Anda di halaman 1dari 19

Hermeneutika:

Dua Bentuk Hermeneutika:

Sekalipun dalam karya Giambattista Vico (1668-1744), seorang ahli


hukum, filsuf, dan polyhistory dari Italia dan juga dalam tulisan J.G. Herder
dijumpai unsur-unsur penting bagi filsafat sejarah hermeneutika. Namun biasanya
sejarah Hemrneutika kita awalkan dengan Friederich Schleiermacher (1768-
1834), seorang ahli teologia jerman, selaku seorang teolog, Schleiermacher
tertarik oleh persoalan bagaimana teks-tekstertentu dari alkitab harus ditafsirkan.
Untuk menjawab persoalan tersebut Schleiermacher mengumpulkan teks-teks
dengan cara sebuah percakapan dilangsungkan. Bila percakapan itu cukup
berbobot, pasti tiba suatu saat saya tidak dapat lagi mengerti atau mengikuti lawa
bicara saya. Saya lalu bertanya, bagai mana seseorang sampai mengatakan hal-hal
seperti dikatakan oleh temanku itu. Untuk menjawab pertanyaan itu saya melacak
berdasarkan latar belakang mana saya sendiri akan mengatakan hal-hal itu. Saya
akan menimba dari kseluruhan pengalaman hidupku, segala sesuatu yang pernah
ku alami, kupergunakan untuk menafsirkan maksud itu. Dengan lain perkataan,
saya berusaha menempatkan diri dalam jalan pikiran temanku itu. Sambil bertitik
pangkal pada pengalaman hidupku sendiri, pada latar belakang sendiri. Saya
seolah-olah masuk ke dalam kulit temanku. Pengalaman hidupku sendiri berfungsi
sebagai penerjemah antara aku dan temanku sendiri. Maka dari itu Schleiermacher
memperkenalkan istilah “Hermeneutika” dalam bahasa yunani “Hermeneus”
berarti penerjemah. Nah jalan Hermeneutis itu hendaknya kita temmpuh bila kita
ingin menjelaskan bagia-bagian alkitab yang sepintas kilas kelihatan sukar, dan
mustahil dimengerti. Dalam kasusu itupun, kita menimba dari pengalaman
hidupku, untuk melacak berdasarkan latar belakang apa pengarang mengatakan
hal-hal seperti tercantum dalam teks yang baru saja. Dengan demikian kita sampai
pada suatu penafsiran atau penjelasan teks itu. Baik dalam suatu percakapan
maupun dalam penafsiran teks-teks. Kita harus masuk ke dalam ulit lawan bicara
atau pengarang. Sambil menimba dari pengalaman hidup sendiri kedua unsur ini
merupakan jantung pengertian Hermenuistik.
Ada gunanaya menerangkan di sini, mana perbedaan antarahermenuistika
dan teori-teori argumentasi modern. Teori-teori argumantasi pun meneliti
percakapan antar manusia, serta proses percakapan itu namaun berlainan dengan
hermeneutika. Teori rgumentasi mengandaikan bahwa kedua lawan bicara
mempunyai suatu titik pangkal atau dasar bersama. Bila kedua lawan bicara tidak
dapat lagi saling mengerti atau komunikasi saling terganggu, maka dilacak
dimana itu mulai terjadi sambil bertitik tolak dari dasar yang sama. Masalah yang
dihadapi oleh Hermeutika lebih mendalam tujuannya iyalah menjembati jurang
antara dua titik pangkal yang berbeda-beda. Justru karna dala Hermeutika saya
berusaha mengerti pihak lain berdasarkan pengalaman hidupku dan pengalaman
mengenai kenyataan dalam keseluruhan, maka pengalaman hidup yang total itu
juga dijadikan kancah perbedaan antara aku dan lawan bicaraku atau dengan
pengarang yang menulis sebuah teks pada masa silam. Dapat dibayangkan bahwa
diskusi-diskusi antara ahli-ahli matematika atau sejumlah ilmuan merupan bidang
yang sangat dimengerti oleh bidang argumentasi. Disana terdapat satu unsur
rasionalitas entah matematis entah ilmiah, yang diterima oleh semua lawan bicara.
Tetapi untuk debat kita sendiri dan seorang pengarang dari abad pertengahan
betapa lainnya dunianya, diperlakukan sebuah sarana yang lebih ampuh yakni
Hermeutika. Bagi seorang ahli sejarah Hermeutika lebih penting dari pada teori
argumentasi.

Adapun proses Hermeutika itu (menhayati dari dalam jalan pikiran orang
lain), tidak hanya berguna untuk menafsirkan teks-teks atau maksud seseorang
lawan bicara. Bermakna sekali menghayati dalam jalan pikiran orang lain. kalau
ingin mengerti kenapa ia harus berbuat begini dan begitu. Sebuah contoh
sederhana dapat menerangkan hal itu. Bayangkan sekelompok pramuka berkemah
di pegunungan. Kita mengamati bagaimana sore hari para pramuka itu keluar dari
tenda-tenda mencari kayu bakar. Tidak sukarlah menerangkan perbuatan para
pramuka itu lewat jalan menghayati dari dalam jalan pikiran kita. Dapat
disimpulakan menurut tiga pertanyaan:

1. Udara dingin di pegunungan (A) menurunkan suhu udara (B)

2. Suhu dapat dinaikkan (C) dengan menyalakan api (D)


3. Seseorang dengan suhu badan yang rendah (B) akan mencari kehangatan (C)

Berbagai unsur dalam tiga pernuataan ini dapat dikaitkan sebagai berikut:

1) A --- B

2) C --- D

3) B --- C

Jelas bahwa (3) merupakan langkah utama dalam penalaran ini, karena
lewat (3) diadakan kaitan antara fakta (A,B,C,D) yang disebutkan dalam (1) dan
(2) dan yang lepas yang satu dari yang lain. secara khusus diadakan hbungan
antara pengamatan kita (yakni melihat A dan D). Karema kaitan itu, kita dapat
mengatakan bahwa udara dingin merupakan sebab dari perbuatan pramuka itu.
Perbuatannya kini diterangkan. Dalam rekonstruksi ini ada dua hal yang menyita
perhatian. Pertama dalam penalaran ini kita meninggalkan apa yang obyektif
“dari luar” dapat dinikmati. Kita hanya melihat A dan D, bukan B dan C. Kedua
kita melihat bahwa kaitanyang diadakan antara (1) dan (2) berdasarkan (3) yakni
kita naik bandung pada pengalaman kita sendiri. Kita pernah merasakan sendiri
udara dingin dan pegunungan yang menyebabkan kita duduk dekat pada api atau
perapian.

