Anda di halaman 1dari 43

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
penting terutama di negara berkembang. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa
sekitar 40-62% antimikroba digunakan pada penyakit yang tidak memerlukan
antimikroba.
Intensitas penggunaan antimikroba yang tinggi menimbulkan berbagai masalah
dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap
antimikroba. Resistensi tidak hanya terjadi terhadap satu antimikroba melainkan
dapat terjadi pada berbagai jenis antimikroba sekaligus, seperti bakteri MRSA
(Methycillin Resistant Staphylococcus Aureus), ESBL (Extended Spectrum Beta
Lactamase), dsb. Kesulitan penanganan akibat resistensi bakteri terhadap berbagai
antimikroba selanjutnya berakibat meningkatnya morbiditas dan mortalitas.
Disamping antimikroba yang secara spesifik adalah antibakterial, penggunaan
anti jamur juga meningkat terutama pada pasien defisiensi imun dan akibat
pemberian antimikroba lama. Penggunaan anti jamur yang berlebihan dan tanpa
indikasi selanjutnya juga akan berakibat terjadi resistensi terhadap jamur terutama
golongan Candida. Anti virus dan antiparasit lebih jarang digunakan tetapi tetap perlu
dibuat panduan penggunaannya dengan baik.

1.2 Tujuan
1. Sebagai panduan bagi klinisi dalam pemilihan dan penggunaan antimikroba
secarabijak.
2. Untuk meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.

1.3 Definisi
 Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh agen biologi (virus,bakteri,
parasit, jamur) bukan disebabkan faktor fisik (seperti luka bakar) atau kimia
(seperti keracunan)
 Antimikroba adalah bahan-bahan/obat-obat yang digunakan untuk
memberantas/membasmi infeksi mikroba khususnya yang merugikan manusia
 Antibakteri atau antibiotik adalah suatu senyawa kimia yang dihasilkan oleh
mikroorganisme yang dalam konsentrasi kecil mempunyai kemampuan
menghambat atau membunuh mikroorganisme lain

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 1


RSUD KABUPATEN JOMBANG
 Anti jamur adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang
disebabkan oleh jamur.
 Anti virus adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang
disebabkan oleh virus.
 Anti parasit adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang
disebabkan oleh parasit.
 Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan
dayakerja antimikroba.

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 2


RSUD KABUPATEN JOMBANG
BAB II
RUANG LINGKUP

2.1. Faktor-Faktor Yang Harus Dipertimbangkan Pada Penggunaan Antimikroba


1. Resistensi Mikroorganisme Terhadap Antimikroba
a. Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan
daya kerja antimikroba. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu:
1) Merusak antimikroba dengan enzim yang diproduksi.
2) Mengubah reseptor titik tangkap antimikroba.
3) Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antimikroba pada sel bakteri.
4) Antimikroba tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat
dinding sel bakteri.
5) Antimikroba masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari
dalam sel melalui mekanisme transport aktif ke luar sel.
b. Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat Minimal)
atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC), yaitu kadar terendah
antimikroba (μg/mL) yang mampu menghambat tumbuh dan berkembangnya
bakteri. Peningkatan nilai KHM menggambarkan tahap awal menuju resistensi.
c. Enzim perusak antimikroba khusus terhadap golongan Beta-lactam pertama
dikenal pada tahun 1945 dengan nama Penicillinase yang ditemukan pada
Staphylococcus aureus dari pasien yang mendapat pengobatan Penicillin.
Masalah serupa juga ditemukan pada pasien terinfeksi Escharichia coli yang
mendapat terapi Ampicillin. Resistensi terhadap golongan Beta-lactam antara
lain terjadi karena perubahan atau mutasi gen penyandi protein (Penicillin
Binding Protein). Ikatan obat golongan Beta-lactam pada PBP akan
menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga sel mengalami lisis.
d. Peningkatan kejadian resistensi bakteri terhadap antibitotik bisa terjadi dengan 2
cara, yaitu:
1) Mekanisme Selection Pressure. Jika bakteri resisten tersebut berbiak
secara duplikasi setiap 20-30 menit (untuk bakteri yang berbiak cepat),
maka dalam 1-2 hari, seseorang tersebut dipenuhi oleh bakteri resisten.
Jika seseorang terinfeksi oleh bakteri yang resisten, maka upaya
penanganan infeksi dengan antimikroba semakin sulit.
2) Penyebaran resistensi ke bakteri yang non-resisten melalui plasmid. Hal ini
dapat disebarkan antar kuman sekelompok maupun dari satu orang ke orang
lain.

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 3


RSUD KABUPATEN JOMBANG
e. Ada dua strategi pencegahan peningkatan bakteri resisten:
1) Untuk selection pressure dapat diatasi melalui penggunaan antimikroba
secara bijak (prudent use of antimikrobas).
2) Untuk penyebaran bakteri resisten melalui plasmid dapat diatasi dengan
meningkatkan ketaatan terhadap prinsip-prinsip kewaspadaan standar
(universal precaution).

2. Faktor Farmakokinetik dan Farmakodinamik


Pemahaman mengenai sifat farmakokinetik dan farmakodinamik antimikroba
sangat diperlukan untuk menetapkan jenis dan dosis antimikroba secara tepat. Agar
dapat menunjukkan aktivitasnya sebagai bakterisida ataupun bakteriostatik,
antimikroba harus memiliki beberapa sifat berikut ini:
a. Aktivitas mikrobiologi. Antimikroba harus terikat pada tempat ikatan
spesifiknya (misalnya ribosom atau ikatan Penicillin pada protein).
b. Kadar antimikroba pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin
tinggi kadar antimikroba semakin banyak tempat ikatannya pada sel bakteri.
c. Antimikroba harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu yang
cukup memadai agar diperoleh efek yang adekuat.
d. Kadar hambat minimal. Kadar ini menggambarkan jumlah minimal obat
yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
Secara umum terdapat dua kelompok antimikroba berdasarkan sifat
farmakokinetiknya, yaitu;
a. Time dependent. Lamanya antimikroba berada dalam darah dalam
kadardiatas KHM sangat penting untuk memperkirakan outcome klinik atau
kesembuhan pasien. Pada kelompok ini kadar antimikroba dalam darah di
atas KHM paling tidak selama 50% interval dosis. Contoh antimikroba
yang tergolong time dependent killing antara lain Penicillin, Cephalosporin,
dan Macrolide.
b. Concentration dependent. Semakin tinggi kadar antimikroba dalam darah
melampaui KHM maka semakin tinggi pula daya bunuhnya terhadap bakteri.
Pada golongan ini diperlukan rasio kadar/KHM sekitar 10. Hal ini berarti
bahwa rejimen dosis yang dipilih harus memiliki kadar dalam serum atau
jaringan 10 kali lebih tinggi dari KHM. Jika gagal mencapai kadar ini di
tempat infeksi atau jaringan akan mengakibatkan kegagalan terapi. Situasi
inilah yang selanjutnya menjadi salahsatu penyebab timbulnya resistensi.

3. Faktor Interaksi dan Efek Samping Obat


Pemberian antimikroba secara bersamaan dengan antimikroba lain, obat
lain atau makanan dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Efek dari

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 4


RSUD KABUPATEN JOMBANG
interaksi yangdapat terjadi cukup beragam mulai dari yang ringan seperti
penurunan absorbsi obat atau penundaan absorbsi hingga meningkatkan efek
toksik obat lainnya. Sebagai contoh pemberian Ciprofloxacin bersama dengan
Teofilin dapat meningkatkan kadar Teofilin dan dapat berisiko terjadinya henti
jantung atau kerusakan otak permanen. Demikian juga pemberian Doksisiklin
bersama dengan Digoksin akan meningkatkan efek toksik dari Digoksin yang bisa
fatal bagi pasien. Data interaksi obat antimikroba dapat dilihat pada leaflet obat
antimikroba sebelum digunakan.

4. Faktor Biaya
Antimikroba yang tersedia di Indonesia bisa dalam bentuk obat generik, obat
merek dagang, obat originator atau obat yang masih dalam lindungan hak paten
(obat paten). Harga antimikroba pun sangat beragam. Harga antimikroba
dengan kandungan yang sama bisa berbeda hingga 100 kali lebih mahal
dibanding generiknya. Apalagi untuk sediaan parenteral yang bisa 1000 kali lebih
mahal dari sediaan oral dengan kandungan yang sama. Peresepan antimikroba
yang mahal, dengan harga di luar batas kemampuan keuangan pasien akan
berdampak pada tidak terbelinya antimikroba oleh pasien, sehingga
mengakibatkan terjadinya kegagalan terapi. Walaupun antimikroba yang
diresepkan sudah tepat apabila jauh dari tingkat kemampuan keuangan pasien
tentu tidak akan bermanfaat.

2.2 Penggolongan Antimikroba


Infeksi bakteri terjadi bila bakteri mampu melewati barrier mukosa atau kulit
dan menembus jaringan tubuh. Pada umumnya, tubuh berhasil mengeliminasi bakteri
tersebut dengan respon imun yang dimiliki, tetapi bila bakteri berkembang biak lebih
cepat daripada aktivitas respon imun tersebut maka akan terjadi penyakit infeksi yang
disertai dengan tanda-tanda inflamasi. Terapi yang tepat harus mampu mencegah
berkembang biaknya bakteri lebih lanjut tanpa membahayakan host. Penggolongan
antimikroba berdasarkan mekanisme kerja :
1. Obat yang Menghambat Sintesis atau Merusak Dinding Sel Bakteri
a. Antimikroba Beta-lactam
Antimikroba Beta-lactam terdiri dari berbagai golongan obat yang
mempunyai struktur cincin Beta-lactam, yaitu Penicillin, Cephalosporin,
Monobactam, Carbapenem dan inhibitor Beta-lactamase. Antimikroba
Beta-lactam umunya bersifat bakterisid dan sebagian besar efektif terhadap
organisme Gram-positif dan negatif. Antimikroba Beta-lactam menganggu
sintesis dinding selbakteri, dengan menghambat langkah terakhir dalam

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 5


RSUD KABUPATEN JOMBANG
sintesis peptidoglikan yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas
mekanik pada dinding sel bakteri.
1) Penicillin
Golongan Penicillin diklasifikasikan berdasarkan spectrum aktivitas
antimikrobanya.
Tabel 1. Antimikroba Golongan Penicillin
Golongan Contoh Aktivitas

Penicillin G dan Penicillin G dan Sangat aktif terhadap kokus Gram-positif, tetapi
Penicillin V Penicillin V cepat dihidrolisis oleh Penicillinase atau Beta-
lactamase, sehingga tidak efektif terhadap S. aureus

Penicillin yang Metisilin, Merupakan obat pilihan utama untuk terapi S.Aureus
resisten terhadap Nafcillin, yang memproduksi Penicillinase. Aktivitas antimikroba
Beta-lactamase/ Oxacillin, kurang poten terhadap mikroorganismeyang sensitif
Penicillinase Cloxacillin dan terhadap Penicillin G.
Dicloxacillin

CarboxyPenicillin Carbenicillin, Antimikroba untuk Pseudomonas, Enterobacter dan


Ticarcillin Proteus. Aktivitas antimikroba lebih rendah dibanding
ampicillin terhadap kokus Gram-positif, dan kurang
aktif dibanding piperacillin dalam melawan
Pseudomonas. Golongan ini dirusak oleh Beta-
lactamase.

