Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dermatofita merupakan golongan jamur yang dapat menginfeksi

manusia dan hewan karena kemampuannya menginvasi jaringan keratin

seperti rambut, kuku, dan stratum korneum epidermis.1–5 Kelompok jamur

ini dapat dikelompokkan menjadi tiga genus yaitu Trichophyton,

Microsporum dan Epidermophyton.5,6

Infeksi jamur dermatofita disebut dermatofitosis. Jamur tersebut

umumnya hanya menginfeksi lapisan kutan karena ketidakmampuan jamur

tersebut untuk penetrasi ke jaringan yang lebih dalam.1,7 Dermatofita

menyebabkan penyakit yang disebut tinea dan diklasifikasikan berdasarkan

lokasi tubuh yang terinfeksi, misalnya tinea kapitis bila infeksi mengenai

scalp.8

Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan suhu dan

kelembaban tinggi yang merupakan lingkungan pertumbuhan yang baik

bagi jamur. Prevalensi dermatofitosis di Indonesia cukup tinggi yaitu 52%

dari seluruh dermatomikosis. Berdasarkan data dari Poli Kulit dan Kelamin

RS. Dr. Sardjito, dermatofitosis merupakan penyakit terbanyak dari semua

kasus penyakit yang diakibatkan jamur. Data rekam medik RS. M. Djamil

1
Padang pada tahun 2010 ditemukan penderita dermatofitosis sebanyak 288

orang.9

Dermatofita dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan ekologinya,

yaitu antropofilik, zoofilik, dan geofilik. Jamur antropofilik merupakan

kelompok dermatofita yang mempunyai afinitas tinggi dengan manusia.

Jamur zoofilik merupakan kelompok dermatofita yang sering menginfeksi

hewan dan jarang menginfeksi manusia. Jamur geofilik menjadikan tanah

sebagai habitat alaminya. 1,2,8

Dermatofita geofilik hidup sebagai jamur saprofit pada tanah yang

kaya akan keratin dan hidup dalam substrat keratin seperti rambut, kuku,

bulu serta tanduk sesudah bahan ini dipisahkan dari hewan hidup dan

sedang dalam proses dekomposisi. Jamur ini juga berpotensi menyebabkan

infeksi pada manusia dan hewan.1,10,11

Banyak penelitian di berbagai belahan dunia yang mempelajari

jamur geofilik yang berasal dari tanah. Penelitian yang dilakukan pada 31

kota di Paraiba State (Brazil) pada tahun 2012 berhasil mengisolasi 131

strain dermatofita dari 212 sampel tanah, dan 57,3% teridentifikasi sebagai

dermatofita geofilik dengan Trichophyton terrestre (31,3%), diikuti oleh

Microsporum gypseum (21,4%), Microsporum nanum (3%), Trichophyton

ajelloi (0,8%) dan Arthroderma gypsea (0,8%).12 Penelitian mengenai

dermatofita geofilik di Indonesia tidak terlalu banyak sehingga

pengetahuan kita mengenai distribusi dermatofita geofilik di Indonesia

masih kurang.

2
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka penelitian ini dilakukan

untuk mengisolasi dan mengidentifikasi dermatofita geofilik yang hidup

dalam tanah di wilayah Jawa.

1.2. Rumusan Masalah

Apakah dapat ditemukan jamur dermatofita dari tanah di wilayah

Jawa?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengisolasi jamur dermatofita dari tanah.

1.3.2. Tujuan Khusus

Mengisolasi jamur dermatofita golongan geofilik dari tanah di wilayah

yang diteliti.

1.4. Hipotesis

Dari tanah pada wilayah yang diteliti dapat ditemukan jamur

dermatofita.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Mahasiswa

a. Melatih kemampuan mahasiswa dalam menyusun skripsi sebagai tugas

akhir program studi sarjana kedokteran.

3
b. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mahasiswa dalam

melakukan penelitian ilmiah.

1.5.2 Bagi Instansi Terkait (FK UKI)

a. Mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam melaksanakan

kewajiban Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan,

penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

b. Memberikan informasi serta menambah bahan referensi bagi mahasiswa

FK UKI.

1.5.3 Bagi Masyarakat

a. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai keberadaan jamur

dermatofita yang hidup dalam tanah.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dermatofita

Dermatofita merupakan golongan jamur yang dapat menyebabkan

infeksi kulit yang disebut dermatofitosis (tinea atau ringworm).13

Dermatofita dibagi dalam tiga genus yaitu Trichophyton, Microsporum, dan

Epidermophyton yang dikelompokkan dalam kelas Deutromycetes. Dari

ketiga genus tersebut telah ditemukan 41 spesies yang terdiri atas 17 spesies

Microsporum, 22 spesies Trichophyton, dua spesies Epidermophyton.14,15

Dermatofita memiliki dua sifat penting yaitu keratinofilik dan

keratinolitik yang artinya mereka memiliki kemampuan untuk mencerna

keratin dan memanfaatkannya sebagai substrat, serta bersifat patogen bagi

manusia dan hewan. Beberapa mungkin menyerang jaringan in vivo dan

memprovokasi tinea.13,16

Kolonisasi dermatofita pada pejamu diinduksi oleh pelepasan

keratinase dan enzim proteolitik lainnya, sehingga infeksi dermatofita

terbatas pada permukaan keratin tanpa menyerang jaringan yang lebih

dalam.17 Infeksi dermatofita bisa ditransmisikan secara langsung dari orang

ke orang, hewan, dan tanah yang mengandung jamur maupun secara tidak

langsung melalui kulit dan rambut infektif yang terlepas dari penderita

dermatofitosis.3

5
2.1.1 Taksonomi

Taksonomi dermatofita tidak pernah stabil.18 Organisme

tersebut dapat diberi nama yang berbeda berdasarkan sumbernya

dengan menggunakan metode identifikasi konvensional atau

identifikasi genetik molekular.

