LCNEHI - Aisyah Nihayah Ni'mah - Sittichai Lebih Cinta Indonesia Daripada Aku PDF
LCNEHI - Aisyah Nihayah Ni'mah - Sittichai Lebih Cinta Indonesia Daripada Aku PDF
“kresek kresek”
“Bapak mau kemana? Bawa kapak? Bagaimana dengan janji pada Sha?”
1
Sudah Bangun kamu? (Bahasa Jawa Ngoko (kasar, biasanya digunakan oleh yang lebih tua
kepada yang lebih muda)
sipir penjara. Setiap tahunnya, ratusan orang di eksekusi di Bukit Nirbaya. Bukit
yang berjarak hanya sekitar 600 meter dari rumahku.
Bagaimana rasanya hidup dan makan dari darah para penjahat kelas kakap
Indonesia bahkan dunia?
Aku Sha. 17 tahun dan masih menangis melihat Bapak pergi mencari
kayu-kayu terbaik demi menafkahi aku. Walaupun sedih, aku bersyukur.
Setidaknya dalam waktu dekat ini hanya ada satu orang yang akan dieksekusi.
***
“Weh Sha. Sek isuk. Paling sek turu arek e2”
Pak Joni sedikit kaget melihatku yang pagi-pagi sudah datang membawa
perlengkapan melukis seperti biasa. Pak Joni Indro-sipir penjara Nusakambangan.
Asli Banyuwangi. Sudah menjadi sipir Lapas Nusakambangan sekitar hampir 10
tahun dan kelihatan masih betah.
Aku menuju sel paling barat. Satu-dua orang melambai, menyapa. Sel
yang kutuju isinya hanya satu orang. Sudah kuanggap sahabatku sendiri, Sittichai.
Pemuda asli Thailand, anak buah kapal pembawa 125 kg sabu-sabu. Dan tidak
seperti yang dibilang orang-orang, Sittichai ternyata sudah bangun. Asik
tengkurap membelakangiku, melukis.
2
Masih pagi. Mungkin masih tidur anaknya
Sittichai mengangguk. “aku nge-fans sama Choirul Bahri!” lima tahun di
Nusakambangan kosa kata bahasa Indonesia yang dikuasai Sittichai makin
canggih.
“siapa itu?” aku jujur bertanya. Sittichai bilang dalam melukis kita harus
punya panutan. Banyak sekali panutan dia. Sepertinya Pak Choirul Bahri ini yang
terbaru.
Aku memutar mataku. Bergumam dalam hati, Aceh lagi Aceh lagi!.
Aku membaca cepat tentang pelukis yang dimaksud Sittichai ini. Lahir di
Gayo, anggota TNI dan belajar melukis di Roma, Itali. Sepertinya cukup hebat.
“iya Sha. aku tahu. Tapi apa yang aku lihat? Ya hanya orang-orang. Atau
lebih tepatnya orang-orang yang sedang menunggu dieksekusi” Sittichai terkekeh
diujung kalimatnya. Tapi tidak dengan aku. Mendadak perutku mual mendengar
kalimat Sittichai.
Melihat ekspresiku yang berubah, Sittichai masuk ke sel nya dan kembali
dengan lukisan nya yang setengah jadi beserta perlengkapan melukis kami.
“ayolah walaupun belum mandi kita langsung melukis saja” Sittichai berkata
sambil menutup kembali selnya dan menggandeng tanganku menuju spot melukis
favorit kami.
Kami senang melukis menghadap pintu sel yang didepannya terhampar
pemandangan pulau Nusakambangan. Disebelah kiri ada hutan, disebelah kanan
ada bukit Nirbaya. Satu-dua ibu-ibu melintas membawa cucian, hendak mencuci
di sungai. Aku menyapa sopan.
Kali ini kami menghadap arah yang berlawanan. Aku berusaha melukis
bukit Nirbaya sementara Sitticahi berusaha melukis Pak Joni yang sedang
membaca koran.
Aku mencoba fokus. Melukis bukit Nirbaya susah susah gampang. Karena
bukitnya juga dikelilingi petak-petak air. Setengah jam melukis aku berhenti.
Selain lapar, sejak setengah jam yang lalu Sittichai juga tidak mengajak aku
bicara.
Aku berbalik badan. Membuka dua bungkus roti yang kubawa dan
memberikan salah satunya pada Sittichai. Aku menatap lukisannya sejenak. Bagus
sekali. Entah kenapa, tapi Pak Joni kelihatan lebih baik dilukisan Sittichai
daripada aslinya. Aku tersenyum sendiri bisa berfikiran seperti itu.
Sejak kecil aku sudah keluar-masuk penjara karena ajakan bapak. Profesi
bapak yang menyebabkan kami harus sering-sering ke penjara, menerima
pesanan. Penghuni pos satu adalah teman-temanku semua. Aku sudah dianggap
anak sendiri oleh mereka yang notaben-nya adalah para ayah.
