Anda di halaman 1dari 18

PROFESIONALISME DALAM PELAYANAN GEREJA

I. Pendahuluan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesionalisme adalah “mutu, kualitas, dan
tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional.” Sekarang
bagaimana reaksi Anda bila kita menggandengkan kata profesionalisme dengan pelayanan?
Namun sering sekali kita menganggap bahwwa Profesionalisme berkonotasi pekerjaan,
perusahaan dan sekular, sedang pelayanan (di gereja) berhubungan dengan sesuatu yang
bersifat sukarela, gereja dan rohani bahkan lebih banyak merugi dari pada mendapatkan
labanya secara harafiah.1 Kata Profesional merupakan pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan
keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta
memerlukan pendidikan profesi sebagaimana yang tercantum di dalam UU Nomor 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. Dengan demikian profesi guru adalah keahlian dan
kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk
menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan.2

Melihat sebuah professional memang kelihatannya akan melihat ada sebauh profit di
dalamnya. Namun dalam sebuah pelayanan, bukan ingin mengesampingkan sebauh profit
sebagai sumber berkat Tuhan tapi bagaimana kita mengupayakan sebuah profesionalisme
sebagi seorang pelayan dalam melayani. Sebuah profesionalisme juga seakan di tuntut dalam
tanda petik sebagai sebuah pelayanan sehingga kita menghasilkan buah yang luar biasa
dalam sebuah pelayanan. Di dunia kerja sebagian besar para pelayan Tuhan bekerja dengan
etos profesionalisme yang tinggi. Mereka begitu disiplin, tepat waktu, all-out, penuh
perencanaan, penuh tanggung jawab, dan memegang komitmen kerja mereka. Hal ini di
karenakan ada profit yang mereka dapatkan. Namun sebaliknya dalam dunia pelayanan
mereka mewujudkan kinerja pelayanan yang buruk. Mereka melakukan pelayanan dengan
seenaknya, jam karet, setengah hati, semua serba mendadak, kurang bertanggung jawab dan
tidak berkomitmen. Seakan pelayan adalah sekedar pelayan dan kata yang sering terucap

1
https://www.academia.edu/7059230/PROFESIONALISME_PELAYANAN diakses pada 11-12-2019
pukul 10:20

2
Kunandar, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Satuan Pendidikan
(KTSP) dan Sukses Dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009).45
adalah “masih syukur saya mau pelayanan dari pada tidak sama sekali!”.3 Memang tidak ada
sebuah undang-undang khusus dalam sebuah profesionalisme pelayanan, namun kita tidak
salah melihat dan belajar dari UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Dalam
undang-undang ini kita bisa melihat sebuah standar mutu dan norma tertentu dalam sebuah
pelayanan. Profesionalaisme di butuhkan dalam sebuah pelayanan sehingga hasil yang
dicapai dalam sebuah pelayan dapat terlihat dari buah pelayanan seperti menjadikan orang
lain lebih terkena dampak dari sebuah pelayanan. Dengan demikian pelayan senantiasa
dihadapkan pada peningkatan kualitas pribadi dan sosialnya. jika hal ini dapat dipenuhi maka
keberhasilan lebih cepat diperoleh, yaitu mampu melahirkan buah pelayanan yang berbudi
luhur, memiliki karakter sosial dan profesional sebagaimana yang menjadi tujuan pokok
Pendidikan dalam dunia Pendidikan dan tidak ada salahnya hal ini juga kita terapkan dalam
kegiatan para pelayan di gereja denagn meningkatkan kualitas diri sebagi seorang pelayan. 4
Apakah yang menyebabkan terjadinya dualisme kinerja pada (sebagian besar) pelayan Tuhan
itu? Paling sedikit ada dua alasan mengapa mereka berlaku demikian.

1. Karena para pelayan Tuhan merasa pelayanan adalah sebuah pekerjaan sukarela
(Ing. voluntary) sehingga pelayanan dapat dikerjakan dengan sesukanya. Lain
halnya dengan pekerjaan. Seorang akan bekerja dengan sungguh-sungguh dan
profesional karena ia mendapat upah atau keuntungan dari pekerjaannya itu.
2. Di dalam pelayanan tidak ada ganjaran (punishmet and reward) yang
jelas. Seorang yang melalaikan tugas pelayanannya atau mengerjakan
pelayanannya dengan tidak serius tidak mendapat punishment apa-apa. Paling
banter ia mendapat teguran dari rekan pelayanan atau pendetanya. Sedang
seorang pekerja yang melalaikan tugasnya akan mendapat punishment yang jelas
seperti: surat peringatan, pemotongan gaji dan paling buruk adalah
pemecatan. Begitu juga halnya dengan reward. Seorang pelayan Tuhan yang
melakukan pelayanan dengan sungguh-sungguh tidak melihat reward yang jelas
meski ia tahu bahwa Tuhan menyediakan baginya mahkota kehidupan di
surga. “Paling-paling” ia akan mendapat pujian dari rekan pelayanannya atau

