Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

OLEH :

DEWA AYU SURYA LAHURU DEWANTARI

NIM. 1316051137

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA


DENPASAR
2016
A. Pembaharuan KUHP dari UU No 1 Tahun 1946 sampai Sekarang

Sebagai hukum yang bersifat publik, hukum pidana menemukan arti


pentingnya dalam wacana hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, di dalam hukum
pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatanperbuatan yang
tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa pidana (nestapa) dan
menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan.1
Sehubungan dengan itu, perlulah kiranya membangun atau melakukan
pembaharuan terhadap hukum khususnya pembaharuan hukum pidana agar
hukum tersebut tetap mempunyai wibawa. Pada kajian mengenai membangun
atau memperbaharui hukum bukan hanya memperbaharui pasal-pasal yang kurang
tepat diterapkan dengan keadaan sekarang, melainkan juga harus dikaji secara
komperhensif ide dasar dari pembentukan hukum yang baru sehingga ketika
diterapkan hukum tersebut tidak seperti tambal sulam.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mencabut, menambahkan,
atau menyempurnakan pasal-pasal dalam KUHP antara lain sebagai berikut:
a. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Dalam undang-undang ini diatur beberapa hal terkait dengan usaha
pembaharuan hukum pidana, antara lain :
 Mengubah kata-kata “Nederlandsch-Indie” dalam peraturan hukum
pidana menjadi“Indonesia”.
 Mengubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie menjadi
Wetboek van Strafrecht sebagai hukum pidana Indonesia dan bisa disebut
KUHP.
 Perubahan beberapa pasal dalam KUHP agar sesuai dengan kondisi bangsa
yang merdeka dan tata pemerintahan yang berdaulat.
 Kriminalisasi tindak pidana pemalisuan uang dan kabar bohong.

b. Undang Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Dalam


undang-undang ini ditambahkan jenis pidana pokok baru berupa pidana
tutupan ke dalam Pasal 10 huruf a KUHP dan Pasal 6 huruf a KUHP Tentara.

1
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 1.
c. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat
Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi. Dengan undang-undang ini KUHP
ditambahkan satu pasal, yaitu Pasal 512a tentang kejahatan praktek dokter
tanpa izin.

d. Undang Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU


Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah
RI dan Mengubah KUH Pidana. Dalam undang-undang ini diatur antara lain
sebagai berikut :
 Pemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah Republik
Indonesia.
 Penambahan beberapa pasal dalam KUHP, yaitu ;
1. Pasal 52 a tentang pemberatan pidana (ditambah 1/3) jika pada saat
melakukan kejahatan menggunakan bendera kebangsaan Republik
Indonesia;
2. Pasal 142 a tentang kejahatan menodai bendera kebangsaan negara
sahabat; dan
3. Pasal 154 a tentang kejahatan menodai bendera kebangsaan dan
lambang negara Republik Indonesia.

e. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP. Dengan


undang-undang ini ancaman pidana pada Pasal 359, 360, dan 188 diubah,
yaitu :
 Pasal 359 tentang tindak pidana penghilangan nyawa karena kealpaan
dipidana lebih berat dari pidana penjara maksimal 1 tahun atau pidana
kurungan maksimal 9 bulan menjadi pidana penjara maksimal 5 tahun atau
pidana kurungan maksimal 1 tahun.
 Pasal 360 tentang tindak pidana karena kesalahan menyebabkan luka
berat, sehingga menyebabkan orang sakit sementara atau tidak dapat
menjalankan profesinya semula dipidana maksimal 9 bulan penjara atau
kurungan maksimal 6 bulan atau denda maksimal Rp 300,-, dipisah
menjadi dua ayat yaitu :
1. Pasal 360 ayat (1) tentang tindak pidana perlukaan berat karena
kealpaan dipidana lebih berat menjadi pidana penjara maksimal 5
tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun;
2. Pasal 360 ayat (2) tentang tindak pidana perlukaan karena kealpaan
sehingga menyebabkan seseorang menjadi sakit sementara atau tidak
dapat menjalankan pekerjaan dipidana lebih berat menjadi pidana
penjara maksimal 9 bulan atau pidana kurungan maksimal 6 bulan atau
pidana denda maksimal Rp. 300,-.;
3. Pasal 188 tentang tindak pidana kebakaran, peletusan, atau banjir yang
membahayakan umum atau menyebabkan matinya orang lain karena
kealpaan dipidana lebih ringan yaitu pidana penjara maksimal 5 tahun
atau pidana kurungan maksimal 1tahun atau pidana denda maksimal
Rp. 300,-.

f. Undang Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan


dalam KUHP. Dengan undang-undang ini, kata “vijf en twintig gulden” dalam
Pasal 364, 373, 379, 384, dan 407 ayat (1) diubah menjadi Rp. 250,- (1).

g. Undang Undang Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah


Hukuman Denda dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya
yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945. Dengan undang-undang
ini maka hukuman denda yang ada dalam KUHP maupun dalam ketentuan
pidana yang dikeluarkan sebelum 17 Agustus 1945 harus dibaca dalam mata
uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali.

h. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan


dan atau Penodaan Agama. Dengan undang-undang ini, Kitab Undang-undang
Hukum Pidana ditambahkan pasal baru, yaitu Pasal 156a yang berbunyi :
"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang
siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan" :
 Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
 Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga,
yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

i. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian. Dengan


undang-undang ini diatur beberapa perubahan beberapa pasal dalam KUHP
yang berkaitan dengan tindak pidana perjudian, yaitu :
 Semua tindak pidana perjudian dianggap sebagai kejahatan. Dengan
ketentuan ini, maka Pasal 542 tentang tindak pidana pelanggaran perjudian
yang diatur dalam Buku III tentang Pelanggaran dimasukkan dalam Buku
II tentang Kejahatan dan ditempatkan dalam Buku II setelah Pasal 303
dengan sebutan Pasal 303 bis;
 Memperberat ancaman pidana bagi pelaku bandar perjudian dalam Pasal
303 ayat (1) KUHP dari pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan atau
denda maksimal Rp. 90.000,- menjadi pidana penjara maksimal 10 tahun
dan denda maksimal Rp. 25.000.000,-. Di samping pidana dipertinggi
jumlahnya (2 tahun 8 bulan menjadi 10 tahun dan Rp. 90.000,- menjadi
Rp. 25.000.000,-) sanksi pidana juga diubah dari bersifat alternatif penjara
atau denda) menjadi bersifat kumulatif (penjara dan denda);
 Memperberat ancaman pidana dalam Pasal 542 ayat (1) tentang perjudian
dalam KUHP dari pidana kurungan maksimal 1 bulan atau denda
maksimal Rp. 4.500,- penjara maksimal 4 tahun atau denda maksimal Rp.
10.000.000,-. Pasal ini kemudian menjadi Pasal 303 bis ayat (1);
 Memperberat ancaman pidana dalam Pasal 542 ayat (2) tentang residive
perjudian dalam KUHP dari pidana kurungan maksimal 3 bulan atau denda
maksimal Rp. 7.500,- menjadi pidana penjara maksimal 6 tahun atau
denda maksimal Rp. 15.000.000,-. Pasal ini kemudian menjadi Pasal 303
bis ayat (2).
j. Undang Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan
Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya
Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan
Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan :
 Memperluas ketentuan berlakunya hukum pidana menurut tempat yang
diatur dalam Pasal 3 dan 4 KUHP menjadi berbunyi :
1. Pasal 3, Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan
tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
2. Pasal 4, Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal 438, 444
sampai dengan Pasal 446 tentang pembajakan laut dan Pasal 447
tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan
Pasal 479 hutrf j tentang penguasaan pesawat
3. udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf l, m, n, o tentang
kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
 Menambah Pasal 95a tentang arti pesawat udara Indonesia, 95b tentang
arti penerbangan, dan 95c tentang arti dalam dinas.
 Setelah Bab XXIX KUHP tentang Kejahatan Pelayaran ditambahkan bab
baru yaitu Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan
terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan. Dalam bab baru ini terdapat 28
pasal baru yaitu Pasal 479a-479r.

k. Undang Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap


Keamanan Negara. Dalam undang-undang ini ditambahkan 6 pasal baru
tentang kejahatan terhadap keamanan negara yaitu Pasal 107 a-f. Pelaksanaan
pidana mati yang menurut Pasal 11 dilaksanakan di tiap gantungan telah
diubah dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan
Pidana Mati di Pengadilan Militer dan Pengadilan Umum. Eksekusi pidana
mati berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian
dijadikan UU Nomor 2/PnPs/1964 dilaksanakan dengan cara ditembak.
Di samping adanya beberapa perundang-undangan yang merubah KUHP di atas,
terdapat juga beberapa perundang-undangan di luar KUHP yang mengatur tentang
pidana antara lain :
1) Tindak Pidana Ekonomi (diatur dalam UU Nomor 7 Drt Tahun 1951 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi),
2) Tindak Pidana Korupsi (diatur dalam UU Nomor 3 tahun 1971 kemudian
diperbaharui dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan diperbaharui lagi dengan
UU Nomor 20 Tahun 2001),
3) Tindak Pidana Narkotika (diatur dengan UU Nomor 22 Tahun 1997),
4) Tindak Pidana Psikotropika (diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1997),
5) Tindak Pidana Lingkungan Hidup (diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1997),
6) Tindak Pidana Pencucian Uang (diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2003),
7) Tindak Pidana Terorisme (diatur dengan UU Nomor 15 Tahun 2003), dan lain
sebagainya.

