Anda di halaman 1dari 3

NILAI PRAKSIS DAN PENYIMPANGAN

PADA SILA KE-4

Disusun Oleh;

Elma Khoerunnisa (24024119002)


Ahmad Yusron Sidik (24024119005)
Sayid Adanil Awal (24024119013)
Uwaesul Qoroni (24024119014)
Tegar Fachryan Syah (24024119016)

PROGRAM STUDI PARIWISATA

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS GARUT
Sila Ke – 4

“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam


permusyawaratan perwakilan”.

Pada sila keempat ini memiliki makna praksis sebagai berikut :

• Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.

• Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.

• Mengutamakan budaya bermusyawarah dalam mengambil keputusan bersama.

• Bermusyawarah sampai mencapai katamufakat diliputidengan semangat kekeluargaan.

Pengamalan dalam nilai praksis Pancasila keempat ini mengindikasikan arti bahwa pengutamaan
kesimpulan atas musyawarah dan mufakat dalam mengambil keputusan lebih di prioritaskan dalam
mewujudkan kedamaian bagi segenap masyarakat.

Contoh penyimpangan :

 Ketidakadilan bagi masyarakat : Sila keempat mengungkapkan akan lebih mementingkan


masyarakat daripada pemerintah itu sendiri. Namun nyatanya masih banyak penyimpangan
dan kekeliruan dalam hukum sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat.

 Melarang orang berpendapat : Contoh penyimpangan dari sila keempat ini adalah melarang
orang untuk berpendapat atau bahkan memboikotnya. Hal ini jelas berbeda dan bertentangan
dari silam keempat.

 Melarang orang menduduki jabatan tertentu karena suku, ras, agama, dll : Poin ketiga
ini sangat nyata sedang terjadi di Indonesia. Sangat disayangkan jika Indonesia ini memiliki
beragam suku namun masyarakatnya masih banyak yang belum bisa berkembang dengan baik.
Contohnya saja adanya larangan seseorang yang beragama dan suku minoritas yang dilarang
menduduki suatu jabatan hanya karena tidak seagama atau tidak satu suku.
Contoh Kasus Penyimpangan:

Seorang nenek warga Banyumas, Jawa Tengah, divonis oleh majelis hakim dengan
hukuman 1 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan tanpa menjalani kurungan tahanan.
Nenek bernama Minah tersebut didakwa mencuri tiga buah kakao (cokelat) di perkebunan milik
persuhaan PT Rumpun Sari Antan pada tahun 2009 lalu.

Pada persidangan tersebut, nenek tujuh orang anak dan belasan cucu ini hadir tanpa didampingi
kuasa hukum, nenek Minah juga tak kuasa membendung air matanya karena ketakutan.

Ia mengaku mengambil 3 buah kakao seharga Rp 2.000 untuk dijadikan benih, namun pihak PT
Rumpun Asri Antan mengatakan buah kakao yang diambil tersebut seharga Rp 30 ribu.

Sedangkan para pejabat yang sudah menelan uang milik negara milyaran rupiah hanya ditahan
selama 1-2 tahun bahkan tidak diselidiki. Hal ini memang ironis tapi memang ada di Indonesia,
merupakan salah satu pelangagran berat pancasila.

Anda mungkin juga menyukai