Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH KOMUNIKASI DAN KONSELING

KOMUNIKASI DAN KONSELING BENTUK SEDIAAN, CARA


PENGGUNAAN TERTENTU DAN PENYIMPANAN KHUSUS SERTA PADA
PASIEN PEDIATRI, GERIATRI DAN IBU HAMIL MENYUSUI

DOSEN PENGAMPU :

1. Dra. Pudiatuti, RSP.,MM.,Apt.

2. Avianti Eka Dewi Aditya P.,M.Sc.,Apt.

DISUSUN OLEH :

1. Megie Dhia Prisdayati (20171256B )


2. Medita Rizki Amalia ( 20171260B )
3. Refliana Kushariyanti ( 20171275B )
4. Geraldine C.L ( 20171279B )
5. Indriana Sari (20171286B )
6. Anissahaaq Nurul I (20171292B )
7. Fransiska Dianita H (20171293B )
8. Maria F. N Arafura Iwa (20171303B )

FAKULTAS FARMASI

PRODI D3 FARMASI

UNIVERSITAS SETIA BUDI

SURAKARTA

2019
BENTUK SEDIAAN OBAT

A. Bentuk Sedian Padat


1. PULVIS dan PULVERES (Serbuk)
Bahan atau campuran obat yang homogen dengan atau tanpa bahan
tambahan berbentuk serbuk dan relatif satbil serta kering. Serbuk dapat
digunakan untuk obat luar dan obat dalam. Serbuk untuk obat dalam
disebut pulveres (serbuk yang terbagi berupa bungkus-bungkus kecil
dalam kertas dengan berat umumnya 300mg sampai 500mg dengan
vehiculum umumya Saccharum lactis.) dan untuk obat luar disebut
Pulvis adspersorius (Serbuk tabur). Sifat Pulvis untuk obat dalam:
 Cocok untuk obat yang tidak stabil dalam bentuk cairan
 Absorbsi obat lebih cepat dibanding dalam bentuk tablet
 Tidak cocok untuk obat yang mempunyai rasa tidak
menyenangkan, dirusak dilambung, iritatif, dan mempunyai dosis
terapi yang rendah.

Sifat Pulvis adspersorius :

 Selain bahan obat, mengandung juga bahan profilaksi atau


pelican
 Untuk luka terbuka sediaan harus steril
 Sebagai pelumas harus bebas dari organisme pathogen
 Bila menggunakan talk hams steril, karena bahan-bahan tersebut
sering terkontaminasi spora dan kuman tetanus serta kuman
penyebab gangren.
Cara mengenal kerusakan :

Secara mikroskopik kerusakan dapat dilihat dari timbulnya bau yang


tidak enak, perubahan warna, benyek atau mnggumpal.

Cara peyimpanan :

Disimpan dalam wadah tertutup rapat, ditempat yang sejuk, dan


terlindung dari sinar matahari.

Contoh : Salicyl bedak (Pulv. Adspersorius); Oralit (Pulvis untuk obat


dalam ) dalam kemasan sachet\

2. TABLET
Tablet adalah sediaan padat yang kompak, yang dibuat secara kempa
cetak, berbentuk pipih dengan kedua permukaan rata atau cembung, dan
mengandung satu atau beberapa bahan obat, dengan atau tanpa zat
tambahan. ( Berat tablet normal antara 300 — 600 mg ). Sifat :
1) Cukup stabil dalam transportasi dan penyimpanan.
2) Tidak tepat untuk : - obat yang dapat dirusak oleh asam lambung
dan enzim pencernaan - obat yang bersifat iritatif.
3) Formulasi dan pabrikasi sediaan obat dapat mempengaruhi
bioavailabilitas bahan aktif.
4) Dengan teknik khusus dalam bentuk sediaan multiplayer obat-obat
yang dapat berinteraksi secara fisik/khemis, interaksinya dapat
dihindari
5) Tablet yang berbentuk silindris dalam perdagangan disebut Kaplet

Cara mengenal kerusakan :

Secara makroskopik kerusakan dapat dilihat dari adanya perubahan


warna, berbau, tidak kompak lagi sehingga tablet pecah/retak, timbul
kristal atau benyek.

Penyimpanan :
Disimpan dalam wadah tertutup, balk ditempat yang sejuk dan terlindung
dari sinar matahari.

Contoh :

- Sediaan paten : Tab. Bactrim, Tab. Pehadoxin

- Sediaan generik : Tablet parasetamol, Tablet amoksisilin

3. KAPSUL
Sediaan obat yang bahan aktifnya dapat berbentuk padat atau setengah
padat dengan atau tanpa bahan tambahan dan terbungkus cangkang
yang umumnya terbuat dari gelatin. Cangkang dapat larut dan dipisahkan
dari isinya.
1) Kapsul Lunak ( Soft Capsule ): berisi bahan obat berupa
minyak/larutan obat dalam minyak.
2) Kapsul keras ( Hard Capsule ): berisi bahan obat yang kering

Cara mengenal kerusakan :

Secara makroskopik kerusakan dapat dilihat dari adanya


perubahan warna, berbau, tidak kompak lagi sehingga tablet pecah/retak,
timbul kristal atau benyek.

Penyimpanan :

Disimpan dalam wadah tertutup, baik ditempat yang sejuk dan


terlindung dari sinar matahari.

a) Kapsul Lunak ( Soft Capsule ): Berisi bahan obat berupa minyak/


larutan obat dalam minyak.
Sifat :
 Cukup stabil dalam penyimpanan dan transportasi
 Dapat menutupi bau dan rasa yang tidak menyenangkan
 Absorbsi obat lebih baik daripada kapsul keras karena bentuk
ini setelah cangkangnya larut obat langsung dapat diabsorbsi
 Sediaan ini tidak dapat diberikan dalam bentuk sediaan
pulveres

Contoh : Natur E

b) Kapsul keras ( Hard Capsule ) : berisi bahan obat yang kering.


Sifat
 Cukup stabil dalam penyimpanan dan transportasi
 Dapat menutupi bau dan rasa yang tidak menyenangkan
 Tepat untuk obat yang mudah teroksidasi, bersifat higroskopik,
dan mempu- punyai rasa dan bau yang tidak menyenangkan.
 Kapsul lebih mudah ditelan dibandingkan bentuk tablet.
 Setelah cangkang larut dilambung, bahan aktif terbebas serta
terlarut maka proses absorbsi baru terjadi ( di gastrointestinal ).

