Anda di halaman 1dari 84

Kajian Had Kifayah

2018

Pusat Kajian Strategis


Badan Amil Zakat Nasional
2018
KAJIAN HAD KIFAYAH

Kata Pengantar Ketua BAZNAS:


Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA, CA

Kata Pengantar Direktur PUSKAS BAZNAS:


Dr. Irfan Syauqi Beik

Penyusun:
Divisi Publikasi dan Jaringan
Pusat Kajian Strategis BAZNAS

Penyunting:
Anggota BAZNAS
Sekretaris BAZNAS
Deputi BAZNAS
Direktur Penghimpunan BAZNAS
Direktur Pendistribusian BAZNAS
Direktur Operasional BAZNAS

Hak Penerbit Dilindungi Undang-Undang


All Rights Reserved

Cetakan 1, Mei 2018

Penerbit:
Pusat Kajian Strategis
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Jl. Kebon Sirih Raya No. 57, 10340, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3904555 Faks. (021) 3913777 Mobile. +62857 8071 6819
Email: puskas@baznas.go.id
www.puskasbaznas.com

Desain Sampul dan Tata Letak: Ulfah Lathifah, B.Sc


No. ISBN : 978-602-5708-03-9
TIM PENYUSUN

Penasihat : Prof. Dr. H. Bambang Sudibyo, MBA, CA


Dr. Zainulbahar Noor, SE, MEc
Prof. Dr. H. Mundzir Suparta, MA
drh. Emmy Hamidiyah, M.Si
Ir. Nana Mintarti, MP
Drs. Irsyadul Halim
Prof. Dr. KH. Ahmad Satori Ismail
Drs. Masdar Farid Mas’udi
Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin, M.Ag
Drs. Astera Primanto Bhakti, M.Tax
Drs. Nuryanto. MPA
M. Arifin Purwakananta
Drs. H. Jaja Jaelani, MM
Mohd. Nasir Tajang
Wahyu Tantular Tunggul Kuncahyo

Penanggung Jawab : Dr. Irfan Syauqi Beik

Ketua : Dr. M. Hasbi Zaenal, Lc., MA

Anggota : Dr. Muhammad Choirin, Lc., MA


Priyesta Rizkiningsih, M.Sc
Amelya Dwi Astuti, S.Psi
Hidayaneu Farchatunnisa, S.E
Ulfah Lathifah, B.Sc
Kamilah Kinanti, S.Hum

i
KATA PENGANTAR KETUA BAZNAS

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Bismillahirrahmanirrahiim
Sebagai negara dengan jumlah warga negara Muslim terbesar di dunia,
idealnya Indonesia dapat menjadi kiblat bagi negara-negara lain dalam hal praktik,
studi, dan Sharing Knowledge dalam subjek keislaman. Idealisme itu menjadi salah
satu misi Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di ranah perzakatan.
Zakat merupakan rukun Islam ketiga dengan cakupan dimensi yang luas,
mulai dari aspek keimanan, ekonomi, bahkan juga sosial; suatu dimensi persoalan
yang besar untuk bangsa sebesar Indonesia. Sebagai lembaga negara sekaligus
koordinator dalam pengelolaan zakat di Indonesia, BAZNAS terlibat aktif dalam
upaya pengentasan kemiskinan dengan mengoptimalkan dana zakat. Salah satu
bentuk ikhtiar untuk dapat melakukan pendistribusian dengan lebih tepat sasaran
dan sesuai syariat, Pusat Kajian Strategis BAZNAS (Puskas BAZNAS) melakukan
kajian Had Kifayah. Dengan adanya kajian ini, penentuan prioritas berdasarkan
kategorisasi penerima manfaat zakat diharapkan dapat dilakukan dengan lebih
tepat.
Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini kita patut bersyukur dan
menyambut baik kehadiran buku Kajian Had Kifayah 2018, sebuah publikasi yang
diterbitkan oleh Puskas BAZNAS. Hadirnya buku Kajian Had Kifayah 2018 ini juga
merefleksikan kerja nyata yang BAZNAS perjuangkan demi kebangkitan zakat
Indonesia.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban bersama, kami secara terbuka
menerima kritik dan saran konstruktif untuk menyempurnakan kajian ini sesuai
dengan kebutuhan umat.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Prof. Dr. H. Bambang Sudibyo, MBA., CA


Ketua BAZNAS

ii
KATA PENGANTAR DIREKTUR PUSKAS BAZNAS

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Bismillahirrahmanirrahiim
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat,
karunia dan hidayah-Nya Puskas BAZNAS dapat mempersembahkan buku Kajian Had
Kifayah 2018. Kehadiran kajian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan sumber
informasi bagi para Stakeholders perzakatan Indonesia dalam upaya mengoptimalkan
pendistribusian zakat.
Selain memuat isu kemiskinan Indonesia dipandang dari sudut pandang Islam,
kajian Had Kifayah ini memaparkan dimensi-dimensi kebutuhan minimum seseorang
berdasarkan prinsip Maqasid Syari’ah. Oleh karena itu, kami berharap bahwa kajian
Had Kifayah ini dapat memberikan pemahaman tentang kebutuhan dasar minimal
sesuai Maqasid Syari’ah yang dapat dijadikan dasar untuk penyaluran zakat.
Semoga buku ini mampu menjadi sumbangsih yang nyata bagi perkembangan
dunia perzakatan di Indonesia maupun bagi khazanah keilmuan di kalangan kaum
muslimin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dr. Irfan Syauqi Beik


Direktur Puskas BAZNAS

iii
RINGKASAN EKSEKUTIF

Had Kifayah merupakan batas kecukupan atau standar dasar


kebutuhan seseorang/keluarga ditambah dengan kecukupan tanggungan
yang ada sebagai upaya untuk menetapkan kelayakan penerima zakat
mustahik fakir miskin sesuai kondisi wilayah dan sosio-ekonomi setempat.
Adanya Had Kifayah sangat membantu dalam menggambarkan kadar
kecukupan kehidupan seseorang atau sebuah rumah tangga, apakah
tergolong mustahik fakir miskin atau tidak, yang ditentukan berdasarkan
pada sebuah kondisi dan wilayah tertentu. Dalam kajian ini, penilaian yang
dilakukan untuk menentukan batas kecukupan Had Kifayah meliputi tujuh
(7) dimensi, yaitu: makanan, pakaian, tempat tinggal, ibadah, pendidikan,
kesehatan dan transportasi. Ketujuh dimensi ini didasarkan pada analisis
kebutuhan hidup layak dalam perspektif Maqasid Syari’ah. Kajian ini
menggunakan metode Analisis Data Sekunder (ADS) terhadap data yang
diperoleh dari peraturan perundang-undangan, hasil survei Badan Pusat
Statistik (BPS), Experts Judgement atau keterangan para ahli, dan data
internal Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
Secara umum, besaran nominal Had Kifayah ditentukan per
keluarga, dengan asumsi rata-rata setiap keluarga terdiri dari 4 orang yaitu
suami, istri, 1 (satu) orang anak usia Sekolah Dasar (SD), dan 1 (satu) orang
anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Asumsi jumlah rata-rata
anggota keluarga ini berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh BPS,
sedangkan penentuan tingkat pendidikan mengacu pada peraturan wajib
belajar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Apabila jumlah anggota
keluarga lebih 4 (empat) orang, maka nominal dapat ditambahkan sesuai
dengan jumlah aktual keluarga.
Adapun metode analisis dari masing-masing dimensi adalah sebagai
berikut:
1. Metode analisis data yang digunakan dalam dimensi makanan
menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan analisis kuantitatif

iv
dan pendekatan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan saat
menghitung angka kecukupan gizi yang harus dipenuhi oleh setiap
orang per hari berdasarkan Adult Equivalent Unit yang artinya
pengukuran kalori disetarakan dengan orang dewasa berdasarkan
kelompok umur tertentu. Analisis kualitatif digunakan untuk
mengkaji informasi terkait pangan dan gizi di Indonesia melalui
berbagai data dan literatur.
2. Metode analisis data yang digunakan dalam dimensi pakaian adalah
pendekatan analisis kualitatif. Adapun harga yang digunakan dalam
perhitungan dimensi pakaian adalah Harga Konsumen Beberapa
Barang dan Jasa Kelompok Sandang yang merupakan hasil survei
yang dilakukan oleh BPS.
3. Dalam dimensi tempat tinggal dan fasilitas rumah tangga, batasan
harga rumah yang digunakan adalah berdasarkan Keputusan Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 552/KPTS/M/2016
tentang Batasan Penghasilan Kelompok Sasaran KPR Bersubsidi,
Batasan Harga Jual Rumah Sejahtera Tapak dan Satuan Rumah
Sejahtera Susun serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka
Perumahan dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Republik Indonesia Nomor 21/PRT/M/2016 tentang
Kemudahan dan/atau Bantuan Perolehan Rumah bagi Masyarakat
Berpenghasilan Rendah. Untuk perhitungan biaya fasilitas rumah
tangga yang terdiri dari biaya listrik dan air mengacu kepada Susenas
BPS. Sedangkan untuk biaya elpiji dalam kajian Had Kifayah ini
berdasarkan atas harga elpiji dari Kementerian Perdagangan. Total
Had Kifayah untuk tempat tinggal dan fasilitas rumah tangga adalah
hasil penjumlahan dari batasan harga jual rumah sejahtera setapak
dan biaya yang dikeluarkan untuk fasilitas rumah tangga.
4. Metode analisis data yang digunakan dalam dimensi ibadah merujuk
pada analisis fikih kebutuhan ibadah yang melibatkan fisik (Ibadah
Jasadiyah) dan ibadah non fisik (Ghair Jasadiyah), seperti ibadah

v
I’tiqadiyah, ibadah Qalbiyah, ibadah Lafzhiyah, dan ibadah Maliyah.
Kajian Had Kifayah memperhitungkan pakaian yang digunakan
untuk ibadah Jasadiyah seperti sarung dan mukena serta biaya
pendidikan agama untuk ibadah selain Jasadiyah. Kuantifikasi biaya
pakaian ibadah menggunakan data sekunder harga eceran pakaian
dari BPS (Harga Konsumen Beberapa Barang Dan Jasa Kelompok
Sandang). Sementara untuk biaya pendidikan agama, kuantifikasi
biaya mengacu pada besaran penyaluran zakat konsumtif kepada
guru mengaji/Ustadz yang dilakukan oleh Divisi Dakwah BAZNAS
tahun 2017.
5. Metode analisis data yang digunakan dalam dimensi pendidikan
berdasarkan standar satuan Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
2017 dan satuan biaya personal 2017, yakni dengan menghitung
satuan angka minimal yang diperlukan bagi setiap anak Indonesia
untuk mengakses pendidikan dasar per jenjang per bulan.
6. Metode analisis data yang digunakan dalam dimensi kesehatan
mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2013 tentang
perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 Pasal 16 A
dengan besaran biaya yang ditanggung oleh pemerintah yaitu
sebesar Rp19.225,00 per bulan. Dengan diwajibkannya seluruh
masyarakat Indonesia untuk memiliki jaminan kesehatan oleh
pemerintah, maka besaran biaya Had Kifayah untuk dimensi
kesehatan di setiap provinsi per bulannya memiliki nilai nominal
yang sama. Dalam hal terdapat anggota keluarga yang tergolong
disabilitas berat maka akan diperoleh tambahan biaya tertentu.
7. Metode analisis data yang digunakan dalam dimensi transportasi
adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu Ringkasan
Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2017 yang
dihasilkan dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

vi
Hasil perhitungan Had Kifayah menunjukan bahwa rata rata Had
Kifayah di Indonesia mencapai Rp3.011.142,00 per keluarga per bulan.
Sedangkan Had Kifayah perorangan mencapai Rp772.088,00 per kapita
per bulan. Jawa tengah memiliki nilai Had Kifayah terendah dengan nilai
Rp2.791.147,00 per keluarga per bulan atau Rp715.679,00 per kapita per
bulan. Dan nilai Had Kifayah tertinggi adalah Provinsi Nusa Tenggara
Timur yaitu Rp3.363.105,00 per keluarga per bulan atau Rp862.335,00
per kapita per bulan.
Adapun rekomendasi berdasarkan hasil kajian ini adalah keluarga
dengan pendapatan dibawah Rp1.003.714,00 per keluarga per bulan
menjadi prioritas pertama untuk di bantu. Selanjutnya keluarga dengan
penghasilan antara Rp1.003.714,00 s/d Rp2.007.428,00 per keluarga per
bulan menjadi prioritas kedua untuk dibantu. Keluarga dengan penghasilan
antara Rp2.007.428,00 s/d Rp3.011.142,00 per keluarga per bulan menjadi
prioritas ketiga untuk dibantu. Sedangkan keluarga dengan penghasilan di
atas Had Kifayah tetapi masih di bawah Nishab zakat menjadi prioritas
empat untuk dibantu.

vii
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR KETUA BAZNAS ....................................................... ii
KATA PENGANTAR DIREKTUR PUSKAS BAZNAS ................................... iii
RINGKASAN EKSEKUTIF ......................................................................... iv
DAFTAR TABEL ....................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xi
BAB I Pendahuluan ................................................................................... 1
BAB II Kajian Literatur .............................................................................. 4
2.1 Pengertian Had Kifayah .......................................................................... 4

2.2 Landasan Syariah Dimensi Had Kifayah................................................... 6

2.2.1 Makan dan Minum ......................................................................... 9

2.2.2 Pakaian ......................................................................................... 10

2.2.3 Tempat Tinggal dan Fasilitas Rumah Tangga .................................. 11

2.2.4 Ibadah........................................................................................... 13

2.2.5 Pendidikan .................................................................................... 14

2.2.6 Kesehatan...................................................................................... 16

2.2.7 Transportasi .................................................................................. 16

2.3 Landasan Teori Dimensi Had Kifayah ................................................... 17

2.3.1 Dimensi Makanan ......................................................................... 17

2.3.2 Dimensi Pakaian ............................................................................ 20

2.3.3 Dimensi Tempat Tinggal dan Fasilitas Rumah Tangga .................... 22

2.3.4 Dimensi Ibadah ............................................................................. 27

2.3.5 Dimensi Pendidikan ....................................................................... 29

2.3.6 Dimensi Kesehatan ........................................................................ 32

2.3.7 Dimensi Transportasi ..................................................................... 35

BAB III Kebutuhan Hidup Layak, Garis Kemiskinan dan Had Kifayah ....... 37
3.1 Kebutuhan Hidup Layak ....................................................................... 37

3.2 Garis Kemiskinan .................................................................................. 38

3.3 Perbedaan Had Kifayah dengan Standar Lainnya .................................. 39

viii
BAB IV Data dan Metodologi ................................................................. 43
4.1 Metodologi .......................................................................................... 43

4.2 Metodologi Setiap Dimensi .................................................................. 44

4.2.1 Dimensi Makanan ......................................................................... 44

4.2.2 Dimensi Pakaian ............................................................................ 46

4.2.3 Dimensi Tempat Tinggal dan Fasilitas Rumah Tangga .................... 46

4.2.4 Dimensi Ibadah ............................................................................. 47

4.2.5 Dimensi Pendidikan ....................................................................... 49

4.2.6 Dimensi Kesehatan ........................................................................ 49

4.2.7 Dimensi Transportasi ..................................................................... 49

4.3 Formula Perhitungan Had Kifayah ........................................................ 50

BAB V Hasil dan Perhitungan Had Kifayah ............................................... 51


5.1 Dimensi Makanan ................................................................................ 51

5.2 Dimensi Pakaian ................................................................................... 53

5.3 Dimensi Tempat Tinggal dan Fasilitas Rumah Tangga ........................... 55

5.4 Dimensi Ibadah .................................................................................... 56

5.5 Dimensi Pendidikan .............................................................................. 57

5.6 Dimensi Kesehatan ............................................................................... 58

5.7 Dimensi Transportasi ............................................................................ 59

5.8 Total Besaran Had Kifayah ................................................................... 59

BAB VI Kesimpulan dan Rekomendasi .................................................... 62


6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 62

6.2 Rekomendasi........................................................................................ 62

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 65


Lampiran ............................................................................................... 69

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Nilai Pembiayaan Biaya Operasional Sekolah .............................................. 31


Tabel 2 Nilai Pembiayaan Biaya Personal Program Indonesia Pintar ........................ 32
Tabel 3 Perbandingan KHL, GK dan Had Kifayah ................................................... 40
Tabel 4 Perbedaan Pengukuran Dimensi KHL, GK dan Had Kifayah......................... 41
Tabel 5 Angka Kecukupan Energi yang Dianjurkan untuk Orang Indonesia .............. 45
Tabel 6 Biaya Pendidikan Agama ........................................................................... 48
Tabel 7 Besaran Had Kifayah Dimensi Makanan ..................................................... 51
Tabel 8 Rata-rata Besaran Had Kifayah Dimensi Makanan ....................................... 53
Tabel 9 Besaran Had Kifayah Pakaian per Provinsi .................................................. 54
Tabel 10 Besaran Biaya Had Kifayah Tempat Tinggal dan Fasilitas Rumah Tangga .... 55
Tabel 11 Besaran Had Kifayah Ibadah per Provinsi .................................................. 56
Tabel 12 Besaran Had Kifayah Pendidikan .............................................................. 58
Tabel 13 Besaran Biaya Had Kifayah Kesehatan ....................................................... 58
Tabel 14 Besaran Biaya Had Kifayah Transportasi ................................................... 59
Tabel 15 Besaran Total Had Kifayah per Provinsi .................................................... 59

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Had Kifayah ............................................................................................. 8