Saat mengunjungi penjara lima tahun lalu, Pak Kusni bercerita bahwa
beberapa hari yang lalu Pos Satu kedatangan satu anggota lagi. Seorang pemuda
tanggung asal Thailand. Anehnya, dia dimasukkan dalam sel tersendiri. Kata Pak
Kusni karena tiap malamnya dia mengamuk. Membentur-benturkan kepalanya ke
dinding dan meracau dengan bahasa Thailand.
Tapi demi mendengar cerita Pak Kusni bahwa dia adalah seorang pelukis,
aku memberanikan diri menghampiri selnya. Pertama kali melihatnya, Sittichai
sangat tidak ter-urus. Rambut keritingnya acak-acakan, pelipis dan bibirnya
berdarah. Juga aku tidak tahu kapan pemuda ini terakhir kali mandi. Bau selnya
sangat tidak enak.
Aku tidak tahu bahasa Thailand. Dia juga tidak tahu bahasa Indonesia.
Tapi aku ingin sekali bisa melukis dengannya. Maka berminggu minggu
kemudian aku setiap hari melukis didepan selnya. Perlahan-lahan Sittichai mau
mandi, tidak mengamuk lagi tiap malam dan mau melihatku melukis. Makin lama
Sittichai sudah bisa memarahiku bila kuasku tidak kucuci bekas melukis sehari
sebelumnya atau ketika aku mengambil warna cat yang salah, walaupun dengan
bahasa Thailand yang menurutku sangat lucu.
“Apa kamu tidak penasaran Sha kenapa aku bisa masuk kesini?”
Aku tidak langsung berkata iya walaupun aku sangat ingin. Karena aku
tahu, setiap orang pasti punya alasannya sendiri. Melihatku yang hanya diam,
Sittichai dengan cepat bercerita bahwa,
ia aslinya ditipu.
Setengah hari itu akhirnya aku mengerti kenapa Sittichai sangat tergila-
gila dengan Aceh.
Sebelum pulang, aku sempat bertanya pada Pak Joni tentang siapa yang
akan dieksekusi kali ini. Syukurlah Pak Joni menjawab, “bukan dari pos satu”.
Hatiku lega sekali. Aku pulang dengan riang gembira karena lukisanku juga
sempat dibantu oleh Sittichai tadi.
***
Keesokan paginya ada pengumuman yang ditujukan bagi warga agar tidak
keluar rumah karena akan dilaksanakan eksekusi di Bukit Nirbaya sesaat lagi.
Satu jam kemudian saat aku sedang mebuatkan kopi untuk Bapak terdengar
beberapa tembakan. Aku bergumam dalam hati, semoga dosa-dosanya bisa
diterima disisi-Nya, Amin.
Hari ini penjara ditutup. Para napi sedang berkabung. Aku sibuk melukis
didalam kamar. Jam dua belas siang pintu rumahku diketuk. Ternyata Pak Joni.
Kedua matanya sembab. Ditangan kanannya ada beberapa lukisan Sittichai dan
ditangan satunya ada peralatan melukis kami. Sesaat kemudian satu hal yang aku
langsung tahu.
***
“kamu tahu kenapa aku sangat suka dengan kebudayaan Aceh?” Sittichai
kembali bertanya. Aku jelas tidak punya ide, jadi aku menunggunya melanjutkan
bicara.
“semuanya luar biasa Sha. kalian semua berbeda, tapi bersepakat untuk
bersatu. Tarian kalian, rumah adat kalian-hei bahkan masakan penjara ini sangat
enak” aku tidak pernah melihat Sittichai seserius ini. Bahkan aku mendadak sedih,
biasanya orang orang senasionalis Sittichai begini malah yang sering ditertawakan
oleh orang Indonesia sendiri. Miris.
Aku tidak bersekolah. Aku bisa melihat dunia hanya dari buku-buku yang
dibawa oleh Pak Joni. Yang artinya pemerataan pendidikan di Indonesia masih
belum menjangkau tempat-tempat terpencil. Dan aku belum mendapatkannya
Tapi mengingat Sittichai yang bisa mencintai Indonesia hanya dari sebuah
buku, bukankah aku pantas untuk malu? Sudah 17 tahun aku hidup. Aku memiliki
Bapak yang sangat menyayangiku dan bisa menghidupi keluarganya dari pohon-
pohon terbaik pulau Nusakambangan. Aku memiliki teman-teman yang baik
seperti Pak Joni, Pak Kusni, Mat Peci dan tentu saja Sittichai.
Kita menghirup udaranya. Kita minum airnya. Kita makan dari tanahnya.
Kita berteman baik dengan rakyatnya. Sittichai menyadarkanku bahwa seburuk
apapun keadaan negara ini dan setidak adil apapun kita diperlakukan oleh negara,
Indonesia selalu berhak untuk dicintai.