Anda di halaman 1dari 6

J. A. Dimara, Pahlawan Patriotik dari Irian.

(Oleh: Fikriadi)

Perjalanan sejarah suatu nation, tidak terlepas dari peran para


pahlawannya. Para pahlawan ini, telah berjuang dengan mengorbankan segala
yang dia punya demi suatu cita-cita, suatu ideologi untuk membangun masyarakat
untuk lebih maju. Salah satu pahlawan yang jasanya begitu besar dalam
membentuk nation ini adalah J. A. Dimara, seorang patriotik dari tanah Irian.

Johanes Abraham Dimara, lahir di kampung Korem, Biak Utara. Ayahnya


Wiliam Dimara adalah korano (kepala kampung), dan J.A. Dimara adalah putra
pertamanya. Dimara pun tidak tahu pasti kapan dia lahir, hanya dari
pengakuannya dia lahir sekitar tahun 1915-1916, karena saat itu masyarakat Biak
masih belum banyak yang bisa baca tulis sehingga tidak tercatat pasti saat Dimara
lahir.

Pada masa kecil, ayahnya menyekolahkannya ke Ambon, karena


kecerdasannya di Ambon ia mendapat orang tua angkat yaitu seorang kepala
polisi, Elisa Mahubesi. Begitu dekatnya dia dengan keluarga angkatnya sehingga
dibaptislah dia, tetapi Dimara tetap tidak mau menggunakan nama Mahubesi, dia
ingin nama marganya tetap Dimara. Dimara selesai pendidikan dasar pada 1930
dan lanjut pada sekolah injil dan pertanian. Sehingga akhirnya ia menjadi guru
injil di Pulau Buru, tepatnya di kecamatan Leskula, Maluku tengah.

Ketika tentara Jepang mulai masuk ke Indonesia Timur, termasuk Pulau


Buru, Dimara sempat direkrut untuk menjadi tentara Heiho dan akhirnya menjadi
anggota Kempetai. Dari sinilah Dimara mulai belajar militer, ia belajar taktik
penyergapan dan perang di hutan saat menjadi Heiho dan bersikap baik pada
rakyat saat menjadi Kempetai.

Saat Jepang menyerah pada sekutu dan proklamasi dibacakan di Pulau


Jawa, Dimara tidak tahu dan tidak merasakan apa-apa di Pulau Buru. Hingga ada
ekspedisi oleh TNI AL untuk menyebarkan semangat proklamasi dari Pulau Jawa
ke seluruh Indonesia termasuk Indonesia Timur, juga mendrop pemuda-pemudi
Maluku yang berada di pulau Jawa untuk menyebarkan semangat kemerdekaan di
wilayah asalnya masing-masing. Ekspedisi ini dilakukan hanya dengan dua kapal
kayu bernama KM Sindoro dan KM Semeru. Pada saat KM Sindoro mendekati
pelabuhan Maluku, Dimara dan Rekannya Efraim Lesnusa ditugaskan untuk
memeriksa kapal itu karena kapal itu berbendera merah putih. Disana Dimara
bertemu dengan pengemudi kapal yaitu Yos Sudarso, sehingga terjadi percakapan
diantaranya. Dimara merasa simpati pada berita keadaan Indonesia yang telah
merdeka, dan menyarankan kepada Yos Sudarso untuk berlabuh di Tanjung
Nametek yang aman dari pemeriksaan. Ketika Yos Sudarso berlabuh di Tanjung
Nametek, Dimara ikut beraksi dengan memimpin gerilya tentara “Merah Putih”
untuk menyisir dan mengamankan pos-pos polisi yang berada di kota. Usaha ini
berlangsung cepat tanpa ada perlawanan sengit. Tetapi hingga keesokan harinya
datang tentara KNIL dengan kapal Irine dan berhasil menangkap seluruh tentara
merah putih yang dianggap pemberontak, termasuk Dimara dan Yos Sudarso.

Dimara dan Yos Sudarso selaku pemimpin pasukan merah putih, dibawa
dan diadili di Ambon. Ketika ditanya oleh hakim, Dimara menjawab pertanyaan
hakim dengan tegas dan bersikeras mempertahankan merah putih. Hingga ia
divonis 20 tahun penjara dan ia masih tetap tidak terima dengan vonis tersebut.
Dengan kemampuan bicara yang dimilikinya, Dimara menjadi foreman dalam
penjara. Dan kemudian berhasil lolos dari penjara bersama rekannya ketika
disuruh membuang rumput. Mereka ditolong warga sekitar, diberi pakaian ganti
dan kabur ke pulau Seram. Di pulau Seram ia berpropaganda tentang
kemerdekaan Indonesia. Tetapi kaburnya Dimara telah diketahui oleh polisi dan
polisi menangkap kepala kampung di pulau Seram karena dituduh
menyembunyikan tahanan. Dimara merasa tidak enak hati, karena ulahnya, kepala
kampung yang tidak bersalah jadi ditahan. Kemudian Dimara menyerahkan diri
kepada polisi. Dimara dibawa dan ditahan di Makasar dengan penjagaan lebih
ketat.

Di penjara Makasar, ia mendekam hingga Desember 1949. Setelah keluar


ia tidak langsung kembali ke Ambon melainkan tetap tinggal hingga 1950. Lalu
ketika Dimara kembali ke Ambon, ia mendengar kabar bahwa ia dan tentara
merah putih lainnya diburu oleh pasukan RMS (Republik Maluku Selatan) dan
dengan terpaksa Dimara melarikan diri ke pulau Buru. Kemudian Dimara kembali
ke Makasar dan meminta bergabung dalam Batalyon Patimura untuk menumpas
RMS di Ambon. Dari perang sengit dengan RMS, bahu kanannya tertembak, dan
ia lari ke hutan. Lalu ia ditemukan oleh seorang penggarap kebun dan diobati
dengan pengobatan sementara, tetapi bahu kanannya telah cacat dan tidak kembali
normal. Kemudian ia dibawa ke RS Stella Marie untuk perawatan lebih lanjut.

Sekitar Agustus 1950 Dimara masih dirawat di RS Stella Marie, Makasar.


Disitu ia bertemu dengan Presiden Soekarno yang sengaja berkunjung setelah ada
pemberontakan Andi Aziz. Presiden Soekarno merasa senang melihat anak papua
yang ikut berperang dan menepuk bahu Dimara sebagai tanda bangga. Dimara
merasa sangat tersanjung dapat bertemu Presiden Soekarno. Lalu Presiden
Soekarno berdoa untuk kesehatan Dimara dan Presiden Soekarno menyuruh
ajudannya untuk mencatat nama Dimara. Setelah keluar dari rumah sakit, ia
sempat ke Jakarta bersama Niclas Suwages. Di Jakarta, ia kembali ke Ambon dan
menghadap panglima Resimen 25 Maluku. Disana ia menjadi Ketua OPI
(Organisasi Pembebasan Irian). Seiring waktu ia diangkat menjadi Pembantu
Letnan Satu (Peltu). Dengan pangkatnya, ia sudah memiliki beberapa anak buah.
Dimara menjadikan OPI berbasis di Ambon karena dinilai strategis untuk ke Irian
yang saat itu diambil alih Belanda. Ketika Dimara dan seorang anggota OPI,
Johanis Latumakulita masuk ke Irian lewat Sorong. Mereka Ditangkap dan
ditahan di Kamp Digoel. Mereka adalah orang pertama yang ditahan di Digoel
pasca kemerdekaan setelah sebelumnya Kamp Digoel ditutup oleh Jepang.

Ketika sudah keluar dari Kamp Digoel, pada bulan Juli 1951, Dimara
mendapat surat panggilan dari Istana. Ia langsung ke Jakarta dan menghadap
Presiden Soekarno. Perbincangan dengan Soekarno menambah semangat
nasionalisme dalam diri Dimara. Ia juga melihat di Jakarta banyak orang Jawa dan
Sumatra yang memiliki kebiasaan yang sama pada kampungnya, yaitu “nyusur
pinang” dan mengisap sirih. Hal ini membuat Dimara makin yakin bahwa seluruh
rakyat Indonesia adalah satu rumpun.
Ketika saat-saat gentingnya perebutan Irian Barat di PBB, secara lisan
Soekarno memerintahkan Dimara untuk masuk ke Irian Barat. Dimara berangkat
ke Ambon, dan melatih pasukannya untuk masuk ke Irian Barat. Landasan
pemikiran Dimara masuk Irian Barat adalah bukan untuk infiltrasi, tetapi hanya
untuk melakukan operasi semata seperti di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Karena dalam pemikiran Dimara, Irian adalah wilayah Indonesia. Urusan Irian
adalah urusan dalam negeri Indonesia. Tidak boleh ada negara lain yang ikut
campur dalam urusan Indonesia. Dalam hal ini, Dimara tetap mengakui bahwa
tanah Irian tetap milik Indonesia walaupun di Irian masih dikuasai polisi-polisi
Belanda. Perjuangannya di Irian Barat berhasil menangkap Louis Van Krieken,
seorang kepala polisi Belanda. Walaupun pada akhirnya ia ditangkap tentara
Belanda dan dibuang lagi ke Digoel.

Di Digoel Dimara mendekam dalam penjara selama hampir tujuh tahun.


Ketika hendak pulang ke Ambon, Dimara bahagia mendengar ternyata istrinya
telah melahirkan anaknya yang diberi nama Atty Yacoba Dimara. Hal ini sangat
menggembirakan hatinya karena paling tidak ia telah mendapat keturunan dari
istri tercintanya. Tapi ia juga mendengar kabar yang tidak enak, istrinya telah
menikah lagi oleh seorang anggota RMS. Dan istrinya ternyata sudah punya lima
orang anak dari suami barunya yang mana musuhnya ia sendiri, musuh negara,
seorang pemberontak. Dibalik keberanian dan ketegasannya Dimara sangat
kecewa dan sedih, dan berpesan untuk memberikan rumahnya yang di Ambon
kepada anaknya, Atty. Akhirnya Dimara tidak jadi kembali kerumahnya di
Ambon dan tinggal dirumah komandannya, Busjiri.

Sekitar Agustus 1961, Dimara dan pemuda-pemuda Irian lain mendapat


perintah dari komandannya Busjiri untuk ke Jakarta. Di Jakarta Dimara membuat
laporan kepada Jendral Nasution yang akrab ia panggil Pak Nas. Sekitar akhir
September 1961, ia dipanggil Presiden Soekarno dan Menlu Soebandrio di istana.
Presiden Soekarno dan Soebandrio sangat bangga pada perjuangan Dimara. Saat
itu, masih terjadi perselihan perebutan Irian Barat antara Indonesia dan Belanda.
Presiden Soekarno menyebut Dimara sebagai Pahlawan Irian Barat dan diutus
untuk menjadi perwakilan Irian Barat di PBB. Di PBB Dimara menolak disebut
simbol integrasinya Irian Barat masuk dalam wilayah Indonesia. “Apa itu
intergrasi? Tidak ada itu! Kita sama-sama dijajah Belanda. Jadi setelah merdeka,
ya sama-sama merdeka, jadi Indonesia, Sabang – Merauke!” ujarnya. Menurutnya
Irian tidak sama dengan Timor Lorosae yang tidak pernah dijajah Belanda.

Pada Senin 11 Desember 1961, diadakan sidang khusus untuk membahas


perjuangan Irian Barat. Dalam sidang itu dibentuklah Depertan (Dewan
Pertahanan Nasional) yang dipimpin oleh Presiden dan Panglima Tertinggi APRI,
Soekarno. Presiden Soekarno menjadikan Dimara anggota dari Depertan. Dari 14
orang anggota, hanya Dimara yang tidak memiliki jabatan kenegaraan, namun ia
setingkat dengan Nasution, Soebandrio, Chairul Saleh, Roeslan Abdoelgani,
Mohammad Yamin, Dr. Leimena, dll. Di Yogyakarta, 19 Desember 1961 saat
Presiden Soekarno berpidato, Presiden Soekarno sempat mengutip perkataan
Dimara bahwa kita hanya satu negara, negara Republik Indonesia, satu bendera,
sang merah putih di wilayah republik ini, dan satu lagu nasional, Indonesia Raya.
Yang pada akhirnya pidato ini disebut TRIKORA. Atas jasa perjuangan Dimara
membebaskan Irian selama ini, Dimara mendapat pangkat Mayor dari Presiden
Soekarno pada 28 April 1962.

Pada bulan Mei 1999 Dimara mendapat penghargaan Satyalancana


Perintis Pergerakan Kemerdekaan dari Presiden B.J. Habibie. Juga pada 12 April
2000, Dimara dikunjungi oleh wakil presiden Ibu Megawati Soekarnoputri dan
Gubernur Irian Jaya Freddy Numberi di rumah kontrakannya. Dimara berharap
Ibu Megawati dapat memberikan perhatian baik untuk Irian Jaya, untuk penduduk
aslinya, untuk kepala-kepala sukunya, dan mantan penjuangnya. Hingga Senin, 9
Oktober 2000 Dimara jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit Pelni dan dirawat
selama satu minggu. Pada saat kondisi yang lemah itu, yang keluar dari mulutnya
adalah “Bagaimana keadaan Irian? Bagaimana Wamena?” Hatinya baru tenang
ketika diberitahu bahwa Irian baik-baik saja. Dimara menjawab “Ya, saya lega,
sekarang saya mau pulang.” Seakan-akan berpamitan. Sesaat kemudian, Jumat
malam 20 Oktober 2000 pukul 23:30 WIB Dimara menghembuskan nafas
terakhirnya. Beliau dimakamkan di taman pemakaman pahlawan Kalibata. Sosok
Dimara juga diabadikan menjadi model patung Tugu Pembebasan Irian Barat
yang berada di Lapangan Banteng Jakarta Pusat.

Setelah 10 tahun Dimara meninggal, ia diberikan gelar Pahlawan Nasional


pada 10 November 2010 bertepatan dengan Hari Pahlawan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Keputusan itu tercatat dalam Keputusan Presiden Nomor
52/TK/2010 tentang pemberian gelar Pahlwan Nasional pada Johanes Abraham
Dimara dan Dr. Johanes Leimena.

Dimara adalah sosok pahlawan negara yang memiliki jiwa patriotisme


yang tinggi, membela tanah airnya dan mempersatukan Indonesia. Beliau dengan
berani mengusir penjajah di wilayah Papua tanpa jera keluar masuk penjara. Kita
sebagai generasi penerusnya tentu harus mewariskan semangat patriotisme
Dimara. Dimara berjuang untuk bebas dari penjajahan ekonomi dan politik
Indonesia, sedangkan peran kita sekarang adalah berjuang untuk bebas dari
penjajahan ekonomi Indonesia yang masih dikuasai dan dikontrol pihak asing.
Dengan semangat patriotisme, mari kita melawan segala bentuk penindasan di
tanah air kita tercinta. (Fikriadi)

Anda mungkin juga menyukai