3
https://www.academia.edu/7059230/PROFESIONALISME_PELAYANAN diakses pada 11-12-2019
pukul 10:20

4
Thoifuri, Menjadi Guru Inisiator, (Semarang: Rasail Media Group, 2007). 3
jemaat yang dilayaninya. Sedang seorang karyawan akan mendapat kenaikan
gaji atau promosi sebagai reward atas kerja kerasnya.5

Gereja yang merupakan anggota pesrkutuan orang percaya tidaklah terlepas dari
pelayanan agar dapat bertumbuh dan berbuah. Gereja pun dipanggil dan diutus keluar untuk
menghadirkan kerajaan Allah, gerejapun dinilai sebagai suatu organisasi yang senantiasa
tumbuh dan berkembang. Gereja sebagai persekutuan sekaligus sebagai suatu organisme pada
saat ini merupakan wujud atau hasil perkembangan dari jemaat Kristen mula- mula. Sifat
dinamis gereja juga diperlukan dalam menyatakan fungsi-fungsinya. Persekutuan, kesaksian
dan pelayanan adalah fungsi-fungsi gereja dalam rangka menghadirkan Kerajaan Allah di
dunia.6 Sekalipun melakukan pelayanan, seorang pendeta ataupun pelayan gereja di bidang
kategorial apapun ataupun bidang apapun tetap harus profesional. Profesional karena harus
menempuh pendidikan teologi bagi pendeta terlebih dahulu3 dan profesional dalam
menjalankan fungsi gembala, pembimbing, pengajar, pemimpin umat Tuhan dan pemberita
Firman Allah.7 Dengan kata lain, pendeta dituntut untuk profesional dalam hal pengetahuan,
keterampilan, karakter yang terwujud dalam perilaku sehari-hari. dan bagi pelayan lainnya
hendaknya tetap memperbahraui terus menerus dengan belajarsesuai dengan pelayanannya di
bidangnya masing-masing dengan mengikuti berbagai pembinaan yang di selengrakan gereja
tau pribadi. Karena tuntutan profesional inilah maka dibutuhkan adanya kesadaran akan
panggilan Allah sebagai motivasi yang senantiasa memberinya semangat dalam
melaksanakan tugas-tugas sebagai seorang pendeta yang seringkali diperhadapkan pada
tuntutan jemaat atau hambatan yang sedemikian banyaknya.

5
https://www.academia.edu/7059230/PROFESIONALISME_PELAYANANdiakses pada 11-12-2019
pukul 10:20

6
https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-10763-BAB%20I.Image.Marked.pdf
diakses pada 10-12-2019 pukul 17:41 wib

7
https://docplayer.info/44201083-Bab-i-pendahuluan-1-latar-belakang-permasalahan.html

diakses pada 10-12-2019 pukul 17:59 wib


Dengan menyadari bahwa menjadi seorang pendeta adalah panggilan dari Allah dan
juga btidak mengurangi berbagai bentuk pelayanan yang lain dalam bidang kategorial lain,
maka dalam melakukan tugas-tugas kependetaannya juga para pelyanan gereja lain,
diharapkan dapat melakukannya dengan segenap pikiran, hati, dan jiwanya dalam menjalani
suka dan dukanya sebagai seorang pendeta dan juga pelayan gereja dalam kategorial lain,
serta mampu menghadapi tantangan-tantangan yang mungkin dapat membuatnya menjadi
lebih kuat atau mungkin malah menjadikannya semakin mundur.8 Apabila dilihat
realitasnya, terdapat tanda-tanda bahwa aspek panggilan ini mulai kabur atau mulai
mengendur semangat pelayanan sehingga pelayanan mulai menjadi sebuah rutinitas belaka
dan bukan lagi dipersiapkan dengan baik dalam segala aspek penunjang pelayan. Banyak
permasalahan terjadi pada kehidupan pendeta bahkan juga bagi pelayan yang lain yang
tampaknya berkaitan dengan tingkat kesadaran akan panggilan sebagai pendeta juga pelayan
gereja. Seakan meninggalkan profesionalisme sebaga pelayan gereja secara keseluruhan.
Kasus yang dijumpai antara lain berkisar dalam hal- hal sebagai berikut:

1. Finansial. Godaan yang sering dihadapi kebanyakan orang dan khususnya pendeta
adalah soal uang. Uang secara pribadi tidak salah. Namun, yang menjadi kesalahan
besar apabila uang menjadi tuan dari manusia. Seseorang bisa bekerja keras tanpa
lelah dari pagi hingga malam hari hanya untuk mengejar kekayaan financial.
Pendeta pun tak luput dari godaan ini pun demikian para pelayan gereja yang
lainnya. Ada kecenderungan beberapa pendeta yang lebih senang melakukan tugas
di luar jemaat yang dipimpinnya dikarenakan tambahan penghasilan yang lumayan
besarnya. Ada juga yang mempunyai pekerjaan atau bisnis sampingan dan menjadi
lebih mengutamakan usaha tersebut daripada pelayanannya di jemaat. 9 Pun
demikian pelayan gereja dalam bidang lain karena menganggap hal ini adalalah
sebuah pelayanan bahkan tanpa pemasukan profit maka mereka melakukan sebuah
pelayann sekedar saja karena dianggap bukan sebagai pencarian penghasilan

2. Khusus untuk pendeta, ada “kekuasaan”. Godaan yang dihadapi oleh pendeta selain
finansial juga kekuasaan. Karena pendeta adalah juga pemimpin jemaat, seringkali
bersentuhan dengan jabatan kepemimpinan, entah wilayah lokal, propinsi, nasional,

8
Ibid.

9
Ibid.
ataupun internasional. Dengan demikian, pendeta sering diperhadapkan dengan
“enaknya” menduduki kursi kepemimpinan yang dapat membuatnya lupa diri
bahwa ia adalah seorang pelayan Tuhan. Terjadi perebutan jabatan, berselisih
dengan rekan pendeta yang memimpin di jemaat yang sama, tidak mau terbuka
dengan pendapat orang lain. Atau berselisih paham dengan para pelayan gereja lain
dalam lingkup gerejanya sendiri.10

3. Keluarga. Permasalahan berikutnya yang juga sering dihadapi oleh pendeta yaitu
menyangkut masalah keluarga juga pelayan gereja yang lainnya . Ada beberapa
kasus yang terjadi pada kehidupan keluarga pendeta, misalnya perselingkuhan dan
perceraian. Permasalahan ini dapat juga melibatkan anggota jemaat yang berakibat
pada ditanggalkannya jabatan kependetaan pendeta tersebut. Dan hal ini juga
menjadi sebuah penghambat dalam sebuah pelayan di dalam gereja, sehingga misi
dan tugas panggilan dalam gereja menjadi kurang terarah dan menganggap diri
tidak layak dalam melakukan pelayanan, padahal dalam segi kemampuan
professional bisa.11

Ada sebuah pertanyaan besar, benarkah profesionalisme hanya milik pekerjaan dan
perusahaan, sedang dalam pelayanan yang ada hanyalah sukarela yang boleh dikerjakan
sesuka dan serelanya? Jawabannya adalah tidak! Justru sebuah pelayanan mesti dilakukan
dengan profesional, yaitu dengan penuh tanggung jawab, kesungguhan, komitmen dan usaha
keras untuk meningkatkan kinerja pelayanan. Bahkan kualitas profesionalisme pelayanan
seharusnya berada di atas profesionalisme kerja karena kita melakukan pelayanan demi
kemuliann nama Tuhan bukan untuk orang dan kebanggaan orang secara pribadi. Karena
dalam pelayan yang dilakukan akan menjangkau banyak orang untuk lebih dekat kepada
Tuhan dan mengenal Tuhan lebih lagi. Tetapi memang terkadang seorang filsuf bernama
Plato lebih jujur dari pada orang Kristen. Plato berkata “Siapakah yang senang kalau harus
melayani orang lain?”. Di dalam gereja orang senang berbicara tentang pelayanan, begitu
seringnya sehingga istilah pelayananpun terkadang mengalami degradasi makna. Di dalam
kitab suci “melayani” digambarkan dengan 4 kata yaitu; Diakoneo, Douleo, Leitourgeo, dan
Latreou. Diaokeneo berarti menyediakan makanan di meja untuk majikan. Orang yang
melakukannya disebut diakonos dan pekerjaannya disebut diakonia (lihat Luk 17:8). Namun

10
Ibid.

11
Ibid.
di Lukas 22:26, 27 Yesus memberi arti yang baru bagi diakoneo yaitu melayani orang yang
justru lebih rendah kedudukannya dari kita. Di 1 Petrus 4:10 kata diakoneo berarti
menggunakan karisma yang ada pada kita untuk kepentingan dan kebaikan orang lain. Rasul
Paulus menganggap pekerjaannya sebagai suatu diakonia dan dirinya sebagai diakonos bagi
Kristus (2 Kor 11:23) dan bagi umat (Kol. 1:25). Douleo adalah menghamba yang dilakukan
oleh seorang budak. Paulus memakai kata itu untuk menggambarkan bahwa kita yang
semula menghamba pelbagai kuasa jahat, dibebaskan oleh Kristus supaya kita bisa
menghamba kepada Kristus (Gal.4:1-11). Sebuah kontras tajam diperlihatkan di Filipi 2:5-7,
yaitu bahwa Yesus yang walaupun mempunyai rupa Allah namun telah mengosongkan diri-
Nya dan mengambil rupa seorang budak. Leiturgeo berarti bekerja unutk kepentingan rakyat
atau kepentingan umum sebagai lawan dari bekerja untuk kepentingan diri sendiri. Orang
yang membuat itu disebut leiturgos dan perkerjaan luhur itu disebut leitugia. Kata ini juga
dapat berarti melakukan upacara dan ibadah kepada para dewa. Dari situ sekarang kita
menggunakan kata litugi untuk kata ibadah. Di perjanjian baru kata ini dipergunakan dalam
pelbagai arti. Pengumpulan uang untuk membangun gereja di Yerusalem disebut leitourgia
(2 Kor. 9:12), seluruh kehidupan kita patut disebut leiturgia (Flp.2), membawa orang
percaya sehingga menjadi murid Kristus juga disebut leiturgia (Rom 15:16). Latreuo berarti
bekerja untuk mendapat latron yaitu gaji atau upah. Latreia juga bisa berarti pemujaan untuk
Tuhan. Di perjanjian baru kata ini digunakan dalam arti menyembah atau beribadah pada
Tuhan (Mat. 4:10; Kis 7:7). Penggunaan yang mencolok adalah di dalam Roma 12:1 yaitu
Paulus meminta agar kita mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang pantas.

