal. Setelah belajar pada banyak
ahli, Matayoshi kemudian menggabungkan seluruh teknik
dan pengalamannya dalam satu silabus. Adalah Shinpo
Matayoshi (1922-1997) yang kemudian mendirikan Zen
Okinawa Kobudo Renmei tahun 1970. Organisasi ini
dianggap sebagai salah satu organisasi pioner dalam
kobudo Okinawa, karena bermaksud menyatukan seluruh
praktisi kobudo dan menjaga tradisi di dalamnya.

Kobudo moderen menggunakan kuda-kuda dan pergerakan


yang mirip dengan karate. Selain itu beberapa teknik
kobudo juga ada dalam karate seperti tai sabaki (pergeseran
badan), gerak tipu diikuti serangan dan gerakan menyerang
bertahan yang bergantian. Kobudo juga menggunakan
metode latihan satu macam senjata hingga berulang kali
(bahkan ratusan hingga ribuan) sehingga mirip dengan lati-
han kihon atau kata dalam karate. Sebelum masuk ke Jepang
kobudo hanya menggunakan senjata tradisional Okinawa
dan beberapa diantaranya juga adaptasi dari Cina. Setelah
kobudo diperkenalkan di Jepang beberapa senjata tradisi-
onal samurai seperti katana, naginata, yari (tombak), yumi dan
ya (busur dan panah) juga dimasukkan. Agar tidak membi-
ngungkan, sistemnya kemudian disebut dengan Ryukyu
Kobudo atau Okinawa Kobudo.

Saat ini kebanyakan aliran karate di Okinawa masih mem-


pertahankan kobudo disamping latihan kihon, kumite dan
kata. Diantaranya adalah Shorin-ryu yang menjadi salah
satu gaya karate yang dipelajari Funakoshi. Sebaliknya, 4
besar karate Jepang (kecuali Shito-ryu) tampaknya sudah
banyak yang meninggalkannya. Meski demikian, ada juga
praktisi karate Jepang moderen yang berlatih kobudo meski
hanya pilihan yang tidak wajib. Contohnya adalah Hirokazu
Kanazawa (pendiri SKIF) yang mengajari senjata (semisal
nunchaku) pada beberapa muridnya yang senior.
BAB VII
MISTERI TORA NO MAKI

Selain berlatih karate pada


Azato dan Itosu, Funakoshi juga
belajar seni sastra pada gurunya
ini. Tampaknya hal ini berpe-
ngaruh besar pada munculnya
simbol harimau yang kemudian
lazim dikenal dengan Tora no
Maki yang digunakan oleh Shotokan dan Shotokai saat ini.

Ketika Funakoshi masih muda, dia gemar berjalan-jalan


dalam kesunyian diantara pohon-pohon cemara yang
mengelilingi rumahnya di Shuri, Okinawa. Setelah sehari
yang berat diisi dengan mengajar di beberapa sekolah di
daerahnya ditambah beberapa jam lebih diisi dengan latihan
karate yang giat, dia kerap kali akan mendaki Gunung
Torao dan kemudian bermeditasi diantara pepohonan
cemara di bawah bintang-bintang dan bulan yang terang.
Gunung Torao amatlah dekat, gunung ini ditumbuhi pepo-
honan hingga begitu lebatnya yang apabila diamati dari
kejauhan menyerupai ekor seekor harimau. Dalam kenyata-
annya nama Torao memang berarti ekor harimau.

Pada waktu-waktu berikutnya, Funakoshi menerangkan


bahwa angin dingin yang berdesir diantara pepohonan
cemara di Gunung Torao membuat pohon-pohon tersebut
bergerak seperti layaknya gelombang yang memecah di
pantai. Demikianlah, sejak didapatkannya inspirasi itu dia
memilih nama Shoto yang selalu dibubuhkannya sebagai
tanda tangan di akhir karya tulisnya.

