Matahari sudah pulang ke barat. Seperti biasa, tiap
waktu makan malam tiba para warga desa akan berkumpul di perpus –atau panjangnya perpustakaan– untuk menikmati fasilitas listrik yang dihasilkan genset di sini. Banyak lidah tetua yang selalu terpelintir setiap menyebut perpustakaan secara lengkap, jadilah jalan pintas dengan menyebutnya ’perpus’. Genset bantuan Pemerintah ini hanya berfungsi untuk perpus. Pernah sekali dicoba listrik yang dihasilkan genset dialiri ke beberapa rumah warga terdekat dengan perpus, hasilnya genset malah mati dan baru bisa menyala seminggu kemudian. Malam ini, beberapa warga tampak sibuk menikmati makan malamnya sambil menonton televisi meskipun dengan gambar monokrom bergaris-garis, dikarenakan sinyal yang didapat tidak cukup bagus. Sebagian lagi terlihat memelototi lemari es yang baru tadi siang diantar ke perpus, tentu dengan iring-iringan tepukan yang meriah dari warga desa. Aku melihat tingkah mereka sambil tersenyum, sesekali menyuap makananku. ”Ibu Guru Rinda,” kurasakan seseorang menarik-narik lengan bajuku. Aku menoleh dan melihat Radio, salah satu anak di sini, menunduk sambil memegangi lengan bajuku. Jangan tanya dua kali, namanya memang Radio. Menurut kabar yang kudengar, ibunya terinspirasi saat delapan tahun yang lalu seorang relawan dari kota datang dan membawa benda yang biasa kita kenal dengan sebutan radio. Tidaklah heran saat aku mendapati ada seorang balita cantik yang bernama Perpus, lahir ketika perpustakaan sudah rampung dibangun lima tahun lalu. ”Ada apa, Radio?” tanyaku lembut. Kutepuk tempat kosong di sebelahku, memintanya untuk duduk. Radio duduk sambil terus memegangi lengan bajuku. Saat ia mengangkat wajahnya, aku terkejut melihat matanya berkaca-kaca. ”Radio kenapa?” tanyaku lagi. Tanganku sibuk mencari-cari barang yang sekiranya dapat digunakan untuk melap air mata Radio. ”Uma bilang Radio harus ikut ke Loksado, bantu Abah kerja di perkebunan kopi. Uma bilang Radio sudah cukup tahu baca dan menulis, sudah cukup bisa bahasa Indonesia. Jadi, Radio tidak perlu sekolah lagi.” Sesekali Radio mengusap air mata yang mengalir di pipinya. ”Tak, apa, Radio. Belajar bukan hanya di sekolah. Bisa juga belajar lewat lingkungan, lewat buku. Nanti kalau di Loksado, Radio bisa dapat buku lebih banyak daripada di sini,” ucapku menenangkan. ”Tapi Radio ingin sekolah. Radio masih sulit membaca, tulisan Radio masih jelek. Bahasa Indonesia Radio belum bagus,” bisiknya lirih. ”Tak apa, Sayang. Nanti kalau sudah di Loksado, Radio bisa bujuk Abah supaya Radio bisa sekolah.” Aku merangkul pundak Radio erat. Mengusap-usap punggungnya, berusaha mengirimkan segala semangat yang tersisa dalam diriku untuknya. Di tengah-tengah suasana perpus yang ramai karena televisi dan lemari es, aku dan Radio sama-sama duduk di sudut ruangan. Dengan Radio yang menangis dalam diam, dan aku yang selain sibuk menenangkan Radio, juga sibuk menyeka air mata yang tanpa kusadari sudah mengalir di wajahku. Sumber: Meutia Swarna Maharani, ”Monas untuk Radio” dalam Kelas Bercerita Kelas Cerpen Kompas 2017, Jakarta, Kompas, 2018