Dari seluruh pemakaian kata melayani dalam kitab suci, maka dapat disimpulkan
bahwa melayani adalah mengabdi atau menghamba kepada Tuhan dengan cara melayani
orang lain, atau pola hidup yang bukan untuk diri sendiri lagi melainkan untuk Tuhan dan
orang lain. Melayani bukan sekadar sibuk sana sini dan bukan sekadar memberi ini dan itu
agar Nampak melayani dalam bergereja atau Nampak di lihat orang banyak agar kelihatan
seorang yang dekat denagn Tuhan. Melayani adalah mengosongkan diri dan menempatkan
kepentingan sendiri di bawah kepentingan Tuhan dan orang lain.12 Apa sebabnya kita di
dorong untuk melayani Tuhan dan orang lain? Dasarnya adalah karena kita telah dibeli dan
ditebus dan harganya telah lunas dibayar melalui kematian Yesus. Kita didorong untuk

12
https://www.academia.edu/7059230/PROFESIONALISME_PELAYANAN diakses pada 11-12-2019
pukul 10:20
melayani karena setiap kita telah diselamatkan oleh Kristus pelayanan yang kita lakukan
adalah bentuk ucapan syukur yang kita lakukan atas apa yang telah kita dapati dari Tuhan
atas hidup kita. Artinya jika seseorang belum mengalami penebusan dan keselamatan di
dalam Yesus Kristus maka sesungguhnya orang tersebut sebaiknya jangan terlibat dalam
pelayanan, karena dalam sebuah pelayan hendaklah kita diperlenkapi segala sesuatunya agar
tidak salah dalam melakukan pelayan. Atau jika yang menyebut diri sebagai orang Kristen
tidak mau melayani maka sebaiknya mereka tidak menyebut diri Kristen.

II. Pembahasaan
2.1. Pengertian Profersionalisme
a. Pengertian Profesionalisme secara Umum

Profesionalisme berasal dari akar kata “profesi”. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1996), profesionalisme adalah “tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi.”
Sedangkan profesi merupakan suatu kelompok yang memiliki kekuasaan tersendiri dan
karena itu mempunyai tanggung jawab khusus.13 Orang yang bergabung dengan kelompok
profesi memiliki pengetahuan dan keahlian yang tidak dimiliki kebanyakan orang lain.
Anggota profesi ini diatur oleh kode etik dan menyatakan komitmen terhadap kemampuan,
integritas dan moral dan dukungan demi kesejahteraan masyarakat. Profesionalisme sangat
mencerminkan sifat seorang terhadap pekerjaan atau profesinya.14 Jadi dapat di simpulkan
bahwa profesionalisme adalah seseorang yang memiliki pengetahuan, integritas dan
keahliaan dalam bidang tertentu.

b. Pengertian Profesionalisme Menurut Para Ahli

Menurut para ahli ada beberapa pengertian profesionalisme yaitu :

13
John M. Echols dan Hassan Shadili, Kamus Besar Indonesia, Cet. Ke-23, (Jakarta: PT. Gramedia, 1996), 449.
14
http://repository.ump.ac.id/2750/3/BAB%20II_BAYUAJI%20BUDIHARGO_PSIKOLOGI%2717.pdf, diakses tgl
16 Des 2019, pkl 10.25 wib.
1. Menurut Siagian (2000:163) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan profesionalisme
adalah keandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu tinggi,
waktu yang tepat, cermat.15
2. David H. Maister (1998:56) mengatakan bahwa orang-orang profesionalisme adalah
orang-orang yang diandalkan dan dipercaya karena mereka ahli, terampil, punya ilmu
pengetahuan, bertanggung jawab, tekun, penuh disiplin, dan serius dalam menjalankan
tugas pekerjaannya.16
3. Longman, (1987) mengatakan bahwa profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran
atau kualiti dari seseorang yang profesional.17

Dari pengertian profesionalisme menurut para tokoh di atas maka dapat disimpulkan
bahwa profesionalisme adalah seseorang yang dapat diandalkan dan di percaya karena
memiliki integritas, kemampuan, disiplin serta bertanggung jawab dalam segala hal.