“Shoto” sebagai nama yang ditulis oleh Funa-


koshi memiliki arti pohon cemara yang bergerak
laksana gelombang. Sedangkan “kan” berarti
ruang atau balai utama (yang kemungkinan
besar tempat murid-muridnya berlatih. Nama
ini kemudian dianugerahkan oleh murid-
muridnya sebagai penghormatan pada Funako-
shi dengan ditulis pada papan nama dojo yang dibangun di
Tokyo tahun 1936.
Munculnya simbol harimau yang dikerjakan oleh Hoan
Kosugi ini tidak begitu jelas. Sumber pertama menyebutkan
ketika Funakoshi berniat kembali ke Okinawa dirinya
didatangi oleh Hoan Kosugi. Seorang pelukis ternama saat
itu yang meminta pelajaran karate bagi dirinya dan teman-
temannya di Kelompok Tabata. Perkumpulan ini adalah
wadah berkumpulnya para seniman yang terbaik di masa
itu. Kosugi meminta pelajaran dari Funakoshi karena saat
itu dia tidak menemukan guru karate yang lebih pantas dari
Funakoshi.

Ketika itu Funakoshi berniat menulis buku Ryukyu Kempo


Karate, Kosugi mengatakan pada Funakoshi kalau dirinya
bersedia melukis sampul depannya. Kosugi kemudian
melukis gambar harimau yang disebutnya Tora no Maki. Di
Jepang istilah Tora no Maki merupakan istilah resmi bagi
karya tulis untuk suatu seni atau suatu sistem. Kosugi
menjelaskan pada Funakoshi bahwa buku yang akan ditulis-
nya akan menjadi “Tora no Maki” nya karate. Dan sejak kata
“tora” berarti harimau, Kosugi melukis gambar harimau
sebagai simbolnya.
Sumber lain mengatakan kalau Kosugi sangat terkesan
dengan latihan karate yang diterimanya dari Funakoshi.
Kemudian ketika didengarnya Funakoshi akan menulis
buku dengan segera dia mengusulkan diri untuk melukis
sampulnya. Dikatakan bahwa Kosugi mengambil ide
harimau karena menurut kepada filosofi tradisional Cina
yang mempunyai makna bahwa ’’harimau tidak pernah
tidur’’. Harimau mempunyai sifat yang tenang namun tetap
waspada. Perasaan ini dirasakan oleh Kosugi ketika berlatih
di bawah Funakoshi. Tampaknya makna ini dikemudian
hari menjadi sangat populer.

Funakoshi sangat terkesan ketika diterimanya hasil karya


Kosugi ini. Mengingatkannya akan kenangan masa muda-
nya ketika masih mendaki gunung Torao. Funakoshi berniat
membayar hasil karya ini, namun Kosugi menolaknya.
Kosugi hanya meminta Funakoshi mengajarinya karate
berikut filosofi besar yang terkandung di dalamnya. Terharu
mendengar jawaban ini, Funakoshi menerima tawaran itu
dan merekapun terus menjalin persahabatan baik.
Ada juga sumber yang mengatakan bahwa Funakoshi
sendiri yang meminta pada Kosugi untuk melukis simbol
harimau itu baginya. Setelah diketahuinya Kosugi adalah
seorang pelukis yang pandai.

Tidak dapat dipastikan mana yang pasti dari kisah-kisah itu.


Barangkali diantara kisah-kisah itu ada yang benar. Namun
yang pasti Funakoshi kemudian menggunakan lukisan
harimau itu sebagai sampul depan bukunya Ryukyu Kempo
Karate yang terbit tahun 1922.
BAB VIII
IKKEN HISSATSU

Anda pernah mendengar istilah “ikken hissatsu” ? Bagi


praktisi Shotokan tentu tidak asing dengan istilah ini. Ikken
Hissatsu adalah salah satu dari sekian banyak filosofi Shoto-
kan yang berkaitan dengan pertarungan (combat oriented).
“Ikken” berarti tunggal, sedang “hissatsu” berarti serangan.
Ikken Hissatsu berarti bertujuan membunuh dengan satu
serangan. Dalam literatur lain istilah ini ada yang menyebut
dengan “ippon ieatsu”. Banyak yang salah kaprah dengan
dengan istilah ikken hissatsu ini. Sebagian praktisi karate
menganggap bahwa membunuh lawan diperbolehkan. Ten-
tu saja ini salah besar.

Meski terdengar seram, makna hakiki dari ikken hissatsu


tidak sesimpel itu. Untuk memahami istilah ini Anda cukup
membayangkan sedang dikepung oleh lawan lebih dari
satu. Masing-masing dari lawan memegang senjata yang
siap memotong leher Anda kapan saja. Masing-masing
mempunyai teknik yang Anda sendiri tidak mengetahui.
Singkatnya, Anda dalam posisi yang terjepit. Bagaimana
Anda akan menghadapi situasi yang serba sulit ini ?. Dalam
kondisi seperti inilah konsep ikken hissatsu benar-benar
diperlukan.

Filosofi ini mengisyaratkan penggunaan teknik yang efektif


(waza-ari) dalam mengatasi lawan terutama dalam jumlah
besar. Dengan demikian teknik yang dilancarkan hanya
membutuhkan usaha atau gerakan minimal namun meng-
hasilkan kerusakan besar pada lawan. Sehingga tidak ada
tenaga sia-sia yang dikeluarkan. Hasilnya akan membuat si
penyerang berpikir dua kali untuk menyerang lagi. Teknik
kihon umunya sangat efektif mengatasi lawan yang banyak.
Prinsip ikken hissatsu sangat sederhana : satu serangan dan
selesai. Mengapa hanya satu serangan ? karena dengan satu
teknik yang Anda lancarkan, ada cukup waktu untuk me-
ngatasi penyerang yang lain. Lawan yang lain tentu tidak
akan menunggu, bukan ?.

Konsep ikken hissatsu sebenarnya telah ada sejak karate


belum masuk ke Jepang. Bahkan diduga sebelum berkem-
bangnya karate di Okinawa konsep ini telah ada. Tentu saja
dengan penyebutan yang berbeda. Terbukti ketika karate
masih dirahasiakan di Okinawa, duel antar ahli bela diri
sudah biasa terjadi. Di akhir duel tentu ada yang hidup dan
ada yang mati, hal ini sudah lazim terjadi. Ketika samurai
sedang berjaya di Jepang, filosofi ikken hissatsu benar-benar
dilakukan. Sejak pertarungan hidup mati demi kehormatan
seakan sudah menjadi hal biasa. Uniknya, mereka tidak
dendam dengan lawannya. Bagi golongan samurai perta-
rungan pedang lebih dari sekedar kehormatan namun
keyakinan. Setelah Restorasi Meiji budaya ini telah
ditinggalkan.

Diduga Shotokan mendapat pengaruh konsep ikken hissatsu


ini dari guru Funakoshi yaitu Anko Azato dan Itosu. Sudah
menjadi legenda bahwa keduanya tidak pernah terkalahkan
dalam pertarungan apapun. Entah melawan orang dalam
jumlah besar atau bahkan lembu jantan liar seperti yang
dihadapi Itosu. Umumnya mereka tidak butuh serangan
kedua untuk menyelesaikan duel. Namun yang lebih men-
akjubkan, mereka tidak sampai membunuh lawannya. Ini
mengisyaratkan bahwa karate bukan ilmu pembunuh yang
bisa digunakan sesuka hati.
Shotokan saat ini masih mempertahankan konsep ikken
hissatsu ini. Di beberapa organisasi besar Shotokan mereka
masih mempertahankan latihan kata dasar seperti Heian dan
Tekki. Pemandangan ini sering ditemui pada mereka yang
telah sabuk hitam. Tentu saja ini kontras dengan kenyataan
bahwa seharusnya untuk tingkat sabuk hitam mereka telah
berlatih kata tingkat lanjut. Umumnya mereka dituntut
berlatih kihon berulang-ulang disamping kata dasar. Bagi
mereka dasar diperlukan untuk meraih hasil yang lebih
baik. Hasilnya, dalam turnamen meski teknik yang dilan-
carkan terkesan “miskin” (sebatas oi tsuki atau chudan geri)
mereka tidak terkalahkan.

Kesimpulannya, ikken hissatsu mensyaratkan kita mengalah-


kan lawan dengan teknik yang efektif. Untuk melancar-
kannya butuh tenaga yang umumnya besar. Tenaga yang
besar adalah hasil dari berlatih. Ketika lawan telah roboh,
Anda tidak dibenarkan mengakhiri hidupnya. Hargai hidup
lawan seperti Anda menghargai nyawa Anda sendiri.
BAB IX
MENGAPA HARUS KIAI

“Kiai”, yang berarti teriakan semangat merupakan salah satu


komponen penting dalam berlatih karate. Bukan sekedar
mengeluarkan udara dan suara sekeras-kerasnya, namun
lebih dari itu. Kiai yang salah hanya akan membahayakan
karate-ka itu sendiri, karena dalam kondisi itu akan mudah
diserang. Bahkan dalam serangan yang lemah sekalipun.
Hal ini sering terjadi dalam turnamen. Mungkin karena
terlambat kiai akhirnya serangan lawan masuk. Dan bisa
ditebak, sakitnya jangan ditanya lagi. Belajar dari penga-
laman, ternyata kiai ketika kita dipukul lebih sakit daripada
kita dalam latihan biasa (yang tidak ada lawannya tentu
saja!).

Nah, kembali ke masalah kiai tadi. Secara teori sebenarnya


ada tiga manfaat poin penting dalam kiai. Yang pertama
tentu saja menunjukkan semangat bertarung (fighting spirit)
kita. Jelas kita tidak mungkin bertanding tanpa mengeluar-
kan suara. Coba bayangkan sendiri jika Anda kumite
dengan lawan yang seperti itu. Dalam sesi latihan biasanya
kiai pada gerakan ke-lima atau ke-sepuluh, jika berlatih
dasar (kihon). Atau pada teknik yang terakhir. Umumnya
senior/ pelatih akan memberikan aba-aba untuk berteriak.

Jangan dikira kiai adalah pekerjaan mudah. Umumnya


sering saya melihat junior-junior sangat sulit kalau disuruh
kiai setiap akhir suatu teknik. Kalau murid pemula seha-
rusnya tidak masalah, tapi kalau murid tingkat lanjut ?
Tentu ini jadi masalah kalau harus turun dalam turnamen
resmi. Karena fungsi kiai disini juga untuk mengantisipasi
cedera dalam kumite. Kedua, mempengaruhi lawan. Bagai-
mana bisa dengan hanya berteriak lawan akan terpengaruh
bahkan sampai ketakutan. Ada istilah kiai jutsu dalam dunia
bela diri, dimana dengan hanya berteriak maka lawan akan
mengurungkan serangan.

Rahasianya ternyata cukup sederhana, dimana saat kita


berteriak harus dilandasi dengan semangat berperang yang
sungguh-sungguh tanpa keraguan dan ketakutan. Yang
pasti saya tidak mengatakan ini mudah, karena saat kita
maju menghadapi lawan ketakutan pasti ada. Dan rasanya
itu hal yang manusiawi. Sedangkan yang terakhir, kiai bisa
juga berfungsi sebagai elemen yang meningkatkan tenaga
dengan memberi penekanan pada otot.

Dalam suatu acara demonstrasi, umumnya acara puncaknya


adalah tameshi-wari (pemecahan). Kalau Anda perhatikan, si
peraga tentu kiai saat memecahkan batu, kayu, es atau
apapun yang menjadi bahan tameswari-nya. Tidak masalah
dengan menggunakan bagian tubuhnya yang mana untuk
memecahkan. Tentu saja dengan memecahkan harus didu-
kung dengan pernafasan dan kime (fokus/ konsentrasi) yang
benar. Nah, itulah rahasianya kiai.
BAB X
EVOLUSI KARATE

Karate sebagai seni bela diri adalah ungkapan klise yang


telah kita ketahui. Namun seiring jaman yang berubah,
karate juga berevolusi dalam fungsinya. Ketika diperkenal-
kan pertama kali di Okinawa fungsinya semula bela diri
yang murni. Karena murni bela diri, maka membunuh dan
terbunuh adalah lumrah. Pada masa itu karate sangat
dirahasiakan, bahkan untuk membicarakan saja orang tidak
berani. Walau Jepang sudah masuk masa Restorasi Meiji,
budaya merahasiakan ini baru benar-benar berakhir tahun
1901. Ketika itu Itosu berhasil mengangkat karate ke
permukaan dengan menunjukkan manfaat fisik dan mental
dalam karate.

Evolusi berikutnya ketika karate masuk ke Jepang berubah


menjadi seni bela diri dengan filsafat “jalan”. Konsep yang
dipopulerkan oleh Funakoshi ini tidak hanya merubah
ideogram karate, namun juga filosofinya. Karate berubah
istilah menjadi karate-do bukan lagi karate jutsu. Hingga saat
ini ada yang tetap memegang fungsi karate sebagai filosofi
seperti Shotokai. Mereka dengan tegas menarik diri meng-
gunakan karate untuk hal-hal yang berbau kompetisi.

Evolusi ketiga dari karate adalah pada era perang. Dimana


saat Jepang menginvasi negara-negara Asia tahun (1930-
1936) dan Perang Dunia II (1945-1949) karate digunakan
sebagai materi wajib bagi prajurit. Karena digunakan untuk
perang tentu ada perbedaan dengan latihan karate yang
biasa. Seorang praktisi karate dibolehkan menyerang lawan
sekuat-kuatnya. Alhasil, banyak prajurit yang cedera selama
masa latihan itu. Barangkali ini adalah evolusi terburuk
dalam sejarah karate.

Evolusi terakhir karate terjadi di masa moderen ini. Saat ini


karate telah dipergunakan sebagai media kompetisi. Disini
setiap aliran karate diizinkan mengikuti dua jenis turnamen
yaitu kumite dan kata. Evolusi yang terakhir ini dipop-
ulerkan pertama kali tahun 1957 dengan turnamen yang
digelar oleh JKA (Japan Karate Association). Masatoshi
Nakayama disebut-sebut sebagai orang yang bertanggung-
jawab (atau berjasa ?) memperkenalkan konsep ini. Anda
juga bisa menengok pasal-pasal dalam WKF, disitu akan
tertulis dengan jelas aturan pertandingan kata dan kumite.
Mengisyaratkan bahwa induk organisasi karate dunia ini
mendukung kompetisi dalam karate.

Bagaimana dengan image masyarakat Indonesia pada


karate? Ternyata mereka memandang karate sebagai “olah
raga keras” bukan “seni bela diri keras”. Agaknya maraknya
kompetisi karate yang sering digelar telah mengubah cara
pandang masyarakat kita. Apalagi fakta di dunia saat ini
hampir seluruh organisasi (dari berbagai aliran) karate
dengan terang-terangan menyatakan bahwa mereka men-
dukung karate sebagai olah raga yang bersifat kompetisi.

Setiap tahun di tanah air bila digelar even pertandingan


pasti akan banyak sekali peserta baik dari anak-anak atau
dewasa (jika umurnya masih memenuhi syarat), baik laki-
laki atau perempuan. Apakah ini menyedihkan ? tentu saja
tidak. Minimal yang menggembirakan, ternyata minat mas-
yarakat kepada karate yang telah diklaim sebagai “olah
raga” keras ini masih besar. Tidak peduli mereka yang
terjun di pertandingan itu menampilkan kualitas teknik
yang baik atau buruk.

Bisa juga dibilang menyedihkan (Anda boleh tidak setuju),


karena karate hanya akan menjadi milik mereka yang kuat,
lincah, cepat dan berstamina prima. Funakoshi secara tegas
melarang berbagai turnamen dan kompetisi. Dirinya sadar
bahwa teknik karate sangat berbahaya walaupun digunakan
dengan serangan yang lemah sekalipun. Funakoshi lebih
memilih kata sebagai latihan inti dalam karate, karena
baginya dalam kata tersembunyi rahasia karate. Anda
mungkin tidak tahu kalau Funakoshi tidak pernah kalah
dengan lawannya meskipun usianya telah lanjut. Funakoshi
memiliki pertahanan yang kuat, dan ini hanya diketahui
dari mereka yang pernah bertanding dengannya.

Tulisan ini tidak dibuat untuk memperdebatkan pendapat


Funakoshi, apalagi sudah jelas Funakoshi memang orang
yang tidak mendukung apapun yang berbau kompetisi
karate. Juga tidak bermaksud menyalahkan praktisi karate
yang berlatih hanya untuk motif kompetisi. Meski harus
diakui karate telah berevolusi fungsinya, jangan lupa bahwa
karate adalah seni bela diri yang terhormat. Apapun motif
Anda ketika memilih karate, ada rahasia yang tersembunyi
di dalamnya. Rahasia yang mustahil dicapai mereka yang
hanya berpikir menang atau kalah. Rahasia yang hingga
saat ini hanya sedikit saja orang yang berhasil mencapainya.

Anda mungkin juga menyukai