B. Perubahan Asas Legalitas dalam KUHP dengan RUU KUHP

Di dalam RUU KUHP adanya suatu pergeseran dari asas legalitas formal
ke asas legalitas materil. Pengertian dari asas legailtas formal tersebut yang
tercantum dalam pasal 1 ayat 1 RKUHP di mana bahwa "tiada orang pun dapat
di pidana atau di kenakan tindakan, kecuali perbuatan yang di lakukan telah di
tetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang undangan yang
berlaku pada saat perbuatan itu di lakukan". Sebagai mana kita ketahui asas
legalitas merupakan asas yang terpenting di dalam KUHP yang mampu
memberikan suatu kepastian hukum, artinya bahwa asas legalitas formal
memberikan suatu pengertian di perluas bahwa suatu perbuatan tindak pidana
dapat di hukum apabila ada ketentuan peraturan perundang undangan yang
mengaturnya sedangkan apabila perbuatan tindak pidana belum adanya yang
mengaturnya maka perbuatan tersebut tidak bisa di hukum.
Ketentuan dari asas legalitas formal di dalam KUHP hanya mengatur
segala perbuatan yang dapat di hukum. Apabila terdapat di dalam peraturan
perundang undangan, dengan melihat perkembangan masyarakat yang semakin
pesat sehingga suatu keharusan di sini perlu adanya revisi terhadap KUHP untuk
mengimbangi perkembangan masyarakat yang modern. Pada hakikatnya hukum
dan masyarakat tidak dapat di pisahkan seperti apa yang sudah di kemukakan oleh
pakar hukum yaitu Cicero "ubi societas ibi ius" artinya bahwa dimana ada
masyarakat di situ ada hukum. Masyarakat dan hukum berjalan bersama sama
namun dengan melihat kenyataanya perkebangan masyrakat lebih cepat dari
perkebangan hukum di sini kita melihat bahwa hukum yang mengikuti masyarakat
bukan masyarkat yang mengikuti hukum tentunya asas legalitas yang terdapat di
dalam pasal 1 ayat 1 tidak dapat memberikan suatu cangkupan yang luas dengan
melihat segala perbuatan tindak pidana yang ada dengan gaya masyarakat yang
modern.
RKUHP memberikan suatu perubahan yang baru terhadap asas legalitas
yang terdapat di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP bahwa ketentuan suatu perbuatan
bisa di hukum apabila sudah ada peraturan perundang undangan yang
mengaturnya tetapi di RKUHP yang baru di jelaskan bahwa di dalam pasal 1 ayat
3 yang berbunyi ketentuan sebagainana di maksud dalam pasal 1 ayat 1 RKUHP
tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seorang patut di pidana walapun perbuatan tersebut tidak di
atur dalam peraturan perundang undangan. Sebagaimana yang di maksud dalam
pasal 1 ayat 3 itu bahwa adanya suatu ketentuan perbuatan tindak pidana dapat di
hukum dengan menggunakan hukum yang hidup di masyarakaat. Hal ini yang di
maksud dengan adanya suatu pergeseran dari perubahan asas legalitas yang
terdapat di dalam KUHP dengan RKUHP yaitu dari asas legalitas formal ke asas
legalitas materil. Menyikapi dari asas legalitas meteril (hukum yang hidup di
masyarakat) pembentukan RUU KUHP bertitik tolak pada keseimbangan
monodualistik yaitu asas keseimbangan antara kepentingan/perlindungan individu
dengan kepentingan masyarakat. Keseimbangan antara kriteria formal dan materil
dan keseimbangan kepastian hukum dengan rasa keadilan nilai/ ide dalam RUU
KUHP di lanjutkan dalam menentukan tindak pidana adalah selalu melawan
hukum dengan di anutnya sifat melawan hukum materil ketentuan pasal 11 ayat 2
RUU KUHP menyatakan bahwa : untuk di nyatakan sebagai tindak pidana, selain
perbuatan tersebut di larang dan di ancam oleh peraturan perundang undangan,
harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan denga kesadaran hukum
masyarakaat. pembentukan pemikiran undang undang dalam menentukan dapat di
pidana harus memperhatikan keselarasan dengan perasaan hukum yang hidup
dalam masyarakat konklusinya nanti perbuatan tersebut tidak hanya bertentangan
dengan peraturan perundang undangan tetapi juga akan selalu bertentangan
dengan hukum. perbuatan yang bertentangan dengan adalah perbuatan yang di
nilai masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut di lakukan.
Di tentukan syarat bertentangan dengan hukum di dasarkan pada
pertimbangan bahwa penjatuhan pidana pada seseorang yang melakukan suatu
perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum di nilai tidak adil, oleh karena itu
untuk dapat menjatuhkan pidana, hakim harus selalu menentukan apakah yang di
lakukan perbuatan itu secara formil di larang oleh peraturan perundang undangan
dan apakah perbuatan tersebut secara materil juga bertentangan dengan hukum.
dalam arti kesadaran hukum masyarakat hal ini wajib di pertimbangkan dalam
putusan, oleh karena itu ketentuan pasal 1 ayat 3 RUU KUHP mengimbangi
ketentuan pasal 1 ayat 1 RUU KUHP tegasnya asal legalitas formil di imbangi
dengan asas legalitas materil.

Anda mungkin juga menyukai