Argumentasi Hukum
Argumentasi Hukum
Asri Wijayanti
Bab
Tiga
Argumentasi
Hukum
tetapi juga harus meletakkan dasar moralitas kebenaran. Mahasiswa nantinya akan
mengambil bagian yang penting di masyarakat pada penegakan hukum. Nilai
positif harus betul – betul ditanamkan pada saat masa studi. Peneliti sangat besar
perannya dalam perkembangan ilmu hukum. Kebijakan Pendidikan Tinggi
Nasional menempatkan Dosen sebagai unsur peneliti melalui tridharma perguruan
tinggi diharapkan dapat melakukan penelitian dan pengabdian disamping
melakukan pendidikan dan pengajaran. Hasil dari penelitian dan pengabdian yang
telah dilakukan diharapkan dapat dijadikan bahan penyempurnaan materti
perkuliahan.
Pada kelompok praktisi hukum meliputi hakim, jaksa, polisi, notaries dan
advokat. Mereka seringkali disebut dengan penegak hukum. Penegak hukum juga
sangat membutuhkan penguasaan argumentasi hukum. Diantara penegak hukum
itu misalnya Polisi sebagai penyidik. Kebutuhan akan pemahaman argumentasi
hukum sangat dibutuhkan. Apabila sejak dini Polisi (diantaranya masih terdapat
yang belum Sarjana Hukum) sudah dibekali pengetahuan akan ilmu hukum dan
argumentasi hukum, dapat diharapkan berita acara pemeriksaan yang dibuat akan
lebih efisien karena akan mengurangi tingkat kesalahan isinya. Para advokat, atau
pengacara/ penasihat hukum, sangat membutuhkan pemahaman penalaran hukum
dalam argumentasi hukum. Adakalanya pendapat miring tentang advokat yang
melakukan pembelaan terhadap kliennya tanpa melihat prosentasi kemungkinan
kebenarannya. Seolah hukum dengan mudah dapat diputar-balikkan dengan
mengesampingkan kebenaran yang ada. Melalui pemahaman argumentasi hukum
ada harapan advokat menjalankan profesinya dengan mengedepankan nilai – nilai
kebenaran. Tentang siapa saja yang membutuhkan pengetahuan dan pemahaman
argumentasi hukum dapat digambarkan dalam Skema 30, yaitu :
Akademisi Dosen
Mahasiswa
Peneliti
Jaksa
Polisi
Advokat
Notaris
Suatu putusan yang benar, akan dapat mudah dicapai apabila tidak
melupakan kerangka dasar asas pemikiran. Keseluruhan proses mulai dari
konsep hingga putusan yang benar, tentunya harus mendasarkan pada
pemahaman bahwa ilmu hukum sebagai ilmu suigeneris. Pemahaman ilmu
hukum sebagai ilmu suigeneris. Haruslah tetap memperhatikan dasar-dasar
Prinsip dasar dari legal problem solving adalah adanya suatu putusan yang
benar. Benar tidaknya suatu putusan atau pemecahan masalah hukum tergantung
pada ada tidaknya kekuatan pembuktian dalam setiap kasus. Adanya kesesuaian
antara pertimbangan dan putusan berdasarkan alat bukti yang kuat menjadikan
suatu putusan itu lebih mendekati kepada kebenaran. Analisis yang tajam dalam
pertimbangan dengan mendasarkan pada norma dan teori hukum menjadikan
suatu putusan dapat diterima.
soal latihan atau ujian, mahasiswa Fakultas Hukum diwajibkan untuk mencari
kerangka dasar pemikiran atas kasus yang sedang dihadapi dengan menyebutkan
adakah aturan hukum yang dilanggar. Apabila ada aturan yang dilanggar, maka
pertanyaan selanjutnya adalah aturan manakah yang dilanggar. Dengan
menyebutkan istilah norma dasar apakah yang dijadikan landasan dari pemecahan
kasus yang terjadi.
1
Hans Kelsen, Essay in legal and moral philosophy, Hukum dan Logika,Bandung, 2006., hal 39-
40
tentang ilmu hukum yang yang berkaitan dengan ilmu hukum. Kemampuan untuk
memahami bahan dasar saja tidak cukup apabila tidak disajikan dengan cara yang
tepat. Diperlukan suatu penguuasaan untuk melakukan perumpamaan dalam
melakukan proses berpikir itu. Melakukan perumpamaan dalam rangkaian
berpikir akan memudahkan mempelajari Argumentasi Hukum.
Hukum Perdata
Hukum Pidana
Hukum Administrasi
Kerangka dasar
Mata kuliah Argumentasi Hukum sebagai mata kuliah yang baru bagi
mahasiswa yang sedang belajar di Fakultas Hukum. Dahulu sebelum mata kuliah
ini ditetapkan sebagai mata kuliah wajib local, beberapa Fakultas Hukum
memberikan mata kuliah Penalaran Hukum. Sayangnya materi yang diajarkan
dalam mata kuliah Penalaran Hukum ini bukanlah materi Argumentasi Hukum,
melainkan materi mata kuliah Logika, atau sering disebut dengan mata kuliah
Logika tradisional. Argumentasi Hukum sering diterjemahkan sebagai Penalaran
Hukum. Tetapi apabila Argumentasi Hukum disamakan artinya dengan Logika,
hal ini tidaklah benar. Mengapa demikian ? Untuk memudahkan menjawab dan
dapat memahami pertanyaan ini, kita sebaiknya membuat suatu perumpamaan.
Perumpamaan itu dapat dilakukan oleh siapa saja dan tentang apa saja.
Kata seorang filusuf, “Apabila kita ingin mengetahui dan memahami sesuatu,
biarkan pikiran kita menerawang jauh menembus batas tembok yang berdiri
kokoh di depan kita. Biarkan pikiran kita melayang jauh. Sebaliknya apabila kita
menemukan suatu kesulitan tentang sesuatu maka pangkaslah menjadi sekecil
mungkin untuk mencari kunci jawabnya”.
Beranjak dari kata bijak di atas, kita dapat membuat perumpaan apa saja
untuk memudahkan mempelajari argumentasi hukum. Misalnya perumpamaan
perahu berlayar, membuat roti, menggoreskan cat di atas canvas atau menyajikan
mangga kepada si sakit yang tidak ada selera makan.
Gambar 32 : Perahu
Apabila kita mempunyai sebuah mangga yang ranum dan kita akan
menikmatinya, apakah cukup hanya dengan menggunakan gigi-gigi kita untuk
mengupasnya? Apabila kita tidak pernah mementingkan estetika untuk menambah
kenikmatan, pengupasan sebuah mangga dengan gigi- gigi kita sudah cukup. Lain
halnya apabila kita mempunyai alat untuk mempermudah. Alat itu dapat berupa
sebilah pisau. Pertanyaan kemudian adalah apakah cukup dengan mengupas
sebuah mangga dengan sebilah pisau yang tumpul ? Pertanyaan dengan spesifikasi
tertentu, tentunya dapat diperkirakan jawabannya. Mengupas sebuah mangga
dengan menggunakan sebilah pisau yang tajam akan mempermudah sekaligus
memperindah bentuk potongan buah mangga itu. Sebagian orang yang
mementingkan estetika dalam penyajian makanan pasti lebih menyukai dan lebih
dapat menikmati buah mangga itu. Sayangkan apabila buah mangga yang besar
dan ranum hanya dikupas dan dipotong yang buruk sehingga kurang dapat
menggugah selera makan seorang yang sedang sakit ?.
2
Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, UGM Press, Surabaya, 2005
hal 12
Suatu tradisi yang sudah sangat lama dalam argumentasi hukum adalah
pendekatan formal logis. Untuk analisa rasionalitas proposisi dikembangkan tiga
model logika yaitu : 1. Logika silogistis, 2. Logika proposisi, 3. Logika predikat.
Untuk analisa penalaran dikembangkan logika diontis.3
3
Ibid.
4
www.unsoed.ac.id/cmsfak/UserFiles/File/D3tkj02/PREDIKAT.ppt
5
Philipus M Hadjon, op.cit., hal. 14.
Lima criteria itu dapat diringkas seperti dalam Skema 34 berikut ini :
Peran logika
6
Ibid.
1. karena sesuatu hal, kelihatan tidak masuk akal dan ia sendiri tidak melihat
kesesatannya, penalaran itu disebut paralogis
2. dengan sengaja digunakan untuk menyesatkan orang lain maka penalaran
ini disebut sofisme.
3. karena bentuknya tidak sahih (tidak valid), hal itu terjadi karena
pelanggaran terhadap kaidah-kaidah logika.
4. karena tidak ada hubungan logis antara premis dan konklusi, merupakan
kesesatan relevansi mengenai manteri penalaran.
5. kesesatan karena bahasa.7
7
Ibid., hal 15
1. paralogis
2. sofisme.
a. Petitio principii.
Kesalahan ini diadakan orang, jika ada sesuatu dijadikan pangkal berpikir
dan demikian pangkal konklusi, dan pangkal itu dianggap benar,
sedangkan belum tentu benar, jadi mina bukti atas kebenarannya. Jangan
lupa, dalam logika sebetulnya tak ada aksioma, yang ada hukum berpikir
yang sesuai dengan hukum realitas. Tak ada suatu dasar konklusi yang
boleh diterima begitu juga. Daripada itu jika suatu petito principii telah
dinyatakan adanya serta diterima, maka konklusi jatuh.
Suatu contoh petitio principii : Oleh karena manusia itu ciptaan Allah,
haruslah ada Allah. Kalau dianalisa jalan pikiran ini adalah sebagai berikut
: orang harus (hendak) membuktikan, bahwa Allah ada. Maka dikatakan
sebagai bukti, bahwa manusia itu ciptaan Allah.
Bahwa manusia itu ada, kami terima saja dulu atas dasar evidensi. Bahwa
manusia itu ciptaan Allah, itulah yang harus dibuktikan dulu.
Maka disitu adalah sesuatu, yang dianggap terang dan tak perlu
dibuktikan, dan dijadikan dasar konklusi. Ini merupakan pelanggan hukum
berpikir, yang minta supaya premisse harus dibuktikan dulu kebenarannya,
supaya konklusi benar.
d. Metabasis
Lengkapnya ungkapan ini ialah “metabasis eis allo genos”, artinya : ganti
dasar. Memang dalam metabasis jalan pikiran itu mengalami peralihan
dasar. Misalnya kalau dikatakan : orang itu orang terpelajar, maka daripada
itu orang baiklah ia.Ini mungkin saja benar tetapi bukan oleh karna jalan
pikiran ; terpelajar, jadi baik. “Terpelajar” itu penilaian dalam bidang
pengetahuan, sedangkan “baik’ itu dalam bidang etika (tingkahlaku).
Metabasis
Permasalahan tersebut merupakan hal-hal yang biasa terjadi pada setiap orang
sehingga orang tersebut dapat mengambil pemecahan masalah yang keliru dan
jauh dari logika. Dengan demikian kesalahan-kesalahan berpikir tersebut
merupakan kesalahan sistematika berpikir. 9
Kekeliruan Formal
Kekeliruan Informal
1. komposisi
2. kekeliruan dalam pembagian
3. kekeliruan karena tekanan
4. kekeliruan karena amfiboli
Kesalahan logis
10
W. Poespoprojo, Logika Ilmu Menalar, Pustaka Grafika, 1999.
bahwa ada jalan pikiran lain yang bisa ditempuh oleh seseorang tanpa
mengingkari logika berpikir. 11
1. Kebiasaan
Cara-cara memandang objek berdasarkan kebiasaan dapat menemui
berbagai hambatan yang disebut ‘functional fixation’. Hal ini berhubungan
dengan fakta bahwa kita mempunyai beberapa kebiasaan mental dan untuk
beberapa alasan tetap mempertahankannya.
2. Waktu
Kesibukan merupakan alasan untuk menjadi tidak kreatif. Tetapi
sebenarnya banyak orang yang tidak mau menginvestasikan waktunya itu
untuk menajamkan kreativitas mereka atau memanfaatkannya.
3. Dibanjiri masalah
Sebagian dari kita merasa bahwa kita berhadapan dengan begitu banyak
masalah yang penting sehingga kita tidak mempunyai cukup waktu dan
tenaga untuk mengatasi beberapa masalah secara kreatif.
4. Tidak ada masalah
Kita sering merasakan tidak ada masalah dan kesempatan, karena para ahli
telah menemukan semua jawaban atau telah mengatakan bahwa hal
tersebut tidak dapat dilaksanakan.
5. Takut Gagal
Kita dapat menghindari kegagalan dan kreativitas dengan berbagai cara :
dengan menyesuaikan diri, tidak pernah mencoba sesuatu yang berbeda,
meyakinkan diri bahwa kita hanya menggunakan gagasan yang telah
terbukti berhasil dan berjalan pada lorong-lorong yang telah sirintis.
Dengan demikian kita menghindari kegagalan-kegagalan kecil. Namun
kita telah gagal sebagai manusia. Kita menjadi tumbuh secara tidak kreatif
melebihi kebiasaan-kebiasaan lama dan naluri.
6. Kebutuhan akan sebuah jawaban sekarang
Manusia tidak mau mengalami kesulitan karena tidak memiliki suatu
jawaban langsung. Ketika suatu masalah dikemukakan, secara langsung
kita memberikan sebuah pemecahan. Hanya jika pemecahan pertama tidak
berhasil maka kita mencoba cara yang lain.
11
Jack. W. Olson, Seni Berpikir Kreatif, Erlangga.
Lebih lanjut, Mundiri mengajukan cara untuk menguji suatu gagasan atau
pemikiran atau hipotesis dalam ukuran-ukuran :
12
Mundiri,, op.cit.
5. Sederhana. 13
1. Apa yang hendak ditegaskan atau apa pokok pernyataan yang diajukan.
2. Bagaimana hal itu : Atas dasar orang sampai pada kesimpulan atau
pertanyaan itu ?
3. Bagaimana jalan pikiran yang mengaitkan alasan-alasan yang diajukan dan
kesimpulan yang ditarik? Bagaimana langkah-langkahnya ? Apakah
kesimpulan itu sah ?
4. Apakah kesimpulan atau penjelasan itu benar ? Apakah pasti ? Atau hanya
mungkin tidak benar ? 15
13
Ibid.
14
W. Poespoprojo, op.cit.
15
Ibid.
1. Memadukan pikiran sadar dan bawah sadar, kita perlu tidak hanya
menarik kesimpulan berdasarkan pikiransadar kita yang terbatas, tetapi
juga berdasarkan pikiran bawah sadar kita yang luas.
2. Keunikan individu, untuk menjadi lebih kreatif kita harus mengakui
keunikan kita dan memanfaatkannya dengan memilih gagasan-gagasan
yang kita anggap bernilai bagi kita berdasarkan tujuan, kebutuhan, dan
pengalaman yang unik.
3. Perasaan dan intuisi yang mendalam, intuisi kita sering tidak jelas dan
tidak rasional malahan lebih merupakan pemikiran mental bawah sadar.
Mungkin kondisi paling intern dari orang yang kreatif adalah sumber
intern penilaian dan seleksi mereka.
4. Kriteria, kita gunakan untuk menentukan gagasan mana yang terbaik dan
merupakan standar sadar yang kita gunakan untuk mengukur nilai
gagasan-gagasan kita. Kriteria ini memperkenalkan suatu unsur yang
sadar, sistematis, berhati-hati, yang memabntu mengorganisasi dan
memfokuskan kemempuan penyeleksian sadar serta bawah sadar kita.
16
Ibid..
17
Jack. W. Olson, op.cit.
Ilustrasi atas lima model kesesatan tersebut juga dikemukakan oleh Irving M.
Copy. Model tersebut kalau digunakan secara tepat dalam bidang hukum justru
bukan kesesatan dalam penalaran hukum yaitu:
1. Argumentum ad ignorantiam
Kesesatan ini terjadi apabila orang mengargumentasi suatu proposisi
sebagai benar karena tidak terbukti salah atau suatu proposisi salah
karena tidak terbukti benar.
2. Argumentansi ad verecundiam
Menolak atau menerima suatu argumentasi bukan karena nilai
penalarannya, tetapi karena orang yang mengemukakan adalah orang
yang berwibawa, berkuasa, ahli, dapat dipercaya. Argumentasi demikian
bertentangan dengan pepatah latin : Tantum valet auctoritas, quantum
valet argumentatio (nilai wibawa hanya setinggi nilai argumentasinya).
Dalam bidang hukum argumentasi demikian tidak sesat jika suatu
yurisprudensi menjadi yurisprudensi tetap.
4. Argumentum ad misericordiam
Suatu argumentasi yang bertujuan untuk menimbulkan belas kasihan.
Dalam bidang hukum, argumentasi semacam ini tidak sesat apabila
Lebih lanjut, kesesatan dalam penalaran hukum Irving M Copy, dapat ditunjukkan
dalam Skema 39 berikut ini :
Argumentum ad ignorantiam
Argumentum ad verecundiam
Argumentum ad hominem
Argumentum ad misericordiam
Argumentum ad baculum
18
Philipus M Hadjon, op.cit., hal. 17.
Badan hukum adalah subyek hukum bentukan hukum, ia bukan orang atau
manusia tetapi dapat menuntut atau dituntut oleh subyek hukum lainnya di muka
pengadilan. Ciri-ciri badan hukum adalah :
1. Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang
menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut
2. memiliki hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban orang-
orang yang menjalankan badan hukum tersebut
3. memiliki tujuan tertentu
4. berkesinambungan ( memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak
terikat pada orang-orang tertentu, karena hak dan kewajibannya tetap ada
meskipun orang yang menjalankannya telah berganti.
(misalnya buku, pensil) dan benda tak bergerak ( misalnya tanah, rumah, kapal
laut dalam tonanse tertentu).
berkenaan dengan sesuatu atau terhadap subyek hukum tertentu atau semua
subyek hukum tanpa halangan atau gangguan dari pihak manapun dan kebebasan
itu memiliki landasan hukum dan karena itu dilindungi.
Di dalam tata hukum Indonesia, criteria cukup umur yang menjadi patokan
seseorang untuk dapat dikatakan cakap untuk berbuat hukum adalah beragam,
tergantung dalam lingkup hukum apa. Di bidang perkawinan maka seseorang
dapat dikatakan cakap untuk melakukan perkawinan adalah mereka yang berusia
minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Dalam bidang
ketata negaraan maka yang cakap untuk menjadi pemilih dalam pemilihan umum
untuk memilih prsiden, - wakil presiden, DPRD, kepala Daerah adalah mereka
yang telah berusia minimal 17 tahun. Hal ini berbeda dengan di bidang
ketenagakerjaan, mereka yang dapat membuat perjanjiankerja secara mandiri
adalah mereka yang berusia minimal 18 tahun.
Kesimpulan
Dari uraian di dalam Bab ….. ini, dapat diketahui bahwa :
- Argumentasi hukum adalah suatu hasil proses berpikir yang dibutuhkan
oleh setiap ahli hukum, calon ahli hukum atau penegak hukum. Tujuan
mata kuliah Argumentasi Hukum adalah untuk memberikan bekal kepada
Latihan
Daftar Pustaka
Bruggink, JJH., alih bahasa, Arief Sidharta, Refleksi tentang hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1996.
Hans Kelsen, Essay in legal and moral philosophy, Hukum dan Logika,Bandung,
2006.
Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, UGM Press,
Surabaya, 2005.
www.unsoed.ac.id/cmsfak/UserFiles/File/D3tkj02/PREDIKAT.ppt