2.2. Unsur-unsur Profesionalisme dalam Pelayanan Gereja

Jika seseorang sudah dipercayakan untuk mengemban tugas dan tanggung jawab di
dalam pelayanan gereja maka ia harus bersungguh-sungguh dan profesional dalam menjalani
tugasnya. Banyak kalangan mengkatagorikan bahwa pelayanan adalah sebuah pekerjaan
sukarela sehingga dapat dikerjakan sesuka hatinya. Hal ini tentunya berbanding terbalik
dengan seorang pekerja kantoran, dimana ia akan bekerja dengan kesungguhan dan
profesional karena ia mendapat upah dan keuntungan dari pekerjaannya itu. Dalam
pelayanan tidak ada ganjaran yang jelas untuk dapat diberikan kepada orang-orang yang tidak
profesional ketika melaksanakan pelayanan gereja, karena setiap orang yang mengambil
bagian dalam pelayanan gereja ia sudah mengerti bahwa pelayanan yang ia lakukan adalah
untuk kemuliaan Tuhan. Sejalan dengan pemikiran, Jerrry White dalam bukunya Honesty &
Conscience mengatakan bahwa seharusnya orang Kristen menjadi pelayan bagi Tuhan dan
sesama. Dalam melaksanakan pelayanan gereja harus dilakukan secara profesional yaitu;

15
, Sondang Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta : Bumi Aksara 2000), 163.

16
David H Maister, , True Profesionalisme, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama,1998), 56.

17
Logman, Dictionary of Contemporarry English, (England: Longman Grup UK Ltd, 1998), 115.
dengan penuh rasa tanggung jawab, kesungguhan, komitmen dan usaha keras untuk
meningkatkan kinerja pelayanan.18

1. Bertanggung Jawab
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau
perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja atau sikap menerima
tugas dengan segala konsekuensinya, yang kemudian melakukannya dengan setia.
Sebagai seorang yang profesional haruslah melaksanakan pelayanan dengan
bertanggung jawab dan tidak boleh lalai terhadap apa yang sedang ia kerjakan (Gal.
6:3-5).

2. Kesungguhan Hati
Seseorang yang profesional tentulah melaksanakan pelayanannya dengan sepenuh hati
atau tidak setengah-setangah, karena ia tahu bahwa pelayanan yang ia lakukan adalah
untuk Tuhan. Kesungguhan hati juga dapat dikategorikan sebagai ketekunan, dimana
ia melakukan pelayanan dengan tekun dan bersungguh-sungguh.

3. Komitmen
Komitmen adalah janji setia, tekad atau ketetapan yang kuat untuk melakukan sesuatu
yang disertai dengan tanggung jawab. Artinya, komitmen akan membuat suatu janji
dapat dipercaya karena adanya rasa tanggung jawab dan tekad untuk melakukannya.
Kolose 3:23-24 “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu
seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah
kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah”. Sebagai orang
Kristen yang melaksanakan pelayanan tentulah bukan hanya berkomitmen kepada
dirinya sendiri dan jemaat tetapi juga kepada Tuhan yang telah memberikannya
kesempatan untuk melaksanakan tugas dan panggilan.

4. Kerja keras (usaha keras)

18
Charles R. Swindoll, Mengangkat Pelayanan Anda: Improving Your Serve, (Bandung: Pionir Jaya,
2011), 23.
Kerja keras adalah kegiatan yang dikerjakan secara sungguh-sungguh tanpa mengenal
lelah atau berhenti sebelum target kerja tercapai dan selalu mengutamakan atau
memperhatikan kepuasan hasil pada setiap kegiatan yang dilakukan. Kerja keras dapat
diartikan bekerja mempunyai sifat yang bersungguh-sungguh untuk mencapai sasaran
yang ingin dicapai. Kerja keras adalah merupakan sikap profesional yang harus
dimiliki oleh setiap orang dalam pelayanan gereja, mengingat bahwa pekerjaan yang
ia lakukan bukan hanya untuk dirinya atau pun gereja tetapi yang terutama pelayanan
yang ia lakukan adalah untuk Tuhan (Yoh. 5:17).

2.3. Masalah- Masalah dalam Profesionalisme

Ada orang yang melayani dengan hati yang tulus namun tidak profesional dalam
melakukan pelayanan gereja. Orang ini melayani tanpa kemampuan yang memadai, tidak
menerapkan cara kerja yang baik dan tidak mengikuti etika kerja yang baku. Contoh
sederhananya adalah: Para pelayan gereja/lembaga yang tidak pernah menuntut gaji karena
memiliki hati mau melayani namun cara kerjanya sembarangan, tidak pernah mau belajar dan
selalu melayani dengan cara kerja yang tidak baik. Ada juga orang-orang yang memiliki
komitmen, kemampuan dan cara kerja yang profesional namun bukan berorientasi melayani.
Orang-orang ini melayani bukan sebagai pengabdian kepada Tuhan melainkan hanya untuk
mendapat uang dan supaya ada pekerjaan saja. Bagi mereka, profesionalitas dalam pelayanan
hanyalah diukur dari keuntungan materi.

