(Oleh: Fikriadi)
Dimara dan Yos Sudarso selaku pemimpin pasukan merah putih, dibawa
dan diadili di Ambon. Ketika ditanya oleh hakim, Dimara menjawab pertanyaan
hakim dengan tegas dan bersikeras mempertahankan merah putih. Hingga ia
divonis 20 tahun penjara dan ia masih tetap tidak terima dengan vonis tersebut.
Dengan kemampuan bicara yang dimilikinya, Dimara menjadi foreman dalam
penjara. Dan kemudian berhasil lolos dari penjara bersama rekannya ketika
disuruh membuang rumput. Mereka ditolong warga sekitar, diberi pakaian ganti
dan kabur ke pulau Seram. Di pulau Seram ia berpropaganda tentang
kemerdekaan Indonesia. Tetapi kaburnya Dimara telah diketahui oleh polisi dan
polisi menangkap kepala kampung di pulau Seram karena dituduh
menyembunyikan tahanan. Dimara merasa tidak enak hati, karena ulahnya, kepala
kampung yang tidak bersalah jadi ditahan. Kemudian Dimara menyerahkan diri
kepada polisi. Dimara dibawa dan ditahan di Makasar dengan penjagaan lebih
ketat.
Ketika sudah keluar dari Kamp Digoel, pada bulan Juli 1951, Dimara
mendapat surat panggilan dari Istana. Ia langsung ke Jakarta dan menghadap
Presiden Soekarno. Perbincangan dengan Soekarno menambah semangat
nasionalisme dalam diri Dimara. Ia juga melihat di Jakarta banyak orang Jawa dan
Sumatra yang memiliki kebiasaan yang sama pada kampungnya, yaitu “nyusur
pinang” dan mengisap sirih. Hal ini membuat Dimara makin yakin bahwa seluruh
rakyat Indonesia adalah satu rumpun.
Ketika saat-saat gentingnya perebutan Irian Barat di PBB, secara lisan
Soekarno memerintahkan Dimara untuk masuk ke Irian Barat. Dimara berangkat
ke Ambon, dan melatih pasukannya untuk masuk ke Irian Barat. Landasan
pemikiran Dimara masuk Irian Barat adalah bukan untuk infiltrasi, tetapi hanya
untuk melakukan operasi semata seperti di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Karena dalam pemikiran Dimara, Irian adalah wilayah Indonesia. Urusan Irian
adalah urusan dalam negeri Indonesia. Tidak boleh ada negara lain yang ikut
campur dalam urusan Indonesia. Dalam hal ini, Dimara tetap mengakui bahwa
tanah Irian tetap milik Indonesia walaupun di Irian masih dikuasai polisi-polisi
Belanda. Perjuangannya di Irian Barat berhasil menangkap Louis Van Krieken,
seorang kepala polisi Belanda. Walaupun pada akhirnya ia ditangkap tentara
Belanda dan dibuang lagi ke Digoel.