Anda di halaman 1dari 4

Sastra Anak yang Mencegah Kediktatoran Sejak Mula

Identitas Buku

Judul: Karangan

Pengarang: Antonio Skármeta

Ilustrator: Alfonso Ruano

Penerjemah: Ronny Agustinus

Judul asli: La composición

Penerbit: Sastra Alibi

Tahun Terbit: 2013

Orang kesehatan selalu bilang: mencegah lebih baik daripada mengobati. Suatu penyakit lebih
baik tidak datang sama sekali daripada sempat singgah meski berhasil diobati. Sebab, penyakit
yang datang sudah kadung membuat kerusakan, dan kadang meninggalkan bekas.

Bicara soal penyakit, di bumi ini bukan hanya penyakit medis yang berbahaya. Ada penyakit
mental dan juga penyakit masyarakat. Predikat terakhir patut disematkan pada hal-hal semacam:
narkoba, eksploitasi manusia, fasisme, kediktatoran, dst./dsb.

Seperti penyakit medis, penyakit masyarakat juga lebih baik dicegah daripada diobati. Lebih baik
jauhi narkoba daripada masuk rehabilitasi. Lebih baik, sejak mula sadar akan kesetaraan hak dan
memusuhi praktik-praktik eksploitasi manusia. Untuk kediktatoran pun, lebih baik mendidik
generasi penerus daripada jadi pemberontak ketika negara dipimpin oleh seorang diktator.

Dengan demikian, seharusnya nilai anti-kediktatoran telah diajarkan sejak dini. Salah satu
caranya adalah lewat sastra anak. Lewat bacaan, secara persuasif, anak-anak akan dituntun untuk
memaknai apa itu kediktatoran—dengan cara edukatif dan menyenangkan, tentunya.

Di Chile, negara yang pernah dipimpin diktator-militer, sudah ada pengarang yang menyadari
urgensi isu tersebut. Salah satunya adalah Antonio Skármeta yang menulis naskah cerita
bergambar La composición. Cerita ini diterjemahkan Ronny Agustinus ke dalam Bahasa
Indonesia dengan judul Karangan.

Chile sendiri pernah dipimpin diktator Jenderal Augusto Pinochet pada medio 1973-1990. Lewat
Operasi Jakarta—berdasarkan nama sandi operasi ini, kudeta militer Pinochet dinilai terinspirasi
oleh kup G30S 1965 di Jakarta—Jenderal Pinochet menggulingkan presiden sosialis Salvador
Allende pada September 1973. Setelah kudeta itu, militer memerintah dengan tangan besi,
menghilangkan dan membunuh ribuan orang.

Kondisi Chile pada masa awal kediktatoran Pinochet terekam dengan apik dalam Karangan.
Cerita ini berkisar pada tokoh Pedro, seorang bocah berusia sembilan tahun yang tumbuh pada
masa awal kediktatoran Jenderal Augusto Pinochet. (Dalam cerita ini, karakter Pinochet
difiksikan menjadi Jenderal Perdomo).

Seperti lazimnya bocah laki-laki, Pedro suka bermain bola bersama teman-temannya. Suatu
ketika, saat ia bermain bola, ayah dari temannya ditangkap tentara. Kejadian itu membekas di
kepalanya, menyisakan berbagai pertanyaan di luar jangkauan nalar bocahnya.

Pedro mulai bertanya: mengapa ayah Daniel—temannya—ditangkap tentara? Pertanyaan itu


kemudian beririsan dengan berbagai fenomena yang selama ini tidak diperhatikan bocah kelas
tiga SD itu.

Dunia yang ditempati Pedro memang bukan tempat ideal bagi anak-anak. Negara Pedro sedang
dalam krisis politik, dan kekerasan tentara seringkali terjadi. Banyak tentara di jalanan. Tentara-
tentara itu bukan sedang bekerja bakti atau apa; mereka mengawasi, mencari-cari
“pemberontak”—orang-orang yang tidak sepakat dengan cara Jenderal Perdomo berkuasa.

Pedro menempati dunia penuh ironi dan berusaha memahaminya dengan cara pandang naif
seorang bocah. Banyak hal yang belum dipahami Pedro—dan memang seharusnya tidak dijamah
anak-anak seusianya.

Cerita Karangan adalah sebuah kisah intim seorang bocah yang berhasil diceritakan dengan hati-
hati. Lewat Pedro, kita akan memasuki dunia anak-anak yang sekilas biasa saja, namun diam-
diam menekan dan intimidatif. Meskipun bukan korban secara langsung, anak-anak seusia
Pedro—dalam taraf tertentu—bakal dicengkam oleh ketakutan.

Ketakutan semacam itu datang dari potensi kesalahan-kesalahan kecil yang bisa menyeret
masalah besar. Bocah seusia Pedro tahu itu. Di bawah pimpinan diktator, mendengarkan radio
atau sedikit pembicaraan saja bisa membuat orang dipenjara.

Tentu, bocah seusia Pedro dapat menduga kalau dipenjara itu tidak enak. Apalagi, Pedro pernah
menyaksikan kekasaran tentara dalam menangkap ayah Daniel. Pedro menyadari, penangkapan
demikian bisa terjadi pada siapa saja—termasuk orangtuanya.

Namun, ketakutan semacam itu tidak bisa mengalahkan Pedro begitu saja. Bocah itu mampu
beradaptasi, dan kemudian memecahkan teka-teki tentang hal-hal yang terjadi di sekitarnya.
Perkembangan karakter Pedro, dari “tidak tahu apa-apa” hingga “tahu apa yang harus dilakukan”
diceritakan dengan rapi di sini.
Meskipun secara persuasif mengajak anak-anak untuk anti-kediktatoran, Skármeta tidak
membiarkan fiksinya jadi propaganda murahan. Dengan kepiawaiannya, pengarang keturunan
Kroasia itu “menelanjangi” makna ‘kediktatoran’—dengan sudut pandang anak-anak, tentu.

Lewat Karangan, Skármeta seakan bilang: “Mari kutunjukkan apa itu ‘kediktatoran’.
Selanjutnya, biarlah kalian yang mengambil sikap.” Meskipun demikian, lumrahnya, pikiran
yang waras pada akhirnya akan mengamini visi anti-kediktatoran Skármeta.

Persuasi Skármeta terekam dengan baik dalam fragmen percakapan Pedro dengan ibunya. Pedro,
yang telah mengetahui kalau orangtuanya anti-kediktatoran, bertanya apakah dirinya segolongan
dengan orangtuanya, dan ibunya pun menjawab:

“Anak-anak ya tidak anti ini anti itu,” jawab ibunya. “Anak-anak ya anak-anak. Mereka
harus pergi ke sekolah, belajar giat, bermain-main, dan bersikap baik pada orangtuanya.”

Biasanya kalau Pedro mendengar kalimat panjang macam itu ia akan diam saja. Tapi
kali ini, dengan mata masih terpaku pada radio, ia berkata, “Oke, tapi kalau ayah Daniel
dipenjara, Daniel tidak akan bisa pergi ke sekolah.”

Seperti demikianlah cara Skármeta bercerita. Seperti sosok Ibu, yang enggan membawa anaknya
dalam persoalan pelik orang dewasa—karena memang belum waktunya. Meskipun begitu, Pedro
sadar apa yang mungkin terjadi dalam kepemimpinan diktator dan mengambil sikap terhadapnya.

Antonio Skármeta tidak mencekoki anak-anak dengan fantasi heroik atau alur yang tidak logis.
Dengan gaya realis, Skármeta berhasil “mengajak” anak-anak untuk mengenali bahaya dan
keluar dari ketakutan. Dalam kasus ini, Skármeta berhasil “mengeluarkan” Pedro dari jeratan
teka-teki dengan kecerdikan seorang bocah.

Menurut Skármeta sendiri, cengkeraman ketakutan dalam fiksinya selalu mengajak tokoh untuk
mengeluarkan kecerdasan naluriah. Seperti yang dilakukan Pedro, yang berhasil memahami
kediktatoran dan mengambil sikap terhadapnya.

Karangan adalah kisah yang baik dibaca anak-anak. Selain narasi memikat, cerita ini juga
memiliki sudut pandang naif yang gampang dipahami anak-anak. Ilustrasinya yang warna-warni
pun dipulas dengan apik oleh Alfonso Ruano.

Kisah semacam Karangan, dengan cara menyenangkan, bakal merangsang anak-anak untuk
merenungkan dan menyadari bahaya kediktatoran. Dengan demikian, seorang anak dapat
memiliki visi untuk menentang segala bentuk kesewenang-wenangan, untuk kemudian
membantu mencegah kondisi semacam itu di masa mendatang.

Kediktatoran memang hanya salah satu dari sekian isu yang sepatutnya dikenalkan pada anak-
anak. Negara seperti Indonesia, yang pernah diperintah diktator-militer Orde Baru, seharusnya
belajar dari pengalaman dan mengajari anak-anak soal kediktatoran. Namun sayangnya, tidak
banyak pengarang Indonesia yang mejadikan kediktatoran sebagai topik cerita bagi anak-anak.

Sebuah negara yang pernah memasuki era diktator-militer Orde Baru seharusnya mencegah hal
semacam terjadi di masa depan. Dengan edukasi, terutama lewat sastra, anak-anak bakal tahu apa
itu kediktatoran dan mengapa ia berbahaya. Demikian, anak-anak sudah memiliki visi terhadap
“apa itu kediktatoran dan mengapa kita harus menjauhinya”.

Diterjemahkannya cerita ini ke dalam Bahasa Indonesia patut disambut baik. Terlebih lagi,
kediktatoran dan bayang-bayang fasisme masih mengancam Indonesia sampai saat ini. Negara
ini belum sepenuhnya terbebas dari bayang-bayang Orde Baru. Paradigma rezim itu diam-diam
punya kans untuk sewaktu-waktu bercokol di kepala penguasa.

“Orde Baru cerdas ganti baju,” demikian kata Ugoran Prasad. Dan kesewenang-wenangan, yang
jadi ciri khas kediktatoran, masih dilakukan oleh bermacam aparatur negara. Ini tercermin dari
macam-macam penggusuran, diskriminasi, dan ketidakmauan negara mengakui kesalahan.

Dalam kondisi seperti ini, ada baiknya menyodorkan cerita semacam Karangan kepada anak-
anak. Mumpung—seharusnya—mereka masih polos, bersih, dan belum ternoda oleh sauvinisme,
kebencian, atau nafsu kekuasaan.

Catatan: Terjemahan dari cergam Karangan bisa diakses di laman issuu.com. Sastra Alibi,
sebagai penerbit, menyebut terjemahan itu untuk kepentingan literasi dan bebas diakses siapa
pun.

Ikhsan Abdul Hakim

Anda mungkin juga menyukai