1. Masalah Krisis Panggilan dan Kekaburan Tanggungjawab

Merupakan klaim yang umum bahwa kesediaan menjadi pelayan adalah bentuk
tanggapan atas panggilan dari Tuhan sendiri. Memang, seperti ditegaskan oleh Trull dan
Carter, kejelasan atas panggilan menentukan sikap etis.19 Lunturnya rasa terpanggil
merupakan akar dari disorientasi moral para pelayan.
Kekeliruan memahami konsep panggilan bisa terjadi, dan hal ini mempunyai
implikasi langsung dalam hubungan kolegialitas. Karena merasa dipanggil oleh Tuhan
sendiri, seorang pelayan bisa memahami tanggungjawabnya tertuju kepada Tuhan saja, dan

19
Joe E. Trull and James E. Carter, Ministerial Ethics: Moral Formation for Church Leaders, p.195.
bukan kepada pihak lain mana pun, termasuk gereja, apalagi rekan sejawatnya. Dalam hal ini,
Tuhan dipahami sebagai individu yang berada dalam relasi yang eksklusif dengan diri sang
pelayan sendiri. Pemahaman yang seperti ini mengakibatkan sang pelayan merasa berhak
menentukan secara subyektif corak dan cara pelayanannya, dan memandang rendah
kemitraan dengan orang yang lain. Padahal panggilan Tuhan bukanlah hanya fenomen batin,
tetapi juga peristiwa gerejawi yang melibatkan persekutuan orang percaya.

2. Masalah Kematangan Profesional

Pubertas profesional adalah fenomen di mana seorang profesional menjadikan pujian


dan pengakuan atas dirinya sebagai tujuan utamanya melakukan pekerjaan. Berbeda dengan
pubertas biologis, pubertas profesional tidak terkait dengan usia, dan banyak profesional
tidak pernah dapat mengatasinya. Seorang pendeta yang disukai jemaat secara berlebih-
lebihan dapat mengidap pubertas profesional, apabila terlarut dalam kondisi yang diciptakan
oleh para penggemarnya. Popularitas yang tidak wajar, kata Wiest dan Smith, dapat merusak
integritas.20
Pelayan yang mengidap pubertas profesional akan mudah cemburu kepada kolega-
koleganya. Ia akan melakukan banyak cara, seringkali secara overacting, demi memenangkan
pujian jemaat. Ia juga mudah tergoda untuk mempolitisir tugas-tugas pastoralnya menjadi
sekadar alat untuk membuktikan keunggulan dirinya, kadang-kadang dengan cara
memojokkan koleganya. Upaya menggalang kelompok pendukung, yang mau
memperjuangkan kepentingannya dalam forum jemaat, juga merupakan ciri pubertas
profesional.
Kematangan profesional akan dicapai, dan dengan demikian pubertas profesional
akan teratasi, jika terdapat kesadaran yang kuat akan makna pelayanan. Konsep
kepemimpinan pelayan yang bersumber pada Injil menjadikan sikap dan karakter pelayan
sebagai model bagi para pemimpin. Kebalikan dari seorang remaja puber, pelayan
memperhatikan kebutuhan orang lain, peduli pada kegembiraan orang lain, dan
mengutamakan kepentingan mereka, dengan mengabaikan kepentingan, gengsi dan
pengakuan atas dirinya sendiri. Kerendahan hati, kerelaan bekerja keras, kepekaan terhadap
kebutuhan orang lain dan penyangkalan diri merupakan karakter yang melekat pada diri
pelayan.

20
Walter E. Wiest and Elwyn A. Smith, Ethics in Ministry: A Guide for the Professional. Minneapolis: Fortress
Press, 1990, p.135-137.
3. Masalah Perbedaan