Gambar 2 Tingkatan KHL, GK dan Had Kifayah ..................................................... 39
Gambar 3 Piramida Prioritas .................................................................................. 63

xi
BAB I
Pendahuluan

Pada September 2017, lebih dari sepuluh persen penduduk Indonesia


atau sekitar 26,58 juta orang merupakan penduduk miskin (Badan Pusat
Statistik, 2017a). Jumlah ini dikemukakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
yang melihat penduduk miskin sebagai penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pada
September 2017, besar garis kemiskinan Indonesia adalah Rp387.160,00
(Badan Pusat Statistik, 2018).
Dalam mengukur kemiskinan, BPS menggunakan pendekatan
kebutuhan dasar atau Basic Need Approach, dimana kemiskinan dipandang
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluarannya
(Badan Pusat Statistik, 2018a). Sementara itu, Bank Dunia menetapkan garis
kemiskinan internasional sebesar USD 1,90 per hari pada tahun 2015 (Word
Bank, 2015) sebagai standar internasional yang bisa diterapkan di seluruh
negara.
Perbedaan pendekatan tersebut tentunya akan memengaruhi jumlah
penduduk yang dinyatakan sebagai penduduk miskin. Berdasarkan dua
pendekatan yang dipaparkan sebelumnya, dapat dilihat bahwa besaran
garis kemiskinan yang menjadi tolok ukurnya berbeda. Dengan besaran
USD 1,90 atau sekitar Rp25.000,00 per hari atau Rp750.000,00 per bulan,
maka jumlah penduduk Indonesia yang dianggap miskin dengan garis
kemiskinan internasional akan jauh lebih tinggi daripada jika menggunakan
garis kemiskinan dari BPS.
Begitu pula jika dilihat dari sudut pandang Islam, angka kemiskinan
mungkin saja akan berbeda karena menggunakan pendekatan yang
berbeda. Adapun pendekatan yang digunakan dalam sudut pandang Islam
adalah berdasarkan Maqasid Syari’ah dalam rangka menjaga agama (Hifz

1
al-Din), hidup/jiwa (Hifz al-Nafs), intelektual (Hifz al-‘Aql),
keluarga/keturunan (Hifz al-Nasl), dan harta (Hifz al-Mal). Pendekatan dari
sudut pandang Islam ini menjadi penting untuk juga diperhatikan, karena
Islam pun mengatur masalah kemiskinan. Salah satu aturan Islam; bahkan
merupakan salah satu rukun Islam, yang berkaitan dengan penanganan
masalah kemiskinan adalah zakat.
Zakat merupakan salah satu kewajiban dalam Islam bagi pemeluknya
yang memenuhi ketentuan. Pendistribusian zakat pun diatur dalam Islam,
yang di antaranya kepada fakir dan miskin1. Namun, ketentuan fakir dan
miskin sebagai kelompok penerima zakat (Asnaf) terbesar saat ini di
Indonesia masih berupa kriteria-kriteria yang bersifat kualitatif.
Ahsan, Wiyono, dan Fithria (2013) yang mengkaji tentang kriteria
penentuan penduduk yang benar-benar miskin dan membutuhkan bantuan
(Had Kifayah), memaparkan kriterita-kriteria kualitatif untuk kelompok
fakir miskin berdasarkan ketentuan pemenuhan Maqasid Syari’ah. Pun
demikian dengan Ningrum (2017) yang membuat kriteria-kriteria kualitatif
berdasarkan Maqasid Syari’ah untuk seluruh kelompok penerima zakat.
Kajian-kajian tersebut menunjukkan upaya untuk menjelaskan konsep
kemiskinan dari sudut pandang Islam. Meskipun demikian, kajian-kajian
tersebut belum menyatakan secara kuantitatif batas dimana seseorang
dianggap miskin.
Sementara itu, di Malaysia Had Kifayah telah dikuantifikasi oleh
Lembaga Zakat Selangor (LZS). Angka Had Kifayah diperoleh dengan
menghitung jumlah pengeluaran kebutuhan dasar dalam satuan rumah
tangga yang meliputi tujuh (7) aspek yaitu ibadah, tempat tinggal,
makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan dan transportasi. Besaran Had
Kifayah ditentukan per keluarga yang dibedakan berdasarkan kepemilikan
rumah sendiri atau rumah sewa. Selain itu juga terdapat biaya tambahan
dalam kondisi tertentu seperti jika terdapat tanggungan yang difabel
ataupun jika terdapat anggota keluarga yang sakit kronis.

1 Q.S. At-Taubah/9: 60

2
Oleh karena itu, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang
diamanahkan oleh UU Nomor 23 tahun 2011 sebagai lembaga negara
pengelola zakat sekaligus koordinator organisasi pengelola zakat di
Indonesia memiliki peran penting dalam menyikapi kondisi tersebut. Dalam
rangka mendorong upaya pemerintah Indonesia untuk menurunkan angka
kemiskinan, BAZNAS merasa perlu secara jelas melihat siapa saja sasaran
penerima zakat. Adanya acuan yang jelas dan terukur untuk menentukan
kelompok fakir miskin ini dapat membantu penentuan penerima manfaat
serta perencanaan program yang tepat dalam rangka pengentasan
kemiskinan di Indonesia. Mengingat dana yang dikelola BAZNAS
merupakan dana zakat yang ketentuannya telah diatur dalam Islam, tentu
sudut pandang Islam yang digunakan dalam melihat konsep kemiskinan.
Maka, Had Kifayah digunakan untuk mengukur berapa kebutuhan hidup
minimum menurut standar Maqasid Syari’ah yang diterapkan pada konteks
dan kondisi masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, Pusat Kajian Strategis
(Puskas) BAZNAS melakukan Kajian Had Kifayah yang berupaya untuk
menemukan angka pasti dari Had Kifayah tersebut.
Jika dibandingkan dengan batas-batas yang telah ditentukan
pemerintah, konsep Had Kifayah dalam kajian ini dapat dianalogikan
seperti Garis Kemiskinan (GK) BPS dalam sudut pandang Islam, atau dengan
kata lain yang telah disesuaikan dengan ketentuan Islam, yakni dalam
rangka memenuhi aspek-aspek Maqasid Syari’ah. Sementara itu, jika
dibandingkan dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dikeluarkan oleh
Dewan Pengupahan, Had Kifayah berada di bawahnya, karena secara
konsep KHL lebih dekat pada istilah Nishab dimana orang-orang yang
sudah melebihi batas Nishab sudah dapat dikatakan memiliki hidup yang
layak sehingga sudah dikenakan kewajiban berzakat.

3
BAB II
Kajian Literatur

Zakat merupakan salah satu instrumen keuangan Islam yang


bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya
masyarakat dhuafa. Pengelolaan zakat yang efektif dan tepat dapat
mewujudkan masyarakat unggul dan berkemajuan. Hal ini terkait dengan
fenomena bahwa pertumbuhan kelas menengah muslim di Indonesia
ternyata diikuti oleh semakin banyaknya penambahan jumlah orang miskin
dari kalangan umat muslim (Jati, 2017). Dalam konteks pengelolaan zakat,
hal tersebut merupakan tantangan bagi pengelola zakat agar dapat
meningkatkan kualitas pengelolaan dan memperbaiki mekanisme
pendistribusian zakat.
Supaya bantuan zakat yang diterima oleh masyarakat dapat
memberikan dampak yang signifikan, sebuah langkah strategis dan
sistematik perlu dilakukan, sekurang-kurangnya dengan memenuhi
kebutuhan pokok (Basic Need). Atas dasar ini, bantuan zakat yang
diberikan perlu dihitung kembali berdasarkan batas kebutuhan pokok yang
diperlukan oleh seseorang, yang dalam hal ini dilihat dengan sudut
pandang Islam sesuai tujuan hukum Islam untuk memelihara lima perkara
(Maqasid Syari’ah) yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

2.1 Pengertian Had Kifayah


Kifayah dalam bahasa Arab berasal dari akar kata KafÉ – YakfÊ–
KifÉyah yang berarti cukup, mencukupi suatu hal yang penting atau
mencukupi keperluan untuk hidup dan tidak perlu bantuan orang lain
(Fairuzabadi & Majd al-Din Muhammad)2. Selain itu kifayah juga bisa

2 Fairuzabadi, Majd al-Din Muhammad bin Ya’qub (t.t), al-Qamus al-Muhit. Beirut: Dar al-
Jail, 4/386. Lihat juga Ibnu Manzur, Jamal al-Din Muhammad bin Makram t.t), Lisan al-
Arab. Jeddah: Dar Sadir, 5/225-6.

4
berarti tidak berkurang dan tidak berlebih, sesuai dengan keperluan3. Dalam
terminologi Arab, perkataan kifayah merujuk kepada dua hal utama yaitu
makanan dan kemandirian tidak perlu bantuan orang lain (al-Karim, 2017).
Adapun secara istilah, para ulama memberikan pengertian dengan
sudut pandang yang berbeda-beda, antara lain:
1. Ibnu Abidin menyatakan bahwa Had Kifayah adalah batas minimum
yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidup. Masuk dalam
hal ini adalah kebutuhan makanan, pakaian dan tempat tinggal atau hal
lain seperti perkakas dan kendaraan yang tidak sampai pada tahap
kemewahan (Ibnu Abidin & Muhammad Amin).
2. Imam Nawawi menyatakan bahwa kifayah adalah suatu kecukupan,
tidak kurang dan tidak lebih (Nawawi & Muhs). Hal ini menandakan
bahwa sesuatu disebut kifayah apabila tidak berlebihan dan sesuai
dengan kebutuhan (Ibnu Manzur).
3. Imam Syatibi mengungkapkan bahwa Had Kifayah merupakan sebuah
ukuran kebutuhan yang sangat urgent dan fundamental. Had Kifayah
bukan sekedar kecukupan yang primer, tetapi masuk dalam kategori
sekunder yang menjadi tonggak kelancaran hidup manusia (al-Syatibi)4.
Dari pengertian di atas, terdapat kemiripan antara kifayah dengan
istilah kafaf (Hammad, 2017). Kafaf adalah kadar kebutuhan manusia tanpa
kekurangan dan kelebihan, adapun kifayah adalah suatu batas kecukupan
bagi seseorang yang membuatnya tidak meminta kepada orang lain.
Meskipun demikian, terdapat titik perbedaan diantara keduanya. Ukuran
kafaf bagi sebagian orang terbatas pada hal-hal yang primer yang berupa
sandang, pangan dan papan. Adapun ukuran kifayah bisa berupa
kebutuhan pokok yang sesuai bagi kehidupan normal seperti pendidikan,
kesehatan dan transportasi dan lain-lain. Oleh karena itu, Had Kifayah
bukan hanya sekedar meliputi kebutuhan pokok (Had Kafaf) tetapi juga
kebutuhan diatasnya yang sangat urgent (Had Fawqa Kafaf).

3 Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, sub perkatan (Kifayah).


4 Al-Syatibi, Abu Ishaq, al-Muwafaqat. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2/8-17.

5
2.2 Landasan Syariah Dimensi Had Kifayah
Sebagaimana pengertian yang disebutkan di atas, maka Had Kifayah
merupakan batas kecukupan atau standar dasar kebutuhan
seseorang/keluarga ditambah dengan kecukupan tanggungan yang ada
sebagai upaya menetapkan kelayakan penerima zakat mustahik fakir miskin
sesuai kondisi wilayah dan sosio-ekonomi setempat. Adanya Had Kifayah
sangat membantu dalam rangka menggambarkan kadar kecukupan
kehidupan seseorang ataupun sebuah rumah tangga apakah tergolong
mustahik fakir miskin ataukah tidak pada sebuah kondisi dan wilayah
tertentu. Hadits berikut mendorong dirumuskannya Had Kifayah5 :

‫ والتمرةن‬،‫ ت نردهن اللقمةن واللقمتان‬،‫ف على الناس‬


‫ي الذي يطنو ن‬ ‫ليس المسك ن‬
‫ ول ينطط نن به‬،‫ي الذي ل َد غ ىًن ينغنيه‬ ‫ ولكن المسك ن‬،‫والتمرتان‬
.‫ ول ي نقوم ف يسأل الناس‬،‫فينتصدق عليه‬
Artinya: “Bukanlah dikatakan miskin seseorang yang
mendatangi manusia, lalu diberikan kepadanya sesuap dua
suap makanan dan sebutir dua butir buah kurma, tapi yang
dikatakan miskin adalah orang yang tidak memiliki
kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan layak dan tidak
melakukan sesuatu yang membuat orang bersedekah
kepadanya, tidak juga meminta-minta dihadapan manusia”
(H.R. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini memberi pemahaman bahwa secara singkat Had Kifayah


adalah sebuah kondisi layak hidup seseorang serta mereka yang berada
dalam tanggungannya. Had Kifayah juga merupakan level yang lebih
tinggi dari sekadar Had Kafaf (batas minimum) dan sifat Had Kifayah bisa
berubah sewaktu-waktu sesuai dengan perubahan tempat dan waktu.

5 Sahih al-Bukhari, No. Hadith (1479), Kitab Zakat, Dalam bab menafsirkan surat Al-
Baqarah ayat 273 “...La Yasalunnaasa Ilhafa...” (Mereka orang miskin tidak meminta-
meminta). Sahih Muslim, No Hadith (1039), Kitab Zakat, Dalam Bab “ Orang miskin yang
tidak mempunyai kecukupan harta, dan tidak melakukan sesuatu supaya orang bersedekah
kepadanya”.

6
Istilah lain Had Kifayah antara lain ada yang menyebut al-Hajah al-
Asliyyah (kebutuhan dasar) menurut ahli fikih mazhab Hanafi dan had al-
Ghina (batas kekayaan) (S, A, A, Hisham, N, & R, 2013)6.
Had Kifayah berangkat dari sebuah epistimologi Maqasid Syari’ah
yang meliputi menjaga lima hal, yaitu menjaga jiwa (Hifz al-Nafs),
menjaga agama (Hifz al-Din), menjaga harta (Hifz al-Mal), menjaga akal
(Hifz al-Aql), dan menjaga keturunan (Hifz al-Nasl). Kelima hal ini
kemudian dapat diterjemahkan ke dalam tujuh dimensi yaitu makanan,
ibadah, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
Rumusan Had Kifayah dalam kajian ini memiliki karakteristik tersendiri
disesuaikan dengan kondisi layak hidup penduduk Indonesia.
Kebutuhan pokok (Had Kafaf) dalam konteks ini merujuk pada
kebutuhan seseorang terhadap makanan. Meski demikian, kebutuhan
pakaian dan tempat tinggal juga masuk dalam kategori ini. Termasuk dalam
kebutuhan pokok pula aspek ibadah yang menjadi hal yang sangat
fundamental bagi eksistensi manusia di atas bumi. Hal ini karena motif
penciptaan manusia di atas muka bumi adalah untuk menyembah Allah
SWT. Oleh karena itu, Had Kifayah yang dikehendaki oleh Islam merujuk
kepada sebuah konsep yang dapat mewujudkan kehidupan yang
bermartabat dan dapat memanusiakan manusia (al-Qadir & Uthman).
Model kehidupan yang seperti ini bisa jadi memiliki ukuran yang berbeda-
beda sesuai dengan perbedaan waktu dan tempat.
Berkaitan dengan hal ini, al-Syatibi mengatakan bahwa kebutuhan di
suatu era dipenuhi sesuai dengan ukuran dan perhitungan era tersebut,
tanpa ukuran yang pasti, atau dengan kata lain tidak disamaratakan di
seluruh situasi dan kondisi. Jika ada suatu keperluan, maka penentuannya
ditentukan dengan analisa penghitungan, bukan dengan Nash yang pasti.
Sebagai contoh, apabila ada orang yang lapar, maka agama menyuruh

6 Mansor, S., Hasan, A., Irfan, A., Hisham, I., Noradilah, M. N., & Saharudin, R. (2013).
Had Al-Kifayah Di Kalangan Masyarakat Islam: Merungkai Keperluan Kaedah Penentuan
Garis Miskin Dan Kaya Berasaskan Sunnah Di Malaysia. Paper presented at the Seminar
Antarabangsa Sunnah Nabawiyah, Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya.

7
untuk memberi makan hingga kenyang tanpa menyebutkan jumlah
nominalnya. Jika sudah memberi makan tetapi belum menghilangkan rasa
lapar, maka perintah memberi makan masih berlaku hingga hilang rasa
lapar (Shatibi & Musa).
Selain kebutuhan primer yang menjadi faktor penentu kelestarian
manusia, terdapat kebutuhan lain yang disebut dengan Had Fawqa Kafaf
yang meliputi semua kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan
manusia, antara lain aspek pendidikan, kesehatan dan transportasi. Aspek
pendidikan, kesehatan dan transportasi merupakan kebutuhan yang sangat
fundamental (Hajjah Asasiyat) yang melengkapi kubutuhan asasi manusia.
Meskipun tidak menjadi faktor penentu kelestarian hidup manusia, tetapi
hal ini merupakan aspek yang dapat menjadikan manusia berada pada taraf
kehidupan yang normal dan berwibawa.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Had Kifayah
meliputi beberapa dimensi berikut:
a. Dharuriyat Asasiyat : Sandang, Pangan, Papan dan Ibadah
b. Hajjiyat Asasiyat : Pendidikan, Kesehatan dan Transportasi.

Gambar 1 Aspek Had Kifayah

Dalam konteks kehidupan modern, kedua aspek tersebut dapat


masuk dalam kategori kebutuhan pokok (Kifayah). Jika kebutuhan sandang,
pangan, papan dan ibadah menjadi aspek terpenting sejak manusia ada,
maka aspek pendidikan, transportas, dan kesehatan menjadi keperluan

8
yang sangat mendesak pada era ini. Oleh karena itu, keperluan primer
(Had Kifayah) memiliki 7 (tujuh) dimensi, yaitu: makanan, pakaian, tempat
tinggal, ibadah, pendidikan, kesehatan dan transportasi.

2.2.1 Makan dan Minum


Makan dan minum termasuk hal yang sangat fundamental dalam
kehidupan. Barangsiapa yang tidak memiliki kecukupan makan untuk
dirinya dan orang-orang yang berada di atas tanggungannya, maka ia
termasuk golongan fakir. Meskipun demikian, para ulama berbeda
pendapat mengenai ukuran Had Kifayah. Dalam hal ini, Imam Ghazali dari
madzhab Syafi’i menyatakan bahwa ukuran minimalnya adalah adanya
makan dan minum selama sehari semalam (Al-Ghazali). Jika ukuran ini
digunakan, tentu hal ini tidak bisa menyelesaikan problem kemiskinan.
Oleh kerena itu, persoalan ini dapat ditentukan sesuai dengan kadar
kepatutan di setiap zaman.
Salah satu mukjizat Alquran ialah perhatiannya terhadap persoalan
pangan sebagai unsur penting dalam kehidupan manusia. Islam
memberikan perhatian khusus terhadap masalah pangan dalam seluruh fase
kehidupan manusia bersamaan dengan segala bentuk dan unsur-unsur
pangan tersebut. Terdapat sejumlah besar ayat dalam Alquran yang secara
spesifik berbicara tentang pangan dan kaidah-kaidah yang memadai untuk
menjadi standar mutu pangan dan metode-metode penjaminannya (Al-
Buhairiy, 2014). Misalnya, perintah mengonsumsi makanan yang baik
dalam Q.S. ‘Abasa ayat 24 dan Q.S. al-Ma’idah ayat 88:
َ ۡ ُ ََۡ
َٰ َ ‫ٱۡل‬
٢٤ ٓ‫نس ُن إ ِ ََٰل َط َعا ِمهِۦ‬ ِ ‫فلينظ ِر‬
Artinya: “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan
makanannya” (Q.S. ‘Abasa: 24).

