0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
31 tayangan2 halaman
Teks tersebut membahas tiga dimensi perubahan global akibat globalisasi, yaitu menghilangnya batas budaya, pertemuan dan penggabungan budaya, serta penolakan terhadap integrasi global. Dimensi pertama diilustrasikan dengan contoh promosi produk secara global, sedangkan dimensi kedua terjadi karena mobilitas manusia antar negara. Dimensi ketiga muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap modernitas barat seperti nasionalisme di E
Teks tersebut membahas tiga dimensi perubahan global akibat globalisasi, yaitu menghilangnya batas budaya, pertemuan dan penggabungan budaya, serta penolakan terhadap integrasi global. Dimensi pertama diilustrasikan dengan contoh promosi produk secara global, sedangkan dimensi kedua terjadi karena mobilitas manusia antar negara. Dimensi ketiga muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap modernitas barat seperti nasionalisme di E
Teks tersebut membahas tiga dimensi perubahan global akibat globalisasi, yaitu menghilangnya batas budaya, pertemuan dan penggabungan budaya, serta penolakan terhadap integrasi global. Dimensi pertama diilustrasikan dengan contoh promosi produk secara global, sedangkan dimensi kedua terjadi karena mobilitas manusia antar negara. Dimensi ketiga muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap modernitas barat seperti nasionalisme di E
Mata Kuliah : Budaya Urban Kelompok 4 : Elsa Juwita
Kode Pengajar : LWK Ram Javi Lilhawaditsi
Hari, tanggal : Selasa, 25 September 2018 Shofi Novita Sumber : Du Gay, Paul.1997. Production Sri Agusthiningtyas of Culture (p. 32-45)
4.2 A World of Difference
Globalisasi memengaruhi bagaimana kita memahami hidup dan dunia yang kita tempati. Penyebaran yang berlebihan akan referensi budaya yang sama dapat memunculkan cita-cita cosmopolitan, yaitu budaya tanpa batas sehingga dapat menciptakan perpaduan dan hibriditas budaya yang baru dari pertemuan dua budaya yang berbeda. Walaupun sebagian orang mengantisipasi dan menikmati kompleksitas cosmopolitan ini, beberapa orang menentang dan memandang hal ini sebagai homogenisasi budaya dan pengikisan kekhasan budaya. Du Gay mengemukakan tiga dimensi perubahan global antara lain: menghilangkan batas-batas dan perbedaan antar budaya, pertemuan dan penggabungan budaya-budaya, dan reaksi penolakan terhadap penggabungan budaya tersebut. Di dalam dimensi pertama, bisa kita ambil contoh promosi yang memiliki istilah ‘McDonalization’ dan ‘Coca-colonization’. Istilah ini muncul sebagai wujud nyata dari tersebarluasnya suatu produk di seluruh dunia. Contoh lainnya adalah salah satu iklan Benetton. Melalui slogan ‘United Colours of Benetton’, perusahaan ini mempromosikan ide ‘global village’ yang diasosiasikan dengan konsumen global. Dimensi kedua dari globalisasi budaya adalah mempromosikan pertemuan dan interaksi budaya. Dimensi ini bertolak belakang dengan dimensi pertama karena adanya interpenetrasi, kombinasi dan peleburan elemen-elemen budaya. Proses ini dijelaskan juga oleh Akbar Ahmad merupakan konsekuensi dari arus komunikasi dan persebaran manusia. Hal ini juga terjadi karena meningkatnya imigrasi, seperti asisten rumah tangga asal Filipina bekerja di Dubai, para pekerja Pakistan bekerja di Bradford, orang-orang Jepang membeli studio-studio Hollywood, dan enterpreneur Tiongkok membuka bisnis properti di Vancouver. Dimensi ketiga yaitu perkembangan-perkembangan yang merupakan penolakan dari hal-hal yang berasosiasi dengan integrasi global. Perkembangan yang dimaksud adalah kembalinya masyarakat pada apa yang biasa dipandang sebagai suatu yang tradisional. Salah satu contoh kejadiannya adalah di Eropa Timur, terutama di bagian Yugoslavia, pertumbuhan dari neo-nasionalisme didalam bentuk yang paling militan, tetapi itu juga telah menjadi ciri- ciri dari Eropa Timur, dengan tuntutan identitas dari Basque, Breton, dan Skotlandia. Contoh lainnya adalah kasus fundamentalisme Islam yang sangat menentang masa-masa global. Bisa dilihat dari usaha beberapa negara Islam untuk melarang televisi satelit. Tentu saja ini merepresentasikan yang protektif dan defensif untuk gangguan dari modernitas global. Menurut Akbar Ahmed di dalam bukunya Post Modernisme dan Islam, kita harus melihat aksi- aksi tersebut sebagai perjuangan budaya-budaya tradisional, terutama islam, untuk berdamai dengan globalisasi barat. Tujuan dari semua itu adalah untuk berpartisipasi dalam budaya global tanpa kehilangan identitas. Richard Wilk menyimpulkan bahwa sistem global merupakan sebuah struktur baru yang berbeda. Sistem yang sudah terglobalisasikan ini melakukan hegemoni bukan melalui isian tetapi melalui bentuk. Dengan kata lain, kita semua tidak menjadi sama tetapi menggambarkan, mendramatisir dan mengomunikasikan perbedaan-perbedaan kita kepada sesama dengan cara yang lebih mudah dimengerti. Jan Nederveen Pieterse mengemukakan argumen lainnya yaitu apa yang muncul dari satu perspektif sebagai hibridisasi, dari yang lain, diinterpretasikan di dalam syarat-syarat dari afinitas transnasional di dalam perasaan atau sikap. Dengan kata lain, sisi lain dari hibriditas adalah konvergensi transkultural, yaitu sebuah budaya yang terbentuk dari persilangan antara satu budaya dan budaya lainnya.
5. Kesimpulan
Kenichi Ohmae mengedepankan bahwa globalisasi merupakan sebuah pilihan antara
Sony dan tanah. Ohmae menjelaskan bahwa orang-orang tidak menginginkan tanah–yang berarti nasionalisme–tetapi mereka menginginkan satelit dan Sony. Lalu ia menjelaskan ilustrasinya melalui proses reunifikasi Jerman yang merupakan dampak dari sikap konsumtif. Tembok Berlin bukanlah penghalang penyebaran informasi dan antena yang berada pada atap- atap rumah di Jerman Timur membawa gambaran kehidupan baik di Jerman Barat kepada kehidupan ribuan oang di Jerman Timur. Gerakan untuk merubuhkan Tembok Berlin bukanlah berdasarkan kepada nasionalisme, melainkan keinginan untuk mendapatkan jins biru dan pilihan-pilihan lain yang bersifat konsumerisme. Dengan digambarkan melalui perspektif ini, kesadaran akan globalisasi menyadari bahwa anda dilahirkan bukan untuk memiliki namun untuk membeli. Ada tiga hal utama yang merupakan penolakan terhadap perspektif tersebut. Yang pertama adalah situasi kontemporer yang sangat tegas dan sederhana. Sebagai contoh: apakah kita akan memperhitungkan gerakan Jerman Barat untuk merobohkan Tembok Berlin? Globalisasi adalah sesuatu yang lebih dari kesadaran konsumen pada skala yang baru. Kedua, asumsi Ohmae menyatakan bahwa kita semua bisa berpartisipasi secara sejajar di dalam globalisasi konsumen yang ia ciptakan, globalisasi kenyataannya terdapat kontradiksi dan proses yang tidak merata, yang melibatkan jenis-jenis baru polarisasi ekonomi, sosial, budaya, politik, dan geografi. Beberapa pihak akan menang dan beberapa pihak akan kalah dan mungkin akan bereaksi melawan gangguan dan destabilisasi atau perubahan global. Yang ketiga, asumsi Ohmae mengenai masa depan sudah ditetapkan. Namun, jauh dari penetapannya, era globalisasi masih tetap dalam proses. Proses globalisasi harus dilihat sebagai interaksi yang kompleks dari ekonomi dan dinamika budaya, yang melibatkan konfrontasi, kontesasi, dan negoisasi. Paul Du Gay menyimpulkan bahwa masa depan masih memunyai banyak kejutan.
Memahami Konsep Glokalisasi Budaya Populer Di Indonesia (Studi Kasus Glokalisasi Budaya Musik Rap Dalam Budaya Lokal Jawa Pada Jogja Hip-Hop Foundation)