Kebanyakan anggota jemaat sangat beragam, baik dari segi usia, gender, etnisitas,
latar belakang sosial, bahkan juga corak spiritualitas. Perbedaan usia dan gender dapat
menjadi masalah karena kebanyakan jemaat dan masyarakat kita berada dalam ‘ketegangan
budaya’, yaitu antara budaya tradisional yang paternalistik dan patriarkhal dengan budaya
kontemporer yang lebih egaliter. Banyak pelayan muda yang frustrasi karena merasa
diperlakukan seperti anak kecil oleh jemaat. Sebaliknya, banyak juga pelayan tua yang
merasa disingkirkan oleh rekan juniornya yang datang-datang mau merombak segala sesuatu
yang ia sudah bangun bertahun-tahun. Dalam kasus-kasus seperti itu biasanya ada kelompok
dalam jemaat yang mendukung pelayan tua, ada juga yang mendukung pelayan muda.
Ketegangan ini dapat menjadi ketegangan antar generasi di dalam jemaat.
Hubungan antara pelayan laki-laki dan pelayan perempuan bisa lebih pelik lagi.
Masih banyak jemaat yang tidak sepenuhnya percaya kepada pelayan
perempuan. Stereotype bahwa perempuan lebih lemah, kurang dapat menjaga rahasia dan
terlalu sentimental membuat perempuan seringkali dinomorduakan, apabila bermitra dengan
laki-laki. Sikap jemaat yang cenderung menomorduakan perempuan ini diperkuat oleh acuan
pada ayat-ayat Alkitab yang secara eksplisit bias gender, yang ditafsirkan secara harfiah
seperti banyak ayat yang lain. Dalam kasus seperti ini, banyak pelayan laki-laki yang
meskipun secara teoretis menentang diskriminasi gender, membiarkan saja sikap jemaat yang
bias gender, karena hal itu menguntungkan dirinya. Perlakuan seperti ini membuat beberapa
perempuan merasa diperlakukan tidak adil, dan membuat hubungan antar pelayan menjadi
tidak baik. Jelas bahwa penghapusan diskriminasi gender dalam gereja membutuhkan
keberanian untuk melakukan kritik budaya terhadap tradisi-tradisi masyarakat yang bias
gender, dan sekaligus reinterpretasi terhadap ayat-ayat Alkitab yang terkesan meneguhkan
patriarkhi.
Perbedaan etnis dan latar belakang sosial juga berakar pada budaya masyarakat.
Diskriminasi dan pengelompokan rasial dan sosial yang umum dalam masyarakat pada
kenyataannya masih kuat juga pengaruhnya dalam jemaat. Jika ini terjadi, yang dipertaruhkan
adalah hakikat gereja sebagai sebuah persekutuan yang berpusat pada Kristus, di mana ‘tidak
ada orang Yunani atau orang Yahudi, budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan’
(Gal. 3).

4. Dualisme Dalam Pelayanan


Yang menyebabkan terjadinya dualisme kinerja pada (sebagian besar) pelayan Tuhan yaitu:

1. Karena para pelayan Tuhan merasa pelayanan adalah sebuah pekerjaan sukarela
(voluntary) sehingga pelayanan dapat dikerjakan dengan sesukanya. Lain halnya
dengan pekerjaan. Seorang akan bekerja dengan sungguh-sungguh dan profesional
karena ia mendapat upah atau keuntungan dari pekerjaannya itu.
2. Di dalam pelayanan tidak ada ganjaran (punishmet and reward) yang
jelas. Seorang yang melalaikan tugas pelayanannya atau mengerjakan
pelayanannya dengan tidak serius tidak mendapat punishment apa-apa. Paling
tidak ia mendapat teguran dari rekan pelayanan atau pendetanya. Sedang seorang
pekerja yang melalaikan tugasnya akan mendapat punishment yang jelas seperti:
surat peringatan, pemotongan gaji dan paling buruk adalah pemecatan. Begitu juga
halnya dengan reward. Seorang pelayan Tuhan yang melakukan pelayanan dengan
sungguh-sungguh tidak melihat reward yang jelas meski ia tahu bahwa Tuhan
menyediakan baginya mahkota kehidupan di surga. “Paling-paling” ia akan
mendapat pujian dari rekan pelayanannya atau jemaat yang dilayaninya. Sedang
seorang karyawan akan mendapat kenaikan gaji atau promosi sebagai reward atas
kerja kerasnya.
3. Ada jemaat-jemaat yang mengalami dualisme kepemimpinan karena pelayan-
pelayannya bekerja sendiri-sendiri. Mereka tidak bertengkar, tetapi tidak juga
bekerjasama, bahkan nyaris tidak berkomunikasi. Masing-masing mempunyai visi,
misi dan strateginya sendiri. Masing-masing mendesain dan melaksanakan
program-programnya sendiri. Jemaat menjadi terbelah, sebagian menjadi
pendukung pelayan yang satu, sebagian lainnya menjadi pendukung pelayan yang
lain. Sikap seperti ini yang membahayakan kesatuan.

2.4. Membangun Profesionaliseme

Untuk membangun profesionalisme dalam pelayanan gereja yang profesional


dipersyaratkan mempunyai;21

21
Edy Utomo, Membangun Profesionalisme Guru,
https://edyutomo.com/bagaimana-membangun-profesionalisme-guru/, diakses pada
tanggal 11 Desember 2019 pukul 10.45 WIB.
1. Dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan
masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21;
2. penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu
pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka.
Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset
pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia;
3. pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan
profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK
dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan
disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan
birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.

Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru
untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu;

1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang;


2) penguasaan ilmu yang kuat;
3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan
4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan
satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang
ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru


memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan
dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era
hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi
terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya.
Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual,
sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru
harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus
mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.

Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme pelayan gereja dalam pendidikan


nasional disebabkan oleh antara lain;
a) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan
oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri
tidak ada;
b) belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju;
c) kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru
yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan
sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi
keguruan;
d) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut
untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.

Disamping itu ada lima penyebab rendahnya profesionalisme pelayan gereja ;

1. masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total,


2. rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan,
3. pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari
pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum
mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan,
4. masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang
diberikan kepada calon guru,
5. masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara
makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI
bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure
group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di
masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme sebagai
anggo-tanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor yang menyebabkan rendahnya
profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk
meningkatkan profesi guru.

2.5. Upaya Meningkatkan Profesionalisme Pelayan Gereja

Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya


meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga
pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma
II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru
SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut
secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan.

Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah


adalah program sertifikasi. Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia
untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG
(Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam
memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya.

Pengembangan profesionalisme harus dipandang sebagai proses yang terus menerus.


Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran,
pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi
keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan,
dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk
guru.

Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung


jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam hal
ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.

2.6. Tujuan Profesionalisme Dalam Pelayanan Gereja

Profesinlaisme dalam dunia pelayanan tentu memiliki tujuan yang berbeda dengan
profesi lain. Kalau dalam dunia pekerjaan, professional dikejar dan dituntut oleh karena
karier, tunjangan dan lain sebagainya. Dalam dunia pelayanan di gereja orientasi tujuan
profesinalis terletak pada kesadaran akan panggilan Allah dalam hidupnya serta pengaruh
yang diberikan kepada orang-orang yang dilayani.

Seorang Hamba Tuhan ketika melaksakanan tugas pelayanannya haruslah


melakukannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab bahwa tugas dikerjakan adalah
bentuk pengabdian sebagai hamba Tuhan kepada Allah, sehingga setiap orang yang dilayani
merasa tersentuh. Jermaat yang dilayani dapat merasakan sungguh kehadiran Allah melalui
pelayanannya sebagai hamba Tuhan (Kol. 3:17, 23). Seseorang yang terpanggil sebagai
Hamba Tuhan mampu mengambil keputusan dan menetapkan setiap kebijakan dengan penuh
kesadaran bahwa setiap pelayanan yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan kepada
Tuhan, gereja dan masyarakat, sehingga setiap hal yang dikerjakan berdasarkan hikmat
Tuhan. Senantiasa melibatkan Tuhan dalam setiap langkah yang diambil. Yesaya32:8
menulis “ Tetapi orang yang berbudi luhur merancang hal–hal yang luhur,dan ia selalu
bertindak demikian.” Charles Swindoll dalam buku Meningkatkan Pelayanan Anda, juga
menuliskan bahwa pelayanan yang dilakukan secara professional akan menuntun seorang
Hamba Tuhan untuk dapat melakukan pelayanannya dengan menerapkan prioritas
berdasarkan pertimbangan yang matang atas kepentingan, kegunaan dan mafaat dari setiap
pelayanan yang dilakukan (I Kor.8:8; 10:23)22

Larry Keefauver mengatakan bahwa dalam setiap pelayanannya seorang Hamba


Tuhan harus mewujudkan sikap, kata dan tindakan dalam kebenaran dan kebaikkan.23
Pelayanan yang profreional harus memiliki motivasi yang benar, dengan penuh tanggung
jawab dalam hubungan dengan Tuhan, dengan jemaat dan juga dengan orang–orang
disekitarnya yang ada pada lingkup pelayanannya sehingga menghasilkan hasil yang benar.
24
Sikap ini haruslah diwujudkan oleh seorang hamba Tuhan secara konsisten dalam kata dan
perbuatan kapan saja serta di mana saja, sehingga nama Tuhan Yesus dipermuliakan
(Yes.32:1-2; 33:15-16). Antara sikap dan tindakan hamba Tuhan ini selaras dengan
kebenaran Firman Tuhan, sehingga jemaat sungguh dapat melihat dan merasakan bahwa
pelayanan yang dilakukan oleh hamba Tuhan benar–benar dapat menjadi teladan. Karena
keteladanan hidup dari Tuhan Yesus juga tercermin dari pelayanan dan hidup sehari –hari
hamba Tuhan, sehingga orang yang dilayani dapat dipengaruhi oleh keteladanan yang
diberikan. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan profesionalisme dalam pelayanan adalah :

1. Seorang hamba Tuhan di dalam pelayanannya tidak hanya mengajar tetapi juga harus
menjadi teladan.

2. Jemaat dapat melihat dan mengetahui bahwa apa yang dia ajarkan tidak hanya
menjadi sesuatu yang kosong, namun sungguh itu dia hidupi di dalam kehidupannya
secara pribadi.
3. Jemaat Tuhan yang dilayani dapat merasakan hadirat Tuhan lewat pelayanan yang
diberikan

22
Charles R. Swindoll, Meningkatkan Pelayanan Anda: Improving Your Serve (Bandung: Pionir Jaya, 2011), 204

23
Larry Keefauver, 77 Irrefutable Truths of Ministry(Semarang: Media Injil Kerajaan, 2012),33.

24
Ibid, 65
III. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai