Anda di halaman 1dari 32

Makalah Fitokimia II

Isolasi Flavonoid (Ekstraksi, Fraksinasi, dan Kristalisasi)

Disusun oleh :
Agnes Tanubrata 1706034092
Fadel Muhammad R. 1706034312
Farah Salsabila 1706974416
Frederick 1706034180
Hana Kristina T. 1706034363
Hanna C. Ginting 1706034350
Irene Melinia 1706974441
Rosalina Mesusi S. 1706022666
Sarah A. Kherid 1706026020
Willy Leopatti J. 1706034464

Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia
2019
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah untuk mata kuliah Fitokimia II mengenai
Isolasi Flavonoid pada waktu yang telah ditentukan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu Nuraini Puspitasari, M.Farm., Apt.
selaku dosen pengampu mata kuliah Fitokimia II yang telah membimbing penulis dalam
menyusun makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan semua pihak yang
terlibat dalam penyusunan makalah ini.
Penulisan makalah ini bertujuan guna memenuhi tugas mata kuliah Fitokimia II. selain
itu, makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi kami sebagai
penulis, maupun bagi pembaca, dan juga diharapkan dapat memenuhi harapan dosen selaku
pemberi tugas.
Di samping itu, penulis menyadari segala kekurangan dan ketidaksempurnaan pada
penyusunan makalah ini. Maka dari itu, penulis sangat terbuka dengan saran dan kritikan demi
perbaikan makalah di masa mendatang.

Depok, 09 September 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 3
BAB I 5
PENDAHULUAN 5
1.1 Latar Belakang 5
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan 5
1.4 Manfaat 6
BAB II 7
ISI 7
2.1 Ekstraksi 7
2.1.1 Ekstraksi Flavonoid Secara Umum 7
2.1.2 Ekstraksi Konvensional 9
2.1.2.1 Ekstraksi Maserasi 9
2.1.2.2 Ekstraksi Perkolasi 10
2.1.2.3 Ekstraksi Soxhlet 10
2.1.2.3 Ekstraksi Reflux 10
2.1.3 Ekstraksi Modern 11
2.1.3.1 Ultrasound Assisted Extraction (UAE) 11
2.1.3.2 Microwave Assisted Extraction (MAE) 11
2.1.3.3 Ekstraksi Ion Liquid 12
2.1.3.4 Supercritical Fluid Extraction 12
2.2 Fraksinasi 13
2.2.1 Kromatografi Kertas 13
2.2.2 KLT (Kromatografi Lapis Tipis) 15
2.2.3 HPLC (High Performance Liquid Chromatography) 18
2.3 Kristalisasi 21
2.3.1 Prinsip Kristalisasi 22
2.3.2 Proses Kristalisasi 22
2.3.3 Jenis Kristalisasi 23
2.3.4 Kristalizer 23
2.4 Jurnal Isolasi Flavonoid 24
2.4.1 Isolasi Flavonoid dari Senna siamea Lamk 24

3
2.4.1.1 Pendahuluan 24
2.4.1.2 Isolasi Flavonoid 25
2.4.1.3 Identifikasi 26
2.4.2 Isolasi Flavonoid dari Eichhornia crassipes 27
2.4.2.1 Pendahuluan 27
2.4.2.2 Isolasi Flavonoid 28
2.4.2.3 Identifikasi 28
BAB III 30
PENUTUP 30
3.1 Kesimpulan 30
3.2 Saran 30
DAFTAR PUSTAKA 31

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Flavonoid merupakan kelompok senyawa polifenolik yang terdistribusi luas


pada hampir semua tumbuhan. Senyawa ini terdapat pada semua bagian tumbuhan
termasuk daun, akar, kayu, bunga, dan biji (Harborne, 1987). Pada tahun 1960-an
dilakukan penelitian tentang flavonoid oleh para ilmuwan. Penelitian ini dilakukan
karena ketertarikan mereka terhadap peran flavonoid sebagai pemberi warna pada
bunga, buah, dan dedaunan; dan terutama ketertarikan pada biosintesis flavonoid serta
distribusinya. Dengan demikian, sejak saat itu flavonoid dikenal sebagai metabolit
sekunder yang disimpan di vakuola sel tumbuhan.

Flavonoid digolongkan berdasarkan penambahan rantai oksigen dan perbedaan


distribusi dari gugus hidroksil antara lain flavon, isoflavon, flavonol, flavanon, khalkon,
dan auron (Mabry et al, 1970). Di alam, flavonoid lebih banyak terdapat dalam bentuk
glikosida flavonoid. Glikosida flavonoid tersusun atas aglikon dan gugus gula.
Pengaruh glikosilasi menyebabkan flavonoid menjadi kurang reaktif dan lebih mudah
larut dalam air; sifat terakhir ini memungkinkan penyimpanan flavonoid di dalam
vakuola sel tumbuhan. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan mengenai metode
ekstraksi hingga isolasi yang tepat untuk memperoleh gugus flavonoid yang diinginkan.
Makalah ini merupakan studi pustaka mengenai isolasi flavonoid berdasarkan pada
beberapa hasil penelitian yang sudah dipublikasikan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana proses isolasi senyawa Flavonoid dari simplisia ?
2. Bagaimana proses ekstraksi senyawa Flavonoid dari simplisianya ?
3. Bagaimana proses fraksinasi dalam isolasi Flavonoid?
4. Bagaimana proses kristalisasi isolat flavonoid ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui proses isolasi senyawa Flavonoid secara umum
2. Mengetahui proses isolasi senyawa golongan Flavonoid secara spesifik
3. Mengetahui proses ekstraksi senyawa Flavonoid secara umum
4. Mengetahui proses fraksinasi senyawa Flavonoid secara umum

5
5. Mengetahui proses kristalisasi senyawa Flavonoid secara umum
1.4 Manfaat

Makalah diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan


mengenai proses dari isolasi senyawa flavonoid.

6
BAB II
ISI

2.1 Ekstraksi
2.1.1 Ekstraksi Flavonoid Secara Umum

Flavonoid terdapat di hampir semua bagian tanaman, antara lain terdapat pada
akar, kayu, kulit kayu, daun, buah dan bunga, dan metode ekstraksi tergantung pada
tingkat tertentu baik pada bahan sumber maupun Jenis flavonoid yang diekstraksi
Adapun Flavonoid dalam simplisia segar/tidak dikeringkan dapat terdegradasi
oleh aktivitas enzimatis. oleh karena itu untuk mencegah hal tersebut, maka untuk
ekstraksi sebaiknya digunakan simplisia yang telah dikeringkan.
Langkah-langkah Ekstraksi
Pra Pengeringan Bahan Tanaman
● Pra-pengeringan biasanya dilakukan untuk meningkatkan hasil ekstraksi
dengan memecah struktur dari sel sehingga dapat meningkatkan akses
pelarut yang digunakan.
● Memilih pelarut yang digunakan berdasarkan polaritasnya.
● Biasanya pelarut yang kurang polar digunakan untuk ekstraksi aglikon
dari flavonoid.
● Aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon, dan
dihidroflavanon, atau flavon dan flavonol yang dimetilasi tinggi
biasanya diekstraksi dengan pelarut seperti benzene, kloroform, eter atau
etil asetat.
● Pelarut yang polar digunakan untuk mencari flavonoid glikosida atau
antosianin.
● Pra-ekstraksi dengan petroleum atau heksana sering dilakukan untuk
menyingkirkan bahan tanaman sterol, karotenoid, klorofil, dll.
Ekstraksi Flavonoid (secara umum) Commented [U1]: Buat bagannya agar lebih mudah
dimengerti
● Dengan Pelarut Alkohol
Untuk bahan yang masih segar diekstraksi dengan etanol 95%
didihkan selama 5-10 menit, sedangkan serbuk tanaman yang telah
dikeringkan dapat diekstraksi dengan etanol 80% pada temperatur kamar
8-24 jam. Ekstraksi yang didapat diuapkan, kemudian ditambah air

