Anda di halaman 1dari 44

1.

Menjelaskan Penyelenggaraan Pelayanan Publik

a. Pengertian Pelayanan Publik

Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik yaitu setiap institusi penyelenggara Negara, korporasi, lembaga independen yang
dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain
yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Kegitan tersebut dilaksanakan oleh
pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang
bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.

Dalam pelaksanaan pelayanan publik harus berdasarkan standar pelayanan sebagai tolok
ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas
pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan
yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur. Pelayanan publik diatur dalam Undang-
Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, pengaturan ini dimaksudan untuk
memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam
pelayanan publik. Selain itu, pengaturan mengenai pelayanan publik bertujuan agar terwujudnya
batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan
seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik; agar terwujudnya sistem
penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan
korporasi yang baik; agar terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan agar terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat
dalam penyelengaaran pelayanan publik.

b. Konsepsi Pelayanan Publik

Pelayanan Publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang
atau masyarakat yang mempunyai kepentingan sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang
telah ditetapkan. Pada hakekatnya Pemerintahan adalah pelayanan kepada masyarakat, oleh
karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik
dan profesional. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik adalah merupakan salah
satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi
negara dengan maksud untuk mensejahterakan masyarakat.
Pelayanan publik yang profesional artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya
akuntabilitas dan resposibiltas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah), dengan ciri sebagai
berikut: Efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran;
Sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat,
tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang
meminta pelayanan; Kejelasan dan kepastian (transparan), mengenai: 1) prosedur/tata cara
pelayanan; 2) persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif; 3)
unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan;
4) rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya; dan 5) jadwal waktu penyelesaian
pelayanan; Keterbukaan, artinya prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat
penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyeleaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain
yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah
diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta; Efisiensi, artinya: 1)
persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran
pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan
yang berkaitan; 2) dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dalam hal proses
pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari
satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait; Ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti
pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan;
Responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah,
kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani; Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap apa yang
menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami
tumbuh kembang.
Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah
tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayanan masyarakat (public service function),
fungsi pembangunan (development function) dan fungsi perlindungan (protection function).
Hal yang terpenting kemudian adalah sejauh mana pemerintah dapat mengelola fungsi-
fungsi tersebut agar dapat menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif,
efisien dan akuntabel kepada seluruh masyarakat yang membutuhkan. Selain itu, pemerintah
dituntut untuk menerapkan prinsip equity dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut, artinya
pelayanan pemerintah tidak boleh diberikan secara diskriminatif.
Meskipun pemerintah mempunyai fungsi-fungsi tersebut diatas, namun tidak berarti bahwa
pemerintah harus berperan sebagai monopolist dalam pelaksanaan seluruh fungsi-fungsi tersebut.
Beberapa bagian dari fungsi tadi bisa menjadi bidang tugas yang pelaksanaannya dapat
dilimpahkan kepada pihak swasta ataupun dengan menggunakan pola kemitraan (partnership)
antar pemerintah dengan swasta untuk mengadakannya.
Di dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 62 Tahun 2003
tentang Pedoman Umum Pelayanan Publik menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hakikat
pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan
perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.
Dalam Keputusan tersebut, untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi
pengguna jasa, penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi asas-asas pelayanan sebagai berikut:
Transparansi, Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan
disediakan secara memadai serta mudah dimengerti; Akuntabilitas. Dapat dipertanggungjawabkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Kondisional. Sesuai dengan kondisi dan
kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan
efektifitas; Partisipatif. Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan
publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat; Kesamaan Hak. Tidak
diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status
ekonomi; Keseimbangan Hak dan Kewajiban. Pemberi dan penerima pelayanan publik harus
memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 62
Tahun 2003 disebutkan bahwa penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi beberapa prinsip
sebagai berikut: Kesederhanaan. Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami
dan mudah dilaksanakan; Kejelasan. Kejelasan ini mencakup beberapa hal penting bagi
masyarakat, seperti: Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik, Unit kerja/pejabat yang
berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian
keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik, Rincian biaya pelayanan publik
dan tata cara pembayaran; Kepastian waktu. Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan
dalam kurun waktu yang telah ditentukan dan diinformasikan kepada masyarakat; Akurasi. Produk
pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah sesuai dengan aturan yang berlaku dan
dengan peruntukannya; Keamanan. Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman
dan kepastian hukum bagi para stakeholder; Tanggungjawab. Pimpinan penyelenggaraan
pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan
dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik; Kelengkapan sarana dan
prasarana. Tersedianya sarana dan prasarana kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk
penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informasi (telematika); Kemudahan akses.
Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai dan mudah dijangkau oleh masyarakat,
dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informasitka; Kedisiplinan, kesopanan dan
keramahan. Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta
memberikan pelayanan dengan ikhlas; Kenyamanan. Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur,
disediakan tuang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat yang
dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, serta tempat parkir, toilet, tempat ibadah dan
lain-lain.
Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan yang
dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima layanan. Standar pelayanan
merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati
oleh pemberi dan atau penerima layanan. Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 62 Tahun2003, standar pelayanan sekurang-kurangnya harus meliputi: Prosedur
pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk prosedur pengaduan;
Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan
penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan pelayanan; Biaya pelayanan beserta rincian yang
ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan; Produk pelayanan yaitu hasil pelayanan yang akan
diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan; Sarana dan prasarana, yaitu penyediaan
sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggaraan pelayanan publik;
Kompetensi petugas pemberi pelayanan yang telah ditetapkan dengan tepat berdasarkan
pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan public sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program pembangunan
nasional (PROPENAS), disusun indeks kepuasan masyarakat sebagai tolak ukur untuk menilai
tingkat kualitas pelayanan. Indeks Kepuasan Masyarakat dapat menjadi bahan penilaian terhadap
unsure pelayanan yang masih perlu perbaikan dan menjadi pendorong setiap unit penyelenggara
pelayanan untuk meningkatkan kualitas pelayanan nya.
Penyusunan Indeks Kepuasaan Masyarakat dimaksudkan sebagai acuan bagi unit
pelayanan instansi pemerintah dalam menyusun indeks kepuasan masyarakat, dengan tujuan untuk
mengetahui tingkat kinerja unit pelayanan secara berkala sebagai bahan untuk menetapkan
kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan public selanjutnya. Bagi masyarakat,
Indeks Kepuasan Masyarakat dapat digunakan sebagai gambaran tentang kinerja pelayanan unit
yang bersangkutan.

c. Lingkup Pelayanan Publik


Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta
pelayanan administratif yang diatur dalam perundang-undangan. Untuk menjamin kelancaran
penyelenggaraan pelayanan publik diperlukan Pembina dan penanggung jawab. Pembina tersebut
terdiri atas pimpinan lembaga Negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah non
kementerian, pimpinan lembaga komisi Negara atau yang sejenis, dan pimpinan lembaga lainnya;
gubernur pada tingkat provinsi; bupati pada tingkat kabupaten; dan walikota pada tingkat kota.
Para Pembina tersebut mempunyai tugas melakukan pembinaan, pengawasan, dan evaluasi
terhadap pelaksanaan tugas dari penanggung jawab. Sedangkan penanggung jawab adalah
pimpinan kesekretariatan lembaga atau pejabat yang ditunjuk Pembina. Penanggung jawab
mempunyai tugas untuk mengkoordinasikan kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik sesuai
dengan standar pelayanan pada setiap satuan kerja; melakukan evaluasi penyelenggaraan
pelayanan publik; dan melaporkan kepada Pembina pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan
publik di seluruh satuan kerja unit pelayanan publik.

d. Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Penyelenggaraan pelayanan publik meliputi pelaksanaan pelayanan; pengelolaan


pengaduan masyarakat; pengelolaan informasi; pengawasan internal; penyuluhan kepada
masyarakat; dan pelayanan konsultasi. Apabila terdapat ketidakmampuan, pelanggaran dan
kegagalan penyelenggaraan pelayanan yang bertanggung jawab adalah penyelenggara dan seluruh
bagian organisasi penyelenggaran. Dalam rangka mempermudah penyelenggaraan berbagai bentuk
pelayanan publik, dapat dilakukan penyelenggaraan sistem pelayan terpadu. Selain itu, dalam
rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan, dapat dilakukan kerja sama antar
penyelenggara meliputi kegiatan yang berkaitan dengan teknis operasional pelayanan dan/atau
pendukung pelayanan. Dalam hal penyelenggara yang memiliki lingkup kewenangan dan tugas
pelayanan publik tidak dapat dilakukan sendiri karena keterbatasan sumber daya dan/atau dalam
keadaan darurat, penyelenggara dapat meminta bantuan kepada penyelenggara lain yang
mempunyai kapasitas memadai. Dalam keadaan darurat, permintaan penyelenggara lain wajib
dipenuhi oleh penyelenggara pemberi bantuan sesuai dengan tugas dan fungsi organisasi
penyelenggara yang bersangkutan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Penyelenggara dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk penyerahan
sebagian tugas penyelenggaraan pelayanan publik kepada pihak lain dengan ketentuan perjanjian
kerja sama tersebut dituangkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dalam
pelaksanaannya didasarkan pada standar pelayanan; penyelenggara berkewajiban untuk
memberikan informasi terkait perjanjian kerja sama tersebut kepada masyarakat; tanggung jawab
pelaksanaan kerja sama berada pada penerima kerja sama sedangkan tanggung jawab
penyelenggaraan secara menyeluruh berada pada penyelenggara; informasi terkait identitas pihak
lain dan identitas penyelenggara sebagai penanggung jawab kegiatan harus dicantumkan oleh
penyelenggara pada tempat yang jelas dan mudah diketahui oleh masyarakat; dan penyelenggara
dan pihak lain mempunyai kewajiban untuk mencantumkan alamat tempat mengadu dan sarana
untuk menampung keluhan masyarakat yang mudah diakses, antara lain telepon, pesan layanan
singkat, laman, e-mail, dan kotak pengaduan. Pihak lain yang dimaksud dalam hal ini wajib
berbadan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kerja sama yang
diselenggarakan tidak menambah beban bagi masyarakat serta dalam rangka untuk
menyelenggarakan pelayanan publik.

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, standar pelayanan wajib disusun oleh


penyelenggara dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan
kondisi lingkungan. Dalam penyusunan tersebut wajib mengikutsertakan masyarakat dan pihak
terkait. Standar pelayanan meliputi dasar hukum; persyaratan; sistem, mekanisme, dan prosedur;
jangka waktu penyelesaian; biaya/tariff; produk pelayanan; sarana, prasarana, dan/atau fasilitas;
kompetensi pelaksana; pengawasan internal; penanganan pengaduan, saran, dan masukan; jumlah
pelaksana; jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan
standar pelayanan; jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk
memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan; dan evaluasi kinerja
pelaksana.

2. Menjelaskan Pola Penyelenggaraan Pelayanan Publik

a. Pola Pelayanan Publik

Pola pelayanan publik dapat dibedakan dalam 5 macam pola, yaitu :

1) Pola Pelayanan Teknis Fungsional. Adalah pola pelayanan masyarakat yang diberikan oleh
suatu instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas, fungsi dan kewenangannya.

2) Pola Pelayanan Satu Pintu. Merupakan pola pelayanan masyarakat yang diberikan
secaratunggal oleh suatu unit kerja pemerintah berdasarkan pelimpahan wewenang dari unit
kerja pemerintah terkait lainnya yang bersangkutan.

3) Pola Pelayanan Satu Atap. Pola pelayanan disini dilakukan secara terpadu pada satu instansi
pemerintah yang bersangkutan sesuai kewenangan masing-masing.

4) Pola Pelayanan Terpusat. Adalah pola pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh suatu instansi
pemerintah yang bertindak selaku koordinator terhadap pelayanan instansi pemerintah lainnya
yang terkait dengan bidang pelayanan masyarakat yang bersangkutan.

5) Pola Pelayanan Elektronik. Adalah pola pelayanan yang menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi yang merupakan otomasi dan otomatisasi pemberian layanan yang bersifat on-line
sehingga dapat menyesuaikan diri dengan keinginan dan kapasitas pelanggan

b. Unit Pelayanan Publik

Unit Pelayanan Publik Kementerian Perindustrian (UPP) merupakan unit kerja non
struktural yang melakukan kegiatan penyelengaraan pelayanan publik di lingkungan
Kementerian Perindustrian. Tugas UPP adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat atau
badan hukum atas permintaan informasi, konsultasi, dan pelaksanaan pelayanan publik yang
berada pada ruang lingkupnya.

Ruang lingkup UPP Pusat adalah memberikan informasi, konsultasi, dan pelaksanaan
pelayanan publik yang berada pada Direktorat Jenderal Industri Agro, Direktorat Jenderal Basis
Industri Manufaktur, Direktorat Jenderal Industri Unggulan Basis Teknoligi Tinggi, Direktorat
Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri
dan LS Pro Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri. Sedangkan ruang lingkup UPP
Daerah disesuaikan dengan masing-masing Unit Pelaksana Teknis dan Unit Pendidikan di
Lingkungan Kementerian Perindustrian.

c. Kebijakan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan public


Dalam upaya mempercepat kepatuhan pemenuhan standar pelayanan publik dan
meningkatkan efektifitas pelayanan publik, Ombudsman memberikan beberapa opsi kebijakan
kepada bupati dan walikota untuk pertama: memberikan apresiasi kepada pimpinan unit pelayanan
publik yang produk layanannya mendapatkan zona hijau dengan predikat kepatuhan tinggi.
Apresiasi atau award sebagai bentuk penghargaan atas segala upaya dan komitmen pimpinan unit
memenuhi komponen standar pelayanan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Kedua: memberikan teguran dan mendorong implementasi standar pelayanan publik kepada
pimpinan unit pelayanan yang produk pelayanannya mendapatkan zona merah dengan predikat
kepatuhan rendah dan zona kuning dengan predikat kepatuhan sedang. Ketiga; menyelenggarakan
program secara sistematis dan mandiri untuk mempercepat implementasi standar pelayanan publik
sesuai Undang-undang nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik. Keempat; menunjuk
pejabat yang kompeten untuk memantau konsistensi peningkatan kepatuhan dan pemenuhan
standar pelayanan publik. Setiap unit pelayanan wajib menyusun, menetapkan dan menerapkan
standar pelayanan publik sesuai Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009. Terdapat 14 komponen
standar pelayanan yang harus dipenuhi penyelenggara pelayanan publik demi terciptanya kualitas
pelayanan publik untuk kesejahteraan masyarakat. Kelima; Penyelenggaraan pelayanan secara
efektif, sistematis dan terintegrasi dengan program nasional. Dalam rangka mengakselerasi
program Online Single Submission (OSS), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah saling
berkoordinasi untuk percepatan pelimpahan perizinan, perbaikan standar operasional prosedur per
produk layanan, dan integrasi sistem teknologi informasi antar sektoral pelayanan publik.

d. Konsekuensi pemberian perizinan dan hubungan dengan pendapatan asli daerah


Mengacu pada revisi UU Nomor 32 tahun 2004 dan UU Nomor 33 tahun 2004 dan UU
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kewenangan
yang diberikan kepada daerah akan membawa konsekuensi terhadap kemampuan daerah untuk
mengantisipasi tuntutan masyarakat akan pelayanan yang lebih baik dan prima. Kebijakan
dibidang pendapatan daerah pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan
daerah dalam membiayai urusan rumah tangganya secara mandiri.
Untuk itu daerah harus menyediakan sumber-sumber pembiayaan yang memadai dan
dituntut kreativitas daerah serta kemampuan aparat daerah dalam upaya menggali potensi daerah
sehingga dapat meningkatkan penerimaan daerah. Dalam upaya peningkatan penerimaan daerah
perlu dilakukan kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi, peningkatan penyelenggaraan pelayanan
prima melalui perumusan perencanaan strategis. Dalam hal ini pemerintah daerah selalu berupaya
meningkatkan pendapatan daerah dari tahun ke tahun yang merupakan program yang mutlak
dilaksanakan oleh seluruh jajaran pemerintah daerah yang terkait dengan penerimaan atau
pendapatan daerah.
Retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang diharapkan dapat
membantu pembiayaan daerah untuk melaksanakan otonomi sendiri. Kemampuan Retribusi
Daerah yang dimiliki setiap daerah merupakan salah satu indikator kesiapan pemerintah daerah
yang berotonomi daerah. Oleh karena itu, perolehan Retribusi Daerah disarankan untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah yang digunakan untuk menyelenggarakan otonomi daerah
yang secara konseptual diharapkan memiliki kemampuan nyata dan bertanggung jawab.3
Penetapan jenis retribusi ke dalam retribusi jasa umum dan jasa usaha dibuat dengan Peraturan
Pemerintah agar tercipta ketertiban dalam penerapannya sehingga dapat memberikan kepastian
pada masyarakat serta dapat disesuaikan dengan kebutuhan di daerah yang bersangkutan.
Demikian pula untuk beberapa jenis perizinan tertentu juga ditetapkan dengan Peratutan
Pemerintah karena perizinan tersebut walaupun merupakan kewenangan Pemerintah Daerah.

3. Menjelaskan penyederhanaan pelayanan perizinan

a. Penyederhanaan pelayanan perizinan

Pasal 349

1. Daerah dapat melakukan penyederhanaan jenis dan prosedur pelayanan publik untuk
meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing Daerah.

2. Penyederhanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.

3. Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam


penyelenggaraan pelayanan publik.

b. Analisa SWOT dan HDSL

c. Analisis perizinan

4. Menjelaskan alur kerja perizinan


a. Simbol-simbol
b. Diagram alur
c. Analisis alur kerja
Semua organisasi perlu mengidentifikasi hasil dari pekerjaan, untuk menentukan kualitasdan
standar kuantitas hasil bagi mereka , dan untuk menganalisis proses dan masukan
yangdiperlukan untuk memproduksi hasil yang memenuhi standar kualitas.
1) Menganalisis Hasil kerja
Setiap unit kerja apakah departemen, tim, atau individu berusaha untuk memproduksi hasil
yang lain dapat digunakan. Sebuah hasil adalah produk dari unit kerja dengan manufaktur
seperti yang didiskusikan pada pembukaan, hal ini mengidentifikasi objek seperti teknik,
forklift, atau sepak bola. Bagaimanapun juga hasil bias digunakan menjadi sebuah layanan,
seperti layanan penerbangan pada transportasi untuk tujuan tertentu, layanan untuk
membersihkan dan perawatan rumah atau perawat dan penjaga bayi.
2) Menganalisis proses kerja
Setelah hasil dari unit kerja telah diidentifikasi, hal ini mungkin untuk memeriksa proses kerja
yang digunakan untuk memproduksi hasil. Proses kerja adalah kegiatan anggota unit kerja
dimana mereka terlibat untuk menghasilkan output tertentu.
3) Menganalisi Masukan Kerja
Tahap akhir dalam analisis alur kerja adalah untuk mengidenntifikasi masukan yang digunakan
dalam pengembangan produk unit kerja. Pada gambar dibawah, masukan dapat dibagi menjadi
tiga bagian yaitu, material, peralatan dan kemampuan sumber daya manusia.
5. Menjelaskan prosedur dan pelayanan perizinan
a. Prosedur dan persyaratan perizinan

Prosedur perizinan:

1) Proses perizinan membutuhkan adanya pengetahuan tidak hanya sebatas aspek legal dari
proses perizinan, tetapi lebih jauh dari itu. Misalnya untuk memberi izin, pihak pelaksana juga
harus mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan dari izin tersebut.
2) Proses perizinan memerlukan dukungan keahlian aparatur tidak hanya dalam hal mengikuti tata
urutan prosedurnya, tetapi juga hal-hal lain yang sangat mendukung kelancaran proses
perizinan itu sendiri.

3) Proses perizinan tidak terlepas dari interaksi antara pemohon dengan pemberi izin. Dalam
interaksi tersebut terkadang muncul perilaku yang menyimpang, baik yang dilakukan oleh
aparatur maupun yang dipicu oleh kepentingan bisnis pelaku usaha, sehingga aparatur
pelaksana perizinan dituntut untuk memiliki perilaku yang positif dengan tidak memanfaatkan
situasi demi kepentingan pribadi. Ini semata-mata demi terciptanya good governance.

Persyaratan perizinan:

1) Tertulis dengan jelas. Regulasi akan sulit terlaksana dengan baik tanpa tertulis dengan jelas.

2) Memungkinkan untuk dipenuhi. Karena itulah maka perizinan harus berorientasi pada pada
azas kemudahan untuk dilaksanakan oleh si pemohon izin.
3) Berlaku universal. Perizinan hendaknya tidak menimbulkan efek diskriminatif, tapi harus
inklusif dan universal.
4) Memperhatikan spesifikasi teknis dan aspek lainnya yang terkait.

b. Inventarisasi jenis pelayanan

c. Rekomendasi jenis-jenis pelayanan perizinan

N Perizinan dan Non


o Perizinan
.
1. Rekomendasi Pertunjukan Kesenian untuk Pariwisata
2. Rekomendasi untuk Kegiatan Seni Budaya di Dalam Daerah/Luar Daerah.
3. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu dengan Kapasitas Produksi sampai dengan
6.000 m3 (enam ribu meter kubik)
4. Izin Usaha Industri Penampungan Terdaftar Kayu Bulat (TPT-KB
5. Izin Usaha Industri Tempat Penampungan Terdaftar Kayu Olahan (TPT-KO)
6. Izin Pembudidayaan Ikan
7. Izin SIUP Bidang Tangkap
8. Penerbitan Izin Penangkapan Ikan (SIPI)
9. Izin Penangkapan Ikan Andon (SIPI Andon)
10. Izin Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI)
11. Izin Lokasi
12. Izin Lokasi Wisata Bahari
13. Izin Lokasi Usaha Pembudidayaan Ikan di Laut
14. Izin Lokasi Reklamasi
15. Izin Lokasi Pemanfaatan Air Laut Dalam
16. Izin Lokasi Pemasangan Pipa Bawah Laut
17. Izin lokasi pemasangan kabel bawah laut
18. Izin Lokasi Pemanfaatan Air Laut Selain Energi
19. Izin Lokasi Pertambangan dan Energi di Perairan Pesisir dan Perairan Pulau – Pulau Kecil
20. Izin Pengelolaan
21. Izin Pengelolaan Wisata Bahari
22. Izin Pengelolaan Usaha Pembudidayaan Ikan di Laut
23. Izin Pelaksanaan Reklamasi
24. Izin Pengelolaan Pemanfaatan Air Laut Dalam
25. Izin Pengelolaan Pemasangan Pipa Bawah Laut
26. Izin Pengelolaan Pemasangan Kabel Bawah Laut
27. Izin Pengelolaan Pemanfaatan Air Laut Selain Energi
28. Izin Usaha Perikanan (SIUP) Pengolahan, Pengumpulan dan Pengangkutan
29. Rekomendasi Izin Penelitian.
30. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) Perpanjangan
31. Izin Operasional Penyedia Jasa Pekerja/Buruh/Outsorcing
32. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi (IUP Eksplorasi).
33. Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-Eksplorasi)
34. Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus Untuk Penjualan
35. Izin Pertambangan Rakyat
36. Izin Usaha Pertambangan (IUPJ)
37. IUP Operasi Produksi Khusus untuk Pengolahan IUP – OP Khusus Untuk Pengolahan)
38. Izin Pengeboran Air Tanah (SIPAT)
39. Izin Perusahaan Pengeboran Air Tanah (SIPPAT)
40. Izin Penggalian Air Tanah
41. Izin Pengusahaan Air Tanah
42. Izin Pemakaian Air Tanah (SIPAT)
43. Izin Usaha Niaga Bahan Bakar Nabati
44. Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Non Bumn Sementara
45. Izin Operasi Usaha Tenaga Listrik
46. Surat Keterangan Terdaftar Kapasitas >25kva S/D 200 Kva
47. Surat Keterangan Terdaftar Laporan Kapasitas >25kva S/D 200 Kva
48. Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Sementara (IUPL)
49. Izin Lingkungan
50. Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
51. Tanda Daftar Usaha Pariwisata Usaha Kawasan Pariwisata
52. Tanda Daftar Usaha Pariwisata Usaha Daya Tarik Wisata
53. Tanda Daftar Usaha Pariwisata Usaha Jasa Perjalanan Wisata
54. Tanda Daftar Usaha Pariwisata Usaha Jasa Penyelenggaraan Pertemuan, Perjalanan
Insentif, Konferensi Dan Pameran
55. Tanda Daftar Usaha Pariwisata Usaha Wisata Tirta
56. Izin Pemanfaatan Bagian Jalan Provinsi (Galian Jalan)
57. Rekomendasi Teknis Izin Pemanfaatan Infrastruktur Sumber Daya Air
58. Izin Angka Pengenal Importir (API)
59. Rekomendasi Surat Izin Usaha Perdagangan MB Untuk Distributor
60. Izin Industri Yang Investasinya Diluar Tanah Dan Bangunan Diatas Rp. 15.000.000.000,-
61. Surat Ijin Usaha Perdagangan Bahan Berbahaya ( SIUP – B2) Untuk Pengecer Terdaftar
Bahan Berbahaya (PT-B2)
62. Surat Ijin Usaha Perdagangan Bahan Berbahaya ( SIUP – B2) untuk Distributor Terdaftar
Bahan Berbahaya (DT-B2)
63. Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (MB) Untuk Toko Bebas Bea
64. Izin Pemasukan/Pengeluaran Ternak Unggas DOC (Day Old Chiken) Antar Provinsi.
65. Izin Pemasukan/Pengeluaran Ternak Unggas DOD (Day Old Duck) Antar Provinsi.
66. Izin Pemasukan/Pengeluaran Telur Tetas (Haching Egg) Antar Provinsi.
67. Izin Pemasukan/Pengeluaran Teernak / Hewan/ Satwa Antar Provinsi.
68. Izin Pemasukan/Pengeluaran Ternak / Hewan/ Satwa Untuk Keperluan Lomba / Hewan
Kesayangan Antar Provinsi.
69. Izin Pemasukan/Pengeluaran Ternak / Hewan/ Satwa Untuk Keperluan Pertahanan
Keamanan/ Kepentingan Antar Negara/ Antar Provinsi.
70. Izin Pemasukan/Pengeluaran Ternak / Hewan/ Satwa Untuk Keperluan Upacara Adat /
Antar Provinsi.
71. Izin Pemasukan/Pengeluaran Ternak / Hewan/ Satwa Untuk Keperluan Konservasi Antar
Provinsi.
72. Izin Pemasukan/Pengeluaran Ternak Sapi Potong Antar Provinsi.
73. Izin Pemasukan/Pengeluaran Produk Pangan Asal Hewan Antar Provinsi.
74. Izin Pemasukan/Pengeluaran Produk Hewan Non Pangan Antar Provinsi.
75. Izin Pemasukan/Pengeluaran Ternak Unggas DOC (Day Old Chinken)Grand Parent (GP)
Atau Grand Grand Parent (GGP) Antar Negara ( Import / Eksport )
76. Izin Pemasukan/Pengeluaran Ternak Unggas Dod (DAY OLD DOCK) Grand Parent (GP)
Atau Grand Grand Parent (GGP) Antar Negara ( Import / Eksport )
77. Rekomendasi Pemasukan/Pengeluaran Telur Tetas ( Haching Egg ) Antar Negara.
78. Rekomendasi Pemasukan/Pengeluaran Ternak / Hewan/ Satwa Antar Negara.
79. Rekomendasi Pemasukan/Pengeluaran Ternak / Hewan/ Satwa
Untuk Keperluan Konservasi Antar
Negara.
80. Rekomendasi Pemasukan/Pengeluaran Ternak / Hewan/ Satwa
Untuk Keperluan Lomba / Hewan Kesayangan Antar Negara.
81. Izin Pemasukan/Pengeluaran Ternak / Hewan/ Satwa Untuk Keperluan Pertahanan
Keamanan /
Kepentingan Negara Antar Negara.
82. Izin Pemasukan/Pengeluaran Produk Pangan Asal Hewan Antar Negara.
83. Izin Pemasukan/Pengeluaran Produk Hewan Non Pangan Antar Negara.
84. Rekomendasi Transit Ternak Unggas DOC (Day Old Chicken) Antar Provinsi
85. Rekomendasi Transit Ternak Unggas DOD (Day Old Duck) Antar Provinsi
86. Rekomendasi Transit Telur Tetas (Haching Egg) Antar Provinsi
87. Rekomendasi Transit Ternak/Hewan/Satwa) Antar Provinsi
88. Rekomendasi Transit Ternak/Hewan/Satwa) Untuk Konservasi Antar Provinsi.
89. Rekomendasi Transit Ternak/Hewan/Satwa) Untuk Keperluan Lomba/Hewan Kesayangan
Antar Provinsi.
90. Rekomendasi Transit Ternak/Hewan/Satwa) Untuk Keperluan Pertahanan/ Keperluan
Negara Antar Negara
91. Rekomendasi Transit Ternak/Hewan/Satwa) Untuk Keperluan Pertahanan/ Keperluan
Upacara/Adat Antar Provinsi
92. Izin Distributor Obat Hewan
93. Izin Pemasukan/Pengeluaran/Transit Produk Non Pangan Asal Hewan
94. Izin Pemasukan/Pengeluaran/Transit Produk Non Pangan Asal Hewan
95. Rekomendasi Pemasukan / Pengeluaran Ternak Bibit / Calon Bibit Sapi Antar Provinsi
96. Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek (TAXI)
97. Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP)
98. Surat Persetujuan Pengoperasian Kapal Antar Daerah Kabupaten/Kota Dalam
Daerah Provinsi Yang Terletak Pada Jaringan Jalan Provinsi Dan/ Atau Jaringan Jalur
Kereta Api Provinsi.
99. Rekomendasi Teknis Ijin Usaha Perusahaan Bongkar Muat

100. Penerbitan Surat Ijin Usaha Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) .
101. Penerbitan Izin Usaha Jasa Pengurusan Transportasi (JPT)
102. Surat Izin Usaha Pelayaran Rakyat.
103. Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut.
104. Penerbitan Izin Usaha Tally
105. Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek Untuk Angkutan Sewa
Khusus.
106. Pembaharuan Masa Berlaku Izin Penyelengaraan Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek
Untuk Angkutan Sewa Khusus.
107. Izin Prinsip Penanaman Modal Dalam Negeri
108. Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal Dalam Negeri
109. Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Dalam Negeri
110. Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (Merger) Dalam Negeri

6. Menjelaskan..
a. Pelanggan
Pelanggan merupakan konsumen berupa pembeli ataupun pengguna jasa yang
melakukan kegiatan pembelian ataupun penggunaan jasa secara berulang-ulang
dikarenakan kepuasan yang diterimanya dari penjual ataupun penyedia jasa. Dalam
sebuah bisnis pelanggan sangat dibutuhkan untuk menjamin keberlangsungan dan juga
keuntungan sebuah bisnis. Tanpa pelanggan yang tetap, maka bisnis yang dijalankan
cenderung terombang-ambing dan lebih beresiko.
Pelanggan pada dasarnya berasal dari konsumen biasa yang mencoba
menggunakan jasa ataupun produk dari sebuah perusahaan. Pelanggan terbentuk dari pola
kerja sama saling menguntungkan yang terjadi dalam proses kerja sama antara penyedia
layanan dan pengguna layanan. Tanpa kerja sama yang saling menguntungkan tidak akan
ada yang disebut sebagai pelanggan. Tanpa kerja sama yang saling menguntungkan yang
ada hanyalah proses pembelian barang biasa tanpa diikuti dengan pembelian barang
berulang-ulang di waktu lainnya.

Jenis-jenis Pelanggan

1) Pelanggan Internal

Pelanggan internal merupakan pelanggan yang tidak mengonsumsi suatu barang ataupun
jasa secara langsung. Pelanggan tipe ini membeli barang ataupun jasa untuk dijual
kembali oleh orang lain. Pelanggan jenis ini dapat berupa produsen suatu barang ataupun
agen penjualan yang bekerja sama dengan perusahaan penyedia barang ataupun jasa.
Pelanggan jenis ini akan didapatkan oleh perusahaan dengan jalan memberikan berbagai
keuntungan untuknya. Dengan memberikan keuntungan yang lebih untuk pelanggan ini,
maka pelanggan ini akan tetap setia menjadi pelanggan perusahaan Kita.

2) Pelanggan Eksternal

Pelanggan eksternal merupakan pelanggan yang secara aktif langsung mengonsumsi


barang ataupun jasa yang mereka beli. Pelanggan jenis ini sering juga disebut sebagai
konsumen akhir. Pelanggan tipe ini biasanya berhasil didapatkan oleh sebuah perusahaan
dikarenakan mutu dan kualitas dari barang ataupun jasa yang dirasakan oleh pelanggan
ini. Dengan memberikan kualitas terbaik dari barang ataupun jasa yang kita jual, kita
akan mendapatkan komitmen yang besar dari pelanggan eksternal ini.

Dari kedua jenis pelanggan tersebut, pada dasarnya pelanggan yang memberikan
keuntungan lebih besar adalah pelanggan internal. Pelanggan internal lebih memiliki
andil yang besar dalam proses penemuan pelanggan-pelanggan baru untuk perusahaan,
sedangkan pelanggan eksternal cenderung tidak memberikan kontribusi yang besar
terhadap pertambahan pelanggan sebuah perusahaan.

b. Mutu pelayanan

Mutu pelayanan dapat didefinisikan sebagai jarak antara harapan dan kenyataan
yang dirasakan pelanggan atas pelayanan yang mereka terima. Jika jarak harapan dan
keyataan itu dekat bahkan sesuai maka mutu pelayanan yang dirasakan pelanggan positif
atau baik, jika jarak harapan dan kenyataan itu jauh maka mutu pelayanan yang dirasakan
pelanggan negatif atau kurang baik.
Menurut pendapat Lewis dan Booms (Manullang, 2008) mutu pelayanan sebagai
ukuran seberapa baik tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai harapan pelanggan.
Maka dari pendapat tersebut dapat diambil kesimpulkan bahwa ada hal yang sangat
mempengaruhi mutu pelayanan yaitu antara jasa yang diharapkan dengan jasa yang
dirasakan. Dimensi yang biasa digunakan oleh pelanggan untuk mengukur kepuasan
pelanggan atas mutu pelayanan (Effendy, 2010) adalah Responsiveness, Reliability,
Assurance, Emphaty dan Tangibles. Bahkan Zeithami (Manullang, 2008)
mengembangkan alat ukur yang dinamakan SERVQUAL (Service Quality). SERVQUAL
merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur persepsi pelanggan atas mutu
layanan yang meliputi 5 dimensi:

1) Responsiveness (Tanggapan)
Kemampuan petugas di lembaga memahami keinginan peserta diklat dan kemampuan
memberikan tanggapan atas keluh kesah dan permasalahan yang dihadapi peserta.

2) Reliability (Keandalan)
Kemampuan petugas di lembaga untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan
segera, akurat dan memuaskan sesuai dengan harapan peserta.

3) Assurance (Jaminan)
Pengetahuan, sopan santun, keramahan, dan kemampuan petugas dalam menumbuhkan
rasa percaya kepada peserta diklat.

4) Emphaty
Kemampuan petugas di lembaga memberikan perhatian yang tulus dan bersifat khusus
yang diberikan kepada para peserta berupupaya untuk dapat memahami keinginan
peserta.

5) Tangibles (Bukti Langsung)


Kemampuan suatu lembaga dalam menunjukan bukti langsung yang berarti bentuk fisik,
yaitu sarana prasarana diklat seperti ruang kelas, ruang kamar, mushola, toilet, ruang
tunggu dan lain-lain. Kemudian penampilan petugas yang rapi dan bersih merupakan
bukti langsung kesiapan petugas dalam melayani.

c. Pendekatan perilaku dalam pelayanan

Pasal 34 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik


Pelaksana dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus berperilaku sebagai berikut:
1) adil dan tidak diskriminatif;
2) cermat;
3) santun dan ramah;
4) tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut;
5) profesional;
6) tidak mempersulit;
7) patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
8) menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara;
9) tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;
10) terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan
kepentingan;
11) tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik;
12) tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi
permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat;
13) tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki;
14) sesuai dengan kepantasan; dan
15) tidak menyimpang dari prosedur.

d. Keluhan pelanggan
Keluhan pelanggan adalah bentuk aspirasi pelanggan yang terjadi karena adanya
ketidakpuasan terhadap suatu barang atau jasa. Macam-macam keluhan pelanggan pada
dasarnay terbagi 2 yakni keluhan yang disampaikan lewat lisan (berbicara langsung atau
lewat telepon) dan keluhan yang disampaikan secara tertulis (lewat guest complaint
form). Selain itu, keluhan pelanggan merupakan ketidakpuasan yang dirasakan oleh
konsumen ketika membeli dan menggunakan barang, baik itu berupa produk fisik atau
jasa pelayanan. Keluhan pelanggan tidak bias diabaikan, karena mengabaikan hal tersebut
akan membuat pelanggan merasa tidak dihargai dan tidak diperhatikan sama sekali
(Rusadi : 2004)

e. Kepuasan pelanggan
Kepuasan pelanggan adalah sebuah pendahuluan dari pembelian
kembali konsumen, loyalitas pelanggan, dan bertahannya konsumen yang akhirnya
menguntungkan perusahaan. Kepuasan konsumen memberikan banyak keuntungan bagi
perusahaan dimana salah satu yang penting yaitu memungkinkan tercapainya loyalitas
pelanggan (Lovelock et al 2005).
Menurut Kotler & Keller pengertian kepuasan pelanggan adalah tingkat keadaan perasaan
seseorang yang merupakan hasil perbandingan antara penilaian kinerja/hasil
akhir produk dalam hubungannya dengan harapan pelanggan.
Kepuasan merupakan fungsi dari harapan dan kinerja yang dirasakan. Jika
kinerja produk atau jasa lebih rendah dari yang diharapkan, konsumen akan merasa tidak
puas. Jika kinerja produk atau jasa sesuai harapan maka konsumen akan merasa puas
(satisfied), dan jika kinerja produk atau jasa melebihi harapan maka konsumen akan
merasa sangat puas (delighted).

7. Menjelaskan kebijakan dan paradigma pelayanan public di era otonomi daerah


a. Paradigma good governance dalam pelayanan public
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara wajib melayani
setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seluruh kepentingan publik harus dilaksanakan
oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara yaitu dalam berbagai sektor pelayanan,
terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar
masyarakat.Dengan kata lain seluruh kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang
banyak itu harus atau perlu adanya suatu pelayanan.

Pemerintah mengandung arti suatu kelembagaan atau organisasi yang


menjalankan kekuasaan pemerintahan, sedangkan pemerintahan adalah proses
berlangsungnya kegiatan atau perbuatan pemerintah dalam mengatur kekuasaan suatu
negara. Penguasa dalam hal ini pemerintah yang menyelenggarakan pemerintahan,
melaksanakan penyelenggaraan kepentingan umum, yang dijalankan oleh penguasa
administrasi negara yang harus mempunyai wewenang. Seiring dengan perkembangan,
fungsi pemerintahan ikut berkembang, dahulu fungsi pemerintah hanya membuat dan
mempertahankan hukum, akan tetapi pemerintah tidak hanya melaksanakan undang-
undang tetapi berfungsi juga untuk merealisasikan kehendak negara dan
menyelenggarakan kepentingan umum (public sevice). Perubahan paradigma
pemerintahan dari penguasa menjadi pelayanan, pada dasarnya pemerintah berkeinginan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat.

Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah itu masih


dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas
sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih
banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara Iangsung maupun melalui
media massa. Pelayanan publik perlu dilihat sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan
hak-hak dasar masyarakat. Dalam hal ini penyelenggaraan pelayanan publik tidak hanya
yang di selenggarakan oleh pemerintah semata tetapi juga oleh penyelenggara swasta.

Pada saat ini persoalan yang dihadapi begitu mendesak, masyarakat mulai tidak
sabar atau mulai cemas dengan mutu pelayanan aparatur pemerintahan yang pada
umumnya semakin merosot atau memburuk. Pelayanan publik oleh pemerintah lebih
buruk dibandingkan dengan pelayanan yang diberikan oleh sektor swasta, masyarakat
mulai mempertanyakan apakah pemerintah mampu menyelenggarakan pemerintahan dan
atau memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.

Sudah sepatutnya pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut.


Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan
pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi
pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan
begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain
sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan
bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik.

Penyelenggaraan pelayanan publik yang buruk di Indonesia selama ini telah


menjadi rahasia umum bagi setiap masyarakat sebagai penerima layanan, ungkapan ini
tidaklah berlebihan ketika melihat fakta bahwa hak sipil warga sering dilanggar dalam
proses pengurusan identitas penduduk seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pembuatan
KTP yang seharusnya mudah, dipersulit dengan banyaknya meja dan rangkaian prosedur
yang harus dilalui. Keluhan-keluhan seperti inilah yang sering muncul dari masyarakat
dalam penyelenggaraan pelayanan publik terutama dari rendahnya kualitas
penyelenggaraan pelayanan publik.

Pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses,
prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang
tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya
kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana hal ini juga sebagai akibat dari berbagai
permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan oleh rakyat. Di samping itu, ada
kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat yang
tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang
memiliki “uang“, dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan. Untuk itu,
apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan
yang berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan
berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar
antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang
lamban, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara
keseluruhan.
Birokrasi pada pemerintahan sebagai penyelenggara pelayanan publik sering atau
selalu dikeluhkan karena ketidak efisien dan efektif, birokrasi sering kali dianggap tidak
mampu melakukan hal-hal yang sesuai dan tepat, serta sering birokrasi dalam pelayanan
publik itu sangat merugikan masyarakat sebagai konsumennya. Hal ini sangat
memerlukan perhatian yang besar, seharusnya birokrasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik itu memudahkan masyarakat menerima setiap pelayanan yang
diperlukannya, seharusnya pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan terhadap
masyarakat itu mempermudahkannya, bukan mempersulit.

Penyelenggaraan pemerintahan ditujukan kepada terciptanya fungsi pelayanan


publik, pemerintahan yang baik cenderung menciptakan terselenggaranya fungsi
pelayanan publik dengan baik pula, sebaliknya pemerintahan yang buruk mengakibatkan
fungsi pelayanan publik tidak dapat terselenggara dengan baik. Dalam hal ini juga
pemerintah diperbolehkan untuk melakukan intervensi dalam kehidupan masyarakat
dengan konsep negara kesejahteraan (welvaartstaat) melalui instrumen hukum yang
mendukungnya, hal ini boleh dilakukan agar dapat terlaksananya pelayanan publik
dengan baik serta terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat. Sebagai konsumen dalam
pelayanan publik welvaartstaat ini sangat berkaitan dengan kebijakan pemerintah sebagai
penyelenggara dalam pelayanan publik.

Sebelum lahirnya walvarestaat ada yang disebut atau dikenal


dengannachtwachkerstaat (negara penjaga malam), dalam tipe negara ini, negara tidak
dibenarkan untuk campur tangan dalam penyelenggaraan kepentingan rakyat. Dikatakan
sebagai nachtwachkerstaat karena negara bertindak hanya sebagai penjaga malam saja,
artinya negara hanya menjaga keamanan semata-mata, negara baru bertindak apabila
keamanan dan ketertiban terganggu. Dalam hal ini negara tidak mencampuri segi-segi
kehidupan masyarakat, baik dalam segi ekonomi, sosial, kebudayaan dan sebagainya,
sebab dengan turut campurnya negara kedalam segi-segi kehidupan masyarakat dapat
mengakibatkan kurangnya kemerdekaan individu. Akan tetapi dikarenakan oleh tuntutan
masyarakat menghendaki faham ini tidak dipertahankan lagi, sehingga negara terpaksa
turut campur tangan dalam urusan kepentingan rakyat.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran paradigma darirule


government menjadi good governance, dalam paradigma dari rule
government penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik
senantiasa menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara
prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya terbatas pada
penggunaan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan dikembangkan
dengan menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang tidak hanya
melibatkan pemerintah atau negara semata tetapi harus melibatkan intern birokrasi
maupun ekstern birokrasi. Citra buruk yang melekat dalam tubuh birokrasi dikarenakan
sistem ini telah dianggap sebagai tujuan bukan lagi sekadar alat untuk mempermudah
jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataannya, birokrasi telah lama menjadi
bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara.

Sistem kepemerintahan yang baik adalah partisipasi, yang menyatakan semua


institusi governance memiliki suara dalam pembuatan keputusan, hal ini merupakan
landasan legitimasi dalam sistem demokrasi, good governance memiliki kerangka
pemikiran yang sejalan dengan demokrasi dimana pemerintahan dijalankan sepenuhnya
untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pemerintah yang demokratis tentu akan mengutamakan kepentingan rakyat, sehingga
dalam pemerintahan yang demokratis tersebut penyediaan kebutuhan dan pelayanan
publik merupakan hal yang paling diutamakan dan merupakan ciri utama dari good
governance.

b. Konsep kebijakan pelayanan public di era otonomi daerah

Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah


kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
perundang-undangan. Dengan otonomi daerah berarti telah memindahkan sebagian besar
ke-wenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom,
sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan
masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan
membuat kebijakan (perda) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, maka dengan
otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan akan dapat
berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas.

Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan


keuangan daerah (PAD), sumber daya manusia yang dimiliki daerah, serta kemampuan
daerah untuk mengembangkan segenap potensi yang ada di daerah otonom. Terpusatnya
SDM berkualitas di kota-kota besar dapat didistribusikan ke daerah seiring dengan
pelaksanaan otonomi daerah, karena kegiatan pembangunan akan bergeser dari pusat ke
daerah. Menguatnya isu Putra Daerahisme dalam pengisian jabatan akan menghambat
pelaksanaan otonomi daerah, disamping itu juga akan merusak rasa persatuan dan
kesatuan yang telah kita bangun bersama sejak jauh hari sebelum Indonesia merdeka.
Setiap manusia Indonesia dijamin oleh konstitusi, memiliki hak yang sama untuk
mengabdikan diri sesuai dengan profesi dan keahliannya dimanapun di wilayah nusantara
ini. Yang perlu dikedepankan oleh pemerintah daerah adalah bagaimana pemerintah
daerah mampu membangun kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat
mendesain standard Pelayanan Publik yang mudah, murah dan cepat.

Untuk menciptakan kelembagaan pemerintah daerah otonom yang mumpuni perlu


diisi oleh SDM yang kemampuannya tidak diragukan, sehingga merit system perlu
dipraktekkan dalam pembinaan SDM di daerah. P A D Pelaksanaan otonomi daerah di
beberapa daerah telah diwarnai dengan kecenderungan Pemda untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah dengan cara membuat Perda yang berisi pembebanan pajak-pajak
daerah. Hal ini telah mengakibatkan timbulnya ekonomi biaya tinggi (High Cost
Economy) sehingga pengusaha merasa keberatan untuk menanggung berbagai pajak
tersebut. Kebijakan pemda untuk menaikkan PAD bisa berakibat kontra produktif karena
yang terjadi bukan PAD yang meningkat, akan tetapi justru mendorong para pengusaha
memindahkan lokasi usahanya ke daerah lain yang lebih menjanjikan.

Pemerintah daerah harus berhati-hati dalam mengeluarkan Perda tentang pajak


daerah, sehingga pelarian modal ke daerah lain dapat dihindari, dan harus berusaha
memberikan berbagai kemudahan dan pelayanan untuk menarik investor menanamkan
modal di daerahnya. Organisasi publik memang berbeda dengan organisasi bisnis karena
organisasi publik memiliki cirri-ciri sebagai berikut : Organisasi publik tidak sepenuhnya
otonomi tetapi dikuasai faktor-faktor eksternal. Organisasi publik secara resmi diadakan
untuk pelayanan masyarakat. Organisasi publik tidak dimaksud kan untuk berkembang
menjadi besar sehingga merugikan organisasi publik lain Kesehatan organisasi publik
diukur melalui : Kontribusinya terhadap tujuan politik. Kemampuan mencapai hasil
maksimum dengan sumber daya yang tersedia. Kualitas pelayanan masyarakat yang
buruk akan memberi pengaruh politik yang negatif / merugikan. (Azhar Kasim, 1993 :
20)

Meskipun organisasi publik memiliki cirri-ciri yang berbeda dengan organisasi


bisnis akan tetapi paradigma beru Administrasi Publik yang dipelopori oleh Ted Gabler
dan David Osborne dengan karyanya "REINVENTING GOVERNMENT" telah
memberikan inspirasi bahwa administrasi publik harus dapat beroperasi layaknya
organisasi bisnis, efisien, efektif dan menempatkan masyarakat sebagai stake holder yang
harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian
serius dalam pelaksanaan otonomi daerah antara lain pelayanan publik, formasi jabatan,
pengawasan keuangan daerah dan pengawasan independent.

1) Pelayanan Publik Pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah akan
mempengaruhi minat para investor dalam menanamkan modalnya di suatu daerah.
Excelent Service harus menjadi acuan dalam mendesain struktur organisasi di
pemerintah daerah. Dunia usaha menginginkan pelayanan yang cepat, tepat, mudah
dan murah serta tariff yang jelas dan pasti. Pemerintah perlu menyusun Standard
Pelayanan bagi setiap institusi (Dinas) di daerah yang bertugas memberikan
pelayanan kepada masyarakat, utamanya dinas yang mengeluarkan perizinan bagi
pelaku bisnis. Perizinan berbagai sector usaha harus didesain sedemikian rupa agar
pengusaha tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk mengurus izin usaha,
sehingga tidak mengorbankan waktu dan biaya besar hanya untuk mengurus
perizinan. Deregulasi dan Debirokratisasi mutlak harus terus menerus dilakukan oleh
Pemda, serta perlu dilakukan evaluasi secra berkala agar pelayanan publik senantiasa
memuaskan masyarakat. Ada hasil penelitian tentang kualitas pelayanan yang perlu
dijadikan pedoman oleh aparat pemda dalam melayani masyarakat di daerah Studi
International menyatakan bahwa tiga 3-6 dari 10 pelanggan akan bicara secara
terbuka kepada umum mengenai perlakuan buruk yang mereka terima. Pada akhirnya
6 dari 10 pelanggan akan mengkonsumsi barang atau jasa alternatif (Pantius D,
Soeling, 1997, 11). Hasil studi The Tehnical Assistens Research Program Institute
menunjukkan: 95 % dari pelanggan yang dikecewakan tidak pernah mengeluh kepada
perusahaan. Rata-rata pelanggan yang komplain akan memberitahukan kepada 9 atau
10, orang lain mengenai pelayanan buruk yang mereka terima. 70 % pelanggan yang
komplain akan berbisnis kembali dengan perusahaan kalau keluhannya ditangani
dengan cepat. (Pantius D. Soeling, 1997 : 11). Dengan demikian pelayanan
memegang peranan yang sangat penting dalam menjaga loyalitas konsumen,
demikian pula halnya pelayanan yang diberikan oleh pemda kepada para pelaku
bisnis. Bila merasa tidak mendapat pelayanan yang memuaskan maka mereka akan
dengan segera mencari daerah lain yang lebih kompetitif untuk memindahkan
usahanya. Penilaian Kualitas Pelayanan menurut Konsumen menurut Zeitmeml Para
suraman Berry yang dikutip oleh Amy YS. Rahayu penilaian kualitas pelayanan oleh
konsumen adalah sebagai berikut : Indikator kualitas pelayanan menurut konsumen
ada 5 dimensi berikut (Amy Y.S. Rahayu, 1997:11): Tangibles: kualitas pelayanan
berupa sarana fisik kantor, komputerisasi Administrasi, Ruang Tunggu, tempat
informasi dan sebagainya. Realibility: kemampuan dan keandalan dalam
menyediakan pelayanan yang terpercaya. Responsivness: kesanggupan untuk
membantui dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat serta tanggap terhadap
keinginan konsumen. Assurance: kemampuan dan keramahan dan sopan santun dalam
meyakinkan kepercayaan konsumen. Emphaty: sikap tegas tetapi ramah dalam
memberikan payanan kepada konsumen.
2) Pengisian Formasi Jabatan Formasi jabatan di pemerintah daerah Tk. I maupun Tk. II
ada yang bertambah akan tetapi ada juga yang berkurang, karena harus disesuaikan
dengan kemampuan daerah untuk membiayai perangkat daerah (dinas) sesuai dengan
besarnya pendapatan asli daerah yang dimiliki. Pengisian formasi jabatan baik untuk
jabatan politik maupun untuk jabatan karir di Instansi daerah sering diwarnai dengan
menguatnya isu putra daerah. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
menyatakan otonomi daerah sering menimbulkan berbagai gejolak biasanya terkait
dengan proses pemilihan kepala daerah dan pertanggung jawaban kepala daerah.
(Republika, 10 Januari 2001). Kasus pemilihan Bupati Sampang Madura yang
berlarut-larut sampai saat ini belum dilantik menunjukkan bahwa belum semua
anggota masyarakat di daerah siap melaksanakan demokrasi di tingkat lokal.
Demokrasi menuntut adanya sikap dewasa dan rasional serta sanggup untuk
menerima adanya perbedaan pendapat termasuk kekalahan dari calon atau partai yang
didukungnya. Sepanjang proses pemilihan Kepala Daerah telah dilakukan secara
demokratis dengan mengikuti aturan main yang telah ditetapkan maka semua pihak
harus siap menerima apapun hasilnya. Dalam demokrasi ada idiom yang menyatakan
bahwa tidak mungkin suatu pilihan memuaskan semua orang. Sepanjang pemilihan
itu telah memuaskan dan diterima oleh sebagian besar masyarakat maka hasilnya
harus diterima dan disahkan sebagai keputusan yang legal. Teror, ancam-mengancam
secara fisik dan psikis merupakan manifestasi dari sikap yang belum dewasa dalam
berdemokrasi, sehingga hal ini harus dihindarkan dalam praktek-praktek politik di era
reformasi saat ini. Untuk pengisian formasi jabatan karir pemda hendaknya
mengedepankan profesionalisme sehingga tidak terjebak pada fanatisme sempit
berupa kesukuan, sebab bila hal ini yang ditonjolkan oleh pemda maka selain
merugikan pemda sendiri, juga akan mengusik rasa persatuan dan kesatuan bangsa
yang telah sejak lama dibangun dan diperjuangkan bahkan jauh sebelum
kemerdekaan RI. Menurut Ibnu Purna untuk dapat mengeliminir terjadinya ego
daerahisme pelaksanaan otonomi daerah harus dilandasi dengan semangat plurarisme
dengan cara mempelajari kembali sejarah pergerakan Nasional dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia (Republika, 22 November 2000). Strategi
pengisian formasi jabatan yang paling valid, adil dan layak di daerah adalah dengan
mengadakan Fit and Proper Test secara obyektif kepada setiap calon, tanpa melihat
dari mana suku dan daerahnya yang penting masih warga negara Indonesia. Hal ini
akan mampu menekan isi kesukuan yang sudah tidak relevan lagi untuk
dipertahankan di era GLOBALISASI karena keaslian dan kesukuan tidak akan
menunjang keberhasilan pelaksanaan tugas. Selaiknya dengan profesionalisme akan
dapat memberikan kinerja yang unggul karena pendekatan yang bersifat primordial
adalah masa lalu yang harus segera ditinggalkan. Pembinaan pegawai di pemerintah
daerah harus sudah menerapkan merit system agar kinerja pemda dapat menjadi clean
government di tingkat local sebagai sumbangan untuk menciptakan clean government
secara Nasional.
3) Pengawasan Keuangan di Daerah Pelaksanaan otonomi daerah telah mengakibatkan
terjadinya pergeseran peran dari Departemen yang berada di Pusat ke Dinas-dinas di
daerah. Demikian juga pelaksanaan proyek-proyek pembangunan yang dahulu
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dengan Pemimpin Proyek yang diangkat dan
ditunjuk oleh Menteri., kini telah diserahkan kewenangan untuk mengangkat dan
menunjuk Pinpro kepada pemerintah daerah. Diserahkannya kewenangan
pelaksanaan proyek ke daerah berarti diserahkan pula kewenangan pengelolaan
keuangan negara yang cukup besar kepada daerah. Sementara tugas pelaksanaan
kegiatan dari Departemen secara berangsur-angsur akan menciut dan tinggal
pembinaan dengan pembuatan standar-standar baku. Meningkatnya jumlah anggaran
yang dikelola di daerah perlu dibarengi dengan peningkatan kemampuan pengawasan
keuangan di daerah . Sebab membengkaknya anggaran di pemda bila tidak diikuti
dengan pengawasan keuangan yang memadai tidak tertutup kemungkinan akan
menyuburkan praktek KKN di daerah. Untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan
pengawasan keuangan di daerah diperlukan pendistribusian aparat pengawasan (Itjen
dan BPKP) ke daerah tingkat I maupun TK II. Pengawasan keuangan di daerah tidak
dapat sepenuhnya diserahkan kepada DPRD sebab DPRD bersifat politis dan tidak
semua anggota DPRD memiliki staf ahli yang mampu dan menguasai seluk beluk
pelaksanaan keuangan daerah.
4) Lembaga Pengawasan Independen Untuk mengawasi kinerja DPRD yang kini
berfungsi sebagai independent yang bertugas memantau kinerja DPRD. Kewenangan
yang cukup besar yang dimiliki oleh DPRD ini dapat saja disalahgunakan untuk
kepentingan para anggota DPRD sendiri, sementara kepentingan rakyat tetap saja
terabaikan. Tugas dari lembaga ini adalah untuk menekan praktek-praktek politik
yang kolusif yang dilakukan oleh DPRD dan Kepala Daerah. Pada saat penyusunan
RAPBD dan penyampaian Laporan Pertangungjawaban Kepala Daerah kepada
DPRD, adalah saat yang kritis dan perlu mendapat perhatian serius dari segenap
lapisan masyarakat agar tidak terjadi persekongkolan politik yang merugikan
kepentingan masyarakat. Kasus pemberian mobil dinas kepada setiap anggota DPRD
telah mendapat dana sebesar Rp 75.000.000,00 sebagai subsidi pembelian kendaraan.
(Republika, 9 Maret 2001) dinilai oleh sebagian perbuatan yang dilakukan agar
pertanggungjawaban kepala daerah tidak dipermasalahkan oleh DPRD, padahal
masih banyak pos-pos untuk kesejahteraan masyarakat yang perlu dibiayai dari
APBD. Disini jelas bahwa demi memuluskan penilaian atas LPJ gubernur telah
memanjakan DPRD dengan berbagai fasilitas berlebihan. Di daerah kasus yang
hampir sama juga terjadi di Kab. Purbalingga Jateng dimana utang pribadi anggota
Dewan berupa kredit Sepeda Motor senilai Rp. 450.000.000,00 dilunasi dengan
anggaran APBD Kabupaten. Hal ini ada kaitannya dengan penyampaian Laporan
Pertanggungjawaban Bupati yang disampaikan pada bulan Maret 2001. (Republika,
20 Maret 2001). Eforia rupanya juga menghinggapi sikap para DPRD sehingga tidak
tertutup kemungkinan para anggota DPRD menyalahgunakan kekuasaan yang
dimiliki. Lembaga pengawasan Independen ini beranggotakan para tokoh masyarakat,
kalangan perguruan tinggi dan LSM yang konsen terhadap Clean Government
sehingga perlu mengawal ketat pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia,
agar otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
daerah, tanpa dibarengi dengan meningkatnya KKN di seluruh
daerah. PENUTUP Pelaksanaan otonomi daerah me mungkinkan pelaksanaan tugas
umum Pemerintahan dan tugas Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta
dapat menjadi sarana perekat Integrasi bangsa. UU No. 22 1999 jauh lebih
Desentralistik dibandingkan dengan UU No. 5 1974 namun karena pelaksanaan nya
berbarengan dengan pelaksanaan Reformasi yang mengakibatkan efuria-efuria di
kalangan masyarakat maka pelaksanaan otonomi daerah dapat juga diwarnai efuria
baik dari Kepala daerah maupun dari para anggota DPRD. Untuk menjamin agar
pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers
maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja Pemda dengan
mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri,
transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan
pemerintahan yang baik good government dan Clean government. Bila semua daerah
otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis, maka
pemerintah kita secara nasional pada suatu saat nanti entah kapan mungkin juga akan
dapat menjadi birokrasi yang bersih dan professional sehingga mampu menjadi
negara besar yang diakui dunia.

c. Konsekuensi pemberian urusan dan kewenangan


Otonomi daerah artinya hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap
masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
daerah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara
kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi.
Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi
segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh
Pemerintah Pusat seperti Hubungan luar negeri, Pengadilan, Moneter dan keuangan,
Pertahanan dan keamanan.
Tujuan utama otonomi daerah ialah membebaskan pemerintah pusat dari beban-
beban yang tidak perlu dalam menangani urusan daerah. Adapun tujuan otonomi daerah
yaitu:

1) Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.


2) Pengembangan kehidupan demokrasi
3) Keadilan
4) Pemerataan
5) Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam
rangka keutuhan NKRI
6) Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
7) Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat,
mengembangkan peran dan fungsi DPRD.

Konsekuensi dari otonomi daerah ialah tumbuhnya kesempatan bagi oknum-


oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya
pertentangan antara pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara
daerah yang pendapatannya tinggi dangan daerah yang masih berkembang, tidak ada
hirarkhi antara kabupaten/kota dengan propinsi yang dapat menyebabkan timbulnya
kesulitan dalam koordinasi kegiatan lintas kabupaten/kota.

d. Pelayanan yang dibutuhkan masyarakat

Masyarakat di era informasi seperti sekarang ini menginginkan segala pengurusan


lebih cepat, efektif, dan efisien. Itu sebabnya pelaksanaan pelayanan publik dituntut
untuk dapat memberikan layanan yang prima. Untuk mewujudkan hal tersebut
pemerintah dituntut untuk berbenah sebagai salah satu bentuk tanggungjawab terhadap
masyarakatnya. Tetapi, perubahan tersebut ternyata tidak dapat berubah seketika,
diperlukan rentang waktu bagi pemerintah dalam pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan
kualitas pelayanan publik dipengaruhi oleh beberapa hal. Untuk mengetahui lebih jauh,
berikut faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kualitas pelayanan publik di Indonesia.

1) Faktor organisasi sturktur organisasi

Kualitas pelayanan publik pada pemerintah salah satunya bergantung pada


komponen – komponen pembentuknya. Kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi. Dari
sinilah terbentuk mekanisme koordinasi formal serta pola interaksi dalam sebuah
organisasi. Kompleksitas berarti struktur organisasi tersebut menerapkan tingkat
pembagian kerja, dan tingkat jabatan. Komponen formalisasi berkaitan dengan standard
operating procedure (SOP). Terakhir, sentralisasi berkaitan dengan kewenangan
pengambilan keputusan.
Kondisi ketiga komponen struktur organisasi inilah yang mempengaruhi kualitas
pelayanan publik pemerintah. Apabila pemerintahan memiliki pembagian kerja yang
sesuai kebutuhan. Memiliki SOP yang jelas untuk tiap jenis pelayanannya. Serta
penerapan desentralisasi yang bertanggungjawab sehingga pengambilan keputusan dapat
lebih cepat dan fleksibel. Tentu dapat menunjang kualitas pelayanan publik.

2) Faktor Aparat/ pelayan publik

Sebagai pelaksana kegiatan dan proses penyelenggaraan pemerintahan.


Kemampuan aparatur pemerintah ini turut pula berperan penting dalam menentukan
tingkat kualitas pelayanan publik pemerintah. Bagaimana pemerintah mengelola dan
membekali aparat sebagai sumber daya manusia yang dimiliki sehingga pemerintahan
dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.
Dengan adanya perkembangan teknologi memungkinkan pemerintah lebih mudah
dalam melakukan pengelolaan SDM. Pemerintah dapat menggunakan aplikasi
pengelolaan SDM. Semua proses pengelolaan mulai dari pendataan data pegawai,
mutase, kehadiran pegawai, hingga penggajian dapat dikelola dengan lebih efektif dan
efisien.

3) Faktor sistem pelayanan publik

Untuk memberikan pelayanan publik yang baik bagi masyarakat dibutuhkan


sistem yang tertata. Selain berimbas pada kecepatan pelayanan, sistem pelayanan publik
yang baik dapat menekan pungli dan tindak korupsi. Syarat pelayanan yang jelas, batas
waktu, prosedur, serta tarif pelayanan yang transparan dapat mendorong tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan pemerintah.
Guna memberikan pelayanan yang lebih baik. Saat ini pelayanan publik banyak
yang diintegrasikan menjadi satu pintu. Beberapa kota di Indonesia mulai memanfaatkan
sistem informasi manajemen perizinan terpadu guna mendukung pelayanan satu pintu.
Sistem informasi yang lebih dikenal dengan e-government ini dapat mendukung
penyelenggaraan layanan menjadi lebih jelas, mudah, dan transparan.
Ketika pemerintah menerapkan pelayanan publik yang baik, maka tidak hanya
masyarakat yang merasa terbantu. Namun kinerja pemerintah juga akan semakin efektif
dan efisien. Proses yang yang biasanya berbelit dan lama menjadi lebih efisien. Dari sisi
pemerintah, data yang masuk terdokumentasi dengan baik sehingga dapat menjadi
rujukan dikemudian hari. Penerapan teknologi dapat menjadi salah satu upaya dalam
meningkatkan kualitas pelayanan publik.

e. Esensi pemberian urusan dan kewenangan

Pelaksanaan otonomi daerah telah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada
di daerah tidak terkecuali di Bangka Belitung. Berkurangnya wewenang dan kendali
pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi
masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak
daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut
memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun
program promosi kebudayaan dan juga pariwisata. Kebijakan-kebijakan pemerintah
daerah juga akan lebih tepat sasaran dan tidak membutuhkan waktu yang lama sehingga
akan lebih efisien.

Ada dua pendekatan yang didasarkan pada dua proposisi (Penni Chalid, 2005).
Pertama, pada dasarnya segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk
mengidentifikasikan, merumuskan, dan memecahkan persoalan, kecuali untuk persoalan-
persoalan yang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif
keutuhan negara-bangsa. Kedua, seluruh persoalan pada dasarnya harus diserahkan
kepada pemerintah pusat kecuali untuk persoalan-persoalan tertentu yang telah dapat
ditangani oleh daerah. Yang pertama disebut sebagai pendekatan federalistik, sedangkan
yang kedua sebagai pendekatan unitaristik.

f. Distribusi urusan dan kewenangan

Kewenangan pemerintah merupakan dasar utama baik setiap tindakan


dan perbuatan hukum dari setiap level pemerintahan, dengan adanya dasar
kewenangan yang sah maka setiap tindakan dan perbuatan hukum yang
dilakukan oleh setiap level pemerintahan dapat dikategorikan sebagai tindakan
dan perbuatan hukum yang sah dan apabila tanpa ada dasar kewenangan, maka
setiap tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap level
pemerintah dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum dan dapat juga dikatakan sebagai pelanggaran
terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik. Secara umum, kewenangan
pemerintahan dapat diperoleh melalui atribusi, delegasi, dan mandat serta tugas
pembantuan (medebewind). Cara memperoleh kewenangan tersebut juga
menggambarkan adanya perbedaan yang hakiki antara berbagai level
pemerintahan yang ada di suatu negara. Sebagai contoh, pelaksanaan atribusi
kewenangan memerlukan adanya pembagian level pemerintahan yang bersifat
nasional, regional, dan lokal atau level pemerintahan atasan dan pemerintahan
bawahan. Selain itu pelaksanaan delegasi membuktikan adanya level
pemerintahan yang lebih tinggi (delegator) dan level pemerintahan yang lebih
rendah (delegans). Secara khusus, kewenangan pemerintahan juga berkaitan
dengan hak, kewajiban, dan tanggung jawab di antara berbagai level
pemerintahan yang ada. Dengan adanya pembagian atribusi, distribusi,
delegasi, dan mandat dapat digambarkan bagaimana berbagai level
pemerintahan tersebut mempunyai hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang
berbeda antara satu level pemerintahan dengan level pemerintahan lainnya.
Dengan demikian, terjadi perbedaan tugas dan wewenang di antara berbagai
level pemerintahan tersebut, dan pada akhirnya dapat menciptakan perbedaan
ruang lingkup kekuasaan dan tanggung jawab di antara mereka.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan
yang menjadi urusan Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan
antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri
dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah
dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan
susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama.
Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antar tingkatan dan
susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan
selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah.
Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat
konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota. Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang
bersifat konkuren tersebut secara proporsional antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
maka ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria tersebut
diterapkan secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan
keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan

8. Menjelaskan konsepsi standar pelayanan minimal


a. Pengantar umum

Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23


Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal menggantikan
Peraturan Pemerintah sebelumnya Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan
dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.

Dalam Peraturan ini disebutkan bahwa Standar Pelayanan Minimal atau disingkat
dengan SPM merupakan ketentuan mengenai Jenis dan Mutu Pelayanan Dasar yang
merupakan Urusan Pemerintahan Wajib yang berhak diperoleh setiap Warga Negara
secara minimal. Pelayanan dasar dimaksud adalah pelayanan publik untuk memenuhi
kebutuhan dasar warga negara.

Pelayanan dasar dalam Standar Pelayanan Minimal merupakan urusan


pemerintahan wajib yang diselenggarakan Pemerintah daerah baik Pemerintah Provinsi
maupun Pemerintah Daerah. Urusan Pemerintahan wajib yang berkaitan dengan
pelayanan dasar yang selanjutnya menjadi jenis SPM terdiri atas :

1. Pendidikan

2. Kesehatan
3. Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang

4. Perumahan Rakyat dan Kawasan permukiman

5. Ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarkat, dan

6. Sosial

b. Pengertian standar pelayanan minimal

Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23


Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal menggantikan
Peraturan Pemerintah sebelumnya Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan
dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.

Dalam Peraturan ini disebutkan bahwa Standar Pelayanan Minimal atau disingkat
dengan SPM merupakan ketentuan mengenai Jenis dan Mutu Pelayanan Dasar yang
merupakan Urusan Pemerintahan Wajib yang berhak diperoleh setiap Warga Negara
secara minimal. Pelayanan dasar dimaksud adalah pelayanan publik untuk memenuhi
kebutuhan dasar warga negara.

Pelayanan dasar dalam Standar Pelayanan Minimal merupakan urusan


pemerintahan wajib yang diselenggarakan Pemerintah daerah baik Pemerintah Provinsi
maupun Pemerintah Daerah. Urusan Pemerintahan wajib yang berkaitan dengan
pelayanan dasar yang selanjutnya menjadi jenis SPM terdiri atas :

1) Pendidikan

2) Kesehatan

3) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang

4) Perumahan Rakyat dan Kawasan permukiman

5) Ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarkat, dan


6) Sosial

c. Penyusunan standar pelayanan minimal


Peraturan ini adalah sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 11 ayat (4) dan
Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Menjadi Undang-Undang.
Standar Pelayanan Minimal (selanjutnya disingkat SPM) disusun dan diterapkan
dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan
Pemerintah Daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat
secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib. Dalam penyusunan SPM
ditetapkan jenis pelayanan dasar, indikator SPM dan batas waktu pencapaian SPM.
Penyusunan SPM oleh masing-masing Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-
Departemen dilakukan melalui konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam
Negeri. Tim Konsultasi terdiri dari unsur-unsur Depdagri, Bappenas, Departemen
Keuangan, Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dengan melibatkan
Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen terkait sesuai kebutuhan.

Pemerintah Daerah mengakomodasikan pengelolaan data dan informasi penerapan SPM


ke dalam sistem informasi daerah yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen melakukan pembinaan
kepada Pemerintah Daerah dalam penerapan SPM. Pembinaan penerapan SPM terhadap
Pemerintah Daerah Provinsi dilakukan oleh Pemerintah dan pembinaan penerapan SPM
terhadap Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil
Pemerintah di daerah. Pemerintah melaksanakan monitoring dan evaluasi atas penerapan
SPM oleh Pemerintahan Daerah dalam rangka menjamin akses dan mutu pelayanan dasar
kepada masyarakat. Pemerintah dapat memberikan sanksi kepada Pemerintah Daerah
yang tidak berhasil mencapai SPM dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan
dalam Peraturan Menteri berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi dengan
mempertimbangkan kondisi khusus daerah yang bersangkutan.

d. Pembinaan serta pengawasan

BAB IV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 19

(1)Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri melaksanakan pembinaan


dan pengawasan penerapan SPM Daerah provinsi secara umum.

(2)Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang yang sesuai dengan jenis
SPM melaksanakan pembinaan dan pengawasan penerapan SPM Daerah provinsi secara teknis.

(3)Gubernur melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan SPM provinsi oleh
perangkat Daerah provinsi.

(4)Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melaksanakan pembinaan dan pengawasan


penerapan SPM Daerah kabupaten/kota secara umum dan teknis.

(5)Bupati melaksanakan pembinaan dan pengawasan penerapan SPM Daerah kabupaten oleh
perangkat Daerah kabupaten dan wali kota melaksanakan pembinaan dan pengawasan penerapan
SPM Daerah kota oleh perangkat Daerah kota.

(6)Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

9. Menjelaskan konsep, nilai, elemen, kelembagaan, dan perkembangan demokrasi

Konsep Demokrasi
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan
pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung atau melalui perwakilan.
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti “rakyat” dan
“kratos” yang berarti kekuasaan. Istilah demokrasi pertama kali diperkenalkan oleh
Aristosteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan
bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam
pidato Gettysburg nya mendefiniskan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Dalam hal ini berarti bahwa kekuasaan tertinggi pemerintahan
dipegang oleh rakyat.
Nilai Demokrasi

1) Menjamin tegaknya keadilan


2) Menekan penggunaan kebebasan seminimal mungkin
3) Menyelenggarakan pergantian kepemimpinan secara teratur
4) Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga
5) Menjamin terselenggaranya perubahan dalam masyarakat secara damai/tanpa
gejolak
6) Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman

Elemen Demokrasi

1) Negara Hukum (Rechtsstaat) : Supremasi hukum atau mentaati semua peraturan


perundang-undangan : pasal 1 ayat (3) negara Indonesia adalah negara hokum

2) Rakyat berdaulat (kedaulatan rakyat) : alinia keempat pembukaan UUD 1945 dan
pasal 1 ayat (2)

3) Kepentingan umum (Respublica) : pasal 1 ayat (1) negara Indonesia ialah negara
yang berbentuk republic

4) Adanya lembaga perwakilan : MPR, DPR, DPD, dan DPRD

5) Menghargai hak asasi manusia : Pasal 28A s/d J

Kelembagaan Demokrasi

Tugas pokok dan fungsi


Pasal 394

Subdirektorat Kelembagaan Demokrasi mempunyai tugas melaksanakan


pengoordinasian, perumusan dan pelaksanaan kebijakan, serta pemantauan, evaluasi, dan
pengendalian perencanaan pembangunan nasional di bidang kelembagaan demokrasi.

Pasal 395

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 394, Subdirektorat


Kelembagaan Demokrasi menyelenggarakan fungsi:

penyiapan bahan pengkajian, pengoordinasian, dan penyusunan kebijakan di bidang


perencanaan pembangunan nasional, strategi pembangunan nasional, arah kebijakan,
serta pengembangan kerangka regulasi, kelembagaan, dan pendanaan di bidang
kelembagaan demokrasi;

penyiapan bahan pengoordinasian dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan perencanaan


dan penganggaran pembangunan nasional di bidang kelembagaan demokrasi;

penyiapan bahan penyusunan rancangan rencana pembangunan nasional di bidang


kelembagaan demokrasi dalam penetapan program dan kegiatan
Kementerian/Lembaga/Daerah;

pengoordinasian dan pengendalian rencana pembangunan nasional dalam rangka sinergi


antara Rencana Kerja Pemerintah dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara di bidang kelembagaan demokrasi;

penyiapan bahan pengoordinasian pelancaran dan percepatan pelaksanaan program dan


kegiatan pembangunan di bidang kelembagaan demokrasi; dan

penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan pengendalian atas pelaksanaan program dan
kegiatan pembangunan di bidang kelembagaan demokrasi.

Perkembangan Demokrasi

Indonesia merupakan negara yang menerapkan demokrasi dalam sistem


pemerintahannya. Namun, penerapan demokrasidi Indonesia mengalami beberapa
perubahan sesuai kondisi politik dan pemimpin kala itu. Berikut penjelasan sejarah
demokrasi di Indonesia. Sejarah demokrasi di Indonesia dari zaman kemerdekaan hingga
zaman reformasi saat ini.

Sejak Indonesia merdeka dan menjadi negara pada tanggal 17 Agustus 1945,
dalam UUD 1945 menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut
paham demokrasi, dimana kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada ditangan Rakyat dan
dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), atau tergolong
sebagai negara yang menganut paham Demokrasi Perwakilan.

Berikut periode perkembangan demokrasi di Indonesia:

1) Perkembangan Demokrasi Masa Revolusi Kemerdekaan

Tahun 1945 – 1950, Indonesia masih berjuang menghadapi Belanda yang ingin kembali
ke Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi belum berjalan dengan baik. Hal itu
disebabkan oleh masih adanya revolusi fisik. Pada awal kemerdekaan masih terdapat
sentralisasi kekuasaan hal itu terlihat Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi
sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini segala kekuasaan dijalankan
oleh Presiden denan dibantu oleh KNIP. Untuk menghindari kesan bahwa negara
Indonesia adalah negara yang absolut pemerintah mengeluarkan:

 Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP berubah menjadi
lembaga legislatif.

 Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang Pembentukan Partai Politik.

 Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang perubahan sistem


pemerintahn presidensil menjadi parlementer

Perkembangan demokrasi pada periode ini telah meletakkan hal-hal mendasar. Pertama,
pemberian hak-hak politik secara menyeluruh. Kedua, presiden yang secara
konstitusional ada kemungkinan untuk menjadi dictator. Ketiga, dengan maklumat Wakil
Presiden, maka dimungkinkan terbentuknya sejumlah partai politik yang kemudian
menjadi peletak dasar bagi system kepartaian di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya
dalam sejarah kehidupan politik kita.

2) Perkembangan Demokrasi Parlementer (1950-1959)

Periode pemerintahan negara Indonesia tahun 1950 sampai 1959 menggunakan UUD
Sementara (UUDS) sebagai landasan konstitusionalnya. Pada masa ini adalah masa
kejayaan demokrasi di Indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat
ditemukan dalam perwujudan kehidupan politik di Indonesia. Lembaga perwakilan rakyat
atau parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan.
Perwujudan kekuasaan parlemen ini diperlihatkan dengan adanya sejumlah mosi tidak
percaya kepad pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan
jabatannya.

Pada tahun 1950-1959 bisa disebut sebagai masa demokrasi liberal yang parlementer,
dimana presiden sebagai Kepala Negara bukan sebagai kepala eksekutif. Masa
demokrasi ini peranan parlemen, akuntabilitas politik sangat tinggi dan berkembangnya
partai-partai politik. Namun demikian praktik demokrasi pada masa ini dinilai gagal
disebabkan :

 Dominannya politik aliran, sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan


konflik

 Landasan sosial ekonomi yang masih lemah

 Tidak mampunya konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950

 Persamaan kepentingan antara presiden Soekarno dengan kalangan Angkatan Darat,


yang sama-sama tidak senang dengan proses politik yang berjalan

Atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :

 Bubarkan konstituante
 Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S 1950

 Pembentukan MPRS dan DPAS

3) Perkembangan Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah


kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara
semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan nasakom
dengan ciri:

 Dominasi Presiden

 Terbatasnya peran partai politik

 Berkembangnya pengaruh PKI

Sejak berakhirnya pemillihan umum 1955, presiden Soekarno sudah menunjukkan gejala
ketidaksenangannya kepada partai-partai politik. Hal itu terjadi karena partai politik
sangat orientasi pada kepentingan ideologinya sendiri dan dan kurang memperhatikan
kepentingan politik nasional secara menyeluruh.disamping itu Soekarno melontarkan
gagasan bahwa demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia
yang dijiwai oleh Pancasila.

Penyimpangan masa demokrasi terpimpin antara lain:

 Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak yang dipenjarakan

 Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan oleh presiden dan presiden
membentuk DPRGR

 Jaminan HAM lemah


 Terjadi sentralisasi kekuasaan

 Terbatasnya peranan pers

 Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok Timur)

Setelah terjadi peristiwa pemberontakan G 30 September 1965 oleh PKI, menjadi tanda
akhir dari pemerintahan Orde Lama.

4) Perkembangan Demokrasi dalam Pemerintahan Orde Baru

Pemerintahan Orde Baru ditandai oleh Presiden Soeharto yang menggantikan Ir.
Soekarno sebagai Presiden kedua Indonesia. Pada masa orde baru ini menerapkan
Demokrasi Pancasila untuk menegaskan bahwasanya model demokrasi inilah yang
sesungguhnya sesuai dengan ideologi negara Pancasila.

Awal Orde baru memberi harapan baru pada rakyat pembangunan disegala bidang
melalui Pelita I, II, III, IV, V dan pada masa orde baru berhasil menyelenggarakan
Pemilihan Umum tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.Namun demikian
perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini dianggap gagal sebab:

 Rotasi kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada

 Rekrutmen politik yang tertutup

 Pemilu yang jauh dari semangat demokratis

 Pengakuan HAM yang terbatas

 Tumbuhnya KKN yang merajalela

 Sebab jatuhnya Orde Baru:

 Hancurnya ekonomi nasional ( krisis ekonomi )


 Terjadinya krisis politik

 TNI juga tidak bersedia menjadi alat kekuasaan orba

 Gelombang demonstrasi yang menghebat menuntut Presiden Soeharto untuk turun


jadi Presiden.

Orde Baru mewujudkan dirinya sebagai kekuatan yang kuat dan relatif otonom, dan
sementara masyarakat semakin teralienasi dari lingkungan kekuasaan danproses
formulasi kebijakan. Kedaan ini adalah dampak dari (1) kemenangan mutlak dari
kemenangan Golkar dalam pemilu yang memberi legitimasi politik yangkuat kepada
negara; (2) dijalankannya regulasi-regulasi politik semacam birokratisasai, depolitisasai,
dan institusionalisasi; (3) dipakai pendekatan keamanan; (4) intervensi negara terhadap
perekonomian dan pasar yang memberikan keleluasaan kepda negara untuk
mengakumulasikan modal dan kekuatan ekonomi; (5) tersedianya sumber biaya
pembangunan, baik dari eksploitasi minyak bumi dan gas serta dari komoditas nonmigas
dan pajak domestik, mauppun yang berasal dari bantuan luar negeri, dan akhirnya (6)
sukses negara orde baru dalam menjalankan kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok
rakya sehingga menyumbat gejolak masyarakat yang potensinya muncul karena sebab
struktural.

5) Perkembangan Demokrasi Pada Masa Reformasi (1998 Sampai Dengan Sekarang)

Sejak runtuhnya Orde Baru yang bersamaan waktunya dengan lengsernya Presiden
Soeharto, maka Indonesia memasuki suasana kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai
hasil dari kebijakan reformasi yang dijalankan terhadap hampir semua aspek kehidupan
masyarakat dan negara yang berlaku sebelumnya. Kebijakan reformasi ini berpuncak
dengan di amandemennya UUD 1945 (bagian Batangtubuhnya) karena dianggap sebagai
sumber utama kegagalan tataan kehidupan kenegaraan di era Orde Baru.

Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden
Soeharto ke Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.
Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain:

 Keluarnya Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi

 Ketetapan No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan tap MPR tentang Referandum

 Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas dari
KKN

 Tap MPR RI No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan Masa Jabatan Presiden dan
Wakil Presiden RI

 Amandemen UUD 1945 sudah sampai amandemen I, II, III, IV

 Pada Masa Reformasi berhasil menyelenggarakan pemiluhan umum sudah dua kali
yaitu tahun 1999 dan tahun 2004.

Demokrasi yang diterapkan Negara kita pada era reformasi ini adalah demokresi
Pancasila, namun berbeda dengan orde baru dan sedikit mirip dengan demokrasi
perlementer tahun 1950 1959. Perbedaan demkrasi reformasi dengan demokrasi
sebelumnya adalah:

 Pemilu yang dilaksanakan (1999-2004) jauh lebih demokratis dari yang sebelumnya.

 Ritasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai pemerintahan pusat sampi pada tingkat
desa.

 Pola rekruitmen politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka.

 Sebagian besar hak dasar bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan
pendapat

Anda mungkin juga menyukai