UreidoPenicillin Mezlocillin, Aktivitas antimikroba terhadap Pseudomonas,


Azlocillin dan Klebsielladan Gram-negatif lainnya. Golongan ini
Pipercillin dirusak oleh Beta-lactamase.

Tabel 2. Parameter-parameter Farmakokinetik untuk Beberapa Penicillin

Ekskresi
Cara Waktu Paruh Penyesuain Dosis
Obat Ginjal
Pemberian (jam) Pada Gagal Ginjal
(%)

Penicillin alami
Penicillin G IM, IV 0,5 79-85 Ya
Penicillin V Oral 0,5 20-40 Ya
Penicillin Anti-staphylococcus (resisten Penicillinase)
Nafisilin IM, IV 0,8-1,2 31-38 Tidak
Oxacillin IM, IV 0,4-0,7 39-66 Tidak
Cloxacillin Oral 0,5-0,6 49-70 Tidak

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 6


RSUD KABUPATEN JOMBANG
Obat Cara Waktu Paruh Ekskresi Penyesuain Dosis
Pemberian (jam) Ginjal Pada Gagal Ginjal
(%)

Dikloxacillin Oral 0,6-0,8 35-90 Tidak


AminoPenicillin
Ampicillin Oral, IM, IV 1,1-1,5 40-92 Ya
Amoxicillin Oral 1,4-2,0 86 Ya
Penicillin Anti-pseudomonas
Carbenicillin Oral 0,8-1,2 85 Ya
Mezlocillin IM, IV 0,9-1,7 61-69 Ya
Piperacillin IM, IV 0,8-1,1 74-89 Ya
Ticarcillin IM, IV 1,0-1,4 95 Ya

2) Cephalosporin
Cephalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan
mekanisme serupa dengan Penicillin. Cephalosporin diklasifikasikan
berdasarkan generasinya.

Tabel 3. Klasifikasi dan Aktivitas Cephalosporin


Generasi Contoh Aktivitas

I Cefalexin, Cefazolin, Efektif terhadap Gram-positif dan


Cefradin, Cefadroxil memiliki aktivitas sedang terhadap
Gram-negatif.

II Cefaclor, Cefamandol, Aktivitas antimikroba Gram-negatif


Cefuroxime, Cefoxitin, yang lebih tinggi daripada generasi I.
Cefotetan,Cefmetazole,
Cefprozil.

III Cefotaxime, Ceftriaxone, Aktivitas kurang aktif terhadap kokus


Ceftazidime, Cefixime, Gram-positif disbanding generasi I,
Cefoperazone. tapi lebih aktif terhadap
Enterobacteriaceae, termasuk strain
yang dapat memproduksi Beta-
lactamase. Ceftazidime dan
Cefoperazone juga aktif terhadap P.
aeruginosa, tapi kurang aktif dibanding
generasi III lainnya terhadap kokus
Gram-positif.

IV Cefepime, Cefpirome. Aktivitas lebih luas dibanding generasi


III dan tahan terhadap Beta-lactamase.

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 7


RSUD KABUPATEN JOMBANG
Tabel 4. Parameter-parameter Farmakokinetik untuk Beberapa
Cephalosporin
Obat Cara Waktu Ekskresi Penyesuaian Dosis
Pemberian Paruh (jam) Ginjal (%) pada Gagal ginjal

Generasi I
Cefadroxil Oral 1,2-2,5 70-90 Ya
Cefazolin IM, IV 1,5-2,5 70-95 Ya
Cefalexin Oral 1,0 95 Ya
Cefapirin IM, IV 0,6 50-70 Ya
Cefradin Oral 0,7 75-100 Ya
Generasi II
Cefaclor Oral 0,6-0,9 60-85 Ya
Cefamandole IM, IV 0,5-1,2 100 Ya
Cefmetazole IV 1,2-1,5 85 Ya
Cefonizid IM, IV 3,5-4,5 95-99 Ya
Cefotetan IM, IV 2,8-4,6 60-91 Ya
Cefoxitin IM, IV 0,7-1,0 85 Ya
Cefprozil Oral 1,2-1,4 64 Ya
Cefuroxime IM, IV 1,1-1,3 95 Ya
Cefuroxime Oral 1,1-1,3 52 Ya
Generasi
axetil III
Cefdinir Oral 1,7 18 Ya
Cefepime IM, IV 2,0 70-99 Ya
Cefixime Oral 2,3-3,7 50 Ya
Cefoperazone IM, IV 2,0 20-30 Tidak
Cefotaxime IM, IV 1,0 40-60 Ya
Cefpodoxime Oral 1,9-3,7 40 Ya
Ceftazidime
proxetil IM, IV 1,9 80-90 Ya
Ceftibuten Oral 1,5-2,8 57-75 Ya
Ceftizoxime IM, IV 1,4-1,8 57-100 Ya
Cefriaxone IM, IV 5,8-8,7 33-67 Tidak
Carbapenem
Imipene IM, IV 1,0 50-70 Ya
Metropenem IV 1,0 79 Ya
Monobactam
Aztreonam IM, IV 2,0 75 Ya
Generasi IV
Ceftazidime IM, IV 1,9 NA NA
Cefepime IM 2,0 NA NA

3) Beta-lactam monosiklik
Contoh: Aztreonam.
Aktivitas golongan Monobactam resisten terhadap Beta-lactamase
yang dibawa oleh bakteri Gram-negatif. Aktif terutama terhadap
bakteri Gram-negatif. Aktivitasnya sangat baik terhadap

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 8


RSUD KABUPATEN JOMBANG
Enterobacteriacease, P. aeruginosa, H. influenzae dan kokus gram
positif. Pemberian antimikroba secara parenteral, terdistribusi baik
ke seluruh tubuh, termasuk cairan serebrospinal dengan waktu paruh
1,7 jam dan terekskresi sebagian besar obat diekskresi utuh melalui
urin.
4) Carbapenem
Carbapenem merupakan antimikroba lini ketiga yang
mempunyai aktivitas antimikroba yang lebih luas daripada sebagian
besar Beta-lactam lainnya. Yang termasuk Carbapenem adalah
Impenem, Meropenem dan Doripenem. Carbapenem menghambat
sebagian besar Gram-positif, Gram-negatif dan anaerob. Ketiganya
sangat tahan terhadap Beta-lactamase. Efek samping paling sering
adalah mual dan muntah, dan kejang pada dosis tinggi yang diberi
pada pasien dengan lesi SSP atau dengan insufisiensi ginjal.
Meropenem dan Doripenem mempunyai efikasi serupa Imipenem,
tetapi lebih jarang menyebabkan kejang.
5) InhibitorBeta-lactamase
Inhibitor Beta-lactamse melindungi antimikroba Beta-lactam
dengan cara menginaktivasi Beta-lactamase. Yang termasuk kedalam
golongan ini adalah Clavulanic acid, Sulbactam, dan Tazobactam.
Clavulanic acid merupakan suicide inhibitor yang mengikat
Beta-lactamase dari bakteri Gram-positif dan Gram-negatif secara
irreversible. Obat ini dikombinasi dengan Ticarcillin untuk
pemberian parenteral dan dengan Amoxicillin untuk pemberian oral.
Sulbactam dikombinasi dengan Ampicillin untuk penggunaan
parenteral dan kombinasi ini aktif terhadap kokus Gram-positif,
termasuk S. aureus penghasil Beta-lactamase, aerob Gram-negatif
(tapi tidak terhadap Pseudomonas) dan bakteri anaerob.
Tazobactam dikombinasi dengan Piperacillin untuk
penggunaan parenteral, sehingga waktu paruhnya memanjang dengan
kombinasi ini dan eksresinya melalui ginjal.

b. Bacitracin
Bacitracin adalah kelompok yang terdiri dari antimikroba
polipeptida, yang utama adalah Bacitracin A. Berbagai kokus dan basil
Gram-positif, Neisseria, H. influenzae, dan Treponema pallidum sensitif
terhadap obat ini. Bacitracin tersedia dalam bentuk salep mata dan kulit,
serta bedak untuk topikal. Bacitracin jarang menyebabkan hipersensitivitas.

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 9


RSUD KABUPATEN JOMBANG
Pada beberapa sediaan, sering dikombinasi dengan neomisin dan/atau
polimiksin. Bacitracin bersifat nefrotoksik bila memasuki sirkulasi sistemik.

c. Vancomycin
Vancomycin merupakan antimikroba lini ketiga yang terutama aktif
terhadap bakteri Gram-positif. Vancomycin hanya diindikasikan untuk
infeksi yang disebabkan oleh S. aureus yang resisten terhadap metisilin
(MRSA). Semua basil Gram-negatif dan mikrobakteria resisten terhadap
Vancomycin. Vancomycin diberikan secara intravena dengan waktu paruh
sekitar 6 jam. Efek sampingnya adalah reaksi hipersensitivitas, demam,
flushing dan hipotensi (pada infus cepat), serta gangguan pendengaran dan
nefrotoksisitas pada dosis tinggi.