9
َ ٓ َّ َ َّ ْ ُ َّ َ ‫َّ ُ َ َ ا َ ا‬ ُ َ ْ ُُ
‫َوُكوا م َِّما َر َزقك ُم ٱَّلل حلَٰٗل طيِبا ۚ وٱتقوا ٱَّلل ٱَّلِي أنتم بِهِۦ‬
ُ
َ ۡ
٨٨ ‫ُمؤم ُِنون‬
Artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari
apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah
kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya” (Q.S. al-
Ma’idah: 88).

Dalam Alquran juga dijelaskan bahwa haram hukumnya bagi umat


Islam mengonsumsi pangan yang dicampur alkohol, bangkai, babi, anjing
dan lain-lain yang diharamkan seperti yang tertuang dalam potongan Q.S.
Al- Ma’idah ayat 3:
َّ ۡ َ َّ ُ ٓ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ ُ َّ َ ُ َ ۡ َ ۡ ُ ُ ۡ َ َ ۡ َ ُ
ِ ‫ۡي ٱَّلل‬
ِ ‫ِغ‬ ‫ل‬ ‫ِل‬ ‫ه‬ ‫أ‬ ‫ا‬‫م‬‫و‬ ‫ير‬
ِ ِ ‫ِزن‬ ‫ٱۡل‬ ‫ح ِرمت عليكم ٱلميتة وٱدلم وَلم‬
‫بِهِۦ‬
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, dan yang disembelih atas nama selain Allah…”
(Q.S. al-Ma`idah: 3)

Mengonsumsi makanan yang baik dan sesuai dengan perintah agama


merupakan pencerminan dalam melaksanakan Maqasid Syari’ah, tujuannya
ialah untuk menjaga agama, akal, jiwa, keturunan dan harta.
2.2.2 Pakaian
Sebagai seorang muslim, tata cara berpakaian telah diatur dalam Q.S.
Al-A’raf ayat 26:
‫ُ ۡ َ ا‬ ۡ َ َ ُ ‫ا‬ َ ۡ ُ ۡ َ َ ََۡ َ ۡ َ َ َ َ ٓ َ َ
ۖ‫يَٰب ِِن ءادم قد أنزۡلا عليكم ِلِ اسا يوَٰرِي سوَٰءت ِكم ورِيشا‬
َّ َ َّ َ َ َ ۡ َ َ َ َٰ َ ۡ َّ ُ َ ِ‫َوِل‬
‫ت ٱَّللِ ل َعل ُه ۡم‬
ِ َٰ ‫ى ذَٰل ِك خۡيرۚ ذَٰل ِك م ِۡن َءاي‬ ‫اس ٱتلقو‬
َ َّ َّ
٢٦ ‫يَذك ُرون‬
Artinya: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu

10
dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa
itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian
dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka
selalu ingat”.

Ayat di atas secara tersurat menjelaskan tujuan Allah dalam


menurunkan pakaian, kewajiban manusia untuk menutup auratnya
dengan pakaian dan menjelaskan pakaian yang paling baik adalah pakaian
taqwa. Menggunakan pakaian yang baik dalam aktivitas sehari-hari juga
termasuk dalam implementasi Maqasid Syari’ah yaitu menjaga agama dan
jiwa.
Terkait dengan masalah pakaian, para ulama fiqih tidak hanya
menyebut tentang pakaian yang digunakan untuk menutup aurat saja,
tetapi juga pakaian yang digunakan di musim panas dan musim dingin
(Ibnu Abidin R.-M., 2000). Bahkan juga termasuk pakaian yang
dipergunakan untuk tujuan berhias (Tajammul). Ulama madzhab Syafi’i
bahkan secara tegas menyatakan: “Seandainya ia memiliki tempat tinggal
atau pakaian yang ia gunakan untuk tujuan bersolek atau berhias, selama ia
fakir maka hal tersebut tidak menghalangi dirinya masuk dalam kategori
miskin disebabkan oleh kebutuhannya”(Abu Zakaria).
Sedangkan Imam Ramli menyatakan bahwa tidak mengapa ia
memiliki pakaian bagus lebih dari satu, terlebih jika dipakai pada saat hari-
hari besar yang dimuliakan (Al-Rahibani, 1994). Bahkan jika seorang wanita
memiliki celak mata yang ia pergunakan untuk berias, tidak menghalangi
dirinya untuk terkategori dalam golongan miskin (Al-Ramli). Demikian juga
dengan pendapat para ulama madzhab Hanbali dan Hanafi (Al-Rahibani)
(Kasani).

2.2.3 Tempat Tinggal


Tidak dapat diragukan oleh siapapun bahwa tempat tinggal
merupakan hal yang sangat primer. Dengan adanya rumah, seseorang

11
dapat menjaga diri dan keluarganya dari bahaya siang dan malam, bahaya
panas dan dingin. Di atas semua itu, dengan tempat tinggal seseorang dapat
membangun rumah tangga yang merupakan pilar masyarakat agar
kelestarian manusia dapat terjaga.
Allah SWT sudah menyebutkannya dalam surat An-Nahl ayat 80,
“Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal…”.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat tersebut, “Allah
mengingatkan akan kesempurnaan nikmat yang Dia curahkan atas para
hamba-Nya, berupa rumah tempat tinggal yang berfungsi untuk
memberikan ketenangan bagi mereka. Mereka bisa berteduh (dari panas
dan hujan) dan berlindung (dari segala macam bahaya) di dalamnya. Juga
bisa mendapatkan sekian banyak manfaat lainnya” (Susanto, 2011).
Menurut Imam Ramli, orang yang memiliki aset yang
pendapatannya tidak mencukupi kebutuhannya, maka ia masuk dalam
kategori miskin dan fakir (Al-Ramli).
Dalam konteks ini, al-Kasani membolehkan dana zakat dipergunakan
untuk membelikan perkakas bagi mereka yang sudah memiliki rumah (Al-
Kasani). Hal ini berarti kepemilikan rumah tidak menghalangi seseorang
untuk mendapat bagian zakat. Imam Hasan al-Basri mengatakan (Al-
Syaibani):

:‫ قيل‬.‫ب عشرة آلف درهم‬ ‫إن الصدقة كانت تل للر نجل ونهو صاح ن‬
‫ ي نكو نن لهن الد نار والاد نم والكراع‬:‫ قال‬.‫يا أبا سعيد وكيف ذل نكم‬
.‫والسلح وكا نوا ي ن هون عن ب يع ذلك‬
Artinya: “Uang zakat boleh diberikan kepada orang yang
memiliki uang sebanyak 10.000 dirham”. Lantas ia ditanya,
“Bagaimana hal itu diperbolehkan?” Ia menjawab, “Iya, ia
memiliki aset berupa rumah, budak, kuda dan senjata,
namun ia tidak bisa menjualnya.”

12
Melihat pendapat ini, para ulama menyatakan bahwa aset dan
barang-barang tersebut termasuk hal-hal primer bagi manusia (al-Asya’ al-
Lazimah) (Ibnu Abidin R.-M., 2000). Terkait dengan hal ini, Ibnu Salam
menyatakan dana zakat dapat dipergunakan untuk membangun rumah bagi
orang miskin (Ibn Salam). Atas dasar ini, Direktorat Umum Urusan Islam
dan Wakaf Uni Emirat Arab membolehkan penggunaan dana zakat untuk
membangun rumah bagi orang fakir dan miskin7.

2.2.4 Ibadah
Ibadah secara etimologis bermakna al-Khudhu’ (ketundukan) dan at-
Tadzallul (merendahkan diri) kepada seseorang atau kepada sesuatu dengan
maksud mengagungkan. Imam Ibnu Taimiyah memberikan pengertian
terminologis ibadah yaitu sebuah istilah yang mencakup semua yang
dicintai dan diridhai oleh Allah, berupa perkataan, perbuatan, amalan yang
lahir maupun amalan yang batin.8 Dengan demikian, ibadah yang
merupakan tujuan utama diciptakannya umat manusia dan jin,
mengandung pengertian yang sangat luas. Atas dasar ini, maka kebutuhan
manusia akan bekal ibadah sama pentingnya dengan kebutuhannya akan
ibadah kepada Allah SWT.
Dalam Alquran diterangkan bahwa sebab penciptaan manusia tidak
lain adalah untuk beribadah kepada Allah SWT9. Tujuan dari ibadah sendiri
diantaranya sebagai salah satu upaya untuk berada pada Shirat al-
Mustaqim10. Dalam berbagai kajian keislaman, ibadah memiliki pembahasan
dan sudut pandang yang sangat beragam. Merujuk pada Royani (2017),
ada 5 kategori dalam fiqih ibadah yakni:
1. Ibadah I’tiqadiyah: ibadah yang berhubungan dengan keyakinan dan
keimanan, seperti iman kepada rukun iman, dan iman kepada yang
ghaib.

7 http://www.awqaf.ae/Fatwa.aspx?SectionID=9&RefID=3101
8 Ibnu Taimiyyah, al-‘Ubudiyyah, 2.
9 “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi

kepada-Ku” (Q.S. Az-Zariyat: 56)


10 “Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus” (Q.S. Yasiin: 61).

13
2. Ibadah Qalbiyah: amalan-amalan ibadah yang lebih banyak dilakukan
dengan hati, yang tidak boleh ditujukan dan dimaksudkan kecuali
hanya kepada Allah. Seperti Hubb (cinta), Tawakkal, Sabar, Khauf
(takut), Raja’ (berharap) dan taubat.
3. Ibadah Lafzhiyah: amalan-amalan ibadah yang lebih banyak dilakukan
dengan lisan, seperti mengucap kalimat-kalimat Thayyibah, dzikir dan
membaca Alquran.
4. Ibadah Jasadiyah: amalan-amalan ibadah yang lebih banyak dilakukan
dengan badan/jasad seperti ruku’, sujud.
5. Ibadah Maliyah: amalan-amalan ibadah yang lebih banyak dilakukan
dengan sarana harta benda dan kekayaan. Seperti zakat, infaq dan
shodaqoh.
Dalam kajian ini, cakupan ibadah dibagi menjadi ibadah Jasadiyah
dan ibadah bukan Jasadiyah, yang kemudian dikuantifikasi menggunakan
satuan pembiayaan paling minimal untuk bisa melaksanakan ibadah.

2.2.5 Pendidikan
Pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi eksistensi manusia.
Bahkan agama ini dibangun atas dasar pendidikan dan keilmuan. Hal ini
dapat dilihat dari wahyu yang pertama diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW (Q.S. al-‘Alaq ayat 1-5). Umat ini disebut dengan umat
yang memiliki tradisi belajar (Ummah Iqra). Meski Islam tidak mengenal
dikotomi ilmu, tetapi aspek pendidikan ilmu syariat menjadi prioritas11. Hal
ini menandakan bahwa dana zakat diperbolehkan untuk diberikan kepada
pelajar ilmu agama secara prioritas dan ilmu-ilmu lain yang
kemanfaatannya kembali kepada publik secara umum. Problem klasik dunia
Islam hingga saat ini adalah terbatasnya kesempatan belajar bagi
masyarakat muslim yang fakir dan miskin. Padahal, kepeloporan dan
kepemimpinan umat tidak akan dapat terwujud jika tradisi keilmuan yang
ditunjukkan dalam indeks inovasi umat Islam rendah.

11 Al-Ashbah wa al-Naza’ir, 1/374, al-Muhtaj, 7/152, al-Insaf, 3/219.

14
Pendidikan memiliki posisi penting dalam Islam. Pendidikan pernah
menjadi sebab-akibat kemajuan sekaligus kemunduran Islam (Hafiddin,
2012), dan pendidikan terus membawa keutamaan sebagaimana
diwahyukan dalam Alquran. Pencapaian lainnya yang tidak terlupakan
adalah kegemilangan Islam yang menjadi obor ilmu pengetahuan abad
pertengahan ketika dunia Eropa dan Barat justru mengalami titik kegelapan
(the Dark Ages) (Karim, 2014). Tingginya kedudukan ilmu pengetahuan ini
juga termaktub dalam ayat suci Alquran:

َٰ َ َ ۡ ْ ُ َّ َ َ ۡ ُ َ َ َ ْ ٓ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َ
‫يأيها ٱَّلِين ءامنوا إِذا قِيل لكم تفسحوا ِِف ٱلمجل ِ ِس‬ َٰٓ
َ ْ ُ ُ َ ْ ُ ُ َ َ ۡ ُ َ ُ َّ ۡ ْ ۡ َ
ِ‫ٱنُشوا يَ ۡرفع‬ ‫فٱف َس ُحوا َيف َسحِ ٱَّلل لكمۖ ِإَوذا قِيل ٱنُشوا ف‬
َّ َ َٰ َ َ َ َ ۡ ۡ ْ ُ ُ َ َّ َ ۡ ُ
ُ‫ٱَّلل‬ ْ ُ َ َ َ َّ ُ َّ
‫تو‬ ٖۚ ‫ج‬‫ر‬ ‫د‬ ‫م‬ ‫ل‬ِ ‫ع‬‫ٱل‬ ‫وا‬‫وت‬ ‫أ‬ ‫ِين‬
‫ٱَّل‬‫و‬ ‫م‬ ‫ِنك‬
‫م‬ ‫ٱَّلل ٱَّلِين ءامنوا‬
َ َ ُ َ
١١ ‫ب ِ َما ت ۡع َملون خبِۡير‬
Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan
kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Mujadilah: 11)

Dalam sebuah riwayat hadits, Rasulullah SAW juga pernah


menerangkan bahwa ”Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim
laki-laki maupun muslim perempuan” (H.R. Ibnu Abdil Barr). Maka dari itu,
pemenuhan pendidikan menjadi penting bagi setiap muslim di sepanjang
zaman.

15
2.2.6 Kesehatan
Kesehatan dalam perspektif Islam dinilai sangat penting untuk dapat
mencapai Maqasid Syari’ah. Tujuan Maqasid Syari’ah seperti ibadah, akal,
dan keturunan tidak dapat dicapai tanpa didukung dengan keadaan
kesehatan yang baik (Khayat, 1997). Namun demikian, masih banyak
manusia yang terkadang masih mengabaikan dan melupakan nikmat
kesehatan sebagaimana hadits Rasulullah SAW: “Ada dua nikmat yang
banyak dilupakan manusia, yaitu nikmat sehat dan peluang kesempatan”
(H.R. Bukhari).
Menjaga kesehatan termasuk dalam upaya menjaga jiwa yang
merupakan persoalan primer yang menjadi pilar Maqasid Syari’ah
(Dharuriyat al-Khamsah). Atas dasar ini, maka dimensi kesehatan
merupakan perkara yang sangat penting bagi manusia. Imam Ramli
menyatakan jika ada seorang dokter yang memiliki buku atau alat
pengobatan untuk mengobati manusia, maka ia diperbolehkan mendapat
bagian zakat jika ia memerlukan bantuan (Al-Ramli). Hal yang juga
diperbolehkan adalah memberikan bantuan keuangan kepada fakir miskin
untuk biaya pengobatan yang tidak ditanggung oleh rumah sakit
pemerintah. Pendapat senada dikemukakan oleh ulama kontemporer
seperti Ibnu Jibrin12 dan Darul Fatwa Negara Jordania13.

2.2.7 Transportasi
Salah satu ciri manusia adalah memiliki kemauan dan kemampuan
untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dengan alat
transportasi, manusia memiliki tingkat mobilitas yang tinggi untuk
meningkatkan taraf hidupnya. Zaman dahulu kendaraan yang paling
populer adalah unta dan kuda. Berkenaan dengan kuda dan kaitannya
dengan zakat, Rasulullah SAW bersabda (Abu Daud, 2009):

12 http://ibn-jebreen.com/?t=books&cat=6&book=28&page=1258, diakses pada 10 Maret


2018.
13 Fatwa No. 503, tentang: Bantuan Zakat untuk Menikah?. Tanggal 14 Februari 2010.

Artikel berkenaan dapat diakses pada:


http://aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=503#.WLmfm9KGPIU

16
.‫للسائل حق وإن جاء على ف رس‬
Artinya: “Bagi peminta-minta ada hak (untuk diberi), meski ia
datang dengan menunggang kuda.”

Hal ini menandakan jika seseorang berada dalam kesulitan, ia berhak


memperoleh bagian dari zakat, meskipun ia memiliki kendaraan. Hal ini
karena kendaraan merupakan hal yang sangat penting dalam menopang
kehidupannya. Hal senada dikemukakan oleh Imam Qurtubi14.
Dari segi agama, di Alquran telah disebutkan tentang transportasi
pada surat Gafir ayat 79-80: “Allahlah yang menjadikan hewan ternak
untukmu, sebagian untuk kamu kendarai dan sebagian lagi kamu makan.
Dan bagi kamu (ada lagi) manfaat-manfaat yang lain padanya (hewan
ternak itu) dan agar kamu mencapai suatu keperluan (tujuan) yang
tersimpan dalam hatimu (dengan mengendarainya) dan dengan
mengendarai binatang-binatang itu, dan di atas kapal mereka diangkut.”
Dan pada surat Al-Baqarah ayat 164 Allah juga menyebutkan, “...Dan kapal
yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia.”
Berdasarkan ayat tersebut telah dijelaskan bahwa transportasi adalah
sebuah kebutuhan manusia. Sebagaimana dibuktikan dengan terciptanya
sebagian hewan agar bermanfaat bagi manusia untuk ditunggangi dan
dikendarai untuk memenuhi kebutuhan.

