Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

CVA INFARK

I. DEFINISI
CVA adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresi cepat. Berupa
defisit neurologis lokal dan / atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau
langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan oleh gangguan
peredaran otak non traumatik.
Dalam pembagian CVA menurut WHO terdiri dari 2 kelompok besar yaitu:
1. CVA Bleeding adalah disfungsi otak lokal yang akut yang disebabkan oleh
perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan karena trauma
kopitis, tapi disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh darah arteri, vena, dan
kapiler.
2. CVA Infark adalah gangguan disfungsi otak baik sinistra atau dekstra dengan sifat
antara lain:
 permulaan cepat dan akut atau sub akut
 terjadi kurang lebih 2 minggu
 CT scan terdapat bayangan infark setelah 3 hari
(Arief Mansoer, dkk, 2000)

II. ETIOLOGI
1. Trombosis serebral
Thrombosis pada arteri serebri yang memasok darah dalam otak atau
thrombosis pembuluh darah intracranial yang menyumbat aliran darah
(Kowalak,2003:334). Thrombosis pembuluh darah besar dengan aliran darah lambat
adalah sebagian besar CVA ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang
menyebabkan penyempitan atau stenosis di aorta karotis interna atu yang kebih
jarang, di pangakal arteria serebri media atau di taut arteria vertebralis dan
asilaris(Price, 2002:1114)

Keadaan yang menyebabkan thrombosis:

1) Arterosklerosis
Akibat mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan elastisitas
dinding PD. Oklusi mendadak pembuluh darah.
2) Hiperkoagulasi pada polysitemia
Darah yang bertambah kental akan menyebabkan viskositas/hematoksit
meningkat dan melambatkan aliran darah cerebral.
3) Arteritis ( radang pada arteri)
Radang pada arteri temporalis yang dapat meyebabkan defisit non-reversible
fokal yang parah (kebutaan dan stroke) (Price, 2002:1116).
2. Emboli serebral
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembulu darah otak oleh bekuan
darah, lemak, dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung
yang telepas dan menyumbat sistem arteri. emboli tersebut berlangsung cepat dan
gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa keadaan dibawah ini yang dapat
menimbulkan emboli:
1) Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart Disease (RHD)
2) Myokard infark
3) Atrial Fibrilasi
Keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan ventrikel sehingga
darah terbentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu kosong sama sekali dengan
mengeluarkan embolus-embolus kecil.
4) Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan terbentuknya
gumpalan-gumpalan pada endokardium (Muttaqin, 2008:128).

3. Hemoragik
Perdarahan intrakranal dan intraserebri meliputi perdarahan di dalam ruang
subarakhnoid atau di dalam jaringan otak sendiri yang terjadi karena aterosklerosis
dan hipertensi. Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan perembesan darah ke
dalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan penekanan pergeseran dan
pemisahan jaringan otak yang berdekatan sehingga otak membengkak, jaringannya
tertekan mengakibatkan infark otak, edema dan herniasi otak (Muttaqin, 2008: 128).
4. Gangguan aliran
Gejala Stroke dapat disebabkan oleh aliran darah ke otak yang tidak adekuat
karena penurunan tekanan darah (terutama penurunan perfusi ke otak) atau akibat
peningkatan viskositas darah karena sickle cell disease atau karena penyakit
hematologi seperti multiple myeloma dan polycythemia vera. Dalam hal ini, trauma
cerebral dapat timbul karena kerusakan sistem organ lain (Cruz,2013).
5. Oklusi Arteri besar
Oklusi arteri besar biasanya diakibatkan oleh emboli yang berasal dari serpihan
artherosklerosis dari dalambiasanya mempengaruhi arteri carotis atau bersumber
dari jantung.sebagian kecil oklusi aretri besar terjadi karena ulserasi plak dan
trombosis (Cruz,2013).
6. Watershed Infarcts
Infark pada batas air dari pembuluh darah muncul pada area paling distal dari arteri.
Hal tersebut dipercaya merupakan penyebab sekunder dari fenomena embolik atau
disebabkan oleh hipoperfusi yang parah, antara lain oklusi pada carotis dan
hipotensi yang berkepanjangan (Cruz, 2013).

III. TANDA DAN GEJALA


Secara umum tanda dan gejala dari stroke atau CVA berupa lemas mendadak
di daerah wajah, lengan atau tungkai, terutama di salah satu sisi tubuh, gangguan
penglihatan seperti ganda atau kesulitan melihat pada salah satu atau kedua mata,
bingung mendadak, tersandung selagi berjalan, pusing bergoyang, hilangnya
keseimbangan atau koordinasi, nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas (Price,
2005:1117).
Menurut Kowalak (2011), keluhan dan gejala umum stroke meliputi :
1) Kelemahan ekstrimitas yang unilateral
2) Kesulitan bicara
3) Patirasi pada salah satu sisi tubuh
4) Sakit kepala
5) Gangguan penglihatan (diplopia, hemianopsia, ptosis)
6) Rasa pening
7) Kecemasan (ansietas)
8) Perubahan tingkat kesadaran
Gejala klinis CVA infark antara lain:
1. Permulaan akut atau subakut
2. Saat kejadian tergantung dari asal emboli
3. Kesadaran baik atau sedikit menurun
4. Nyeri kepala bisa ada atau tidak
5. ST-scan tampak adanya edema
6. Pungsi lumbal tekanan meningkat, warna jernih, jumlah sel eritrosit sedang

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Menurut George Dewanto dkk (2009: 26) pemeriksaan diagnosis untuk stroke
meliputi: Skor stroke: skor stroke Siriraj, skor Gadjah Mada (untuk
membedakan antara stroke iskemik dan hemoragik).
2. Laboratorium : analisis laboratorium standar mencakup urinalisis, HDL, Laju
endap darah (LED), faal hemostasis (APTT, PTT), panel metabolic dasar
(Natrium, kalium, klorida, bikarbonat, glukosa, nitrogen urea darah, dan
kreatinin) (Price, 2005:1123) Polisitemia vera dan trombositemia esensial
merupakan kelainan darah yang dapat menyebabkan stroke. Polisitemia, nilai
hematokrit yang tinggi menyebabkan hiperviskositas dan mempengaruhi darah
otak. Kadar glukosa darah untuk mendeteksi adanya hipoglikemia dan
hiperglikemia dimana dapat dijumpai gejala neurologis. Pemeriksaan elektrolit
bertujuan mendeteksi gangguan natrium, kalium yang dapat menyebabkan
depresi susunan saraf pusat. Pada hipoglikemia dan hiponatremia gejala yang
muncul dapat berupa mimik stroke. APTT dan PTT dapat menunjukkan
terjadinya koagulopati sehingga bisa menjadi pedoman dalam penggunaan
trombolitik atau antikoagulan terapi (Cruz, 2013).
3. Pemeriksaan sinar X toraks: dapat mendeteksi pembesaran jantung
(kardiomegali) dan infiltrate paru yang berkaitan dengan gagal jantung
kongestif (Price, 2005:1123)
4. Ultrasonografi (USG) karaois: evaluasi standard untuk mendeteksi gangguan
aliran darah karotis dan kemungkinan memmperbaiki kausa stroke
(Price,2005:1123).
5. Angiografi serebrum : membantu menentukan penyebab dari stroke secara
Spesifik seperti lesi ulseratrif, stenosis, displosia fibraomuskular, fistula
arteriovena, vaskulitis dan pembentukan thrombus di pembuluh besar (Price,
2005:1123).
6. Pemindaian dengan Positron Emission Tomography (PET):
mengidentifikasi seberapa besar suatu daerah di otak menerima dan
memetabolisme glukosa serta luas cedera (Price, 2005:1123)
7. Ekokardiogram transesofagus (TEE): mendeteksi sumber kardioembolus
potensial (Price, 2005:1124).
8. CT scan : CT Scan berguna untuk membedakan infark serebri atau perdarahan,
yang berguna untuk menentukan tata laksana awal (Ginsberg, 2007:91)
9. MRI : menunjukkan daerah infak, perdarahan, malformasiarteriovena (MAR)
(Baticaca, 2008:61).
10. Skrining toksikologi : skrining toksikologi mungkin berguna pada pasien
tertentu dalam rangka untuk membantu mengidentifikasikan pasien yang
intoksikasi dengan gejala atau perilaku dengan mimik stroke (Cruz,2013).
11. Analisa Gas Darah : Walaupun jarang, pada pasien dengan suspek hipksemia,
gas darah arteri menetapkan keparahan dari hipoksemia dan mungkin
mendeteksi gangguan asam basa. Jika pada trombolitik, punksi arteri
seharusnya dihindari kecuali benar-benar dibutuhkan (Cruz, 2013).

V. PENATALAKSANAAN
Untuk mengobati keadaan akut, berusaha untuk menstabilkan TTV dengan
(Muttaqin, 2008:141):
1) Mempertahankan saluran nafas yang paten
2) Kontrol tekanan darah
3) Posisi yang tepat, posisi diubah tiap 2 jam, latihan gerak pasif.

Terapi Konservatif

1. Vasodilator untuk meningkatkan aliran serebral


2. Anti agregasi trombolis: aspirin untuk menghambat reaksi pelepasan
agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
3. Anti koagulan untuk mencegah terjadinya atau memberatnya trombosisi
atau embolisasi dari tempat lain ke sistem kardiovaskuler.
4. Bila terjadi peningkatan TIK, (dengan gejala: bradikardi, ketidakteraturan
pernapasan, peningkatan tekanan darah, muntah proyektil
(Smeltzer,2001:2143)
ASUHAN KEPERAWATAN

CVA INFARK

1. Pengkajian
a. Identitas
Usia: Insiden stroke banyak terjadi pada usia lebih dari 65 tahun dan kasus
terbanyak terjadi pada ras keturunan amerika dan afrika. Stroke banyak
menyerang laki-laki berkaitan dengan faktor resiko stroke yaitu kebisaan merokok
dan konsumsi alcohol (Price, 2005: 1106)
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Lemas mendadak di daerah wajah, lengan atau tungkai, terutama di salah satu
sisi tubuh, gangguan penglihatan seperti ganda atau kesulitan melihat pada salah
satu atau kedua mata, bingung mendadak, tersandung selagi berjalan, pusing
bergoyang, hilangnya keseimbangan atau koordinasi, nyeri kepala mendadak
tanpa kausa yang jelas (Price, 2005:1117).
Nyeri kepala, mual, muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar (Muttaqin,
2008:133).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Hiperkolesterolemia, arterosklerosis, arteritis, Transient Ischemic Attacks,
stenosis karotis, Sickle Cell Disease, Polisitemia, penggunaan alat kontrasepsi,
penyakit jantung antara lain Atrial Fibrilasi, penyakit katup jantung, stenosis
mitral, gangguan aliran, oklusi arteri besar, perdarahan intrakranial (Cruz, 2013).
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga yang menderita hipertensi, DM, atau ada riwayat stroke dari
generasi terdahulu (Muttaqin, 2008:133).
e. Riwayat psikososial:
Adanya ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra tubuh). Mekanisme koping menurun, mudah marah, dan ansietas.
Ada perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan untuk
berkomunikasi. Faktor biaya juga mempengaruhi stabilitas emosi serta pikiran
klien dan keluarganya (Muttaqin, 2008).
f. Pola pemenuhan kebutuhan sehari-hari:
 Nutrisi
Nafsu makan hilang, mual muntah selama fase akut (peningkatan TIK),
kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, dan tenggorok, disfagia
(Doengoes, 1999).
 Eliminasi
Perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urine, anuria (Doengoes,
1999).
 Aktivitas & istirahat
Merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan, kehilangan
sensasi atau paralisis (hemiplegia), merasa muda lelah, susah untuk
beristirahat (Doengoes, 1999), gangguan tingkat kesadaran, gangguan
tonus otot.
 Hygine perseorangan: tidak dapat memenuhi secara mandiri karena adanya
hemiplegi dan hemiparese biasanya dibantu orang lain.

g. Pemeriksaan fisik
1) Sistem Pernapasan: ditemukan suara nafas tambahan (Ronchi), peningkatan
produksi sputum, pasien sering sesak napas, RR meningkat, pernapasan
Cheyne Stokes, terdapat batuk, penggunaan otot bantu napas, pada palpasi
didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri, gargling (Muttaqin,
2008:135).
2) Sistem Kardiovaskuler: peningkatan tekanan darah atau hipertensi massif
(tekanan darah >200 mmHg), bradikardi, (Muttaqin, 2008:135) disritmia,
seperti atrial fibrilasi (Cruz, 2013) peningkatan tekanan vena jugularis
(Doengoes, 1999) adanya mur-mur dan gallop, saat auskultasi jantung, carotid
bruits saat auskultasi pada arteri karotis (Cruz, 2013).
3) Sistem persarafan :
 Sakit kepala, rasa pening, dizziness, peningkatan suhu tubuh (Kowalak,
2011)
 Pemeriksaan tengkorak dan tulang belakang, tanda-tanda meningitis
 Pengkajian tingkat kesadaran berkisar pada letargi, strupor, semikomatosa
(Muttaqin, 2008:135).
 Pengkajian fungsi serebral (Muttaqin, 2008:135-136).:
- Status mental : observasi penampilan, tingkah laku, gaya bicara, ekspresi
wajah, dan aktivitas motorik klien. pada klien stroke tahap lanjut terjadi
perubahan dalam status mental klien.
- Fungsi intelektual : penurunan ingatan dan memori baik jangka pendek
maupun jangka panjang, penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi.
Pada beberapa kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk
mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
- Kemampuan bahasa: penurunan kemampuan berbahasa tergantung dari
daerah lesi yang mempengaruhi fungsi dari serebral. Bila lesi pada girus
temporalis (area wernikce) superior akan didapatkan disfasia repressif ,
yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis. Bila
lesi pada bagian posterior dari girus frontalis inferior (area broca) akan
didapatkan disfasia ekspresif, yaitu klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat
menjawab dengan tepat dan bicaranya tidak lancar
- Lobus Frontal : kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan
jika kerusakan telah terjadi pada lobus frontal kapasitas, memori, atau
fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini
dapat ditunjukkan dalam lapang pandang terbatas, kesulitan dalam
pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini
menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka.
- Hemisfer. Stroke hemisfer kanan didapatkan hemiparase sebelah kiri
tubuh, penilaian buruk dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral
sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut. Pada
stroke hemisfer kiri, mengalami hemiparase kanan, perilaku lambat dan
sangat hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global,
afasia, dan mudah frustasi.
(5) Pengkajian saraf kranial. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf
kranial I-XII (Muttaqin, 2008:136-137)
- Saraf I. Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman.
- Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer
diantara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial
(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat
memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk
mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
- Saraf III, IV, VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, pada satu
sisi
otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat
unilateral di sisi yang sakit.
- Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf
trigenimus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah,
penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi
otot pterigoideus internus dan eksternus.
- Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris dan
otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat. Pasien tidak mampu
mengangkat alis, mengerutkan dahi atau menutup mata pada daerah yang
terkena (Cruz, 2013)
- Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli perseptif.
- Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan
membuka
mulut.
- Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
- Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi,
serta indra pengecapan normal.
 Pengkajian sistem motorik (Muttaqin, 2008:137)
- Inspeksi umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi)
karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan
salah satu sisi tubuh adalah tanda yang lain.
- Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
- Tonus otot didapatkan meningkat.
- Keseimbangan dan koordinasi. Didapatkan mengalami gangguan karena
hemiparase dan hemiplegia.
 Pengkajian refleks.
Pemeriksaan refleks terdiri atas pemeriksaan refleks profunda dan
pemeriksaan refleks patologis.
- Pemeriksaan refleks profunda. Pengetukan pada tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.
- Pemeriksaan refleks patologis. Pada fase akut refleks fisiologis sisi yang
lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan
muncul kembali didahului dengan refleks patologis.
 Gerakan Involunter . Tidak ditemukan adanya tremor, tic, dan distonia.
Pada keadaan tertentu, klien biasanya mengalami kejang umum, terutama
pada anak dengan stroke disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi.
Kejang berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka
(Muttaqin, 2008:138).
 Pengkajian sistem sensorik: ketidakmampuan untuk menginterpretasikan
sensasi, tidak memberikan atau hilangnya respon terhadap propriosepsi
(kemampuan merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh), serta kesulitan
dalam menginterpretasikan stimuli visual taktil, dan auditorius (Muttaqin,
2008138).
h. Sistem perkemihan: inkontinensia urine karena hilang atau berkurangnya sistem
kontrol sfingter, inkontenesia yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis
yang meluas (Muttaqin, 2008:138).
i. Sistem pencernaan: didapatkan adanya kesulitan menelan, napsu makan menurun,
mual, muntah pada fase akut, bising usus negatif (Muttaqin, 2008:138).
j. Sistem Muskulaskeletal: hemiplegic dan hemiporesis karena disfungsi motorik
(Muttaqin,2008:139).
k. Sistem intergumen: jika pasien kekurangan O₂ kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgar kulit akan buruk. Selain itu perlu juga dikaji tanda-
tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke
mengalami masalah mobilitas fisik (Muttaqin,2008:139).

2. Masalah Keperawatan
1) Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan oklusi serebral (Carpenito,
Lynda Juall. 2006).
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penurunan energi,
keletihan, penurunan batuk dan reflek muntah, paralisis otot (Wilkinson,
2002:606).
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
(kelemahan, parastesia, paralisis lemah, paralisis spastik) akibat kerusakan saraf
motorik atas, gangguan persepsi, gangguan kognitif (Wilkinson, 2002:607).
4) Konstipasi berhubungan dengan penurunan aktivitas, pengobatan, kelemahan otot
abdomen(Wilkinson, 2002:606).
5) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan mobilitas sekunder
akibat stroke (Wilkinson, 2002:608).
6) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi kebutuhan
pengobatan.
7) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan
mengunyah, gangguan menelan, ketidak mampuan untuk menyiapkan makanan
akibat defisit pergerakan (Wilkinson, 2002:607).
8) Resiko cedera berhubungan dengan perubahan persepsi/sensori (Wilkinson,
2002:607).
9) Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, penurunan
kekuatan dan ketahanan, intoleransi aktivitas, penurunan rentang pergerakan,
kelemahan akibat penyakit dan imobilitas (Wilkinson, 2002:607).
10) Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan afasia, disartia, ketidak
mampuan untuk bicara, dan ketidak mampuan untuk bicara secara jelas.
11) Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan penerimaan sensori,
transmisi dan/integrasi akibat hipoksia dan kompresi atau pemindahan jaringan
otak (Wilkinson, 2002:607)

3. Diagnostic Dan Intervensi Keperawatan (Doenges, Marrylin E., Moorhouse


M.F.,Geissler A.C., 2000)
1) Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan oklusi serebral.
Tujuan: perfusi jaringan otak dapat terjadi secara efektif setelah dilakukan
tindakan keperawatan
Kriteria hasil: tidak gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, dan Muntah,
GCS 4-5-6, pupil isokar, reaksi cahaya +/+, TTV dalam batas normal (nadi: 60-
100x/menit, suhu: 36,5 – 37,5⁰ c, RR: 12 - 20x/menit, TD 120/80).
Intervensi:
a. Jelaskan kepada klien (jika sadar) dan keluarganya penyebab dan akibat
peningkatan TIK.
R/ TIK terjadi karena adanya pembengkakan sel dalam serebral yang dapat
mendesak isi kranium dan menyebabkan herniasi batang otak, diabete
insipidus dan SIADH.
b. Berikan posisi head up 15-300
R/ perubahan pada TIK akan dapat menyebabkan risiko untuk terjadinya
herniasi otak.
c. Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan yang berlebihan.
R/ batuk dan mengejan dapat meningkatkan TIK dan potensial terjadi
pendarahan ulang.
d. Kolaborasi dalam pemberian:
Cairan perinfus dengan perhatian ketat.
R/ meminimalkan fluktuasi pada beban vaskuler dan tekanan intrakranial.
e. Observasi tanda-tanda status neurologis dengan GCS, keluhan nyeri kepala,
mual muntah, serta TTV.
R/ untuk mengetahui keberhasilan tindakan keperawatan serta dapat
mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penurunan energi,
keletihan, penurunan batuk dan reflek muntah, paralisis otot.
Tujuan: pasien menunjukkan bersihan jalan nafas setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
Kriteria Hasil:ronkhi tidak terdengar Px menunjukkan batuk yang efektif,
frekuensi nafas 16- 20 x/menit.
Intervensi:
a. Jelaskan kepada klien mengapa terdapat penumpukan secret di saluran
pernapasan dan kegunaan batuk efekif .
R/ penumpukan sekret terjadi karena imobilisasi, menurunnya kesadaran dan
menurunnya reflek batuk.
b. Beri minum hangat jika keadaan memungkinkan
R/ membantu pengenceran secret sehingga mempermudah pemngeluaran
c. Anjurkan klien mengenai batuk efektif selama pengisapan.
R/ batuk yang efektif dapat mengeluarkan secret dari saluran pernapasan.
d. Lakukan pengisapan lendir, batasi durasi pengisapan dengan 15 detik
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular
(kelemahan, parastesia, paralisis lemah, paralisis spastik) akibat kerusakan saraf
motorik atas, ganguan persepsi, gangguan kognitif.
Tujuan: klien mampu meningkatkan aktivitas fisik yang sakit atau lemah, dengan
kriteria hasil:
- Klien mampu mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang dibuktikan tidak
adanya kontraktur, footdrop
- Klien mampu mempertahankan posisi optimal dari fungsi dari bagian tubuh yang
terkena
- Klien dapat mendemonstrasikan teknik yang memungkinkan melakukan
aktivitas
Intervensi:
(1) Jelaskan pada pasien akibat dari imobilitas fisik
R/ imobilitas fisik akan menyebabkan otot-otot menjadi kaku sehingga penting
diberikan latihan gerak
(2) Ubah posisi pasien tiap 2 jam
R/ menurunkan resiko terjadinnya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang
jelek pada daerah yang tertekan
DAFTAR PUSTAKA

Arief Mansoer, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Edisi Tiga Jilid kedua, FKUI. Candra
B. 1987, Cerebro Vaskuler Accident dalam Neurologi Klinik PT. Bina Indra Karya,
Jakarta.

Carpenito Juall Lynda, Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8, EGC: 1998. Djoenaidi
Widjaya, 1994, lab UPF dalam Pedoman diagnosa dan Terapi penyakit syaraf Rumah
Sakit Dr Soetomo Surabaya.

Effendi Nasrul, (1995) Pengantar Proses Keperawatan, Jakarta , EGC.

Monica Ester D, SKP. 1997, Anatomi Fisiologi untuk Siswa perawat, EGC.

Anda mungkin juga menyukai