7
panas dengan tujuan memisahkan klorofil, lemak dan lilin dari senyawa
flavonoid. Setelah dipisahkan, filtrate yang diperoleh dapat langsung
dipakai untuk isolasi.
● Dengan pelarut air
Ekstraksi dengan pelarut air merupakan prosedur umum untuk
ekstraksi glikosida flavonoid dari daun,bunga,dan buah. Selain itu
ekstraksi dengan air panas dari ekstrak kental alkohol dapat
menghilangkan klorofil,lemak dan lilin.Kemudian ekstrak air yang encer
diekstraksi dengan pelarut etil asetat atau n-butanol. Fase etil asetat atau
n-butanol dipekatkan, maka kadang-kadang akan timbul Kristal
glikosida flavonoid secara langsung.
● Metode charaux-paris
Metode ini cocok digunakan untuk ekstraksi flavonoid karena
pada metode ini hasil dari ekstraksi yang diperoleh dapat dipisahkan
berdasarkan kelarutannya. Larutan pengekstraksi yang digunakan adalah
metanol karena flavonoid mudah larut dalam metanol.
Langkah-langkah ekstraksi dengan metode ini adalah:
1. Serbuk tanaman diekstraksi dengan metanol kemudian ekstrak
metanol diuapkan sehingga didapatkan ekstrak kental.
2. Ekstrak kental yang diperoleh ditambah air panas dalam jumlah
yang sama sehingga → didapatkan ekstrak air yang encer.
3. Ekstraksi air ditambah eter dan dilakukan ekstraksi kocok.
4. Selanjutnya fase eter dipisahkan dari fase airnya.
5. Fase eter diuapkan →akan diperoleh ekstrak eter yang kering
(dari ekstrak kering ini kemungkinan didapatkan flavonoid
dalam bentuk bebas).
6. Sedangkan fase air dari hasil pemisahan tersebut ditambah
pelarut etil asetat →dilakukan ekstraksi kocok→ kedua fase
dipisahkan.
7. Fase etil asetat diuapkan sampai kering dan kemungkinan
didapatkan flavonoid dalam bentuk o-glikosida. Sedangkan fase
air ditambah pelarut n-butanol dan dilakukan ekstraksi kocok,
kemudian kedua fase dipisahkan.

8
8. Fase n-butanol diuapkan maka akan didapatkan ekstrak n-
butanol yang kering dan kemungkinan di dalam ekstrak tersebut
terdapat flavonoid dalam bentuk c-glikosida dan
leukoantosianin.
9. Dari ketiga fase yang didapatkan tersebut →dapat langsung
dipisahkan.
2.1.2 Ekstraksi Konvensional

2.1.2.1 Ekstraksi Maserasi Commented [U2]: Berikan contoh flavonoid

Maserasi merupakan proses pengekstrakan simplisia dengan


menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan
prinsip metode pencapaian konsentrasi pada kesetimbangan. Maserasi kinetik
berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti
dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan
maserat pertama, dan seterusnya. Prinsip dari maserasi adalah perendaman
(ekstraksi yang dilakukan dengan merendam serbuk/simplisia dalam pelarut
atau zat penyari yang sesuai selama beberapa hari pada temperatur tertentu dan
terlindung dari cahaya) dan difusi (zat penyari akan masuk kedalam sel tanaman
melalui dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif.
Zat aktif akan terlarut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan
didalam sel dan diluar sel. Peristiwa ini berulang hingga terjadi kesetimbangan).
Pelarut yang sering digunakan dalam proses maserasi adalah air, etanol,
campuran air-etanol, heksan, toluene, dietil eter, dan sebagainya.
Cara kerja maserasi:
1) Serbuk simplisia dimasukkan kedalam bejana maserasi
2) Kedalam bejana dimasukkan pelarut atau zat penyari sampai serbuk
simplisia terendam
3) Bejana ditutup rapat kemudian diaduk atau dikocok berulang-ulang agar
pelarut dapat masuk ke seluruh permukaan simplisia
4) Rendaman tersebut dibiarkan sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh
kompendial, sambil sesekali diaduk/dikocok

9
5) Setelah waktu yang ditentukan, ekstrak cair tersebut disaring dan akan
diuapkan pelarutnya sehingga diperoleh ekstrak kental.
Ekstraksi maserasi memberikan beberapa keuntungan, seperti: proses
dan peralatan sederhana, biaya operasional relatif rendah, dapat mencegah
rusaknya zat yang bersifat termolabil. Selain keuntungan, terdapat juga
beberapa kerugian, seperti: waktu yang dibutuhkan cukup lama, beberapa
senyawa yang sulit diekstraksi pada suhu kamar.

2.1.2.2 Ekstraksi Perkolasi Commented [U3]: Berikan contoh flavonoid

Perkolasi adalah proses ekstraksi dengan mengalirkan pelarut ke


simplisia secara terus menerus. Perkolasi dapat dilakukan pada suhu ruang
(perkolasi dingin) ataupun dengan suhu rendah (perkolasi panas).

2.1.2.3 Ekstraksi Soxhlet Commented [U4]: Berikan contoh flavonoid

Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang


umumnya dilakukan dengan adalah soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
Sokhletasi dilakukan setelah beberapa kali siklus turunnya pelarut yakni dengan
melihat intensitas warna pelarut yang turun dari tabung sampel.
Ekstraksi soxhlet adalah metode ekstraksi padat-cair yang sering
digunakan di laboratorium sintetik atau analitik dan diperlukan bila senyawa
yang diinginkan hanya menunjukkan kelarutan terbatas dalam pelarut, dan
pengotornya tidak larut dalam pelarut tersebut. Singkatnya, prinsip kerja
ekstraksi Soxhlet dapat digambarkan sebagai refluks berbasis pelarut.

2.1.2.3 Ekstraksi Reflux Commented [U5]: Berikan contoh flavonoid

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,


selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu
pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.
Pada labu destilasi, simplisia ditambahkan pelarut yang sesuai lalu dihubungkan
dengan refluks dan kondensor. Tempatkan labu destilasi pada pemanas dan jika
pelarut mencapai titik didih, uap akan terkondensasi. Setelah proses refluks

10
selesai maka maserat dapat diambil dan disaring. Kelebihan metode ini adalah
waktu singkat dan pelarut yang digunakan relatif sedikit jumlahnya sedangkan
kekurangan dari ekstraksi secara refluks adalah zat yang bersifat termolabil akan
cenderung terdegradasi.

2.1.3 Ekstraksi Modern

2.1.3.1 Ultrasound Assisted Extraction (UAE) Commented [U6]: Berikan contoh jenis flavonoid yang
diekstraksi

Ultrasound Assisted Extraction (UAE) merupakan metode ekstraksi


dengan cara memberikan gelombang ultrasonik pada suatu bahan yang akan
diperlakukan ekstraksi. Pada beberapa penelitian, metode Ultrasound Assisted
Extraction (UAE) dapat diterapkan untuk ekstraksi senyawa fitokimia,
contohnya adalah flavonoid dari berbagai tanaman. Ekstraksi dengan metode ini
dapat menyebabkan efek kavitasi pada dinding dan membran sel tanaman karena
besarnya amplitudo yang digunakan. Efek kavitasi yang terjadi mengakibatkan
penetrasi pelarut yang lebih baik sehingga meningkatkan laju perpindahan zat
aktif dari sel ke pelarut dan laju perpindahan massa pada jaringan. Pada metode
Ultrasound Assisted Extraction (UAE), banyak faktor yang mempengaruhi
seperti ukuran partikel, jenis pelarut, temperatur, pH media ekstraksi. Tetapi
faktor yang paling mempengaruhi jumlah komponen yang diekstrak adalah
intensitas amplitudo dan waktu.

Prinsip utama yang digunakan pada metode Ultrasound Assisted


Extraction (UAE), penggunaan gelombang ultrasonik yang ditransmisikan pada
pelarut mengakibatkan efek kavitasi pada sekeliling bahan sehingga terjadi
pemanasan yang menghasilkan senyawa ekstrak. Efek mekanik yang terjadi
seperti pemecahan dinding sel mengakibatkan peningkatan transfer massa yaitu
proses difusi senyawa fitokimia. Pada suatu penelitian yaitu ekstraksi flavonoid
pada daun jati, biasanya digunakan pelarut etanol 70% yang bersifat semipolar
dengan tujuan seluruh jenis flavonoid yang terkandung dapat terekstraksi.

2.1.3.2 Microwave Assisted Extraction (MAE) Commented [U7]: Berikan contoh jenis flavonoid yang
diekstraksi

Microwave Assisted Extraction (MAE) merupakan metode hasil


modifikasi dari ekstraksi maserasi dengan pemanasan gelombang mikro yang

11
bertujuan untuk mempersingkat waktu ekstraksi, meningkatkan efektivitas kerja
ekstraksi, dan menurunkan banyaknya pelarut yang digunakan. Pemanasan dari
gelombang mikro mengakibatkan air pada sel bahan menguap dan mengalami
swelling sehingga meregang dan akhirnya pecah. Hal tersebut menyebabkan
analit mudah keluar dan terekstrak oleh pelarut. Keuntungan dari penggunaan
metode Microwave Assisted Extraction (MAE) adalah penggunaan pelarut yang
lebih sedikit sehingga metode lebih efisien, ramah lingkungan, dan rendah
energi serta lebih efektif daripada metode maserasi karena rendemen yang
dihasilkan lebih tinggi.

2.1.3.3 Ekstraksi Ion Liquid Commented [U8]: Berikan contoh jenis flavonoid yang
diekstraksi

Ekstraksi Ion Liquid adalah metode ekstraksi menggunakan ion liquid


sebagai pelarut karena karakteristiknya yang dianggap baik seperti stabil pada
suhu tinggi, tidak beracun, tidak menguap dan tidak terbakar. Ion liquid adalah
cairan yang hanya terdiri dari ion biasanya garam dari kation organik dan anion
anorganik. Cairan ini memiliki titik leleh di bawah 100. Ion liquid dianggap
sebagai pelarut yang ramah lingkungan sebagai pelarut dalam sintesis kimia,
katalis, dan ekstraktan untuk berbagai biomolekuler. Dalam beberapa penelitian,
dibuktikan bahwa ion liquid dapat menggantikan pelarut organik lainnya
dikarenakan sifat yang sulit menguap dibandingkan pelarut organik lainnya.
Tetapi penggunaan ion liquid masih memiliki beberapa kekurangan yaitu biaya
produksi yang cukup mahal.

2.1.3.4 Supercritical Fluid Extraction Commented [U9]: Berikan contoh jenis flavonoid yang
diekstraksi

Supercritical Fluid Extraction merupakan alternatif metode ekstraksi


untuk mengambil bahan bioaktif pada tanaman herbal. Metode ini dilakukan
pada suhu yang rendah untuk meningkatkan kualitas produk thermosensitif.
Kelebihan menggunakan metode Supercritical Fluid Extraction adalah tidak
beracun, waktu ekstraksi yang lebih pendek, kelarutan yang lebih tinggi,
alternatif ramah lingkungan, jumlah pelarut yang digunakan lebih sedikit karena
pelarutnya dapat di daur ulang (recycle) dan mengurangi masalah degradasi
termal senyawa tertentu. Tetapi metode ini juga memiliki kekurangan yaitu

12
ekstraksi senyawa-senyawa polar sangat dibatasi dengan kekuatan dari pelarut
CO2. Komponen dari metode Supercritical Fluid Extraction adalah

i. Kompresor gas atau pompa


ii. Persediaan CO2
iii. Oven atau zona pemanasan
iv. Tangki ekstraksi
v. Restriktor pengeluaran
vi. Akumulator ekstrak atau kolektor
2.2 Fraksinasi
2.2.1 Kromatografi Kertas Commented [U10]: Tambahkan contoh flavonoid (ada
di PPT)

Kromatografi yang menggunakan kertas selulosa murni yang


mempunyai afinitas besar terhadap air atau pelarut polar lain dengan
membentuk ikatan hidrogen. Suatu metode pemisahan dimana komponen yang
akan dipisahkan terdistribusi diantara 2 fase yaitu fase diam berupa molekul air
yang terikat pada selulosa kertas dan fase geraknya berupa zat cair. Berprinsip
pemisahan senyawa berdasarkan distribusi senyawa antara dua fase, fase diam
dan fase gerak. Fase diam berupa air yang terikat pada selulosa kertas sedangkan
fase geraknya berupa pelarut organik non polar (pelarut yang sesuai). Pemisahan
pada kromatografi kertas terjadi karena perbedaan kelarutan zat-zat dalam
pelarut serta perbedaan penyerapan (absorpsi) kertas terhadap zat-zat yang akan
dipisahkan. Zat yang lebih larut dalam pelarut dan kurang ter absorpsi pada
kertas akan bergerak lebih cepat. Sedangkan zat yang kurang larut dalam pelarut
dan lebih ter absorpsi pada kertas akan tertinggal atau bergerak lebih lama.

Kromatografi Kertas memiliki 2 jenis yaitu yang pertama Descending


atau Kromatografi Kertas Menurun yang merupakan metode yang lebih cepat
dibandingkan metode lainnya karena pelarut mengalir dari atas ke bawah, sesuai
dengan arah gaya gravitasi menggunakan bejana yang dilengkapi dengan lubang
untuk memasukkan pelarut, bak pelarut, dan batang penahan kertas. Lalu yang
kedua Ascending atau Kromatografi Kertas Menaik menggunakan bejana yang
lebih sederhana (dapat menggunakan tabung reaksi atau gelas ukur). Metode ini
biasanya untuk melakukan penelitian yang cepat guna menentukan sistem
pelarut yang cocok. Kertas yang telah ditotol ke sampel dicelupkan ke dalam

13
pelarut dalam bejana namun totolan sampel jangan terendam. Pelarut akan
merambat ke atas melalui totolan sampel menggunakan daya kapiler. Laju
perambatan yang terjadi cenderung pelan tetapi hal tersebut dapat memperbesar
kemungkinan mencapai keadaan keseimbangan dan sering menghasilkan bercak
yang jelas.

Kromatografi Kertas (KK) memiliki langkah kerja yaitu, gunting kertas


kromatografi berukuran 1,5 x 12 cm (sesuai dengan tabung kromatografi yang
tersedia). lubangi salah satu ujungnya untuk menggantungkan penyangga. Beri
tanda garis kurang lebih 1 cm dari ujung kertas bagian bawah dengan pensil.
Teteskan zat sampel yang akan diperiksa komponennya pada garis batas tersebut
dengan menggunakan bantuan pipa kapiler, keringkan dan ulangi penetesan ±
3x. Pasang tabung kromatogram (tabung reaksi besar) pada statif. Selanjutnya
isi dengan eluen yang sesuai dengan komponen yang akan dipisahkan (cari
dalam textbook atau handbook). Masukan kertas kromatogram tersebut ke
dalam tabung kromatogram, atur penyangga sehingga kertas kena eluen (eluen
tidak boleh kena pada noda). Biarkan eluen naik sampai mendekati ujung kertas
kromatogram, kemudian angkat dan beri tanda batas akhir eluen, lalu keringkan.
Apabila noda yang dihasilkan belum jelas semprot dengan pereaksi yang cocok.

Hitung Rf-nya dan tentukan berapa komponen yang terdapat dalam zat sampel.
Cara untuk mendapatkan nilai Rf dengan menggunakan rumus dibawah ini:

Nilai Rf akan menunjukkan identitas suatu senyawa karena nilai ini


karakteristik untuk suatu senyawa pada pelarut tertentu. Beberapa faktor yang
mempengaruhi harga Rf adalah:

1. Pelarut: perubahan yang sangat kecil dari komposisi pelarut akan


menyebabkan harga Rf berubah
2. Suhu perubahan: suhu menyebabkan perubahan koefisien partisi dan
kecepatan alir
3. Ukuran bejana: volume bejana mempengaruhi homogenitas atmosfer
sehingga mempengaruhi kecepatan penguapan pelarut dari kertas

14
4. Kertas: jenis kertas akan mempengaruhi kecepatan alir dan kesetimbangan
partisi
5. Sifat dari campuran

2.2.2 KLT (Kromatografi Lapis Tipis)

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pemisahan


senyawa berdasarkan prinsip bahwa setiap komponen mempunyai perbedaan
polaritas dan akan mengadsorpsi fase diam (adsorben), dan akan tertarik oleh
fase gerak dengan kecepatan yang berbeda-beda. Pada proses pemisahan
senyawa. Kromatografi lapis tipis juga cocok untuk skrining awal ekstrak
tumbuhan sebelum analisis HPLC. Biasanya digunakan untuk jumlah sampel
miligram, namun jumlah gram juga dapat ditangani jika campurannya tidak
terlalu kompleks
Keuntungan dari metode kromatografi lapis tipis :
● Sederhana
● Waktu pemisahan yang singkat
● Kemampuan untuk mendeteksi reagen
● Kemungkinan menjalankan beberapa sampel pada waktu yang
bersamaan.
● Murah
Fase diam yang sering digunakan dalam proses pemisahan senyawa
flavonoid adalah silika gel dan selulosa. Pada fase gerak yang digunakan
bervariasi disesuaikan dengan kepolaran dari senyawa flavonoid yang akan
dipisahkan. Fase diam silika gel dapat digunakan sebagai fase diam polar

15
maupun non polar. Pada fase diam polar merupakan silica gel yang dibebaskan
dari air, bersifat sedikit asam dan untuk fase diam non polar terbuat dari silika
yang dilapisi dengan senyawa non polar misalnya, lemak, parafin, minyak
silikon raber gom, atau lilin. Untuk silica gel sebagai fase diam non polar dapat
menggunakan fase gerak air yang polar dapat digunakan sebagai eluen. Fase
diam ini dapat memisahkan banyak senyawa, namun elusinya sangat lambat dan
hasil uji ulangnya kurang bagus (Sumarno, 2001). Silica gel memiliki berbagai
macam ukuran seperti 20x20 cm, 10x20 cm, atau 5x10 cm. Silica gel terkadang
ditambah senyawa fluoresensi sehingga saat disinari dengan sinar UV dapat
berfluoresensi sehingga dikenal dengan silica gel GF254 yang berarti silica gel
dengan fluoresensi pada 254 nm. Selanjutnya untuk fase diam selulosa memiliki
polaritas yang tinggi sebagai pemisah secara partisi, baik dengan bentuk kertas
maupun bentuk lempeng (sering digunakan untuk pemisahan flavonoid),
memiliki ukuran partikel yang digunakan kira-kira 50 µm, maka elusinya lebih
lambat. Fase diam ini sekarang sudah diganti dengan bubuk selulosa yang dapat
dilapiskan pada kaca seperti halnya fase diam yang lain sehingga lebih efisien
dan lebih banyak digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa polar atau
isomer (Sumarno, 2001).

Fase gerak yang digunakan pada metode kromatografi lapis tipis


bervariasi tergantung dari kepolaran senyawa flavonoid yang ingin dipisahkan.
Flavon dan flavonol yang sangat teretilasi/termetilasi membutuhkan pelarut
nonpolar seperti,benzen-etil asetat (3: 1), benzen : aseton (9 : 1), toluen : aseton
(19: 1),dan kloroform-metanol (15: 1). Selanjutnya untuk flavonoid seperti
apigenin, luteolin, kaempferol, mirisetin dan quercetin dapat menggunakan fase
gerak seperti,kloroform-metanol (96: 4), toluen-kloroform-aseton (8 : 5 : 7),
kloroform-asam asetat (9: 1), dan toluen-etil format-asam format (5 : 4 : 1).
Salah satu sistem yang banyak digunakan untuk glikosida flavonoid adalah etil
asetat-asam format-asam asetat glasial-air (100: 11: 11: 26). Pilihan sistem
pelarut juga memungkinkan pemisahan glukosida flavonoid dari
galaktosidiknya seperti 8-C-glucosylapigenin (vitexin) dapat dipisahkan dari 8-
C-galactosylapigenin dengan pelarut etil asetat-asam format-air (50: 4: 10).
Berikut tabel senyawa flavanoid dengan fase gerak yang digunakan untuk
pemisahan

16
Commented [U11]: Ketik ulang

Commented [U12]: Ketik ulang

Andersen, O.M. & Markham, K.R., 2006, Flavonoid Chemistry, Biochemistry and Commented [U13]: Dituliskan dalam daftar pustaka,
bukan dalam isi makalah
Applications, halaman 10-13, CRC Press.

Setelah dilakukan elusi oleh fase gerak pada plat kromatografi lapis tipis,
selanjutnya memeriksa hasil elusi pada UV. Deteksi flavonoid pada plat
kromatografi lapis tipis yang mengandung indikator fluoresen UV, seperti gel
silika GF254 biasanya dilakukan di bawah sinar UV pada 254 nm kemudian
senyawa flavonoid muncul sebagai bintik-bintik gelap dengan latar belakang
hijau neon. Pada sinar UV 366 nm senyawa flavonoid menunjukkan fluoresensi
kuning, hijau, atau biru gelap. Fluoresensi dapat dintensifkan dengan
menggunakan berbagai pereaksi semprotan. Reagen yang digunakan untuk

17
menghasilkan fluoresensi intens di bawah sinar UV 365 nm yaitu dengan
penyemprotan dengan Diphenylboric acid-b-ethylamino ester
(diphenylboryloxyethylamine) dalam methanol kemudian melakukan
penyemprotan selanjutnya dengan larutan 5% dari polietilen glikol-4000 (PEG)
dalam etanol menurunkan batas deteksi dari 10 mg (batas deteksi TLC rata-rata
untuk flavonoid) menjadi sekitar 2,5 mg. Warna yang diamati dalam sinar UV
365 nm adalah sebagai berikut:
● Quercetin, myricetin, dan 3- dan 7-O-glikosida nya : oranye-kuning.
● Kaempferol, isorhamnetin, dan 3- dan 7-O-glikosida nya : kuning-
hijau.
● Luteolin dan 7-O-glikosida nya: oranye.
● Apigenin dan 7-O-glikosida nya: kuning-hijau
Selanjurnya pereaksi semprotan yang dapat digunakan yairu Aqueous atau
methanolic ferric chloride adalah pereaksi semprot umum untuk senyawa
fenolik dan memberikan warna biru-hitam dengan flavonoid. Kemudian sitro
borat, AlCl3, NaOH, amoniak adalah pereaksi semprot yang berfluoresensi
kuning kehijauan untuk senyawa flavanoid (Harbone, 1987).

Berikut cara kerja metode kromatografi lapis tipis :

2.2.3 HPLC (High Performance Liquid Chromatography)

HPLC merupakan salah satu teknik kromatografi untuk zat cair. HPLC
memisahkan molekul berdasarkan perbedaan afinitasnya. Cairan yang akan
dipisahkan merupakan fase cair dan zat padatnya merupakan fase diam
(stasioner). Teknik ini sangat berguna untuk memisahkan beberapa senyawa
sekaligus karena setiap senyawa memiliki afinitas selektif antara fase diam dan
fase gerak tertentu. HPLC paling sering digunakan karena memiliki keuntungan
banyak yaitu, waktu analisis cepat (seringkali hanya 15 – 30 menit), daya

18
pisahnya baik, peka (tergantung pilihan detektor dan eluen yang digunakan),
pemilihan kolom dan eluen sangat bervariasi, kolom dapat dipakai kembali,
dapat digunakan untuk molekul besar dan kecil, serta ion, mudah untuk
memperoleh kembali cuplikan, Dapat menghitung sampel dengan kadar yang
sangat rendah, resolusi dan kepekaan yang tinggi, metodenya mudah, cepat, dan
efisien, serta dapat membantu peneliti untuk mendeteksi sampel dalam
konsentrasi kecil.

Flavonoid diidentifikasi dengan mencocokkan waktu retensi dan


karakteristik special sampel dan standar. Kadar kandungan dalam flavonoid
dapat ditentukan melalui kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi didapatkan dari
memplot data dari luas puncak segitiga dan konsentrasi sampel. Instrumentasi
HPLC pada dasarnya terdiri atas: wadah fase gerak, pompa, alat untuk
memasukkan sampel (tempat injeksi), kolom, detektor, wadah penampung
buangan fase gerak, dan suatu komputer atau integrator atau perekam. Diagram

skematik sistem kromatografi cair seperti ini :

● Pompa: berfungsi untuk mengalirkan eluen ke dalam kolom.

● Detektor: berfungsi untuk mendeteksi atau mengidentifikasi komponen


yang ada dalam eluat dan mengukur jumlahnya.

● Injektor: berfungsi untuk memasukkan cuplikan ke dalam kolom.

● Kolom: berfungsi untuk memisahkan masing-masing komponen.

● Integrator: berfungsi untuk menghitung luas puncak. Jenis: integrator


piringan yang bekerja secara mekanik, serta integrator digital/elektronik

19
yang dapat memberikan ketelitian tinggi dan waktu integrasi yang
singkat.

Dalam aplikasi HPLC dalam menentukan kadar flavonoid terdiri dari


beberapa tahapan untuk mendapatkan nilai kadar flavonoid yaitu persiapan
sampel dan ekstraksi sampel, profiling senyawa, isolasi KCKT, penghilang
pelarut dan perhitungan hasil. Tahap pertama yaitu persiapan dan ekstraksi
sampel sarang semut dicuci dengan air ledeng dan kemudian di bilas dengan air
suling untuk menghilangkan kontaminan yang teradsorpsi permukaan sampel.
Sampel yang sudah dibersihkan dicincang dan dikeringkan dengan freeze dryer
kemudian ditempatkan dalam oven pada 40 ◦C selama 12 jam untuk
menghapusnya sisa kelembaban. Tahap kedua yaitu profiling senyawa untuk
mengetahui sistem yang cocok digunakan untuk pemisahan. Dilakukan
pengujian dengan jenis eluen yang berbeda, dan jika memungkinkan, jenis
kolom yang berbeda. Dipilih sistem yang waktu retensinya cepat namun
menghasilkan pemisahan lebih baik. Tahap ketiga isolasi KCKT dari ekstrak
senyawa yang telah didapat. Pada isolasi, dapat digunakan recycling HPLC.
Tahap terakhit yaitu penghilangan pelarut, setelah mendapatkan senyawa yang
kita dapatkan, untuk mendapatkan senyawa yang lebih murni pelarut harus
dihilangkan bisa dengan rotary evaporator.

Untuk pemilihan pelarut pada KCKT didasarkan pada dua faktor:


polaritas dan titik didih. Pelarut yang digunakan harus memiliki karakteristik:

● Kemurnian tinggi
● Kompatibel dengan detektor
● Kompatibel dengan sampel
● Viskositas rendah
● Harga masuk akal

20
Commented [U14]: Ketik ulang

HPLC menggunakan fase gerak dan fase diam dalam fase balik dan balik
yaitu seprti tabel dibawah: memungkinkan peneliti menganalisis komponen
flavonoid secara kuantitatif pada resolusi dan kepekaan yang tinggi.

Jenis Sifat Fase Normal Fase Balik

Fase Diam (Kolom) Polar Non polar

Jenis Kolom Silika, Alumina -C18, -C8, -CN, -Fenil

Fase Gerak (Eluen) Non polar Polar

Jenis Eluen Heksana, Kloroform MeOH, H2O, CH3CN, THF

Urutan Elusi Non polar di awal Polar di awal


Polar di belakang Non polar di belakang

2.3 Kristalisasi

Kristalisasi adalah perubahan fisik/ perubahan fase dari bentuk cairan, larutan,
atau gas menjadi krisal yang merupakan padatan dengan susunan internal molekul, ion,
atau atom yang teratur (Reutzel-Edens. 2003). Dalam kristalisasi terjadi proses
pemisahan padat-cair berdasarkan supersaturasi dari larutan (Kulkarni, 2015).

21
Kristalisasi bertujuan untuk mendapatkan produk dengan derajat kemurnian yang
tinggi.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan kristalisasi adalah suhu,
pengotor, dan kekasaran permukaan. Jumlah pengotor yang sangat kecil saja dapat
menyebabkan perubahan kristal yang terbentuk. Peningkatan kekasaran akan
meningkatkan hidofobisitas.
2.3.1 Prinsip Kristalisasi Commented [U15]: Tambahkan contoh flavonoid

Prinsip kristalisasi adalah kondisi lewat jenuh/kondisi lewat dingin. Untuk


membentuk kristal, fase cair harus melewati kondisi lewat dingin. Sedangkan untuk
membentuk kristal, larutan harus melewati kondisi lewat jenuh (misalnya: garam dan
gula). Pada kondisi tidak seimbang ini, molekul-molekul pada cairan mengatur diri dan
membentuk struktur matriks kristal.
2.3.2 Proses Kristalisasi

Proses kristalisasi dimulai dengan pembentukan kondisi lewat jenuh/lewat


dingin. Kondisi lewat jenuh merupakan kondisi dimana pelarut tidak mampu
melarutkan zat terlarutnya, atau jumlah zat terlarutnya sudah melebihi kapasitas pelarut.
Kondisi lewat jenuh ini dapat dicapai dengan empat cara. Pertama, penguapan solvent,
penguapan solvent membuat konsentrasi larutan semakin pekat. Kedua, pendinginan.
Untuk larutan yang dipengaruhi suhu, seiring dengan penurunan suhu, solubilitas
padatan dalam cairan juga akan menurun. Ketiga, penambahan senyawa lain. Keempat,
dengan reaksi kimia. Sedangkan kondisi tersebut dicapai melalui pendinginan di bawah
titik leleh suatu komponen (misalnya air). Selanjutnya akan terjadi proses nukleasi yaitu
pembentukan inti kristal dari larutan jenuh. Hal ini diikuti dengan pertumbuhan kristal
dari fase nukleasi sampai mencapai keseimbangan (equilibrium state).
Dalam proses pembentukan inti kristal, terdapat beberapa parameter yang dapat
mempengaruhi proses tersebut. Parameter yang pertama yaitu kondisi lewat dingin
larutan. Semakin dingin suatu larutan, maka waktu yang diperlukan untuk membentuk
inti kristal akan semakin pendek. Parameter yang kedua adalah suhu. Penurunan suhu
akan menginduksi kristal untuk dapat cepat terbentuk. Parameter yang ketiga yaitu
sumber inti kristal. Inti yg terbentuk pada pembentukan tipe heterogen akan cenderung
mempercepat kristalisasi. Parameter yang keempat adalah viskositas. Ketika viskositas
meningkat maka pembentukan inti kristal akan terbatasi. Hal ini disebabkan oleh

22
berkurangnya pergerakan molekul pembentuk inti kristal dan terhambatnya pindah
panas sebagai energi yang membentuk inti kristal. Parameter yang kelima yaitu
kecepatan pendinginan. Semakin cepat pendingingan yang terjadi maka akan semakin
banyak inti kristal yang terbentuk. Parameter yang keenam adalah kecepatan agitasi.
Proses agitasi dapat meningkatkan laju pembentukan inti kristal dengan menyebabkan
pindah massa dan pindah panas berjalan lebih efisien. Parameter selanjutnya yaitu
bahan tambahan dan pengotor. Bahan-bahan tambahan dapat berperan untuk
membantu ataupun menghambat pembentukan inti kristal. Parameter yang terakhir
adalah densitas massa kristal. Jumlah kristal yang terdapat dalam satu unit volume
larutan akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan pada setiap kristal.
2.3.3 Jenis Kristalisasi

Dalam pengaplikasiannya, kristalisasi terbagi menjadi beberapa jenis yaitu kristalisasi


penguapan, kristalisasi pendinginan, kristalisasi pemanasan dan pendinginan, serta
kristalisasi dengan penambahan zat lain. Kristalisasi penguapan dilakukan apabila zat
yang akan dipisahkan memiliki ketahanan terhadap panas serta memiliki titik beku yang
lebih tinggi daripada titik didih pelarut. Kristalisasi pendinginan dilakukan dengan cara
mendinginkan suatu larutan. Pada saat suhu larutan tersebut turun, komponen zat yang
memiliki titik beku lebih tinggi akan mengalami pembekuan terlebih dahulu, sementara
zat lain masih dapat larut sehingga keduanya dapat dipisahkan melalui penyaringan. Zat
lain akan turun bersama dengan pelarut sebagai filtrat, sedangkan zat padat tetap berada
di atas saringan sebagai residu. Kristalisasi vakum merupakan gabungan dari dua
metode sebelumnya. Larutan panas yang jenuh akan dialirkan kedalam suatu ruangan
yang divakumkan. Panas penguapan diambil dari larutan itu sendiri, sehingga larutan
menjadi dingin dan lewat jenuh. Kristalisasi dengan penambahan zat lain dilakukan
untuk memisahkan bahan organic dari larutan yang seringkali ditambahkan suatu
garam. Garam tersebut harus memiliki kelarutan yang lebih baik daripada bahan padat
yang diinginkan sehingga terjadi desakan yang membuat bahan padat menjadi
terkristalisasi.
2.3.4 Kristalizer
Untuk dapat melakukan proses kristalisasi, alat yang digunakan dapat berupa kristalizer.
Kristalizer terbagi menjadi beberapa tipe sesuai dengan kegunaannya. Tipe kristilizer
yang pertama yaitu kristilizer tangki. Tipe kristaliser ini merupakan yang paling kuno.
Pada tipe ini, larutan jenuh, panas dibiarkan berkontak dengan udara terbuka dalam

23
tangki terbuka. Tipe kristilizer yang kedua yaitu Scraped Surface Crystallizers. Contoh
kristalizer tipe ini adalah Swenson-Walker crystallizer. Bagian luar dinding pada
kristilizer ini dilengkapi dengan jaket pendingin dan sebuah pisau pengeruk yang
mampu mengambil produk kristal yang menempel pada dinding. Tipe kristilizer yang
ketiga adalah Forced Circulating Liquid Evaporator Crystallizer. Tipe kristaliser ini
mampu mengkombinasikan antara pendinginan dan evaporasi untuk mencapai kondisi
supersaturasi. Tipe kristalizer selanjutnya yaitu Circulating Magma Vacuum
Crystallizer. Pada tipe kristaliser ini, baik kristal maupun larutan disirkulasi pada
bagian luar badan kristal. Setelah dipanaskan, larutan akan dialirkan ke badan
kristalizer. Kondisi vakum menjadi penyebab pelarut menguap, sehingga menjadi lewat
jenuh. Tipe kristilizer yang kelima yaitu Continous Laminar Shear Crystallizer.
Tipe kristalizer ini merupakan jenis nanostruktur dengan desain alat yang dilengkapi
dengan sistem pendingin. Tipe krisrilizer yang terakhir adalah Continuous Stirred Tank
Reactor Crystallizer. Pertumbuhan kristal pada kristilizer tipe ini dapat digunakan
untuk meningkatkan ukuran pertambahan luas distribusi dari penyemaian populasi
kristal serta dapat meningkatkan cakupan permukaan kristal.

2.4 Jurnal Isolasi Flavonoid Commented [U16]: Tambahkan gambar2 hasil


penelitan. Yang di PPT ditambahkan ke makalah
2.4.1 Isolasi Flavonoid dari Senna siamea Lamk

Jurnal ini berjudul “Uji Aktivitas Antioksidan Senyawa Flavonoid dari Ekstrak Etanol
Daun Johar (Senna siamea Lamk). Jurnal ini ditulis oleh Dita Widia Ningrum, Dewi Kusrini,
dan Enny Fachriyah. Jurnal ini dipublikasikan oleh Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi pada tahun
2017.
2.4.1.1 Pendahuluan

Tanaman yang digunakan pada uji adalah Senna siamea Lamk atau yang sering
dikenal sebagai tanaman Johar sebagai obat tradisional tanaman ini memiliki beberapa
fungsi seperti penyakit kuning, sakit perut, nyeri haid, mengurangi kadar gula darah,
bioaktivasi antimalaria, antioksidan, antibakteri, dan antidiabetes. Menurut peneliti
kandungan didalam ekstraksi metanol, etanol, dan etil asetat memiliki alkaloid,
flavonoid, saponin, tanin, fenol, antrakuinon, antosianin, dan glikosida jantung.

24
2.4.1.2 Isolasi Flavonoid

Tanaman Senna siamea Lamk diuji penapisan fitokimia terlebih dahulu


mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam serbuk dan
ekstrak etanol daun johar. Serbuk daun johar sebanyak 1475 gram dimaserasi
menggunakan pelarut etanol 96%, disaring dan dievaporasi hingga diperoleh ekstrak
kental etanol sebanyak 133,33 gram. Ekstrak kental etanol tersebut kemudian
dihilangkan klorofilnya sehingga menghasilkan fraksi etanol-air yang akan difraksinasi
menggunakan n-heksana. Fraksi etanol-air yang terbentuk akan dihidrolisis dengan
metode refluks menggunakan HCl 2N. Proses hidrolisis dilakukan untuk memutus
ikatan O-glikosida pada kerangka flavonoid sehingga terbentuk flavonoid bebas dan
gula. Flavonoid bebas dalam campuran dapat diambil dengan fraksinasi menggunakan
etil asetat. Fraksi etil asetat tersebut kemudian diuapkan untuk menghilangkan
pelarutnya dan kemudian didapatkan fraksi etil asetat sebanyak 7,95 gram.

25
Fraksi etil asetat tersebut kemudian dilakukan pemisahan dengan kromatografi
vakum cair dengan fase diam silika gel 60 GF254 dan fase gerak kloroform, etil asetat
dan etanol. Eluat kemudian ditampung dalam botol vial dan masing-masing botol vial
dianalisis menggunakan KLT dan diberi penampak bercak uap ammonia. Hasil KLT
tersebut kemudian dilihat pada sinar UV. Pola noda yang sama digabung menjadi satu
(Fraksi I). Setelah itu fraksi I dipisahkan dengan kromatografi kolom gravitasi dengan
fase diam silika gel 60 H, fase gerak kloroform, etil asetat, dan butanol dengan
perbandingan (7:2,5:0,5). Eluat yang dihasilkan ditampung dan dianalisis kembali
menggunakan KLT. Pola noda yang sama pada hasil analisis KLT digabung menjadi
fraksi-fraksi besar (Fraksi A,B,C,D,E, dan F). Kemudian dilakukan analisis
menggunakan KLT dan diberi penampak bercak uap ammonia. Fraksi yang positif
flavonoid dipisahkan dengan KLT preparatif sehingga didapatkan isolat flavonoid.
Isolat flavonoid dilakukan uji kemurnian dengan KLT berbagai eluen tunggal dan
campuran serta KLT dua dimensi.

2.4.1.3 Identifikasi
Isolat flavonoid yang didapat diidentifikasi strukturnya menggunakan alat
Spektrofotometer UV-VIS dan FTIR. Spektrum yang dihasilkan oleh alat
spektrofotometer UV-VIS menunjukkan bahwa terdapat tiga serapan panjang
gelombang, yaitu pita I (350 nm) dan pita II (255 nm dan 267 nm). Pita I pada flavonoid
menunjukkan absorbsi pada cincin B sinamoil dan pita II adalah absorbsi cincin A

26
benzoil. Diduga bahwa flavonoid tersebut memiliki struktur dasar flavon karena flavon
memiliki rentang serapan pita I (310-350 nm) dan pita II (255-280 nm). Menurut
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, flavonoid yang terdapat pada daun johar
adalah luteolin, yang merupakan senyawa yang termasuk golongan flavon. Peneliti lain
juga menemukan bahwa luteolin memiliki panjang gelombang pada pita I (348 nm) dan
pita II (254 dan 266 nm).
Kemudian isolat flavonoid diidentifikasi menggunakan FTIR untuk mengetahui
gugus fungsinya lalu dibandingkan dengan spektrum luteolin yang didapatkan oleh
peneliti sebelumnya. Isolat flavonoid memiliki kemiripan pola spektrum dan serapan
panjang gelombang pada pita I dan pita II dengan senyawa luteolin hasil penelitian,
namun isolat flavonoid menunjukkan adanya pita serapan pada 2926,95 dan 2858,88
cm-1 yang menunjukkan keberadaan gugus C-H alifatik, sedangkan pada spektrum
FTIR luteolin standar tidak menunjukkan pita serapan pada bilangan gelombang
tersebut. Dengan keberadaan gugus C-H alifatik tersebut diduga isolate flavonoid
memiliki struktur dasar luteolin yang tersubstitusi. Akan tetapi, posisi gugus O-H yang
tersubstitusi tidak dapat diketahui sehingga struktur lengkap dari isolate flavonoid
belum dapat diajukan.

2.4.2 Isolasi Flavonoid dari Eichhornia crassipes

Jurnal ini berjudul “Isolation of Flavonoid Compounds from Eceng Gondok


(Eicchornia crassipes) and Antioxidant Tests with DPPH (1,1-Diphenyl-2-Picrylhydrazyl)
Method”. Jurnal ini ditulis oleh Kautsar Elvira, Enny Fachriyah, dan Dewi Kusrini. Jurnal ini
dipublikasikan oleh Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi pada tahun 2018.

2.4.2.1 Pendahuluan

Tanaman yang digunakan pada uji adalah eceng gondok atau Eichhornia
crassipes. Eceng gondok dikenal masyarakat sebagai tanaman gulma karena
pertumbuhannya yang sangat cepat sehingga menutupi permukaan air. Hal ini menjadi
tantangan bagi masyarakat untuk mengubah fungsi eceng gondok menjadi sumber daya
yang bermanfaat dan berdaya jual tinggi. Berdasarkan penelitian sebelumnya, eceng
gondok diketahui mengandung metabolit sekunder seperti tanin, saponin, flavonoid
(yaitu luteolin, apigenin, trisin, krisoeriol, kaempferol, azaeletin, gossipetin, orientin,
kuersetin, dan isovitexin), steroid, terpenoid, fenol, kuinon, antrakuinon, dan alkaloid.

27
Adapun metabolit sekunder ini memiliki aktivitas antioksidan, antitumor, penyembuh
luka, antiinflamasi, antipenuaan, antialga, antijamur, dan antibakteri.

2.4.2.2 Isolasi Flavonoid

Tanaman Eichhornia crassipes terlebih dahulu diuji penapisan fitokimia yang


bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder yang terkandung
dalam serbuk, ekstrak etanol, dan fraksi etil asetat tanaman eceng gondok. Hasil
penapisan fitokimia tanaman Eichhornia crassipes adalah eceng gondok mengandung
flavonoid, alkaloid, steroid, saponin, dan tanin. Setelah dilakukan penapisan fitokimia,
dilakukan isolasi flavonoid. Sebanyak 2100 gram serbuk tanaman eceng gondok
dimaserasi dengan etanol 96%, kemudian disaring dan dievaporasi hingga diperoleh
ekstrak kental etanol berwarna coklat kehitaman pekat sebanyak 96,66 gram (4,6%).
Ekstrak kental etanol setelah dihilangkan klorofilnya menghasilkan fraksi etanol-air
kemudian difraksinasi menggunakan n-heksana. Fraksi etanol-air hasil fraksinasi
dihidrolisis dengan metode refluks menggunakan HCl 2 N yang bertujuan untuk
memutus ikatan O-glikosida pada kerangka flavonoid, sehingga terbentuk flavonoid
bebas dan gula. Flavonoid bebas dalam campuran dapat diambil dengan fraksinasi
menggunakan etil asetat. Fraksi etil asetat diuapkan untuk menghilangkan pelarut dan
didapatkan fraksi etil asetat sebanyak 1,73 gram (0,082%).

2.4.2.3 Identifikasi

Isolat flavonoid yang telah murni diidentifikasi strukturnya menggunakan


spketrofotometer UV-Vis dan FTIR. Isolat flavonoid A4a ,yang diperoleh dari salah
satu pita A4 yang dikerok, dilarutkan dalam metanol dan akan dianalisis menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Setelah dianalisis, isolat flavonoid A4a menghasilkan
serapan pada panjang gelombang 368 nm (pita I) dan 260 nm (pita II). Pita I pada
flavonoid menunjukkan absorbansi pada cincin B sinamoil dan pita II menunjukkan
absorbansi pada cincin A benzoil. Hasil analisis menunjukkan bahwa isolat flavonoid
A4a memberikan puncak yang relatif sangat rendah pada pita I dibandingkan pita II.
Hal ini diduga karena isolat tersebut memiliki struktur dasar senyawa flavonol yang
memiliki rentang serapan pita I (350 - 380 nm) dan pita II (250 - 280 nm).
Selain diidentifikasi dengan spektrofotometer UV-Vis, isolat tersebut juga
diidentifikasi dengan spektrofotometer FTIR (Fourier-Transform Infrared). Dari hasil

28
analisis, isolat flavonoid A4a memiliki pita serapan pada bilangan gelombang 3425,58
cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi ulur O-H yang dapat membentuk ikatan
hidrogen. Pita serapan 3040, 10 cm-1 dan 1651,01 cm-1 menunjukkan masing - masing
vibrasi ulur =C-H dan vibrasi ulur C=C aromatik yang menandakan struktur benzena.
Kemudian pita - pita serapan pada bilangan gelombang 1743,65 cm-1, 1411,89 cm-1,
1111,00 cm-1 masing - masing menunjukkan vibrasi ulur C=O, vibrasi tekuk CH3, dan
vibrasi ulur C-O eter.

29
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Setiap tumbuhan memiliki senyawa yang memiliki khasiat dan fungsi tertentu. Senyawa
- senyawa yang memberikan efek tersebut harus diisolasi terlebih dahulu agar senyawa
tersebut menjadi murni dan dapat memberikan efek yang maksimal. Salah satu senyawa
yang berkhasiat adalah flavonoid. Flavonoid yang merupakan senyawa polifenol terdapat
pada bagian - bagian tumbuhan baik akar, batang, maupun daun. Isolasi flavonoid
diperlukan agar mendapatkan senyawa yang murni dan dapat memberikan efek yang
maksimal. Isolasi flavonoi dapat dilakukan dengan cara ekstraksi, fraksinasi, dan
kristalisasi.

3.2 Saran

Flavonoid terdiri dari beberapa golongan. akan lebih baik jika isolasi flavonoid yang
diuji lebih spesifik terhadap beberapa golongan flavonoid sehingga dapat terlihat jelas
perbedaan setiap golongan flavonoid. Selain itu, proses isolasi menjadi hal yang penting,
sehingga optimalisasi dari kondisi saat isolasi flavonoid perlu diperhatikan lebih lanjut.

30
DAFTAR PUSTAKA

Harborne J.B., Nature, distribution and function of plant flavonoids, in plant flavonoids in
biology and medicine. In: Biochemical, Pharmacological and Structure- Activity
Relationships (Eds.) Cody, V., Middleton, E., Jr and Harborne, J.B., Alan R. Liss, Inc.
New York 1986; 15-24.

Ningrum, D. W., Kusrini, D., & Fachriyah, E. (2017). Uji Aktivitas Antioksidan Senyawa
Flavonoid dari Ekstrak Etanol Daun Johar (Senna siamea Lamk). Jurnal Kimia Sains
Dan Aplikasi, 20(3), 123. https://doi.org/10.14710/jksa.20.3.123-129

Dewi, Shinta R, dkk. 2018. Kandungan Flavonoid dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Pleurotus
ostreatus. Fakultas Teknologi Pertanian-Universitas Brawijaya, Indonesia.

Januarti, Ika Buana. EKSTRAKSI SENYAWA FLAVONOID DAUN JATI (Tectona grandis L.)
DENGAN METODE ULTRASONIK (KAJIAN RASIO BAHAN : PELARUT DAN
LAMA EKSTRAKSI). Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Sultan Agung.

Elvira, K., Fachriyah, E., & Kusrini, D. (2018). Isolation of Flavonoid Compounds from Eceng
Gondok (Eichhornia crassipes) and Antioxidant Tests with DPPH (1,1-Diphenyl-2-
Picrylhydrazyl) Method. Jurnal Kimia Sains Dan Aplikasi, 21(4), 187. doi:
10.14710/jksa.21.4.187-192

Marwanta, Edy dkk. 2012. SINTESIS DAN APLIKASI IONIC LIQUID UNTUK EKSTRAKSI
ANTIBIOTIK. Diakses pada
http://biofarmaka.ipb.ac.id/biofarmaka/2013/PIRS%202012%20-%20file-KO-
TeX_01.pdf tanggal 6 September 2019.

Sondari, Dewi dan Puspitasari, Eka Dian. 2017. TEKNOLOGI EKSTRAKSI FLUIDA
SUPERKRITIS DAN MASERASI PADA ZINGIBER OFFICINALLE ROSCOE :
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KANDUNGAN FITOKIMIA.

Widyasanti, Asri dkk. 2018. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA ANTOSIANIN EKSTRAK


KULIT BUAH NAGA MERAH MENGGUNAKAN METODE UAE. Departemen
Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas
Padjadjaran.

31
Kramer, H. J. M., & van Rosmalen, G. M. (2000). CRYSTALLIZATION. Encyclopedia of
Separation Science, 64–84. doi:10.1016/b0-12-226770-2/00031-4

Kulkarni SJ. A review on studies and research on crystallization. Int J Res Rev. 2015;
2(10):615-618.

Yu, L., & Reutzel-Edens, S. M. (2003). CRYSTALLIZATION | Basic Principles. Encyclopedia


of Food Sciences and Nutrition, 1697–1702. doi:10.1016/b0-12-227055-x/00313-8

32

Anda mungkin juga menyukai