Anda di halaman 1dari 9

1.

Kerajaan Islam di Jawa

a. Kerajaan Demak

Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa setelah jatuhnya Kerajaan Hindu
Majapahit. Kerajaan Islam di Jawa Tengah ini, semula bernama Glagahwangi, sebuah desa di
sebelah selatan Jepara, hadiah dari Prabu Brawijaya V (Kertabumi, Raja Majalahit) pada
putranya, Raden Fatah yang juga disebut Pangeran Jinggun. Disitulah didirikan pesantren
masjid Agung Demak. Oleh Prabu Brawijaya, Raden Fatah diangkat menjadi Pangeran
Adipati Bintara. Tahun 1478, Majapahit ditaklukan Prabu Giridrawardana dari Kediri yang
mengangkat dirinya sebagai Prabu Brawijaya VI. Peristiwa ini ditandai dengan canda
sengkala “Sirna hilang kertaning bumi” (1478/1400 saka). Pada kesempatan ini, para wali
mengangkat Raden Fatah sebagai pelanjut keturunan Brawijaya V sebagai Sultan di Bintara
Demak dengan gelar Alam Akbar Al-Fatah.

Menurut sumber lain, Sunan Ampel memberi nama kepada Raden Fatah Senapati Jinbun
Abdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Raden Fatah memang lahir di
Palembang. Menurut sejarah, ketika Raden Fatah masih dalam kandungan ibunya yang
berasal dari Cina, ibu muda ini diceraikan oleh Brawijaya V dan dihadiahkan kepada
Aryadama Adipati Palembang. Sementara itu, Prabu Brawijaya VI yang memerintah
Majapahit pada tahun 1498 M dikalahkan oleh Prabu Udara yang kemudian menamakan
dirinya Brawijaya VII.

Pada masa pemerintahan Sultan Trenggana ini, Demak mengalami masa kejayaan, tetapi juga
merupakan akhir dari sejarahnya. Sultan Trenggana bercita-cita untuk mengislamkan seluruh
Jawa. Untuk Jawa Barat pengislamannya diserahkan kepada pendatang yang luar
pengetahuan islamnya, ahli dalam bidang strategi militer, dan cakap pula mengatur
pemerintahan, yaitu Fatahillah atau Syarif Hidayatullah yang setelah wafat dikenal sebagai
Sunan Gunung Jati.

b. Kerajaan Islam Pajang

Kesultanan Pajang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Islam Demak, Sultan pertamanya
ialah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging. Ia adalah menantu Sultan Trenggana yang
diberi kekuasaan di Pajang. Setelah ia mengambil alih kekuasaan dari tangan Arya
Panangsang tahun 1546 M seluruh kebesaran kerajaan dipindahkan ke Pajanng, dan ia diberi
gelar Sultan Adiwijaya.

Sepeninggal Sultan Adiwijaya tahun 1587 M kedudukannya digantikan oleh Aria Panggiri,
anak Sunan Prawoto. Sementara itu anak Sultan Adiwijaya yaitu Pangeran Benawa diberi
kekuasaan di Jipang. Akan tetapi, ia mengadakan pemberontakan kepada Aria Panggiri
dengan bantuan Panembahan Senopati dari Mataram. Usahanya itu berhasil dan ia
memberikan tanda terima kasih kepada Panembahan Senopati berupa hak atas warisan
ayahnya. Akan tetapi, Panembahan Senopati menolak tawaran tersebut dan hanya meminta
pusaka kerajaan Pajang untuk dipindahkan ke Mataram. Dengan demikian, Kerajaan Pajang
berada di bawah perlindungan Mataram yang kemudian menjadi daerah kekuasaan Mataram.

c. Kerajaan Islam Mataram

Setelah permohonan Panembahan Senopati Mataram atas penguasa Pajang berupa pusaka
kerajaan dikabulkan, keinginannya untuk menjadi raja sebenarnya telah terpenuhi. Dalam
tradisi Jawa, penyerahan pusaka seperti itu berarti penyerahan kekuasaan. Panembahan
Senopati berkuasa sampai tahun 1601 M dan sepeninggalnya, ia digantikan oleh putranya
bernama Seda Ing Krapyak yang memerintah sampai tahun 1613M. Seda Ing Krapyak
digantikan oleh putranya Sultan Agung (1913-1646M)

Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah kontak bersenjata antara Kerajaan Islam
Mataram dengan VOC mulai terjadi. Pada tahun 1646 M ia digantikan oleh putranya
Amangkurat I. pada saat terjadi perang saudara dengan Pangeran Alit, ia mendapat dukungan
dari para ulama. Akibatnya para ulama pendukung dibantai habis pada tahun 1947M.
pemberontakan itu kemudian diteruskan pleh Raden Kajoran tahun 19677-1678M.
pemberontakan-pemberontakan seperti itulah yang meruntuhkan Kerajaan Islam Mataram.

d. Kerajaan Islam Cirebon

Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan Ilam pertama di Daerah Jawa Barat. Kerajaan ini
didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ia diperkirakan lahir tahun 1448 M dan wafat pada tahun
1568 M dalam usia 120 tahun. karena kedudukannya sebagai Walisongo, ia mendapat
penghormatan dari raja-raja di Jawa seperti seperti Demak dan Pajang. Setelah Cirebon resmi
berdiri, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan Pajajaran yang masih belum menganut
ajaran Islam.

Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan ajaran Islam ke daerah-daerah lain di
Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Galuh, Sunda Kelapa dan Banten. Pada tahun
1525 M ia kembali ke Cirebon dan Banten diserahkan kepada anaknya yang bernama Sultan
Hasanudin. Sultan inilah yang menurunkan raja-raja Banten.

Setelah Sunan Gunung Jati wafat, ia digantikan oleh cicitnya yang bergelar Pangeran Ratu
atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat tahun 1650M dan digantikan oleh putranya
yang bernama Panembahan Girilaya. Sepeninggalnya, kesultanan Cirebon diperintah oleh
dua orang putranya, yaitu Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau
Panembahan Anom. Panembahan sepuh memimpin kesultanan Kasepuhan yang bergelar
Syamsudin, sedangkan panembahan Anon memimpin Kesultanan Kanoman yang bergelar
Badruddin.
e. Kerajaan Islam Banten

Kerajaan Banten merupakan kerajaan Islam yang terletak di ujung barat Jawa Barat,
pendirinya adalah Sunan Gunung Jati (Fatahilah) setelah berhasil merebut kota pelabuhan
dari tangan Bupati Sunda yang menjadi penguasa kota itu dengan bantuan laskar dari Demak.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1525 M

Setelah kerajaan itu cukup kokoh, lebih-lebih setelah dapat menguasai Sunda Kelapa, pada
tahun 1522 Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon dan wafat disana, dan diangkatlah
putranya, Hasanudin sebagai raja. Ia kawin dengan putri demak dan mendapat dua orang
anak laki-laki. Yang sulung, Maulana Yusuf, dicalonkan untuk menjadi gantinya nanti.
Adiknya, pangeran Aryo diasuh oleh bibi dari pihak ibunya Ratu Kalinyamat di Jepara yang
tidak berputra (mungkin karena suaminya, Pangeran Hadiri terbunuh oleh Arya Penangsang).
Setelah bibinya meninggal, ia menjadi adipati di Jepara dan terkenal dengan nama Pangeran
Jepara.

Sultan Hasanudin wafat pada tahun yang sama dengan ayahnya, 1570 M setelah sempat
memisahkan diri dari Demak. Dalam cerita Banten, ia terkenal dengan nama Anumerna
Pangeran Saba Kingking sesuai dengan tempat ia dimakamkan yang tidak jauh dari Banten.
Sebagai gantinya ia Maulana Yusuf Panembahan Pangkalan Gede, memerintah antara tahun
1570-1580. selama masa pemerintahannya, ia mendirikan Masjid Agung Banten, membuat
perbentengan yang kuat, memperluas perkampungan dan pesawahan, serta mengusahakan
irigasi dan bendungan-bendungan. Pada tahun 1579 M, ia berhasil menaklukan Raja Pakuan,
benteng terakhir Hindu Jawa Barat. Menurut sejarah Banten, penyerbuan ke Pakuan ini
mengikutsertakan para penguasa dan alim ulama. Raja dan keluarganya menghilang,
sedangkan golongan bangsawan Sunda masuk Islam. Sesudah selesai menaklukan Pakuan,
Sultan Maulana Yusuf mendirikan ibukota baru, Banten Sura Sowan (Sura Saji)

2. Kerajaan Islam di Sumatera

a. Kerajaan Islam Samudera Pasai

Kerajaan Islam Sumadera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kemunculannya
sebagai kerajaan Islam diperkirakan sekitar awal atau pertengahan abad ke-13 M sebagai
hasil proses Islamisasi di daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi para pedagang Muslim
sejak abad ke-7 M dan seterusnya. Raja pertamanya adalah Malik Al-Saleh.

Dalam Hikayat raja-raja Pasai disebutkan gelar Malik Al-Saleh sebelum menjadi raja adalah
Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail,
seorang utusan Syarif Mekah yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik Al-Saleh.

Kerajaan Islam Samudera Pasai berlangsung sampai pada tahun 1524M. pada tahun 1521 M
kerajaan ini ditaklukan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun
1524 M disebut oleh kerajaan Aceh, dibawah pimpinannya rajanya yaitu Ali Mughayat Syah.
b. Kerajaan Islam Aceh Darussalam
Kerajaan Islam Aceh Darussalam berdiri pada abad ke-15 M. Pendirinya adalah Ali
Mughayat Syah. Ia meluaskan wilayahnya ke daerah pidie yang bekerjasama dengan Portugis
yang kemudian menaklukan kerajaan Islam Samudera Pasai tahun 1524M

Peletak dasar kebesaran Kerajaan Islam Aceh Darussalam ialah Sultan Alauddin Riayat Syah
yang bergelar Al-Aqahar. Dalam menghadapi tentara Portugis, ia bekerjasama dengan
Kerajaan Turki Usmani dan negara-negara Islam lainnya di Indonesia.Puncak kekuasaan
Kerajaan Aceh Darussalam terjadi pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637M).

c. Kerajaan Islam di Sumatera Selatan

Dibukanya jalur perdagangan melalui Selat Malaka sebagai ganti jalur perdagangan di darat
antara Arabia dengan Cina yang dirintis sejak 500 SM membuat daerah-daerah pantai di
sepanjang pesisir timur Sumatera menjadi ramai. Seluruh kapal perdagangan yang melewati
Selat Malaka perlu singgah untuk mempersiapkan air minum, makanan dan perbekalan
lainnya di pantai-pantai tersebut. Dalam hal ini, Sriwijaya yang berpusat di Palembang tampil
sebagai pemegang monopoli yang menguasai pantai-pantai di Selat Malaka sehingga
Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang besar dan kuat di Nusantara.

Diketahui bahwa Timur Tengah (Islam) menguasai jalur perdagangan laut ke timur dibanding
barat. Dai-dai Islam yang datang bersama tentara Islam dan Sriwijaya. Palembang merupakan
daerah yang strategis bagi masuknya Islam ke Sumatera Selatan. Namun demikian, belum
bisa dipastikan adanya proses Islamisasi di Sumatera Selatan. Pada masa itu, belum ada bukti
adanya orang-orang pribumi yang masuk Islam. Yang jelas, menurut Hasan Muarif Ambary,
pada permulaan abad ke-7 di Palembang sudah ada masyarakat muslim yang oleh penguasa
kerajaan Sriwijaya telah diterima dengan baik dan dapat menjalankan ibadat menurut agama
Islam.

Setelah Majapahit jatuh, kemudian Demak berdiri, Palembang berada di bawah perlindungan
Demak. Dengan demikian, Palembang menjadi bagian dari kerajaan Islam, sebagai daerah
kekuasaan demak, penguasa demak, Raden Patah, menunjuk Pangeran dari Surabaya
(Pangeran Sedo Ing Lautan) sebagai penguasa Demak di Palembang.

d. Kerajaan Islam di Minangkabau

Ada dua teori mengenai masuknya Islam di Minangkabau. Pertama, seperti dikemukakan
oleh Hamka bahwa Islam mencapai pedalaman Minangkabau melalui Pantai Timur
Sumatera. Kedua, kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa kegiatan Islamisasi
Minangkabau berkaitan dengan penguasaan Aceh atas Pantai Barat Sumatra, seperti Tiku dan
Pariaman. Pelabuhan di Pantai Barat Sumatera Barat, sebagai tempat berdagang orang-orang
Arab dan Gujarat memainkan peranan penting dalam menyebarkan Islam di pedalaman
Minangkabau.

Nuqaib al-attas berpendapat bahwa Islam pertama kali disebarkan ke Pantai Barat
Minangkabau pada abad ke-12 oleh Syekh Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman. Ia adalah
murid Syekh Abdullah Arif, Muslim arab yang menyebarkan Islam ke Sumatera Utara sekitar
tahun 1112.

De Graaf mengaitkan Islamisasi di pedalaman Minangkabau dengan peperangan antara aceh


dengan penguasa-penguasa Minangkabau. Dilaporkan bahwa salah seorang penguasa
Minangkabau telah mengawini putri Pangeran Aceh dan tetap tidak mau masuk Islam. Hal ini
menimbulkan perselisihan dengan ayah mertuanya. Akibatnya, ia harus menyerahkan
sejumlah besar wilayah Minangkabau. Peristiwa ini terjadi setelah dekade kedua pada abad
ke-16. Kepemilikan Aceh atas pantai barat Minangkabau selanjutnya membawa kemajuan
bagi kepentingan Islam.

Cepatnya penyebaran Islam di Minangkabau, menurut Christine Dobbin berkaitan erat


dengan organisasi persaudaran sufi atau tarekat. Pada ulama tasawuf yang datang ke
Minangkabau dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam, mendirikan organisasi tarekat. Pada
abad ke-18 di Minangkabau terdapat tiga aliran tarekat yaitu Naqsabandiyah, Syattariyyah,
dan Qadiriyyah. Tarekat yang pertama kali masuk ke Minangkabau adalah Naqsabandiyah
pada paruh pertama abad ke-17. berikutnya, tarekat Syattariyah dibawah Syekh Burhanuddin
pada akhir abad ke-17. tarekat Qadiriyah memasuki Minangkabau pada akhir abad ke-18
semua tarekat mengembangkan organisasi tarekat dengan mendirikan surau. Oleh karena itu,
surai disamping sebagai lembaga pendidikan juga sebagai kegiatan tarekat.

Pada akhir tahun 1803/1804, tiga orang penduduk asal Minangkabau pulang ibadah haji dari
tanah suci Mekah. Mereka adalah Haji Sumanik, Haji Miskin dan Haji Piobang. Ketika
mereka menjalankan ibadah haji, mereka telah menyaksikan serangan orang-orang wahabi ke
Mekah atau paling tidak mereka telah mendengarkan ajaran-ajaran Wahabi yang akhir
mempengaruhi mereka. Setelah mereka pulang ke Minangkabau mereka membawa semangat
baru, kemudian mereka membandingkan kondisi masyarakat Minangkabau dengan ajaran-
ajaran Wahabi. Mereka melihat perlu diadakan pembaruan tatanan sosial. Tujuan utama
mereka ialah membersihkan masyarakat dari adat buruk yang menyimpang dari ajaran Islam.
Menurut mereka, pembaruan sosial harus dilakukan dengan menyebarkan ajaran Wahabi
dengan keras.

Pada awalnya, mereka mendapat perlawanan dari masyarakat. Namun lama kelamaan banyak
tokoh agama yang tertarik dan mendukung mereka. Tuanku Nan Renceh, murid kesayangan
Tuanku Nan Tua yang tidak setuju dengan militansi mereka, bergabung dengan Haji Miskin.
Dari sinilah mulai terbentuknya gerakan Padri. Tuanku Nan Renceh kemudian mendapat
dukungan dari tujuh tuanku, sebutan bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan agama
secara mendalam di Agam Sumatera Barat. Karena kekerasan mereka, mereka dikenal denan
Harimau Nan Delapan.
3. Kerajaan Islam di Sulawesi
Dalam sumber-sumber sejarah di Sulawesi Selatan, dapat diketahui secara pasti kapan penguasa-
penguasa masuk Islam. Hal ini disebabkan oleh Islamisasi yang terlambat. Dilaporkan bahwa awal
pada abad ke-17 telah datang ke Sulawesi Selatan Tiga Datuk (Dato Tallua atau Dato’ Tellue) mereka
adalah Dato ‘ri Bandang, nama aslinya Abdul Makmur. Dato ‘r Pattimang alias Sulaiman dan Dato ‘ri
Tiro alias Abdul Jawad. Tempat yang pertama mereka tuju ialah Luwu’. Mereka mengajak penguasa
luwu La Patiware untuk masuk Islam. Ajakan mereka disambut baik oleh Raja Luwu La Patiware
Daeng Parabung yang mengucapkan syahadat pada tanggal 15 atau 16 Ramadhan 1013 H / Pebruari
1605. Namanya kemudian diganti menjadi Sultan Muhammad. Selanjutnya, tiga Datuk berangkat
menuju kerajaan kembar Gowa Tallo, yang dikenal dengan Makassar atau Ujung Pandang. Gowa
Tallo merupakan kerajaan terkuat di Sulawesi Selatan pada waktu itu. Karena dakwah mereka, I
Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka, penguasa Tallo dan perdana menteri Gowa,
masuk Islam dengan diikuti beberapa anggota keluarganya. Ia melafazkan kalimat syahadat pada hari
Jum’at tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H / 22 September 1605 kemudian ia memakai nama Islam,
Sultan Abdullah. Setelah masuk Islam. Ia mengajak penguasa muda Gowa yang juga kemenakannya.
I Manga’rang Daeng Manrabbia untuk masuk Islam.

Dua tahun setelah Islamnya Sultan Abdullah diadakan salat Jum’at pertama di Masjid Tallo pada hari
Jum’at 19 Rajab 1016H / 10 Nopember 1607. Salat Jum’at tersebut diikuti oleh sejumlah besar
penduduk yang sebelumnya telah bersepakat masuk Islam. Dengan demikian, Makassar secara resmi
menjadi kerajaan Muslim.
USAHA Penyebaran Kerajaan Islam di Indonesia

1. Melalui perdagangan
Para pedagang Islam dari Gujarat, Persia dan Arab tinggal selama berbulan-bulan di Malaka
(lihat artikel Cara penyebaran agama Islam di Malaka) dan pelabuhan-pelabuhan di
Indonesia. Mereka menunggu angin musim yang baik untuk kembali berlayar. Maka
terjadilah interaksi atau pergaualan antara para pedagang tersebut dengan raja-raja, para
bangsawan dan masyarakat setempat. Kesempatan ini digunakan oleh para pedagang untuk
menyebarkan agama Islam.

2. Melalui perkawinan
Di antara para pedagang Islam ada yang menetap di Indonesia. Hingga sekarang di beberapa
kota di Indonesia terdapat kampung Pekojan. Kampung tersebut dahulu merupakan tempat
tinggal para pedagang Gujarat. Koja artinya pedagang Gujarat.

Sebagian dari para pedagang ini menikah dengan wanita Indonesia. Terutama putri raja atau
bangsawan. Karena pernikahan itulah, maka banyak keluarga raja atau bangsawan masuk
Islam. Kemudian diikuti oleh rakyatnya. Dengan demikian Islam cepat berkembang.

3. Melalui pendidikan
Para ulama atau mubaliq mendirikan pondok-pondok pesantern di beberapa tempat di
Indonesia. Di situlah para pemuda dari berbagai daerah dan berbagai kalangan masyarakat
menerima pendidikan agama Islam. Setelah tamat mereka pun menjadi mubaliq dan
mendirikan pondok pesantern di daerah masing-masing.

4. Melalui dakwah di kalangan masyarakat


Di kalangan masyarakat Indonesia sendiri terdapat juru-juru dakwah yang menyebarkan
Islam di lingkungannya, antara lain :
- Dato'ri Bandang menyebarkan agama Islam di daerah Gowa (Sulawesi Selatan).
- Tua Tanggang Parang menyebarkan Islam di daerah Kutai (Kalimantan Timur).
- Seorang penghulu dari Demak menyebarkan agama Islam di kalangan para bangsawan
Banjar (Kalimantan Selatan).
- Para Wali menyebarkan agama Islam di Jawa. Wali yang terkenal ada 9 wali, yaitu :

1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)


2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
3. Sunan Bonang (Makdum Ibrahim)
4. Sunan Giri (Raden Paku)
5. Sunan Derajat (Syarifuddin)
6. Sunan Kalijaga (Jaka Sahid)
7. Sunan Kudus (Jafar Sodiq)
8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
9. Sunan Gunung Jati (Faletehan)

Para wali tersebut adalah orang Indonesia asli, kecuali Sunan Gresik. Mereka memegang
beberapa peran di kalangan masyarakat sebagai :

1. penyebar agama Islam


2. pendukung kerajaan-kerajaan Islam
3. penasihat raja-raja Islam
4. pengembang kebudayaan daerah yang telah disesuaikan dengan budaya Islam.

Karena peran mereka itulah, maka para wali sangat terkenal di kalangan masyarakat.

5. Menggunakan kesenian yang disesuaikan dengan keadaan


Ketika agama Islam masuk ke Indonesia, kebudayaan Hindu masih berakar kuat. Para
penyebar agama Islam tidak mengubah kesenian tersebut. Bahkan menggunakan seni budaya
Hindu sebagai sarana menyebarkan agama Islam.

Seni dan budaya yang digunakan untuk menyebarkan agama Islam adalah sebagai berikut:
1. Seni wayang kulit
Cerita wayang kulit diambil dari kitab Mahabharata dan Ramayana. Perubahan diadakan,
tetapi sedikit sekali. Misalnya, perubahan nama-nama tokoh-tokoh pahlawan Islam. Sunan
Kalijaga adalah seorang wali yang sangat mahir mempertunjukkan kesenian wayang kulit.

2. Seni tari dan musik gamelan


Pada upacara-upacara keagamaan dipertunjukkan tari-tarian tradisional. Tarian itu diiringi
musik atau gamelan Jawa. Misalnya gamelan Sekaten pada waktu upacara peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW.

3. Seni bangunan
Coba anda amati wujud desain masjid-masjid kuno yang ada di tanah air ini. Misalnya,
menara masjid kuno di Kudus, masjid kuno di dekat tuban, gapuranya mirip Candi Bentar,
Masjid Sunan Kalijaga di Demak yang atapnya bertingkat-tingkat mirip pura Hindu.

Masjid-masjid tersebut adalah bangunan Islam, tetapi dibangun mirip bangunan Hindu.
Memang para penyebar agama Islam berusaha menyesuaikan bangunan-bangunan Islam
dengan bangunan Hindu. Apakah tujuannya? Agar rakyat tidak mengalami perubahan secara
mendadak. Bila seorang beragama Hindu masuk Islam dan bersembahyang di masjid, merasa
seolah-olah masuk ke sebuah pura.

4. Seni hias dan seni ukir


Kecuali bentuknya mirip candi, masjid-masjid kuno pun dihias dengan ukir-ukiran yang
mirip ukir-ukiran khas Hindu.

5. Seni sastra
Kitab-kitab ajaran Islam diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu. Dengan
demikian, isinya mudah dipahami oleh rakyat.
Manfaat yang dapat ambil dari sejarah perkembangan islam di Indonesia:

1. Kehadiran pedagang Islam dari luar Indonesia yang telah berdakwah menyiarkan
ajaran Islam di bumi nusantara memberikan nuansa baru bagi perkembangan suatu
kepercayaan yang sudah ada di nusantara ini. Keyakinan kepada Tuhan Yang Maha
Esa berkembang dan tatanan kehidupan menjadi baik pula.
2. Hasil karya para ulama berupa karangan buku sangat berharga untuk dijadikan
sumber pengetahuan.
3. Meneladani kesuksesan mereka dalam berkarya dan membuat masyarakat Islam
gemar membaca dan mempelajari Al Quran.
4. Memperkaya dalam bentuk (arsitektur) bangunan, seperti masjid sebagai tempat
ibadah.
5. Mengajarkan tentang Islam harus dengan keramahan dan bijaksana serta
membiasakan masyarakat Islam bersikap konsisten.
6. Memanfaatkan peninggalan sejarah, baik berupa, makam, masjid, dan peninggalan
lainnya untuk dijadikan tempat ziarah (pembelajaran) demi mengingat perjuangan
mereka.
7. Seorang ulama atau ilmuwan dituntut oleh Islam untuk mempraktekkan tingkah laku
yang penuh keteladanan sebagai ulama pendahulu di nusantara ini dalam
mempertahankan harga diri serta tanah air dari penjajahan.
8. Mengajarkan sikap tetap bersatu, rukun, dan bersama-sama mempertahankan negara
Indonesia dari ancaman luar maupun dalam negeri.
9. Menyadari bahwa perjalanan sejarah perlu dijadikan sebagai pemikiran dan
peneladanan orang-orang yang beriman terutama keteladanan dan perjuangan para
ulama untuk dipraktekkan oleh generasi mendatang dalam menentukan masa depan
umat dan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai