Anda di halaman 1dari 2

Mata Kuliah : Budaya Urban Kelompok 4 : Elsa Juwita

Kode Pengajar : LWK Ram Javi Lilhawaditsi


Hari, tanggal : Selasa, 25 September 2018 Shofi Novita
Sumber : Du Gay, Paul.1997. Production Sri Agusthiningtyas
of Culture (p. 32-45)

4.2 A World of Difference


Globalisasi memengaruhi bagaimana kita memahami hidup dan dunia yang kita
tempati. Penyebaran yang berlebihan akan referensi budaya yang sama dapat memunculkan
cita-cita cosmopolitan, yaitu budaya tanpa batas sehingga dapat menciptakan perpaduan dan
hibriditas budaya yang baru dari pertemuan dua budaya yang berbeda. Walaupun sebagian
orang mengantisipasi dan menikmati kompleksitas cosmopolitan ini, beberapa orang
menentang dan memandang hal ini sebagai homogenisasi budaya dan pengikisan kekhasan
budaya.
Du Gay mengemukakan tiga dimensi perubahan global antara lain: menghilangkan
batas-batas dan perbedaan antar budaya, pertemuan dan penggabungan budaya-budaya, dan
reaksi penolakan terhadap penggabungan budaya tersebut.
Di dalam dimensi pertama, bisa kita ambil contoh promosi yang memiliki istilah
‘McDonalization’ dan ‘Coca-colonization’. Istilah ini muncul sebagai wujud nyata dari
tersebarluasnya suatu produk di seluruh dunia. Contoh lainnya adalah salah satu iklan
Benetton. Melalui slogan ‘United Colours of Benetton’, perusahaan ini mempromosikan ide
‘global village’ yang diasosiasikan dengan konsumen global.
Dimensi kedua dari globalisasi budaya adalah mempromosikan pertemuan dan
interaksi budaya. Dimensi ini bertolak belakang dengan dimensi pertama karena adanya
interpenetrasi, kombinasi dan peleburan elemen-elemen budaya. Proses ini dijelaskan juga oleh
Akbar Ahmad merupakan konsekuensi dari arus komunikasi dan persebaran manusia. Hal ini
juga terjadi karena meningkatnya imigrasi, seperti asisten rumah tangga asal Filipina bekerja
di Dubai, para pekerja Pakistan bekerja di Bradford, orang-orang Jepang membeli studio-studio
Hollywood, dan enterpreneur Tiongkok membuka bisnis properti di Vancouver.
Dimensi ketiga yaitu perkembangan-perkembangan yang merupakan penolakan dari
hal-hal yang berasosiasi dengan integrasi global. Perkembangan yang dimaksud adalah
kembalinya masyarakat pada apa yang biasa dipandang sebagai suatu yang tradisional. Salah
satu contoh kejadiannya adalah di Eropa Timur, terutama di bagian Yugoslavia, pertumbuhan
dari neo-nasionalisme didalam bentuk yang paling militan, tetapi itu juga telah menjadi ciri-
ciri dari Eropa Timur, dengan tuntutan identitas dari Basque, Breton, dan Skotlandia. Contoh
lainnya adalah kasus fundamentalisme Islam yang sangat menentang masa-masa global. Bisa
dilihat dari usaha beberapa negara Islam untuk melarang televisi satelit. Tentu saja ini
merepresentasikan yang protektif dan defensif untuk gangguan dari modernitas global.
Menurut Akbar Ahmed di dalam bukunya Post Modernisme dan Islam, kita harus melihat aksi-
aksi tersebut sebagai perjuangan budaya-budaya tradisional, terutama islam, untuk berdamai
dengan globalisasi barat. Tujuan dari semua itu adalah untuk berpartisipasi dalam budaya
global tanpa kehilangan identitas.
Richard Wilk menyimpulkan bahwa sistem global merupakan sebuah struktur baru
yang berbeda. Sistem yang sudah terglobalisasikan ini melakukan hegemoni bukan melalui
isian tetapi melalui bentuk. Dengan kata lain, kita semua tidak menjadi sama tetapi
menggambarkan, mendramatisir dan mengomunikasikan perbedaan-perbedaan kita kepada
sesama dengan cara yang lebih mudah dimengerti.
Jan Nederveen Pieterse mengemukakan argumen lainnya yaitu apa yang muncul dari
satu perspektif sebagai hibridisasi, dari yang lain, diinterpretasikan di dalam syarat-syarat dari
afinitas transnasional di dalam perasaan atau sikap. Dengan kata lain, sisi lain dari hibriditas
adalah konvergensi transkultural, yaitu sebuah budaya yang terbentuk dari persilangan antara
satu budaya dan budaya lainnya.

5. Kesimpulan

Kenichi Ohmae mengedepankan bahwa globalisasi merupakan sebuah pilihan antara


Sony dan tanah. Ohmae menjelaskan bahwa orang-orang tidak menginginkan tanah–yang
berarti nasionalisme–tetapi mereka menginginkan satelit dan Sony. Lalu ia menjelaskan
ilustrasinya melalui proses reunifikasi Jerman yang merupakan dampak dari sikap konsumtif.
Tembok Berlin bukanlah penghalang penyebaran informasi dan antena yang berada pada atap-
atap rumah di Jerman Timur membawa gambaran kehidupan baik di Jerman Barat kepada
kehidupan ribuan oang di Jerman Timur. Gerakan untuk merubuhkan Tembok Berlin bukanlah
berdasarkan kepada nasionalisme, melainkan keinginan untuk mendapatkan jins biru dan
pilihan-pilihan lain yang bersifat konsumerisme. Dengan digambarkan melalui perspektif ini,
kesadaran akan globalisasi menyadari bahwa anda dilahirkan bukan untuk memiliki namun
untuk membeli.
Ada tiga hal utama yang merupakan penolakan terhadap perspektif tersebut. Yang
pertama adalah situasi kontemporer yang sangat tegas dan sederhana. Sebagai contoh: apakah
kita akan memperhitungkan gerakan Jerman Barat untuk merobohkan Tembok Berlin?
Globalisasi adalah sesuatu yang lebih dari kesadaran konsumen pada skala yang baru. Kedua,
asumsi Ohmae menyatakan bahwa kita semua bisa berpartisipasi secara sejajar di dalam
globalisasi konsumen yang ia ciptakan, globalisasi kenyataannya terdapat kontradiksi dan
proses yang tidak merata, yang melibatkan jenis-jenis baru polarisasi ekonomi, sosial, budaya,
politik, dan geografi. Beberapa pihak akan menang dan beberapa pihak akan kalah dan
mungkin akan bereaksi melawan gangguan dan destabilisasi atau perubahan global. Yang
ketiga, asumsi Ohmae mengenai masa depan sudah ditetapkan. Namun, jauh dari
penetapannya, era globalisasi masih tetap dalam proses. Proses globalisasi harus dilihat sebagai
interaksi yang kompleks dari ekonomi dan dinamika budaya, yang melibatkan konfrontasi,
kontesasi, dan negoisasi. Paul Du Gay menyimpulkan bahwa masa depan masih memunyai
banyak kejutan.

Anda mungkin juga menyukai