Anda di halaman 1dari 4

ANGIOSTRONGYLIASIS (Eosinophilic meningoenchepalitis, Eosinophilic meningitis)

Postingan kali ini bersumber dari E-Book dengan Judul Manual Pemberantasan Penyakit
Menular, by James Chin, MD, MPH Editor dan Dr, I Nyoman Kandun, MPH Edisi Ke 17 tahun
2000 ANGIOSTRONGYLIASIS ICD-9 128.8; ICD-10 B83.2 (Eosinophilic
meningoenchepalitis, Eosinophilic meningitis) 1. Identifikasi. Penyakit nematoda dari Susunan
Saraf Pusat (SSP) terutama menyerang selaput otak. Invasi parasit mungkin tidak memberikan
gejala atau muncul gejala yang ringan, pada umumnya ditandai dengan sakit kepala berat, kaku
pada leher dan punggung dengan paresthesia yang bervariasi. Kira kira 5 % penderita mengalami
kelumpuhan pada muka dan terjadi secara temporer. Demam ringan mungkin muncul. Cacing
ditemukan di Liquor Cerebrospinalis (LCS) dan mata. LCS biasanya menunjukkan gejala
pleositosis dengan lebih dari 20 % eosinofil; Eosinofilia tidak selalu ada tetapi mencapai sekitar
82 %. Penyakit berlangsung dari beberapa hari hingga beberapa bulan. Jarang terjadi kematian.
Diferensial diagnosis adalah dengan cysticercosis otak, paragonimiasis, echinococcosis,
gnathomiasis, tuberculous meningitis, coccidiodal meningitis, aseptic meningitis dan
neurosyphillis. Diagnosa, terutama di daerah endemis, yaitu dengan ditemukannya sel eosinofil
di dalam LCS dan adanya riwayat pernah mengkonsumsi kerang mentah. Tes imunodiagnostik
bersifat presumtif; ditemukannya cacing di dalam LCS atau pada otopsi lebih menegaskan
diagnosa. 2. Penyebab penyakit Parastrongylus (Angiostrongylus) cantonensis, adalah nematoda
(cacing paru dari tikus). Larva stadium 3 pada hospes intermediair (kerang darat atau kerang
laut) infektif terhadap manusia. 3. Disribusi penyakit. Penyakit ini endemis di Hawaii, Tahiti,
banyak pulau di Kepulauan Pasifik, Vietman, Thailand, Malaysia, Cina, Indonesia, Taiwan,
Filipina dan Kuba. Nematoda ditemukan di bagian utara Jepang, Selatan Brisbane, Australia dan
di Afrika ditemukan di bagian barat Pantai Gading dan juga dilaporkan ditemukan di
Madagaskar, Mesir, Puertorico dan New Orleans (AS). 4. Reservoir : tikus (Rattus and
Bandicota spp) 5. Cara penularan : Karena memakan siput mentah atau setengah matang, siput
dan planarian darat yang merupakan hospes intermediair atau berperan sebagai alat transport
yang mengandung larva infektif. Udang, ikan dan kepiting darat yang memakan kerang atau
siput bisa membawa larva infektif. Salada dan sayuran lainnya yang terkontaminasi oleh kerang
kecil bisa berperan sebagai sumber infeksi. Kerang terinfeksi oleh larva stadium pertama yang
diekskresikan oleh tikus yang terinfeksi; pada saat larva stadium ketiga berkembang didalam
kerang, maka tikus (dan manusia) yang menelan kerang juga akan terinfeksi. Di dalam tubuh
tikus, larva pindah ke otak dan di otak matang menjadi stadium dewasa; larva dewasa muda
pindah ke permukaan otak dan melalui pembuluh vena mencapai tujuan akhir mereka di arteri
pulmonaris. Sesudah kawin, cacing betina meninggalkan telur-telurnya yang kemudian menetas
di ujung arteri pulmonaris; larva stadium pertama memasuki sistem bronkhi, melewati trakhea,
tertelan dan keluar melalui tinja. Pada manusia, siklus ini jarang sekali melewati stadium SSP
(Susunan Saraf Pusat). 6. Masa inkubasi : Biasanya 1 – 3 minggu, bisa juga lebih pendek atau
lebih panjang. 7. Masa penularan : Tidak ditularkan dari orang ke orang. 8. Kerentanan dan
kekebalan. Semua orang rentan terhadap infeksi. Malnutrisi dan penyakit penyakit yang
melemahkan keadaan umum bisa membuat penyakit ini bertambah berat bahkan fatal. 9. Cara
pemberantasan. A. Tindakan pencegahan. 1). Memberi penyuluhan kepada masyarakat umum
tentang cara-cara menyiapkan makanan mentah dan makanan yang berasal dari siput baik siput
darat maupun laut. 2). Pengendalian tikus. 3). Rebus siput, udang, ikan dan kepiting selama 3 – 5
menit atau bekukan pada – 15 oC (5oF) selama 24 jam; tindakan ini efektif membunuh larva. 4).
Hindari makan makanan mentah yang terkontaminasi oleh siput dan mollusca, membersihkan
salada dan sayur-sayuran dengan seksama untuk menghilangkan mollusca tidak selalu dapat
menghilangkan larva yang infektif. Radiasi dan pasturisasi akan sangat efektif. B. Pengawasan
dari penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 1). Laporan kepada institusi kesehatan setempat;
laporan resmi tidak dilakukan. Class 5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 2). Isolasi:
tidak dilakukan. 3). Disinfeksi serentak : Tidak diperlukan. 4). Karantina : tidak dilakukan. 5).
Imunisasi kontak : tidak dilakukan. 6). Investigasi dari kontak dan sumber infeksi : perlu
dilakukan investigasi terhadap makanan yang diduga sebagai sumber infeksi serta cara-cara
makanan tersebut disiapkan. 7). Pengobatan spesifik : Mebendazole dan albendazole efektif
untuk pengobatan anak-anak di Taiwan. C. Penanggulangan wabah : Jika ditemukan adanya
pengelompokan sejumlah kasus dalam wilayah geografis tertentu atau pada suatu institusi
tertentu, segera lakukan penyelidikan epidemiologis. D. Implikasi bencana : tidak ada. E.
Tindakan internasional : tidak ada. ANGIOSTRONGYLIASIS ICD-9 128.8; ICD-10 B83.2
(Eosinophilic meningoenchepalitis, Eosinophilic meningitis) 1. Identifikasi. Penyakit nematoda
dari Susunan Saraf Pusat (SSP) terutama menyerang selaput otak. Invasi parasit mungkin tidak
memberikan gejala atau muncul gejala yang ringan, pada umumnya ditandai dengan sakit kepala
berat, kaku pada leher dan punggung dengan paresthesia yang bervariasi. Kira kira 5 % penderita
mengalami kelumpuhan pada muka dan terjadi secara temporer. Demam ringan mungkin
muncul. Cacing ditemukan di Liquor Cerebrospinalis (LCS) dan mata. LCS biasanya
menunjukkan gejala pleositosis dengan lebih dari 20 % eosinofil; Eosinofilia tidak selalu ada
tetapi mencapai sekitar 82 %. Penyakit berlangsung dari beberapa hari hingga beberapa bulan.
Jarang terjadi kematian. Diferensial diagnosis adalah dengan cysticercosis otak, paragonimiasis,
echinococcosis, gnathomiasis, tuberculous meningitis, coccidiodal meningitis, aseptic meningitis
dan neurosyphillis. Diagnosa, terutama di daerah endemis, yaitu dengan ditemukannya sel
eosinofil di dalam LCS dan adanya riwayat pernah mengkonsumsi kerang mentah. Tes
imunodiagnostik bersifat presumtif; ditemukannya cacing di dalam LCS atau pada otopsi lebih
menegaskan diagnosa. 2. Penyebab penyakit Parastrongylus (Angiostrongylus) cantonensis,
adalah nematoda (cacing paru dari tikus). Larva stadium 3 pada hospes intermediair (kerang
darat atau kerang laut) infektif terhadap manusia. 3. Disribusi penyakit. Penyakit ini endemis di
Hawaii, Tahiti, banyak pulau di Kepulauan Pasifik, Vietman, Thailand, Malaysia, Cina,
Indonesia, Taiwan, Filipina dan Kuba. Nematoda ditemukan di bagian utara Jepang, Selatan
Brisbane, Australia dan di Afrika ditemukan di bagian barat Pantai Gading dan juga dilaporkan
ditemukan di Madagaskar, Mesir, Puertorico dan New Orleans (AS). 4. Reservoir : tikus (Rattus
and Bandicota spp) 5. Cara penularan : Karena memakan siput mentah atau setengah matang,
siput dan planarian darat yang merupakan hospes intermediair atau berperan sebagai alat
transport yang mengandung larva infektif. Udang, ikan dan kepiting darat yang memakan kerang
atau siput bisa membawa larva infektif. Salada dan sayuran lainnya yang terkontaminasi oleh
kerang kecil bisa berperan sebagai sumber infeksi. Kerang terinfeksi oleh larva stadium pertama
yang diekskresikan oleh tikus yang terinfeksi; pada saat larva stadium ketiga berkembang
didalam kerang, maka tikus (dan manusia) yang menelan kerang juga akan terinfeksi. Di dalam
tubuh tikus, larva pindah ke otak dan di otak matang menjadi stadium dewasa; larva dewasa
muda pindah ke permukaan otak dan melalui pembuluh vena mencapai tujuan akhir mereka di
arteri pulmonaris. Sesudah kawin, cacing betina meninggalkan telur-telurnya yang kemudian
menetas di ujung arteri pulmonaris; larva stadium pertama memasuki sistem bronkhi, melewati
trakhea, tertelan dan keluar melalui tinja. Pada manusia, siklus ini jarang sekali melewati stadium
SSP (Susunan Saraf Pusat). 6. Masa inkubasi : Biasanya 1 – 3 minggu, bisa juga lebih pendek
atau lebih panjang. 7. Masa penularan : Tidak ditularkan dari orang ke orang. 8. Kerentanan dan
kekebalan. Semua orang rentan terhadap infeksi. Malnutrisi dan penyakit penyakit yang
melemahkan keadaan umum bisa membuat penyakit ini bertambah berat bahkan fatal. 9. Cara
pemberantasan. A. Tindakan pencegahan. 1). Memberi penyuluhan kepada masyarakat umum
tentang cara-cara menyiapkan makanan mentah dan makanan yang berasal dari siput baik siput
darat maupun laut. 2). Pengendalian tikus. 3). Rebus siput, udang, ikan dan kepiting selama 3 – 5
menit atau bekukan pada – 15 oC (5oF) selama 24 jam; tindakan ini efektif membunuh larva. 4).
Hindari makan makanan mentah yang terkontaminasi oleh siput dan mollusca, membersihkan
salada dan sayur-sayuran dengan seksama untuk menghilangkan mollusca tidak selalu dapat
menghilangkan larva yang infektif. Radiasi dan pasturisasi akan sangat efektif. B. Pengawasan
dari penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 1). Laporan kepada institusi kesehatan setempat;
laporan resmi tidak dilakukan. Class 5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 2). Isolasi:
tidak dilakukan. 3). Disinfeksi serentak : Tidak diperlukan. 4). Karantina : tidak dilakukan. 5).
Imunisasi kontak : tidak dilakukan. 6). Investigasi dari kontak dan sumber infeksi : perlu
dilakukan investigasi terhadap makanan yang diduga sebagai sumber infeksi serta cara-cara
makanan tersebut disiapkan. 7). Pengobatan spesifik : Mebendazole dan albendazole efektif
untuk pengobatan anak-anak di Taiwan. C. Penanggulangan wabah : Jika ditemukan adanya
pengelompokan sejumlah kasus dalam wilayah geografis tertentu atau pada suatu institusi
tertentu, segera lakukan penyelidikan epidemiologis. D. Implikasi bencana : tidak ada. E.
Tindakan internasional : tidak ada. ANGIOSTRONGYLIASIS ABDOMINALIS ICD-9 128.8
ANGIOSTRONGYLIASIS INTESTINALIS ICD-10 B81.3 Pada tahun 1967, sindroma yang
mirip dengan penyakit usus buntu ditemukan di Costa Rica, terutama pada anak-anak dibawah
usia 13 tahun, dengan rasa sakit dan tegang pada perut dan fosa iliaca kanan dan punggung,
demam, tidak nafsu makan, muntah, terasa kaku pada abdomen, teraba massa seperti tumor di
bagian kanan bawah dan terasa sakit ketika dilakukan tuse rektal. Lekositosis umumnya berada
pada angka 20.000 dan 30.000/cu mm (unit SI: 20 – 30 x 109/L) dengan eosinofil berkisar dari
11 % hingga 61 %. Pada waktu dilakukan operasi, ditemukan jaringan granulasi berwarna
kuning pada lapisan subserosa dinding usus. Dan telur serta larva dari Parastrongylus
(Angiostrongylus) costaricensis ditemukan di pembuluh limfe, dinding usus dan omentum;
cacing dewasa ditemukan di arteri kecil, pada umumnya di daerah ileosekal. Infeksi ditemukan
pada penduduk di Amerika Tengah, Amerika Selatan dan di AS. Reservoir parasit ini adalah
tikus (tikus kapas, Sigmodon hispidus, cacing ini antara lain ditemukan di daerah selatan AS),
siput biasanya selalu merupakan hospes intermediair. Cacing dewasa hidup di arteria
mesenterika di daerah sekal, dan telur-telurnya dibawa ke dinding usus halus. Pada masa
embrionasi, larva stadium pertama pindah ke lumen usus, dikeluarkan bersama tinja dan di telan
oleh siput. Didalam tubuh siput, larva ini berkembang hingga stadium tiga, yang sudah infektif
bagi manusia dan tikus. Larva infektif ini ditemukan pada lendir keong yang ditinggalkan di
permukaan tanah dan permukaan tempat-tempat lain. Jika lendir atau keong kecil ini ditelan oleh
manusia, maka larva infektif ini masuk ke dalam dinding usus, menjadi matang di kelenjar limfe
dan pembuluh darah limfa. Cacing dewasa migrasi ke arteriolae mesenterika di daerah ileosekal
dimana telur-telur diletakkan. Pada manusia, sebagian besar telur dan larva ini mengalami
degenerasi dan menyebabkan reaksi granulomatosa. Tidak ada pengobatan spesifik, tindakan
bedah kadang-kadang perlu dilakukan. ANISAKIASIS ICD-9 127.1; ICD-10 B81.0 1.
Identifikasi. Merupakan penyakit parasit dari saluran pencernaan manusia biasanya ditandai
dengan gejala sakit pada abdomen, kejang dan muntah, oleh karena mengkonsumsi makanan
mentah atau ikan laut yang belum diolah, yang mengandung larva cacing ascaridoid. Larva yang
motil bergerak menembus dinding lambung menimbulkan lesi atau ulkus akut disertai dengan
mual, muntah dan sakit epigastrik, kadang disertai dengan hematemesis. Larva ini mungkin
migrasi ke atas dan menempel di dinding orofaring dan menyebabkan batuk. Di usus halus, larva
menimbulkan abses eosinofil, dengan gejala menyerupai apendisitis atau enteritis. Pada saat
larva menembus masuk rongga peritoneal, jarang sekali mengenai usus besar. Diagnosa dibuat
dengan menemukan larva dengan panjang 2 cm yang masuk kedaerah orofaring atau dengan
menemukan larva melalui pemeriksaan gastroskopik atau menemukan larva pada sampel
jaringan yang diambil dengan cara pembedahan. Tes serologis sedang dalam pengembangan. 2.
Penyebab penyakit. Larva nematoda dari sub famili Anisakinae genera Anisakis dan
Pseudoterranova. 3. Distribusi penyakit. Penyakit menimpa orang yang mengkonsumsi ikan laut,
gurita atau cumi mentah atau yang tidak ditangani dengan baik (dibekukan, diasinkan, direndam
garam atau diasap). Kebiasaan makan ikan mentah ini umum terjadi di Jepang (sushi dan
sashimi), Belanda (herring), Skandinavia (gravlax), dan di Pantai Pasifik dari Amerika Latin
(ceviche). Lebih dari 12.000 kasus ditemukan di Jepang. Dahulu penyakit ini sering ditemukan di
Belanda. Namun sekarang terlihat jumlah penderita bertambah hampir diseluruh Eropa Barat dan
AS dengan meningkatnya konsumsi ikan mentah. 4. Reservoir. Anisakinae tersebar luas di alam,
tetapi hanya jenis tertentu saja yang menjadi parasit pada mamalia laut dan merupakan ancaman
bagi manusia. Siklus hidup parasit ini dialam meliputi transmisi larva dari satu predator ke
predator lain, yaitu dari crustacea yang dimakan oleh cumi, gurita atau ikan, lalu dimakan oleh
mamalia laut sedangkan manusia sebagai hospes insidental. 5. Cara penularan Larva infektif
hidup di dalam mesenterium perut ikan; seringkali sesudah ikan mati larva pindah ke otot ikan.
Ketika dimakan oleh manusia larva dilepaskan pada waktu dicerna dalam perut, larva bisa
menembus mukosa lambung atau mukosa usus. 6. Masa inkubasi Gejala-gejala pada lambung
bisa muncul dalam beberapa jam sesudah menelan larva infektif. Gejala pada usus besar dan
usus halus muncul dalam beberapa hari hingga beberapa minggu tergantung dari jumlah, besar
dan lokasi larva. 7. Masa penularan : Penularan langsung dari orang ke orang tidak terjadi. 8.
Kerentanan dan Kekebalan : Setiap orang rentan terhadap penyakit ini. 9. Cara - cara
pemberantasan. A. Tindakan pencegahan 1). Hindari mengkonsumsi ikan laut yang tidak
dimasak dengan baik. Panaskan ikan laut hingga 60 oC(140 oF) selama 10 menit, bekukan
hingga – 35 oC (-31oF) atau lebih rendah selama 15 jam atau bekukan dengan cara biasa pada –
23oC (-10oF) selama paling tidak 7 hari, cara ini akan membunuh larva. Cara pengendalian yang
dikembangkan akhir-akhir ini dilaksanakan dengan sukses di Belanda. Irradiasi efektif
membunuh parasit. 2). Membersihkan dan membuang usus (eviscerasi) ikan secepat mungkin
sesudah ditangkap dapat mengurangi jumlah larva yang masuk ke dalam otot mesenterik. 3).
Penerangan dengan lilin direkomendasikan untuk menerangi produk ikan dimana dengan
penerangan ini parasit bisa dilihat. B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 1).
Laporan pada instansi kesehatan setempat : tidak dianjurkan, Kelas 5 (lihat Tentang pelaporan
penyakit menular). Namun perlu dilaporkan jika ditemukan satu kasus atau lebih di daerah yang
sebelumnya tidak pernah dilaporkan ada kasus, atau didaerah dimana tindakan pengendalian
sedang berlangsung, kasus yang ditemukan sebaiknya dilaporkan. 2). Isolasi : tidak diperlukan .
3). Disinfeksi serentak : tidak diperlukan. 4). Karantina : tidak diperlukan. 5). Imunisasi kontak :
tidak diperlukan 6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : tidak ada. 7). Pengobatan spesifik :
menghilangkan larva dengan cara gastroskopik, eksisi dari luka. C. Penanggulangan wabah :
tidak ada D. Implikasi bencana : tidak ada. E. Tindakan internasional : tidak ada.

Mine coins - make money: http://bit.ly/money_crypto

Anda mungkin juga menyukai