2.3 Landasan Teori Dimensi Had Kifayah


2.3.1 Dimensi Makanan
Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi
setiap orang untuk bertahan hidup. Bukan hanya sekedar pemenuh
kebutuhan, makanan yang dimakan oleh seseorang harus bernilai gizi baik.
Menurut Kementrian Kesehatan RI, salah satu ciri bangsa maju adalah

14 Al-Qurtubi, al-Tamhid, 5/294.

17
bangsa yang memiliki tingkat kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas
kerja yang tinggi. Ketiga hal ini dipengaruhi oleh keadaan gizi.
Berdasarkan UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, disebutkan
bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan,
perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan
makanan atau minuman.
Selain itu, UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan juga menyebutkan
bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan
berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan
ketahanan pangan. Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam
Pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral,
serat, air, dan komponen lain yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan
kesehatan manusia.
Ketersediaan pangan juga termasuk dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan atau dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs)
yang berisi 17 tujuan yang salah satu tujuannya berkaitan dengan pangan
yaitu tanpa kelaparan.
Pola makan merupakan perilaku paling penting yang dapat
mempengaruhi keadaan gizi. Hal ini disebabkan karena kuantitas dan
kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi akan memengaruhi
tingkat kesehatan individu dan masyarakat. Keadaan gizi yang baik dapat
meningkatkan kesehatan individu dan masyarakat. Gizi yang optimal sangat
penting untuk pertumbuhan normal serta perkembangan fisik dan
kecerdasan bayi, anak-anak, serta seluruh kelompok umur. Gizi yang baik
membuat berat badan normal atau sehat, tubuh tidak mudah terkena

18
penyakit infeksi, produktivitas kerja meningkat, serta terlindung dari
penyakit kronis dan kematian dini (Kementerian Kesehatan, 2014)
Pedoman Gizi Seimbang mempunyai 4 (empat) pilar yaitu
mengonsumsi makanan beragam, membiasakan perilaku hidup bersih,
melakukan aktivitas fisik, serta mempertahankan dan memantau berat
badan dalam batas normal. Empat pilar tersebut menjadi bagian dari ‘Pola
Hidup’ dan upaya perbaikan gizi agar konsumsi masyarakat sesuai dengan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) (Kementerian Kesehatan, 2014).
Angka Kecukupan Gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat
gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua
orang dalam populasi (97,5%) menurut kelompok umur, jenis kelamin dan
kondisi fisiologis tertentu, misalnya ibu hamil dan/atau menyusui. Rata-rata
kecukupan energi dan protein bagi penduduk Indonesia adalah 2150 Kkal
dan 57 gram/orang/hari (Kartono, dkk., 2012). Berbeda dengan Widiatama
Gizi dan Pangan yang menyebutkan bahwa rata-rata kebutuhan protein
seseorang ialah 2150 Kkal, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan
Transmigrasi (Permenakertrans) menyebutkan bahwa untuk mencapai KHL,
seorang pria dewasa harus mengonsumsi rata-rata 3000 Kkal/hari.
Hasil Susenas BPS Maret 2017 juga menunjukan bahwa rata–rata
setiap penduduk Indonesia mengonsumsi kalori sebanyak 2152,64 Kkal dan
protein sebanyak 62,20 gram setiap harinya. Konsumsi kalori penduduk
Indonesia sebagian besar berasal dari kelompok padi-padian,
makanan/minuman jadi, serta minyak dan kelapa. Konsumsi protein
sebagian besar berasal dari kelompok padi-padian dan makanan/minuman
jadi, ikan, kacang-kacangan, dan daging (BPS, 2017).
Penelitian yang dilakukan oleh Hermina dan Prihartini (2014)
menunjukan bahwa secara umum konsumsi sayur-buah penduduk Indonesia
masih rendah dalam konteks gizi seimbang menurut kelompok umur, baik
di perkotaan maupun di perdesaan, serta paling rendah adalah pada
kelompok usia remaja.

19
Pada penelitian ini juga disebutkan bahwa hampir semua penduduk
Indonesia mengonsumsi sayur (94,8%), namun hanya sedikit yang
mengonsumsi buah (33,2%). Rerata konsumsi sayur penduduk Indonesia
yaitu 70,0 gram/orang/hari dan konsumsi buah 38,8 gram/orang/hari.
Total konsumsi sayur dan buah penduduk yaitu 108,8 gram/orang/hari. Bila
dibandingkan dengan kecukupan yang dianjurkan menurut pedoman gizi
seimbang, konsumsi sayur dan buah tersebut masih rendah. Sebanyak
97,1% penduduk kurang mengonsumsi sayur dan buah. Bila dilihat dari
kelompok umur, remaja adalah kelompok umur tertinggi yang kurang
mengonsumsi sayur dan buah (98,4%) (Hermina & Prihartini, 2016).
Selain itu, kebutuhan makanan juga dapat dihitung berdasarkan
pengeluaran untuk konsumsi. Berdasarkan Hasil Susenas BPS Maret 2017
mengenai pengeluaran dan konsumsi penduduk Indonesia, rata-rata
pengeluaran penduduk per bulan adalah Rp1.036.497,00. Sebesar 50,94%
atau Rp527.956,00 di antaranya digunakan untuk konsumsi makanan.
Makanan yang paling banyak dikonsumsi berdasarkan hasil survey adalah
makanan jadi yaitu sebesar Rp172.600,00 yang di antaranya adalah mie
instan, roti tawar, bakso, soto, dan lain-lain. Pengeluaran tertinggi setelah
makanan jadi ialah rokok, yakni sebesar Rp65.586,00 dan padi–padian
sebesar Rp61.455,00 (Badan Pusat Statistik, 2017).

2.3.2 Dimensi Pakaian


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pakaian berasal dari kata
pakai yang diberi imbuhan –an. Dalam kamus bahasa Indonesia ada dua
makna dalam kata “pakai”, yaitu (1) mengenakan, dan (2) dibubuhi atau
diberi.
Sementara itu menurut istilah, pakaian adalah barang apa yang
dipakai atau dikenakan, seperti baju, celana, rok dan lain sebagainya.
Pakaian dinas berarti baju yang dikenakan untuk dinas, pakaian hamil
berarti baju yang dikenakan wanita hamil, pakaian adat berarti pakaian

20
khas resmi suatu daerah. Kata pakaian bersinonim dengan kata busana atau
sandang (Maknuna, 2015).
Pakaian adalah kebutuhan pokok manusia yang tidak bisa terlepas
dari kehidupan sehari-hari. Pakaian yang digunakan oleh seorang muslim
harus sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Alquran dan harus sesuai
dengan kondisi pada saat pakaian tersebut digunakan agar tidak
menyebabkan masalah bagi dirinya maupun lingkungan di sekitarnya.
Secara naluriah manusia butuh untuk melindungi tubuhnya dari
sengatan panas, dinginnya cuaca, maupun hempasan angin dan hujan.
Salah satu bentuk perlindungan diri tersebut adalah dengan mengenakan
penutup tubuh atau lebih praktisnya dengan mengenakan pakaian. Bila
binatang mempunyai kulit dan bulu-bulu tebal untuk melindungi tubuhnya,
maka manusia mempunyai pakaian yang beraneka ragam dan model
(Maknuna, 2015).
Menurut Maknuna (2015), setidaknya ada beberapa fungsi pakaian,
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Menutupi aurat manusia
Pakaian yang baik adalah pakaian yang menutupi aurat seseorang.
Aurat sebisa mungkin ditutupi agar tidak menimbulkan berbagai hal
yang tidak diinginkan terutama dari lawan jenis.
b. Pelindung tubuh manusia
Penggunaan pakaian yang baik akan mampu melindungi tubuh
dari berbagai hal yang dapat memberikan pengaruh negatif pada
manusia. Contohnya seperti perlindungan tubuh dari terik matahari,
hujan, hawa dingin, hawa panas, debu, kotoran, dan lain sebagainya.
Tubuh yang tidak tertutupi pakaian dengan baik bisa mudah terkena
penyakit dan juga lebih mudah kotor.
c. Simbol status manusia
Dalam tingkatan status masyarakat, pakaian bisa memperlihatkan
tingkat status seseorang. Misalnya saja dalam dunia militer, pakaian

21
jenderal dibuat berbeda dengan pakaian prajurit biasa sehingga mudah
untuk dikenali.
d. Penunjuk identitas manusia
Manusia bisa menunjukkan eksistensi dirinya sendiri kepada orang lain
melalui pakaian yang dikenakan.
e. Perhiasan manusia
Seseorang bisa tampil lebih menarik jika mengenakan pakaian yang
tepat. Ditambah lagi dengan aksesoris pakaian dan juga ditunjang
dengan perbaikan penampilan diri dapat meningkatkan daya tarik
seseorang di mata orang-orang yang ada di sekitarnya.
f. Membantu kegiatan/pekerjaan manusia.
Pekerjaan tertentu akan menjadi lebih mudah dilakukan apabila
seseorang memakai pakaian khusus. Contohnya seperti pakaian
menyelam yang cocok untuk digunakan pada kegiatan diving di laut.
g. Menghilangkan perbedaan antarmanusia
Penggunaan baju seragam yang sama pada banyak orang bisa
mengurangi perbedaan di antara orang-orang tersebut, seperti seragam
sekolah dan lain sebagainya. Salah satu contoh yang paling nyata
adalah penggunaan pakaian ihram (muhrim) pada orang-orang yang
melaksanakan ibadah umrah atau ibadah haji di Kota Mekah. Setiap
orang akan menggunakan pakaian yang sama (laki-laki) sehingga setiap
orang akan merasa sederajat, tidak ada perbedaan.

2.3.3 Dimensi Tempat Tinggal dan Fasilitas Rumah Tangga


Untuk dapat hidup dengan layak, manusia membutuhkan tempat
tinggal. Di sanalah manusia melindungi diri dari berbagai hal di alam
terbuka yang dapat mengancam keberlangsungan hidupnya, serta
melakukan berbagai aktivitas untuk mempertahankan hidupnya, misalnya
beristirahat.
Selain adanya landasan dari segi agama, tempat tinggal juga memiliki
landasan dari segi konstitusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

22
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28 H ayat (1) yang
berisi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dipaparkan
bahwa Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia
melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar
masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak
dan terjangkau di dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan
berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai salah satu kebutuhan
dasar manusia, idealnya rumah harus dimiliki oleh setiap keluarga, terutama
bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan bagi masyarakat yang
tinggal di daerah padat penduduk di perkotaan. Negara juga bertanggung
jawab dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah
bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman serta keswadayaan masyarakat.
Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman
(KSNPP) tahun 2002 menyebutkan bahwa visi penyelenggaraan perumahan
dan permukiman hingga tahun 2020 adalah “Setiap orang (KK) Indonesia
mampu memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau pada
lingkugan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan dalam upaya
terbentuknya masyarakat yang berjatidiri, mandiri, dan produktif”. Dalam
rangka mewujudkan visi tersebut, misi yang harus dilaksanakan adalah (1)
melakukan pemberdayaan masyarakat dan para pelaku kunci lainnya di
dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman, (2) memfasilitasi dan
mendorong terciptanya iklim yang kondusif di dalam penyelenggaraan
perumahan dan permukiman, dan (3) mengoptimalkan pendayagunaan
sumber daya pendukung penyelenggaraan perumahan dan permukiman.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun
2015-2019 juga menyebutkan arah kebijakan pembangunan perumahan

23
dan permukiman yang di antaranya adalah meningkatkan aksesibilitas
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) terhadap hunian yang layak dan
terjangkau melalui peningkatan aksesibilitas MBR dan menengah bawah
terhadap hunian yang layak dan terjangkau, peningkatan penyediaan
hunian layak dan terjangkau bagi MBR, peningkatan kualitas lingkungan
permukiman, peningkatan jaminan kepastian hukum dalam bermukim
(Secure Tenure), peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan air
minum dan sanitasi yang memadai, peningkatan prioritas pembangunan
prasarana dan sarana permukiman (air minum dan sanitasi), dan
peningkatan cakupan pelayanan air minum dan air limbah, persampahan,
serta drainase.
Dalam tataran global, Indonesia juga menyepakati Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau The 2030 Agenda for Sustainable
Development Goals (SDGs) yang pada Peraturan Presiden No. 59 Tahun
2017 disebutkan bahwa TPB bertujuan untuk menjaga peningkatan
kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga
keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan
hidup, serta pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang
mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Dimensi tempat tinggal ini sesuai dengan tujuan ke-11
pada TPB tersebut, yakni menjadikan kota dan permukiman inklusif, aman,
tangguh, dan berkelanjutan.
Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman
(KSNPP) tahun 2002 juga menyebutkan bahwa Indonesia terlibat dalam
beberapa agenda global yang terkait dengan bidang perumahan dan
permukiman, khususnya Agenda 21 tentang pembangunan berkelanjutan
dimana terdapat agenda khusus sektor permukiman dan agenda habitat.
Pada Deklarasi Habitat-II (Deklarasi Istanbul) agenda habitat yang
diprakarsai oleh The United Nations Centre for Human Settlements
(UNCHS) disebutkan bahwa masalah hunian merupakan kebutuhan dasar
manusia dan sebagai hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang

24
layak dan terjangkau (Shelter for All). Disamping itu, dalam Agenda 21
maupun Deklarasi Habitat II tersebut juga telah dinyatakan perlunya
pembangunan yang mengedepankan strategi pemberdayaan (Enabling
Strategy) di dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman.
Lebih lanjut, KSNPP 2002 pun menyebutkan bahwa Indonesia juga
menyepakati Deklarasi Millenium dan Deklarasi “Cities Without Slums
Initiative”, yang juga sama-sama mengamanatkan pentingnya upaya
pewujudan daerah perkotaan yang terbebas dari permukiman kumuh.
Dalam mengaktualisasikan Deklarasi tersebut, perlu tindaklanjut dengan
langkah-langkah konkrit untuk mewujudkan kawasan permukiman yang
bebas dari kekumuhan dengan tanpa menggusur, yang mengedepankan
strategi pemberdayaan melalui pelibatan seluruh unsur pelaku
pembangunan dan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Upaya
penanganan permukiman kumuh ini adalah bagian yang paling prioritas
dan strategis untuk mewujudkan lingkungan permukiman yang sehat,
aman, harmonis dan berkelanjutan guna mendukung terbentuknya
masyarakat yang mandiri, berjatidiri, dan produktif.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman Pasal 1 ayat (7), disebutkan bahwa rumah
adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak
huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat
penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Keputusan Menteri Permukiman
dan Prasarana Wilayah Nomor 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman
Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) menjelaskan
bahwa Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) merupakan tempat kediaman
yang layak dihuni dan harganya terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan
rendah dan sedang, berupa bangunan yang luas lantai dan luas kavelingnya
memadai dengan jumlah penghuni serta memenuhi persyaratan kesehatan
rumah tinggal.
RS Sehat dibangun dengan menggunakan bahan bangunan dan
konstruksi sederhana akan tetapi masih memenuhi standar kebutuhan

25
minimal dari aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan, dengan
mempertimbangkan dan memanfaatkan potensi lokal meliputi potensi fisik
seperti bahan bangunan, geologis, dan iklim setempat serta potensi sosial
budaya seperti arsitektur lokal, dan cara hidup.
Ketentuan RS Sehat adalah sebagai berikut:
1. Kebutuhan Minimal Masa (penampilan) dan Ruang (luar-dalam)
Kebutuhan ruang per orang dihitung berdasarkan aktivitas dasar
manusia di dalam rumah. Aktivitas seseorang tersebut meliputi aktivitas
tidur, makan, kerja, duduk, mandi, kakus, cuci dan masak serta ruang
gerak lainnya. Dari hasil kajian, kebutuhan ruang per orang adalah 9 m2
dengan perhitungan ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2.80 m.
2. Kebutuhan Kesehatan dan Kenyamanan
Syarat kesehatan dan kenyamanan dipengaruhi oleh 3 (tiga)
aspek, yaitu pencahayaan, penghawaan, serta suhu udara dan
kelembaban dalam ruangan. Aspek-aspek tersebut merupakan dasar
atau kaidah perencanaan rumah sehat dan nyaman.
Aspek pencahayaan yang dimaksud adalah penggunaan terang
langit. Nilai faktor langit tersebut akan sangat ditentukan oleh
kedudukan lubang cahaya dan luas lubang cahaya pada bidang atau
dinding ruangan. Semakin lebar bidang cahaya (L), maka akan semakin
besar nilai faktor langitnya. Tinggi ambang bawah bidang bukaan
(jendela) efektif antara 70-80 cm dari permukaan lantai ruangan.
Sementara itu, untuk aspek penghawaan, agar diperoleh
kesegaran udara dalam ruangan dengan cara penghawaan alami, maka
dapat dilakukan dengan memberikan atau mengadakan peranginan
silang (ventilasi silang) dengan ketentuan lubang penghawaan minimal
5% (lima persen) dari luas lantai ruangan, udara yang mengalir masuk
sama dengan volume udara yang mengalir keluar ruangan, dan udara
yang masuk tidak berasal dari asap dapur atau bau kamar mandi/WC.
Baik pencahayaan maupun penghawaan akan berpengaruh
terhadap aspek ketiga, yaitu suhu udara dan kelembaban. Rumah

26
dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan kelembaban
udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal. Penghawaan
yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan ruangan terasa pengap
atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam
ruangan.
3. Kebutuhan Minimal Keamanan dan Keselamatan
Pada dasarnya bagian-bagian struktur pokok untuk bangunan
rumah tinggal sederhana adalah pondasi, dinding (dan kerangka
bangunan), atap serta lantai. Sementara itu, bagian-bagian lain seperti
langit-langit, talang, dan sebagainya merupakan estetika struktur
bangunan saja.
Dari penjelasan di atas, dengan demikian kebutuhan dasar minimal
suatu rumah tangga adalah sebagai berikut:
i. Atap yang rapat dan tidak bocor
ii. Lantai yang kering dan mudah dibersihkan
iii. Penyediaan air bersih yang cukup
iv. Pembuangan air kotor yang baik dan memenuhi persyaratan
kesehatan
v. Pencahayaan alami yang cukup
vi. Udara bersih yang cukup melalui pengaturan sirkulasi udara
sesuai dengan kebutuhan

2.3.4 Dimensi Ibadah


Dimensi ibadah merupakan bagian tak terpisahkan dari diri setiap
muslim. Ibadah sejatinya merupakan kebutuhan dasar seperti juga
kebutuhan pada makanan, pendidikan, dan lain sebagainya. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata ibadah didefinisikan sebagai perbuatan untuk
menyatakan bakti kepada Allah SWT yang didasari ketaatan mengerjakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya15.

15 (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2018)

27
Terkait kegiatan pendidikan keagamaan, pemerintah telah menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya16, pemerintah
juga memfasilitasi kebutuhan pendidikan agama melalui peraturan resmi.
Dalam PP Nomor 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan diselenggarakan pada
jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal17.
Untuk agama Islam, jenis pendidikan agama diklasifikasikan menjadi
pendidikan diniyah dan pesantren18. Pendidikan diniyah sebagaimana
dimaksud di sini diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan
informal19. Untuk menyamaratakan, dalam kajian ini pendidikan agama
Islam yang dimaksud adalah pendidikan nonformal karena bersifat lebih
fleksibel dan tidak membatasi peserta didik berdasarkan usia, jenjang
pendidikan terakhir, atau jenis kelamin.
Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk
pengajian kitab, majelis taklim, pendidikan Alquran, diniyah takmiliyah,
atau bentuk lain yang sejenis20. Berikut adalah definisi operasional dari
masing-masing komponen pendidikan diniyah nonformal berdasarkan PP
Nomor 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan:
 Pengajian Kitab: diselenggarakan dalam rangka mendalami ajaran Islam
dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam. Penyelenggaraannya dapat
dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang, dilaksanakan di
pondok pesantren, masjid, mushalla, atau tempat lainnya.
 Majelis Taklim: bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan
kepada Allah SWT dan akhlak mulia peserta didik serta mewujudkan
rahmat bagi alam semesta. Kurikulum majelis taklim bersifat terbuka
dengan mengacu pada pemahaman terhadap Alquran dan hadits

16 (Indonesia, Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945, Pasal 29)


17 PP No. 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Pasal 9 Ayat 2
18 PP No. 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Pasal 14 Ayat 1

19 PP No. 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Pasal 14 Ayat 3

20 PP No. 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan

28
sebagai dasar untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada
Allah SWT, serta akhlaq mulia.
 Pendidikan Alquran: bertujuan meningkatkan kemampuan peserta didik
membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan kandungan Alquran .
Pendidikan Alquran terdiri dari Taman Kanak-Kanak Alquran (TKQ),
Taman Pendidikan Alquran (TPQ), Ta’limul Qur’an lil Aulad (TQA), dan
bentuk lain yang sejenis, dapat dilaksanakan secara berjenjang dan tidak
berjenjang. Penyelenggaraan pendidikan Alquran dipusatkan di masjid,
musholla, atau di tempat lainnya. Kurikulum pendidikan Alquran adalah
membaca, menulis dan menghafal ayat-ayat Alquran, tajwid, dan
menghafal do’a-do’a utama. Dan tenaga pendidik pada pendidikan
Alquran minimal lulusan pendidikan diniyah menengah atas atau yang
sederajat, dapat membaca Alquran dengan tartil dan menguasai teknik
pengajaran Alquran.
 Diniyah Takmiliyah: bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama
Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau di
pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan
peserta didik kepada Allah SWT. Penyelenggaraan Diniyah Takmiliyah
dapat dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA,
SMK/MAK atau pendidikan tinggi.

2.3.5 Dimensi Pendidikan


Dalam dalam konteks keindonesiaan, semangat memperjuangkan
pendidikan tergambar dalam dasar negara Indonesia, dimana salah satu
cita-cita kemerdekaan Indonesia adalah untuk “... mencerdaskan kehidupan
bangsa...”21. Sejalan dengan semangat tersebut, negara menjamin bahwa
setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas

21 Pembukaan UUD 1945, paragraf keempat

29
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia22. Guna mewujudkan
semangat dan cita-cita luhur tersebut, negara mewajibkan kepada rakyat
untuk mengikuti pendidikan dasar yang mana pembiayaannya dibebankan
kepada pemerintah melalui mekanisme negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional23.
Namun, pada realitanya amanat pendidikan dalam UUD 1945 baru
terwujud pada tahun 2011. Sepanjang rentang waktu 1945-2011,
pemerintah pusat belum mengalokasikan pembiayaan pendidikan sebesar
20% dari dana APBN, serta belum menetapkan satuan angka beban
pendidikan dasar yang dibutuhkan per anak per jenjang pendidikan
(Ngadirin, 2011). Oleh sebab itulah pada rentang waktu tersebut akses
terdahap pendidikan menjadi mahal, khususnya bagi masyarakat fakir dan
miskin.
Meski demikian, pada tahun 2009 pembiayaan pendidikan dasar
Indonesia mulai menemukan pola yang baku, yakni dengan hadirnya
pengaturan komponen biaya pendidikan. Melalui Peraturan Menteri
Pendidikan Nomor 69 tahun 2009 tentang Standar Biaya, dinyatakan
bahwa pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya
operasional, dan biaya personal. Biaya investasi adalah biaya penyediaan
sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal
kerja tetap. Biaya operasional diantaranya adalah gaji pendidik dan tenaga
kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan atau
peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak
langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan
prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain
sebagainya. Sementara biaya personal adalah biaya pendidikan yang harus
dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran
secara teratur dan berkelanjutan.

22 UUD 1945, Pasal 28 C


23 UUD 1945, Pasal 31

30
Tahun 2011 Pemerintah Indonesia merevitalisasi program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) yang telah berjalan sejak tahun 2005, dimana
besaran bantuan biaya pendidikan diperbesar dengan persentase 20% dari
APBN, ini berarti amanat UUD 1945 telah dipenuhi. Seperti penamaannya,
program BOS hanya mengalokasikan pembiayaan untuk komponen biaya
operasional saja dari 3 (tiga) komponen yang diatur dalam Peraturan
Menteri. Adapun komponen biaya operasional adalah biaya
pengembangan perpustakaan, penerimaan peserta didik baru, kegiatan
pembelajaran dan ekstrakurikuler, kegiatan evaluasi pembelajaran,
pengelolaan sekolah, pengembangan profesi guru dan tenaga
kependidikan, pengembangan manajemen sekolah, langganan daya dan
jasa, pemeliharaan dan perawatan sarana dan prasarana sekolah,
pembayaran honor, pembelian alat multi media pembelajaran (hanya
untuk SMK), dan penyelenggaraan kegiatan uji kompetensi dan sertifikasi
kejuruan (hanya untuk SMK). Berikut adalah matriks pembiayaan BOS per
tahun 2017 pada jenjang pendidikan dasar-menengah:
Tabel 1 Nilai Pembiayaan Biaya Operasional Sekolah

Besaran Biaya (per siswa per tahun, dalam Rupiah)

SMA/SMALB
SD/SDLB MI SMP/SMPLB MTs MA
/SMK

800.000 800.000 1.000.000 1.000.000 1.400.000 1.200.000

Selain biaya operasional, masih ada komponen biaya investasi dan


biaya personal peserta didik yang tidak bisa diabaikan. Biaya investasi
idealnya dibebankan kepada Pemerintah Daerah sebagaimana ditafsirkan
dari PP Nomor 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan Pasal 7 Ayat 2
yang menyebutkan pendanaan biaya investasi lahan satuan pendidikan
dasar pelaksana program wajib belajar, baik formal maupun nonformal,
yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah sesuai kewenangannya dan dialokasikan dalam
anggaran daerah (APBD).

31
Sementara untuk menjawab kebutuhan biaya personal, pemerintah
meluncurkan Program Indonesia Pintar (PIP) yang digadangkan oleh
Presiden Joko Widodo. Mekanisme PIP diatur dalam Peraturan Bersama
antara Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah dan Dirjen PAUD dan
Pendidikan Masyarakat: Petunjuk Pelaksanaan Program Indonesia Pintar
(Mendikbud, 2017). Sasaran dari program ini adalah peserta didik yang
berasal dari keluarga miskin, dimana mereka akan memperoleh bantuan
biaya personal yang dapat ditukarkan setelah mereka memiliki Kartu
Indonesia Pintar (KIP). Komponen biaya personal meliputi biaya buku dan
alat tulis, pakaian seragam sekolah, perlengkapan sekolah (sepatu, tas, dll),
transportasi ke sekolah, uang saku, biaya kursus/les tambahan, dan biaya
praktik tambahan. Berikut adalah matrikulasi bantuan biaya personal yang
diberikan melalui Program Indonesia Pintar per tahun 2017:
Tabel 2 Nilai Pembiayaan Biaya Personal Program Indonesia Pintar
Besaran Biaya (per siswa per tahun, dalam Rupiah)

SMA/SMALB/
SD/SDLB MI SMP/SMPLB MTs MA
SMK

450.000 450.000 750.000 750.000 1.000.000 1.000.000

2.3.6 Dimensi Kesehatan


Kesehatan dilihat dalam konteks negara, menurut Undang-Undang
(UU) Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, “Kesehatan merupakan
hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945”. Selain itu juga sektor kesehatan merupakan sasaran pokok
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-
2019. Di tingkat internasional, sektor kesehatan menjadi salah satu tujuan
dalam pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals
(SDGs) (Badan Pusat Statistik, 2017).

32
Di Indonesia, pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan
fasilitas pelayanan kesehatan yang layak bagi setiap warganya, salah satu
caranya melalui pemberian jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan
diberikan kepada seluruh warga negara, baik itu normal maupun
penyandang disabilitas. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 36 tahun 2009
pasal 139 dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2013
tentang Jaminan Kesehatan. Jaminan kesehatan juga merupakan salah satu
dari lima bentuk jaminan sosial yang diberikan oleh pemerintah sesuai
dengan amanat UU dan dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Adapun pengertian jaminan kesehatan
nasional sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 19 tahun 2016 adalah
jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan
dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar
iuran atau yang iurannya dibayar oleh pemerintah.
Peserta BPJS Kesehatan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: (1)
Penerima Bantuan Iuran (PBI); dan (2) Peserta Bukan Penerima Bantuan
Iuran (Non-PBI). Peserta yang tergolong PBI yaitu fakir miskin dan
penduduk kurang mampu yang mana biaya iurannya ditanggung oleh
pemerintah. Adapun besaran biaya jaminan kesehatan (per orang, per
bulan) yang ditanggung oleh pemerintah yaitu sebesar Rp19.225,00
(Sembilan belas ribu dua ratus dua puluh lima rupiah) sesuai dengan
Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.
Dengan memilki jaminan kesehatan ini maka setiap penduduk berhak untuk
memperoleh fasilitas dan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Selain memberikan jaminan kesehatan bagi fakir miskin dan
penduduk kurang mampu, pemerintah juga melaksanakan kegiatan
rehabilitasi sosial untuk penyandang disabilitas. Tujuan dilaksanakannya
rehabilitasi sosial ini adalah untuk memulihkan dan mengembangkan

33
kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar, sesuai dengan UU Nomor 11
Tahun 2009 Pasal 7 ayat (1). Salah satu contoh kegiatan rehabilitasi sosial
yang dilaksanakan oleh pemerintah yaitu dalam bentuk pelatihan
keterampilan bagi penyandang disabilitas. Namun demikian, khusus untuk
penyandang disabilitas berat yaitu penyandang disabilitas yang memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1. Penyandang disabilitas yang kedisabilitasannya sudah tidak dapat
direhabilitasi, tidak dapat melakukan aktivitas kehidupannya
sehari-hari dan/atau sepanjang hidupnya tergantung pada bantuan
orang lain, tidak mampu menghidupi diri sendiri dan tidak
mampu melakukan aktivitas sosial;
2. Tidak dapat melakukan sendiri aktivitas sehari-hari seperti makan,
minum, dan lain-lain;
3. Tidak mampu menghidupi diri sendiri dan tidak memiliki sumber
penghasilan baik dari diri sendiri maupun dari orang lain untuk
memenuhi kebutuhan dasar;
4. Berusia antara 2 tahun sampai 59 tahun pada saat pendataan
awal dan penggantian calon penerima ASPDB;
5. Tidak dapat berpartisipasi secara layak baik dalam aktivitas
keluarga di rumah maupun di masyarakat;
6. Tidak diberikan kepada kelayan yang sedang mendapat
pelayanan dalam panti;
7. Terdaftar sebagai penduduk setempat;
8. Diutamakan PD berat dari keluarga tidak mampu akan diberikan
bantuan tambahan oleh pemerintah sebesar Rp300.000,00 (tiga
ratus ribu rupiah) untuk setiap orang per bulan. Bantuan ini
dinamakan Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas Berat (ASPDB).

34
2.3.7 Dimensi Transportasi
Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan penduduk yang
tersebar di 34 provinsi. Untuk menghubungkan dari provinsi ke provinsi
atau dari desa ke kota, maka dibutuhkan transportasi untuk menunjang
kebutuhan manusia dalam beraktivitas. Tanpa adanya jasa transportasi,
penduduk Indonesia akan sulit beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan
dasar.
Dalam konstitusi, transportasi telah diatur dalam UU Nomor 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Berdasarkan Undang-
Undang tersebut pada Bab 1 Pasal 1, transportasi yang disebut sebagai
angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke
tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas jalan.
Menurut ahli, transportasi dapat didefinisikan sebagai kegiatan
memindahkan atau mengangkut sesuatu dari suatu tempat ketempat lain
(Morlok, 1978). Sementara menurut Salim (2000), transportasi adalah
kegiatan pemindahan barang (muatan) dan penumpang dari suatu tempat
ke tempat lain. Dalam transportasi ada dua unsur yang terpenting, yaitu
pemindahan/pergerakan (Movement) dan secara fisik mengubah tempat
dari barang (Commodity) dan penumpang ke tempat lain. Ahli lain juga
menyebutkan transportasi sebagai pengangkutan dan mendefinisikannya
sebagai kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke
tempat lain baik melalui angkutan darat, angkutan perairan, maupun
angkutan udara dengan menggunakan alat angkutan. Jadi, pengangkutan
itu berupa suatu wujud kegiatan dengan maksud memindahkan barang-
barang atau penumpang (orang) dari tempat asal ke suatu tempat tujuan
tertentu (Purba, 2005).
Pada dasarnya permintaan transportasi diakibatkan oleh hal-hal
berikut (Nasution, 2004):
 Kebutuhan manusia untuk berpergian dari lokasi lain dengan
tujuan mengambil bagian di dalam suatu kegiatan, misalnya
bekerja, berbelanja, ke sekolah, dan lain- lain.

35
 Kebutuhan angkutan barang untuk dapat digunakan atau
dikonsumsi di lokasi lain.

36
BAB III
Kebutuhan Hidup Layak, Garis Kemiskinan
dan Had Kifayah

3.1 Kebutuhan Hidup Layak


Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan
Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, yang dimaksud dengan Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang
untuk dapat hidup secara fisik untuk kebutuhan satu bulan.
Adapun komponen KHL adalah sebagai berikut:
a. Makanan dan Minuman (3000 kilokalori per hari)
b. Sandang
c. Perumahan
d. Pendidikan
e. Kesehatan
f. Transportasi
g. Rekreasi dan Tabungan
Nilai dari masing-masing KHL diperoleh melalui survei harga yang
dilakukan secara berkala baik itu di tingkat Kabupaten/Kota ataupun di
tingkat provinsi dan disampaikan kepada Gubernur.
Nilai KHL akan digunakan sebagai dasar penentuan upah minimum
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan. Dalam menetapkan upah minimum juga dengan
mempertimbangkan produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar
kerja dan usaha yang paling tidak mampu (marjinal) sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian
Kebutuhan Hidup Layak.

37
Dalam konsep Had Kifayah, KHL dapat dikategorikan sebagai
kelayakan hidup di atas kebutuhan dasar yang Urgent dan fundamental.
Dengan demikian, secara konsep KHL lebih dekat pada istilah Nishab
dimana orang-orang yang sudah melebihi batas Nishab sudah dapat
dikatakan memiliki hidup yang layak sehingga sudah dikenakan kewajiban
berzakat.

3.2 Garis Kemiskinan


Garis kemiskinan merupakan ukuran tingkat kemiskinan yang
digunakan oleh BPS dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar
(Basic Needs Approach). Metode ini menghitung rata-rata pengeluaran
yang dilakukan oleh setiap orang. Berdasarkan pendekatan ini, kemiskinan
dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan
dasar makanan dan kebutuhan dasar bukan makanan secara ekonomi.
Dengan demikian penduduk miskin menurut BPS adalah penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran per kapita dibawah garis kemiskinan.
Garis kemiskinan merupakan penjumlahan dari garis kemiskinan
makanan dan non makanan. Garis kemiskinan makanan terdiri dari 52
komoditi dasar makanan yang riil dikonsumsi oleh penduduk yang
disetarakan dengan 2100 Kkal per kapita per hari. Penyetaraan ini sesuai
dengan kebutuhan minimum makanan yang dibutuhkan oleh setiap
penduduk. Adapun perhitungan garis kemiskinan makanan adalah dengan
menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut.
Selanjutnya garis kemiskinan non makanan merupakan total dari
kebutuhan komoditi non makanan yang terpilih seperti perumahan,
sandang, pendidikan dan kesehatan. Kebutuhan yang termasuk dalam
kategori non makanan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu
sesuai dengan pola konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993
terdiri dari 14 komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di perdesaan.
Namun mulai sejak tahun 1998, garis kemiskinan non makanan terdiri dari

38
27 sub kelompok (51 jenis komoditi) di perkotaan dan 25 sub kelompok
(47 jenis komoditi) di perdesaan.
Dalam menghitung garis kemiskinan makanan maupun garis
kemiskinan non makanan, BPS mengacu pada data Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) modul konsumsi dan pengeluaran. Setelah memperoleh
hasil garis kemiskinan makanan dan non makanan, maka jumlah keduanya
merupakan jumlah garis kemiskinan secara keseluruhan.
Berdasarkan definisi Had Kifayah yang telah dipaparkan sebelumnya,
secara konsep Had Kifayah dapat dianalogikan dengan garis kemiskinan
karena merupakan standar dasar kebutuhan seseorang atau dengan kata
lain kebutuhan pokok minimum, namun demikian komponen
pengukurannya berbeda dengan garis kemiskinan karena Had Kifayah
dilandasi pada ketentuan Islam yang diejawantahkan dari Maqasid Syari’ah.

3.3 Perbedaan Had Kifayah dengan Standar Lainnya


Dari penjelasan di atas maka tingkatan KHL, GK dan Had Kifayah
dapat digambarkan sebagai berikut:

Nishab Zakat

Gambar 2 Tingkatan KHL, GK dan Had Kifayah

Berdasarkan gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa besaran Had


Kifayah bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan standar garis kemiskinan
dan lebih rendah dibandingkan dengan standar kebutuhan hidup layak,

39
yang dijadikan sebagai dasar penetapan upah minimum. Perhitungan Had
Kifayah mengacu kepada kedua standar tersebut namun dengan beberapa
penyesuaian kebutuhan-kebutuhan dasar berdasarkan prinsip Islam.
Sedangkan, dalam menentukan Nishab zakat, kajian ini mengacu pada
Keputusan Ketua BAZNAS Nomor 73 tahun 2017 tentang Nilai Nishab
Zakat Pendapatan Tahun 2017 di seluruh Indonesia. Keputusan Ketua
BAZNAS tersebut menetapkan nilai zakat pendapatan tahunan pada tahun
2017 di seluruh Indonesia dengan Nishab setara 85 gram emas rata–rata
setara Rp49.895.000,00 per tahun atau Rp4.160.000,00 per bulan. Nilai
harga emas tersebut berdasarkan harga emas yang diterbitkan oleh PT.
Antam secara nasional.
Secara rinci, perbandingan Had Kifayah dengan kedua standar
tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 3 Perbandingan KHL, GK dan Had Kifayah

Kebutuhan Hidup Garis


No Keterangan Had Kifayah
Layak Kemiskinan
Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Hasil survey
Nomor 13 Tahun pengeluaran per
2012 tentang kapita
1 Landasan Komponen dan Maqasid Syari’ah konsumen yang
Pelaksanaan dilakukan
Tahapan Badan Pusat
Pencapaian Statistik
Kebutuhan Hidup
Layak
a. Makanan dan a. Makanan
Minuman b. Pakaian
b. Sandang c. Tempat
a. Makanan
c. Perumahan Tinggal dan
2 Dimensi b. Non
d. Pendidikan Fasilitas
Makanan
e. Kesehatan Rumah
f. Transportasi Tangga
g. Rekreasi dan d. Ibadah

40
Kebutuhan Hidup Garis
No Keterangan Had Kifayah
Layak Kemiskinan
Tabungan e. Pendidikan
f. Kesehatan
g. Transportasi
Sumber: Data diolah (2018)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa perbedaan mendasar antara


KHL dan Had Kifayah dalam dimensi pengukurannya adalah dimensi
rekreasi dan tabungan pada KHL serta dimensi ibadah pada Had Kifayah.
Dalam Had Kifayah, rekreasi dan tabungan tidak diukur karena hal tersebut
tidak dikategorikan sebagai kebutuhan dasar yang fundamental dibutuhkan
oleh manusia untuk bertahan hidup. Sementara itu, dalam Had Kifayah
terdapat dimensi ibadah sesuai dengan prinsip Islam yang diturunkan dari
Maqasid Syari’ah. Selain itu, hal ini juga dikarenakan tujuan diciptakannya
manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, sehingga kebutuhan
dasar ibadah dinilai perlu untuk diperhitungkan dalam Had Kifayah, seperti
yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya.
Selanjutnya, Tabel 4 menggambarkan perbedaan pengukuran
dimensi Had Kifayah dibandingkan dengan standar Kebutuhan Hidup Layak
dan Garis Kemiskinan.
Tabel 4 Perbedaan Pengukuran Dimensi KHL, GK dan Had Kifayah

Kebutuhan
No Dimensi Had Kifayah Garis Kemiskinan
Hidup Layak

Kebutuhan Kebutuhan
Kebutuhan
makanan makanan
makanan 2100
1 Makanan minimal 3000 minimal 3000
Kkal per hari per
Kkal per hari Kkal per hari
orang.
per orang per orang

Perlengkapan Perlengakapan Perlengkapan


ibadah telah ibadah dan ibadah telah
2 Ibadah
diperhitungkan pendidikan diperhitungkan
dalam dimensi agama dalam dimensi

41
Kebutuhan
No Dimensi Had Kifayah Garis Kemiskinan
Hidup Layak
pakaian pakaian
Biaya minimum
yang
dikeluarkan
untuk sekolah
sesuai dengan Pengeluran rata-
Buku dan alat
3 Pendidikan peraturan wajib rata per kapita
tulis
belajar 9 tahun untuk sekolah.
dan
pencanangan
wajib belajar 12
tahun

Sarana
Biaya minimum
kesehatan
yang
seperti pasta
dibutuhkan Pengeluran rata-
gigi, sabun
4 Kesehatan untuk rata per kapita
mandi, sikat
memperoleh untuk kesehatan
gigi, shampo,
fasilitas
dan
kesehatan dasar
sebagainya

Biaya
kebutuhan dasar
untuk Transportasi darat,
Transportasi
transportasi laut/air dan udara
5 Transportasi kerja dan
darat, laut/air serta biaya untuk
lainnya
serta biaya bahan bakar
untuk bahan
bakar
Sumber: Data diolah (2018)

42
BAB IV
Data dan Metodologi

4.1 Metodologi
Metodologi penelitian dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu
metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif yaitu penelitian yang
menganalisis hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya yang
diukur dengan menggunakan analisis statistik. Sementara itu penelitian
kualitatif yaitu teknik penelitian yang digunakan untuk mengetahui pola
perilaku manusia secara mendalam dan untuk membangun kerangka
konseptual (Saunders, Lewis, & Thornhill, 2012).
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, penelitian Had Kifayah ini
dapat dikategorikan sebagai penelitian kualitatif dengan menggunakan
Analisis Data Sekunder (ADS). Data sekunder diperoleh dari hasil peraturan
perundang-undangan, survei Badan Pusat Statistik (BPS), maupun dari data
internal Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Secara umum, Had Kifayah
dalam penelitian ini dihitung per keluarga dimana setiap keluarga terdiri
dari 4 orang anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, 1 (satu) orang
anak usia Sekolah Dasar (SD), dan 1 (satu) orang anak usia Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Jumlah ini digunakan sesuai dengan hasil survei
BPS dimana jumlah rata-rata anggota keluarga di Indonesia adalah 3,9
orang (dibulatkan menjadi 4 orang). Sedangkan, tingkat pendidikan setiap
anak mengacu kepada wajib belajar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Apabila jumlah anggota keluarga lebih dari standar ini maka biaya untuk
masing-masing anggota keluarga dapat ditambahkan sesuai dengan keadaan
keluarga sebenarnya.
Setelah keseluruhan data dimensi dalam Had Kifayah diukur dalam
Rupiah, maka data tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam
mengambil keputusan untuk menyalurkan zakat kepada mustahik.

43
4.2 Metodologi Setiap Dimensi
4.2.1 Dimensi Makanan
Jenis data yang digunakan pada dimensi ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan Ahli Gizi
IPB dalam menentukan jumlah AKG yang harus dipenuhi oleh seseorang
dalam sehari. Data sekunder berupa angka kecukupan gizi tiap rentang usia
dan harga bahan–bahan pokok, diperoleh dari Undang– Undang, Peraturan
Menteri, BPS dan buku teks.
Metode analisis data yang digunakan dalam dimensi makanan
menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan analisis kuantitatif dan
pendekatan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan saat
menghitung angka kecukupan gizi yang harus dipenuhi oleh setiap orang
per hari berdasarkan Adult Equivalent Unit yang artinya pengukuran kalori
disetarakan dengan orang dewasa berdasarkan kelompok umur tertentu.
Analisis kualitatif digunakan untuk mencari informasi melalui berbagai
literatur terkait.
Berdasarkan hasil wawancara dengan ahli gizi IPB, dalam
menentukan kelayakan makanan yang dikonsumsi seseorang dapat dilihat
berdasarkan nilai Angka Kecukupan Gizi (AKG). AKG tersebut diwakili oleh
nilai energi yang didalamnya mencakup energi, protein, dan lemak.
Namun, rata-rata kecukupan energi bagi penduduk Indonesia dengan nilai
3000 Kkal dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan merupakan nilai
agregat, sehingga tidak dapat digunakan sebagai ukuran kecukupan gizi
setiap orang dengan umur berbeda per hari. Oleh sebab itu, dalam
menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan oleh kelompok umur tertentu,
digunakan Adult Equivalent Unit. Hasil perhitungan Adult Equivalent Unit
dikalikan dengan harga eceran setiap bahan pangan yang termasuk dalam
food basket berdasarkan standar upah layak dalam Permenaker tahun 2013.
Adapun bahan makanan yang termasuk dalam food basket yang
memenuhi 3000 Kkal yang digunakan dalam kajian ini adalah beras,

44
daging, ikan, telur, kacang-kacangan (tahu atau tempe), susu, gula, minyak
goreng, dan sayur.
Tabel 5 menyajikan hasil perhitungan Adult Equivalent Unit yang
berasal dari kebutuhan kalori setiap orang berdasarkan umur dan kondisi
lain yang membutuhkan tambahan kalori dibagi dengan jumlah kalori rata–
rata yang dibutuhkan seorang dewasa yaitu sebanyak 3000 Kkal.

Tabel 5 Angka Kecukupan Energi yang Dianjurkan untuk Orang Indonesia

Kelompok Umur Energi (Kkal) Adult Equivalent Unit


Bayi/Anak
0 - 6 bln 550 0,18
7 - 11 bln 725 0,24
1 - 3 thn 1125 0,38
4 - 6 thn 1600 0,53
7 - 9 thn 1850 0,62
Pria (thn)
10 – 12 2100 0,70
13 – 15 2475 0,83
16 – 18 2675 0,89
19 – 29 2725 0,91
30 – 49 2625 0,88
50 – 64 2325 0,78
65 – 80 1900 0,63
80 + 1525 0,51
Wanita ( thn)
10 – 12 2000 0,67
13 – 15 2125 0,71
16 – 18 2125 0,71
19 – 29 2250 0,75
30 – 49 2150 0,72
50 – 64 1900 0,63
65 – 80 1550 0,52
80 + 1425 0,48
Tambahan Ibu Hamil
Trimester 1 180 0,06

45
Kelompok Umur Energi (Kkal) Adult Equivalent Unit
Trimester 2 300 0,10
Trimester 3 300 0,10
Tambahan Menyusui
6 bln ke-1 330 0,11
6 bln ke-2 400 0,13
Sumber : Data diolah (2018)

4.2.2 Dimensi Pakaian


Jenis data yang digunakan pada dimensi ini adalah data sekunder.
Data sekunder berupa harga jenis-jenis pakaian dan kajian literatur
diperoleh dari BPS dan jurnal.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan analisis kualitatif. Analisis kualitatif digunakan
saat mencari informasi melalui berbagai literatur terkait, dan saat mencari
informasi harga pasar pakaian. Harga yang digunakan dalam perhitungan
ini berasal dari survei BPS yaitu Harga Konsumen Beberapa Barang dan Jasa
Kelompok Sandang.

4.2.3 Dimensi Tempat Tinggal dan Fasilitas Rumah Tangga


Berdasarkan visi penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang
termuat dalam KSNPP 2002 bahwa setiap orang (KK) Indonesia mampu
memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau dan dengan
adanya kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan
rendah (MBR) serta adanya pembiayaan pemilikan rumah yang sesuai
dengan prinsip syariah, maka dalam menentukan standar untuk tempat
tinggal, digunakan batasan harga jual dan margin pembiayaan syariah yang
telah ditetapkan oleh pemerintah. Data tersebut diambil dari Keputusan
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
552/KPTS/M/2016 tentang Batasan Penghasilan Kelompok Sasaran KPR
Bersubsidi, Batasan Harga Jual Rumah Sejahtera Tapak dan Satuan Rumah
Sejahtera Susun, serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan dan

46
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 21/PRT/M/2016 tentang Kemudahan dan/atau Bantuan
Perolehan Rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah.
Batasan harga yang dipakai untuk standar Had Kifayah adalah
batasan harga jual rumah sejahtera tapak, dengan marjin paling tinggi dan
jangka waktu pembiayaan paling lama yang telah ditetapkan pemerintah.
Batasan harga ini dibagi menjadi beberapa wilayah yaitu:
1. Jawa (Kecuali Jabodetabek)
2. Sumatera (Kecuali Kep. Riau dan Bangka Belitung)
3. Kalimantan
4. Sulawesi
5. Maluku dan Maluku Utara
6. Bali dan Nusa Tenggara
7. Papua dan Papua Barat
8. Kepulauan Riau dan Bangka Belitung
9. Jabodetabek
Selanjutnya untuk perhitungan biaya fasilitas rumah tangga yang
terdiri dari biaya listrik dan air akan mengacu kepada Susenas BPS.
Sedangkan untuk biaya elpiji dalam kajian Had Kifayah ini berdasarkan
harga elpiji dari Kementerian Perdagangan. Total Had Kifayah untuk
tempat tinggal dan fasilitas rumah tangga adalah hasil penjumlahan dari
batasan harga jual rumah sejahtera setapak dan biaya yang dikeluarkan
untuk fasilitas rumah tangga.

4.2.4 Dimensi Ibadah


Justifikasi pembiayaan dimensi ibadah merujuk pada
pengelompokan kategori ibadah menjadi ibadah Jasadiyah dan ibadah
selain Jasadiyah (Ibadah I’tiqadiyah, Ibadah Qolbiyah, Ibadah Lafzhiyah,
dan Ibadah Maliyah) sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab II.
Ibadah Jasadiyah dipilih berdasarkan tingkatan mana yang harus
disegerakan dan dilaksanakan setiap hari, yakni sholat 5 waktu. Sebagai

47
contoh, pelaksanaan sholat membutuhkan peralatan dan perlengkapan
ibadah seperti mukena yang dikenakan sebagai pakaian sholat bagi
muslimah Indonesia. Kategori ibadah selain Jasadiyah24 tentunya tidak
kalah penting. Untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut, dalam kajian ini
dimasukkan variabel pendidikan keagamaan dengan presumsi untuk
mengajarkan ilmu-ilmu kategori ibadah selain Jasadiyah.
Dengan mempertimbangkan pentingnya baik itu ibadah Jasadiyah
maupun ibadah selain Jasadiyah maka kebutuhan untuk mendukung
terlaksananya kedua jenis ibadah dimaksud sangat dibutuhkan. Kajian Had
Kifayah ini akan memperhitungkan pakaian yang digunakan untuk ibadah
Jasadiyah (sarung dan mukena) serta biaya untuk pendidikan agama untuk
ibadah selain Jasadiyah. Kuantifikasi biaya pakaian ibadah menggunakan
data sekunder harga eceran pakaian dari BPS yaitu Harga Konsumen
Beberapa Barang dan Jasa Kelompok Sandang 82 Kota Di Indonesia 2016.
Harga konsumen ini diperoleh dari hasil pencacahan Survei Harga
Konsumen (SHK) terhadap 44 kategori pakaian di 82 titik yang terdiri dari
33 ibukota provinsi dan 49 kota.
Sementara untuk biaya pendidikan keagamaan, kuantifikasi biaya
mengacu pada besaran penyaluran zakat konsumtif kepada guru
mengaji/ustadz/ustadzah yang dilakukan oleh Divisi Dakwah BAZNAS
tahun 2017. Dengan demikian, total biaya yang dikeluarkan untuk dimensi
ibadah yaitu hasil penjumlahan dari biaya pakaian untuk ibadah dan biaya
untuk pendidikan agama sebagaimana digambarkan pada tabel 6.

Tabel 6 Biaya Pendidikan Agama


No Keterangan Satuan Jumlah
1 Kafalah Guru / Ustadz / Ustadzah Per Bulan Rp750.000,00
2 Jumlah Peserta Didik per Kelas Orang 50
Total Pembiayaan Pendidikan Agama
Rp15.000,00
(per Peserta Didik per Bulan)
Sumber: Data diolah (2018)

24 Ibadah i’tiqodiyah, ibadah qolbiyah, ibadah lafzhiyah, dan ibadah maliyah

48
4.2.5 Dimensi Pendidikan
Berdasarkan analisis dokumen yang dilakukan pada bagian
sebelumnya, diperoleh 3 komponen penyusun pembiayaan pendidikan
dasar di Indonesia, yakni Biaya Investasi, Biaya Operasional, dan Biaya
Personal sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Biaya ini hanya berlaku dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah
Menengah Atas/sederajat.

4.2.6 Dimensi Kesehatan


Data kebutuhan dasar kesehatan diperoleh dari peraturan
pemerintah yang berlaku sebagaimana telah dibahas pada Bab 2, setiap
warga negara diwajibkan untuk memiliki kartu jaminan kesehatan termasuk
fakir miskin. Biaya jaminan kesehatan fakir miskin akan ditanggung oleh
pemerintah. Adapun besaran biaya yang ditanggung oleh pemerintah yaitu
sebesar Rp19.225,00 per bulan sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor
111 tahun 2013 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 tahun
2013 Pasal 16 A. Dalam hal terdapat anggota keluarga yang tergolong
disabilitas berat maka akan diberikan bantuan tambahan sebesar
Rp300.000,00 per bulan.

4.2.7 Dimensi Transportasi


Dalam kajian Had Kifayah ini biaya transportasi dihitung
berdasarkan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu Ringkasan
Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2017 yang dihasilkan dari
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mencakup 300.000 rumah tangga
yang tersebar di 34 provinsi dan 511 kabupaten/kota di Indonesia. Dari
berbagai macam komoditi pengeluaran per kapita bukan makanan, hanya
tiga komoditi yang digunakan untuk menentukan Had Kifayah dimensi
transportasi yaitu komoditi bensin, transportasi darat, dan transportasi laut.

49
4.3 Formula Perhitungan Had Kifayah
Berdasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya, maka formula
perhitungan Had Kifayah dapat digambarkan dengan persamaan berikut:

dimana:
HK : Total Had Kifayah
X1 : Besaran Had Kifayah makanan
X2 : Besaran Had Kifayah pakaian
X3 : Besaran Had Kifayah tempat tinggal dan fasilitas rumah
tangga
X4 : Besaran Had Kifayah ibadah
X5 : Besaran Had Kifayah pendidikan
X6 : Besaran Had Kifayah kesehatan
X7 : Besaran Had Kifayah transportasi

50
BAB V
Hasil dan Perhitungan Had Kifayah

5.1 Dimensi Makanan


Tabel 7 menunjukkan rata-rata hasil perhitungan Had Kifayah
dimensi makanan yang berasal dari jumlah kalori yang dibutuhkan oleh
setiap orang dalam suatu keluarga per provinsi dikalikan dengan harga
eceran setiap provinsi.

Tabel 7 Besaran Had Kifayah Dimensi Makanan

Besaran Had Kifayah Makanan


Jumlah
NO Provinsi (Rp/bulan)
(Rp/bulan)
AK 1 AK2 AK3 AK4
1 Aceh 487.375 399.183 389.900 459.525 1.735.983
Sumatera
2 492.137 403.084 393.710 464.015 1.752.946
Utara
Sumatera
3 523.819 429.033 419.055 493.887 1.865.794
Barat
4 Riau 544.062 445.613 435.250 512.973 1.937.898
5 Jambi 470.521 385.379 376.417 443.635 1.675.953
Sumatera
6 480.125 393.246 384.100 452.690 1.710.161
Selatan
7 Bengkulu 512.961 420.139 410.369 483.649 1.827.117
8 Lampung 497.225 407.251 397.780 468.812 1.771.068
Kep. Bangka
9 502.093 411.238 401.674 473.402 1.788.408
Belitung
10 Kep. Riau 530.877 434.813 424.701 500.541 1.890.932
11 DKI Jakarta 516.073 422.688 412.858 486.583 1.838.201
12 Jawa Barat 529.327 433.544 423.461 499.079 1.885.411
13 Jawa Tengah 464.477 380.429 371.582 437.936 1.654.425
DI
14 469.873 384.848 375.898 443.023 1.673.642
Yogyakarta
15 Jawa Timur 487.984 399.682 390.387 460.099 1.738.154
16 Banten 490.425 401.682 392.340 462.401 1.746.848
17 Bali 470.564 385.414 376.451 443.675 1.676.104

51
Besaran Had Kifayah Makanan
Jumlah
NO Provinsi (Rp/bulan)
(Rp/bulan)
AK 1 AK2 AK3 AK4
Nusa
18 Tenggara 501.131 410.450 400.905 472.495 1.784.980
Barat
Nusa
19 Tenggara 596.391 488.473 477.113 562.311 2.124.287
Timur
Kalimantan
20 514.412 421.328 411.529 485.017 1.832.286
Barat
Kalimantan
21 497.249 407.271 397.800 468.835 1.771.155
Tengah
Kalimantan
22 522.391 427.863 417.912 492.540 1.860.706
Selatan
Kalimantan
23 519.420 425.430 415.536 489.739 1.850.124
Timur
Kalimantan
24 519.945 425.860 415.956 490.234 1.851.994
Utara
Sulawesi
25 508.070 416.133 406.456 479.037 1.809.696
Utara
Sulawesi
26 502.814 411.829 402.251 474.082 1.790.976
Tengah
Sulawesi
27 475.754 389.665 380.604 448.568 1.694.592
Selatan
Sulawesi
28 490.500 401.743 392.400 462.471 1.747.113
Tenggara
29 Gorontalo 551.002 451.297 440.801 519.516 1.962.616
Sulawesi
30 477.219 390.865 381.775 449.950 1.699.809
Barat
31 Maluku 515.281 422.040 412.225 485.837 1.835.383
Maluku
32 456.896 374.220 365.517 430.788 1.627.422
Utara
33 Papua Barat 518.979 425.068 415.183 489.323 1.848.554
34 Papua 535.796 438.842 428.637 505.179 1.908.454
Sumber : Data diolah (2018)

52
Tabel 8 menunjukkan rata-rata biaya yang harus dikeluarkan setiap
orang untuk memenuhi kebutuhan makanan sesuai dengan Angka
Kecukupan Gizi untuk mencapai kategori hidup layak.

Tabel 8 Rata-rata Besaran Had Kifayah Dimensi Makanan

AK 1 AK 2 (Rp/bulan) AK 3 AK 4
(Rp/ Normal Tambahan Tambahan (Rp/ (Rp/
bulan) hamil menyusui bulan) bulan)

Rata-rata 505.093 413.695 150.085 140.464 404.075 476.231

Rata-rata biaya yang harus dikeluarkan setiap


Rp 1.799.094
keluarga per bulan
Nilai Had Kifayah terendah per keluarga per bulan
Rp 1.627.422
(Provinsi Maluku Utara)
Nilai Had Kifayah tertinggi per keluarga per bulan
Rp 2.124.287
(Provinsi Nusa Tenggara Timur)
Rata-rata biaya makan yang harus dikeluarkan
Rp 461.306.11
seseorang per bulan per kapita
Sumber : Data diolah (2018)

5.2 Dimensi Pakaian


Berdasarkan hasil kajian literatur dan olah data sekunder, maka
angka rupiah Had Kifayah dimensi pakaian atau sandang dikelompokkan
dalam 3 pembiayaan, yakni biaya pakaian laki-laki, biaya pakaian wanita,
dan biaya pakaian anak-anak. Pakaian atau sandang yang termasuk pada
variabel perhitungan adalah celana, baju, pakaian dalam dan alas kaki.
Hasil perhitungan Had Kifayah dimensi pakaian menunjukan rata-
rata biaya yang harus dikeluarkan oleh laki-laki dewasa sebesar
Rp42.466,00 per bulan, sedangkan biaya yang harus dikeluarkan oleh
wanita untuk sandang adalah Rp40.052,00 per bulan dan Rp21.316,00 per
bulan biaya sandang untuk anak laki-laki atau perempuan.
Hasil perhitungan Had Kifayah untuk dimensi pakaian adalah
sebagai berikut:

53
Tabel 9 Besaran Had Kifayah Pakaian per Provinsi

LAKI-LAKI PEREMPUAN ANAK–ANAK


NO PROVINSI
(Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan)

1 Aceh 35.167 35.045 18.506


2 Sumatera Utara 53.240 59.523 23.617
3 Sumatera Barat 46.961 39.703 25.580
4 Riau 40.232 32.300 21.061
5 Jambi 46.031 28.652 15.750
6 Sumatera Selatan 40.122 28.289 19.389
7 Bengkulu 46.726 40.479 28.489
8 Lampung 40.008 27.694 24.546
9 Kep. Bangka Belitung 45.062 57.937 14.374
10 Kep. Riau 34.289 31.314 13.022
11 DKI Jakarta 92.851 78.139 38.428
12 Jawa Barat 55.370 35.104 15.109
13 Jawa Tengah 28.378 28.437 14.021
14 DI Yogyakarta 52.545 47.258 22.100
15 Jawa Timur 46.459 35.001 34.481
16 Banten 42.149 29.681 20.612
17 Bali 57.921 52.580 23.631
18 Nusa Tenggara Barat 26.880 31.104 15.315
19 Nusa Tenggara Timur 56.431 42.563 28.960
20 Kalimantan Barat 64.052 67.598 24.026
21 Kalimantan Tengah 33.008 47.933 23.264
22 Kalimantan Selatan 43.674 50.572 15.421
23 Kalimantan Timur 28.884 25.643 12.431
24 Kalimantan Utara 29.681 32.967 23.924
25 Sulawesi Utara 37.734 33.605 22.596
26 Sulawesi Tengah 27.845 41.756 21.378
27 Sulawesi Selatan 25.616 19.293 12.478
28 Sulawesi Tenggara 37.100 44.457 24.432
29 Gorontalo 26.056 24.944 18.372
30 Sulawesi Barat 51.155 36.759 23.069
31 Maluku 41.009 35.203 18.789
32 Maluku Utara 34.979 41.317 26.566
33 Papua Barat 44.800 61.287 19.499
34 Papua 31.443 37.616 21.508
Rata–Rata 42.466 40.052 21.316
Sumber: Data diolah (2018)

54
5.3 Dimensi Tempat Tinggal dan Fasilitas Rumah Tangga
Hasil perhitungan untuk Had Kifayah masing-masing provinsi per
rumah tangga per bulan adalah sebagai berikut:

Tabel 10 Besaran Biaya Had Kifayah Tempat Tinggal dan Fasilitas Rumah Tangga
Tempat Biaya Fasilitas Rumah Tangga
Total
NO Provinsi Tinggal (Rp/bulan)
(Rp/bulan)
(Rp/bulan) Air Listrik Elpiji
1 Aceh 512.500 4.319 25.632 19.625 562.076
2 Sumatera Utara 512.500 4.319 25.632 19.625 562.076
3 Sumatera Barat 512.500 4.319 25.632 19.625 562.076
4 Riau 512.500 4.319 25.632 19.625 562.076
5 Jambi 512.500 4.319 25.632 19.625 562.076
6 Sumatera Selatan 512.500 4.319 25.632 19.625 562.076
7 Bengkulu 512.500 4.319 25.632 19.625 562.076
8 Lampung 512.500 4.319 25.632 19.625 562.076
Kep. Bangka
9 537.500 4.319 25.632 19.625 587.076
Belitung
10 Kep. Riau 537.500 4.319 25.632 19.625 587.076
11 DKI Jakarta 587.500 4.319 25.632 19.625 637.076
12 Jawa Barat 512.500 4.319 25.632 19.625 562.076
13 Jawa Tengah 512.500 4.319 25.632 19.625 562.076
14 DI Yogyakarta 512.500 4.319 25.632 19.625 562.076
15 Jawa Timur 512.500 4.319 25.632 19.625 562.076
16 Banten 512.500 4.319 25.632 19.625 562.076
17 Bali 587.500 4.319 25.632 19.625 637.076
Nusa Tenggara
18 587.500 4.319 25.632 19.625 637.076
Barat
Nusa Tenggara
19 587.500 4.319 25.632 19.625 637.076
Timur
20 Kalimantan Barat 562.500 4.319 25.632 19.625 612.076
21 Kalimantan Tengah 562.500 4.319 25.632 19.625 612.076
22 Kalimantan Selatan 562.500 4.319 25.632 19.625 612.076
23 Kalimantan Timur 562.500 4.319 25.632 19.625 612.076
24 Kalimantan Utara 562.500 4.319 25.632 19.625 612.076
25 Sulawesi Utara 537.500 4.319 25.632 19.625 587.076
26 Sulawesi Tengah 537.500 4.319 25.632 19.625 587.076
27 Sulawesi Selatan 537.500 4.319 25.632 19.625 587.076
28 Sulawesi Tenggara 537.500 4.319 25.632 19.625 587.076
29 Gorontalo 537.500 4.319 25.632 19.625 587.076
30 Sulawesi Barat 537.500 4.319 25.632 19.625 587.076

55
Tempat Biaya Fasilitas Rumah Tangga
Total
NO Provinsi Tinggal (Rp/bulan)
(Rp/bulan)
(Rp/bulan) Air Listrik Elpiji
31 Maluku 587.500 4.319 25.632 19.625 637.076
32 Maluku Utara 587.500 4.319 25.632 19.625 637.076
33 Papua Barat 806.250 4.319 25.632 19.625 855.826
34 Papua 806.250 4.319 25.632 19.625 855.826
Sumber: Data diolah (2018)

5.4 Dimensi Ibadah


Berdasarkan hasil kajian literatur dan olah data sekunder pada
bagian sebelumnya, maka angka rupiah Had Kifayah dalam dimensi Ibadah
dikelompokkan dalam 3 kategori pembiayaan, yakni pembiayaan ibadah
laki-laki yang digunakan untuk Kepala Keluarga (Ayah), pembiayaan ibadah
perempuan yang digunakan untuk Anggota Keluarga 1 (Ibu), dan rata-rata
pembiayaan ibadah laki-laki dan perempuan untuk Anggota Keluarga 2, 3,
dst (Anak). Total biaya untuk ibadah adalah jumlah dari biaya pakaian
untuk ibadah dan pendidikan agama. Rincian pembiayaan dimensi ibadah
adalah sebagai berikut:

Tabel 11 Besaran Had Kifayah Ibadah per Provinsi


LAKI-LAKI PEREMPUAN
ANAK-ANAK
NO PROVINSI DEWASA (Rp/ DEWASA
(Rp/bulan)
bulan) (Rp/ bulan)
1 Aceh 24.313 39.299 31.806
2 Sumatera Utara 19.750 22.760 21.255
3 Sumatera Barat 19.917 21.792 20.854
4 Riau 19.917 22.625 21.271
5 Jambi 19.979 22.799 21.389
6 Sumatera Selatan 20.799 15.000 17.899
7 Bengkulu 22.309 26.656 24.483
8 Lampung 19.875 24.500 22.188
9 Kep. Bangka Belitung 23.333 34.353 28.843
10 Kep. Riau 21.174 22.958 22.066
11 DKI Jakarta 19.708 25.083 22.396
12 Jawa Barat 23.629 21.042 22.335
13 Jawa Tengah 19.500 21.917 20.708

56
LAKI-LAKI PEREMPUAN
ANAK-ANAK
NO PROVINSI DEWASA (Rp/ DEWASA
(Rp/bulan)
bulan) (Rp/ bulan)
14 DI Yogyakarta 22.569 20.924 21.747
15 Jawa Timur 23.205 26.417 24.811
16 Banten 19.368 35.056 27.212
17 Bali 20.535 15.000 17.767
18 Nusa Tenggara Barat 19.858 21.392 20.625
19 Nusa Tenggara Timur 18.875 15.000 16.938
20 Kalimantan Barat 23.563 26.590 25.076
21 Kalimantan Tengah 22.743 15.000 18.872
22 Kalimantan Selatan 20.260 29.250 24.755
23 Kalimantan Timur 18.292 30.083 24.188
24 Kalimantan Utara 20.660 26.083 23.372
25 Sulawesi Utara 21.042 15.000 18.021
26 Sulawesi Tengah 20.313 15.000 17.656
27 Sulawesi Selatan 19.531 22.000 20.766
28 Sulawesi Tenggara 24.458 24.375 24.417
29 Gorontalo 21.396 20.538 20.967
30 Sulawesi Barat 19.250 23.955 21.602
31 Maluku 18.167 26.399 22.283
32 Maluku Utara 23.625 34.757 29.191
33 Papua Barat 21.250 15.000 18.125
34 Papua 21.250 15.000 18.125
Rata-Rata 21.012 23.341 22.177
Sumber: Data diolah (2018)

5.5 Dimensi Pendidikan


Berdasarkan standar satuan biaya operasional BOS 2017 dan satuan
biaya personal PIP 2017, maka satuan angka minimal yang diperlukan bagi
setiap anak Indonesia untuk mengakses pendidikan dasar per jenjang per
bulan adalah:

57
Tabel 12 Besaran Had Kifayah Pendidikan

Komponen Besaran Biaya (per Anak per Bulan, dalam rupiah)


Pendidikan
No
Dasar dan SMA /
Menengah SD / SMP /
MI MTs SMALB / MA
SDLB SMPLB
SMK
Biaya
1 66.667 66.667 83.333 83.333 116.667 100.000
Operasional

2 Biaya Personal 37.500 37.500 62.500 62.500 83.333 83.333


Biaya
3 - - - - - -
Investasi*)
TOTAL 104.167 104.167 145.833 145.833 200.000 183.333
Sumber: Data diolah (2018)
*) Biaya Investasi diasumsikan telah dibiayai melalui APBD dengan besaran sesuai dengan
kebutuhan masing-masing sekolah.

5.6 Dimensi Kesehatan


Dengan diwajibkannya seluruh masyarakat Indonesia untuk memiliki
jaminan kesehatan oleh pemerintah, maka besaran biaya Had Kifayah
untuk dimensi kesehatan di setiap provinsi memiliki nilai yang sama yaitu
Rp19.225,00 (sembilan belas ribu dua ratus dua puluh lima rupiah) per
bulan. Dalam hal terdapat anggota keluarga yang tergolong disabilitas berat
berat maka akan diperoleh tambahan biaya sebesar Rp300.000,00 (tiga
ratus ribu rupiah) per bulan. Berikut matriks untuk besaran Had Kifayah
kesehatan:

Tabel 13 Besaran Biaya Had Kifayah Kesehatan


NO Komponen Biaya Jumlah (Rp/orang/bulan)
1 Jaminan Kesehatan 19.225
Total Biaya per Bulan 19.225
Biaya Kesehatan Tambahan
2 Bantuan untuk disabilitas berat 300.000
Sumber: Data diolah (2018)

58
5.7 Dimensi Transportasi
Besaran biaya Had Kifayah untuk dimensi transportasi adalah sebagai
berikut:
Tabel 14 Besaran Biaya Had Kifayah Transportasi
No Keterangan Nominal (Rp/bulan)
1 Bensin 41.002
2 Transportasi Darat 11.834
3 Transportasi Laut 478
Rata-Rata 17.771
Sumber: Data diolah (2018)

5.8 Total Besaran Had Kifayah


Berdasarkan hasil perhitungan pada tujuh dimensi Had Kifayah di
atas maka dapat disimpulkan bahwa total besaran Had Kifayah adalah total
dari ketujuh dimensi tersebut.
Berikut total besaran Had Kifayah per provinsi:
Tabel 15 Besaran Total Had Kifayah per Provinsi

Total per Rumah Tangga Total per Kapita


NO Provinsi
per Bulan per Bulan
1 Aceh 2.930.490 751.408
2 Sumatera Utara 2.947.803 755.847
3 Sumatera Barat 3.032.948 777.679
4 Riau 3.092.587 792.971
5 Jambi 2.833.264 726.478
6 Sumatera Selatan 2.847.242 730.062
7 Bengkulu 3.009.327 771.622
8 Lampung 2.924.594 749.896
9 Kep. Bangka Belitung 3.028.852 776.629
10 Kep. Riau 3.066.872 786.377
11 DKI Jakarta 3.170.849 813.038
12 Jawa Barat 3.062.298 785.205
13 Jawa Tengah 2.791.147 715.679
14 DI Yogyakarta 2.857.505 732.694
15 Jawa Timur 2.915.930 747.674
16 Banten 2.924.599 749.897
17 Bali 2.929.748 751.217
18 Nusa Tenggara Barat 2.997.537 768.599

59
Total per Rumah Tangga Total per Kapita
NO Provinsi
per Bulan per Bulan
19 Nusa Tenggara Timur 3.363.105 862.335
20 Kalimantan Barat 3.111.316 797.773
21 Kalimantan Tengah 2.974.656 762.732
22 Kalimantan Selatan 3.101.046 795.140
23 Kalimantan Timur 3.048.475 781.660
24 Kalimantan Utara 3.055.201 783.385
25 Sulawesi Utara 2.975.192 762.870
26 Sulawesi Tengah 2.953.276 757.250
27 Sulawesi Selatan 2.844.637 729.394
28 Sulawesi Tenggara 2.948.410 756.003
29 Gorontalo 3.119.557 799.886
30 Sulawesi Barat 2.896.207 742.617
31 Maluku 3.072.801 787.898
32 Maluku Utara 2.892.555 741.681
33 Papua Barat 3.317.964 850.760
34 Papua 3.340.837 856.625
Rata-Rata 3.011.142 772.088
Sumber: Data diolah (2018)

Berdasarkan hasil perhitungan setiap dimensi dalam Had Kifayah,


didapatkan hasil bahwa rata-rata Had Kifayah setiap keluarga di Indonesia
sebesar Rp3.011.142,00 per keluarga per bulan. Sedangkan rata-rata Had
Kifayah perorangan sebesar Rp772.088,00 per bulan.
Tiga provinsi yang memiliki nilai Had Kifayah terendah adalah
Sulawesi Tengah, Jambi dan Jawa Tengah. Provinsi Sulawesi Tengah
memiliki nilai Had Kifayah sebesar Rp2.844.637,00 per keluarga per bulan.
Provinsi Jambi memiliki nilai Had Kifayah sebesar Rp2.833.264,00 per
keluarga per bulan. Sedangkan provinsi dengan nilai Had Kifayah terendah
adalah Jawa Tengah dengan total Had Kifayah sebesar Rp2.791.147,00 per
keluarga per bulan.
Selanjutnya, tiga provinsi yang memilki nilai Had Kifayah tertinggi
adalah Papua Barat, Papua dan Nusa Tenggara Timur. Provinsi Papua Barat
memiliki nilai Had Kifayah Rp3.317.964,00 per keluarga per bulan. Provinsi
Papua memiliki nilai Had Kifayah Rp3.340.837,00 per keluarga per bulan.

60
Adapun provinsi dengan nilai Had Kifayah tertinggi sebesar
Rp3.363.105,00 per keluarga per bulan adalah Provinsi Nusa Tenggara
Timur25.
Selain itu jika dilihat berdasarkan pembagian wilayah di Indonesia,
Provinsi DKI Jakarta memiliki nilai Had Kifayah tertinggi untuk wilayah
Indonesia bagian barat dengan nilai Rp3.170.849,00 per keluarga per
bulan, sedangkan provinsi yang memiliki nilai Had Kifayah terendah untuk
wilayah Indonesia bagian barat adalah Provinsi Jawa Timur. Untuk wilayah
Indonesia bagian tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki nilai Had
Kifayah tertinggi dan Provinsi Sulawesi Tengah menjadi provinsi dengan
nilai Had Kifayah terendah. Sedangkan untuk wilayah Indonesia bagian
timur, Provinsi Papua memiliki nilai Had Kifayah tertinggi dan Provinsi
Maluku Utara sebagai provinsi dengan nilai Had Kifayah terendah yaitu
Rp2.892.555,00 per keluarga per bulan.

25 Urutan Had Kifayah dari tertinggi hingga terendah dapat dilihat pada lampiran 1.

61
BAB VI
Kesimpulan dan Rekomendasi

6.1 Kesimpulan
Had Kifayah adalah batas kecukupan atau standar dasar kebutuhan
seseorang/keluarga ditambah dengan kecukupan tanggungan yang ada
sebagai upaya menetapkan kelayakan penerima zakat mustahik fakir miskin
sesuai kondisi wilayah dan sosio-ekonomi setempat. Berdasarkan kajian
literatur yang telah dilakukan, Had Kifayah memiliki tujuh dimensi
berdasarkan dengan kebutuhan Dharuriyat dan Hajiat Assasiyat manusia.
Dimensi Had Kifayah meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal
dan fasilitas rumah tangga, ibadah, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
Landasan teori setiap dimensi berasal dari landasan syariah sesuai dengan
Alquran, hadits, dan pendapat para ulama serta landasan teori lain yang
berasal dari UUD, UU, Peraturan kementerian, hasil survei BPS, jurnal, dan
literatur lainnya.
Hasil perhitungan Had Kifayah menunjukan bahwa rata-rata Had
Kifayah di Indonesia mencapai Rp3.011.142,00 per keluarga per bulan,
sedangkan Had Kifayah per orangan mencapai Rp772.088,00 per kapita
per bulan. Jawa Tengah memiliki nilai Had Kifayah terendah dengan nilai
Rp2.791.147,00 per keluarga per bulan atau Rp715.679,00 per kapita per
bulan. Sementara itu, nilai Had Kifayah tertinggi adalah Provinsi Nusa
Tenggara Timur yaitu Rp3.363.105,00 per keluarga per bulan atau
Rp862.335,00 per kapita per bulan.

6.2 Rekomendasi
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, besaran Had Kifayah
dalam kajian ini adalah sebesar Rp3.011.142,00 per keluarga per bulan. Dari
angka tersebut, terdapat beberapa rekomendasi untuk penyaluran dana
zakat berdasarkan Had Kifayah sebagaimana digambarkan pada gambar 3.

62
Nishab Zakat
Prioritas 4
Had Kifayah
Prioritas 3

Prioritas 2

Prioritas 1

Gambar 3 Piramida Prioritas

Keterangan :

Pendistribusian

Pendayagunaan

Prioritas 1 : < Rp1.003.714,00


Prioritas 2 : Rp1.003.714,00 s/d Rp2.007.428,00
Prioritas 3 : Rp2.007.428,00 s/d Rp3.011.142,00
Prioritas 4 : Rp3.011.142,00 s/d Rp4.159.999,00

Berdasarkan Gambar 3 di atas, keluarga dengan pendapatan


dibawah Rp1.003.714,00 per keluarga per bulan menjadi prioritas pertama
untuk dibantu. Selanjutnya keluarga dengan penghasilan antara
Rp1.003.714,00 s/d Rp2.007.428,00 per keluarga per bulan menjadi
prioritas kedua untuk dibantu. Keluarga dengan penghasilan antara
Rp2.007.428,00 s/d Rp3.011.142,00 per keluarga per bulan menjadi
prioritas ketiga untuk dibantu. Sedangkan keluarga dengan penghasilan di
atas Had Kifayah namun masih di bawah Nishab zakat menjadi prioritas
empat untuk dibantu.

63
Penyaluran dana zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dibedakan
berdasarkan kebutuhan mustahik. Pertama, penyaluran dana zakat untuk
kegiatan konsumtif atau layanan kedaruratan (pendistribusian) yang
mencakup bantuan pendidikan, bantuan kesehatan, bantuan kemanusiaan,
dan bantuan pada bidang dakwah dan advokasi seperti pengadaan da’i
untuk daerah rawan akidah. Pendistribusian zakat ditujukan kepada
mustahik yang belum mampu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Dalam
hal ini, pendistribusian difokuskan pada area prioritas pertama, kedua dan
ketiga (Gambar 3).
Selanjutnya, penyaluran dana zakat yang sifatnya produktif
(pendayagunaan) mencakup bantuan dalam bidang ekonomi, pendidikan,
dan kesehatan. Dalam hal ini, pendayagunaan difokuskan pada area
prioritas empat (Gambar 3). Dalam area ini, mustahik sudah dapat
dikategorikan sebagai mustahik yang sudah dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya. Oleh sebab itu, program pengentasan kemiskinan yang diberikan
dapat berupa kegiatan yang meningkatkan kapasitas produktifnya agar
dapat meningkatkan kesejahteraan mustahik seperti program
kewirausahaan dan pemberdayaan masyarakat. Namun demikian, dalam
menentukan setiap kategori mustahik baik itu mustahik dalam area
pendistribusian maupun pendayagunaan diperlukan penilaian secara
komprehensif, dengan menggunakan instrumen-instrumen yang telah ada
seperti Indeks Zakat Nasional dan Indeks Desa Zakat.

64
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (1945).
Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2013. (2013). Jakarta, Indonesia:
Republik Indonesia.
Peraturan Presiden Nomor 19 tahun 2016. (2016). Jakarta, Indonesia:
Republik Indonesia.
Abbas, S. (2000). Manajemen Transportasi (Cetakan Pertama ed.). Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Abd al-Karim, Y. (2017). In Mi'yar Had al-Kifayah wa Atharihi fi Istihqaq al-
Zakah; Dirasah Ta'siliyah (p. 6). Dubai: Da'irah Syuún al-Islamiyyah
wa al-'Amal al-Khairi.
'Abd al-Qadir, A. (n.d.). In Had al-Kifayah fi al-Iqtisad al-Islami (p. 8).
Mekkah: Ja'miah Um al-Qura.
Abu Daud, S.-A. (2009). In Sunan Abi Daud (p. 3/98). Beirut: Dar al-Risalah
al'Ilmiyyah.
Al-Buhairiy, S. M. (2014, Februari). Pangan dalam Perspektif Islam. Malang,
Jawa Timur, Indonesia.
Al-Ghazali, A. (n.d.). In Ihya Ulum al-Din (p. 4/214). Beirut: Dar al-
Ma'rifah.
Al-Kasani. (n.d.). In Bada'i al-Sana'i (p. 2/48).
Al-Nawawi, A. (n.d.). In al-Majmu (p. 6/190). Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Nawawi, M. (n.d.). In al-Majmu (p. 6/190). Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Qur'an. (NA). Az-Zariyat: 56.
Al-Rahibani. (n.d.). In Matalib Uli al-Nuha (p. 2/136).
Al-Rahibani, M. (1994). In Matalib Uli al-Nuha fi Sharh Ghayah al-Muntaha
(p. 2/136). Beirut: Al-Maktab al-Islami.
Al-Ramli. (n.d.). In Matalib Uli al-Nuhtaj (pp. 6/152-3).
Al-Shatibi, I. (n.d.). In al-Muwafaqat (p. 1/284). Dar Ibn 'Affan.
Al-Syaibani, M.-H. (n.d.). In al-Mabsut (p. 2/94).
an-Nawawi, A. (n.d.). In Sahih Muslim syaih bi Syaih al-Nawawi (p. 7/145).
Beirut: Dar al-Fikr.

65
Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan
Permukiman Nasional (BKP4N). (2002). Kebijakan dan Strategi
Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP).
Badan Pusat Statistik. (2017). Profil Statistik Kesehatan 2016. Jakarta: Badan
Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. (2017a, September). Retrieved April 2, 2018, from
Badan Pusat Statistik :
https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1119
Badan Pusat Statistik. (2018, Januari 2). Berita Resmi Statistik. Profil
Kemiskinan di Indonesia September 2017.
Badan Pusat Statistik. (2018a). Kemiskinan dan Ketimpangan. Retrieved
Maret 2, 2018, from https://www.bps.go.id/subject/23/kemiskinan-
dan-ketimpangan.html
Bahasa, B. P. (2018, 03 05). Retrieved from KBBI Daring:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/
BPS. (2016). Harga Konsumen Beberapa Barang Dan Jasa Kelompok
Sandang 82 Kota Di Indonesia 2016. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS. (2017, Maret). Ringkasan Eksekutif Pengeluaran dan Konsumsi
Penduduk Indonesia. Indoneisa: BPS.
Departemen Agama RI. (2008). Alquran.
Fairuzabadi, M.-D. (n.d.). In al-Qamus al-Muhit (p. 4/386). Beirut: Dar Jail.
Hafiddin, H. (2012, 10 03). Pendidikan Islampada Masa Rasulullah.
Retrieved from
http://www.uinsgd.ac.id/_multimedia/document/20121003/2012100
3172650_jurnal-tarbiya-2-hamim-hafiddin.pdf
Hamad, H. A.-K. (2017). In Dhabit Had al-Kifayah fi Istihqaq al-Zakat wa
Anasiruhu (p. 9). Dubai: Da'irah fi Syu'un al-Islamiyah.
Hermina, & Prihartini. (2016, September). Gambaran Konsumsi Sayur dan
Buah Penduduk Indonesia dalam Konteks Gizi Seimbang: Analisis
Lanjut Survey Konsumsi Makanan Individu (SKMI). Buletin Penelitian
Kesehatan, pp. 205 - 218.
Ibn Salam, A.-Q. (n.d.). In al-Amwal (p. 1/677). Beirut: Dar al-Fikr.
Ibnu Abidin, M. (n.d.). In Hashiyah Rad al-Muhtar ‘Ala al-Dur al-Mukhtar
(p. 2/262). Dar Ihya al-Turath al-'Arabi.

66
Ibnu Abidin, R.-M. (2000). In al-Binayah Sharh al-Hidayah (p. 3/303).
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Ibnu Manzur, J. a.-D. (n.d.). In Lisan al-Arab. Jeddah: Dar Sadir.
Indonesia, R. (2007). Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007
tentang Pendidikan Keagamaan. Jakarta.
Karim, A. (2014, Juni 1). Sejarah Perkembangan Ilmu. Retrieved from
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=401279&val=
6782&title=SEJARAH%20PERKEMBANGAN%20ILMU%20PENGE
TAHUAN
Kartono, D., Hardinsyah, Abas, B. J., Ahmad, S., & Moesijanti, S. (2012).
Penyempurnaan Kecukupan Gizi untuk Orang Indonesia.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X. Jakarta.
Kementerian Kesehatan. (2014). Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta:
Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Pedoman Gizi Seimbang.
Indonesia: Kementerian Kesehatan.
Khayat, D. M. (1997). Health: An Islamic Perspective. Cairo: World Health
Organization.
Khisty, J., & Lall, K. (2005). Dasar-dasar Rekayasa Transportasi (3 ed., Vol.
1). (L. Simarmata, Ed., & F. Miro, Trans.) Jakarta: Erlangga.
Maknuna, A. A. (2015). Konsep Pakaian menurut Al-Qur'an.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2016). Keputusan
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
552/KPTS/M/2016.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia.
(2016). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Republik Indonesia Nomor 21/PRT/M/2016 tentang Kemudahan
dan/atau Bantuan Perolehan Rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan
Rendah.
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah. Keputusan
(2002).
Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/KPTS/M/2002
tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs
Sehat).
Morlok, E. (1978). Introduction to Transportation Engineering and
Planning. Mc. Graw-hill Kogakuha.

67
Nasution, M. (2004). Manajemen Transportasi. (M. Qadhafi, Ed.) Bogor:
Ghalia Indonesia.
Presiden Republik Indonesia. (2011). Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 01 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
Purba, H. (2005). Hukum Pengangkutan di Laut: Perspektif Teori dan
Praktek. Medan: Pustaka Bangsa Press.
Republik Indonesia. (2012). Undang - Undang Republik Indonesia Nomor
18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Indonesia: Republik Indonesia.
Royani, Z. (2017, Vol 13 No 2). Fiqih dan Prinsip Ibadah dalam Islam.
Rausyan Fikr, 1-11.
S, M., A, H., A, I., Hisham, N, N. M., & R, S. (2013). Had Kifayah di
Kalangan Masyarakat Islam: Merungkai Keperluan Kaedah
Penentuan Garis Miskin dan Kaya Berasaskan Sunnah di Malaysia.
Paper presented at Seminar Antarbangsa Sunnah Nabawiyah
Akademi Pengajian Islam University Malaysia.
Saunders, M., Lewis, P., & Thornhill, A. (2012). Research Methods for
Business Students. Pearson.
Susanto, Z. (2011, 07 17). Rumah Tempat Tinggal, Suatu Nikmat yang
Terlupakan. Retrieved from Muslim.Or.Id:
https://muslim.or.id/6552-rumah-tempat-tinggal-suatu-nikmat-yang-
terlupakan.html
Word Bank. (2015). Global Poverty Line Update. Retrieved Maret 23,
2018, from
http://www.worldbank.org/en/topic/poverty/brief/global-poverty-
line-faq

68
Lampiran
Tabel Urutan Had Kifayah dari Nilai Tertinggi Hingga Nilai Terendah
Seluruh Provinsi se-Indonesia 2018

Total per Total Per


No Provinsi
Rumah Tangga Kapita
1 Nusa Tenggara Timur 3.363.105 862.335
2 Papua 3.340.837 856.625
3 Papua Barat 3.317.964 850.760
4 DKI Jakarta 3.170.849 813.038
5 Gorontalo 3.119.557 799.886
6 Kalimantan Barat 3.111.316 797.773
7 Kalimantan Selatan 3.101.046 795.140
8 Riau 3.092.587 792.971
9 Maluku 3.072.801 787.898
10 Kep. Riau 3.066.872 786.377
11 Jawa Barat 3.062.298 785.205
12 Kalimantan Utara 3.055.201 783.385
13 Kalimantan Timur 3.048.475 781.660
14 Sumatera Barat 3.032.948 777.679
15 Kep. Bangka Belitung 3.028.852 776.629
16 Bengkulu 3.009.327 771.622
17 Nusa Tenggara Barat 2.997.537 768.599
18 Sulawesi Utara 2.975.192 762.870
19 Kalimantan Tengah 2.974.656 762.732
20 Sulawesi Tengah 2.953.276 757.250
21 Sulawesi Tenggara 2.948.410 756.003
22 Sumatera Utara 2.947.803 755.847
23 Aceh 2.930.490 751.408
24 Bali 2.929.748 751.217
25 Banten 2.924.599 749.897
26 Lampung 2.924.594 749.896
27 Jawa Timur 2.915.930 747.674
28 Sulawesi Barat 2.896.207 742.617
29 Maluku Utara 2.892.555 741.681
30 DI Yogyakarta 2.857.505 732.694
31 Sumatera Selatan 2.847.242 730.062
32 Sulawesi Selatan 2.844.637 729.394
33 Jambi 2.833.264 726.478
34 Jawa Tengah 2.791.147 715.679
Rata-Rata 3.011.142 772.088

69
70

Anda mungkin juga menyukai