2. Obat yang Memodifikasi atau Menghambat Sintesis Protein


Obat antimikroba yang termasuk golongan ini adalah Aminoglycoside,
Tetracycline, Chloramphenicol, Macrolide (Erythromycin, Azithromycin, Clari-
tromisin), Clindamyicin, Mupirocin dan Spectinomycin.
a. Aminoglycoside
Obat golongan ini menghambat bakteri aerob Gram-negatif. Obat ini
mempunyai indeks terapi sempit, dengan toksisitas serius pada ginjal dan
pendengaran, khususnya pada pasien anak dan usia lanjut. Efek samping
golongan Aminoglycoside adalah Toksisitas ginjal, ototoksisitas (auditorik
maupun vestibular), blokade neuromuskular (lebih jarang).

Tabel 5. Karakteristik Aminoglycosides


Obat Waktu Paruh Kadar Terapeutik Kadar Toksik
(jam) Serum(µg/ml) Serum(µg/ml)

Streptomycin 2-3 25 50
Neomycin 3 5-10 10
Kanamycin 2,0-2,5 8-16 35
Gentamycin 1,2-5,0 4-10 12
Tobramycin 2,0-3,0 4-8 12
Amikacin 0,8-2,8 8-16 35
Netilmycin 2,0-2,5 0,5-10 16

b. Tetracycline
Antimikroba yang termasuk golongan ini adalah Tetracycline,
Doxycycline, Oxytetracycline, Minocycline dan Chlortetracycline.
Antimikroba golongan ini mempunyai spektrum luas dan dapat
menghambat berbagai bakteri Gram-positif dan Gram-negatif, baik yang

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 10


RSUD KABUPATEN JOMBANG
bersifat aerob maupunanaerob, serta mikroorganisme lain seperti Ricketsia,
Mycoplasma, Chlamydia dan beberapa spesies mikobakteria.

Tabel 6. Beberapa Sifat Tetracycline dan Obat-obat Segolongan


Obat Cara Pemberian Waktu Paruh Ikatan Protein
yang Disukai Serum (jam) Serum (%)

Tetracycline HCl Oral, IV 8 25-60


Chlortetracycline Oral, IV. 6 40-70
Oxytetracycline
HCl Oral,
Oral, IV
IV 9 20-35
Demeclocycline
HCl Oral 12 40-90
Methacycline
HCl HCl Oral 13 75-90
Doxycycline Oral, IV 18 25-90
Minocycline HCl Oral, IV 16 70-75

c. Chloramphenicol
Chloramphenicol adalah antimikroba berspektrum luas, menghambat
bakteri Gram-positif dan negatif aerob dan anaerob, Chlamydia, Ricketsia,
dan Mycoplasma. Chloramphenicol mencegah sintesis proteindengan
berikatan pada subunitribosom 50S.
Efek sampingnya adalah suspresi sumsum tulang, grey baby syndrome,
neuritis optik pada anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan
timbulnya ruam.

d. Macrolide (Erythromycin, Azithromycin, Chlarithromycin, Roxithromycin)


Macrolide aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat
menghambat beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian
besar Gram-negatif aerob resisten terhadap Macrolide, namun Azithromycin
dapat menghambat Salmonela. Azithromycin dan Claritromisin dapat
menghambat H. influenzae, tetapi Azithromycin mempunyai aktivitas
terbesar. Keduanya juga aktif terhadap H. pylori.
Macrolide mempengaruhi sintesis protein bakteri dengan cara
berikatan dengan subunit 50s ribosom bakteri, sehingga menghambat
translokasi peptida.
Erythromycin dalam bentuk basa bebas dapat diinaktivasi oleh asam, sehingga pada
pemberian oral, obat ini dibuat dalam sediaan salut enterik. Erythromycin dalam bentuk
estolat tidak boleh diberikan pada dewasa karena akan menimbulkan liver injury.

1) Azithromycin lebih stabil terhadap asam jika dibanding Erythromycin.


Sekitar 37% dosis diabsorpsi, dan semakin menurun dengan adanya
makanan. Obat ini dapat meningkatkan kadar SGOT dan SGPT pada hati.

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 11


RSUD KABUPATEN JOMBANG
2) Clarithromycin diabsobsi per oral 55% dan meningkat jika diberikan
bersama makanan. Obat ini terdistribusi luas sampai ke paru, hati, sel
fagosis, dan jaringan lunak. Metabolit Clarithromycin mempunyai
aktivitas antibakteri lebih besar daripada obat induk. Sekitar 30% obat
disekresi melalui urin, dan sisanya melalui feses.
3) Roxithromycin mempunyai waktu paruh yanglebih panjang dan
aktivitas yang lebih tinggi melawan H. influenzae. Efek samping yang
paling sering terjadi adalah efek pada saluran cerna, seperti diare,
mual, nyeri abdomen dan muntah. Efek samping yang lebih jarang
termasuk sakit kepala, ruam, nilai fungsi hati yang tidak normal dan
gangguan pada indra penciuman dan pengecap.

e. Clindamyicin
Clindamyicin menghambat sebagian besar kokus Gram-positif dan
sebagian besar bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat bakteri Gram-
negatif aerob seperti Haemophilus, Mycoplasma dan Chlamydia. Efek
samping yang sering terjadi adalah diare dan Enterocolytis
pseudomembranosa.

f. Mupirocin
Mupirocin merupakan obat topikal yang menghambat bakteri Gram-
positif dan beberapa Gram-negatif. Tersedia dalam bentuk krim atau salep
2% untuk penggunaan di kulit (lesi kulit traumatik, impetigo yang terinfeksi
sekunder oleh S. aureus atau S. pyogenes).
Dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk infeksi gonokokus bila
obat lini pertama tidak dapat digunakan. Obat ini tidak efektif untuk infeksi
Gonore faring. Efek samping penggunaannya adalah nyeri lokal, urtikaria,
demam, pusing, mual, dan insomnia.

3. Obat Antimetabolit yang Menghambat Enzim-enzim Esensial dalam


Metabolisme Folat
a. Sulfonamide dan Trimethoprim
Sulfonamide bersifat bakteriostatik. Trimethoprim dalam kombinasi dengan
Sulfametoksazol, mampu menghambat sebagian besar patogen saluran kemih,
kecuali P. aeruginosa dan Neisseria sp. Kombinasi ini menghambat S.
aureus, Staphylococcus koagulase negatif, Streptococcus hemotilicus, H.
influenzae, Neisseria sp, bakteri Gram-negatif aerob (E. coli dan Klebsiella
sp), Enterobacter, Salmonella, Shigella, Yersinia, P. Carinii.

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 12


RSUD KABUPATEN JOMBANG
4. Obat yang Mempengaruhi Sintesis atau Metabolisme Asam Nukleat
a. Quinolone
1) Nalidixic acid
Nalidixic acid menghambat sebagian besar Enterobacteriaceae.
2) Fluoroquinolone
Golongan Fluoroquinolone meliputi Norfloxacin, Ciprofloxacin,
Ofloxacin, Moxifloxacin, Pefloxacin, Levofloxacin dan lain lain.
Fluoroquinolone bisa digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh
Gonokokus, Shigella, E. coli, Salmonella, Haemophilus,
Moraxellacatarrhalis serta Enterobacteriaceae dan P. aeruginosa.

b. Nitrofuran
Nitrofuran meliputi Nitrofurantoin, Furazolidin, dan Nitrofurazon.
Absorpsi melalui saluran cerna 94% dan tidak berubah dengan adanya
makanan. Nitrofuran bisa menghambat Gram-positif dan negatif, termasuk
E. coli, Staphylococcus sp, Klebsiella sp, Enterococcus sp, Neisseria sp,
Salmonella sp, Shigella sp dan Proteus sp.

BAB III
TATA LAKSANA

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 13


RSUD KABUPATEN JOMBANG
3.1. Prinsip Penggunaan Antimikroba
3.1.1 Prinsip Penggunaan Antimikroba Bijak (Prudent)
1. Penggunaan antimikroba bijak yaitu penggunaan antimikroba dengan
spectrum sempit pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat,
interval dan lama pemberian yang tepat.
2. Kebijakan penggunaan antimikroba (antimikroba policy) ditandai dengan
pembatasan penggunaan antimikroba dan mengutamakan penggunaan
antimikroba lini pertama.
3. Pembatasan penggunaan antimikroba dapat dilakukan dengan menerapkan
Panduan Penggunaan Antimikroba Profilaksis dan Terapi dan penerapan
penggunaan antimikroba secara terbatas (restriced).
4. Indikasi ketat penggunaan antimikroba dimulai dengan menegakkan
diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang
lainnya. Antimikroba tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-timited).
5. Pemilihan jenis antimikroba harus berdasar pada:
a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola
kepekaan terhadap antimikroba.
b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi.
c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antimikroba.
d. Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi
dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.
e. Cost effective, obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman.
6. Penerapan penggunaan antimikroba secara bijak dilakukan dengan
beberapa langkah berikut:
a. Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan
antimikroba secara bijak.
b. Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang dengan
penguatan pada laboratorium lain yang berkaitan dengan penyakit infeksi.
c. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten dibidang infeksi.
d. Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim
(teamwork).
e. Membentuk Komite/Tim pengendalian penggunaan antimikroba secara
bijak yang bersifat multi disiplin.
f. Memantau penggunaan antimikroba secara intensif dan
berkesinambungan.

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 14


RSUD KABUPATEN JOMBANG
g. Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antimikroba secara
lebih rinci di tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya dan masyarakat.

3.1.2 Prinsip Penggunaan Antimikroba untuk Terapi Empiris dan Definitif


1. Antimikroba Terapi Empiris
a. Penggunaan antimikroba untuk terapi empiris adalah penggunaan
antimikroba pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri
penyebabnya.
b. Tujuan pemberian antimikroba untuk terapi empiris adalah eradikasi
atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab
infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.
c. Indikasi
Ditemukan sindroma klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri
tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi.
1) Dasar pemilihan jenis dan dosis antimikroba data epidemiologi
dan pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah
sakit setempat.
2) Kondisi klinis pasien.
3) Ketersediaan antimikroba.
4) Kemampuan antimikroba untuk menembus ke dalam jaringan/organ
yang terinfeksi.
5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba
dapat digunakan antimikroba kombinasi.
d. Rute pemberian
Antimikroba oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi
infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan
menggunakan antimikroba parenteral.
e. Lama pemberian
Antimikroba empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam.
Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis
dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya. Evaluasi
penggunaan antimikroba empiris dapat dilakukan seperti pada tabel
berikut :

Tabel 7. Evaluasi Penggunaan Antimikroba Empiris


Hasil Kultur Klinis Sensitivitas Tindak Lanjut

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 15


RSUD KABUPATEN JOMBANG
+ Membaik Sesuai Lakukan sesuai prinsip
“De-eskalasi”
+ Membaik Tidak Evaluasi Diagnosis dan
sesuai Terapi
+ Tetap / Sesuai Evaluasi Diagnosis dan
Memburuk Terapi
+ Tetap / Tidak Evaluasi Diagnosis dan
Memburuk sesuai Terapi
- Membaik 0 Evaluasi Diagnosis dan
Terapi
- Tetap / 0 Evaluasi Diagnosis dan
Memburuk Terapi

2. Antimikroba untuk Terapi Definitif


a. Penggunaan antimikroba untuk terapi definitif adalah penggunaan
antimikroba pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri
penyebab dan pola resistensinya
b. Tujuan pemberian antimikroba untuk terapi definitif adalah eradikasi
atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab
infeksi, berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi.
c. Indikasi sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi.
d. Dasar pemilihan jenis dan dosis antimikroba :
- Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.
- Sensitivitas.
- Biaya.
- Kondisi klinis pasien.
- Diutamakan antimikroba lini pertama/spektrum sempit.
- Ketersediaan antimikroba (sesuai formularium rumah sakit).
- Sesuai dengan Pedoman Praktik Klinik (PPK) dan Panduan
Penggunaan Antimikroba Profilaksis dan Terapi (PPAM).
- Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
e. Rute pemberian
Antimikroba oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi
infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan
penggunaan antimikroba parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan,
pemberian antimikroba parenteral harus segera diganti dengan per oral.
f. Lama pemberian antimikroba definitif berdasarkan pada efikasi klinis
untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi.
Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis
dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 16


RSUD KABUPATEN JOMBANG
3.1.3 Prinsip Penggunaan Antimikroba Profilaksis Pembedahan
Pemberian antimikroba sebelum (30-60 menit sebelum insisi pertama),
saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak
didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
infeksi daerah operasi. Diharapkan pada saat operasi, konsentrasi antimikroba
di jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk
menghambat pertumbuhan bakteri kulit dan lingkungan.
Prinsip penggunaan antimikroba profilaksis selain tepat dalam
pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antimikroba dalam jaringan
saat mulai dan selama operasi berlangsung. Rekomendasi antimikroba yang
digunakan pada profilaksis bedah adalah Antimikroba Golongan Sefalosporin
generasi I dan II dan pada kasus tertentu yang melibatkan bakteri anaerob dapat
ditambahkan Metronidazol. Rekomendasi antimikroba profilaksis di RSUD
Jombang dapat dilihat pada Panduan Penggunaan Antimikroba Profilaksis dan
Terapi RSUD Jombang.
1. Tujuan pemberian antimikroba profilaksis pada kasus pembedahan:
a. Menurunkan dan mencegah kejadian Infeksi Daerah Operasi (IDO).
b. Menurunkan mordibitas dan mortalitas pasca operasi.
c. Menghambat munculnya flora normal resisten antimikroba.
d. Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan.
2. Indikasi penggunaan antimikroba profilaksis ditentukan berdasarkan kelas
operasi, yaitu operasi bersih dan bersih terkontaminasi.
3. Dasar pemilihan jenis antimikroba untuk tujuan profilaksis:
a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada
kasus bersangkutan (EMPIRIS).
b. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri.
c. Toksisitas rendah.
d. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi.
e. Bersifat bakterisidal.
f. Harga terjangkau.
4. Rute pemberian
a. Antimikroba profilaksis diberikan secara intravena.
b. Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian
antimikroba intravena drip.

5. Waktu pemberian

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 17


RSUD KABUPATEN JOMBANG
Antimikroba profilaksis diberikan ≤ 30 sampai maksimal 60 menit sebelum
insisi kulit.
6. Dosis pemberian
Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam
jaringan dengan baik, maka diperlukan antimikroba dengan dosis yang
cukup tinggi. Pada jaringan target operasi kadar antimikroba harus mencapai
kadar hambat minimal 2 kali kadar terapi.
7. Lama pemberian
Durasi pemberian adalah dosis tunggal.Dosis ulangan dapat diberikan atas
indikasi perdarahan lebih dari 1500 ml atau operasi berlangsung lebih dari 3
jam
8. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya IDO, antara lain:
a. Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification)
b. Skor ASA (American Society of Anesthesiologist)
c. Lama rawat inap sebelum operasi
Lama rawat inap 3 hari atau lebih sebelum operasi akan
meningkatkan kejadian IDO.
d. Ko-morbiditas (DM, hipertensi, hipertiroid, gagal ginjal, lupus, dll)
e. Indeks Risiko
Dua komorbiditas (skor ASA> 2)dan lama operasi dapat diperhitungkan
sebagai indeks risiko.
f. Pemasangan implant
Pemasangan implan pada setiap tindakan bedah dapat meningkatkan
kejadian IDO.

Tabel 8. Kelas Operasi dan Penggunaan Antimikroba


Kelas Operasi Definisi Penggunaan Antimikroba

Operasi Bersih Operasi yang dilakukan pada Kelas operasi bersih


daerah dengan kondisi pra terencana umumnya tidak
bedah tanpa infeksi, tanpa memerlukan antimikroba
membuka traktus (respirato- profilaksis kecuali pada
rius, gastrointestinal, urina- beberapa jenis operasi
rius, bilier), operasi terencana misalnya mata, jantung,
atau penutupan kulit primer dan sendi).
dengan atau tanpa digunakan
drain tertutup.

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 18


RSUD KABUPATEN JOMBANG
Operasi Bersih Operasi yang dilakukan Pemberian antimikroba
Terkontaminasi pada traktus (digestivus, profilaksis pada kelas
bilier, urinarius, respiratorius, operasi bersih kontami-
reproduksi kecuali ovarium) nasi perlu dipertimbang-
atau operasi tanpa disertai kan manfaat dan
kontaminasi yang nyata. risikonya karena bukti
ilmiah mengenai efek-
tivitas antimikroba pro-
filaksis belum di-
temukan.

OperasiTerkon Operasi yang dilakukan Kelas operasi konta-


taminasi dengan membuka saluran minasi memerlukan anti-
cerna, saluran empedu, mikroba terapi (bukan
saluran kemih, saluran napas profilaksis).
sampai orofaring, saluran
reproduksi kecuali ovarium
atau operasi yang tanpa
pencemaran nyata (Gross
Spillage).

Operasi Kotor Adalah operasi pada Kelas operasi kotor


perforasi saluran cerna, memerlukan antimikroba
saluran urogenital atau terapi.
saluran napas yang terinfeksi
ataupun operasi yang me-
libatkan daerah yang purulen
(inflamasi bakterial). Dapat
pula operasi pada luka
terbuka lebih dari 4 jam
setelah kejadian atau terdapat
jaringan nonvital yang luas
atau nyata kotor.

Tabel 9. Presentase Kemungkinan IDO Berdasarkan Kelas Operasi dan Indeks Risiko
Indeks Ratio
Kelas Operasi
0 1 2
Bersih 1,0% 2,3% 5,4%
Bersih
2,1% 4,0% 9,5%
Terkontaminasi
Kontaminasi/Kotor 3,4% 6,8% 13,2%

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 19


RSUD KABUPATEN JOMBANG
Tabel 10. Pembagian Status Fisik Pasien Berdasarkan Skor ASA

Skor ASA Status Fisik


1 Normal dan sehat

2 Kelainan sistemik ringan

3 Kelainan sistemik berat, aktivitas terbatas

4 Kelainan sistemik berat yang sedang menjalani


pengobatan untuk life support

5 Keadaan sangat kritis, tidak memiliki harapan hidup,


diperkirakan hanya bisabertahan sekitar 24 jam dengan
atau tanpa operasi.

3.1.4 Penggunaan Antimikroba Kombinasi


1. Antimikroba kombinasiadalah pemberian antimikroba lebih dari satu jenis
untukmengatasi infeksi.
2. Tujuan pemberian antimikroba kombinasi adalah :
a. Meningkatkan aktivitas antimikroba pada infeksi spesifik (Efek
sinergis).
b. Memperlambat dan mengurangi risiko timbulnya bakteri resisten.
3. Indikasi penggunaan antimikroba kombinasi
a. Infeksi disebabkan oleh lebih dari satu bakteri (polibakteri).
b. Abses intraabdominal, hepatik, otak dan saluran genital (infeksi
campuran aerob dan anaerob).
c. Terapi empiris pada infeksi berat.

4. Hal-hal yang perlu perhatian


a. Kombinasiantimikroba yang bekerja padatarget yang berbeda
dapatmeningkatkan atau mengganggu keseluruhan aktivitas
antimikroba.
b. Suatu kombinasi antimikroba dapat memiliki toksisitas yang bersifat
aditif atau superaditif.
Contoh: Vancomycin secara tunggal memiliki efek nefrotoksikminimal,
tetapi pemberian bersama Aminoglycoside dapat meningkatkan
toksisitasnya.
c. Diperlukan pengetahuan jenis infeksi, data mikrobiologi dan
antimikroba untuk mendapatkan kombinasi rasional dengan hasil
efektif.
d. Hindari penggunaan kombinasi antimikroba untuk terapi empiris jangka
lama.

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 20


RSUD KABUPATEN JOMBANG
e. Pertimbangkan peningkatan biaya pengobatan pasien.

3.1.5 Pertimbangan Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antimikroba


Farmakokinetik (Pharmacokinetic, PK)membahas tentang perjalanan
kadar antimikroba didalam tubuh, sedangkan farmakodinamik (pharmaco-
dynamic, PD) membahas tentang hubungan antara kadar-kadar tersebut dan
efek antimikrobanya. Dosis antimikroba dulunya hanya ditentukan oleh
parameter PK saja. Namun, ternyata PD juga memainkan peran yang sama
atau bahkan lebih penting. Pada abad resistensi antimikroba yang terus
meningkat ini, PD bahkan menjadi lebih penting lagi, karena perameter
parameter ini bisa digunakan untuk mendesain rejimen dosis yang melawan
atau mencegah resistensi. Jika walaupun efikasi klinis dan keamanan masih
menjadi standar emas untuk membandingkan antimikroba, ukuran farmako-
kinetik dan farmakodinamik telah semakin sering digunakan. Beberapa
ukuran PK dan PD lebih prediktif terhadap efikasi klinis.
Ukuran utama aktivitas antimikroba adalah Kadar Hambat Minimum
(KHM). KHM adalah kadar terendah antimikroba yang secara sempurna
menghambat pertumbuhan suatu mikroorganisme secara in vitro. Walaupun
KHM adalah indikator yang baik untuk potensi suatu antimikroba, KHM tidak
menunjukkan apa-apa tentang perjalanan waktu aktivitas antimikroba.
Parameter-parameter farmakokinetik menghitung perjalanan kadar
serum antimikroba. Terdapat 3 parameter farmakokinetik yang paling
penting untuk mengevaluasi efikasi antimikroba, yaitu kadar puncak serum
(Cmax), kadar minimum (Cmin), dan area under curve (AUC) pada kurva
kadar serum vs waktu. Walaupun parameter-parameter ini mengkuantifikasi
perjalanan kadar serum, parameter-parameter tersebut tidak mendeskripsikan
aktivitas bakterisidal suatu antimikroba.
Aktivitas antimikroba dapat dikuantifikasi dengan menginter-
gritasikan parameter-parameter PK/PD dengan KHM. Parameter tersebut
yaitu: rasio kadar puncak/KHM, waktu>KHM dan rasio AUC-24 jam/KHM.

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 21


RSUD KABUPATEN JOMBANG
Gambar 1. Parameter Farmakokinetik/Farmakodinamik
Tiga sifat farmakodinamik antimikroba yang paling baik untuk
menjelaskanaktivitas bakterisidal adalah time-depence, concentration-depence,
dan efek persisten. Kecepatan bakterisidal ditentukan oleh panjang waktu
yang diperlukan untuk membunuh bakteri (Time-depence) atau efek
meningkatkan kadarobat (Concentration-depence). Efek persisten mencakup
Post-Antimikroba Effect (PAE). PAE adalah supresi pertumbuhan bakteri
secara persisten sesudah paparan antimikroba.

Tabel 11. Pola Aktivitas Antimikroba berdasarkan parameter PK/PD


Pola Aktivitas Antimikroba Tujuan Terapi Parameter PK/PD

Tipe I Aminoglycoside Memaksimalkan -Rasio AUC-


Fluoroquinolone kadar 24jam/KHM
Bakterisidal
Concentration - Rasio kadar
dependence dan puncak/KHM
Efek persisten yang
lama

Tipe II Carbapenem Memkasimalkan Waktu>KHM


Cephalosporin durasi paparan
Bakterisidal Erythromycin
Timedependence Linezolid
dan Efek persisten
minimal Penicillin

Tipe III Azithromycin Memaksimalkan Rasio AUC-


Clindamyicin jumlah obat yang 24jam/KHM
Bakterisdial Tetracycline masuk sirkulasi
Time dependence
dan Efek persisten Vancomycin sistemik
sedang sampai
lama

Pada antimikroba tipe I, rejimen dosis yang ideal adalah


memaksimalkan kadar, semakin ekstensif dan cepat tingkat bakterisidalnya.
Karena itu, rasio AUC 24 jam/KHM dan rasio kadar puncak/KHM
merupakan prediktor efikasi antimikroba yang penting. Pada Aminoglikoside
efek optimal dicapai bila rasio kadar puncak / KHM minimal 8-10 untuk
mencegah resistensi. Pada Fluoroquinolone vs bakteri Gram-negatif, rasio
AUC 24 jam/KHM optimal adalah sekitar 125.

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 22


RSUD KABUPATEN JOMBANG
Gambar 2. Pola Aktivitas Antimikroba berdasarkan Profil PK/PD

Antimikroba tipe II menunjukkan sifat yang sama sekali berlawanan.


Rejimen dosis ideal untuk antimikroba ini diperoleh dengan memaksimalkan
durasi paparan. Parameter yang paling berkorelasi dengan efikasi adalah
apabila waktu (t) di atas KHM. Pada Beta-lactam dan Erythromycin, efek
bakterisidal maksimum diperoleh bila waktu di atas KHM minimal 70% dari
interval dosis.
Antimikroba tipe III memiliki sifat campuran, yaitu tergantung waktu
dan efek persisten yang sedang. Rejimen dosis ideal untuk antimikroba ini
diperoleh dengan memaksimalkan jumlah obat yang masuk dalam sirkulasi
sistemik. Efikasi obat ditentukan oleh rasio AUC 24 jam/KHM. Pada
Vancomycin, diperlukan rasio AUC24 jam/KHM minimal 125.

3.2. Penggunaan Antimikroba


3.2.1. Antimikroba Profilaksis Untuk Berbagai Kondisi Medis
1. Profilaksis pada demam rematik
Demam rematik adalah penyakit sistemik yang biasa terjadi sesudah faringitis
akibat Streptococcus beta-haemoliticus grup A. Tujuan pemberian antimikroba
profilaksis pada kondisi ini adalah untuk mencegah terjadinya penyakit jantung
rematik.
Panduan penggunaan antimikroba profilaksis untuk demam rematik rekuren:
- Individu yang berisiko mengalami peningkatan paparan terhadap infeksi
Streptococcus adalah anak-anak dan remaja, orang tua yang mempunyai anak-
anak balita, guru, dokter, perawat dan tenaga kesehatan yang kontak dengan
anak, militer dan orang-orang yang hidup dalam situasi berdesakan (misalnya
asrama kampus).

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 23


RSUD KABUPATEN JOMBANG
- Individu yang pernah menderita serangan demam rematik sangat berisiko
tinggi untuk mengalami rekurensi sesudah faringitis Streptococcus beta-
hemoliticus grup A dan memerlukan antimikroba profilaksis kontinu untuk
mencegah rekurensi ini (pencegahan sekunder).
- Profilaksis kontinu dianjurkan untuk pasien dengan riwayat pasti demam
rematik dan yang dengan bukti definitive penyakit jantung rematik.
- Profilaksis harus dimulai sesegera mungkin begitu demam rematik akut atau
penyakit jantung rematik didiagnosis. Satu course lengkap penisilin harus
diberikan pada pasien dengan demam rematik akut untuk mengeradikasi
Streptococcus beta-haemoliticus grup A residual, meskipun kultur usap
tenggorokan negatif.
- Infeksi Streptococcus yang terjadi pada anggota keluarga pasien dengan
demam rematik saat ini atau mempunyai riwayat demam rematik harus segera
diterapi.
Pilihan rejimen untuk pencegahan demam rematik rekuren dapat dilihat pada
Panduan Penggunaan Antimikroba Profilaksis dan Terapi RSUD Jombang.

2. Profilaksis pada Endokarditis


Endokarditis adalah infeksi permukaan endokardium jantung, yang bisa mengenai
satu katup jantung atau lebih, endokardium otot, atau defek septum. Panduan
untuk terapi profilaksis terhadap endokarditis :
a. Kondisi penyakit jantung yang berisiko tinggi untuk terjadi endokarditis
infeksiosa, dianjurkan diberikan profilaksis:
- Katup jantung prostetik
- Riwayat menderita endokarditis infeksiosa sebelumnya
- Penyakit jantung kongenital
- Penerima transplantasi jantung yang mengalami valvulopati jantung.
b. Profilaksis dianjurkan untuk semua prosedur gigi yang melibatkan manipulasi
jaringan gingiva atau daerah periapikal gigi atau perforasi mukosa mulut.
c. Prosedur berikut ini tidak memerlukan profilaksis : injeksi anestetik rutin
menembus jaringan yang tidak terinfeksi, foto rontgen gigi, pemasangan piranti
prostodontik atau ortodontik yang bisa dilepas, penyesuaian piranti ortodontik,
pemasangan bracket ortodontik, pencabutan gigi primer, dan perdarahan karena
trauma pada bibir atau mukosa mulut.
d. Profilaksis dianjurkan untuk prosedur pada saluran napas atau kulit, struktur
kulit atau jaringan muskulo skeletal yang terinfeksi, hanya bagi pasien dengan
kondisi penyakit jantung yang berisiko tinggi terjadi endokarditis infeksiosa.

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 24


RSUD KABUPATEN JOMBANG
Pilihan rejimen dapat dilihat pada Panduan Penggunaan Antimikroba
Profilaksis dan Terapi RSUD Jombang.

3. Profilaksis pada meningitis


Meningitis adalah sindrom yang ditandai oleh inflamasi meningen. Tergantung
pada durasinya, meningitis bisa terjadi secara akut dan kronis. Mikroba penyebab
meningitis adalah Streptococcus pneumoniae, N. meningitidis, H. influenzae, L.
monocytogenes, S. agalactiae, basil Gram negatif, Staphylococcus sp, virus, parasit
dan jamur. Tujuan kemo profilaksis: mencegah meningitis akibat kontak dengan
pasein. Profilaksis meningitis meningococcus dan H.influenzae harus disarankan
pada orang yang kontak erat dengan pasien, tanpa memperhatikan status vaksinasi.
Profilaksis harus ditawarkan pada individu dengan kriteria berikut:
- Kontak erat yang lama dengan individu meningitis (paling sedikit selama 7
hari).
- Kontak pada tempat penitipan anak.
- Kontak erat sementara dengan pasien, terpapar sekret pasien (misalnya melalui
kontak mulut, intubasi endotrakhea atau manajemen ETT) di sekitar waktu
masuk rumah sakit.
Pilihan rejimen untuk meningitis dapat dilihat pada Panduan Antimikroba
Profilaksis dan Terapi RSUD Jombang.

4. Profilaksis pada korban pemerkosaan


Infeksi tersering pada wanita korban perkosaan adalah Trikomoniasis, bacterial
vaginosis , gonore dan infeksi Klamidia. Pemeriksaan pasca perkosaan sebaiknya
dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab infeksi lain (misal klamidia dan
gonokokus) karena berpotensi untuk terjadi infeksi asendens. Terapi pencegahan
rutin dianjurkan sesudah terjadi perkosaan karena follow-up korban sulit. Profilaksis
yang dianjurkan sebagai terapi preventif adalah:
a. Vaksinasi hepatitis B post paparan, tanpa HBIg dapat melindungi dari infeksi
hepatitis B. Vaksinasi hepatitis B harus diberikan pada korban saat
pemeriksaan awal bila mereka belum pernah divaksinasi. Dosis follow-up harus
diberikan1-2 dan 4-6 bulan sesudah dosis pertama.
b. Terapi antimikroba empirik untuk Chlamydia sp, Gonorrhoea sp, Trichomonas
sp dan Bacterial vaginosis. Antimikroba yang dianjurkan adalah Ceftriakson
125mg IM dosis tunggal dan metronidazol 2 g peroral dosis tunggal dan
Azitromicin 1 g peroral dosis tunggal atau Doksisiklin 100 mg 2x/hari peroral
selama 7 hari.
c. Apabila ada risiko terkena HIV, konsultasikan dengan spesialis terapi HIV.

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 25


RSUD KABUPATEN JOMBANG
3.2.2. Penggunaan Antimikroba Pada Kelompok Khusus
a. Penggunaan Antimikroba Pada Anak
Perhitungan dosis antimikroba berdasarkan per kilogram berat badan ideal sesuai
dengan usia dan PPK (Panduan Praktek Klinis) KSM Anak dan Panduan
Penggunaan Antimikroba Profilaksis dan Terapi RSUD Jombang.

Tabel 12. Daftar Antmikroba yang tidak boleh diberikan pada anak

Nama Obat Kelompok Usia Alasan


Ciprofloxacin Kurang dari 12 tahun Merusak tulang rawan

Kurang dari 4 tahun atau Diskolorisasi gigi, gangguan


Tetrasiklin
pada dosis tinggi pertumbuhan tulang

Tidak ada data efektifitas dan


Cotrimoxazole Kurang dari 2 bulan
keamanan

Menyebabkan grey baby


Kloramphenicol Neonatus
syndrom

Menyebabkan grey baby


Tiamphenicol Neonatus
syndrom

Lincomisin HCl Neonatus Fatal toxic syndrome

Piperasiklin- Tidak ada data efektifitas dan


Neonatus
Tazobactam keamanan

Azitromycin Neonatus Tidak ada data keamanan

Anak kurang dari 18


Tygecyclin Tidak ada data keamanan
tahun

Spiramicin Neonatus dan bayi Tidak ada data keamanan

b. Penggunaan antimikroba pada wanita hamil dan menyusui


Tidak direkomendasikan pemberian antimikroba pada trimester pertama
kehamilan kecuali dengan indikasi kuat.
Tabel 13. Daftar Antimikroba Menurut Kategori Keamanan untuk Ibu
Hamil (FDA-USA)

Kategori
A B C D X
(Hanya Amphoterisin Basitracin Aminoglikosida Metronidazol
vitamin) B (trimester I)
Azitromicin Kuinolon Doksisiklin
Aztreonam Claritromicin Minosiklin
Betalaktam Cotrimoxazol Tigecyclin
Clindamisin Imipenem Tetrasiklin

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 26


RSUD KABUPATEN JOMBANG
Carbamenem INH
Eritromicin Linezolid
Fosfomicin Paramomicin
Metronidazol Pirazinamid
Spiramicin
Sulfametoxazol
Rifampicin
Vamcomycin

Tabel 14. Daftar Antimikroba yang Perlu Dihindari Pada Wanita Menyusui
Nama Pengaruh terhadap ASI Anjuran
Antimikroba dan Bayi
Kloramphenicol Toksisitas sumsum tulang Hentikan selama menyusui
pada bayi

Clindamycin Pendarahan gastrointestinal Hentikan selama menyusui

Cloksasilin Diare Awasi terjadinya diare

Metronidazol Data preklinik menunjukan Hentikan selama menyusui


efek karsinogenik

Pentoksifilin Eksresi dalam ASI Hindari selama menyusui

Ciprofloxacin Eksresi dalam ASI Hindari selama menyusui

Cotrimoxazol Hiperbilirubinemia atau Hindari pada bayi sakit, stres,


defisiensi G6PD prematur, hiperbilirubinemia
dan defisiensi G6PD

c. Penggunaan antimikroba pada usia lanjut


- Pada penderita usia lanjut (>65tahun) sudah dianggap mempunyai mild renal
impairement (gangguan fungsi ginjal ringan) sehingga penggunaan
antimikroba untuk dosis pemeliharaan perlu diturunkan atau diperpanjang
interval pemberiannya.
- Komorbiditas pada usia lanjut yang sering menggunakan berbagai jenis obat
memerlukan pertimbangan terjadinya interaksi dengan antimikroba.
- Terapi antimikroba empiris pada pasien usia lanjut perlu segera dikonfirmasi
dengan pemeriksaan mikrobiologi dan penunjang yang lain.
d. Penggunaan antimikroba pada insuficeinsi ginjal
- Pada gangguan fungsi ginjal dosis antimikroba disesuaikan dengan bersihan
kreatinin (creatinine clearance). Dosis obat penting untuk obat dengan rasio
toksik-terapetik yang sempit, atau yang sedang menderita penyakit ginjal.
- Pada umumnya dengan bersihan kreatinin 40-60ml/menit dosis pemeliharaan
diturunkan dengan 50%. Bila bersihan kreatinin 10-40ml/menit selain turun

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 27


RSUD KABUPATEN JOMBANG
50% perlu juga memperpanjang jarak pemberian dua kali lipat. Usahakan
menghindari obat yang bersifat nefrotoksis.

Tabel 15. Daftar Antimikroba dengan Eliminasi Utama Melalui Ginjal dan
Memerlukan Penyesuaian Dosis
Sebagian Besar B-Lactam Fosfomicin
Aminoglikosida Nitofurantoin
TMP-SMX Tetrasiklin
Monobactam Carbapenem
Ciprofloksasin Polimiksin B
Levofloxasin Colistin
Vancomicin Daptomicin

e. Penggunaan antimikroba pada insufisiensi hati


Pada gangguan fungsi hati kesulitan yang dijumpai adalah tidak tersedia
pengukuran tepat untuk evaluasi fungsi hati. Dalam praktik sehari-hari penilaian
klinik akan menentukan. Gangguan hati yang ringan atau sedang tidak perlu
penyesuaian antimikroba. Gangguan fungsi hati yang berat membutuhkan
penyesuaian dan pada umumnya sebesar 50% dari dosis biasa atau dipilih
antimikroba dengan eliminasi non hepatik dan tidak hepatotoksik.

Tabel 16. Daftar antimikroba dengan Eliminasi Utama Melalui Hepatobilier


yang Memerlukan Penyesuaian Dosis
Kloramphenicol Linezolid
Cefoperazon INH/Ethambutol/Rifampicin
Doksisiklin Pirazinamid
Minosiklin Clindamicin
Moksifloksasin Metronidazol
Makrolida Tigecyclin

3.3. Hipersensitivitas Antimikroba


Hipersensitivitas antimikroba merupakan suatu keadaan yang mungkin
dijumpai pada penggunaan antimikroba, antara lain berupa pruritus-urtikaria hingga
reaksi anafilaksis. Profesi medik wajib mewaspadai kemungkinan terjadi kerentanan
terhadap antimikroba yang digunakan pada penderita. Anafilaksis jarang terjadi tetapi
bila terjadi dapat berakibat fatal. Dua pertiga kematian akibat anafilaksis umumnya
terjadi karena obstruksi saluran napas.

Jenis hipersensitivitas akibat antimikroba:


a. Hipersensitivitas Tipe Cepat
Keadaan ini juga dikenal sebagai immediate hypersensitivity. Gambaran klinik
ditandai oleh sesak napas karena kejang di laring dan bronkus, urtikaria,

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 28


RSUD KABUPATEN JOMBANG
angioedema, hipotensi dan kehilangan kesadaran. Reaksi ini dapat terjadi
beberapa menit setelah suntikan Penicillin.
b. Hipersensitivitas Perantara Antibodi (Antibody Mediated Type II Hypersensitivity)
Manifestasi klinis pada umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia, granulositopenia. Tipe reaksi ini juga dikenal sebagai
reaksi sitotoksik. Sebagai contoh, Chloramphenicol dapat menyebabkan
granulositopeni, obat Beta-lactam dapat menyebabkan anemia hemolitik autoimun,
sedangkan Penicillin antipseudomonas dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan
pada agregasi trombosit.
c. Immune Hypersensitivity-complex Mediated (Tipe III)
Manifestasi klinis dari hipersensitivitas tipe III ini dapat berupa eritema, urtikaria
dan angioedema. Dapat disertai demam, artralgia dan adenopati. Gejala dapat
timbul 1-3 minggu setelah pemberian obat pertama kali, bila sudah pernah reaksi
dapat timbul dalam 5 hari. Gangguan seperti SLE, neuritis optik,
glomerulonefritis, dan vaskulitis juga termasuk dalam kelompok ini.
d. Delayed Type Hypersensitivy
Hipersensitivitas tipe ini terjadi pada pemakaian obat topikal jangka lama
seperti sulfa atau Penicillin dan dikenal sebagai kontak dermatitis.Reaksi paru
seperti sesak, batuk dan efusi dapat disebabkan nitrofurantoin. Hepatitis
(karena Isoniazid), nefritis interstisial (karena antimikrobaBeta-lactam) dan
ensefalopati (karena Chlarithromycin) yang reversibel pernah dilaporkan.
Pencegahan Anafilaksis :
1. Selalu sediakan obat/alat untuk mengatasi keadaan darurat.
2. Diagnosa dapat diusahakan melalui wawancara untuk mengetahui riwayat
alergi obat sebelumnya dan uji kulit (khusus untuk Penicillin). Uji kulit
tempel (patcht test) dapat menentukan reaksi tipe I dan obat yang diberi topikal
(tipe IV).
3. Radio Allergo Sorbent Test (RAST) adalah pemeriksaan yang dapat
menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai antigen, juga tersedia
dalam bentuk panil. Disamping itu untuk reaksi tipe II dapat digunakan test
Coombs indirek dan untuk reaksi tipe III dapat diketahui dengan adanya IgG
atau IgM terhadap obat.
4. Penderita perlu menunggu 20 menit setelah mendapat terapi parenteral
antimikrobauntuk mengantisipasi timbulnya reaksi hipersensitivitas tipe I.
5. Tatalaksana Anafilaksis dapat dilihat di ‘SPO Penanganan Reaksi
Shock Anafilaktik’

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 29


RSUD KABUPATEN JOMBANG
3.4. Upaya Meningkatkan Mutu Penggunaan Antimikroba
1. Prinsip penetapan dosis, interval, rute, waktu dan lama pemberian (rejimen dosis).
a. Dokter menulis di rekam medik secara jelas, lengkap dan benar
tentangregimen dosis pemberian antimikroba, dan instruksi tersebut juga
ditulis di Catatan Pemberian Antimikroba (CPA).
b. Dokter menulis resep antimikroba sesuai ketentuan yang berlaku,
farmasis/apoteker mengkaji kelengkapan resep serta dosis rejimennya.
c. Apoteker mengkaji ulang kesesuaian instruksi pengobatandi CPA denganrekam
medik dan menulis informasi yang perlu disampaikan kepada
dokter/perawat/tenaga medis lain terkait penggunaan antimikroba tersebut dam
memberi paraf pada CPA.
d. Tenaga Teknis Kefarmasian atau Apoteker menyiapkan antimikroba yang
dibutuhkan yang dibutuhkan secaraUnit Dose Dispensing (UDD) ataupun
secara aseptic dispensing (pencampuran sediaan parenteral secara aseptis). Obat
yang sudah disiapkan oleh Instalasi Farmasi diserahkan kepada perawat ruangan.
e. Perawat yang memberikan antimikroba kepada pasien (sediaan perenteral/non
parenteral/oral) harus mencatat jam pemberian antimikroba yang sudah
ditemtukan/disepakati.
f. Antimikroba parenteral dapat diganti per oral, apabila setelah 24-48 jam:
1) Kondisi klinis pasien membaik.
2) Tidak ada gangguan fungsi pencernaan (muntah, malabsorpsi, gangguan
menelan, diare berat).
3) Kesadaran baik.
4) Tidak demam (suhu > 36°C dan < 38°C), disertai tidak lebih dari satu
kriteria berikut:
a. Nadi > 90 kali/menit
b. Pernapasan > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
c. Tekanan darah tidak stabil
d. Leukosit < 4.000 sel/dl atau >12.000 sel/dl (tidak ada neutropeni)

2. Monitoring efekstivitas dan efek samping antimikroba


a. Monitoring Efektivitas
1) Dokter, apoteker dan spesialis mikrobiologi klinik melakukan pemantauan
terapi antimikroba setiap 48-72 jam, dengan memperhatikan kondisi
klinis pasien dan data penunjang yang ada.
2) Apabila setelah pemberian antimikroba selama 72 jam tidak ada
perbaikan kondisi klinis pasien, maka perlu dilakukan evaluasi ulang
tentang diagnosis klinis pasien dan dapat dilakukan diskusi dengan

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 30


RSUD KABUPATEN JOMBANG
Komite Pengendalan Resistensi Rumah Sakit untuk mencarikan solusi
masalah tersebut.
b. Monitoring efek samping/Adverse Drug Reactions (ESO/ADRs) Dokter,
apoteker, perawat dan spesialis mikrobiologi klinik melakukan pemantauan
secara rutin kemungkinan terjadi ESO/ADRs terkait antimikroba yang
digunakan pasien.
1) Pemantauan ESO/ADRs dilakukan dengan mengkaji kondisi klinik pasien,
data laboratorium serta data penunjang lain.
2) Jika terjadi ESO/ADRs dapat dilakukan ke Pusat MESO Nasional,
menggunakan form MESO.
3) Pelaporan ESO/ADRs dapat dilakukam oleh dokter, apoteker maupun
perawat dan sebaiknya di bawah koordinasi Komite Farmasi dan Terapi
yang ada di rumah sakit.
4) ESO/ADRs antimikroba yang perlu diwaspadai antara lain adalah
a) Efek samping/ADRs akibat penggunaan antimikroba yang perlu
diwaspadai seperti syok anafilaksis, Steven Johnson’s Syndrome atau
toxic epidermal necrolysis (TEN). Antimikroba yang perlu
diwaspadai penggunaannya terkait kemungkinan terjadinya Steven
Johnson’s Syndrome atau toxic epidermal necrolysis (TEN) adalah
golongan sulfonamide (Cotrimoxazole), Penicillin/Ampicillin,
Cephalosporin, Quinolone, Rifampisin, Tetracycline dan Erythromycin.
b) Penggunaan penggunaan Chloramphenicol perlu diwaspadai terkait
efek samping yang mungkin terjadi pada sistem hematologi (serious
and fatal blood dyscrasias seperti anemi aplastik, anemia hipoplastik,
trombositopenia, dan granulositopenia).
c) Penggunaan antimikroba golongan Aminoglycosida dapat
menyebabkan efek samping nefrotoksisitas dan ototoksisitas.
d) Penggunaan Vancomycin perlu diwaspadai kemungkinan
terjadiefeksamping Redman’s syndrome karena pemberian injeksi
yang terlalu cepat, sehingga harus diberikan secara drip minimal selama
60 menit.

3. Interaksi antimikroba dengan obat lain


a. Apoteker mengkaji kemungkinan interaksi antimikroba dengan obat lain/larutan
infus/makanan-minuman. Pemberian antimikroba juga dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan laboratorium.
b. Apoteker dapat memberikan rekomendasi kepada dokter/perawat/pasien terkai
dengan masalah interaksi yang ditemukan.

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 31


RSUD KABUPATEN JOMBANG
4. Pemberian informasi dan konseling
1) Pelayanan informasi obat (PIO)
a. Apoteker dapat memberikan informasi kepada dokter/perawat tentang
antimikroba parenteral/non parenteral maupun topical yang digunakan
pasien.
b. Informasi yang diberikan antara lain adalah tentang regimen dosis,
rekonstruksi, pengeceran/pencampuran antimikroba dengan larutan infus.
Pencampuran antimikroba dengan larutan infus memerlukan pengetahuan
tentang kompatibilitas dan stabilitas. Penyimpanan obat sediaan asli/yang
sudah direkonstitusi awal/dalam larutan infus juga memerlukan kondisi
tertentu.
c. Pemberian informasi oleh farmasis/apoteker dapat dilakukan secara lisan
maupun tertulis. Informasi tertulis tentang antimikroba dibuat oleh Unit
Pelayanan Informasi Obat (PIO) Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
2) Konseling
a. Konseling terutama ditujukan untuk meningkatkan kepatuhan pasien
menggunakan antimikroba sesuai instruksi dokter dan untuk mencegah timbul
resistensi bakteri serta meningkatkan kewaspadaan pasien/keluarganya
terhadap efek samping/adverse drug reactions (ADRs) yang mungkin
terjadi, dalam rangka menunjang pelaksanaan program patient safety di
rumah sakit.
b. Konseling tentang penggunaan antimikroba dapat diberikan pada
pasein/keluarganya di rawat jalan maupun rawat inap.
c. Konseling pasien rawat jalan dilakukan secara aktif oleh apoteker kepada
semua pasien yang mendapat antimikroba oral maupun topikal.
d. Konseling pasien rawat jalan sebaiknya dilakukan di ruang konseling
khusus obat yang ada di apotik, untuk menjamin privacy pasien dan
memudahkan farmasis/apoteker untuk menilai kemampuan
pasien/keluarganya menerima informasi yang telah disampaikan.
e. Konseling pada pasien rawat inap dilakukan secara aktif oleh
farmasis/apoteker kepada pasien/keluarganya yang mendapat antimikroba oral
maupun topikal, dapat dilakukan pada saat pasien masih dirawat (bed-side
counseling) maupun pada saat pasien akan pulang (discharge
counseling).
f. Konseling sebaiknya dilakukan dengan metode show and tell, dapat
disertai dengan pemberian informasi tertulis berupa leaflet dan lain-lain.

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 32


RSUD KABUPATEN JOMBANG
BAB IV
DOKUMENTASI

4.1 Evaluasi Penggunaan Antimikroba


Evaluasi penggunaan antimikroba dilakukan bertujuan untuk :
- Mengetahui jumlah penggunaan antimikroba di rumah sakit
- Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antimikroba di Rumah Sakit
- Sebagai dasar dalam menetapkan surveilans penggunaan antimikroba di Rumah Sakit
secara sistematik dan standar
- Sebagai indikator kualitas layanan rumah sakit.
Evaluasi penggunaan antimikroba dapat dilakukan secara kuantitatif maupun
kualitatif. Evaluasi secara kuantitatif dapat dilakukan dengan perhitungan DDD untuk
mengevaluasi jenis dan jumlah antimikroba yang digunakan. Sedangkan evaluasi secara
kualitatif dapat dilakukan antara lain dengan metode Gyssens, untuk mengevaluasi
ketepatan penggunaan antimikroba.

4.1.1 Evaluasi Kuantitas Penggunaan Antimikroba


Parameter perhitungan kuantitas antimikroba adalah a) Persentase pasien yang
mendapatkan terapi antimikroba selama rawat inap di Rumah Sakit dan b) Jumlah
penggunaan antimikroba yang dinyatakan sebagi dosis harian ditetapkan dengan
Defined Daily Doses (DDD)/100 patient days. Kuantitas penggunaan antimikroba
adalah jumlah penggunaan antimikroba di Rumah Sakit yang dapat diukur secara
retrospektif dan prospektif melalui studi validasi. Evaluasi penggunaan antmikroba
secara retrospektif dapat dilakukan dengan memperhatikan ATC/DDD (Anatomical
Therapheutic Chemical/Defined Daily Dose). DDD adalah asumsi dosis rata-rata per
hari penggunaan antimikroba untuk indikasi tertentu pada orang dewasa. Studi
validasi adalah studi yang dilakukan secara prospektif untuk mengetahui perbedaan
antara jumlah antimikroba yang benar digunakan pasien dibandingkan dengan yang
tertulis di rekam medis. Kuantitas penggunaan antimikroba yang dapat dinyatakan
dalam DDD 100-patient-days :
Cara perhitungan :
- Kumpulkan data semua pasien yang menerima terapi antimikroba
- Kumpulkan lamanya waktu perawatan pasien rawat inap (total Lenght of Stay,
LOS semua pasien)
- Hitung jumlah dosis antimikroba (gram) selama dirawat
- Hitung DDD 100 patient-days :
(𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝐴𝐵 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛) 100
DDD 100 patient-days = 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝐷𝐷𝐷 𝑊𝐻𝑂 (𝑔𝑟𝑎𝑚)
𝑥 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑂𝑆

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 33


RSUD KABUPATEN JOMBANG
4.1.2 Evaluasi Kualitas Penggunaan Antimikroba
Evaluasi kualitas penggunaan antimikroba bertujuan untuk perbaikan kebijakan
atau penerapan program edukasi yang lebih tepat terkait kualitas penggunaan
antimikroba. Evaluasi kualitas penggunaan antimikroba sebaiknya dilakukan secara
prospektif oleh minimal tiga reviewer. Kualitas penggunaan antimikroba dapat dinilai
dengan menggunakan data yang terdapat pada CPA (Catatan Pemberian
Antimikroba), catatan medik pasien dan kondisi pasien. Langkah-langkah yang
dilakukan dalam evaluasi kualitas penggunaan antimikroba :
1. Kumpulkan rekam medis pasien yang akan dilakukan evaluasi
2. Lakukan penilaian sesuai alur Gyssens
3. Hasil penilaian dikategorikan sebagai berikut :
Kategori VI : Data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi
Kategori V : Tidak ada indikasi penggunaan antimikroba
Kategori IVD : Ada antimikroba lain yang spektrum antibakterinya lebih
sempit
Kategori IVC : Ada antimikroba lain yang lebih murah
Kategori IVB : Ada antimikroba lain yang kurang toksik/lebih aman
Kategori IVA : Ada antimikroba lain yang lebih efektif
Kategori IIIB : Penggunaan antimikroba terlalu singkat
Kategori IIIA : Penggunaan antimikroba terlalu lama
Kategori IIC : Penggunaan antimikroba tidak tepat cara/rute pemberian
Kategori IIB : Penggunaan antimikroba tidak tepat interval pemberian
Kategori IIA : Penggunaan antimikroba tidak trepat dosis
Kategori I : Penggunaan antimikroba tidak tepat waktu
Kategori 0 : Penggunaan antimikroba tepat/bijak.

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 34


RSUD KABUPATEN JOMBANG
Alur Penilaian Kualitatif Penggunaan Antimikroba menggunakan Gyssens Classification

Gambar 3. Alur Penilaian Penggunaan Antimikroba (Gyssens Clasification)

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 35


RSUD KABUPATEN JOMBANG
LEMBAR EVALUASI KUALITAS PENGGUNAAN ANTIMIKROBA
(GYSSENS FLOWCHART)

Kategori(Gyssens)
Tipe
Nama
Regimen terapi Tgl Tgl
RM Nama Pasien antimikrob Rute Indikasi
Dosis (P/E/EE/ mulai stop
a IV III III II
D) VI V I 0
(A/B/C/ A B (A/B/C)
D)

Gambar 4. Lembar Evaluasi Kualitatif Penggunaan Antimikroba (Gyssen Flowchart)

Keterangan Tipe Terapi :


P : Antimikroba Profilaksis
E : Antiniotik Empiris
EE : Antimikroba Extended Empiris
D : Antimikroba Definitif

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 36


RSUD KABUPATEN JOMBANG
FORMULIR EVALUASI KUANTITATIF ANTIMIKROBA
RSUD JOMBANG

Nama
Tipe Penggunaan Lama Dosis
Antimikroba Lama DDD DDD
No. No. RM Nama Pasien Diagnosa Terapi Antimikroba Rawat Regimen
(Rute Terapi (teori) (kalkulasi)
(P/E/EE/D) (YA/TIDAK) Inap (gram)
pemberian)

Gambar 5. Formulir Evaluasi Kuantitatif Antimikroba

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 37


RSUD KABUPATEN JOMBANG
4.2. Monitoring Penggunaan Antimikroba

Salah satu langkah untuk melakukan monitoring penggunaan antimikroba pada pasien dapat dilihat pada CPA (Catatan Pemberian
Antimikroba) yang terdapat pada rekam medis pasien.

RSUD JOMBANG NO. RM


Pastikan 7 Benar pemberian obat
CATATAN PEMBERIAN ANTIMIKROBA
1 Benar pasien 2 Benar obat 3 Benar indikasi 4 Benar dosis
(CPA) 5 Benar cara pemberian 6 Benar waktu pemberian 7 Benar dokumentasi
Nama Pasien : Ruang Alergi : Ya Tidak
Tgl Lahir : / / Tidak tahu
Status : MRS/KRS : Nama Dokter :
Usia/BB :

Tipe Tipe Tipe Tipe


Tanggal Tanggal Tanggal Tanggal Tipe Terapi Tanggal
NAMA OBAT Dosis & Freq. Terapi Terapi Terapi Terapi
& BENTUK SEDIAAN Pemberian P/E/EE/ P/E/EE/
P/E/EE/D P/E/EE/D P/E/EE/D
8 14 16 20 24 2 D 8 14 16 20 24 2 D 8 14 16 20 24 2 8 14 16 20 24 2 8 14 16 20 24 2

Ttd & Nama Apoteker


Ttd & Nama Pasien / Keluarga
Tipe Tipe Tipe Tipe
Tanggal Tanggal Tanggal Tanggal Tipe Terapi Tanggal
NAMA OBAT Dosis & Freq. Terapi Terapi Terapi Terapi
& BENTUK SEDIAAN Pemberian P/E/EE/ P/E/EE/
P/E/EE/D P/E/EE/D P/E/EE/D
8 14 16 20 24 2 D 8 14 16 20 24 2 D 8 14 16 20 24 2 8 14 16 20 24 2 8 14 16 20 24 2

Ttd & Nama Apoteker


Ttd & Nama Pasien / Keluarga
Tipe Tipe Tipe Tipe
Tanggal Tanggal Tanggal Tanggal Tipe Terapi Tanggal
NAMA OBAT Dosis & Freq. Terapi Terapi Terapi Terapi
& BENTUK SEDIAAN Pemberian P/E/EE/ P/E/EE/
P/E/EE/D P/E/EE/D P/E/EE/D
8 14 16 20 24 2 D 8 14 16 20 24 2 D 8 14 16 20 24 2 8 14 16 20 24 2 8 14 16 20 24 2

Ttd & Nama Apoteker


Ttd & Nama Pasien / Keluarga
Tuliskan kode berikut jika obat tidak dapat diberikan :
M : Pasien menolak T : Pemberian ditunda E : Timbul efek samping A : Timbul alergi K : Persediaan obat kosong STOP : Pemberian obat dihentikan
Tipe Terapi :
P : Profilaksis E : Empiris EE : Extended Empiris D : Definitif

Gambar 6. Form CPA (Catatan Pemberian Antimikroba)

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 38


RSUD KABUPATEN JOMBANG
FORM SURVEILANS POLA MIKROBA DAN POLA RESISTENSI ANTIMIKROBA

1. Form Jumlah dan Jenis Spesimen

JUMLAH DAN JENIS SPESIMEN


PERIODE :
RUANG :

NO JENIS SPESIMEN JUMLAH PERSENTASE

1 Darah
2 Pus
3 Sputum
4 Urine
5 DLL
6
7
8 Jumlah

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 39


RSUD KABUPATEN JOMBANG
2. Form Jumlah dan Pola Mikroba

JUMLAH DAN POLA MIKROBA


SPESIMEN :
PERIODE :

NO SPESIES MIKROBA JUMLAH PERSENTASE

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 40


RSUD KABUPATEN JOMBANG
3. Form Hasil Uji Resistensi Antimikroba

HASIL UJI RESISTENSI ANTIMIKROBA


SPESIMEN :
PERIODE :

RESISTENSI ANTIMIKROBA
NO SPESIES MIKROBA AMX AMP SAM CZO FEP CTX CAZ CRO CIP GEN SXT
AMK %S
%S %S %S %S %S %S %S %S %S %S MEM %S %S

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 41


RSUD KABUPATEN JOMBANG
4. Form Data Mikroba Resisten Terhadap Berbagai Antimikroba (MRSA)

DATA ISOLAT MIKROBA RESISTEN TERHADAP BERBAGAI


ANTIMIKROBA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN JOMBANG
PERIODE :

MRSA ( Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus )

MRSA
JENIS SPESIMEN JUMLAH SPESIMEN
JUMLAH PROSENTASE
Darah
Urine
Pus
Sputum

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 42


RSUD KABUPATEN JOMBANG
5. Form Data Mikroba Resisten Terhadap Berbagai Antimikroba (ESBL)

DATA ISOLAT MIKROBA RESISTEN TERHADAP BERBAGAI ANTIMIKROBA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN JOMBANG
PERIODE :

Penghasil ESBL ( Extended Spectrum β-Lactamases )

JUMLAH ESBL
JENIS JUMLAH SPESIES
SPESIES
SPESIMEN SPESIMEN MIKROBA JUMLAH PROSENTASE
MIKROBA

Darah

Urine

Pus

Sputum

KOMITE PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (KPRA) 43


RSUD KABUPATEN JOMBANG

Anda mungkin juga menyukai