Anda di halaman 1dari 4

Nama : Marna Listi

Nim : 012322
Tugas : Meringkas buku hal 302-322

Kritik naratif adalah cabang dari kritik sasra yang disebut dan mirip dengan apa yang
telah dikerjakan oelh para pembaca sasra klasik berabad-abad lamanya. Dalam beberapa
cerita perlu memisahkan penggubah yang terselubung dari narator, istimewah bila disana ada
narator khusus dalam cerita, misalnya dalam alkitab, kecuali dalam kisahbrasul tentang
konotasi “kita”. Narator adalah pembicara yang tidak tampak dalam teks, khusus yang
terdengar dalam saksi-saksi editorial. Narator menceritakan kepada kita suatu cerita dan pada
waktunya menafsirkan artinya. Contoh yang baik dalam kiisah para rasul, narator
berkesinambungan menceritakan kepada kita keberhasilan injil melalui karya rohb kudus
dalam gereja. Narator memilki karakter yang pentijmg, walaupun ia tidak selalu dapat
dibedakan dari Allah yang memberi inspirasi kepadanya.
Sudut pandang adalah suatu perspektif yang dilakukan oleh berbagai karakter atau
aspek-aspek dalam naratif. Hal itu selalu dikaitkan kepada narator yang berinteraksi dengan
cerita dalam berbagai cara yang menghasilkan pengaruh bahwa cerita dapat
diketahuipembaca. Sudut pandang menunjukkan gaya atau makna cerita. Disini sudut
pandang menunjukkan konsep benar atau salah yang berlaku dalam naratif. Narator tidak
muncul dalam cerita, tetapi ia berada disegala tempat dan maha tahu (omniscient). Tindakan
narator bukan saja maha tahu dan disemua tempat bisa hadir (omnipresent).
Perspektif ruang adalah perspektif waktu, yang dapat mempertimbangkan suatu aksi
dari dalam cerita (dari sudut pandang sekarang) atau dari waktu mendatang. Sudut pandang
penyusunan kata (fraselogi) berkaitan dengan dialog atau pidato dalm suatu naratif.
Pembicara mampu mendengar ke dalam dialog, yang mana seseorang tidak pernah
mendengar di dalam dunia normal. Khusus dari sudut pandang membentuk perspektif dunia
naratif dari suatu buku. Buku-buku sejarah Alkitab menghadirkan dunia nyata (realistic
word). Tekas fiktif dapat dibedakan dengan teks sejarah, namun ketika masih menemukan
dunia fiktif dan teks sejarah berbeda artinya.
Naratif dan waktu cerita, pengekajian disini menyangkut tata peristiwa dalam dan
langka dimana mereka berkaitan yang satu dengan yang lain. Waktu naratif dibedakan dari
kronologi karena hal itu berkaitan dengan penyusunan kesusasraan lebih daripada urutan
sejarah. Bagi pengkajian sejarah purbakala yang penting bukan urutan tatanan, tetapi
gambaran yang dramatik kepada pentarikan. Hal itu dapat dipelajari dalam keempat injil
yaitu; matius,markus dan lukas.
Jelas unsur kronologi (pentarikan) tidak begitu diutamakan, tetapi para penginjil lebih
memperhatikan dan mengaitkan makna hidup dan pelayanan Yesus daripada daripada hanya
memberi secara mendetail kehidupannya. Arti dan peranan waktu perlu dikaji. Waktu
dibedakan secara urutan alamiah (natural order) dan urutan pengisahan narasi (narative
order). Waktu urutan alamiah misalnya, dalam kej 1:5 “jadilah petang dan jadilah pagi, itulah
hari yang pertama. Waktu urutan pengisahan narasi berhubungan dengan kejadian/peristiwa,
misalnya, kej 22:1, setelah semuanya itu Allah mencobai Abraham. Ketidaksinambungan
sementara (temporal discontiniuty sebagai istilah stenberg) atau ketegangan cerita
( susupense) berlaku sebagai suatu alat yang mempertinggi keterlibatan pembaca dalam
drama itu. Penggubah akan menyebabkan suatu kekosongan (gap) dalam cerita dengan
mengeggeser peristi-peristiwa dan ia akan meciptakan ketenggangan dengan menyediakan
suatu pengetahuan yang belum utuh tentang hal yang akan mendatang.
Menurutu stenberg, Alkitab lebih cenderung membatasi ketegangan sesuai dengan
pengawasan ilahi dari pemantauan dunia, karena Allah itu maha tinggi, maka hal itu tidak
dapat dan tidak sesuai pelaksanaannya pada ketidakpastiannya.
Narator mengendalikan drama atau pemindahan sementara oleh pembentukan naratif
yang mendatang melalui analogi, kasus paradigma atau ramalan dramatis. Analogi yang
dimaksud misalnya menyangkut penerapan pelajaran masa lalu seperti pengembangbiakan
keturunan yang lebih muda antara bapak leluhur, seperti dari Yakub kepada Yusuf, kepada
Musa dan kepadan Daut. Paradigma yang dimaksuk menyangkut logika hukum ilahi seperti
lingkaran dari dosa kepada hukuman, dan kepada pertobatan, dan penerima kembali (hak
2:11-19). Ramalan dramatis terjadi pada masa nabi-nabi.
Alur (plot), alur meliputi satuan urutan tentang peristiwa-peristiwa yang mengikuti
tatanan sebab akibat. Hal ini membentuk kepada satuan klimaks dan melibatkan pembaca
dalam dunai naratif suatu cerita. Unsur utama alur cerita ialah ketegangan atau suasana
pertentangan. Ketegangan yang diciptakan narator membuat cerita suapaya menarik bagi
pembacanya. Alur cerita makin baik apabila ketegangan selalu ditimbulkan oleh narator,
membuat pembaca tidak mengantuk. Cerita makin rumit, menegangkan dan meluas, makin
enak jalan ceritanya diserap oleh pembaca.
Dalam menganalisis alur cerita harus dibedakan analisis alur dengan analisis insiden
atau peristiwa. Dalam analisis insiden, tugas peneliti menyangkut peristiwa satu dengan yang
lain, sedangkan analisis alur diteliti tujuan tokoh utama, tokoh pelengkap, proses
perjalanannya mencapai akhur tujuan utama. Dalam proses ditemukan ketegangan
(suspenses) yang menjadi inti alur cerita. Dicari faktor penentang atau pendukung, warna
sari atau sifat dan perilaku, baik yang timbul dari dalam dan luar diri manusia itu sendiri
(alam sekitar). Dalam Alkitab dapat dilacak kuasa Allah lawan kuasa dunia atau iblis.
Kesatuan dan garis-garis sebab akibat (kausalitas) dalam urutan dramatis dari cerita pertama
menarik pembaca kepada dunaia naratif dan kemudian membantu pembaca untuk menghayati
sudut dan memahami tujuan.
Menurut Culpepper yang menguntip pemahaman Aristoteles tentang karakter-karakter
manusia memiliki empat mutu/kualitas, mereka harus mempunyai;
1) Moralnya baik (morally good)
2) Sesuai (suitable)
3) Bentuk kehidupan (lifelike)
4) Tetap (konsistent)
Narator menggunakan teknik untuk menggambarkan karakter-karakter dan membimbing para
pembaca kepada pemahaman yang sesuai dengan peranan-peranan meraka.
Menurut Chapman ada empat teknik naratif, yaitu menyangkut;
1) Tempat atau letak geografis
Mencari lokasi/tempat dalam penelitian sangat perlu karen juga menyangkut
waktu dan unsur sosiologi dan psikologinya.
2) Waktu (temporal)
Sangat dibutuhkan karena bukan saja letak/setting tempat, tetapi juga waktu.
3) Kemasyarakatan (sosial) atau berkaitan dengan sejarah (historical)
Letak kemasyarakatan juga dapat mengkomunikasikan pesan yang kuat.
Tentang sosial (kemasyarakatan) bersangkutan dengan pesan Allah,
penyerangan arena sosial dann menyucikannya dalam terang Allah yang ajaib.
Misi yang menyangkut perijntah, sebagaimana yesus menggunakan letak itu
(setting) untuk mengajar pengikut-pengikut-Nya berhubungan dengan tujuan
yang benar dan misi yangb benar. Catatn keyahudian tentang persekutu
perjamuan, menduga bahwa praktik tentang pembagian roti meliputi
pembagian kehidupan.
4) Letak (setting) sejarah menyajikan alat bantu yang berisis penafsiran. Dua
arah yang benar;
1. Letak sejarah dibelakang teks (seperti pendataan tentang Yesaya dan
Amos) menceritakan kepada kita apakah periode sejarah yang kitab
terapkan kepada mereka. Kita dapat mengenal letak yang tepat dari
problema bahwa Amos telah menyelamatkan umatdan karena itu
memahami teks itu lebih baik.
2. Letak sejarah dibelakang tulisan buku-buku Alkitab juga membuat isi/arti
cerita berbeda-beda. Apakah matyius telah menulis dalam konnteks yahudi
atau kekafiran, sejak masalah-masalah timbul seperti yang diduga matius
tentang anti-semitisme amatlah berpengaruh.
penjelasan yang implisit, yang dimaksud ialah yang menyangkutteknikm retorik
dimana penggubah (author) mengatakan ceritanya atau gaya bahasanya. Dengan
menggunakan ironi, komedi, simbolik, dll. Penulis membimbing pembaca dengan melalui
drama ceritanya. Permasalahan untuk pembaca ialah mengenali dan menafsirkan dengan
layak pesan yang dipentingkan diluar teknik-teknik ini. Jadi langkah pertama mengenal dan
menafsirkan bagaimana mereka berfungsi.
Pengulangan (repitition) suatu metode yang ditemukan berulangkali. Robert Alter
meneliti adanya lima jenis tipe pengulangan dalam naratif, yaitu;
1. Leitwort atau akar kata, dalam mana bahasa-bahasa yang sama asalnya diulangi
untuk mempengaruhi sesuatu, misalnya dalam buku Rut istilah “pergi” dan
“kembali” (pasal 1) dan cerita Bilem “melihat”.
2. Motif yaitu ppengulangan dari cerita yang nyata dipakai secara simbolik, misalnya
api dalam cerita Simson, air dalam cerita Musa.
3. Tema, dalam mana ide tertentu atau nilai menjadi fokus, sistem niali berisi moran,
moral psikologi, hukum, potik, kesejarahan, teologi. Tema dapat berkaitan
dengann motif, misalanya; kepatuhan lawan pemberontakan dalam perjalanan
digurun pasir.
4. Urutan kegiatan-kegiatan, selalu selalu terjadi dalam tiga rangka, misalnya; tiga
perwira dan pengawalnya menasihati kehancuran yang kejam dalam 2 raj.1 ; tiga
malapetaka yang menghancurkan harta ayub , dan keempat anak-anaknya
dibunuh;
5. Jenis adegan, kunci peristiwa dalam kehidupan pahlawan yang diulang-ulang
lebih dari satu kali, yang digabung dari urutan motif yang cocok. Hal ini juga
berkaitan dengan tema-tema tertentu yang timbul berulang-ulang, misalnya
pengumuman kelahiran pahlawan; bertunangan disumur, pencobaan digurun pasir,
bandingkan lagi pemberian makan lima ribu dan empat ribu orang.
A Berlin menjelaskan pengulangan itu selalu digunakan untuk menunjukkan cerita lebih
daripada satu sudut pandang, misalnya dalam 2 sam:18 yang memaparkan kesedihan Daud
tentang Absalom dari tiga tempat yang menguntungkan, yaitu diri Daud, Yoab, dan semua
umat. Bandingkan pula 2 sam:11, dimana melalui kesenjangan-kesenjangan (gaps) dinaikkan
ketegangan dalam naratif lalu pembaca merasa emosi dari teks timbul dengan cara yang lebih
berkuasa. Teknik yang bermasalah menyangkut kesenjangan dalam naratif, yang dihilangkan
oleh penulis untuk mendesak pembaca melibatkan diri dalam drama. Teks pengawasan proses
pengisian “kesenjangan”, yang berarti informasi yang terdahulu, pengembangan alur cerita
dan pengenalan karakter-karakternya, kesepakatan kebudayaan yang berada di luar cerita
menjadi berfungssi.
Pembaca terselubung (implied reader), pemebaca yang dimaksud disini, secara tidak
langsung yang terselubung, tersembunyi; yang ikut diperhitungkan, termasuk digolongkan.
Menurut teori bahwa dianggap setiap buku memiliki kelompok pembaca-pembaca dalam
ingatan dan hayalan. Untuk emngatasi kelemahan teori kritik naratif yang berkembang
selama ini osborne mengusulkan perlunya:
1. Analisis struktural
2. Analisis gaya bahasa
3. Analisis redaksi
4. Analisis eksegese
5. Analisis teologi
6. Analisis kontekstualisasi
7. Analisis bentuk naratif dan kotbah.

Anda mungkin juga menyukai