Laboratorium diagnostik secara konvensioal

mengidentifikasi dermatofita berdasarkan morfologi koloni dan

mikroskopik, karakteristik nutrisi, dan biokimia.19

Selama dekade terakhir, taksonomi dermatofita telah

direvolusi dengan penerapan metode filogenetik molekular.20 Sejak

tahun 1980, peningkatan pengetahuan mengenai susunan genetik

dan mitokondria dermatofita, serta munculnya metode berbasis

molekular (misalya RFLP, teknik sidik jari, teknologi sequencing)

memiliki kontribusi besar terdahap pemahaman mengenai

keanekaragaman dermatofita.21

Metode taksonomi dengan teknik genetik yang pertama kali

diusulkan pada tahun 1999 adalah PCR diamati dengan sequencing

of the internal transcribed spacer (ITS). Sistem ini

mengelompokkan dermatofita berdasarkan transkrip DNA ribosom,

namun taksonomi berdasarkan sistem ITS dikritik karena dapat

menempatkan organisme ke dalam spesies yang sama meskipun

mengandung organisme berbeda, baik secara ekologi maupun

6
karakteristik khas misalnya kemampuan untuk menembus rambut in

vitro. Selain itu, taksonomi ITS mungkin tidak sesuai dengan hasil

analisis genetik berdasarkan gen lain.19

Tabel 1,2,3 berisi dermatofita yang dikelompokkan

berdasarkan siklus hidup yaitu anamorfik (fase aseksual) dan

teleomorfik (fase seksual). Berdasarkan morfologi anamorfik,

terdapat dua spesies Epidermophyton , 18 spesies Microsporum, dan

25 spesies Trichophyton (Tabel 1).13

Tabel 1. Anggota genus Epidermophyton, Microsporum, dan

Trichophyton.13

E. floccosum T. ajelloi
E. stockdaleaea T. concentricum
M. amanzonicum T. equinum
M. audouinii T, flavescens
M. boullardi T. georgiae
M. canis T. glorie
M. cookie T. gourvilii
M. equinum T. longifusus
M. distortum T. mariatii
M. gallinae T. mentagrophytes
var. interdigitale
varerinacei
var. quickeanum
M. gypseum T. megninii
M. magellanicum T. phaseoliforme

7
M. nanum T. schoenelinii
M. persicolor T. simii
M. praecox T. soundanense
M. racemosum T. terrestre
M. riparie T. tonsurans
M. vanbreuseghemii T. vanbreuseghemii
T. verrucosum
T. yaoundei

Sampai saat ini, 11 spesies Trichophyton (Arthroderma,

Tabel 2) dan 10 spesies Microsporum (Arthroderma, Tabel 3)

diketahui bereproduksi secara seksual.13

Tabel 2. Spesies Trichophyton dengan fase teleomorfik yang

diketahui. 13

Teleomorfik Anamorfik

Arthroderma Trichophyton
A. Curreyi Tidak bernama
A. Tuberculatum Tidak bernama
A. Benhamiae T. mentagrophytes
var.mentagrophytes
A. Ciferii T. georgiae
A. Flavescens T. flavescens
A. Gertleri T. vanbreuseghemii
A. Gloriae T. gloriae
A. Insingulare T. terrestre

8
A. Lenticulatum T. terrestre
A. Quadrifium T. terrestre
A. Simii T. simii
A. uncinatum T. (K). ajelloi

A. vanbreuseghemii T. mentagrophytes var,


interdigitale

Tabel 3. Spesies Microsporum dengan fase teleomorfik yang

diketahui.13

Teleomorfik Anamorfik

Arthroderma Microsporum
A. borelii M. amazonicum
A. cajetanii M. cookie
A. fulva M. fulvum
A. grubyia M. vanbreuseghemii
A. gypsea M. gypseum
A. incurvata M. gypseum
A. obtuse M. nanum
A. otae M. canis
A. persicolor M. persicolor
A. racemosa M. racemosum
A. corniculata M. boulardi
A. cookiella Tidak bernama

9
2.1.2 Ekologi

Berdasarkan ekologinya, dermatofita dibagi menjadi tiga

kelompok yaitu geofilik, antropofilik, dan zoofilik.15 Jamur geofilik

terutama menjadikan tanah sebagai habitatnya dan jarang ditemukan

sebagai agen dermatofitosis, kecuali M. gypseum. Jamur zoofilik

pada dasarnya merupakan dermatofita yang patogen terhadap hewan

namun golongan tersebut dapat menginfeksi manusia. Jamur

antropofilik memiliki afinitas tinggi dengan manusia, sangat jarang

menginfeksi hewan.22 Ketiga kelompok jamur tersebut dapat

menginfeksi manusia baik melalui kontak langsung maupun tidak

langsung, dan menyebabkan dermatofitosis. 23

Tabel 4. Klasifikasi dermatofita berdasarkan ekologi.1

Antropofilik Zoofilik Geofilik


E. floccosum M. canis E. stockdaleae
M. audouinii M. equinum M. amazonicum
T. concentricum M. gallinei M. boullardii
T. gourvilii M. persicolor M. cookei
T. kanei T. mentagrophytes M. gypseum
T. megninii T. sarkisorii M. nanum
T. mentagrophytes T. simii M. praecox
T. raubitschekii T. verrucosum M. racemosum
T. rubrum M. riparie
T. schoenleinii M. vanbreuseghemii
T. soundanense T. ajelloi
T. tonsurans T. flavescens

10
T. violaceum T. gloriae, T. longifusum
T. yaoundei T. phaseloiforme
T. terrestre (complex
of three species)
T. vanbreuseghemii

2.1.3 Patogenesis

Kemampuan adherensi dermatofita pada pejamu

dipengaruhi oleh berbagai mekanisme dan faktor, termasuk

kemampuan untuk beradaptasi terhadap tubuh manusia.24 Secara

umum, jamur dermatofita hanya menyerang struktur keratin

superfisial. Gambaran klinis dermatofitosis bervasi tergantung pada

spesies dermatofita dan pejamunya.25 Tidak seperti jamur lainnya,

dermatofita mampu menyerang pejamu imunokompeten.26

Ketiga genus dermatofita memiliki perbedaan dalam

patogenesis in vivo, hal itu dipengaruhi oleh peran enzim proteolitik

yang dihasilkan jamur tersebut. Enzim protease yang diproduksi

dermatofita ditujukan untuk mencerna keratin menjadi oligopeptida

atau asam amino yang dapat diasimilasikan13

1. Adherensi

Setelah melalui berbagai rintangan (sinar UV, suhu,

variasi kelembaban) dan bersaing dengan flora normal

serta sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit dan

asam lemak yang diproduksi oleh kelenjar sebacea,

11
arthrokonidia melekat pada jaringan keratin.13 Masih

belum jelas bagaimana enzim protease yang diproduksi

dermatofita dapat memperoleh nutrisi dari substrat tak

larut dari jaringan yang diinvasinya, namun telah

disimpulkan bahwa enzim protease mampu

memfasilitasi proses adherensi yang efisien.13,24

2. Penetrasi

Penetrasi dimediasi oleh keratinase yang ditemukan

pada dermatofita. Mekanisme enzim mukolitik yang

turut membantu dalam proses penetrasi serta

memberikan nutrisi pada jamur belum diketahui.24

2.1.4 Dermatofitosis

Terdapat berbagai variasi gambaran klinis dermatofitosis, hal ini

bergantung pada spesies penyebab, ukuran inokulum jamur, bagian

tubuh yang terkena, dan sistem imun pejamu.27

2.1.4.1 Tinea kapitis

Tinea kapitis merupakan infeksi pada scalp serta batang

rambut dan umum terjadi pada anak-anak.7 Kelainan ini ditandai

atas lesi bersisik, kemerahan, alopesia dan kadang terjadi

gambaran klinis yang lebih berat yaitu kerion.27 Microsporum

12
canis dan M. audouinii menyebabkan infeksi ektotriks

sedangkan Trichophyton tonsurans dan T. violaceum

menyebabkan infeksi endotriks yang dikenal sebagai “black-

dot”.4

Tinea kapitis memiliki tiga bentuk yang jelas yaitu Gray

patch ringworm, kerion, black dot ringworm.7 Gray patch

ringworm disebabkan oleh genus Microsporum, warna rambut

menjadi abu-abu, rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya,

fluoresensi hijau kekuningan pada rambut yang sakit melampaui

batas gray patch. Kerion merupakan reaksi peradangan yang

berat pada tinea kapitis, umumnya disebabkan oleh T.

verrucosum. Black dot ringworm disebabkan oleh T. tonsurans

dan T. violaceum.4,27

2.1.4.2 Tinea Barbae

Tinea barbae merupakan infeksi pada jenggot, kumis dan

dagu. Infeksi ini terjadi pada pria dewasa dan wanita yang

berkumis. Tinea barbae disebabkan oleh T. mentagrophytes, T.

rubrum, T. violaceum, T. verrucosum, T. megninii, dan M.

canis.7,14

2.1.4.3 Tinea Pedis

13
Tinea pedis merupakan infeksi pada kaki, terutama pada

sela-sela jari kaki, telapak kaki, dan seluruh kaki dari telapak,

tepi hingga punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik

“moccasin foot”. Penyebab utama tinea pedis adalah T.

mentagrophytes, T. rubrum, E. floccosum.4,14,27

2.1.4.4 Tinea Unguium

Tinea unguium merupakan infeksi jamur dermatofita yang

menyerang kuku jari tangan dan jari kaki. Memiliki 3 bentuk

klinis yaitu bentuk subungal distalis, bentuk subungual

proksimalis dan leukonikia trikofita atau leukonikia mikotika.

Bentuk subungal distalis jika infeksi mulai dari tepi distal.

Bentuk subungual proksimalis jika infeksi mulai dari kuku

bagian proksimal dan memberikan gambaran klinis yang khas

yaitu terlihat kuku di bagian distal masih tampak utuh. Kedua

bentuk tersebut disebabkan oleh T. rubrum, T. mentagorphytes,

dan E. floccosum. Leukonikia trikofita merupakan kelainan kuku

berupa keputihan di permukaan kuku yang disebabkan oleh T.

mentagrophytes.4,14,27

2.1.4.5 Tinea Kruris

Tinea kruris sering disebut “jock itch” merupakan infeksi

dermatofita pada lipat paha, daerah perineum dan sekitar anus.

14
Infeksi ini lebih sering terjadi pada pria dibandingan pada

wanita. Infeksi terjadi ketika suhu dan kelembaban tinggi.7,27

Tinea kruris disebabkan oleh E. floccosum, T. rubrum, dan T.

mentagrophytes.14

2.1.4.6 Tinea Korporis

Tinea korporis merupakan infeksi pada kulit tubuh yang

tidak berambut. Gambaran klinis berupa lesi bulat atau lonjong,

berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang

dengan vesikel dan papul di tepi.27 Penyebab yang paling sering

adalah T. rubrum, T. mentagrophytes, T. audouinii, dan M.

canis.14 Tinea imbrikata merupakan bentuk khas tinea korporis

yang disebabkan oleh T. concentricum. Bentuk lain tinea

korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah tine favosa

atau favus yang disebabkan oleh T. schonleinii, T. violaceum,

dan M. gypseum.27

2.1.4.7 Tinea Manuum

Tinea manuum merupakan infeksi yang terjadi pada salah

satu atau kedua tangan. Menyebar secara difus pada permukaan

palmar, kering, dan hiperketatotik.7 Infeksi ini disebabkan oleh

T. rubrum, E. floccosum, T. mentagrophytes.14

15
2.2 Dermatofita Geofilik

Dematofita geofilik hidup sebagai jamur saprofit di tanah. Secara

umum, tanah dapat menjadi reservoa untuk infeksi manusia. Hutan, lahan

pertanian, tanah di taman, serta sedimen sungai dan laut yang mengandung

humus dan bahan organik merupakan kandidat terbaik untuk pertumbuhan

jamur keratinolitik dan saprofit.28

Dermatofita geofilik menghasilkan konidia dalam jumlah yang

banyak. Dalam proses evolusinya dari saprofit geofilik menjadi parasit

zoofilik dan antropofilik, produksi konidia secara bertahap akan

berkurang.13,15

Jamur tersebut memiliki kemampuan untuk menghidrolisis keratin

di dalam tanah seperti rambut, bulu, kuku, sehingga dapat disebut sebagai

“jamur keratinofilik”.1,4,15 Dermatofita geofilik menginfeksi jaringan

keratin manusia dan hewan, menyebabkan dermatofitosis akut (tinea).

Sumber infeksi umumnya melalui kontak langsung dengan tanah yang fertil.

Transmisi ke manusia juga bisa terjadi secara tidak langsung melalui

binatang lokal.29

Distribusi jamur ini bergantung pada kuantitas material keratin baik

dari manusia maupun hewan yang terdapat dalam tanah.30 Selain keratin,

distribusi dermatofita geofilik juga dipengaruhi oleh pH tanah dan

umumnya mereka lebih menyukai pH yang mendekati pH netral, serta

lokasi geografis.13,28

16
Spesies geofilik kecuali Microsporum gypseum jarang ditularkan

dari manusia ke manusia atau dari hewan ke manusia. Kompleks

Microspoum gypseum-fulvum merupakan dermatofita geofilik bersifat

patogen terhadap manusia serta hewan.1,4,13 Microsporum gypseum yang

diisolasi dari tanah memiliki patogenitas yang rendah dan hanya strain yang

sangat virulen yang mampu menyebabkan infeksi. Dari tiga strain

dermatofita, studi patogenisitas pada hewan coba menunjukkan

Arthroderma fulva menjadi yang paling patogenik, sementara tidak ada

perbedaan mencolok yang diamati dari Arthroderma gypsea dan

Arthroderma incurvata.13

Distribusi kompleks M. gypseum-fulvum tersebar di seluruh dunia.11

Dermatofita geofilik patogen ditularkan secara langsung maupun tidak

langsung dan disebut sebagai infeksi saprobic-parasitic (S-P).

Kompleks Trichophyton terrestre dianggap nonpatogenik meskipun

infeksi manusia oleh T. terrestre telah dilaporkan dan infeksi hewan

percobaan juga telah berhasil diinduksi. Dermatofitik geofilik nonpatogenik

lainnya termasuk M. cookei dan T. ajelloi.13 Meskipun begitu, kasus infeksi

pada manusia yang disebabkan oleh T. ajelloi sudah pernah dilaporkan.10

Table 5. Dermatofita Geofilik.31

M. cookie Jarang menyebabkan dermatomikosis pada manusia,

infeksi pada hewan seperti : anjing, monyet.

M. fulvum Menyebabkan infeksi pada manusia dan hewan.

17
M. gypseum Dermatofita geofilik yang paling umum, seringkali

ditemukan pada tinea manus, tinea capitis, setelah

kontak dengan tanah.

M. racemosum Jarang, menyebabkan tinea corporis dan tinea

unguium. Cenderung tidak bersifat patogen.

T. ajelloi Cenderung tidak bersifat patogen.

T. flavescens Ditemukan pada burung, tidak patogen terhadap

manusia.

T. gloriae Sangat jarang, masih belum diketahui apakah patogen

terhadap manusia.

T. phaseoliforme Biasanya tidak bersifat patogen terhadap manusia

atau hewan.

T. terrestre Dianggap tidak patogen.

T. thuringiense Apatogenik.

2.2.1 Microsporum gypseum

Microsporum gypseum merupakan dermatofita geofilik yang

ditemukan di seluruh dunia dan dapat menyebabkan infeksi pada

manusia terutama anak-anak dan hewan selama cuaca lembab dan

hangat.32

Kompleks M. gypseum terdiri atas tiga spesies anamorfik

yaitu M. gypseum, M. fulvum, M. incurvatum.33

18
2.2.1.1 Morfologi

Koloni yang tumbuh pada agar saboroud dekstrosa (ASD)

biasanya datar, menyebar, seperti suede ke granular, dengan

bagian dalam berwarna kuning dan bagian permukaan berwarna

seperti kayu manis. Koloni dapat berwarna putih di bagian

sentral atau merupakan gumpalan hifa berbulu halus.

Pembentukan pigmen kuning-coklat, sering dengan titik

coklat gelap di bagian sentral, biasanya dihasilkan pada bagian

belakang, namun pigmen berwarna coklat kemerahan dapat

ditemukan pada beberapa strain.

Kultur menghasilkan makrokonidia yang berlimpah,

simetris, ellipsoidal, berdinding tipis, verukosa, empat hingga

enam sel. Ujung terminal atau distal dari kebanyakan

makrokonidia sedikit membulat. Banyak mikrokonidia

berbentuk klavata juga hadir.32

19
Gambar 1. Morfologi makroskopik dan mikroskopik M.

gypseum. Ellis et al.32

2.2.2 Microsporum cookie

Microsporum cookei memiliki distribusi yang luas di seluruh

dunia. M. cookei pertama kali dideskripsikan oleh Ajelloi pada tahun

1959. Jamur tersebut diisolasi dari sampel tanah yang dikumpulkan

dari negara bagian Idaho, Michigan dan Washington serta Alberta,

Kanada. 32,34

Microsporum cookie merupakan anamorfik geofilik yang

ditemukan pada rambut binatang mamalia liar tanpa menunjukkan

lesi klinis. Jamur ini telah berhasil diisolasi dari tikus, anjing, dan

terkadang menyebakan infeksi superfisial pada manusia. Jamur ini

menyebabkan perforasi rambut in vitro.20,35

20
2.2.2.1 Morfologi

Koloni yang tumbuh pada ASD berbentuk datar, berwarna

coklat pucat, koloni seperti bubuk (powdery), sedikit terangkat

dan melipat di bagian tengah dan terdapat beberapa alur radial.

Pigmen bagian bawah berwarna cokelat kemerahan gelap.

Makrokonidia berbentuk ellips, kasar, berdinding sangat

tebal dengan konsentrasi 5-6 septa dan mungkin juga berisi 2-8

septa. Sesekali dapat ditemukan bentuk spiral. Dinding tebal dan

ukuran makrokonodia yang besar membedakan M. cookei dari

M. gypseum.32

Gambar 2. Morfologi makroskopik dan mikroskopik M.

cookei. Ellis et al. 32

21
2.2.3 Microsporum fulvum

Microsporum fulvum merupakan spesies dermatofita

geofilik kosmopolitan yang ditemukan di seluruh dunia dan jarang

dilaporkan menyebabkan infeksi pada manusia dan hewan. Spesies

tersebut jarang disebut sebagai agen penyebab tinea corporis, favus,

ektotriks tinea capitis dan tinea incognito. Rambut yang diserang

menunjukkan infeksi ektotriks namun tidak muncul effloresensi di

bawah lampu Wood.32,36

2.2.3.1 Morfologi

Koloni yang tumbuh pada ASD berbentuk datar

dengan tekstur seperti suede dan berwarna putih dengan

sedikit merah muda. Biasanya terdapat pigmen berwarna

merah muda – jingga (strawberry-coloured).32

Makrokonidia berbentuk ellips, panjang, berdinding

tipis, berisi 3-6 sel.36 Mikrokonidia berbentuk ovoid sampai

piriformis.32

22
Gambar 3. Morfologi makroskopik dan mikroskopik

M. fulvum. . Ellis et al.32

2.2.4 Microsporum racemosum

Microsporum racemosum pertama kali diisolasi pada tahun 1965

oleh Borelli pada Rattus rattus di Venezuela, kemudian dari tanah di

hutan amazon serta dari tanah dan rambut hewan di Eropa. Jamur ini

jarang tumbuh pada media kultur yang umum, dengan pertumbuhan

optimal pada suhu 23 sampai 28°C dan pertumbuhannya buruk pada

suhu 37°C.37,38

23
2.2.4.1 Morfologi

Morfologi secara mikroskopik terdiri atas makrokonidia dan

mikrokonidia. Makrokonidia besar, echinulasi, berdinding tipis,

dan berisi lebih dari 6 sel, sering memiliki filamen terminal.

Sedangkan mikrokonidia tersusun berkelompok seperti buah

anggur.37,38

Gambar 4. Morfologi makroskopik dan mikroskopik M.

racemosum. Garcia-Martos et al.38

2.2.5 Trichophyton ajelloi

Trichophyton ajelloi merupakan spesies geofilik yang

ditemukan di seluruh dunia, dan hidup sebagai jamur saprofit di

tanah. Kemampuan jamur tersebut dalam menyebabkan infeksi pada

manusia dan hewan masih diragukan. Menyebabkan perforasi

rambut in vitro.32

24
2.2.5.1 Morfologi

Koloni yang tumbuh pada ASD berbentuk pipih, powdery,

berwarna krem hingga jingga atau kecokelatan dengan pinggiran

berwarna ungu kehitaman.

Makrokonidia banyak, halus, berdinding tebal, memanjang,

berbentuk cerutu, 29-65 x 5-10 µm, dan multisepta dengan 9 atau 10

septa. Mikrokonidia berbentuk piriformis namun biasanya tidak

ditemukan.32

Gambar 5. Morfologi makroskopik dan mikroskopik T.

ajelloi. . Ellis et al.32

25
2.2.6 Trichophyton gloriae

Trichophyton gloriae merupakan dermatofita golongan geofilik

yang kemampuannya dalam menimbulkan infeksi pada hewan dan

manusia belum diketahui, sifat invasinya pada rambut juga belum

dideskripsikan.39

2.2.6.1 Morfologi

Koloni yang tumbuh pada ASD berbentuk datar, downy-

powdery, memiliki variasi warna mulai dari putih, krem atau

kekuningan hingga warna kayu manis yang sangat khas,

sedangkan bagian bawahnya berwarna kuning kromatik.

Morfologi mikroskopik tampak makrokonidia berdinding

tipis, ukuran dan bentuknya bervariasi, sedikit berbentuk spindle

atau batang, mirip dengan T. rubrum. Makrokonidia banyak dan

berkelompok dengan berbagai ukuran dapat ditemukan pada

cabang hifa terminal.39

26
Gambar 6. Morfologi makroskopik dan mikroskopik T.

gloriae. Refai dan El-yazid.40

2.2.7 Trichophyton phaseoliforme

Koloni yang tumbuh pada ASD berbentuk powdery,

berwarna putih hingga kayu manis terang.

Morfologi mikroskopik mikrokonidia melengkung,

berbentuk kacang mete, dan ditanggung di bagian lateral oleh hifa

vegetatif dan dalam jumlah besar dalam hifa yang menebal dan

membesar dalam struktur seperti ascocarp (pycnidia). Spora

makrokonidia silinder diproduksi dalam kelompok terminal. Satu

bentuk sel melengkung dan diisi dengan mikrokonidia.39

Gambar 7. Morfologi makroskopik T. phaseoliforme.

Alteras dan Evolceanu.41

2.2.8 Trichophyton terrestre

27
T. terrestre merupakan dermatofita geofilik yang tumbuh di

seluruh dunia. Bersifat saprofit di tanah dan kontaminasi pada

manusia serta hewan. Invasi rambut in vivo belum diketahui, namun

dapat menyebabkan perforasi rambut in vitro.32,39

2.2.8.1 Morfologi

Koloni yang tumbuh pada ASD berbentuk datar, berbulu

halus dengan tekstur suede-like hingga granular menyerupai T.

mentagrophytes. Warna permukaannya berkisar antara putih-

krem, kuning atau kuning kehijauan. Pigmentasi permukaan

bagian bawah berwarna coklat kekuningan dan beberapa varian

mempunyai pigmentasi kemerahan seperti mawar merah.

Mikrokinidia besar, clavate atau pediculate. Makrokonidia

berbentuk clavate hingga silinder, berdinding tipis, berisi 2

hingga 6 sel. Dapat ditemukan klamidiospora, hifa spiral,

miselium raket dan hifa antler.32,39

28
Gambar 8. Morfologi makroskopik dan mikroskopik T.

terrestre. . Ellis et al.32

2.2.9 Trichophyton thuringiense

2.2.9.1 Morfologi

Koloni yang tumbuh pada ASD berbentuk powdery,

berwarna merah hingga kecoklatan. Morfologi mikroskopik

menyerupai spesies T. terrestre dengan mikrokonidia besar,

club-shaped dan makrokonidia multisepta yang panjang.

29
Gambar 9. Morfologi makroskopik dan mikroskopik T.

thuringiense. Nenoff et al.42

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur Geofilik

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jamur geofilik dapat

dibagi menjadi dua kategori yaitu faktor abiotik dan faktor biotik. Faktor

abiotik seperti jenis tanah, suhu, cahaya, variasi iklim, sedangkan faktor

biotik berupa binatang liar dan burung.43

30
2.3.1 Faktor Abiotik

2.3.1.1 Temperatur

Secara umum jamur keratinofilik merupakan

mikroorganisme mesofilik namun beberapa strain merupakan

termotoleran.43

2.3.1.2 Sinar UV

Sinar UV bersifat fungisidal karena dapat menghambat

germinasi spora dan pertumbuhan hifa. Efek kualitas cahaya

pada germinasi spora spesies dermatofita telah dipelajari secara

eksklusif oleh Buchnicek pada tahun 1966, 1967, 1971, 1973,

1974,1978,1981.

Penurunan frekuensi dermatomikosis pada musim panas

sebagian dapat diakibatkan karena radiasi ini. Radiasi UV

gelombang panjang dapat menghambat germinasi dan

pertumbuhan dermatofita. Intensitas penghambatannya

tergantung pada intensitas paparan UV harian.43

2.3.1.3 Variasi iklim

Iklim berpengaruh terhadap jenis jamur yang terdapat di

tanah. Penelitian di German menunjukkan bahwa jenis jamur

yang berbeda pada musim semi dengan musim panas.43

31
2.3.1.4 Tanah

2.3.1.4.1 pH Tanah

Dermatofita geofilik umumnya menyukai pH

yang mendekati pH netral.28 Ektoenzim dermatofita

tidak aktif pada pH dibawah 4-5 dan katabolisme

enzimatik jamur keratinofilik hanya dapat terjadi pada

pH 6-9.43

2.3.1.4.2 Nitrogen

Keratin kaya akan nitrogen dan hanya dapat

didekomposisi oleh jamur keratinolitik. Variasi

kandungan nitrogen pada keratin akan mempengaruhi

kolonisasi jamur keratinofilik.

2.3.1.4.3 Sulfur

Kunert (dikutip dari Garg et al.43) telah mempelajari

sulfur inorganik dan organik merupakan sumber untuk

pertumbuhan jamur Microsporum gyyseum.

Sodium sulfat, sulfit, disulfit, peroxodisulfat, dan

dithionate merupakan sumber sulfur inorganik yang

paling baik, namun sulfit menyebabkan inhibisi

pertumbuhan jamur.

32
Asam amino seperti cystine, cysteine, glutation,

S-sulfocysteine, lanthioneine, taurine, dan serine-sulfat

merupakan sumber sulfur organik yang paling baik untuk

pertumbuhan jamur. Pertumbuhan jamur menjadi lambat

dengan senyawa sulfur organik selain asam amino.43

2.3.1.4.4 Kelembaban

Proses geminasi, pertumbuhan dan reproduksi

secara langsung terkait dengan kelembaban tanah.

Hubalek (dikutip dari Garg et al.43) melaporkan

kejadian Arthroderma curreyi pada sarang burung

dengan kadar air 11,81% dan 19,85%. Chmel et al.

(dikutip dari Garg et al.43) melaporkan kejadian

Keratinomyces ajelloi pada tanah dengan kandungan air

16,2-17,8%. Trichophyton terrestre diisolasi dari

sampel tanah yang banyak dengan kandungan air rata-

rata sebesar 7,1%.

Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa

K. ajelloi adalah higrotoleran sementara T. terrestre

adalah xerophilik di alam.43

2.3.1.4.5 Humus

33
Chmel et al. (dikutip dari Garg et al.43)

melaporkan adanya Microsporum gypseum pada tanah

dengan kandungan humus tinggi (5,2%) dan

Trichophyton terrestre pada tanah dengan kandungan

humus rendah (1,5%).

Chmel dan Vlacilikova (dikutip dari Garg et

al.43) melaporkan jumlah jamur keratinophilic lebih

banyak pada tanah dengan kandungan humus yang

tinggi. M. gypseum dan Trichophyton georgii dapat

ditemukan pada tanah dengan kandungan humus tinggi,

sedangkan Trichophyton vanbreuseghemii dan fase

sesualnya (Arthroderma gertleri) ditemukan pada tanah

dengan kandungan humus rendah.

2.3.1.4.6 Asam lemak dan minyak

Hajini et al. (dikutip dari Garg et al.43) menguji

asam lemak tak jenuh, minyak rambut, dan produk asam

lemak beragam untuk sifat anti-dermatofitnya. Hasilnya

didapatkan penghambatan pertumbuhan Trichophyton

rubrum dan dermatofita terkait dari konsentrasi 1%

minyak mustar, asam oleat, linoleat, linolenat, dan

arakidionat.

34
Minyak kelapa , minyak kastor, krim bryl, tonik

rambut vaselin, asam palmitat dan asam stearat tidak

menghambat pertumbuhan bahkan pada konstentrasi

10%.43

2.3.1.4.7 Garam

Orru et al. (dikutip dari Garg et al.43) pada tahun

1968 telah melaporkan efek penghambatan natrium

klorida pada pertumbuhan dermatofita. Jamur yang

pertumbuhannya dihambat oleh NaCl adalah

Micropsorum, Epidermophyton, dan Trichophyton.

2.3.1.4.8 Agrokimia

Penggunaan agrokimia seperti herbisida, peptisida,

fungisida dapat menurunkan populasi jamur pada

tanah.43

2.3.1.4.9 Substrat keratin

Dermatofita geofilik dapat ditemukan diberbagai

tempat yang sering dikunjungi manusia dan tempat yang

terdapat banyak hewan seperti taman bermain, pusat

rekreasi, peternakan unggas, kandang sapi, kandang

kuda, taman zoologi, kolam renang, dan tempat-tempat

lain. Dengan demikian jelas bahwa animalisasi, tanah

35
yang kaya akan substrat keratin merupakan kondisi yang

baik untuk pertumbuhan jamur keratinofilik.43

2.3.2 Faktor Biotik

Komponen biotik yang mampu mempengaruhi keberadaan

jamur dermatofita adalah binatang seperti anjing, dan kucing. Bulu

anjing dan kucing yang jatuh ke tanah merupakan sumber keratin

yang mengakomodasi pertumbuhan jamur di tanah.pada hewan

proliferasi dan kolonisasi jamur difasilitasi oleh faktor fisik dan

lingkungan seperti gizi yang buruk, suhu tinggi, dan kelembaban

yang tinggi.44

36
2.4 Kerangka Teori

Dermatofita:

- Microsporum sp
- Trichophyton sp
- Epidermophyton
sp

pH, suhu,
kelembaban
Geofilik Antropofilik Zoofilik
tanah, jenis
tanah

Produksi enzim Perlekatan


proteinase, jamur pada
keratinase, jaringan
elastase keratinosit

Kerusakan stratum korneum epidermis,


ostium folikular rambut, menginvasi
kuku

Dermatofitosis

2.5 Kerangka Konsep

Tanah Isolasi dan identifikasi dermatofita


geofilik

Pemeriksaan laboratotium

37
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskiptif untuk mengetahui

gambaran spesies dermatofita yang dapat ditemukan pada tanah di wilayah

Jawa.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia.

3.2.2 Waktu

Penelitian ini dilaksanakan antara bulan Agustus 2018

hingga Oktober 2018.

3.3 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini berupa tanah berjumlah 30 sampel yang

didapat dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cirebon,

dan Yogyakarta.

38
3.4 Alur Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti membuat surat izin

penelitian yang diajukan kepada Kepala Departemen Parasitologi FK UKI.

Setelah disetujui oleh Kepala Departemen Parasitologi FK UKI maka

peneliti dapat menggunakan laboratorium penelitian mahasiswa FK UKI.

Alur penelitian dapat dilihat pada bagan 3.1

Bagan 3.1

Pengambilan 30 sampel dari beberapa wilayah di


Jabodetabek, Cirebon & Yogyakarta

Lakukan teknik hair-baiting selama 14 hari


hariHAHAhari

Penanaman rambut yang ditumbuhi jamur pada media


ASD+ dalam suhu kamar selama 1-3 minggu

Melihat ada atau tidaknya pertumbuhan jamur pada


media ASD+. Bila tumbuh jamur, dilakukan identifikasi
jamur secara makroskopis dan mikroskopis

Pewarnaan dengan LPCB Slide culture

Identifikasi jamur

39
Pengumpulan data

Analisis dan penyajian data

Laporan

3.5 Alat dan Bahan

3.5.1 Alat

1. Timbangan

2. Mikroskop

3. Cawan petri

4. Tabung reaksi

5. Rak tabung

6. Gelas ukur

7. Gelas objek

8. Gelas tutup

9. Pipet

10. Ose

11. Pinset

12. Scalpel

13. Bunsen

14. Kontainer

15. Tempat sampah

40
16. Kertas koran

17. Sendok plastik

18. Zipper bag

19. Sterilitator

20. Tissue

21. Pengaduk kaca

22. Kertas label

23. Handscoen

3.5.2 Bahan

1. Tanah

2. Rambut Steril

3. ASD +

4. Aquadest steril

5. LPCB

6. Alkohol

3.6 Cara Kerja

1. Sebanyak 1 gr tanah dimasukkan ke dalam cawan petri steril.

2. Taburkan rambut steril pada cawan petri yang sudah berisi tanah.

3. Teteskan 1-2 tetes aquadest steril di atasnya untuk menjaga kelembaban

tanah.

4. Inkubasi dalam suhu kamar selama 14 hari dan amati setiap 2 hari sekali.

41
5. Biakan dinyatakan negatif jika dalam 14 hari tidak ada pertumbuhan

jamur pada rambut.

6. Jika dalam 14 hari tampak pertumbuhan jamur pada potongan rambut,

ambil rambut yang ditumbuhi jamur dan tanam pada ASD + dengan

menggunakan ose.

7. Amati pertumbuhan jamur selama 3 minggu. Lihat dengan LPCB dan

slide culture.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah terkumpul akan dilakukan pengolahan data,

kemudian langkah selanjutnya adalah analasis data.

42
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tanah yang diperiksa dalam penelitian berjumlah 30 sampel tanah

yang berasal dari Provinsi Banten, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Jawa

Barat. Dari 30 sampel yang diperiksa dapat diisolasi dermatofita dari tanah

yang berasal dari wilayah Bekasi, Jakarta, dan Tangerang.

Tabel 4.1 Isolasi jamur dermatofita berdasarkan wilayah

Jumlah sampel tanah

Wilayah Positif (+) Negatif (-) Sampel (n)

Bekasi 1 10 11

Jakarta 2 4 6

Tangerang 1 1 2

Depok 0 2 2

Bogor 0 2 2

Cirebon 0 2 2

Yogyakarta 0 5 5

Total 4 26 30

(%) 13,33% 86,67 100%

Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa dari 30 sampel tanah yang

diperiksa terdapat empat sampel tanah yang berasal dari wilayah Bekasi,

43
Jakarta, dan Tangerang teridentifikasi positif mengandung jamur

dermatofita.

Prevalensi dermatofitosis di Indonesia cukup tinggi yaitu 52% dari

seluruh dermatomikosis. Berdasarkan data dari Unit Penyakit Kulit dan

Kelamin RS. Dr. Cipto Mangunkusumo menunjukkan bahwa dermatofitosis

menempati urutan pertama dalam kasus mikosis superfisial.9

Penelitian lain mengenai kasus dermatofitosis melaporan

berdasarkan rekam medik pada pasien di Poli Klinik Kulit dan Kelamin

RSUD Tangerang pada periode Januari-Desember 2011 menunjukkan

bahwa ditemukan penderita dermatofitosis sebanyak 638 orang dari 7954

orang.45

Tabel 4.2 Spesies dermatofita yang berhasil diisolasi dari empat

sampel tanah yang teridentifikasi positif (+) mengandung dermatofita

Spesies Jumlah Persentase(%)

Microsporum gypseum 4 66,67%

Trichophyton rubrum 1 16,665%

Trichophyton mentagrophytes 1 16,665%

Total 6 100%

44
Spesies dermatofita

Wilayah Microsporum Trichophyton Trichophyton Total

gypseum rubrum mentagrophytes

Bekasi 1 0 0 1

Jakarta 2 1 1 4

Tangerang 1 0 0 1

Total 4 1 1 6

(%) 66,67% 16,665% 16,665% 100%

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil mengisolasi 6

strain dermatofita dari empat sampel tanah yang positif mengandung

dermatofita yang berasal dari wilayah Bekasi, Jakarta, dan Tangerang.

66,67% teridentifikasi sebagai dermatofita geofilik dengan Microsporum

gypseum (66,67%). 16,65% teridentifikasi sebagai dermatofita antropofilik

dengan Trichophyton rubrum (16,665%) dan Trichophyton mentagrophytes

(16,665%) teridentifikasi sebagai dermatofita zoofilik.

Dari penelitian ini diperoleh data bahwa dari 30 sampel tanah yang

diperiksa dapat diidentifikasi enam strain dermatofita yang berasal dari

empat sampel tanah yang didominasi oleh Microsporum gypseum kemudian

Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes. Hasil penelitian

ini cukup berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Pontes et al. (2013)

45
di kota Paraiba State. Pada penelitian tersebut sampel tanah diambil dari

tanah perkotaan (lahan kosong, sekolah, pemukiman kumuh, alun-alun,

pantai, dan rumah) dan daerah pedesaan. Penelitian tersebut berhasil

berhasil mengisolasi 131 strain dermatofita dari 212 sampel tanah, dan

57,3% teridentifikasi sebagai dermatofita geofilik dengan Trichophyton

terrestre (31,3%), diikuti oleh Microsporum gypseum (21,4%),

Microsporum nanum (3%), Trichophyton ajelloi (0,8%) dan Arthroderma

gypsea (0,8%). Spesies zoofilik yang teridentifikasi adalah T.

mentagrophytes var. mentagrophytes (31,3%) dan T. verrucosum (7,6%),

dan T. tonsurans diisolasi sebagai spesies antropofilik. Pada penelitian

tersebut dapat disimpulkan dermatofita yang berhasil diidentifikasi

didominasi Trichophyton terrestre. Penelitian tersebut juga menjelaskan

distribusi dermatofita yang mengacu pada pH tanah.12

4.1

4.2

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Weitzman I, Summerbell RC. The dermatophytes. Am Soc Microbiol.


1995;8(2):240–59.

2. Martinez-Rossi NM, Persinoti GF, Peres NTA, Rossi A. Role of pH in the


pathogenesis of dermatophytoses. In: Mycoses. 2012. p. 381–7.

3. Yenişehirli G, Karat E, Bulut Y, Savci Ü. Dermatophytes isolated from the


mosques in Tokat, Turkey. Mycopathologia. 2012;174(4):327–30.

4. Ghannoum MA, Isham NC. Dermatophytes and dermatophytoses. In:


Clinical Mycology. 2009. p. 375–84.

5. Suganthi M. Pathogenesis and clinical significance of dermatophytes:


comprehensive review. Innov Pharm Pharmacother. 2017;4(1):62–70.

6. UI DPF. Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FK UI;


2008.

7. Tosti A, Shaurya K, Piraccini BM. Dermatophyte infections. Vol. 67,


European Handbook of Dermatological Treatments, Third Edition. 2003. p.
209–17.

8. Maraki S, Mavromanolaki VE. Epidemiology of dermatophytoses in Crete,


Greece. Med Mycol J. 2016;57(4):E69–75.

9. Yosella T. Diagnosis and treatment of tinea versicolor. J Major.

47
2015;4(2):122–8.

10. Kachuei R, Emami M, Naeimi B, Diba K. Isolation of keratinophilic fungi


from soil in Isfahan province, Iran. J Mycol Med. 2012;22(1):8–13.

11. Anane S. Epidemiological investigation of keratinophilic fungi from soils


of Djerba (Tunisia). J Mycol Med. 2012;22:225–9.

12. Pontes ZBV da S, Oliveira AC de, Guerra FQS, Pontes LR de A, Santos JP


dos. Distribution of dermatophytes from soils of urban and rural areas of
cities of Paraiba State, Brazil. Rev Inst Med Trop Sao Paulo.
2013;55(6):377–83.

13. Simpanya MF. Dermatophytes : Their taxonomy , ecology and


pathogenicity. Biol Dermatophytes other Keratinophilic Fungi. 2000;1–12.

14. Rosita C, Kurniati. Etiopatogenesis dermatofitosis ( Etiopathogenesis of


dermatophytoses ). Berk Ilmu Kesehat Kulit dan Kelamin. 2008;20(3):243–
50.

15. Aly R. Ecology and epidemiology of dermatophyte infections. J Am Acad


Dermatol. 1994;31(3):S21-5.

16. Baldo A, Monod M, Mathy A, Cambier L, Bagut ET, Defaweux V, et al.


Mechanisms of skin adherence and invasion by dermatophytes. Mycoses.
2012;55(3):218–23.

17. Worek M, Kwiatkowska A, Ciesielska A, Jaworski A, Kaplan J, Miedziak


B, et al. Identification of dermatophyte species using genomic in situ
hybridization (GISH). J Microbiol Methods. 2014;100(1):32–41.

18. Hubka V, Dobiášová S, Dobiáš R, Kolařík M. Microsporum aenigmaticum


sp. nov. from M. gypseum complex, isolated as a cause of tinea corporis.
Med Mycol. 2014;52(4):387–96.

19. University LS. Dermatophytosis [Internet]. 2013. p. 1–13. Available from:


http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/dermatophytosis.pdf

48
20. Choi JS, Gräser Y, Walther G, Peano A, Symoens F, De Hoog S.
Microsporum mirabile and its teleomorph Arthroderma mirabile, a new
dermatophyte species in the M. cookei clade. Med Mycol. 2012;50(2):161–
9.

21. Cafarchia C, Iatta R, Latrofa MS, Gräser Y, Otranto D. Molecular


epidemiology, phylogeny and evolution of dermatophytes. Infect Genet
Evol. 2013;20:336–51.

22. Ilha MRS, Newman SJ. Pathology in practice-red panda. J Am Vet Med
Assoc. 2012;240(8):953–5.

23. Segal E, Frenkel M. Dermatophyte infections in environmental contexts.


Res Microbiol. 2015;166:564–9.

24. Tainwala R, Sharma Y. Pathogenesis of dermatophytoses. Indian J


Dermatol. 2011;56(3):259–61.

25. Vermout S, Tabart J, Baldo A, Mathy A, Losson B, Mignon B.


Pathogenesis of dermatophytosis. Mycopathologia. 2008;166(5–6):267–75.

26. Achterman RR, White TC. Dermatophyte virulence factors: dentifying and
analyzing genes that may contribute to chronic or acute skin infections. Int
J Microbiol. 2012;2012.

27. Djuanda A, Suriadiredja ASD, Sudharmono A, Wiryadi BE, Kurniati DD,


Daiki ESS. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Menaldi SLS, editor.
Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2016. 112-3 p.

28. Pakshir K, Rahimi Ghiasi M, Zomorodian K, Gharavi AR. Isolation and


molecular identification of keratinophilic fungi from public parks soil in
Shiraz, Iran. Biomed Res Int. 2013;2013.

29. Dolenc-Voljč M, Gasparič J. Human infections with microsporum gypseum


complex (Nannizzia gypsea) in Slovenia. Mycopathologia. 2017;182:1069–
75.

49
30. Mercantini R, Marsella R, Caprilli F, Dovgiallo G. Isolation of
dermatophytes and correlated species from the soil of public gardens and
parks in Rome. Int Soc Hum Anim Mycol. 1980;123–8.

31. Nenoff P, Krüger C, Ginter-Hanselmayer G, Tietz HJ. Mykologie - ein


update. Teil 1: Dermatomykosen: Erreger, epidemiologie und pathogenese.
JDDG - J Ger Soc Dermatology. 2014;12(3):188–210.

32. Ellis D, Davis S, Alexiou H, Handke R, Bartley R. Descriptions of medical


fungi. 2nd ed. North. North Adelaide, Australia; 2007. 1-198 p.

33. Rezaei-Matehkolaei A, Jahangiri A, Mahmoudabadi AZ, Najafzadeh MJ,


Nouripour-Sisakht S, Makimura K. Morpho-molecular characterization of
soil inhabitant dermatophytes from Ahvaz, Southwest of Iran, a high
occurrence of microsporum fulvum. Mycopathologia. 2017;182(7–8):691–
9.

34. Caffara M, Scagliarini A. Study of diseases of the grey squirrel (Sciurus


carolinensis) in Italy. First isolation of the dermatophyte Microsporum
cookei. Med Mycol. 1999;37(1):75–7.

35. Paraphyton cookei [Internet]. Mycology Online. [cited 2018 Sep 25].
Available from:
https://mycology.adelaide.edu.au/descriptions/dermatophytes/paraphyton/

36. Nouripour-Sisakht S, Rezaei-Matehkolaei A, Abastabar M, Najafzadeh MJ,


Satoh K, Ahmadi B, et al. Microsporum fulvum, an ignored pathogenic
dermatophyte: a new clinical isolation from Iran. Mycopathologia.
2013;176(1–2):157–60.

37. Nardoni S, Rocchigiani G, Papini RA, Veneziano V, Brajon G, Martini M,


et al. Dermatophytosis in donkeys (Equus asinus) due to Microsporum
racemosum, an unusual geophilic agent. Med Mycol Case Rep. 2016;12:8–
10.

38. García-Martos P, Gené J, Solé M, Mira J, Ruíz-Henestrosa R, Guarro J.

50
Case of onychomycosis caused by Microsporum racemosum. J Clin
Microbiol. 1999;37(1):258–60.

39. Rebell G, Taplin D. Dermatophytes. 2nd ed. Coral Gables, Florida:


University of Miami; 1970. 36 p.

40. Refai M, El-yazid HA. Monograph On Dermatophytes. 2013;1–73.

41. Alteras I, Evolceanu R. Trichophyton phaseoliforme (Dante BoreIIi & Feo


– 1966) in Romanian soil [Internet]. [cited 2018 Oct 8]. Available from:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/j.1439-
0507.1969.tb03480.x

42. Nenoff P, Winter I, Winter A, Krüger C, Herrmann J, Gräser Y, et al.


Trichophyton thuringiense H.A. Koch 1969. Ein seltener geophiler
dermatophyt, erstmals vom menschen isoliert. Hautarzt. 2014;65(3):221–8.

43. Garg AP, Gandotra S, Mukerji KG, Pugh GJF. Ecology of keratinophilic
fungi. Vol. 94, Proceedings: Plant Sciences. 1985. p. 149–63.

44. Agnetti F, Pisa U, Pisa U. Dermatophytosis in animals : epidemiological ,


clinical and zoonotic aspects. 2013;148(5):563–72.

45. Oktavia A. Prevalensi dermatofitosis di Poliklinik Kulit Dan Kelamin


RSUD Tangerang periode 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember
2011. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah; 2013.

51

Anda mungkin juga menyukai