Singkatnya sama seperti dalam debat dengan lawan bicara kita atau
dengan seorang pengarang pada masa silam kita naik banding pada pengalaman.
Kita sendiri agar kita masuk dalam kulit orang lain, disini untuk menerangkan
mengapa seseorang melakukan sejumlah perbuatan. Karena seseorang peneliti
sejarah kurang beruntung tentang perbuatan pelaku-pelaku dalam sejarah
misalnya (Sulatan Agung atau Diponegoro) atau sekelompok orag misalnya
(Pemberontakan rakyat di Banten pada akhir abad yang lalu) maka masuk akal
bahwa bentuk Hermeneutika ini ada pentingnya bagi gerakan sejarah. Maka dari
itu istilah Hermeneutika dapat dipergunakandalam dua arti:

1. Menafsirkan teks-teks dari masa islam

2. Menerangkan perbuatan seseorang pelaku sejarah


Teramat penting agar kita memahami bahwa istilah Hermeutika
mempunyai dua arti. Sekalipun istilah sama tapi ada perbedaan besar antara kedua
arti. Teks-teks ditafsirkan, perbuatan-perbuatan diterangkan menurut arti pertama,
kita melihat suatu kesatuan atau koherensi dalam sebuah teks, sedangkan menurut
arti kedua, kita memberi jawaban terhadap pertanyaan. Mengapa seseorang pelaku
historis berbuat demikian. Dalam interpretasi teks-teks koita seolah-olah
mengalami masa silam serta bahan sejarah, agar mengambil suatu pendirian, dari
mana kita dapat melihat kesatuan dan kebersatuan. Dalam kasus ke dua kita
mempergunakan bahan sejarah, agar lebih dalam dapat menyelami masa silam.
Sketsa di bawah ini sekiranya dapat menerangkan ini.

Penafsiran tentang masa silam (1) Bahan Sejarah (2) Masa silam sendiri(3)

Penafsiran teks secara hermenuistik penjelasan secara Hermenuistik

Penafsiran teks terpusat pada jalan dari (2) ke (1), sedangkan penjelasan
Hermeutika menempuh jalan (2) ke (3). Maka istilah, bahwa titik perbandingan
bagi CLM bukan penafsiran teks, melainkan penjelasan Hermeneutis. Smaa
seperti CLM, maka penjelasan Hermeneutis ingin memberi jawaban tehadap suatu
pernyataan mengapa membandingkan CLM dengan teori Hermeneutis mengenai
penafsiran teks tak ada gunanya.

Pada umumnya dapat dinyatakan bahwa di Jerman, Hermenuitif


Interpreetatif menjadi perhatian. Seperti telah kita lihat,itu sudah berlaku bagi
Schleirmacher dan pasti berlaku bagi ahli Hermeutika jerman terkemuka pada
abad ini ialah H.G. Gadamer dalam karyaDilthey. Dia melihat suatu pembaharuan
antara bentuk Hermeutika, sekalipun yang di titikberatkan adalah penafsiran teks.
Dalam kalangan filsuf sejarah (bidang-bidang filsafah, misalnya dengan sengaja
kami kesampingkan disini) di Inggris dan amerika Serikat. Perhatian hampir
secara eksklusif diarahkan kepada penjelasan Hermeneustik. Ada satu
perkecualian ialah, H. White yang karyanya dibicarakan pada akhir bab ini. white
berititk tolak pada gagasan yang aneh bahwa masa silam sendiri hendaknya
dipandang sebagai suatu teks, maka dari itu sudut pandang dari penafsiran
merupakan sudut pandang terbaik. Tetapi kita dapat maju selangkah lebih jauh
dari White, yakni membela pebdapat bahwa tugas seseorang peneliti sejarah pada
pokonya adalah tugas penafsiran masa silam seperti White, alhasil seseorang
peneliti sejarah memang harus menafsirkan masa silam dengan menunjukkan
kesatuan dan koherensi, tanpa keharusan menerima cara kerja seseorang yang
menafsirkan teks-teks. Itulah pendirian Historisme dan narativisme suatu varian
modern mengenai historisme, masih akan dibahas dalam satu bab tersendiri.
Adapun alasan dari satu bab tersendiri, karena dalam dua aliran itu unsur pokok
dari Hermeutika dilepaskan (baik sebagai teori mengenai penafsiran teks-teks
maupun sebgai teori mengenai penjelasan historis). Dalam dua aliran itu tidak lagi
diusahakan agar kita masuk ke dalam kulit seseorang pengarang atauseseorang
pelaku sejarah maupun menimba dari pengalaman hidup sendiri. Bila seseorang
peneliti sejarah ingin menampilkan kesatuan dan koherensi dalam Revolusi
Perancis misalya. Maka jelaskna bahwa usaha menimba dari pengalaman sendiri
tak ada gunanya, karena pengalaman sendiri dan Revolusi Perancis merupakan
dua bidang yang berlainan sama sekali. Hal ini juga berlaku bagi obyek-obyek
lain dalam penelitian sejarah. Historisme dan Narativisme telah menempatkan diri
di luar bidang yang dijangkau oleh Hemeneutik.

Selain penghayatan dari dalam dan menimba dari pengalaman hidup


sendiri, masih ada dua ide pokok lain dari Hermeneutika yang menyebabkan
pendekatan ini lain dari CLM. Dalam CLM dicari pola-pola hukum umum, ini
ditolak dalam Hermeutika. Barang siapa masuk ke dalam kulit seseorang pelaku
sejarah akan bertanya bagaimana ia sendiri akan meberikan reaksi-reaksi terhadap
keadaan-keadaan tertentu. Dengan lain perkataan bagaimana reaksiku terhadap
keadaan-keadaan ekstrim ini lebih menentukan suatau fakta (mengenai dirinya
sendiri) dari pada menerapkan pola-pola hukum umum, ini berarti bahwa
seseorang Hermenuitikus mengandalkan suatu pembelahan yang ditolak oleh
seseorang menganut CLM. Menurut Hermenuistika terdapat suatu bidang
penelitian ilmiah yang menuntut diterapkannya metode ilmiah-eksak, dari CLM di
suatu pihak dan bidang penelitian yang menuntut pendekatan Hermeneustis, di
pihak lain bidang pembuatan manusia yang diteliti oleh seseorang ahli sejarah.
Padahal menurut pandangan penganut CLM model penelitian yang satu dan sama
yaitu CLM berlaku dan berguna pada semua bidang penelitian. Menurut
seseorang pengamat Hermeneustika sifat bidang penelitian sekaligus menentukan
modul penjelasan yang harus kitapergunakan. Menurut para pendukung CLM sifat
bidang penelitian tidak relevan bagi modul keterangan yang dipergunakan. CLM
membela semacam Monisme dalam metode, sedangkan Hermenetika, dualisme
dalam penelitian. Menurut paham positifisme hanya terdapat satu metode untuk
mendapat pengetahuan yang dapat diandalkan, ialah metode yang digunakan
sains. Hermenuistik naik banding pada pengalaman hidup sendiri untuk
merekonstruksikembali gagasan-gagasan dan ide-ide seorang pelaku sejarah.
Itulah sebabnya Hermeneutika dapat disebut suatu cabang dari idealisme

Perbedaa kedua antara Hermeneutika dan CLM ialah kedudukan si ahli


sejarah, selaku subyek yang mengetahui di dalam Hermeneutika. Di dalam CLM
subyek hampir tidak memainkan peran. Dalam ilmu esksak pribadi peneliti
bahkan diabaikan pada abad ke 16. Bacon cudah berkata mengenai diri kami
sendiri, kami berdiam diri dalam Hermeneutika, pribadi peneliti penting sekali
karena ditambah dari pengalaman hidup peneliti sejarah sendiri. Namun perlu
diperhatiakan bahwa dalam bidang ini para penganut Hermeneuitka tidak sepaham
seratus persen. Di Inggris dan Amerika Serikat yang mengutamakan
penjelasanHermenuitis secara implisit atau eksplisit, disepakati bahwa
pengalaman hidup si peneliti sejarah pada garis besarnya sama sejauh pengalaman
hidup itu merupakan dasar untuk menerangkan tingkahlaku para pelaku sejarah.
Pemhalaman hidup peneliti A (Subyek Hermenuistik) dapat ditukar dengan
pengalaman hidup peneliti B karna hasil penelitian memperlihatkan suatu garis
besar umum, maka disinilah Hermeneustika mendekati CLM. Ini lain dalam
Hermeneustika di Jerman. Di sana subyek Hermeneustis tidak dapat ditukar. Ini
khusus berlaku bagi teori Gadamer.

Hermeneustika di Jerman (Dillhey dan Gadamer)

Tak dapat diragukan bahwa tokoh terpenting dalam sejarah Hermeneutika


adalah Wilhelem Dilthey (1838-1911) Dilthey ingin berbuat bagi ilmu-ilmu
rohani, khususnya bagi sejarah, apa yang diperbuat kami bagi ilmu eksakta. Kami
telah memberi jawaban mengenai struktur pengalaman kita, tentang kenyataan
fisik dan bagaimana struktur itu menentukan pengetahuan kita mengenai bidang
eksakta. Dilthey memusatkan perhatiannya kepada pengalama kita tentang dunia
historis. Pandangan Dilthey menentukan sejarah Hermeneutika. Baik di Jerman
sendir (Croce dan Collingwood) para filsuf sejarah sangat dipengaruhi oleh
Dilthey.

Suatau aliran filsafat yakni Fernomenologi yang berhutang budi pada


Dilthey ingat saja akan Huseri dan Heidegger. Neomarxismepun seperti kita lihat
pada diri Habermas. Untuk sebagian berakar dari warisan Dilthey. Lewat ahli-ahli
sosiologi seperti Weeber dan Smile, ide ide Delthey juga tersebar ke bidang ilmu
sosiologi. Dilthey memang bukan saja seorang filsuf sejarah yang berpengaruh, ia
juga menulis beberapa telaah historisyang membuktikan ketjaman observasi dan
penghayalannya.

Karya Dilthey yang bagi kita penting ialah buku yang ditulisnya pada
1911. De Aufbau Der Geschichtlichm Welt In Den Geisteswissenchaften (susunan
dunia sejarah menurut ilmu-ilmu sejarah) karna Dilthey sering mengulangi
pendapat-pendapatnya. Lagi pula menulis dengan gaya yang tidak jelas, maka
buku ini bukan bacaan waktu senggang. Seperti diatas telah kami singgung maka
sambil megikuti jejak Kant, Dilthey mempersoalkan sifat pengalaman kita
mengenai kenyataan historis, serta mengenai sifat pengetahuan kita mengenai
masa silam. Ide-ide Dilhey mengenai tiga konsep inti iyalah Erlebnis, Ausdruck,
dan Verestehn. Dalam uraian-uraian di bawah ketiga konsep tersebut akan
diterangkan ketika kita mengetahui pendapat Dilthey mengenai sifat pengalaman
historis kita, makapertama-tama kita perhatikan bagaimana menurut dilthey
pertama-tama kita mengalami dunia kita ini. seyiap engalaman baru demikian
Dilthey menurut isinya turut ditentukan oleh semua pengalaman yang pada
sampai saat itu telah kita miliki, sebaliknya pengalaman baru itu memiliki arti dan
penafsiran baru kepada pengalaman-pengalaman lama. Apa yang sedang kualami,
kilhat dalam cahaya masa silamku, cara kubayangkan masa silamku tergantung
pada pengalaman hidupku yang sekarang ku peroleh. Ada pengaruh timbal balik
terus menerus antara pengalaman baru dan lama. Justru proses timbal balik itu
adalah pengalaman dalam arti sejati oleh Dilthey. Disebut Erlobnis. Dalam
analisis Dilthey Erlobnisitu kita melihat pengaruh interpretasi teks yang
merupakan awal Hermeneutika. Mengenai penafsiran teks-teks Schleirmacher
mengatakan bahwa bagian-bagian hedaknyakita tempatkan dalam keseluruhan
teks, sedangkan keseluruhan teks hendaknya dimengerti dengan bertitik tolak
pada bagian-bagian. Dalam kegiatan denga Erlebnis, Dilthey sebetulnya
mengatakan hal yang sama. Di kemudian hari Dilthey akan menekankan lagi
kesejajaran antara penafsiran teks dan struktur Erlubnis kita. Pengaruh timbal
bailik itu kemudian oleh Dilthey disubsantikan, dijadikan probadi individu. Sifat
has seseorang pribadi kentara dari cara ia membuat keterkaitan antara pengalaman
lama dan baru menurut proses timbal balik itu. Singkatnya cara kita memberi
reaksi terhadap kenyataan merupakan ciri khas dalam kepribadian kita. Kesatuan
atau kebertautan dalam proses timbal balik itu, mewujudkan sifat dan struktur
pengalaman hidup kita, maka dari itu, tidak mengherankan dilthey sering
dinamakan seorang filsuf kehidupan, karena ia demikian erminat terhadap
pertanyaan bagaimana kita selaku manusia yang hidup mengalami kenyataan.

Dalam kesatuan atau kebertautanyang tadi telah kita sebut makaDilthey


melihat suatu aspek produktif dan resptif. Seseorang pelaku sejarah, seniman, ahli
pakar, dan sebagainya bertindak dan menciptakan berdasarkan kesatuan dan
kebertatuan yang khas bagi kepribadiannya. Seorang pelukis melukis sesuai
dengan khayala atau persepsinya terhadap kenyataan.dengan demikian kesatuan
dan kebertatuanitu memproyeksikan diri keluar, ke dalam suatu perbuatan
tertentu, sebuah karya seni ataupun gagasan. Disini kita berurusan dengan segi
produktifm akibat kesatuan dankebertatuan antara Erlebnis. Disini dilthey
memperkenalkan istilah Ausdruck (uang kapan) Ausdruck selalu merupakan
obyetivasi mengenai kebertatuan atau koherensi dalam Erlebnis

Dengan aspek respektif megenai kebertatuan dalam erlebnis, kita akhirnya


menginjak seorang peneliti sejarah, serta bidang penyusunan pengetahuan
mengenai sejarah. Disini Dilthey berubah dari seorangfilsuf kehidupan, menjadi
seorang toeretikus mengenai ilmu ilmu budaya. Bila seorang peneliti sejarah ingin
mengerti perbuatan seseorang pelaku sejarah (ingin mengerti sebuah Ausdruck)
dan ini berlaku bagi semua Ausdruck Erlebnis. Erlebnis manusia zaman dahulu
maka ia harus merekonstruksikan kembali erlebnis serta kesatuan dan kebertatuan
erlebnis dalam Ausdruck itu. Seseorang peneliti sejarah merekonstruksi kembali
erlebnis-erlebnis seseorang pelaku sejarah bila sambil mempergunakan
pengalaman hidup sendiri, mengaktualisasikan kembali keadaan-keadaan yang
dahulu meliputi pelaku sejarah ketika ia berbuat, merasakan emosi-emosi, dan
sebagainya. Seseorang ahli sejarah seolah-olah harus mementaskan kembali ke
atas panggung batinya pengalaman, dan proses-proses psikologi dan intelektual
terdahulu dirasakan seseorang pelaku sejarah. Di belakang gagasan ini,
bersembunyilah asumsi yang oleh Dilthey yang tidak diungkapkan bahwa dengan
merekonstruksikan kembali pengalaman hidup pelaku sejarah diatas panggung
batin si peneliti sejarah akan dihasilkan kembali efek sama seperti dahulu halnya
dengan pelaku sejarah itu. Akan tetapi jika kepribadian si peneliti sejarah
berlainan dengan kepribadian pekau sejarah apakah tidak terjadi perbedaan dan
penyimpangan?. Dilthey nampaknya tidak elihat adanya kesukaran-kesukaran.
Tapi jelaslah bahwa sekarang Dilthey menaruh minat yang besar kepada
Psikologi. Karna Psikologi meneliti manusia mencerna pengalama-pengalaman
dan oleh karna itu merupakan ilmu bantu penting bagi seseorang peneliti sejarah.
Dikemudian hari Collingwood akan mengecam kepercyaaan Dilthey akan ilmu
psikologi. Menurut Collingwood di dalam bidang penelitian Hermeneutika kita
tak pernah boleh naik banding pada pengetahua umum dan ilmiah manapun, tapi
biarlah kita kembali pada jalan pikiran Dilthey dahulu. Bila seseorang peneliti
sejarah telah merekonstruksi kembali, dalam batinya sendiri pengalaman-
pengalaman pelaku sejarah sambil mempergunkan pengalaman hidupnya sendiri,
maka ia mampu memahami perbuatan dan pemikiran pelaku sejarah itu. Ia
memahami, mengerti seorang pelaku sejarah, mengerti atau Vestehern itu selalu
ada konotasi dalam keadaan serupa itu. Maka aku sendiri juga akan berbuat dan
berfikir demikian. Untuk sebagian seseorang peneliti sejarah telah membuat copy
atau rekaman mengenai kesatuan dan kebertatuan dalam pengalaman yang
demikian khas bagi seorang pelaku sejarah.

Tidak perlu dijelaskan bahwa proses Verstehem itu tidak dapat diterapkan
pada bidang ilmu eksakta. Seperti telah kamu katakan diatas maka tak masuk akal
bila kita ingin memasuki kulit bahan-bahan yang diteliti aleh ahli kimia atau ahli
ilmu alam. Maka dari itu Dilthey melawankanVerstehem yang berlakudalam
ilmu-ilmu budaya dalam Erklaren (menerangkan) tang berlaku dalam ilmu-ilmu
alam yang berdasarkan pola-pola hukum umum. Erklaren selalu terbatas pada
gejala-gejala yang secara lahiria dapat diamati. Sedangkan seorang peneliti
sejarah mampu menyelami batin kenyataan Historis. Bentuk pengetahuan yang
diperoleh lewat Verstehen lebih kengkap dari pada erklaren, atau dengan
mengunakan sebuah kiasan ilmu alam hanya dapat melihat bayangan-bayangan,
tetapi seorang peneliti sejarah dapat melihat baik bayangan maupun yang
menyebabkan bayangan itu.

Sambil mengikuti jalan fikir dilthey kita tebrntur suatu masalah. Verstehen
itu baru mungkin bila sebelumnya kita sudah tau sedikit mengenai dunia
pengalaman seseorang pelaku sejarah. Andaikata dunia pengalaman itu bagi kita
asing sama sekali bagaimana proses Verstehen itu dapat dijalankan. Selanjutnya
bila ide-ide Dilthey itu benar makapengetahuan awalpun baru mungkin lewat
proses Verstehn Hemeneulis. Kesukaran ini dijawab oleh Dilthey sebagai berikut:
Verstehn itu tidak terjadi secara mendadak. Pengertian kita mengenai dunia
pengaaman dan kehidupan seseorang tokoh historis merupakan suatu proses yang
berlangsung terus menerus yang mungkin diperdalam dan diperhalus. Ada gerak
timbal balik antara Erlebnisdengan dunia pengalaman yang disebut lingkaran
Hermeneutis. Dalam segala proses untuk mengetahui pengetahuan, juga dalam
ilmu Eksakta terdapat lingkaran Hermeutis itu.

Secara singkat pandangan Dilthey dapat diringkas sebagai berikut:


manusia yang hidup dalam arus sejarah, terbenam dalam dunia penuh arti. Setiap
bagian dari dunia sejarah itu merupakan ungkapan Ausduck mengenai pemikiran
dan pembuatan manusia dan oleh karna itu menjadi pengemban arti. Pelaku
sejarah dan peneliti sejarah bersama-sama ambil bagian dari dunia itu dan justru
karena itu peneliti sejarah dapat mengetahui (Verstehen) seorang pelaku sejarah.
Dunia penuh arti oleh Dilthey diumpamakan Obyektiver Geiset ala Hegel. Itulah
lingkup pengantar yang meliputi baik pelaku sejarah maupun peneliti sejarah.
Baik kita sendiri menafsirkan pengalaman kehidupan kita sendiri secara kohern,
maka kita mampu mendekati dan merekontruksi kembali cara manusia zaman
dahulu menhayati dunianya berdasarkan barang-barang yang diwariskan sebagai
ungkapan penghayatan itu. Reoknstruksi itu tidak terjadi dengan mengandalkan
rekontruksi melainkan merupakan hasil suatu penalaran yang melakukan dengan
susah payah tetapi terus menerus dan proses penalaran itu dapat di kontrol. Di
kemudian hari Dlthey memperluas bidang Verstehen . Oleh Verstehen itu kita
tidak hanya memberikan kesatuan dan koherensi kepada alam pikiran dan
perbuatan orang perorangan. Melainkan dalam bidang gerakan-gerakan sosial dan
budaya. Verstehen itu lebih dekat pada penafsiran dari pada penghayatan. Tetapi
Hermeutika Dilthey selalu bergerak antara tiga patokan itu iyalah Erlubnis,
Ausdruck, dan Verstehen. Adapun tugas seorang peneliti sejarah adalah mengerti,
mengungkapkan, menhargai manusia dulu. Dalam Ausdruck itu, Erlebnis manusia
dulu terbeku, menjadi obyek penelitian.

Kita memasuki dunia Hermeutika Jerman dewasa ini dengan karya Hans
George Gadamer yang dilahirkan pada tahun 1900 di Heidelberg. Pada tahun
1960. Gardmer menerbitkan Waherheit und Methode (Kebenaran dan Metode)
salah satu karya filsafat yang paling monumental pada abad ini. buku ini yang
luarbiasa kaya yang aneka ragam isinya, tidak hanya suatu tahap dalam sejarah
Hermeutika. Baik dalam bidang sejarah filsafat, namun dalam lapangan filsafat
bahasa. Karya ini memaparkan pandangan-pandangan baru yang menakjubkan.
Karya Borty, Philosopy and the Mirror of Nature (1980) yang dianggap
Rvolusioner, sebetulnya banyak berhutang budi pada pandangan Gadamer dalam
bidang filsafah bahasa. Tetapi di bawah ini kita memusatkan diri pada
Hermeneustika sepeti dikembangkan oleh Gardmer dan yang lebih
memperhatikan penafsiran teks-teks dari pada penafsiran perbuatan manusia.

Kita masih ingat bagaimana dalam pandangan Diltheyhermenuistik


terutama merupakan sarana untuk memperoleh pengetahuan. Hal yang sama dapat
dikatakan mengenai kebanyakan perintis dan pengikut Dilthey. Tetapi Gardener
secara tegas menolak pendekatan teori pengetahuan atau pendekatan metode
selaras dengan pandangan Herdegger. Gardener tidak memandang Hermeutika
sebagai ciri khas dalam kehidupan manusia, ciri khas bagi manusia dan
eksistensinya. Gadamer memindahkan bidang penelitian Hermeutika di kawasan
teori pengetahuan ke kawasan antologi. Seperti seekor ikan hidup di dalam air
demikian namun hidup di dunia penuh arti. Dalam kasus si ikan kita lalu bertanya
berkat sifat-sifat mana ikan ikan dapat bertahan di dalam air. Bila berhadapan
dengan manusia timbul sifat-sifat manusiawi umumnya mana, ontologi macam
apa, dapat disimpulkan dari kenyataan, bahwa ia ambil bagian dalam dunia penuh
arti.

Pertama-tama perlu kita perhatiakn bagaimana pandangan Gadarmer


mengenai hubungan antara bahasa dan kenyataan. Kita cenderung melawan
bahasa dan pengetahuan, dan dengan demikian menempatkan ke dua unsur itu di
luar kenyataan bukan bahsa berbicara mengenai kenyataan, bukan pengetahuan
merupan pengetahuan mengenai kenyataan?. Jadi kita tempatkan bahasa dan
pengetahuan di luar kenyataan. Pandangan ini juga msuk akal, bahkan benar
mengenai ilmu-ilmu eksakta, namun harus kita tolak dalam kaitan dengan dunia
kita yang meliputi kehidupan perbuatan manusia. Dalam dunia ini bahasa,
pengetahuan, dan arti-arti hadir sama saja dengan barang-barang dan benda-benda
lainnya di alam kenyataan. Gejala bahsa dan ideologi politik sama-sama
merupakan bagian dari kenyataan yang meliputi kita seperti buku (benda fisik)
yang menganalisa ideologi itu. Bahasa bukan seperti podium transparan seperti
kaca yang ditembus oleh pandangan kita, untuk melihat dan memberi nama
kepada benda-benda dalam kenyataan, melainkan juga hadir sama
gamblangdengan benda-benda dalam kenyataan. Seperti kita sendiri merupakan
sebuah unsur dalam kenyataan yang mempunyai hubungan dengan barang-barang
lain dalam kenyataan, demikian pula kita sendiri dapat dipandang sebagai suatu
fungsi dari bahasa dan pengetahuan. Untuk sebagian kita ditentukan oleh faktor-
faktor fisik demikian juga adanya kia untuk sebagai ditentukan oleh bahasa.

Maka dari itu konsep pengalaman harus di tinjau kembali. Dalam bidang
sains. Pengalaman atau empiris dapat didefinisikan sebagai pengalaman sebagai
data-data yang ada dalam kenyataan. Pengalaman itu lalu dituangkan dalam
bahasa. Kia memperoleh kesan seolah-olah ada tiga bidang yang paralel yakni
dunia, bahasa dan ditenga-tengah pengalaman dipandang sebagai cermin.
Sebaliknya pandangan Gradmer dapat diumpamakan dengan seutas tali yang
terjadi karena dunia, bahasa, dan peninggalan dipintal. Gradamer menolak untuk
memisahkan dunia dan bahasa. Maka dari itu bahasa, kenyataan, pengalaman
menyatu. Pengalaman tidak mencerminkan dunia dalam bidang paralel yang di
sebut bahasa melainkan terus-menerus terarah dan terhadap dunia dan bahasa.
Dalam pengalaman kita mengenal kenyataan sosial historis. Pengalaman tak
pernah merupakan suatu jepretan seperti dalam ilmu eksakta, melainkan suatu
proses mengenai waktu tertentu akibat penyatuan bahasa, kenyataan dan
pengalaman. Selama proses itu bagian-bagian yang relevan bagi pengalaman
ingatan, harapan, dan emosi kita diaktifkan menjadi pengaaman. Pengalaman kita
mengenai dunia sosio historis dapat diumpamakan dengan pengalaman
kepandaian seseorang ahli seni lukis. Bila ia berhadaoan dengan sebuah lukisan,
ia ingat akan lukisan-lukisan yang dibuat olehpelukis yang sama atau pelukis yang
sama sealiran. Ia melihat sifat-sifat atau pelukis-pelukis yang sealiran. Ia menilai
sifat-sifat estetis sebuah lukisan itu dan mempertimbangkan kesan yang dibuat
oleh lukisan itu dalam jiwanya. Proses ini jauh lebih dari pada kpengalaman kita
tentang kenyataan alam. Kalau pengalaman dimengerti demikian maka suatu
penelitian dari sudut teori pengetahuan terhadap pengetahuan. Seperti dianjurkan
oleh kant dan Dilthey, tidak mungkin. Maka dari itu Hermeneutika ala Dilthey
yang menitikberatkan ilmu pengetahuan harus ditolak. Teori pengetahuan dan
Hermeneutika serupa itu mengandaikan bahwa kenyataan dan pengalaman
mengenai kenyataan dapat dipisahkan dan ini ternyata tidak mungkin. Oleg karna
itu Gadamer mengusulkan untuk meneliti pendalaman Hermeneutis sendiri
sebagai salah satu unsur atau kategori dalam eksistensi manusia. Ontologi
Hemeneutis hendaknya menggantikan teori pengetahuan Hermeneutis. Kita juga
memusingkan diri dengan pertanyaan dari teori pengetahuan, bagaimana kita
dapat memperoleh pengetahuan mengenai masa depan, melainkan bagaimana
pengetahua dan pengalaman dari masa silam merupakan bagian dari eksistensi
manusia. Karna pengertian teori pengetahuan dan metode erat hubungannya.
Maka Gadamer juga menyangkal bahwa terdapat suatu metode Hermeneutis.
Sepeti dengan tepat dicatat oleh K.G. Faber, judul bukunya ditulis Gadamer lebih
baik berbunyi, kebenaran dan bukan metode.
Penolakan Gadamer terhadap teori pengetahuan fan metode agar memberi
tempat kepada ontologi mempunyai konsekuensi penting yang sebetulnya
merupakan konsep pokok yang mendasari Hermeneutika. Setiap analisisi yang
didukung oleh satu teori pengetahuan dan suatu metode tertentu yang meneliti
bagaimana pengetahuan pada umumnya diperoleh dan pengetahuan sejarah pada
khususnya,berdasarkan gagasan, bahwa pengetahuan dapat diperoleh oleh seorang
subyek yang tahu. Subyek ini pada prinsipnya dapat di ganti oleh seorang subyek
lain, asal ada suatu metode tertentu untuk meraih pengetahuan untuk diterima
siapa saja. Yang penting ialah metode dan subyeknya hanya penting, sejauh iya
menerapkan metode itu. Subyek yang tahu dijadikan ekor bagi metode. Subyek
yang tahu ditanggalkan dari segala sifat-sifatnya yang khas dan dijadkan semacam
mesin yang tidak berpribadi, guna memperoleh pengetahuan. Gadamer
menekankan bahwa ini tidak hanya berlaku bagi Certasianisme, empirisme, dan
positivisme, melainkan juga bagi penganut-penganut Hermeneutika. Pada abad
ke-18 bahkan bagi Dilthey pun yang filsafat kehidupannya demikian
memperhatiakan pengalaman hidup yang khas bagi setiap individu maka,
Verstehen dan Nacherleben merupakan suatu proses yang dalam keadaan ideal
berlangsung sama bagi semua peneliti sejarah. Jadi tidak memperhatikan
individualitas si peneliti.

Dengan mendasarkan pengalaman Hermeneutika tidak pada teori


pengetahuan, melainkan pada ontologi maka Gadamer sampai pada pendirian
bahwa setiap pengetahuan Hermeneutis mengenai masa silam, terkait akan dan
bertautan dengan individualistis si peneliti. Memahami selalu terjadi dalam
cakrawala pengalaman si peneliti. Kita tidak hanya berurusan dengan cita rasa
kehidupan atau cakrawala pengalaman seseorang pelaku sejarah atau seseorang
pengarang teks. Melainkan juga dengan cakrawala yang meliputi si peneliti atau
seseorang penafsir teks. Berdasarkan segala pengalaman, praduga, tradisi-tradisi
umum yang diterima, dan seterusnya, dan yang semuanya itu mewujudkan
identitasnya sendiri. Tugas seorang ahli sejrah adalah meluluhkan cakrawala
pelaku sejarah dengan cakrawala peneliti sejarah. Dalam proses ini peneliti
sejarah tidak dapat dikesampingkan. Unsur revolusioner dalam pandangan ini
ialah praduga seseorang peneliti sejarah serta tradisi-tradisi yang
diterimanyadengan sadar atau tidak sadar. Tidak merupakan penghalang,
melainkan justru syarat mutlak agar Versthen itu berhasil baik. Subyektifitas
seseorang peneliti sejarah jangan dicemaskan, melainkan membuat sebagai gapura
menuju dunia sejarah. Tradisi, otorial, dan pandangan hidup sendiri tidak
merupakan musush melainkan bersama-sama berupa katalisator bagi segala
peneliti sejarah. Seseorang peneliti yang menerima keterikatannya akan tradidi-
tradisi tertentu dan dengan kesadaran itu mendekati masa silam, baru sungguh
terbuka bagi masa silam. Karena ia menyadari jurang antara dia sendiri dan masa
silamyang ditelitinya. Dia baru mengakui unsur-unsur asing dalam masa silam.
Subyek Empirisme atau subyek dalam Hermeneutika ala Dilthey dapat ditukar
dengan seseorang subyek lain. ia mengatasi arus sejarah dan dengan mata jernih
dapat memandang masa silam, tetapiakibatnya ia tidak melihat unsur asing dalam
masa silam, menerima dirinya sendiri, menyadari dirinya sendiri, dan mengenai
dirinya sendiri adalah mutlak perlu, agar kita dapat memahami apa yang asing
terhadap diri kita. Orang-orang yunani dulu baru dapat memaklumi dunia dalam
kelainannya. Sesudah mereka mengenal diri sendiri tentu saja kesadaran diri itu
hendaknya dipengaruhi segala kesombongan diri sendiri. Dengan demikian kita
sampai pada paradoks bahwa kita harus setia terhadap diri kita sendiri agar dapat
memahami masa silam.

Masih ada konsekuensi lain pada pendirian Gadamer yang mengherankan.


Semenjak Schleiermacher, bahwa tugas seseorang peneliti sejarah ialah
menentukan maksud semula dari seseorangpengarang teks atau maksud yang
mendasari perbuatan seorang pelaku sejarah. Apa yang dimaksud pengarang
dengan teks ini mengapa tokoh itu berbuat demikian?. Karna Gadamer mengakui
bahwa cakrawala pengalaman peneliti sejarah memainkan peran tersendiri,
makaVerstehen baru juga bersifat episodis. Artinya, Verstehen itu selalu berkaitan
dengan sebuah peristiwa yang hanya sekali terjadi, yang dapat dilakukan sebagai
suatu pertemuan antar teks dan juru tafsir. Gadamer tidak mencari pengarang yang
bersembunyi di belakang teks, melainkan apa yang terjadi antar teks dan juru
tafsir. Pengarang teks mundur ke balakang, sama seperti arti semula teks itu.
Adapun alasan yang diajukan Gadamer, bagi pandangan yang
menakjubkan itu sebagai berikut, sebuah teks dari ini juga bagi perbuaian dan
pikiran seseorang tokoh. Sejarah tidak jatuh dari langit, tidak tercipta dari
keadaan, yang dimaksud Gadamer bukan gagasan lumrah, bahwa segala sesuatu
hendaknya kita lihat dalam konteks waktunya. Ia membayangkan sesuatu yang
lain. disini perumpamaan yang diatas telah diutarakan yakni pengarang atau tokoh
itu hidup bagaikan ikan di dalam air dapat berjasa lagi. seperti seorang ikan hidup
di dalam air, demikian kita pun hdup di tengah-tengah dunia penuh arti. Ikan baru
menyadari bila ia hidup di dalam air jika ia dikeluarkan dari air. Demikian kita
pun tidak memperhatikan arti-arti yang terwujud dalam kenyataan sosio historis
yang meliputi kita. Seperti ikan itu, kitapun terbawa oleh arus ais. Yakni arus
kenyataan di sekitar kita. Arti ciptaan-ciptaan kita sendiri tidak dapat kita
tuntaskan secara tuntas hasil karya kita sendiri. Mengembang di atas arus arti-arti
yang tidak disadari oleh kita sendiri. Ini juga berlaku bagi seniman dan pengarang
dari masa silam. Karya seni atau teks lebih merupakan suatu konsentrasi atau
ikatan arus-arus arti ditengah-tengah dunia sosio histors, bukan suatu arti serba
baru yang diciptakan oleh seseorang seniman atau pengarang dan yang dimengerti
sendiri secara tuntas. Karya seni atau teks hendaknya pertama-tama kita lihat
sebagai salah satu eksponen mengenai arus-arus arti yang menghasilkan karya
seni atau teks itu. Mencari maksud pengarang atau seniman sebetulnya baru
merupakan penafsiran pertama mengenai sbuah karya seni atau teks. Tafsiran
pertama itu ditambah dengan tafsiran lain yang kemudian hari dikembangakan
oleh Gadamer disebut Wirkungsgeschichte (riwayat perkembangan) sebuah teks
atau karya seni. Maksud pengarang tidak menduduki temoat istimewa, tetapi
hanya berfungsi sebagai tafsiran pertama. Sebetulnya apa yang harus kita
bayangkan bila kita berusaha untuk melacak maksud pengaruh. Beberapa jumlah
buku yang telah ditulis mengenai filsafat-filsafat politik Roussecau, mustahil
mengatakan bahwa dalam salah satu buku itu dipaparkan maksud asli Rosseau.
Ucapan serupa itu telah merupakan suatu tafsiran mengenai filsafat politik
Rosseau atau berdasarkan tafsiran serupa itu. Selanjutnya dapat disangsikan
apakah ada gunanya dan apakah masuk akal, mencari makna asli dalam emile,
karangan Rosseau itu?. Rupanya menarik. Tapi ternyata tidak mungkin. Yang
lebih menarik adalah pertanyaan, apa makna teks itu bagi kita sekarang ini,
bagaimana kita dapat mempergunakan teks itu sekarang atau menerapkannya?.
Masalah aplikasi ini, bagaimana sebuah teks dapat kita terapkan sekarang, bagi
Gardamer jauh lebih menarik dari padasegala usaha mandul, melacak kembali
maksud asli si pengarang. Tujuan Versthen secara Hermeneatis itu bukanlah
pertama-tam menyusun kemabali masa silam atau maksud asli seseorang
pengarang atau tokoh sejarah, melainkan integrasi optimal masa silam atau sebuah
teks dalam Wirkungsgeschihte-nya, dalam arus perkembangan artinya.

Tidak mengherankan bahwa penghargaan Gadamer bagi tradisi, praduga


serta otorita yang terwujud dalam praduga itu menimbulkan reaksi-reaksi. Para
ahli pikir yang mengkritik masyarakat kita sekarang ini, seperti Habermas,
seorang tokoh neomarkis mempersalahkan Gadamer menghambat usaha dan
memperbaiki nmasyarakat. Kritik ini antara lain juga diberiangin oleh Gadamer
dalam bidang politikyang berhaluan konservatif. Bagi banyak filsuf lain
pandangan Gadamer yang tidak mengutamakan maksud pengarang yang asli,
terlalu radikal. Demikian E. Betti tetap mempertahankan pendapat bahwa tujuan
penelitian sejarah ialah sejauh mungkin melacak kembali maksud seseorang
pengarang atau tokoh sejarah. Bagaimanapun juga kritik kita terhadap Gadamer,
tak seorangpun akan menyangkal, bahwa karyanya memperlihatkan kekayaan
intelektual, pengetahuan yang luas, serta orisinalitas yang luar biasa.

Hermeneutika di Inggris dan Amerika:

Dalam pusaran diskusi mengenai pro dan kontranya hermeneutika,


menjulang karya R.G Collingwood (1889-1943), seorang ahli arkeologi dan filsuf
sejarah berkebangsaan Inggris. Sebelumnya agak ironis bahwa Collingwood
umumnya dipandang sebagai juru bicara pendirian Hermeneutika yang klasik,
karna titik pangkalnya terdapat di lain tempat. Telah kita lihat bahwa Collingwood
iyalah membantah skeptipisme, sejauh skeptipisme itu berdasarkan pandangan
bahwa kita tidak dapat memperoleh pengetahuan mengenai masa silam yang dapat
diandalkan, karena kita tidak lagi dapat mengalami masa silam itu. Jawaban
Collingwood bahwa masa silam dapat diulang kembali dalam batin kita, sehingga
pengetahuan berdasarkan pengalaman mengenai masa silam tidak mustahil. Tentu
saja seseorang peneliti sejarah tidak dapat mengulangi segala-galanya dari masa
silam dalam batinnya, misalnya akan pertempuran dekat Tanjung Salamis (480
SM) atau kejadian sosio ekonomis di Jawa pada masa pemerintahan sultan Agung.
Tetapi apa yang hidup di dalam benak para tokoh sejarah dapat di ulang.
Singkatnya teori Collingwood mengenai re-enactiment bukan pertama-tama suatu
jawaban terhadappertanyaan mengenai keterangan atau penjelasan historis.
Melainkan bagaimana kita dapat memperoleh pengetahuan yang dapat diandalkan
mengenai masa silam. Tentusaja jawaban terhadap pertanyaan ke dua mengarah
kepada jawaban terhadap pertanyaan pertama. Disinipun kita melihat bahwa
Hermeneustika sering lebih luas jangkauannya dari pada hanya memberi jawaban
kepada pertanyaan mengenai keterangan historis.

Hemrneustika tidak dikembangakn Collingwood jelas dari sederhana. Ia


mulai menetapkan bahwa perbedaan pokok antara pengkajian sejarah dan ilmu-
ilmu estetika, terletak dalam kenyataan bahwa peneliti sejarah tidak hanya
berurusan dengan ketentuan historis obyek penelitiannya melainkan juga dengan
batin dan kelakuan mereka. Menghayati kembali situasi seseorang tokoh sejarah
niscaya meneliti batin tokoh itu. Kita hanya dapat menghayati apa yang hidup
dalam benak seseorang dan yang disadarinya. Oleh karna itu Colling wood
berpendapat bahwa semua sejarah merupakan sejarah alam pikiran. Collingwood
menggaris bawahi bahwa re-enactment itu bukan hasil intuisi penelitian sejarah
yang tidak dapat di kontrol. Si peneliti sejarah tidak menghapus dirinya sendiri,
lalu menjelma kembali dalam batin seorang tokoh sejarah. Re-enacment
merupakan suatu proses yang payah dan panjang, si peneliti sejarah maju langkah
demi langkah berdasarkan pengetahuan mengenai masa silam dan keadaan yang
meliputi tokoh sejarah yang bersangkutan, lalu dalam batinya sendiri mengulangi
pikiran si tokoh sejarah. Tetapi peneliti sejarah selalu sadar bahwa re-enactment
itu terjadi dalam batinnya sendiri tertampung dalam pikirannya sendiri sehinga
tidak terjadi identifikasi total antarapeneliti sejarah dan tokoh sejarah, tentu saja
peneliti sejarah hendaknya selalu penuh imajinasi. Ia harus pandai mengadakan
ekstrapolasi dan intarpolasi. Menurut pengalamannya sendiri, tetapi re-enactment
itu merupakan suatu proses yang dapat diikuti setapak demi setapak oleh kritik
sejarah dan juga dapat dinilainya.
Uraian di atas tidak berarti bahwa apa yang terjadi di luar batin manusia
tidak termasuk bidang penelitian Hermeneutika. Seseorang tokoh sejarah pasti
menyadari aspek-aspek lahiriah dalam masa silam. Suatu krisis ekonomi atau
bencana alam dapat merupakan obyek penelitian Herneutika sejarah.anehnya
bahwa Collingwood menolah kemudian mengatakan re-enactment terhadap
emosi-emosi atau perasaan-perasaan. Berhubung rasa lapar, takut, kebahagiaan,
dan nafsu seksual merupakan sifat-sifat manusiawi yang umum, maka dapat
dibayangkan

Anda mungkin juga menyukai