Contoh : Ponstan 250 mg

B. Bentuk Sedian Semi Padat


1. UNGUENTA (SALEP)
Sediaan 1/2 padat untuk digunakan sebagai obat luar, mudah dioleskan
pada kulit dan tanpa perlu pemanasan terlebih dahulu , dengan bahan obat
yang terkandung hares terbagi rata atau terdispersi homogen dalam
vehikulum.Umumnya memakai dasar salep Hidrokarbon ( vaselin
album dan vaselin flavum ), dan dasar salep Absorbsi (adeps lanae, dan
lanolin ). Sifat :
 Daya penetrasi paling kuat bila dibandingkan dengan bentuk
sediaan padat lainnya.
 Cukup stabil dalam penyimpanan dan transportasi
 Obat kontak dengan kulit cukup lama sehingga cocok untuk
dermatosis yang kering dan kronik serta cocok untuk jems kulit
yang bersisik dan berambut.
 Tidak boleh digunakan untuk lesi seluruh tubuh. Contoh :
Tolmicen 10 ml, Polik oint 5 g
2. JELLY (GEL )
Sediaan semi padat yang sedikit cair, kental dan lengket yang mencair
waktu kontak dengan kulit, mengering sebagai suatu lapisan tipis, tidak
berminyak. Pada umumnya menggunakan bahan dasar larut dalam air (
PEG, CMG, Tragakanta )
Sifat :
 Obat dapat kontak kulit cukup lama dan mudah kering
 Dapat berfungsi sebagai pendingin dan pembawa obat
 Bahan dasar mempunyai efek pelumas tidak berlemak sehingga
cocok untuk dermatosa kronik
 Biasanya untuk efek lokal, pemakaian yang terlalu banyak dapat
memberikan efek sistemik.

Contoh : Bioplasenton Jelly 15 mg, Voltaren Emulgel 100 g

3. CREAM
Sediaan semi padat yang banyak mengandung air, sehingga
memberikan perasaan sejuk bila dioleskan pada kulit, sebagai vehikulum
dapat berupa emulsi 0/W atau emulsi W/O.
Sifat :
 Absorbsi obat cukup baik dan mudah dibersihkan dari kulit
 Kurang stabil dalam penyimpanan karena banyak mengandung air
dan mudah timbul jamur bila sediaan dibuka segelnya.
 Dapat berfungsi sebagai pelarut dan pendingin
 Sediaan ini cocok untuk dermatosa akut.
Contoh : Chloramfecort 10 g, Hydrokortison 5g, Scabicid 1 Og
4. PASTA
Masa lembek dibuat dengan mencampurkan bahan obat yang berbentu
serbuk dalam jumlah besar ( 40 — 60% ), dengan vaselin atau paraffin cair
atau bahan dasar tidak berlemak yang dibuat dengan gliserol, mucilage,
sabun.
Sifat :
 Obat dapat kontak lama dengan kulit
 Sediaan ini cocok untuk dermatosa yang agak basah ( Sub akut
atau kronik )
 Dapat berfungsi sebagai pengering, pembersih, dan
pembawaUntuk lesi akut dapat meninggalkan kerak vesikula
Contoh : Pasta Lassari

C. Bentuk Sedian Cair


1. SOLUTIO
Sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang terlarut.
Solute : Zat yang terlarut.
Solven : Cairan pelarut umumnya adalah air. Sifat :
 Obat homogen dan absobsi obat cepat
 Untuk obat luar mudah pemakaiannya dan cocok untuk penderita
yang sukar menelan, anak-anak dan manula
 Volume pemberian besar
 Tidak dapat diberikan untuk obat-obat yang tidak stabil dalam
bentuk larutan.
 Bagi obat yang rasanya pahit dan baunya tidak enak dapat
ditambah pemanis dan perasa.
Contoh : Enkasari 120 ml solution, Betadin gargle
2. SIRUP
Penggunaan istilah Sirup digunakan untuk :
 Bentuk sediaan Cair yang mengandung Saccharosa atau gula ( 64-
66% ).
 Larutan Sukrosa hampir jenuh dengan air.
 Sediaan cair yang dibuat dengan pengental dan pemanis, termasuk
suspensi oral.

Sifat :

 Homogen
 Lebih kental dan lebih manis dibandingkan dengan Solutio.
 Cocok untuk anak-anak maupun Dewasa.

Sirup Kering :

Suatu sediaan padat yang berupa serbuk atau granula yang terdiri dari
bahan obat, pemanis, perasa, stabilisator dan bahan lainnya, kecuali
pelarut. Apabiola akan digunakan ditambah pelarut (air) dan akan menjadi
bentuk sediaan suspensi.

Sifat :

 Pada umumnya bahan obat adalah antimikroba atau bahan kimia


lain yang tidak larut dan tidak stabil dalam bentuk cairan dalam
penyimpanan lama.
 Memberikan rasa enak, sehingga cocok untuk bayi dan anak.
 Kecepatan absorbsi obat tergantung pada besar kecilnya ukuran
partikel
 Apabila sudah ditambahkan aquadest, hanya bertahan + 7 hari
pada suhu kamar, sedang pada almari pendingin + 14 hari.

Contoh Sirup kering :

Cefspan sirup (untuk dibuat Suspensi ) Amcillin DS sirup (untuk dibuat


Suspensi )

Contoh sirup : Biogesic sirup, Dumin sirup

3. SUSPENSI
Sediaan cair yang mengandung bahan padat dalam bentuk halus yang
tidak larut tetapi terdispersi dalam cairan/vehiculum, umumnya
mengandung stabilisator untuk menjamin stabilitasnya, penggunaannya
dikocok dulu sebelum dipakai.
Sifat :
 Cocok untuk penderita yang sukar menelan, anak-anak dan
manula
 Bisa ditambah pemanis dan perasa sehingga rasanya lebih enak
dari Solutio
 Volume pemberiannya besar
 Kecepatan absorbsi obat tergantung pada besar kecilnya ukuran
partikel yang terdispersi

Contoh : Sanmag suspensi, Bactricid suspensi

4. ELIXIR
Larutan oral yang mengandung etanol sebagai kosolven, untuk
mengurangi jumlah etanol bisa ditambah kosolven lain seperti gliserin
dan propilenglikol, tetapi etanol harus ada untuk dapat dinyatakan
sebagai elixir. Kadar alcohol antara 3-75%, biasanya sekitar 315%,
keggunaan alcohol selain sebagai pelarut, juga sebagai pengawet atau
korigen saporis.
Sifat :
 Cocok untuk penderita yang sukar menelan. Karena mengandung
Alkohol, hati-hati untuk penderita yang tidak tahan terhadap
 Alkohol atau menderita penyekit tertentu
 Elixir kurang manis dan kurang kental dibandingkan bentuk
sediaan sirup.
Contoh : Batugin 300 ml, Mucopect 60 ml ( Paediatri )
5. TINGTURA
Larutan mengandung etanol atau hidroalkohol dibuat dari bahan
tumbuhan atau senyawa kimia. Secara tradisional tingtura tumbuhan
berkhasiat obat mengandung 10% bahan tumbuhan, sebagian besar tingtura
tumbuhan lain mengandung 20%bahan tumbuhan. Sifat :
 Homogen dan bahan obat lebih stabil
 Kadar alcohol yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme
 Karena Berisi beberapa komponen, dengan adanya cahaya
matahari dapat terjadi perubahan fotosintesis
Contoh : Halog 8 ml
6. GARGARISMA
Obat yang dikumur sampai tenggorokan, dan tidak boleh ditelan.
Contoh : Betadine 190 ml
7. GUTTAE
Sediaan cair yang pemakaiannya dengan cara meneteskan.
TETES ORAL :
Sifat: :
 Volume pemberian kecil sehingga cocok untuk bayi dan anak-
anak
 Pada umumnya ditambahkan pemanis, perasa, dan bahan lain
yang sesuai dengan bentuk sediaannya
 Bahan obatnya berkhasiat sebagai antimikroba, analgetika
antipiretika, vitamin, antitusif, dekongestan.
 Contoh : Multivitaplek 15 ml, Triamic 10 ml, Termagon
TETES MATA :
Sifat :
 Harus steril dan jernih
 Isotonis dan isohidris sehingga mempunyai aktivitas optimal
 Untuk pemakaian berganda perlu tambah pengawet

Contoh : Colme 8 ml, Catarlent 5 ml, Albucid

TETES TELINGA :
Sifat :

 Bahan pembawanya sebaiknya minyak lemak atau sejenisnya


yang mempunyai kekentalan yang cocok ( misal gliserol, minyak
nabati, propilen glikol ) sehingga dapat menempel pada hang
telinga.
 pH sebaiknya asam ( 5-6 )
Contoh : Otolin 10 ml, Otopain 8 ml

8. LOTION
Sediaan cair yang digunakan untuk pemakaian luar pada kulit
Sifat :
 Sebagai pelindung atau pengobatan tergantung komponennya.
 Sesudah dioleskan dikulit, segera kering dan meninggalkan
lapisan tipis komponen obat pada permukaan kulit
 Bahan pelarut (solven) berupa air, alcohol, glyserin atau bahan
pelarut lain yang cocok. Contoh : Tolmicen 10 ml.

PENYIMPANAN KHUSUS

Penyimpanan obat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari


keseluruhan kegiatan kefarmasian, baik farmasi rumah sakit maupun
farmasi komunitas. Penyimpanan obat adalah suatu kegiatan menyimpan
dan memelihara dengan cara menempatkan obat yang diterima pada
tempat yang dinilai aman dari pencurian serta dapat menjaga mutu obat.
Sistem penyimpanan yang tepat dan baik akan menjadi salah satu faktor
penentu mutu obat yang didistribusikan.

Terdapat beberapa tujuan dilakukannya kegiatan penyimpanan obat,


antara lain adalah memelihara mutu obat, menghindari penggunaan yang
tidak bertanggung jawab, menjaga ketersediaan stok obat, serta
memudahkan untuk pencarian dan pengawasan. Untuk mencapai tujuan-
tujuan tersebut, maka harus ada sistem penyimpanan yang baik dan sesuai
standar.
Sistem penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan beberapa kategori,
seperti berdasarkan jenis dan bentuk sediaan, suhu penyimpanan dan
stabilitas, sifat bahan, susunan alfabetis, dengan menerapkan prinsip FEFO
(First Expired First Out) dan FIFO (First In First Out) untuk mencegah
tersimpannya obat yang sudah kadaluarsa. Penyimpanan berdasarkan jenis
sediaan adalah pengelompokan obat sesuai jenisnya dan menempatkannya
pada area terpisah. Obat dikelompokkan berdasarkan bentuk sediaan,
misalnya dikelompokkan menjadi obat oral (tablet/kapsul, sirup), obat
suntik (ampul, vial, cairan infus), obat luar (salep, gel, tetes mata, obat
kumur). Penyimpanan obat di tiap kategori dapat disusun berdasarkan efek
farmakologinya. Penyusunan berdasarkan abjad akan lebih memudahkan
pencarian obat, sedangkan penyusunan berdasarkan efek farmakologis
dapat dipisahkan dengan memberikan warna wadah penyimpanan atau
ditempel stiker berwarna yang berbeda untuk tiap kelompok efek
farmakologinya.

Kelemahan penyusunan berdasarkan efek farmakologi adalah akan


menyulitkan pencarian obat dengan cepat, terutama jika petugasnya baru
dan belum mengenal dengan baik klasifikasi obat berdasarkan efek
farmakologi. Sebagai solusinya, maka penyusunan berdasarkan abjad
dapat dipilih, namun perlu diperhatikan penyimpanan untuk obat yang
nama dan rupanya mirip atau dikenal dengan istilah LASA (Look Alike
Sound Alike).\

Selain berdasarkan jenis dan bentuk sediaan, penyimpanan obat juga


perlu memperhatikan suhu penyimpanan untuk menjaga stabilitas obat.
Suhu penyimpanan obat dibagi menjadi 4 kelompok, yakni:

1. Penyimpanan suhu beku (-20° dan -10° C) yang umumnyA


digunakan untuk menyimpan vaksin
2. Penyimpanan suhu dingin (2° – 8° C)
3. Penyimpanan suhu sejuk (8° – 15° C), dan
4. Penyimpanan suhu kamar (15° – 30° C)

Pengelompokan berdasarkan kestabilan suhu ruang ini harus


disesuaikan dengan instruksi penyimpanan yang tertera di kemasan obat.
Untuk obat yang stabilitasnya dipengaruhi oleh cahaya, maka harus
disimpan di tempat yang terlindung dari cahaya matahari langsung. Obat
yang bersifat higroskopis harus disimpan dengan menggunakan
absorben/disikator.

Penyimpanan berdasarkan sifat bahan misalnya dilakukan pada bahan


berbahaya dan beracun (B3). B3 harus disimpan di area terpisah dan diberi
simbol sesuai klasifikasinya. Terdapat beberapa klasifikasi B3, di
antaranya adalah mudah meledak, bersifat pengoksidasi, mudah terbakar,
beracun, bersifat iritasi, bersifat korosif, merusak lingkungan, dan lain-
lain. Area penyimpanan B3 pun harus difasilitasi dengan alat pengaman
yang dapat meminimalisasi kerusakan apabila terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.

Obat narkotika adalah obat yang memerlukan penyimpanan khusus


sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.
Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan obat
narkotika. Berdasarkan Permenkes RI no. 28/Menkes/Per/I/1978 tentang
cara penyimpanan narkotika, yaitu pada pasal 6 dan 6, disebutkan bahwa
persyaratan penyimpanan narkotika adalah sebagai berikut:

1. Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat
2. Harus mempunyai kunci yang kuat
3. Lemari dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan,
bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin,
dan garam-garamnya, serta persediaan narkotika; bagian kedua
dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai
sehari-hari.
4. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari ukuran kurang dari
40 x 80 x 100 cm, maka lemari tersebut harus dibaut pada tembok
atau lantai
5. Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang
lain selain narkotika
6. Anak kunci lemari khusus harus dikuasai oleh penanggung
jawab/asisten apoteker atau pegawai lain yang dikuasakan
7. Lemari khusus harus ditaruh pada tempat yang aman dan tidak
boleh terlihat oleh umum.

Untuk dapat memenuhi sistem penyimpanan obat sesuai standar yang


sudah disebutkan di atas, diperlukan dukungan fasilitas yang memadai dan
tata ruang yang baik dalam menciptakan ruangan penyimpanan obat.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam merancang ruang
penyimpanan obat di antaranya adalah kemudahan bergerak dan
keselamatan bagi petugas, sirkulasi udara yang baik, penggunaan rak dan
pallet, adanya ruang penyimpanan khusus untuk obat yang perlu disimpan
dalam kondisi khusus (vaksin, narkotika, B3) dan tersedianya fasilitas
pencegahan kebakaran dan sistem keamanan.
Sistem “access control” dapat digunakan untuk memastikan bahwa
hanya petugas yang diberi hak yang dapat masuk ke ruang penyimpanan
untuk menghindari terjadinya kehilangan atau pencurian oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab.
PEDIATRI

A. PENGERTIAN PEDIATRIK
Pediatrik adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan
perawatan medis bayi (infant), anak-anak (children), dan remaja
(aldosents). Menurut American Academy of Pediatrics (AAP), pediatrik
adalah spesialisasi ilmu kedokteran yang berkaitan dengan fisik, mental
dan sosial kesehatan anak sejak lahir sampai dewasa muda. Pediatrik juga
merupakan disiplin ilmu yang berhubungan dengan pengaruh biologis,
sosial, lingkungan dan dampak penyakit pada perkembangan anak. Anak-
anak berbeda dari orang dewasa secara anatomis, fisiologis, imunologis,
psikologis, perkembangan dan metabolisme.
B. KLASIFIKASI POPULASI PEDIATRIK
Secara internasional populasi pediatrik dikelompokkan menjadi:
a. Preterm newborn infants (bayi prematur yang baru lahir).
b. Term newborn infants (bayi yang baru lahir umur 0-28 hari).
c. Infants and toddlers (bayi dan anak kecil yang baru belajar berjalan
umur > 28 hari sampai 23 bulan).
d. Children (anak-anak umur 2-11 tahun).
e. Adolescents (anak remaja umur 12 sampai 16 sampai 18 tahun
tergantung daerah). Usia didefinisikan dalam hari, bulan dan tahun
lengkap (WHO, 2007).

C. KONSEP FISIOLOGI DAN KINETIK PADA PEDIATRIK

Pada pediatrik, secara fisiologi beberapa organ penting belum matang


seperti halnya orang dewasa. Oleh karena itu akan mempengaruhi proses
farmakokinetik obat, dan perubahan akan terjadi sejalan dengan
pendewasaan, sehingga mempengaruhi respon obat pada pasien anak-anak.

D. FISIOLOGI DAN KINETIKA PADA NEONATUS (Term Newborn


Infants)
Variasi kerja obat terjadi pada neonatus karena adanya variasi
karakteristik biologis pada bayi yang baru lahir, diantaranya massa tubuh
yang kecil, kandungan lemak tubuh rendah, volume air tubuh tinggi dan
permeabilitas beberapa membran lebih besar seperti pada kulit dan sawar
otak.

E. ABSORPSI PADA NEONATUS


Pada bayi yang baru lahir (neonatus), waktu transit lambung lebih
lama, pH lambung dan fungsi enzim bervariasi, tidak ada flora usus akan
mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan secara oral.Dengan
demikian selama periode neonatal, obat-obat yang tidak tahan asam seperti
benzilpenisilin dan ampisilin akan diserap lebih baik, sedangkan
penyerapan obat-obatan seperti fenitoin, fenobarbital dan rifampisin
rendah (WHO, 2007). Pada minggu pertama sejak lahir, neonates
mengalami achlorhydria dan hanya setelah usia tiga tahun ekskresi asam
lambung menyerupai orang dewasa. Dalam usia hingga satu bulan waktu
pengosongan lambung lebih lama dan gerak peristalsis tidak teratur. Massa
otot rangka lebih terbatas dan kontraksi otot yang berperan mendorong
aliran darah untuk penyebaran obat yang diberikan secara intramuskular
relatif lemah (Rowland dan Tozer, 1995). Tingkat perfusi perifer rendah
dan mekanisme pengaturan panas belum sempurna pada neonatus
mengganggu penyerapan. Obat topikal diserap lebih cepat, dan biasanya
lebih baik karena penghalang kulit neonatus masih relatif tipis sehingga
risiko toksisitas yang lebih besar.
F. DISTRIBUSI PADA NEONATUS
Bayi yang baru lahir memiliki konsentrasi protein plasma dan
kapasitas pengikatan albumin yang rendah, sehingga berpengaruh pada
kemampuan mengikat terhadap obat yang terikat ekstensif dengan protein
plasma. Rendahnya kapasistas protein plasma mengikat obat menyebabkan
beberapa efek obat yang merugikan. Misalnya, protein plasma dapat
mengikat bilirubin. Obat sangat kuat berikatan dengan protein dapat
menggantikan bilirubin sehingga menyebabkan kerusakan otak dari
kernikterus akibat hiperbilirubinemia. Antibiotik sulfonamid adalah
contoh obat utama pada kasus ini.
Volume distribusi dalam kompartemen tubuh bayi sangat berbeda
dengan orang dewasa. Jumlah total kandungan air tubuh mencapai 70-80%
dari berat badan pada bayi prematur dan bayi baru lahir, dibandingkan
dengan orang dewasa sekitar 50-55%. Cairan ekstraseluler sekitar 40%
dari total berat badan, sekitar dua kali pada orang dewasa. Tingginya
kandungan air tubuh dan rendahnya kapasitas protein plasma
mengakibatkan volume distribusi obat yang larut dalam air lebih besar.
Sehingga dibutuhkan dosis relatif lebih besar untuk obat yang larut dalam
air untuk menghasilkan efek terapi yang diinginkan. Secara substansial
jumlah lemak tubuh pada neonatus lebih rendah dibandingkan dengan
orang dewasa, dan hal ini juga dapat mempengaruhi efek terapi obat.
Beberapa obat yang kelarutannya tinggi dalam lemak, distribusinya lebih
rendah dibandingkan dengan orang dewasa. Sebagai contoh, perbedaan
volume distribusi diazepam berkisar 1,4-1,8 L/kg pada neonatus dan 2,2-
2,6 L/ kg pada dewasa.
G. METABOLISME PADA NEONATUS
Neonatus memiliki kemampuan lebih rendah untuk metabolisme obat
yang rentan dibandingkan dengan bayi dan anak-anak. Secara umum
metabolisme obat oleh enzim hati belum sempurna pada neonatus. Setelah
lahir, kapasitas metabolisme akan naik secara dramatis dari sekitar
seperlima hingga sepertiga tingkat orang dewasa selama minggu pertama
kehidupan.
Jalur utama metabolisme obat dibagi menjadi fase reaksi 1 dan fase
reaksi 2. Fase 1 melibatkan reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan hidrasi.
Jalur paling utama adalah reaksi oksidasi yang melibatkan enzim sitokrom
P450 (CYP). Enzim-enzim CYP utama dibagi menjadi CYP1A2,
CYP2B6, CYP2C8 - 10, CYP2C19, CYP2D6, CYP2E1 dan CYP3A4 dan
5. Jalur untuk fase 2 melibatkan glukuronidasi, sulfasi, metilasi, asetilasi
dan konjugasi glutation. Jumlah kandungan sitokrom P450 di hati janin
adalah antara 30% dan 60% dari nilai dewasa dan mendekati nilai-nilai
orang pada usia 10 tahun. Tempat utama metabolisme obat adalah dalam
hati, selain saluran pencernaan, sel darah, dan organ lain juga terlibat
dalam metabolisme obat. Tujuan biologis metabolisme obat adalah untuk
mengkonversi senyawa lipofilik (larut dalam lemak) menjadi lebih polar
dan lebih larut dalam air dengan demikian lebih mudah diekskresikan ke
dalam empedu atau urin. Obat-obat yang nonpolar, dan larut dalam lipid
(misalnya diazepam, teofilin dan parasetamol) akan dimetabolisme dalam
hati sehingga menjadi lebih polar. Sedangkan obat yang larut dalam air,
biasanya diekskresikan dalam bentuk tidak berubah oleh filtrasi
glomerulus dan / atau sekresi tubular pada ginjal (misalnya
aminoglikosida, penisilin, dan diuretik) (WHO, 2007). Bayi baru lahir
memiliki kemampuan memetabolisme obat yang rendah dibandingkan
dengan bayi dan anak terutama pada neonatus prematur. Perubahan
metabolisme dapat mempengaruhi neonatus yaitu terjadinya resiko
toksisitas obat lebih besar. Neonatus biasanya membutuhkan dosis obat
yang lebih kecil dan diberikan lebih jarang dari pada bayi dan anak-anak.
H. EKSKRESI PADA NEONATUS
Pada neonatus fungsi ginjal belum berkembang secara sempurna,
sehingga ekskresi obat pada neonates obat lebih lambat. Neonatus
memiliki kemampuan yang rendah memekatkan urin sehingga pH urin
rendah, sehingga mempengaruhi ekskresi beberapa senyawa. Fungsi ginjal
secara keseluruhan mendekati tingkat dewasa pada akhir atau tahun
pertama sejak kelahiran. Fungsi ginjal sangat penting untuk disposisi obat
pada periode neonatus. Banyak pasien neonatus yang mengalami infeksi
diberi antibiotik yang larut dalam air. Secara umum pada neonatus waktu
paruh eliminasi obat semakin lama. Laju eliminasi meningkat pesat selama
minggu-minggu berikutnya, dan waktu paruh sama dengan orang dewasa
biasanya dicapai pada akhir bulan pertama (WHO, 2010).
I. FISIOLOGI DANKINETIKA PADA BAYI DAN ANAK
Ada beberapa faktor fisiologis yang mempengaruhi pemberian obat
pada bayi (5 - 52 minggu setelah dilahirkan) dan anak-anak (1 -12 tahun).
Pertumbuhan dan kematangan biologis yang progresif menstabilisasi
respon tubuh terhadap obat sampai memberikan respon yang akhirnya
sama dengan perkiraan pada orang dewasa. Selama pertumbuhan, terjadi
peningkatan massa tubuh, perbedaan kandungan lemak, dan penurunan
volume air tubuh. Semua hal itu akan mempengaruhi penyerapan,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat. Selain itu, hambatan anatomis
seperti kulit dan sawar otak lebih efektif pada bayi. Pertumbuhan yang
cepat selama masa kanak-kanak dan pubertas juga dapat mempengaruhi
respon obat.
J. ABSORPSI PADA BAYI DAN ANAK
Keasaman lambung belum mendekati nilai-nilai orang dewasa sampai
usia sekitar dua sampai tiga bulan. Pada infant beberapa obat yang tidak
tahan asam seperti benzil penisilin, ampisilin, dan nafsilin oral dapat
diabsorpsi dengan baik karena kurangnya asam lambung pada masa awal
bayi. Hal ini disebabkan adanya cairan ketuban dalam perut bayi sehingga
pH lambung netral (6-8). Laju pengosongan lambung menyerupai orang
dewasa sekitar usia 6 sampai 8 bulan. Barrier seperti kulit dan sawar otak
lebih efektif selama pertumbuhan bayi, hal ini menyebabkan anak berisiko
lebih rendah terhadap efek toksik beberapa obat.
K. DISTRIBUSI PADA BAYI DAN ANAK
Distribusi obat dalam tubuh dipengaruhi oleh jumlah dan karakter
protein plasma, volume relative cairan tubuh, lemak, dan kompartemen
jaringan tubuh. Jumlah total air tubuh, dinyatakan sebagai persentase dari
total berat badan. Bayi premature adalah 85% dan neonatus 78%.
Meningkatnya fraksi total air tubuh berpengaruh terhadap nilai parameter
volume distribusi obat yang berkaitan dengan konsentrasi obat. Pengikatan
protein pada obat umumnya hampir sama pada orang dewasa dan dicapai
pada usia satu tahun. Metabolisme pada Bayi dan Anak Tingkat metabolik
pada bayi dan anak-anak usia dua sampai tiga tahun secara umum lebih
tinggi dari orang dewasa. Dosis terapeutik obat relatif terhadap berat
badan, mungkin lebih besar untuk anak-anak dibandingkan orang dewasa,
contohnya teofilin. Dosis harus individual untuk setiap anak berdasarkan
berat badan, dan harus disesuaikan dosis tersebut dengan adanya variasi
metabolism secara individu. Artinya, dosis harus individual untuk setiap
anak berdasarkan berat badan. Enzim hepatik dapat berubah sedemikian
rupa pada anak yang sudah mature sehingga kliren teofilin akan
berkurang, dan penyesuaian dosis lebih lanjut mungkin dibutuhkan.
Biotransformasi metronidazol lebih lambat oleh sistem enzim P450 pada
bayi yang mengalami malnutrisi berat dibandingkan pada bayi yang tidak
mengalami malnutrisi.
L. EKSKRESI PADA BAYI DAN ANAK
Perubahan fungsi ginjal bergantung pada usia, sampai sekitar 6-12
bulan kematangan fungsi ginjal dan hati belum tercapai. Saat lahir, fungsi
glomerulus lebih baik dari fungsi tubulus dan berlanjut sampai umur 6
bulan. Pada pasien infant dan children pemberian obat dosis berganda
harus diberikan secara hati-hati. Dosis obat diekskresikan sebagian besar
dalam bentuk tidak berubah (unmetabolized) oleh ginjal, seperti digoksin
(untuk gagal jantung kongestif) dan gentamisin (antibiotik
aminoglikosida). Proses filtrasi glomerulus, sekresi tubulus, dan reabsorpsi
tubulus, semuanya menentukan efisiensi eliminasi obat melalui ginjal
seperti gentamisin, dan agen lainnya seperti glukosa, fosfat, dan
bikarbonat.
M. INTERAKSI OBAT
Interaksi obat yaitu situasi ketika suatu zat (biasanya obat lain)
mempengaruhi aktivitas obat ketika keduanya diberikan secara bersamaan.
Aktivitas tersebut bisa bersifat sinergis (efek obat meningkat) atau
antagonis (efek obat berkurang) atau bisa menghasilkan efek baru.
Interaksi dapat terjadi antara obat dengan obat, obat dengan makanan, dan
obat dengan herbal.
Mekanisme Interaksi Obat Pemberian satu obat (A) dapat mengubah
aksi obat lain (B) dapat terjadi melalui dua mekanisme umum yaitu
interaksi farmakokinetik (terjadi perubahan konsentrasi obat B yang
mencapai tapak kerja reseptor) dan interaksi farmakodinamik (terjadi
modifikasi efek farmakologis obat B tanpa mengubah konsentrasinya
dalam cairan jaringan). Selain dua mekanisme tersebut masih ada yang
disebut interaksi farmaseutik yaitu obat berinteraksi secara in vitro
sehingga satu atau kedua obat tidak aktif. Tidak ada prinsip-prinsip
farmakologi yang terlibat dalam interaksi farmaseutik, hanya reaksi secara
fisika atau kimia.
Interaksi Farmakokinetik Interaksi farmakokinetik yaitu interaksi yang
dapat mempengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabolism, dan ekskresi
(Baxter, 2008). Perubahan ini pada dasarnya adalah terjadi modifikasi
konsentrasi obat. Dalam hal ini dua obat bersifat homergic jika memiliki
efek yang sama dalam organisme dan heterergic jika efeknya berbeda.

GERIATRI
A. Pengertian Geriatri

Istilah geriatri pertama kali digunakan oleh Ignas Leo Vascher pada
tahun 1909. Namun ilmu geriatri sendiri, baru berkembang pada tahun
1935. Pada saat itulah diterapkan penatalaksanaan terpadu terhadap
penderita-penderita lanjut usia (lansia) dilengkapi dengan latihan jasmani
dan rohani (Martono dan Pranarka, 2010).Pasien geriatri adalah pasien
usia lanjut yang berusia lebih dari 60 tahun serta mempunyai ciri khas
multipatologi, tampilan gejalanya tidak khas, daya cadangan faali
menurun, dan biasanya disertai gangguan fungsional. Penderita geriatri
berbeda dengan penderita dewasa muda lainnya, baik dari segi konsep
kesehatan maupun segi penyebab, perjalanan, maupun gejala dan tanda
penyakitnya sehingga, tatacara diagnosis pada penderita geriatri berbeda
dengan populasi lainnya (Penninx et al.,
2004).
B. Perubahan-perubahan yang terjadi pada Geriatri
Menurut Boedi Darmojo (2004), menjadi tua bukanlah suatu penyakit
atau sakit, tetapi suatu perubahan dimana kepekaan bertambah atau batas
kemampuan beradaptasi menjadi berkurang yang sering dikenal dengan
geriatric giant yang merupakan suatu sindroma geriatri.Sindroma geriatri
adalah kumpulan gejala mengenai kesehatan yang sangat sering
dikeluhkan oleh para lanjut usia dan/atau keluarganya. Sindroma itu
bukanlah suatu penyakit, sehingga diperlukan upaya penanganan lebih
lanjut untuk mencari penyakit yang mendasari timbulnya sindroma
tersebut. Menurut Solomon et al. (1994) terdapat beberapa masalah
tersering yang dialami oleh populasi geriatri diantaranya immobilitas
(immobility), impaksi (impaction), ketidakseimbangan (instability),
iatrogenik (iatrogenic), kemunduran intelektual (intellectual impairment),
gangguan/susah tidur (insomnia), inkontinensia (incontinence), menutup
diri (isolation), impoten (impotence), menurunnya sistem imun (imuno-
defficiency), mudah terkena infeksi, malnutrisi (inanition), serta gangguan
pengelihatan, pembauan, pendengaran dan lain-lain (Solomon et al.,
1994citKuswardhani et al., 2008). Perubahan yang terjadi pada lansia
diantaranya yaitu:
1) Perubahan dari aspek biologisPerubahan yang terjadi pada sel seseorang
menjadi lansia yaitu adanya perubahan genetika yang mengakibatkan
terganggunya metabolisme protein, gangguan metabolisme
Deoxyribonucleic Nucleic Acid (DNA), terjadi ikatan DNA dengan
protein stabil yang mengakibatkan gangguan genetika,gangguan kegiatan
enzim dan sistem pembuatan enzim, menurunnya proporsi protein diotak,
otot, ginjal darah dan hati, terjadinya pengurangan parenchim serta adanya
penambahan lipofuscin.
2. Psikologis
Perubahan psikologis pada lansia sejalan dengan perubahan secara
fisiologis. Masalah psikologis ini pertama kali mengenai sikap lansia
terhadap kemunduran fisiknya (disengagement theory) yang berarti adanya
penarikan diri dari masyarakat dan dari diri pribadinya satu sama lain.
Lansia dianggap terlalu lamban dengan daya reaksi yang lambat,
kesigapan dan kecepatan bertindak dan berfikir menurun. Perubahan psikis
pada lansia adalah besarnya individual differences pada lansia. Lansia
memiliki kepribadian yang berbeda dengan sebelumnya. Penyesuaian diri
lansia juga sulit karena ketidakinginanlansia untuk berinteraksi dengan
lingkungan ataupun pemberian batasan untuk dapat beinteraksi.
3. Perubahan seksual
Pada dasarnya perubahan fisiologis yang terjadi pada aktivitas seksual
pada usia lanjut biasanya berlangsung secara bertahap dan menunjukkan
status dasar dari aspek vaskuler, hormonal dan neurologiknya (Darmojo
danMartono, 2004). Untuk suatu pasangan suami istri, bila semasa usia
dewasa dan pertengahan aktivitas seksual mereka normal, akan kecil sekali
kemungkinan mereka akan mendapatkan masalah dalam hubungan
seksualnya.
C. Permasalahan yang sering dialami geriatric
1. Permasalahan dari Aspek Fisiologi Terjadinya perubahan normal
pada fisik lansia yang dipengaruhi oleh faktor kejiwaan sosial, ekonomi
dan medik. Perubahan tersebut akan terlihat dalam jaringan dan organ
tubuh seperti kulit menjadi kering dan keriput, rambut beruban dan
rontok, penglihatan menurun sebagian atau menyeluruh, pendengaran
berkurang, indra perasa menurun, daya penciuman berkurang, tinggi
badan menyusut karena proses osteoporosis yang berakibat
badanmenjadi bungkuk, tulang keropos, massanya dan kekuatannya
berkurang dan mudah patah, elastisitas paru berkurang, nafas menjadi
pendek, terjadi pengurangan fungsi organ di dalam perut, dinding
pembuluh darah menebal sehingga tekanan darah tinggi, otot jantung
bekerja tidak efisien, adanya penurunan organ reproduksi terutama pada
wanita, otak menyusut dan reaksi menjadi lambat terutama pada pria,
serta seksualitas tidak terlalu menurun.
2. Permasalahan dari Aspek Psikologi
Menurut Hadi Martono (1997) dalam Martono dan Pranarka (2010),
beberapamasalah psikologis lansia antara lain:
1.Kesepian (loneliness)
Hal yang dialami oleh lansia pada saat meninggalnya pasangan
hidup,terutama bila dirinya saat itu mengalami penurunan status kesehatan
seperti menderita penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan
sensorik terutama gangguan pendengaran harus dibedakan antara kesepian
dengan hidup sendiri. Banyak lansia hidup sendiri tidak mengalami
kesepian karena aktivitas sosialnya tinggi, lansia yang hidup di lingkungan
yang beranggota keluarga yang cukup banyak tetapi mengalami kesepian.
2. Duka cita (bereavement)
Pada periode duka cita ini merupakan periode yang sangat rawan bagi
lansia. Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan
kesayangan bisa meruntuhkan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari
seorang lansia, yang selanjutnya memicu terjadinya gangguan fisik dan
kesehatannya. Adanya perasaan kosong kemudian diikuti dengan ingin
menangis dan kemudian suatu periode depresi. Depresi akibat duka cita
biasanya bersifat self limiting.
3. Depresi,
Persoalan hidup yang mendera lansia seperti kemiskinan, usia, stress
yang berkepanjangan, penyakit fisik yang tidak kunjung sembuh,
perceraian atau kematian pasangan, keturunan yang tidak bisa merawatnya
dan sebagainya dapat menyebabkan terjadinya depresi. Gejala depresi
pada usia lanjut sedikit berbeda dengan dewasa muda, dimana pada usia
lanjutterdapat gejala somatik. Pada usia lanjut rentan untuk terjadi: episode
depresi berat dengan ciri melankolik, harga diri rendah, penyalahan diri
sendiri, ide bunuh diri, penyebab terjadinya depresi merupakan gabungan
antara faktor-faktor psikologik, sosial dan biologik. Seorang usia lanjut
yang mengalami depresi bisa saja mengeluhkan mood yang menurun,
namun kebanyakan menyangkal adanya depresi. Yang sering terlihat
adalah hilangnya tenaga/energi, hilangnya rasa senang, tidak bisa tidur
atau keluhan rasa sakit dan nyeri kecemasan dan perlambatan motorik
(Gumru and Arıcıoğlu, 2012).
4.Gangguan cemas
Terbagi dalam beberapa golongan yaitu fobia, gangguan panik,
gangguan cemas umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan
obsesif-kompulsif. Pada lansia gangguan cemas merupakan kelanjutan dari
dewasa muda dan biasanya berhubungan dengan sekunder akibat penyakit
medis, depresi, efek samping obat atau gejala penghentian mendadak suatu
obat
5. Psikosis pada lansia
Terbagi dalam bentuk psikosis bisa terjadi pada lansia, baik sebagai
kelanjutan keadaan dari dewasa muda atau yang timbul pada lansia.
6.Parafrenia
Merupakan suatu bentuk skizofrenia lanjut yang sering terdapat pada
lansia yang ditandai dengan waham (curiga) yang sering lansia merasa
tetangganya mencuri barang-barangnya atau tetangga berniat
membunuhnya. Parafrenia biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi atau
diisolasi atau menarik diri dari kegiatan sosial.

D. Tips supaya lansia mau makan lahap

1. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan


Makan sendirian bisa membuat lansia malas makan atau jadi
menunda-nunda makan karena mau menunggu anggota keluarga yang lain
makan juga. Karena itu, sebisa mungkin temani orangtua atau kakek-nenek
Anda saat mereka makan.Sambil makan, ajak lansia mengobrol soal hal-
hal yang disukainya. Jangan makan sambil membicarakan hal-hal yang
sifatnya negatif atau terlalu serius. Hal itu bisa membuat lansia
menganggap waktu makan adalah saat-saat yang tidak menyenangkan dan
harus dihindari.Kalau memang ada hal penting yang harus dibicarakan,
tunggu sampai orang terkasih Anda selesai makan dan beranjak dari ruang
makan.

2. Perhatikan kebiasaan makan orang tercinta Anda

Anda harus menghafalkan kebiasaan makan lansia. Misalnya lansia


cepat bosan dengan menu yang itu-itu saja. Usahakan untuk menghadirkan
menu makanan yang beragam dan bervariasi setiap harinya. Anda bahkan
bisa mencoba untuk merancang menu makan bulanan dengan orang
terkasih Anda. Dengan begitu, ia bisa merasa lebih terlibat dan punya
kendali atas makanannya.Sementara kalau lansia adalah tipe orang yang
pilih-pilih makanan, hidangkan makanan yang memang ia sukai dan sudah
tahu rasanya. Jangan terlalu sering menyajikan makanan baru yang belum
pernah ia coba. Saat ini, kebutuhan gizinya lebih penting daripada risiko
lansia tidak mau makan karena takut mencoba menu baru.

3. Bantu lansia untuk makan

Mungkin orang terkasih Anda sebenarnya merasa lapar dan mau


makan, tetapi kesulitan melakukannya. Karena itu, temani lansia setiap
makan dan perhatikan apa saja kebutuhannya.Anda sendiri harus peka
terhadap kebutuhannya, jangan sampai lansia harus berkali-kali memberi
tahu Anda apa yang ia butuhkan. Ini karena lama-lama ia akan takut
merepotkan Anda atau merasa bahwa Anda sebenarnya tidak ingin
membantunya.Misalnya lansia kesulitan untuk memotong makanan seperti
daging. Sebaiknya bantu potong makanannya jadi lebih kecil. Kalau lansia
kesulitan mengangkat gelas minum, sediakan sedotan dan bantu orang
terkasih Anda untuk minum.

4. Penuhi kebutuhan gizinya

Lansia tidak harus langsung makan banyak sekaligus. Boleh makan


sedikit-sedikit, tapi kuncinya adalah pastikan makanannya padat gizi.
Setiap makan, lansia harus mendapatkan asupan karbohidrat, protein,
vitamin, mineral, serat, dan lemak.Anda bisa berkonsultasi dengan dokter
dan ahli gizi untuk menentukan jenis makanan apa yang boleh dan tidak
boleh dikonsumsi lansia serta minta panduan untuk memenuhi kebutuhan
gizi lansia.

5. Jaga kesehatan gigi dan mulut

Kesehatan gigi dan mulut merupakan salah satu hal yang perlu
mendapat perhatian. Kesulitan mengunyah dan tidak mau makan bisa
karena rasa tidak nyaman di mulut, mulut kering, sariawan, gigi goyang,
dan kebersihan yang buruk (termasuk perawatan gigi palsu yang kurang
baik) bisa memengaruhi kenyamanan makan.Selain itu, gigi ompong pada
lansia juga memengaruhi pemilihan makanan. Karena itu, sebaiknya
temani lansia untuk periksa ke dokter gigi kalau ada keluhan tertentu dan
untuk kontrol rutin.

6. Perhatikan obat-obatan yang dikonsumsi lansia

Penggunaan obat-obatan untuk kondisi tertentu bisa menyebabkan


menurunnya kemampuan tubuh dalam menyerap nutrisi tertentu, gangguan
pencernaan, dan penurunan nafsu makan.Karena itu, catat semua jenis obat
yang digunakan oleh orang terkasih Anda dan beri tahu dokter kalau ada
perubahan pola makan pada lansia. Misalnya kalau lansia jadi tidak mau
makan.Sebelum mengonsumsi jenis obat baru, Anda juga sebaiknya tanya
dulu ke dokter dan apoteker apakah akan menimbulkan efek samping yaitu
kehilangan nafsu makan.

7. Bujuk lansia agar mau makan dengan penuh kesabaran

Coba ingat-ingat waktu Anda masih kecil dulu. Semakin dipaksa dan
dimarah-marahi agar makan, Anda semakin tidak nafsu makan, bukan?
Begitu juga dengan lansia.Karena itu, saat membujuk lansia agar mau
makan, Anda harus banyak bersabar dan selalu gunakan nada bicara yang
positif, enteng, dan ceria. Jangan malah diancam seperti, “Kalau ayah tidak
makan sekarang juga, nanti aku tidak akan siapkan makanan apa pun buat
ayah.”

IBU HAMIL DAN MENYUSUI

Proses kehamilan di dahului oleh proses pembuahan satu sel


telur yang bersatu dengan sel spermatozoa dan hasilnya akan
terbentuk zigot. Zigot mulai membelah diri satu sel menjadi dua sel,
dari dua sel menjadi empat sel dan seterusnya. Pada hari ke empat
zigot tersebut menjadi segumpal sel yang sudah siap untuk menempel
/ nidasi pada lapisan dalam rongga rahim (endometrium). Kehamilan
dimulai sejak terjadinya proses nidasi ini. Pada hari ketujuh gumpalan
tersebut sudah tersusun menjadi lapisan sel yang mengelilingi suatu
ruangan yang berisi sekelompok sel di bagian dalamnya. Sebagian
besar manusia, proses kehamilan berlangsung sekitar 40 minggu (280
hari) dan tidak lebih dari 43 minggu (300 hari).
Kehamilan yang berlangsung antara 20 – 38 minggu disebut
kehamilan preterm, sedangkan bila lebih dari 42 minggu disebut
kehamilan postterm. Menurut usianya, kehamilan ini dibagi menjadi 3
yaitu kehamilan trimester pertama 0 – 14 minggu, kehamilan
trimester kedua 14 – 28 minggu dan kehamilan trimester ketiga 28 –
42 minggu. Bagi Ibu yang sedang hamil atau menyusui sebaiknya
hati-hati dalam mengkonsumsi obat-obatan yang mungkin dapat
menghilangkan keluhan sakit seorang tapi, mungkin obat tersebut
dapat berbahaya bagi janin maupun bayi yang dikandung oleh ibu
tersebut. Apapun yang dikonsumsi akan mempengaruhi janin dan bayi
termasuk apapun yang dioleskan diluar tubuh. Penggunaan suplemen
atau obat-obatan pada trisemester pertama sangat berbahaya karena
pada periode tersebut terjadi proses pembentukan organ
(organosenesis).
Penggunaan obat sembarang pun, termasuk obat yang dijual
bebas sebaiknya dihindari oleh ibu menyusui, karena obat yang
dikonsumsi ibu diseskresikan memlalui ASI yang diminum bayi
sehingga menyebabkan kadar obar dalam tubuh ibu sama dengan
kadar obat dalam tubuh bayi. Tentunya hal ini akan sangat
membahayakan bagi si bayi.
Penggunaan obat selama kehamilan merupakan suatu masalah
khusus. Selama beberapa dekade diperkirakan bahwa plasenta
berfungsi sebagai rintangan (barrier) yang melindungi janin terhadap
efek merugikan dari obat-obat. Tetapi ternyata bahwa kebanyakan
obat dapat secara pasif menembus atau ditranspor secara aktif melalui
plasenta. Periode intra-uterin selama 2 pekan sampai tiga bulan
merupakan masa perkembangan; janin yang sangat peka terhadap efek
obat yang dapat mengakibatkan malformasi, karena pada masa inilah
terbentuknya organ-organ utama.
Apapun yang seorang wanita hamil makan atau minum dapat
memberikan pengaruh pada janinnya. Seberapa banyak jumlah obat
yang akan terpapar ke janin tergantung dari bagaimana obat tersebut
diabsorpsi (diserap), volume distribusi, metabolisme, dan ekskresi
(pengeluaran sisa obat). Penyerapan obat dapat melalui saluran cerna,
saluran napas, kulit, atau melalui pembuluh darah (suntikan
intravena). Kehamilan sendiri mengganggu penyerapan obat karena
lebih lamanya pengisian lambung yang dikarenakan peningkatan
hormon progesteron. Volume distribusi juga meningkat selama
kehamilan, estrogen dan progesteron mengganggu aktivitas enzim
dalam hati sehingga berpengaruh dalam metabolisme obat. Ekskresi
oleh ginjal juga meningkat selama kehamilan.
Aturan pemakaian obat pada ibu hamil Sebelum memakai obat,
atasi gejala penyakit dengan banyak beristirahat dan makan makanan
bergizi. Terutama pada trisemester pertama kehamilan yang sangat
rentan terhadap efek samping obat-obatan. Kalau pun harus
mengonsumsi obat, dapatkan dengan resep dokter. Selama hamil,
hindari penggunaan obat polifarmasi yaitu gabungan lebih dari empat
macam obat dalam satu racikan. Cari tahu apakah obat yang akan
dikonsumsi aman bagi ibu hamil dan janin lewat catatan penggunaan
produk yang dilampirkan dalam kemasan. Kalau keterangan itu tidak
ditemukan, mintalah keterangan dari apoteker atau konsultasikan kepada
dokter kebidanan dan kandungan. Efek penggunaan obat dari penyakit si
ibu Dalam penentuan peran obat terhadap janin, jangan pula
dilupakan bahwa penyakit yang diderita si ibu dapat merupakan risiko
pada janin. Misalnya ibu penderita tekanan darah tinggi atau kanker
lebih cenderung untuk bayinya menderita pertumbuhan intra-uterin
yang terhambat. Juga ibu hamil yang menderita epilepsi atau diabetes
condong untuk melahirkan bayi dengan malformasi. Jenis obat-obatan
diantaranya adalah :
1. Antibiotik dan antiinfeksi lain
2. Obat-obatan untuk saluran napas bagian atas
3. Obat-obatan untuk gangguan pencernaan
4. Analgesik (anti nyeri)
5. Obat-obat gangguan psikiatri
6. Vitamin dan mineral
7. Obat-obatan Narkotik
8. Anti kejang
9. Obat sakit kepala
10. Obat anti kanker
11. Antikoagulan (pembekuan darah)
12. Obat Anti Hipertensi

DAFTAR PUSTAKA

Murini, Tri. 2013. Bentuk Sediaan Obat (BSO) Dalam Preskripsi. UGM-
Press. Yogyakrta
Australian Drug Evaluation Committee (1989) Medicine in Pregnancy.
Australian Goverment Publishing Service,Canberra.
Katzung BG (1987) Basic and Clinical Pharmacology,3rd edition.
Lange Medical Book, California.
Suryawati S et al (1990), Pemakaian Obat pada
Kehamilan.Laboratorium Farmakologi Klinik FK-UGM, Yogyakarta
Tan Hoan Tjay.Drs & Kirana Rahardja.Drs (2007) Obat-Obat Penting.
PT Elex Komputindo. Gramedia: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai