Georeg 3 PDF
Georeg 3 PDF
BAB II
GEOLOGI REGIONAL
2.1 Fisiografi
Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian
yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan
Jawa Barat (Gambar 2.1). Martodjojo (1984) memberikan penamaan Blok Jakarta-
Cirebon untuk Zona Dataran Pantai Jakarta, sedangkan Zona Bogor dan Zona Bandung
disebut Blok Bogor karena keduanya tidak dapat dipisahkan menurut sejarah geologinya.
Cekungan Bogor berupa graben dengan daerah depresi tidak menerus sepanjang sumbu
tengah Jawa, dan barisan punggungan di bagian utara yang menghubungkan cekungan
dengan paparan Sunda.
Gambar 2.1. Peta fisiografi Jawa Barat yang menempatkan daerah penelitian ke dalam Zona Bogor (van
Bemmelen, 1949).
Zona Dataran Pantai Jakarta umumnya memiliki morfologi yang datar, pada
umumnya ditutupi oleh endapan sungai, dan sebagian lagi oleh lahar endapan gunung api
muda. Zona Bandung dicirikan oleh beberapa tinggian yang terdiri dari endapan sedimen
tua yang muncul di antara endapan volkanik. Sebagai contoh adalah Gunung Tampomas
di Sumedang, Gunung Walat di Sukabumi dan Rajamandala di daerah Padalarang.
Menurut van Bemmelen (1949), Zona Bandung merupakan puncak geantiklin Jawa Barat
berumur Plistosen yang kemudian runtuh setelah mengalami pengangkatan. Zona
Pegunungan Selatan dipelajari secara mendalam oleh Pannekoek (Pannekoek, 1946
dalam Darman & Sidi, 2000). Pannekoek membaginya menjadi 19 morfologi dan
menekankan pentingnya dua generasi morfologi yaitu morfologi Pra-Miosen Akhir, dan
morfologi Resen. Kedua satuan morfologi ini dibatasi oleh ketidakselarasan.
Zona Bogor, tempat lokasi penelitian berada, umumnya memiliki morfologi
berbukit-bukit, memanjang dengan arah barat-timur dari kota Bogor. Pada daerah sebelah
timur Purwakarta, perbukitan ini membelok ke selatan, membentuk lekukan di sekitar
Kadipaten. Perbukitan ini dinamakan antiklinorium oleh van Bemmelen (1949). Dapat
diperkirakan bahwa antiklinorium ini berhubungan dengan barisan anjakan-lipatan dari
sistem Sesar Naik Baribis. Sedangkan pada beberapa daerah, intrusi telah membentuk
relief yang lebih terjal.
mandala ini menerus hingga lepas pantai, meliputi daerah pemboran minyak bumi di
lepas pantai utara Jawa.
Mandala Cekungan Bogor meliputi zona fisiografi van Bemmelen (1949) yaitu
Zona Bogor, Zona Bandung, dan Pegunungan Selatan. Mandala ini dicirikan oleh
endapan aliran gravitasi yang umumnya berupa fragmen batuan beku dan sedimen,
seperti andesit, basalt, tufa dan gamping. Menurut Baumann (1972) dalam Darman &
Sidi, 2000, sedimentasi pada Zona Pegunungan Selatan didominasi oleh sedimen
volkanik-klastik andesit yang disebut “old andesit”, berumur Oligosen Akhir-Miosen
Tengah. Kemudian pengangkatan lokal terjadi pada waktu berbeda sepanjang tinggian ini
akibat terobosan magma dioritik-granitik, sehingga mengakibatkan adanya perubahan
fasies dan ketidakselarasan. Pusat volkanik menempati daerah yang umumnya menjari
dengan komplek karbonat seperti Formasi Rajamandala pada Miosen Awal dan Formasi
Cimandiri pada Miosen Tengah. Pendapat ini didukung oleh Adinegoro (1973) dalam
Darman & Sidi, 2000, yang meneliti daerah Sukabumi terutama sebaran batuan karbonat.
Batuan karbonat di daerah ini terbentuk selama Oligosen Akhir - Miosen Awal pada
tinggian paparan Sukabumi.
Berdasarkan pembagian mandala sedimentasi, daerah penelitian terletak pada
Mandala Cekungan Bogor. Mandala Cekungan Bogor menurut Martodjojo (1984)
mengalami perubahan dari waktu ke waktu sepanjang zaman Tersier-Kuarter. Mandala
ini terdiri dari tiga siklus pengendapan, diawali dengan diendapkannya sedimen laut
dalam hasil mekanisme aliran gravitasi dari arah selatan menuju utara. Kemudian pada
Miosen Awal diendapkan endapan gunung api yang berasal dari selatan Pulau Jawa yang
bersifat basalt-andesit. Diakhiri dengan pendangkalan Cekungan Bogor ke arah utara
dimulai pada Miosen Tengah menghasilkan Formasi Subang dan Formasi Kaliwangu
yang menunjukkan lingkungan pengendapan paparan sampai transisi (Gambar 2.2).
Kemudian pada Miosen Akhir terendapkan suatu fasies turbidit lokal akibat adanya
lereng terjal di sebelah selatan cekungan. Fasies tersebut dinamakan dengan Anggota
Cikandung (Martodjojo, 1984), yang terbentuk pada tahap akhir dari proses
pendangkalan Cekungan Bogor. Pada Kala Pliosen, Cekungan Bogor telah berubah
menjadi darat yang kemudian diendapkan Formasi Citalang. Dari sejarah geologi
regional tersebut, dapat disimpulkan sedimentasi daerah penelitian dipengaruhi oleh
Mandala Cekungan Bogor dan Mandala Paparan Kontinen.
utara sejalan dengan perpindahan jalur gunung api selama Tersier hingga Kuarter
(Soeria-Atmadja, dkk., 1994).
Pulunggono dan Martodjojo (1994), menyebutkan terdapat 4 pola struktur
dominan yang berkembang di Pulau Jawa, diantaranya adalah (Gambar 2.3):
1. Pola Meratus berarah timurlaut-baratdaya terbentuk pada 80 sampai 53 juta tahun
yang lalu (Kapur Akhir-Eosen Awal), sangat dominan di daerah lepas pantai Jawa
Barat dan menerus hingga ke Banten.
2. Pola Sunda berarah utara-selatan terbentuk 53 sampai 32 juta tahun yang lalu (Eosen
Awal-Oligosen Awal).
3. Pola Struktur Sumatera berarah baratlaut-tenggara, sejajar dengan arah sumbu
panjang Pulau Sumatera. Pola ini tidak terlalu dominan di Daerah Jawa Barat. Pola
ini mungkin hanya melibatkan batuan dasar dan ditafsirkan sebagai kelanjutan dari
jejak tektonik yang tua di Pulau Sumatra (Asikin, 1997).
4. Pola Jawa berarah barat-timur terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu, merupakan
pola struktur yang paling muda, memotong dan merelokasi Pola Struktur Meratus dan
Pola Struktur Sunda.
Walat, serta 3) arah utara-selatan berupa kelurusan Ciletuh-P.Seribu, dilepas pantai utara
Jawa Barat yang merupakan pola sesar utama. Sesar-sesar utama berarah utara-selatan di
Laut Jawa dan di Cekungan Sunda telah terbukti sebagai komponen struktur yang
mengontrol perkembangan cekungan berumur Paleogen di daerah tersebut.