Anda di halaman 1dari 167

Buku

Ajar: Teknologi Bahan Alam

i

Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

BUKU AJAR

TEKNOLOGI BAHAN ALAM


Agung Nugroho


Diterbitkan oleh:
Lambung Mangkurat University Press, 2017
d.a. Perpustakaan Pusat Universitas Lambung Mangkurat
Jl. H. Hasan Basry, Kayu Tangi, Banjarmasin 70123
Telp/Faks. 0511-3305195

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang.
Dilarang Memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, dalam bentuk dan
cara apa pun, baik secara mekanik maupun elektronik, termasuk fotokopi,
rekaman, dan lain-lain tanpa izin tertulis dari penerbit.


xiv-155 h 18,2 x 25 cm
Cetakan pertama, Februari 2017

Lay out : Agung Nugroho

ISBN 978-602-6483-12-6

9 786026 483126

ii

Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

PRAKATA

Buku Ajar Teknologi Bahan Alam ini disusun sebagai bahan pengajaran
pada mata kuliah Teknologi Minyak Atsiri, Rempah, dan Fitofarmaka bagi
mahasiswa Teknologi Industri Pertanian. Buku ini juga dapat dijadikan sebagai
bahan bantu bagi mahasiswa Farmasi dan Kimia untuk memahami tentang kimia
bahan alam, teknologi sediaan bahan alam, dan farmakognosi.

Bahan alam sendiri dapat didefinisikan sebagai substansi kimia golongan


metabolit sekunder yang dapat berupa senyawa tunggal maupun campuran
beberapa senyawa dalam bentuk ekstrak atau sediaan kering, yang berasal dari
bagian tertentu atau keseluruhan tubuh suatu agen hayati (tumbuhan,
mikroorganisme, ataupun hewan) yang dimanfaatkan karena efek
farmakologisnya. Bahan alam memiliki potensi yang luar biasa untuk
dikembangkan menjadi produk yang bernilai tinggi baik sebagai produk
farmasetik, nutrasetik, makanan fungsional, maupun kosmetik. Pengelolaan
bahan alam melalui kegiatan industri membutuhkan landasan pengetahuan yang
kuat mengenai karakteristik bahan yang menjadi material utamanya.

Untuk itu buku ini disusun guna membekali mahasiswa dengan


pengetahuan mengenai karakteristik bahan alam beserta teknologi ekstraksi dan
proses lanjutannya. Buku ini terdiri dari delapan bab yang dimulai dari
pengetahuan tentang bahan alam dan metabolit sekunder, pengetahuan
mengenai kelompok-kelompok metabolit sekunder, pengetahuan tentang ragam
produk dan pemanfaatan bahan alam, dilanjutkan dengan teknik seleksi dan
penyiapan bahan, teknik ekstraksi, teknik fraksinasi dan isolasi, kemudian secara

iii

Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

lebih khusus disampaikan mengenai teknik-teknik ekstraksi minyak atsiri beserta


pengelompokkan dan sifat-sifatnya.

Dengan memahami delapan bab tersebut, diharapkan mahasiswa memiliki


landasan yang cukup tentang pengetahuan bahan alam beserta cara
penanganannya dalam rangka mengembangkan potensi bahan alam Indonesia
menjadi produk-produk yang bernilai tinggi yang bermanfaat baik secara
fungsional maupun ekonomi bagi masyarakat luas. Terima kasih kepada semua
pihak yang telah berperan dalam mewujudkan buku ini, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Semoga buku ini bermanfaat dan berkontribusi bagi
perkembangan dan kemajuan dalam pengelolaan bahan alam di Indonesia.



Banjarbaru, Januari 2017.

Penulis

iv

Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

DAFTAR ISI

PRAKATA iii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
1. BAHAN ALAM DAN METABOLIT SEKUNDER 1
1.1. Deskripsi Singkat 1
1.2. Relevansi 2
1.3. Kompetensi 2
1.4. Pengantar 3
1.5. Pengertian Bahan Alam (Natural Products) 3
1.6. Metabolit Sekunder dan Fitokimia 6
1.7. Agroindustri Bahan Alam 8
1.8. Rangkuman 10
1.9. Latihan 11
1.10. Bacaan Lanjutan yang Dianjurkan 11
2. KELOMPOK SENYAWA METABOLIT SEKUNDER 13
2.1. Deskripsi Singkat 13
2.2. Relevansi 13
2.3. Kompetensi 14
2.4. Pengantar 14
2.4.1. Terpenoid 14
2.4.1.1. Monoterpene 16
2.4.1.2. Sesquiterpene 17
2.4.1.3. Diterpene 18
2.4.1.4. Triterpene 19
2.4.1.5. Tetraterpene 20
2.4.1.6. Saponin 21
2.4.2. Alkaloid 22
2.4.3. Fenolik 24
2.4.3.1. Flavonoid 25
2.4.3.2. Non-flavonoid 32
2.5. Rangkuman 38
2.6. Latihan 38
2.7. Bacaan Lanjutan yang Dianjurkan 39

3. RAGAM PRODUK BAHAN ALAM 40

v

Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

3.1. Deskripsi Singkat 40


3.2. Relevansi 40
3.3. Kompetensi 41
3.4. Pengantar 41
3.5. Minyak Atsiri (Essential Oils) 41
3.5.1. Pengertian dan Karakteristik Minyak Atsiri 41
3.5.2. Sumber Minyak Atsiri 42
3.5.3. Pemanfaatan Minyak Atsiri 44
3.6. Produk Farmasetik (Pharmaceuticals) 45
3.7. Produk Kosmetik (Cosmetics) 48
3.8. Produk Nutrasetik (Nutraceuticals) 50
3.9. Produk Herbal di Indonesia 51
3.9.1. Jamu 52
3.9.2. Obat Herbal Terstandar (OHT) 53
3.9.3. Obat Fitofarmaka 54
3.10. Rangkuman 55
3.11. Latihan 57
3.12. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 57

4. PEMILIHAN DAN PENYIAPAN BAHAN 58


4.1. Deskripsi Singkat 58
4.2. Relevansi 59
4.3. Kompetensi 59
4.4. Pengantar 59
4.5. Pemilihan Bahan 60
4.5.1. Seleksi 60
4.5.2. Identifikasi 61
4.6. Penyiapan Bahan 61
4.6.1. Pemanenan (Koleksi) Bahan 61
4.6.2. Pengeringan 63
4.6.3. Pengecilan Ukuran 66
4.7. Rangkuman 67
4.8. Latihan 68
4.9. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 69

5. TEKNIK EKSTRAKSI BAHAN ALAM 70


5.1. Deskripsi Singkat 70
5.2. Relevansi 71
5.3. Kompetensi 71
5.4. Pengantar 72
5.5. Prinsip Ekstraksi 72
5.5.1. Maserasi 74
5.5.2. Perkolasi 76

vi

Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

5.5.3. Ekstraksi dengan Reflux 78


5.5.4. Ekstraksi dengan Soxhlet 79
5.5.5. Ekstraksi dengan Ultrasonikasi 81
5.5.6. Ekstraksi dengan Pelarut Bertekanan (Pressurized Solvent
Extraction) 83
5.6. Menentukan Teknik Ekstraksi dan Pelarut yang Tepat 86
5.7. Rangkuman 87
5.8. Latihan 88
5.9. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 89

6. TEKNIK FRAKSINASI DAN ISOLASI BAHAN ALAM 90


6.1. Deskripsi Singkat 90
6.2. Relevansi 90
6.3. Kompetensi 91
6.4. Pengantar 91
6.5. Fraksinasi Ekstrak Bahan Alam 92
6.5.1. Fraksinasi dengan liquid-iquid extraction. 93
6.5.2. Fraksinasi dengan kolom kromatografi 95
6.6. Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder 96
6.6.1. Prinsip Kromatografi 100
6.6.2. Tipe Kromatografi 103
6.6.3. Kromatografi Kolom 105
6.6.4. Kromatografi Lapis Tipis 110
6.7. Rangkuman 115
6.8. Latihan 116
6.9. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 116

7. TEKNIK EKSTRAKSI MINYAK ATSIRI 117


7.1. Deskripsi Singkat 117
7.2. Relevansi 118
7.3. Kompetensi 118
7.4. Pengantar 118
7.5. Ekstraksi dengan Destilasi 119
7.5.1. Destilasi dengan air (water destillation) 119
7.5.2. Destilasi dengan air dan uap (water and steam destillation) 121
7.5.3. Destilasi dengan uap (steam destillation) 123
7.6. Ekstraksi dengan Teknik Pengepresan 124
7.7. Ekstraksi dengan Pelarut Organik 125
7.8. Enfleurasi (Ekstraksi dengan lemak dingin) 126
7.9. Ekstraksi dengan metode maserasi (lemak panas) 129
7.10. Rangkuman 130
7.11. Latihan 131
7.12. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 132

vii

Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

8. KELOMPOK DAN SIFAT FISIKOKIMIA MINYAK ATSIRI 133


8.1. Deskripsi Singkat 133
8.2. Relevansi 134
8.3. Kompetensi 134
8.4. Pengantar 134
8.5. Pengelompokkan Minyak Atsiri 135
8.5.1. Terpene 135
8.5.2. Ester 136
8.5.3. Aldehida 136
8.5.4. Ketone 137
8.5.5. Alkohol 137
8.5.6. Fenol 137
8.6. Sifat Fisik Minyak Atsiri 138
8.6.1. Aroma yang khas. 138
8.6.2. Berat Jenis 139
8.6.3. Indeks Bias 139
8.6.4. Putaran Optik 140
8.6.5. Kelarutan dalam Alkohol 141
8.6.6. Warna 142
8.7. Sifat Kimia Minyak Atsiri 143
8.7.1. Bilangan Asam 143
8.7.2. Bilangan Ester 143
8.8. Reaksi yang Mempengaruhi Sifat Kimia Minyak Atsiri 144
8.8.1. Reaksi Oksidasi 144
8.8.2. Reaksi Hidrolisis 144
8.8.3. Reaksi Resinifikasi 144
8.9. Proses yang Mempengaruhi Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Minyak
Atsiri 145
8.9.1. Penyimpanan Bahan 145
8.9.2. Proses Ekstraksi 145
8.10. Rangkuman 145
8.11. Latihan 146
8.12. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 146

DAFTAR PUSTAKA 147


GLOSARIUM 149
INDEX 152
PROFIL PENULIS 155

viii

Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Sejumlah senyawa aktif metabolit sekunder beserta


sumber tanaman dan efek farmakologisnya 46
Tabel 3.2. Contoh bahan alam yang dimanfaatkan sebagai produk
perawatan kulit. 49
Tabel 3.3. Contoh bahan alam yang dimanfaatkan sebagai produk
perawatan rambut. 49
Tabel 5.1. Sifat fisik dan kimia beberapa pelarut organik yang
digunakan pada ekstraksi bahan alam 87
Tabel 8.1. Standar mutu fisik dan kimia minyak nilam berdasarkan
SNI 06-2385-2006. 143

ix

Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Akar kuning dan bentuk ekstraknya. 5


Gambar 1.2. Jalur biosintesis metabolit sekunder pada tumbuhan. 7
Gambar 1.3. Pemanfaatan bahan alam dalam industri. 9
Gambar 2.1. Stuktur senyawa terpenoid myrcene yang tersusun atas
dua sturktur isoprene. 15
Gambar 2.2. Struktur kimia geranyl pyrophosphate. 16
Gambar 2.3. Struktur kimia limonen. 17
Gambar 2.4. Rimpang jaher dan struktur kimia zingiberene. 18
Gambar 2.5. Retinol, sebuah contoh diterpen. 19
Gambar 2.6. Ginseng dan ginsenoside. 20
Gambar 2.7. Beta-karoten, sebuah tetraterpen yang penting. 21
Gambar 2.8. Saponin dan busa saponin pada teh. 22
Gambar 2.9. Kafein dalam biji kopi. 23
Gambar 2.10. Struktur umum flavonoid. 25
Gambar 2.11. Flavonol (kiri) dan flavone (kanan). 26
Gambar 2.12. Quercetin (kiri) dan kaempferol (kanan). 27
Gambar 2.13. Hyperoside, glukosida dari quercetin. 28
Gambar 2.14. Flavone (kiri) dan isoflavone (kanan). 29
Gambar 2.15. Struktur umum isoflavone serta hesperidin (isoflavone
pada buah jeruk). 30
Gambar 2.16. Struktur kimia catechin. 31
Gambar 2.17. Struktur umum anthocyanidin (aglicone dari
anthocyanin). 32
Gambar 2.18. Tiga kemungkinan posisi hidroksil pada
hydroxybenzoic acid. 33
Gambar 2.19. Gallic acid (trihydroxybenzoic acid). 34
Gambar 2.20. Hydroxycinnamic acid (kiri) dan cinnamic acid (kanan).
35
x

Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Gambar 2.21. Caffeic acid (kanan) dan coumaric acid (kiri). 35


Gambar 2.22. Salah satu contoh tanin (tannic acid). 37
Gambar 3.1. Beberapa pemanfaatan minyak atsiri sebagai produk
kesehatan. 44
Gambar 3.2. Perbedaan produk farmasetik dan nutrasetik. 50
Gambar 3.3. Logo jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. 52
Gambar 3.4. Logo jamu. 53
Gambar 3.5. Logo obat herbal terstandar. 54
Gambar 3.6. Logo obat fitofarmaka. 55
Gambar 4.1. Pemanenan (koleksi) bahan tanaman untuk ekstraksi. 62
Gambar 4.2. Proses pengeringan bahan alam dalam ruangan. 63
Gambar 4.3. Pengeringan bahan di dalam oven. 64
Gambar 4.4. Pengeringan menggunakan sebuah freeze dryer. 65
Gambar 4.5. Pengecilan ukuran dengan mortar. 66
Gambar 5.1. Proses maserasi skala kecil. 74
Gambar 5.2. Proses perkolasi menggunakan beberapa perkolator. 76
Gambar 5.3. Ekstraksi skala kecil dengan reflux. 78
Gambar 5.4. Esktraksi dengan soxhlet. 80
Gambar 5.5. Contoh ekstraksi maserasi dengan bantuan alat
ultrasonikasi (Power Sonic 420). 82
Gambar 5.6. Mekanisme ekstraksi dengan bantuan ultrasonikasi. 83
Gambar 5.7. Bagian-bagian alat ekstraksi dengan pelarut bertekanan. 84
Gambar 6.1. Proses fraksinasi pada sebuah labu pemisah dan
terbentuknya dua fase yang terpisah. 94
Gambar 6.2. Proses evaporasi dengan rotary vacuum evaporator. 95
Gambar 6.3. Contoh proses isolasi beberapa senyawa flavonoid dari
ekstrak metanol daun pepaya (Carica papaya). 99
Gambar 6.4. Struktur kimia dan nama senyawa flavonoid hasil isolasi
dari ekstrak daun pepaya. 100
Gambar 6.5. Prinsip kromatografi dalam pemisahan senyawa. 101
Gambar 6.6. Contoh kromatografi kolom dengan tekanan medium
(MPLC). 104
Gambar 6.7. Proses packing kromatografi kolom. 106
xi

Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Gambar 6.8. Kolom kromatografi dengan sampel yang siap dielusi. 107
Gambar 6.9. Koleksi fraksi dari hasil elusi kromatografi kolom. 109
Gambar 6.10. Pengerjaan (spotting) TLC. 110
Gambar 6.11. Contoh TLC diamati di bawah sinar UV. 111
Gambar 6.12. Perbedaan prinsip normal phase dan reversed phase
pada kromatografi lapis tipis. 112
Gambar 7.1. Metode ekstraksi melalui destilasi dengan air. 120
Gambar 7.2. Metode ekstraksi melalui destilasi dengan air dan uap. 121
Gambar 7.3. Penyulingan minyak atsiri dengan teknik destilasi air
dan uap. 122
Gambar 7.4. Metode ekstraksi melalui destilasi dengan uap. 123
Gambar 7.5. Metode ekstraksi melalui pengepresan. 124
Gambar 7.6. Metode ekstraksi dengan pelarut organik. 125
Gambar 7.7. Metode ekstraksi dengan enfleurasi. 128
Gambar 7.8. Metode ekstraksi dengan maserasi lemak panas. 130

xii

Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

1. BAHAN ALAM DAN


METABOLIT SEKUNDER

1.1. Deskripsi Singkat

Bahan alam secara khusus diartikan sebagai segala material organik yang
dihasilkan oleh alam yang telah dipelajari dan dibuktikan baik secara empiris
maupun secara tradisional melalui pengalaman penggunaan turun temurun
memiliki khasiat tertentu untuk kesehatan baik dalam bentuk segar, sediaan
kering, ekstrak, maupun senyawa tunggal hasil pemurnian. Pada era modern ini
ada kecenderungan pola hidup yang mengarah pada penggunaan bahan-bahan
alami sebagai zat berkhasiat baik untuk pengobatan, perawatan kesehatan dan
kebugaran, kosmetika, makanan fungsional, maupun untuk produk perawatan
tubuh sehari-hari. Fenomena ini semakin meningkatkan pamor bahan alam
sebagai pilihan karena dinilai lebih aman atau memiliki efek negatif yang lebih
rendah. Nilai ekonomis beberapa bahan alam pun semakin meningkat yang diikuti
dengan semakin berkembangnya berbagai penelitian untuk mengembangkan
produk-produk yang berbasis pada bahan alam. Saat ini, bidang penelitian dan
industri bahan alam menjadi salah satu bidang yang prospektif dan memiliki masa
depan yang baik karena kebutuhan akan bahan ini semakin meningkat.

Untuk itu, pengenalan mengenai teknologi, metode-metode atau teknik-


teknik dasar penelitian dan pemanfaatan bahan alam menjadi produk yang lebih

1
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

bernilai tinggi menjadi sangat perlu untuk mahasiswa teknologi industri pertanian.
Sudah barang tentu, pengenalan dasar-dasar bahan alam ini perlu diberikan
sebagai landasan dalam mempelajari proses lanjut dari pemanfaatan bahan alam.
Pada bab ini dijelaskan mengenai pengertian dasar bahan alam dan juga
metabolit sekunder atau fitokimia yang merupakan komponen utama dari bahan
alam. Selain itu juga dijelaskan mengenai agroindustri pengolahan bahan alam
beserta contoh dan prospeknya.

1.2. Relevansi

Bab tentang pengetahuan dasar bahan alam dan metabolit sekunder ini
penting disajikan sebagai landasan untuk memahami metabolit sekunder sebagai
komponen utama bahan alam serta bagaimana mekanisme kerja metabolit
sekunder sehingga dapat memberikan manfaat bagi manusia.

1.3. Kompetensi

Setelah menyelesaikan bab ini, mahasiswa akan mampu memahami dan


menjelaskan kembali beberapa hal sebagai berikut:

1. Pengertian bahan alam


2. Pengertian metabolit sekunder
3. Prinsip kerja metabolit sekunder sebagai komponen utama bahan alam
4. Jenis-jenis bahan alam
5. Contoh-contoh pemanfaatan bahan alam
6. Agroindustri bahan alam dan manfaatnya dalam peningkatan nilai
tambah.

2
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

1.4. Pengantar

Bahan alam memiliki spektrum yang sangat luas. Mentimun yang kita
santap sebagai lalapan yang kita tujukan sebagai bahan serat yang akan
memperlancar pencernaan dan juga untuk menjaga tekanan darah dari potensi
darah tinggi adalah sebuah contoh pemanfaatan bahan alam, yaitu mentimun.
Senyawa menthol yang diformulasikan menjadi sebuah produk balsam yang
digunakan untuk melegakan dan menyegarkan dada dan tenggorokan juga
merupakan pemanfaatan bahan alam. Untuk itu pada bab ini dijelaskan mengenai
pengertian bahan alam, komponen utamanya, bagaimana komponen utama
tersebut bekerja dan apa saja efek-efeknya, serta bagaimana pemanfaatan bahan
alam sebagai komoditas agroindustri untuk dikembangkan menjadi produk
dengan nilai tambah lebih tinggi.

1.5. Pengertian Bahan Alam (Natural Products)

Secara harfiah bahan alam dapat diartikan sebagai bahan-bahan yang


bersumber dari alam (natural resources), seperti hasil budidaya pertanian, hasil
perikanan darat dan laut, hasil hutan, ataupun hasil tambang atau bahan mineral.
Tetapi dalam bidang-bidang ilmu terkait kimia organik, farmasi, dan ilmu pangan,
bahan alam (natural products) pada umumnya mengacu pada metabolit-
metabolit sekunder baik dalam bentuk sediaan kering, ekstrak, ataupun senyawa
tunggal yang bersumber dari makhluk hidup, baik tumbuhan, hewan (terutama
hewan laut), maupun mikroorganisme. Di Indonesia, istilah ‘bahan alam’ lebih
umum digunakan daripada ‘produk alam’ atau ‘produk alami’ sebagai padanan
untuk natural products.

Samuelsson (1999) mendefinisikan natural products sebagai produk yang


dihasilkan oleh alam yang meliputi: (1) seluruh organisme (tumbuhan, hewan, dan
mikroorganisme) yang telah diproses secara sederhana dengan tujuan untuk

3
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

pengawetan, seperti pengeringan, (2) bagian dari organisme, seperti daun, bunga,
atau organ tertentu dari hewan, (3) ekstrak dari organisme atau bagian organisme,
serta (4) komponen tunggal (alkaloids, coumarins, flavonoids, lignans, glycosides,
terpenoids, steroids, dll.). Dalam praktiknya, istilah natural products lebih banyak
didefinisikan sebagai senyawa metabolit sekunder, dengan bobot molekul (BM)
rendah yang dihasilkan oleh organisme tertentu yang tidak diperuntukkan sebagai
nutrisi pokok dalam proses pertumbuhannya, tetapi lebih bersifat sebagai
komponen penunjang, seperti sebagai alat perlindungan atau sebaliknya sebagai
media penarik perhatian terhadap organisme lain (Cannell, 1998).

Dengan demikian, bahan alam dapat didefinisikan sebagai komponen atau


substansi kimia yang merupakan metabolit sekunder (secondary metabolites)
yang dapat berupa komponen tunggal/murni hasil isolasi maupun yang masih
berupa campuran komponen dalam bentuk ekstrak, sediaan kering dari bagian
tertentu atau keseluruhan dari suatu organisme baik tumbuhan, mikroba,
ataupun hewan yang dieksplorasi dan dimanfaatkan karena efek farmakologis
(pharmacological effect), efek terapi (therapeutic effect), antioksidan
(antioxidative effect), antibakteri (antibacterial), atau kemampuannya sebagai
bahan pewarna (coloring agent), penyedap (flavoring agent), pengharum
(parfuming agent), pengikat (fixative agent), serta karena aktivitas biologis
(biological activity) lainnya seperti kemampuan sebagai pestisida alami (natural
pesticide).

Sebagai contoh yang mudah adalah bahan pewarna alami, yaitu produk
pewarna yang dihasilkan dari proses isolasi, ekstraksi, ataupun pengeringan
bagian tertentu dari suatu bagian tumbuhan. Contoh pewarna alami dalam
bentuk senyawa tunggal adalah berberine, sumber warna kuning yang dapat
diisolasi dari beberapa tanaman, seperti akar kuning (Arcangelisia flava, Gambar
1.1) atau berberry (Berberis vulgaris). Selain memberikan efek warna kuning,

4
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

berberine juga memiliki kemampuan memberikan berbagai efek farmakologi dan


terapi (Imanshahidi and Hosseinzadeh, 2008).

Gambar 1.1. Akar kuning dan bentuk ekstraknya.

Ekstrak kunyit yang mengandung curcuminoids juga dapat digunakan


sebagai pewarna kuning dalam bentuk ekstrak selain juga memberikan efek
farmakologi (Anand et al., 2007). Selain itu serbuk cabe kering juga merupakan
contoh pewarna merah dalam bentuk sediaan kering yang mengandung capsaicin
sebagai bahan aktifnya yang juga memiliki efek farmakologi. Bahan alam tidak
terbatas pada sumber-sumber organisme di darat saja tapi juga dari organisme
yang hidup di air, sebagai contohnya beberapa senyawa terpenoids, flavonoids,
dan saponins juga telah diisolasi dari timun laut (Stichopus japonicus) serta
memiliki berbagai macam efek farmakologi (Husni, 2011).

Dalam pemanfaatannya, komponen atau substansi-substansi kimia bahan


alam diproses menjadi produk lanjutan baik sebagai bahan baku untuk produk
lanjutannya atau produk jadi dengan standarisasi, keamanan, serta kepraktisan
dalam penggunaan dan cara konsumsinya untuk meningkatkan nilai ekonominya.

5
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Obat, bahan obat, neutraceuticals, functional foods, nutritional supplements,


produk herbal, aroma terapi, pewarna alami, bumbu alami, parfum serta berbagai
produk lokal dengan istilah tertentu seperti jamu di Indonesia, merupakan contoh
pemanfaatan bahan alam dengan memberikan sentuhan teknologi untuk
meningkatkan guna (function) dan nilainya (value).

Dari segi pemanfaatannya bahan alam berbeda dengan bahan alam lainnya,
seperti bahan pangan (food atau nutritional food), di mana ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi pokok (karbohidrat, lemak, protein, asam amino),
atau produk perikanan, produk kerajinan, bahan tambang, produk minyak dan gas,
dan lain sebagainya, di mana sama-sama menggunakan bahan yang dihasilkan
oleh alam. Inilah yang membedakan bahan alam dengan bahan dari alam (natural
sources) lainnya.

1.6. Metabolit Sekunder dan Fitokimia

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa komponen utama dari bahan


alam adalah metabolit sekunder, maka metabolit sekunder sendiri dapat
didefinisikan sebagai senyawa dengan berat molekul rendah yang ditemukan
dalam jumlah minor pada organisme yang memproduksinya karena tidak
berfungsi sebagai komponen esensial dalam metabolisme atau penopang pokok
dari kelangsungan hidup dari organisme tersebut, melainkan lebih berfungsi
sebagai penunjang seperti agen pertahanan diri, perlawanan terhadap penyakit
atau kondisi kritis, ataupun berperan sebagai hormon.

Sementara itu, ada istilah lain yaitu fitokimia (phytochemicals). Dari asal
usul katanya, maka terdiri dari phyto dan chemicals. Fito (phyto) dalam bahasa
latin berarti tumbuhan, sedangkan chemicals berarti bahan-bahan kimia. Secara
harfiah dapat dikatakan fitokimia adalah bahan-bahan atau senyawa-senyawa
kimia yang dihasilkan oleh tumbuhan. Dalam penggunaannya terutama dalam
bidang kimia bahan alam, fitokimia diartikan sebagai metabolit sekunder yang

6
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

khusus dihasilkan oleh tumbuhan. Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa


fitokimia adalah senyawa kimia non nutrisi yang memiliki fungsi-fungsi proteksi
atau pertahanan yang diproduksi di dalam sel tumbuhan. Gambar 1.2
memperlihatkan kelompok-kelompok metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
tumbuhan melalui beberapa jalur biosintesis yang bersumber atau berawal dari
metabolit primer hasil proses fotosintesis.


(http://science.marshall.edu/)

Gambar 1.2. Jalur biosintesis metabolit sekunder pada tumbuhan.

Sementara itu, metabolit primer adalah molekul dengan BM tinggi serta


memiliki struktur yang relatif sama di setiap organisme, seperti karbohidrat,
lemak, protein, vitamin, dan asam nukleat. Meskipun metabolit primer juga
merupakan bahan yang diproduksi oleh alam, tetapi secara umum tidak disebut
sebagai bahan alam, namun lebih dekat sebagai nutrisi atau bahan pangan (foods).

7
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Metabolit sekunder dipelajari dalam bidang ilmu Kimia Bahan Alam atau Kimia
Organik Bahan Alam, sedangkan metabolit primer dipelajari pada bidang ilmu
Biokimia. Metabolit primer menjadi bahan dasar dalam biosintesis beberapa
kelompok metabolit sekunder, seperti terlihat pada Gambar 1.2.

1.7. Agroindustri Bahan Alam

Seorang petani yang menanam jahe, kemudian memanen dan


membersihkannya, lalu menjualnya, sudah dapat dikatakan melakukan kegiatan
industri (industri primer). Seorang ibu yang membeli jahe di pasar, kemudian
mengolahnya menjadi ekstrak jahe instan lalu menjualnya dalam kemasan yang
sederhana tentunya juga merupakan kegiatan industri, dan dapat diklasifikasikan
dalam industri sekunder. Sebuah pabrik jamu yang mendatangkan jahe dalam
skala besar kemudian mengolahnya menjadi minuman jahe instan dengan
kemasan modern yang menarik juga termasuk dalam industri sekunder.

Sebuah laboratorium yang menyediakan jasa analisis kualitas produk


(kandungan nutrisi atau metabolit) kepada perusahaan pengolahan jahe tadi juga
dikategorikan sebagai sebuah industri (industri jasa/industri tersier). Lebih jauh
lagi, sebuah laboratorium yang melakukan riset mendalam untuk meneliti
mengenai senyawa metabolit sekunder dari jahe, aktivitas biologis atau efek
farmakologisnya, kemudian menciptakan sebuah formula produk yang terstandar
dan kemudian menjualnya kepada perusahan lain untuk diproduksi dalam skala
besar maka laboratorium tadi telah melakukan kegiatan industri kuarter
(quaternary industry).

Dari ilustrasi dan penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah benang merah
bahwa industri merupakan sebuah kegiatan untuk memperoleh pendapatan
(income) baik dengan menjual produk maupun jasa, termasuk di dalamnya lisensi
atau disain produk. Industri sekunder dicirikan dengan adanya usaha pengolahan
(processing) untuk menciptakan nilai tambah (added value) dari bahan bakunya.

8
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Sedangkan industri primer tidak melakukannya, kalaupun ada nilai tambah yang
diciptakan, persentasenya sangat kecil. Industri tersier memberikan pelayanan
jasa (service), sedangkan industri kuarter menghasilkan dan menjual lisensi atau
disain produk.
Dengan demikian, agroindustri atau industri agro atau industri pertanian
dalam lingkup khusus pemanfaatan bahan alam ini dapat didifinisikan sebagai
kegiatan industri yang ditujukan untuk menghasilkan pendapatan dengan cara
menciptakan nilai tambah dari suatu bahan alam, baik yang diperoleh melalui
proses budidaya/pertanian ataupun dengan cara mengambil secara langsung dari
alam (ekstraktif). Dengan demikian produk bahan alam adalah salah satu output
atau produk dari kegiatan agroindustri.


(http://www.nutraceuticalsworld.com/)

Gambar 1.3. Pemanfaatan bahan alam dalam industri.

Di sisi lain, produk bahan alam juga dapat berperan sebagai input atau
material agroindustri, jika produk tersebut diproses lanjut menjadi produk dengan
nilai tambah yang lebih tinggi. Dengan demikian, berdasarkan bahan bakunya,
maka agroindustri dapat mencakup area yang sangat luas, yaitu produk kimia non

9
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

pangan (karet, lipid, fiber beserta turunan-turuanannya), produk pangan, produk


bioindustri (enzim), produk perikanan dan peternakan, produk hasil hutan, dan
juga produk bahan alam atau natural product (pharmaceuticals, herbal medicine,
neutraceuticals, functional foods, nutritional supplements serta berbagai produk
bahan dasar). Gambar 1.3 memperlihatkan tiga kelompok utama produk
pemanfaatan bahan alam yang menghasilkan tiga kombinasi kelompok produk
turunan lainnya.
Kegiatan industri memiliki lingkup yang sangat luas, yaitu mencakup
material, teknologi pengolahan, mesin dan peralatan, sumber daya manusia,
modal, manajemen, perencanaan, sampai pemasaran. Teknologi industri
ditujukan untuk menciptakan sistem produksi, baik dari sisi manajemen maupun
teknologi prosesnya, yang efektif dan efisien atau dengan kata lain memiliki
produktivitas tinggi dalam kegiatan menghasilkan nilai tambah dari bahan yang
diprosesnya. Untuk mencapai tujuan itu, maka pemahaman mengenai segala
aspek yang berkaitan dengan sistem produksi itu harus dikuasai, mulai dari sifat
dan jenis material, teknologi proses, mesin dan peralatan, pengendalian mutu,
riset dan pengembangan, sampai dengan spesifikasi sumber daya manusia yang
dibutuhkan.

1.8. Rangkuman

1. Bahan alam adalah substansi kimia yang merupakan metabolit sekunder


yang dapat berupa komponen tunggal/murni hasil isolasi maupun yang
masih berupa campuran komponen dalam bentuk ekstrak, sediaan
kering dari bagian tertentu atau keseluruhan dari suatu organisme baik
tumbuhan, mikroba, ataupun hewan yang dimanfaatkan karena efek
farmakologisnya.
2. Pemanfaatan bahan alam antara lain: sebagai obat, bahan obat,
neutraceuticals, functional foods, nutritional supplements, produk herbal,

10
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

aroma terapi, pewarna alami, bumbu alami, parfum serta berbagai


produk lokal dengan istilah tertentu seperti jamu di Indonesia.
3. Metabolit sekunder adalah senyawa dengan berat molekul rendah yang
ditemukan dalam jumlah minor pada suatu organisme yang tidak
berfungsi sebagai komponen esensial dalam metabolisme tersebut,
melainkan sebagai komponen penunjang seperti agen pertahanan diri,
perlawanan terhadap penyakit atau kondisi kritis, dll.
4. Bahan alam dapat berperan sebagai input atau material agroindustri
untuk diproses lebih lanjut menjadi produk dengan nilai tambah yang
lebih tinggi.
5. Pemahaman mengenai sifat bahan/material merupakan faktor penting
dalam merekayasa produk maupun proses dalam suatu kegiatan industri.

1.9. Latihan

1. Jelaskan secara mendalam mengenai bahan alam, bagaimana


karakteristik dan penyusunnya!
2. Sebut dan jelaskan contoh-contoh pemanfaatan bahan alam baik secara
tradisional maupun modern!
3. Jelaskan yang dimaksud dengan senyawa metabolit sekunder dan
senyawa fitokimia!
4. Sebut dan jelakan beberapa kelompok produk yang memanfaatkan
senyawa metabolit sekunder atau fitokimia!
5. Jelaskan pentingnya pemahaman dan pengetahun mengenai bahan
alam dalam pengembangan agroindustri!

1.10. Bacaan Lanjutan yang Dianjurkan

Untuk memahami lebih dalam dan untuk mengembangkan pengetahuan


maka beberapa bahan bacaan berikut sangat dianjurkan untuk dibaca.

11
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Agoes, G., 2007. Teknologi Bahan Alam. ITB, Bandung.


Agusta, A., 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropis Indonesia. ITB, Bandung.
Anand, P., Kunnumakkara, A.B., Newman, R.A., dan Aggarwal, B.B., 2007.
Bioavailability of Curcumin: Problems and Promises. Molecular
Pharmaceutics, 4: 807-818.
Ardiansyah., 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Trubus Agriwidya, Jakarta.
Cannell, R.J.P., 1998. Natural Product Isolation. Humana Press, New Jersey.
Dias, D.A., Urban, S., dan Roessner, U., 2012. A Historical Overview of Natural
Products in Drug Discovery. Metabolites, 2: 303-336.
Hariana, A., 2005. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Harris, R., 1987. Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya, Jakarta.
Husni, A., 2011. Tyrosinase Inhibition by Water and Ethanol Extracts of A Far
Eastern Sea Cucumber Stichopus japonicus. Journal of The Science of
Food and Agriculture, 9: 1541-1547.
Imanshahidi, M. dan Hosseinzadeh, H., 2008. Pharmacological and Therapeutic
Effects of Berberis vulgaris and Its Active Constituent, Berberine.
Phytotherapy Research, 22: 999-1012.
Kabera, J.N., Semana, E., Mussa, A.R., dan He., X., 2014. Plant Secondary
Metabolites: Biosynthesis, Classification, Function and Pharmacological
Properties. Journal of Pharmacy and Pharmacology, 2:377-392.
Kapoor, V.P., 2005. Herbal Cosmetics for Skin and Hair Care. Natural Product
Radiance, 4: 306-314.
Lahlou, M., 2013. The Success of Natural Products in Drug Discovery.
Pharmacology and Pharmacy, 4: 17-31.
Pandey, N., dkk., 2011. Medicinal Plants Derived Nutraceuticals: A Re-emerging
Health Aid. International Journal of Pharma and Bio Sciences. 4: 419-
441.
Rusli S, Nurdjanah, N., Soediarto, Sitepu, D., Ardi, dan Sitorus. D.T., 1985.
Penelitian dan Pengembangan Minyak Atsiri Indonesia. Bogor: Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Samuelsson, G., 1999. Drug of Natural Origin: A Textbook of Pharmacognosy.
Swedish Pharmaceutical Press, Stockholm, Sweden.
Sarker, S.D., Latif, Z., dan Gray, A.I., 2006. Natural Product Isolation 2nd edition.
Humana Press, New Jersey, USA.

12
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

2. KELOMPOK SENYAWA
METABOLIT SEKUNDER

2.1. Deskripsi Singkat

Pada bab 1 telah dijelaskan bahwa senyawa metabolit sekunder merupakan


komponen aktif dari bahan alam yang memiliki efek farmakologis tertentu.
Senyawa-senyawa ini dapat diibaratkan sebagai jantungnya bahan alam. Untuk itu
perlu pembahasan tersediri yang lebih dalam mengenai senyawa-senyawa
metabolit sekunder, terutama untuk pengelompokkan dan karateristiknya
masing-masing. Pada bab ini disampaikan berbagai macam senyawa metabolit
sekunder beserta ciri struktur kimianya, sifat-sifatnya, sumber asalnya, serta
beberapa contoh penggunaannya.

2.2. Relevansi

Bab tentang pengelompokkan dan deskripsi senyawa metabolit sekunder


sangat penting untuk disajikan dan dipelajari karena menjadi landasan
pengetahuan dan pengenalan tentang berbagai macam senyawa metabolit
sekunder. Dengan memahami struktur kimia, sifat, dan beberapa contoh anggota
beserta asal dan pemanfaatannya maka mahasiswa akan memiliki modal
pengetahuan untuk lebih jauh mengeksplorasi bahan-bahan alam yang potensial
di wilayahnya atau meningkatkan nilai tambah bahan alam yang telah ada dengan

13
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

modifikasi atau rekayasa lanjut serta memproduksinya dalam skala yang lebih
besar.

2.3. Kompetensi

Setelah menyelesaikan bab ini, mahasiswa akan mampu untuk:

1. Menjelaskan tiga kelompok besar senyawa metabolit sekunder beserta


karakteristik kimia dan perbedaan mendasar yang membedakan di
antara ketiganya
2. Menyebutkan senyawa-senyawa anggota-anggota dari tiga kelompok
besar tersebut beserta contoh-contohnya dan juga sumber tanaman
penghasilnya
3. Menjelaskan beberapa contoh senyawa-senyawa metabolit sekunder
penting, beserta penggunaan /pemanfaatannya.

2.4. Pengantar

Metabolit sekunder atau fitokimia dapat dikelompokkan berdasarkan


struktur kimia, komposisi, tingkat kelarutan pada berbagai pelarut, ataupun jalur
biosintesisnya dalam tubuh organisme penghasilnya. Meskipun ada berbagai
dasar pengelompokkan, tetapi pada dasarnya ada tiga kelompok utama dari
metabolit sekunder dilihat dari asal usul biosintesisnya, yaitu terpenoid, alkaloid,
dan fenolik, di mana masing-masing memiliki anggota kelas yang sangat kompleks.
Berikut ini dijabarkan tiga kelompok utama senyawa metabolit sekunder beserta
anggota-anggota dan karakteristiknya masing-masing.

2.4.1. Terpenoid

Terpenoid merupakan senyawa fitokimia yang paling luas


spektrumnya. Dilihat dari strukturnya, ada yang berupa rantai lurus sampai
yang polisiklik (struktur cincin). Dari jumlah atom karbonnya, ada yang

14
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

hanya terdiri dari lima atom karbon seperti pada hemiterpen sampai
dengan molekul kompleks yang tersusun atas ribuan unit isoprene (unit
terkecil dari senyawa terpene). Database bahan alam (Dictionary of Natural
Products, Buckingham, 1993) telah mendaftar lebih dari 139.000 jenis
senyawa, di mana mayoritas adalah berasal dari tumbuhan yang berperan
dalam berbagai fungsi seperti sebagai sumber aroma, antibiotik, hormon,
lipid pada membran sel, pengusir maupun penarik serangga, serta sebagai
mediator dari proses transfer elektron yang merupakan salah satu tahap
dalam menghasilkan energi pada proses respirasi dan fotosistesis.


(http://www.ochempal.org/)

Gambar 2.1. Stuktur senyawa terpenoid myrcene yang tersusun atas dua
sturktur isoprene.

Semua terpenoid disintesis melalui proses kondensasi dari unit


terkecil yaitu isoprene yang strukturnya terdiri dari lima atom karbon (C5).
Senyawa terpenoid dikelompokkan berdasarkan jumlah isoprene yang hadir
pada struktur intinya. Banyak dari senyawa aromatik, seperti mentol,
linalool, geraniol, myrcene, dan carryophyllene terbentuk dari sebuah
monoterpen (C10) yang tersusun atas dua unit isoprene (seperti pada
Gambar 2.1), serta sesquiterpen (C15) dengan tiga unit isoprene. Golongan
lainnya merupakan diterpene (C20), triterpene (C30), dan tetraterpene (C40)
yang masing-masing memiliki sifat fisik dan kimia yang berbeda-beda.

15
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

2.4.1.1. Monoterpene

Monoterpene adalah adalah anggota terpenoid yang memiliki


struktur paling sederhana dan paling ringan berat molekulnya di mana
strukturnya terdiri dari gabungan dua isoprene (C5) dengan rumus
kimia C10H16. Monoterpene dapat berupa molekul dengan rantai lurus
(acyclic) ataupun berupa cincin (cyclic), baik dengan satu cincin
(monocyclic) atau dengan dua cincin (bicyclic). Contoh monoterpene
dengan rantai lurus adalah geranyl pyrophosphate (Gambar 2.2), di
mana hidrolisis dari grup fosfatnya akan membentuk geraniol
(ditemukan pada minyak bunga mawar, lemon, ataupun tembakau).
Linalool, minyak atsiri pada bunga lavender sebagai anti nyamuk juga
merupakan turunan dari geranyl pyrophosphate.

Gambar 2.2. Struktur kimia geranyl pyrophosphate.

Perubahan struktur dari rantai lurus menjadi struktur cincin


(cyclization) dari geranyl pyrophosphate dengan enam atom karbon
pada cincinya akan membentuk sebuah senyawa minyak atsiri yang
terkenal yaitu limonen (Gambar 2.3), yang merupakan penciri dari
jeruk yang memberikan aroma khas dan segar. Menthol juga
merupakan senyawa minyak atsiri turunan dari kelompok monocyclic
monoterpene ini.

16
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Gambar 2.3. Struktur kimia limonen.

Selain itu, geranyl pyrophosphate juga memungkinkan


terjadinya perubahan struktur (cyclization) secara sekuensial
membentuk monoterpene dengan dua cincin. Contoh paling umum
dari kelompok ini adalah senyawa pinene, yang merupakan penyusun
utama daripada resin tanaman pinus. Camphor, borneol, dan
eucalyptol juga merupakan contoh terkenal dari bicyclic monoterpene
yang mengandung sebuah gugus fungsi baik ketone, alkohol, atau
yang lainnya. Camphor merupakan minyak atsiri penciri dari pohon
kayu kamfer (Cinnamomum camphora). Borneol banyak ditemukan
dan menjadi penciri rimpang kencur (Kaempferia galanga).

2.4.1.2. Sesquiterpene

Seperti halnya monoterpene yang tersusun atas dua isoprene


(C10), maka untuk sesquiterpene tersusun atas tiga isoprene (C15)
dengan rumus kimia C15H24. Struktur kimia sesquiterpene juga ada
yang berupa rantai lurus maupun cincin, ataupun kombinasi di antara
keduanya. Dengan rantai yang lebih panjang, maka kecenderungan
terbentuknya struktur cincin pada sesquiterpene lebih banyak

17
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

daripada monoterpene. Contoh sesquiterpene yang banyak dikenal


adalah minyak atsiri dari rimpang jahe yaitu zingiberene (Gambar 2.4),
yang merupakan penciri dan pemberi aroma khas pada jahe (Zingiber
officinale). Zingiberene termasuk tipe monocyclic sesquiterpene.

Gambar 2.4. Rimpang jaher dan struktur kimia zingiberene.

2.4.1.3. Diterpene

Diterpene memiliki rumus kimia C20H32. Dengan demikian,


diterpene merupakan gabungan dari dua monoterpene, atau dengan
kata lain gabungan dari empat isoprene. Pada umumnya senyawa
terpenoid memiliki aktivitas farmakologis yang cenderung lemah.
Berbeda dengan kelompok lainnya, diterpene merupakan senyawa
terpenoid yang memiliki efek farmakologis yang kaya. Dua contoh
diterpene yang terkenal adalah retinol dan phytol. Phytol adalah
kelompok diterpene dengan rantai lurus yang merupakan prokursor
pada proses sistesis vitamin E dan Vitamin K1.

18
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Gambar 2.5. Retinol, sebuah contoh diterpen.

Retinol (Gambar 2.5) merupakan bentuk Vitamin A yang


dihasilkan pada sel hewan atau manusia. Ketika dikonversi menjadi
retinal (bentuk aldehida), maka akan berperan pada fungsi
penglihatan. Sedangkan ketika menjadi retinoid acid (bentuk asam
karboksilat) sangat penting untuk kesehatan kulit, gigi, dan tulang.
Tersimpan dalam bentuk ester sebagai retinyl ester, pada hewan
banyak dijumpai pada bagian hati dan telur.

2.4.1.4. Triterpene

Seperti halnya diterpene yang terdiri dari dua monoterpene,


maka triterpene tersusun dari tiga monoterpene atau enam isoprene
dengan rumus kimia C30H48. Kolesterol dan sterol adalah contoh
triterpenoid yang penting. Dengan struktur tetracyclic-nya, kolesterol
merupakan penyusun utama dari membran sel hewan yang berfungsi
dalam membangun, menjaga membran sel, serta mengatur fluiditas
membran dalam menjaga temperatur tubuh. Di dalam membran sel,
kolesterol juga berfungsi dalam sistem transpor antar sel dan
penghantaran sinyal pada impuls saraf.

19
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Gambar 2.6. Ginseng dan ginsenoside.

Contoh triterpene yang terkenal lainnya adalah ginsenoside


(Gambar 2.6), yang hanya ditemukan pada tanaman ginseng (Panax).
Ginsenoside merupakan triterpene saponin, karena termasuk dalam
kelompok saponin, dengan adanya senyawa gula yang terikat pada
struktur utamanya (glikosida). Glikosida saponin dapat menurunkan
tegangan permukaan dari air dengan membentuk busa yang
merupakan ciri fisik dari senyawa kelompok saponin.

2.4.1.5. Tetraterpene

Tetraterpene adalah terpene yang tersusun dari empat


monoterpene (C40H64). Contoh tetraterpene yang paling terkenal
adalah karotenoid, yang merupakan hasil transformasi kimiawi
(cyclization, oksidasi, dan hidrogenasi) dari tetraterpene yang
membentuk tetraterpenoid. Lebih dari 650 karotenoid telah
diidentifikasi dari bahan alam, yang menjadikannya sebagai sumber
bahan pewarna alami (warna jingga) yang penting.

20
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Gambar 2.7. Beta-karoten, sebuah tetraterpen yang penting.

Secara alami yaitu pada pada kloroplas tumbuhan, karotenoid


berfungsi sebagai penyerap energi cahaya pada proses fotosintesis
dan melindungi klorofil dari kerusakan karena intensitas cahaya.
Beberapa spesies dari karotenoid, seperti beta-karotene (Gambar 2.7)
dapat berperan sebagai sumber provitamin A, dalam artian dapat
dikonversi menjadi retinol. Selain itu, karotenoid juga merupakan
spesies antioksidan yang sangat penting.

2.4.1.6. Saponin

Ciri utama saponin adalah terbentuknya busa ketika dimasukkan


dalam air. Pada umumnya saponin ditemukan dalam bentuk glikosida
sebagai amphipatic glycoside (Gambar 2.8), yaitu glikosida yang
memiliki sifat hidrofilik (suka air) maupun lipofilik (suka minyak),
seperti sifat pada sabun atau sampo. Aglicone atau struktur tanpa gula
dari saponin dinamakan sapogenin. Sapogenin mengandung steroid
atau triterpene lain sebagai fitur organik utama. Steroid merupakan
komponen organik yang terdiri dari empat cincin yang tersusun
dengan konfigurasi yang unik. Contoh steroid adalah kolesterol.

21
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Gambar 2.8. Saponin dan busa saponin pada teh.

Saponin mudah terlarut dalam air dan bersifat racun terhadap


ikan atau hewan berdarah dingin lainnya, sehingga ada beberapa
praktik meracuni ikan dengan bahan-bahan tumbuhan yang
mengandung saponin. Selain itu, Saponin memiliki manfaat lain
seperti sebagai senyawa anti-inflmatori, sebagai bahan dalam
pembuatan sampo, industri farmasi, agen pembentuk busa pada
pemadam kebakaran, serta dapat dimanfaatkan sebagai agen
pembasmi hama udang.

2.4.2. Alkaloid

Secara umum alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder yang


mengandung atom nitrogen dalam struktur kimianya. Alkaloid merupakan
golongan metabolit sekunder yang memiliki jenis yang paling banyak. Paling
tidak ada sekitar 15.000 jenis alkaloid yang telah diketahui. Meskipun asam
nukleat, asam amino peptida, protein, nukleotida, amina, dan antibiotik
adalah beberapa senyawa yang mengandung nitrogen, tetapi mereka tidak
disebut sebagai alkaloid. Dengan begitu banyak jenis alkaloid, maka ada
berbagai macam dasar pengklasifikasian. Di antaranya berdasarkan struktur

22
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

kimianya, biosintesis, efek farmakologis, serta taksonomi dari sumber


tanaman penghasilnya.

Alkaloid pada umumnya memberikan rasa pahit pada suatu bahan


alam. Seperti rasa pahit pada daun pepaya yang mengandung carpaine,
salah satu alkaloid yang memiliki aktivitas anti-plasmodial. Seperti carpaine
pada daun pepaya yang memiliki aktivitas anti-malaria, alkaloid dikenal
sebagai senyawa fitokimia yang memiliki beragam efek farmakologis,
seperti anti bakteri, anti kanker anti-hiperglisemik, anti asma dll. Morfin
telah digunakan secara luas dalam bidang kedokteran sebagai analgesik,
dan telah disalahgunakan sebagai salah satu narkotika. Kafein, nikotin,
theobromin, dan kokain juga termasuk golongan alkaloid yang memiliki
aktivitas sebagai stimulan. Stimulan bekerja dengan meningkatkan aktivitas
sistem sistem saraf pusat yang menghasilkan berbagai efek seperti
meningkatkan kebugaran, menghilangkan rasa kantuk, menaikkan tekanan
darah dan detak jantung. Beberapa stimulan lain dapat meningkatkan mood
dan rasa nyaman, meredakan rasa kekhawatiran/ketakutan, serta
menimbulkan kesan senang dan gembira.

Gambar 2.9. Kafein dalam biji kopi.

23
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Kafein (Gambar 2.9) secara alami dapat ditemukan pada kopi dan teh
atau coklat. Kafein sering diaplikasi pada minuman berenergi (energy drinks)
untuk memberikan stimulan rasa kebugaran. Nikotin adalah senyawa aktif
pada tembakau. Nikotin memberikan efek relaksasi pada penggunanya,
seperti pada perokok aktif. Kokain sering disalahgunakan sebagai narkotika
karena dapat memberikan efek kesenangan dan kegembiraan (recreational
effect). Kokain dihasilkan dari daun tanaman koka. Di bawah ini disampaikan
tabel beberapa senyawa alkaloid beserta efek farmakologinya.

2.4.3. Fenolik

Senyawa fenolik dicirikan dengan adanya paling tidak sebuah cincin


aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil yang terikat dengannya.
Lebih dari 8.000 jenis senyawa fenolik yang telah diidentifikasi dari berbagai
tumbuhan, dari yang paling sederhana dengan satu sebuah cincin aromatik
dan berat molekul yang rendah sampai dengan senyawa tanin yang
kompleks serta berbagai turunan polifenol yang sangat beragam.

Ada beberapa pendekatan dalam pengelompokkan senyawa fenol. Di


antaranya dibedakan berdasarkan jumlah gugus hidroksil pada cincin
aromatiknya, di mana ada 1-, 2-, atau polyatomic fenol. Selain itu ada
pengelompokkan berdasarkan jumlah cincin aromatik dan jumlah atom
karbon pada rantai samping. Berdasarkan pendekatan ini maka fenolik
dibagi menjadi empat, yaitu fenolik dengan satu cincin aromatik, fenolik
dengan dua cincin aromatik, quinone, serta polimer. Lebih komplek lagi ada
pengklasifikasian berdasarkan ikatan dengan gula ataupun beberapa asam
organik. Senyawa fenol yang memiliki lebih dari satu gugus hidroksil pada
cincin aromatik disebut sebagai senyawa polifenol. Polifenol dapat
dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu flavonoid dan non-flavonoid.

24
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

2.4.3.1. Flavonoid

Flavonoid merupakan polifenol yang terdiri dari 15 atom karbon,


dengan dua cincin aromatik (cincin A dan cincin B) yang terhubung
melalui sebuah jembatan dengan tiga atom karbon (cincin C), seperti
terlihat pada Gambar 2.10. Gugus hidroksil umumnya hadir pada
posisi atom no 4, 5, dan 7. Gula sangat umum hadir terikat dengan
flavonoid membentuk senyawa glikosida. Keberadaan gugus hidroksil
dan gula meningkatkan polaritas dan kelarutan pada air. Sebaliknya,
gugus lain seperti metil dan isopentil akan menurunkan polaritas dan
kelarutan pada air.

Gambar 2.10. Struktur umum flavonoid.

Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenolik yang paling


beragam dan dapat ditemukan di hampir seluruh tumbuhan, yang
pada umumnya terdapat pada jaringan epidermis pada daun dan kulit
buah. Kelompok utama dari flavonoid meliputi: flavonol, flavone,
isoflavone, flavanone, flavan-3-ol, dan anthocyanin. Kelompok lain
yang jumlahnya sangat minor antara lain: coumarin, chalcone,
dihydroflavonol, dan aurone.

25
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Secara alamiah bagi tumbuhan sendiri, flavonoid dapat berperan


sebagai pelindung dari sinar UV, sebagai zat pewarna, serta
perlindungan dari berbagai penyakit. Sebagai polifenol, banyak studi
telah membuktikan manfaat dari flavonoid untuk kesehatan manusia,
antara lain sebagai anti kanker, antiinflamatori, antioksidan, antialergi,
antiviral, anti melanogenesis, dll. Beberapa studi juga telah
membuktikan bahwa flavonoid dapat mencegah oksidasi dari LDL
(low-density lipoprotein) yang mampu mengurangi resiko terjadinya
berbagai penyakit pembuluh darah (atherosclerosis). Konsumsi
makanan terutama sayuran dan buah-buahan yang kaya akan
flavonoid dapat mencegah resiko penyakit kardiovaskuler.

a. Flavonol dan Flavone

Struktur kimia antara flavonol dan flavone tidak jauh berbeda.


Sebagai anggota kelompok flavonoid, flavonol dan flavone memiliki
dua cincin aromatik yang disebut sebagai cincin A dan cincin B yang
dihubungkan dengan tiga atom karbon yang membentuk cincin C
sebagai cincin antara.

Gambar 2.11. Flavonol (kiri) dan flavone (kanan).

26
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Dua hal yang membedakan flavonol dan flavone dari


flavonoid lainnya adalah adanya ikatan ganda antara karbon nomor
2 dan nomor 3 pada cincin antara, serta hadirnya sebuah atom
oksigen pada karbon nomor 4 yang membentuk gugus keton.
Sedangkan yang membedakan antara flavonol dan flavone adalah
flavonol memiliki sebuah tambahan gugus hidroksil pada posisi
nomor 3, sedangkan flavone tidak memilikinya (Gambar 2.11).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa flavonol sebagai 3-
hydroxyflavone.

Gambar 2.12. Quercetin (kiri) dan kaempferol (kanan).

Pada umumnya flavonol hadir dalam bentuk glikosida dari


quercetin, kaempferol, myricetin, dan isorhamnetin (Gambar 2.12).
Hidroksil pada karbon nomor 3 adalah posisi yang paling sering
menjadi tempat terikatnya gula pada flavonol yang membentuk
glikosida. Dua jenis gula yang biasanya terikat adalah glukosa dan
rhamnosa, tetapi tidak menutup kemungkinan hadirnya gula lain
seperti galakstosa, arabinosa, dan xylosa, ataupun asam organik,
seperti glucoronic acid. Di alam telah diketahui ada lebih dari 300
kombinasi antara quercetin (disebut sebagai aglicone) dengan gula
membentuk quercetin glycoside, salah satu contohnya adalah

27
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Hyperoside (Gambar 2.13) yang merupakan glukosida dari


quercetin.

Gambar 2.13. Hyperoside, glukosida dari quercetin.

Flavonol merupakan flavonoid yang paling umum dijumpai


pada sayuran dan buah-buahan. Pada umumnya hadir pada bagian
kulit baik daun maupun buah, dan jarang hadir pada daerah daging
buah. Hal disebabkan karena biosintesis dari flavonol distimulasi
oleh hadirnya cahaya. Banyak studi telah mengungkapkan efek
positif flavonol bagi kesehatan seperti sebagai antioksidan, anfi
inflamatori, dan anti kanker.

Berbeda dengan flavonol yang pada umumnya mengikat gula


pada posisi 3; maka flavone pada umumnya mengikat gula pada
posisi nomor 7, dikarenakan absennya gugus hidroksil pada posisi
nomor 3. Tidak seperti flavonol yang sangat umum dijumpai pada
sayuran dan buah, flavone cenderung lebih jarang ditemukan. Jeruk
termasuk buah yang kaya akan flavone, di antaranya adalah
nobiletin dan tangeretin. Contoh senyawa flavone lain yang umum
ditemukan adalah luteolin dan apigenin.

28
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

b. Isoflavone

Gambar 2.14. Flavone (kiri) dan isoflavone (kanan).

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa yang membedakan


antara flavonol dan flavone salah satunya adalah flavonol memiliki
ikatan tunggal pada cincin C sedangkan pada flavone berupa ikatan
rangkap sehingga tidak ada gugus hidroksil yang terikat pada posisi
nomor 3. Hadirnya ikatan rangkap pada cincin C flavone
menyebabkan kemungkinan terjadinya dua senyawa isomer karena
perbedaan posisi terikatnya cincin B pada cincin C, yaitu dapat
terikat pada posisi 2 seperti pada flavone atau terikat pada posisi 3,
yang sekarang disebut sebagai isoflavone (Gambar 2.14). Dengan
demikian flavone dan isoflavone memiliki berat molekul yang sama.
Isoflavone banyak dijumpai pada keluarga Legum dengan
kandungan yang tinggi pada kacang kedelai (Glycine max).

c. Flavanone

Flavanone merupakan flavone yang memiliki ikatan tunggal


pada cincin C nya, di mana pada flavone atau isoflavone berupa
ikatan rangkap. Senyawa flavanone banyak ditemukan pada buah
jeruk. Contoh flavanone adalah hesperetin, hesperidin, naringenin,

29
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

naringin, poncirin, ponciretin, butin, eriodictyol, dll. Hesperidin


(hesperetin 7-O-rutinosie, Gambar 2.15) merupakan glikosida dari
hesperetin yang terdapat pada buah jeruk (Citrus).

Gambar 2.15. Struktur umum isoflavone serta hesperidin (isoflavone


pada buah jeruk).

d. Flavan-3-ol

Flavan-3-ol merupakan anggota flavonoid yang paling


kompleks yang terdiri dari mulai monomer sederhana seperti (+)-
catechin atau isomernya (-)-epicatechin sampai oligomerik atau
polimerik proanthocyanidin, yang diketahui sebagai tanin
terkondensasi. Tidak seperti pada flavonol, flavone, atau isoflavone
yang berupa struktur planar, maka flavan-3-ol dan juga flavanone
bukan merupakan struktur planar yang disebabkan oleh hadirnya
ikatan jenuh antara posisi 2 dan posisi 3 pada cincin C. Dengan
struktur kimia seperti itu memungkinan terjadinya isomer pada
posisi tersebut, salah satunya adalah (+)-catechin (Gambar 2.16)
dan isomernya yaitu (-)-epicatechin.

30
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Gambar 2.16. Struktur kimia catechin.

e. Anthocyanin

Anthocyanin merupakan salah anggota dari flavonoid yang


memiliki sifat mudah larut dalam air dan berwarna antara merah
dan biru. Anthocyanin banyak ditemukan di alam dalam bentuk
glikosida dari anthocyanidin (Gambar 2.17), seperti cyanidin,
delphinidin, peonidin, petunidin, malvidin, dll. Anthocyanin dapat
ditemukan pada berbagai tumbuhan, meskipun terdapat dalam
jumlah yang signifikan pada buah-buahan berwarna ungu dan
merah, seperti blueberry, backcurrant, mulberry, cherry, red grape,
ataupun purple corn.

31
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Gambar 2.17. Struktur umum anthocyanidin (aglicone dari anthocyanin).

Meskipun anthocyanin adalah termasuk senyawa dengan


aktivitas antioksidan yang tinggi, tetapi karena sifatnya yang sulit
untuk diserap dan memiliki kestabilan yang rendah, maka aktivitas
biologisnya menjadi relatif rendah. Banyak studi telah
membuktikan efek farmakologis anthocyanin sebagai anti kanker,
kesehatan kardiovaskular, dan anti inflamatori.

2.4.3.2. Non-flavonoid

Senyawa fenolik non flavonoid di sini adalah seluruh senyawa


fenolik yang tidak memiliki struktur flavonoid, yaitu tidak terdiri dari
dua cincin aromatik A dan B yang terhubung dengan cincin C. Ada dua
kelompok utama senyawa non flavonoid, yaitu hydroxybenzoic acid
yang dicirikan dengan adanya rangka C6-C1 serta hydrocinnamic acid
yang dicirikan dengan adanya rangka C6-C3. Selain itu ada senyawa
tanin, senyawa polifenol terkenal dengan gugus hidroksil yang sangat
melimpah pada struktur kimianya yang dicirikan dengan timbulnya
rasa sepat dan asam pada bahan yang mengandungnya.

32
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

a. Hydroxybenzoic acid (struktur rangka C6-C1)

Hydroxybenzoic acid dapat dikategorikan sebagai phenolic


acid, yaitu struktur yang terdiri dari sebuah cincin fenolik (cincin
aromatik atau benzene dengan satu atau lebih gugus hidroksil yang
terikat dengannya) dan sebuah gugus asam karboksilat sehingga
disebut sebagai asam fenolik atau asam yang berfenol. Struktur
ikatan antara gugus fenolik dengan asam karboksilat inilah yang
dinamakan struktur rangka C6-C1, karena adanya hubungan antara
atom karbon posisi 6 dari gugus fenolik dengan atom karbon posisi
1 dari gugus asam karboksilat.

Gambar 2.18. Tiga kemungkinan posisi hidroksil pada hydroxybenzoic acid.

Berdasarkan kemungkinan posisi terikatnya gugus hidroksil


(OH) pada cincin aromatik (posisi 2, 3, dan 4), maka ada tiga tipe
dari hydroxybenzoic acid (Gambar 2.18). Salicylic acid adalah salah
satu contoh dari 2-hydroxybenzoic acid, di mana gugus hidroksil
terikat pada posisi 2 dari cincin aromatiknya. Sedangkan dilihat dari
jumlah gugus hidroksil yang terikat pada cincin aromatiknya, maka
ada dihydroxybenzoic acid dengan dua hidroksil dan
trihydroxybenzoic acid dengan tiga hidroksi.

33
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Contoh dihydroxybenzoic acid adalah protocatechuic acid


dengan hidroksi yang terikat pada posisi 3 dan 5 dari cincin
aromatik. Sedangkan contoh terkenal dari trihydroxybenzoic acid
adalah gallic acid (3,4,5-trihydroxybenzoic acid, Gambar 2.19),
dengan hidroksil yang terikat pada posisi 3, 4, dan 5.

Gambar 2.19. Gallic acid (trihydroxybenzoic acid).

b. Hydroxycinnamic acid (struktur rangka C6-C3)

Kalau hidroxybenzoic acid dikategorikan sebagai phenolic


acid, maka hidroxycinnamic acid dikategorikan sebagai cinnamic
acid. Cinnamic acid yang merupakan phenylpropanoid adalah
sebuah cincin aromatik dengan sebuah ekor yang terdiri dari 3
atom karbon (C3-C2-C1) yang ujungnya ada sebuah gugus asam
karboksilat (C1). Pada dasarnya senyawa hydroxycinnamic acid
merupakan turunan atau penambahan gugus hidroksil dari
cinnamic acid (Gambar 2.20). Senyawa-senyawa yang termasuk
kelompok ini adalah cinnamic acid, coumaric acid, caffeic acid,

34
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

chlorogenic acid, cichoric acid, coumarin, ferulic acid, sinapinic acid,


dll.

Gambar 2.20. Hydroxycinnamic acid (kiri) dan cinnamic acid (kanan).

Coumaric acid (Gambar 2.21) merupakan cinnamic acid


dengan penambahan satu gugus hidroksil pada gugus phenyl
(cincin benzene dengan posisi 6 yang terikat dengan atom karbon
lain). Ada tiga isomer dari coumaric acid karena perbedaan posisi
hidroksil, yaitu o-coumaric acid, m-coumaric acid, dan p-coumaric
acid. p-coumaric acid merupakan jenis yang paling banyak
ditemukan di alam, seperti pada kacang tanah, tomat, wortel, dan
bawang putih.

Gambar 2.21. Caffeic acid (kanan) dan coumaric acid (kiri).

Caffeic acid (Gambar 2.21) adalah cinnamic acid dengan dua


gugus hidroksil pada gugus phenyl posisi 3 dan 4. Meskipun
namanya hampir mirip, namun caffeic acid sangat berbeda dengan

35
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

caffein, dimana caffein merupakan senyawa dengan atom nitrogen


di dalamnya yang dikelompokkan ke dalam alkaloid, sedangkan
caffeic acid sendiri adalah bagian dari kelompok senyawa fenolik.
Caffeic acid merupakan salah satu zat yang banyak dijumpai pada
bahan makanan, seperti pada buah kopi, beberapa buah dan
sayuran, seperti apel, aprikot, buah berry, biji bunga matahari, dan
juga ditemukan cukup tinggi pada produk wine. Caffeic acid yang
berikatan dengan quinic acid melalui ikatan ester dinamakan
sebagai chlorogenic acid. Chlorogenic acid banyak ditemukan pada
daun teh.

c. Tanin

Tanin (Gambar 2.22) adalah senyawa polifenol yang memiliki


jumlah gugus hidroksil yang melimpah atau gugus lainnya seperti
karboksil untuk dapat membentuk ikatan kompleks yang kuat
dengan beberapa molekul makro seperti protein, pati, selulosa, dan
juga mineral. Karakteristik tanin adalah hadirnya paling tidak 12
gugus hidroksil atau 5 gugus phenyl yang dapat berfungsi dalam
mengikat protein. Dari sifat kimianya inilah tanin mampu
mengendapkan protein dari larutannya dengan cara mengikatnya.
Melimpahnya jumlah hidroksil memungkinkan tanin sebagai
senyawa pengikat logam yang kuat. Untuk itu, konsumsi tanin yang
terlalu tinggi dapat menyebabkan anemia karena tanin yang
mengikat zat besi dalam darah.

36
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Gambar 2.22. Salah satu contoh tanin (tannic acid).

Tanin disintesis melalui jalur shikimic acid atau


phenylpropanoid pathway. Mekanisme yang sama pada sintesis
isoflavone, coumarin, lignin, dan asam amino aromatik. Tanin
dapat ditemukan pada berbagai jenis tanaman yang dicirikan
dengan rasa sepat dan asam, seperti pada teh. Cengkih, panili, kayu
manis, kacang almond, coklat, dan beberapa jenis buah berry juga
mengandung tanin dengan konsentrasi yang beragam.

Tanin memiliki kemampuan sebagai astringent, yaitu


senyawa yang mampu mengencangkan jaringan tubuh sehingga
dapat dimanfaatkan untuk mengencangkan kulit. Secara alamiah,
tanin berfungsi sebagai pelindung tumbuhan dari serangan
predator atau hama, oleh karena tanin juga dapat dimanfaatkan
sebagai pestisida. Seperti asal usul namanya, tanin (tanning)
memang dimanfaatkan sebagai bahan dalam penyamakan kulit.

37
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

2.5. Rangkuman

1. Secara garis besar berdasarkan biosintesis dan struktur kimianya,


senyawa metabolit sekunder dikelompokkan dalam tiga golongan besar
yaitu terpenoid, alkaloid, dan fenolik.
2. Terpenoid merupakan golongan senyawa yang disintesis melalui proses
kondensasi dari unit-unit terkecilnya yaitu isoprene yang berupa sebuah
struktur kimia dengan lima atom karbon (C5).
3. Senyawa terpenoid dikelompokkan berdasarkan jumlah isoprene (C5)
yang hadir pada struktur intinya, meliputi: monoterpen (C10),
seskuiterpen (C15), diterpene (C20), triterpene (C30), dan tetraterpene
(C40).
4. Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder yang mengandung atom
nitrogen dalam struktur kimianya.
5. Senyawa fenolik dicirikan dengan adanya paling tidak sebuah cincin
aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil yang terikat dengannya.
6. Senyawa Fenol yang memiliki lebih dari satu gugus hidroksil pada cincin
aromatik disebut sebagai senyawa polifenol. Polifenol dapat
dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu flavonoid dan non-flavonoid.

2.6. Latihan

1. Jelaskan karakteristik struktur kimia dari tiga golongan senyawa


metabolit sekunder (terpenoid, alkaloid, dan fenolik)!
2. Sebutkan kelompok senyawa anggota dari terpenoid dan berikan
contohnya serta sumber tanaman penghasilnya!
3. Sebutkan kelompok senyawa anggota dari flavonoid dan berikan
contoh-contoh senyawanya!

38
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

4. Senyawa kelompok non-flavonoid dibagi menjadi dua yaitu


hydroxybenzoic acid dan hydroxycinnamic acid, jelaskan perbedaan
keduanya!
5. Sebutkan contoh-contoh senyawa alkaloid yang penting!

2.7. Bacaan Lanjutan yang Dianjurkan

Achmad, S.A., 2001. Materi Pokok Kimia Organik Bahan Alam. Universitas
Terbuka, Jakarta.
Cannell, R.J.P., 1998. Natural Products Isolation. Humana Press, New Jersey.
Grotewold, E., 2008. The Science of Flavonoids. Springer, New York.
Harborne, J.B., 1973. Phytochemical Methods. Chapman and Hall, London.
Harborne, J.B., 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan (terjemahan). Penerbit ITB, Bandung.
Imanshahidi, M. dan Hosseinzadeh, H., 2008. Pharmacological and Therapeutic
Effects of Berberis vulgaris and Its Active Constituent, Berberine.
Phytotherapy Research, 22: 999-1012.
Irchhaiya, R., dkk., 2014. Metabolites in Plants and Its Classification. World Journal
of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 4: 287-305.
Kabera, J.N., Semana, E., Mussa, A.R., dan He., X., 2014. Plant Secondary
Metabolites: Biosynthesis, Classification, Function and Pharmacological
Properties. Journal of Pharmacy and Pharmacology, 2:377-392.
Markham, K.R., 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. ITB, Bandung.
Rostagno, M.A. dan Prado, J. M., 2013. Natural Product Extraction: Principles and
Applications. RSC Publishing, Cambridge, UK.
Sastrohamidjojo, H., 2004. Kimia Minyak Atsiri. Universitas Gadjah Mada.
Jogjakarta.
Wiryowidagdo, S., 2008. Kimia dan Farmakologi Bahan Alam. EGC, Jakarta.

39
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

3. RAGAM PRODUK BAHAN


ALAM

3.1. Deskripsi Singkat

Setelah memahami tentang bahan alam dan kelompok-kelompok senyawa


metabolit sekunder, maka selanjutnya di bab 3 ini disajikan ragam produk
pemanfaatan dari bahan alam. Ragam produk pemanfaatan bahan alam ini
meliputi produk minyak atsiri, produk farmasetik, produk nutrasetik, produk
kosmetik, serta golongan produk bahan alam berdasarkan klasifikasi dari BPOM
yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka di mana penggolongannya
didasarkan pada cara pembuatan, klaim penggunaan, dan pembuktian khasiat.

3.2. Relevansi

Pengetahuan mengenai ragam produk bahan alam ini penting disajikan


dalam rangka memahami berbagai macam pemanfaatan bahan alam sebagai
produk-produk yang berguna bagi manusia serta tingginya nilai tambah yang
dapat diperoleh. Dengan mengetahui hal ini maka mahasiswa dapat memahami
tentang pentingnya mengelola bahan alam ini menjadi produk-produk yang
bermanfaat dan bernilai tinggi (high added value).

40
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

3.3. Kompetensi

Setelah menyelesaikan bab ini, maka mahasiswa akan memiliki


pengetahuan tentang pemanfaatan berbagai macam bahan alam untuk berbagai
keperluan seperti berbagai produk minyak atsiri, produk farmasetik, produk
nutrasetik, produk kosmetik, jamu, obat herbal, dan fitofarmaka. Selain itu
mahasiswa juga akan memahami prinsip perbedaan dari masing-masing golongan
produk tersebut.

3.4. Pengantar

Berbagai macam produk untuk menjawab kebutuhan manusia telah


dihasilkan dari berbagai bahan alam yang telah disediakan oleh Tuhan. Produk-
produk tersebut berbeda dari tingkat teknologi pengolahannya maupun tujuan
penggunaannya. Dalam bab ini disajikan penjelasan tujuh kelompok produk, yaitu
minyak atsiri, farmasetika, nutrasetika, kosmetika, jamu, obat herbal terstandar,
obat fitofarmaka, dan produk lainnya.

3.5. Minyak Atsiri (Essential Oils)

3.5.1. Pengertian dan Karakteristik Minyak Atsiri

Minyak atsiri merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan


oleh tumbuhan yang memiliki ciri berupa cairan kental yang mudah
menguap pada suhu ruang dan memberikan aroma (essence). Karena ciri-
cirinya tersebut, minyak atsiri sering disebut sebagai minyak terbang
(volatile oil) karena mudah menguap/volatil. Dalam bahasa Inggris, minyak
atsiri disebut essential oil, karena menghasilkan aroma (essence). Selain itu
disebut juga sebagai minyak eteris (aetheric oil) karena bersifat seperti eter
sehingga sangat larut pada pelarut eter. Meskipun ada beberapa binatang
yang dapat menghasilkan bau, seperti musang atau beberapa serangga,

41
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

tetapi senyawa-senyawa yang dihasilkan tersebut tidak dikategorikan


sebagai minyak atsiri. Beberapa ciri khusus minyak atsiri antara lain:

1. Memiliki bau yang khas/spesifik untuk masing-masing minyak atsiri.


2. Tidak larut dalam air, tetapi mudah terlarut pada pelarut organik
seperti eter, metanol, ethanol, dan kloroform.
3. Sebagian komponen penyusunnya sangat mudah menguap.
4. Minyak atsiri dengan kandungan fenol dapat membentuk garam.
5. Minyak atsiri juga dapat membentuk kristal pada kondisi lingkungan
tertentu.

Semua jenis minyak atsiri tidak tersusun atas sebuah senyawa tunggal,
tetapi merupakan campuran dari beberapa senyawa volatil dengan titik uap
rendah. Senyawa-senyawa penyusun minyak atsiri biasanya memiliki efek
yang mampu mempengaruhi saraf pusat manusia sehingga dapat
menciptakan efek psikologis atau perasaan tertentu.

Seperti senyawa organik lainnya, minyak atsiri juga merupakan


senyawa hidrokarbon yang termasuk dalam golongan terpene (pada
umunya berasal dari golongan monoterpene dan sesquiterpene
hidrokarbon), alkohol (monoterpene alkohol dan sesquiterpene alkohol),
ester, aldehida, keton, fenol, dll yang cenderung bersifat hidrofobik. Dengan
demikian, minyak atsiri memiliki komponen penyusun yang jauh berbeda
dengan lipid (minyak/lemak) yang tersusun dari asam lemak. Sehingga
minyak atsiri memiliki kelebihan tidak tengik, tidak mengandung asam, tidak
tersabunkan, serta tidak meninggalkan noda.

3.5.2. Sumber Minyak Atsiri

Minyak atsiri dapat ditemukan pada berbagai bagian tumbuhan baik


pada daun, bunga, buah, biji, batang atau kulit batang, akar, ataupun

42
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

rimpang. Minyak atsiri tersimpan pada berbagai jaringan tumbuhan, seperti


pada rambut kelenjar (terjadi pada famili Labiatae), di dalam sel-sel
parenkim (pada famili Piperaceae), di dalam rongga-rongga skizogen dan
lisigen, seperti pada famili Pinaceae dan Rutaceae. Minyak atsiri dapat
terbentuk secara langsung oleh protoplasma akibat adanya peruraian
lapisan resin oleh dinding sel.
Di Indonesia ada lebih dari 40 jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan
sebagai sumber penghasil minyak atsiri. Beberapa contoh tanaman
penghasil minyak atsiri berdasarkan bagian tanaman yang menjadi sumber
minyak atsiri antara lain:

1. Daun : nilam, cengkeh, sereh wangi, jeruk purut, salam, kayu putih,
mentha, gandapura, kemangi, kemuning, kenikir, seledri dll.
2. Bunga : cengkeh, kenanga, sedap malam, melati, srigading, angsana,
cempaka kuning, srikanta, dll.
3. Buah : jeruk, adas, jintan, ketumbar, kemukus, dll.
4. Biji : pala, lada, kasturi, kapulaga, seledri, kosambi, dll.
5. Batang/kulit batang : kayu manis, cendana, akasia, sintok, lawang.
6. Akar : akar wangi, kemuning
7. Rimpang: jahe, kunyit, kencur, lengkuas, temulawak, temu hitam,
lempuyang, temu putri, jeringau, bangel, baboan, dll.

Konsentrasi atau kandungan minyak atsiri pada satu jenis bahan
tanaman dapat sangat beragam (tidak seragam), di mana sangat
dipengaruhi oleh kondisi tanah (kadar garam, mineral, pH, kandungan unsur
pertumbuhan, dll), kondisi air dan kelembaban udara, serta intensitas
paparan sinar matahari. Pada umumnya tumbuhan akan menghasilkan
minyak atsiri secara maksimal pada kondisi lingkungan yang kritis, seperti

43
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

persediaan nutrisi yang rendah, kesulitan mendapatkan asupan air, atau


struktur tanah berkapur (pH tinggi). Kondisi seperti ini merangsang
tumbuhan untuk memproduksi senyawa-senyawa toksik yang penting untuk
mempertahankan diri dari lingkungan luar yang semakin mengancam,
seperti serangan serangga atau parasit, karena kondisi tumbuhan yang
sedang tidak ideal untuk menjaga kekebalan. Selain berfungsi sebagai
pengusir serangga (insect repellant) untuk melindungi buah atau bagian
tumbuhan lainnya, minyak atsiri juga memiliki peranan penting sebagai
penarik serangga untuk membantu penyerbukan (insect attractant).

3.5.3. Pemanfaatan Minyak Atsiri


(http://northwestpharmacy.com/)

Gambar 3.1. Beberapa pemanfaatan minyak atsiri sebagai produk


kesehatan.

Dalam pemanfaatannya, minyak atsiri dapat digunakan sebagai bahan


pewangi (fragrance) dan fiksatif (pengikat), penyedap (flavoring), antiseptik
internal, bahan analgesik, bahan sedatif, serta juga sebagai stimulan.
Gambar 3.1 di atas memperlihatkan beberapa contoh minyak atsiri yang
populer beserta manfaatnya.

44
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Dalam proses pemurnian dan pengolahannya, minyak atsiri dibagi


menjadi dua kelompok, yaitu minyak atsiri yang komponen penyusunnya
sulit untuk dipisahkan, seperti minyak nilam dan minyak akar wangi.
Kelompok kedua adalah minyak atsiri yang komponen-komponen
penyusunnya relatif mudah untuk dipisahkan/diisolasi senyawa murninya,
seperti minyak sereh wangi, minyak daun cengkeh, dan minyak terpentin.
Senyawa murni/tunggal dari proses pemisahan biasanya digunakan sebagai
bahan dasar untuk diproses menjadi produk yang lebih bernilai tambah
tinggi.

3.6. Produk Farmasetik (Pharmaceuticals)

Maksud produk farmasetik di sini adalah produk-produk yang berfungsi


sebagai obat, baik sebagai bahan baku atau senyawa aktif obat, atau bentuk
ekstrak yang berkhasiat sebagai obat. Dapat dikatakan sebagai obat jika telah
memiliki izin produksi dan peredaran sebagai obat di mana telah lulus beberapa
uji sebagai produk obat oleh lembaga yang berwenang (di Indonesia adalah Badan
Pengawas Obat dan Makanan - BPOM). Definisi obat sendiri adalah suatu zat atau
kombinasi dari beberapa zat yang memiliki kemampuan untuk mencegah atau
menyembuhkan suatu penyakit melalui suatu mekanisme dengan mempengaruhi
fungsi dari suatu sistem kerja tubuh.

Penelitian di bidang bahan alam terus berlanjut dan berkembang untuk


menemukan senyawa-senyawa aktif untuk dijadikan sebagai lead structure yang
nantinya akan menjadi template atau senyawa model untuk disintesis dan
dikembangkan menjadi sebuah obat baru. Bahan alam akan terus berkembang
dan menjadi sumber penemuan obat-obat baru. Tabel 3.1 di bawah ini
memberikan contoh-contoh senyawa aktif beserta sumber tanamannya dan
pemanfaatannya sebagai obat atau bahan obat.

45
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Tabel 3.1. Sejumlah senyawa aktif metabolit sekunder beserta sumber tanaman
dan efek farmakologisnya

Senyawa aktif Efek farmakologi Sumber tanaman


Acetyldigoxin Cardiotonic Digitalis Lanata Ehrh.
Adoniside Cardiotonic Adonis vernalisn L.
Aescin Anti-imflammatory Aesculus hippocastamum L.
Aesculetin Antidysentery Fraximus rhynchophylla Hance
Agrimophol Anthelmintic Agrimonia eupatoria L.
Ajmalicine Circulatory disorders Rauvolfia serpentine (L.) Benth ex. Kurz
Allyl isothiocyanate Rubefacient Brassia nigra (L.) Koch
Andrographolide Bacillary dysentery Andrographis paniculata Ness
Anisodamine Anticholinergic Anisodus tanguticus (Maxim.) Pascher
Anisodine Anticholinergic Anisodus tanguticus (Maxim.) Pascher
Arecoline Antheimintic Areca catechu L.
Asiaticoside Vulnerary Centella asiatica (L.) Urban
Atropine Anticholinergic Atropa belladonna L.
Berberine Bacillary dysentery Berberis vulgaris L.
Bromelain proteolytic agent Ananas comusus (L.) Merrill
Caffeine CNS stimulant Camellia sinensis (L.) Kuntze
(+)-Catechin Haemostatic Potentilla fragarodies L.
Chymopapain Proteolytic; mucolytic Carica papaya L.
Cocaine Local anaesthetic Erythroxylum coca Lamk.
Codeine Analgesic; Antitussive Papaver somniferum L.
Colchicine Antitumor agent Colchicum autumnale L.
Convallotoxin Cardiotonic Convallaria majalis L.
Curcumin Choleretic Curcuma longa L.
Cynarin Choleretic Cynara scolymus L.
Danthron Laxative Cassia spp.
Deserpidine Antihypertensive Rauvolfia canescens L.
Deslanoside Cardiotonic Digitalis lanata Ehrh.
Digitalin Cardiotonic Digitalis purpurea L.
Digitoxin Cardiotonic Digitalis purpurea L.
Digoxin Cardiotonic Digitalis lanata Ehrh.
Ephedrine sympathomimitetic Ephedra sinica Stapf.
Etoposide Antitumour agent Podophyllum peltatum L.
Gitalin Cardiotonic Digitalis purpurea L.
Glaucaroubin Amoebicide Simarouba glauca DC
Glycyrrhizin Sweetener Glycyrrhiza glabra L.
Gossypol Male contraceptive Gossypium spp.
Hemsleyadin Bacillary dysentery Helmsleya amabilis Diels
Hydrastine Hemostatic; astringent Hydrastis Canadensis L.
Hyoscamine anticholinergic Hyoscamus niger L.

46
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Kainic acid Ascaricide Digenea simplex (Wulf.) Agardh


Kawain Tranquilizer Piper methysicum Forst. f.
Khellin Bronchodilator Ammi visnaga (L.) Lamk.
Lanatosides A, B, C Cardiotonic Digitalis lanata Ehrh.
Lobeline respiratory stimulant Lobelia inflate L.
Monocrotaline Antitumor agent Crotolaria sessiliflora L.
Morphine Analgesic Papaver somniferum L.
Neoandrographolide Bacillary dysentery Andrographis paniculata Ness
Noscapine Antitussive Papaver somniferum L.
Ouabain Cardiotonic Strophanthus gratus Baill.
Papain Proteolytic; mucolytic Carica papaya L.
Papaverine Sympatholytic Papaver somniferum L.
Phyllodulcin Sweetener Hydrangea macrophylla (Thunb.) DC
Physostigmine Cholinesterase inhibitor Physostigma venenosum Balf.
Picrotoxin Analeptic Anamirta cocculus (L.) W. & A.
Pilocarpine Parasympathomimetic Pilocarpus jaborandi Holmes
Protoveratrines A&B Antihypertensive Veratrum album L.
Pseudoephedrine Sympathomimetic Ephedra sinica Stapf.
Quisqualic acid Anthelmintic Quisqualis indica L.
Quinine Antimalaric Cinchona ledgeriana Moens ex. Trimen
Rhomitoxine Antihypertensive Rhododendron molle G. Don
Rorifone Antitussive Rorippa indica (L.) Hochr.
Rotenone Piscicide Lonchocarpus nicou (Aubl.) DC.
Rotundine Analgesic; sedative Stephania sinica Diels.
Salicin Analgesic Salix alba L.
Santonin Ascaricide Artemisia maritime L.
Scillarin A Cardiotonic Urginea maritime (L.) Baker
Scopolamine Sedative Datura metel L.
Sennosides A&B Laxative Cassia spp.
Silymarin antihepatotoxic Silybum marianum (L.) Gaertn.
Stevioside Sweetener Stevia rebaudiana Bertoni
Strychnine CNS stimulant Strycnos nux-vomica L.
Teniposide Antitumor agent Podophyllum peltatum L.
Theobromine Diuretic; bronchodilator Theobroma cacao L.
Theophylline Diuretic; bronchodilator Camellia sinensis (L.) Kuntze
Trichosanthin Abortifacient Thymus vulgaris L.
Tubocuarine Skeletal muscle relaxant Chondodendron tomentosum R. & P.
Valepotriates Sedative Valeriana officinalis L.
Vincamine Cerebral stimulant Vinca minor L.
Xanthotoxin Leukoderma, vitiligo Ammi majus L.
Sumber: Lahlou, 2013.

47
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

3.7. Produk Kosmetik (Cosmetics)

Produk kosmetik adalah produk utilitas atau pendukung yang ditujukan


untuk menjaga, merawat, atau meningkatkan penampilan dari wajah dan bagian
tubuh lain, seperti mulut, kuku tangan, mata, rambut, dsb. Bentuk-bentuk sediaan
produk kosmetik antara lain dalam bentuk krim, bedak, lotion, pelembab, shampo,
minyak rambut, conditioner, cat kuku, dll. Paparan dari berbagai sumber polusi
seperti bahan kimia beracun, mikroorganisme, logam, debu, serta sinar UV
menjadi penyebab utama kerusakan kulit. Produk-produk kosmetik berbasis
bahan alami saat ini sedang menjadi tren sebagai produk yang dinilai lebih aman.
Industri-industri kosmetik dan perawatan tubuh saat ini mulai berkonsentrasi
dalam mengembangkan produk-produk alami, seiring dengan meningkatnya tren
penggunaan produk-produk alami.

Kosmetik sendiri tidak mampu merawat atau memperbaiki kondisi kulit atau
bagian tubuh lainnya. Kosmetik memerlukan bahan aktif lain yang mampu
menjaga dan memperbaiki kulit. Ada dua mekanisme dari bahan alam sebagai
bahan aktif dalam sebuah produk kosmetik, yaitu sebagai zat yang mampu
menjaga kulit atau bagian lainnya dari pengaruh luar, seperti paparan UV, logam,
dan lainnya. Yang kedua adalah dengan mempengaruhi atau merangsang fungsi-
fungsi biologis dari sel dan jaringan serta menyediakan nutrisi yang cukup bagi sel
atau jaringan tersebut. Bentuk-bentuk bahan alam dalam produk kosmetik antara
lain dalam bentuk vitamin, senyawa antioksidan, minyak atsiri atau, hidrokoloid,
terpenoid, dll. Pada Tabel 3.2 dan Tabel 3.3 disajikan beberapa contoh bahan
alam dari tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai produk kosmetik dan perawatan
pribadi.

48
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Tabel 3.2. Contoh bahan alam yang dimanfaatkan sebagai produk perawatan kulit
(Kapoor, 2005).

Spesies Tanaman Ekstrak Penggunaan


Allium Sativum Linn. (bawang) minyak atsiri lotion kulit, krim
Aloe vera Linn. (lidah buaya) daun pelembab, lotion, krim
Carica papaya Linn. (pepaya) getah pelembut kulit
Citrus limon Linn. (lemon) minyak atsiri vitamin kulit
Cucumis sativus Linn. (mentimun) buah anti UV
Curcuma longa Linn. (kunyit) rimpang krim wajah
Lavandula vera DC. (lavender) minyak atsiri krim kulit, anti jerawat
Mangifera indica Linn. (mangga) buah antioksidan
Matricaria chamomilla Linn. (chamomile) daun krim kulit, anti jerawat
Momordica charantia Linn. (pare) buah antioksidan
Phyllanthus emblica Linn. (belimbing usu) buah antioksidan
Zea Mays Linn. (jagung) rambut peremajaan kulit

Tabel 3.3. Contoh bahan alam yang dimanfaatkan sebagai produk perawatan
rambut (Kapoor, 2005).

Spesies tanaman Ekstrak Penggunaan


Apium graveolens Linn. (seledri) daun penguat rambut
Aloe vera Linn. (lidah buaya) daun sampo, penguat rambut
Brassica spp. (kubis-kubisan) Biji vitamin rambut
Calendula officinalis Linn. (kalendula) bunga krim rambut, pelembut
Carthamus tinctorius Linn. (safflower) bunga penguat rambut
Cantella asiatica Linn. (pegagan) daun perawatan rambut
Cocos nucifera Linn. (kelapa) minyak pelembut rambut
Eclipta alba Linn. (urang aring) daun penghitam rambut
Lawsonia intermis Linn. daun pewarna rambut
Phyllanthus emblica Linn. (belimbing usu) buah penumbuh rambut
Salvia officinalis Linn. (daun sage) daun pelembab rambut

49
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

3.8. Produk Nutrasetik (Nutraceuticals)

Produk nutrasetik (nutraceuticals) secara fungsi dan karakteristiknya dapat


diposisikan menjadi produk transisi antara produk pangan umum (food) dengan
produk obat-obatan/farmasetik (pharmaceutical). Produk nutrasetik dapat
diartikan sebagai produk yang mengandung komponen-komponen yang tidak
terkandung atau terkandung tapi dalam jumlah minim pada produk pangan
umum, seperti komponen metabolit sekunder, vitamin, mineral, ataupun asam
amino tertentu, yang memberikan efek kesehatan tertentu tetapi tidak ditujukan
sebagai obat untuk penyembuhan suatu penyakit. Sementara itu produk pangan
(food) merupakan produk yang memiliki kandungan nutrisi pokok (karbohidrat,
lemak, protein, vitamin atau mineral) yang dibutuhkan dalam metabolisme tubuh
untuk pertumbuhan normal.

Sebuah produk yang dihasilkan dari proses ekstraksi atau isolasi komponen
dari tumbuhan yang memiliki efek perlindungan kesehatan yang kemudian
dikemas dalam bentuk kapsul, tablet, sirup atau serbuk juga dikategorikan
sebagai produk nutrasetik. Gambar 3.2 berikut ini memberikan gambaran tentang
perbedaan mendasar antara produk nutrasetik dengan produk farmasetik.

Gambar 3.2. Perbedaan produk farmasetik dan nutrasetik.

50
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Produk nutrasetik memiliki fungsi memberikan efek fisiologi bagi tubuh,


seperti meningkatkan kesehatan, menjaga stamina, meningkatkan performa fisik
dan mental, serta untuk meningkatkan daya kekebalan tubuh atau mengurangi
resiko terkena penyakit. Walaupun demikian, produk ini masih dikategorikan ke
dalam produk pangan, sehingga produsen tidak perlu melakukan pengujian ketat
terkait dengan keamanan dalam dosis penggunaannya seperti pada produk-
produk obat. Tetapi beberapa negara di Eropa sangat ketat terhadap produsen
dalam distribusi produk nutrasetik ini. Hanya produk yang sudah teruji ketat yang
dapat dipasarkan tanpa harus menggunakan resep, tetapi dalam label produk
harus dicantumkan bahwa fungsi produk bukan untuk menyembuhkan atau
mengobati penyakit, tetapi hanya untuk menjaga kesehatan.

Beberapa kelompok produk yang termasuk dalam nutrasetik antara lain:


suplemen (dietary supplements), pangan fungsional (functional foods), makanan
obat (medical foods), farmasetikal (farmaceuticals), dan di Indonesia kita juga
mengenal adanya produk Jamu, karena jamu tidak dapat dikategorikan sebagai
produk obat (drugs).

3.9. Produk Herbal di Indonesia

Sebagai negara yang membentang luas di wilayah tropis, Indonesia menjadi


tempat tumbuh flora dan fauna yang sangat beragam, sehingga menjadi negara
yang dengan tingkat biodiversitas terkaya ke dua di dunia yang memiliki lebih dari
30.000 spesies tumbuhan. Dari jumlah itu tentu saja memiliki peluang yang besar
menjadi bahan baku produk-produk berkhasiat yang alami baik digunakan sebagai
bahan farmasetik, nutrasetik, maupun kosmetik. Tercatat ada sekitar 940 spesies
tumbuhan di Indonesia yang terdeteksi sebagai tumbuhan berkhasiat, di mana
baru 180 spesies yang telah dimanfaatkan sebagai bahan dalam industri jamu
tradisional.

51
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Badan POM mengelompokkan produk-produk bahan alam di Indonesia


menjadi tiga kelompok yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.
Pengelompokan ini sebenarnya didasarkan pada metode pembuatan, klaim
pengguna, serta tingkat pembuktian khasiat. Ketiga kelompok produk bahan alam
tersebut dibedakan berdasarkan logo/lambang yang menempel pada kemasan
produk dengan logo seperti tertera pada Gambar 3.3 di bawah ini.

Gambar 3.3. Logo jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.

3.9.1. Jamu

Jamu merupakan bahan obat alam yang sediaannya masih berupa


simplisia sederhana, seperti irisan rimpang, daun, atau akar yang
dikeringkan. Sementara itu khasiat dan keamanannya baru dibuktikan
secara empiris melalui penggunaan selama bertahun-tahun secara turun
temurun. Sebuah ramuan dapat dikategorikan sebagai jamu jika telah
digunakan melewati tiga generasi, dalam artian jika tiap generasi memiliki
umur 60 tahun, maka jamu harus terbukti aman dikonsumsi tanpa
memberikan efek samping selama 180 tahun.

52
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Gambar 3.4. Logo jamu.

Sebagai salah satu contoh adalah rimpang temulawak yang


digunakan untuk mengatasai penyakit hepatitis selama ratusan tahun.
Pembuktian khasiat tersebut baru sebatas pengalaman. Selama belum
ada penelitian ilmiah yang membuktikan khasiat rimpang temulawak
sebagai anti hepatitis, maka Curcuma xanthorriza masih tetaplah
sebagai jamu. Maka jika diolah, dikemas dan dipasarkan, maka
produsen dilarang mengklaim temulawak sebagai obat, tetapi hanya
sebagai jamu. Produk jamu diberikan logo berupa ranting daun
berwarna hijau dalam sebuah lingkaran hijau (Gambar 3.4). Saat ini di
pasaran banyak ditemukan produk jamu yang diproduksi oleh
perusahaan-perusahaan besar dengan standarisasi yang baik, seperti
beberapa produk minyak kayu putih (Cap Lang dan Cap Gajah), Tablet
Herbal Antangin JRG, Ekstrak Kulit Manggis Garcia, Pil Binari, dll.

3.9.2. Obat Herbal Terstandar (OHT)

Jamu dapat dinaikkan kelasnya menjadi obat herbal terstandar (OHT)


dengan syarat bentuk sediaanya adalah berupa ekstrak serta dengan bahan
dan proses pembuatan yang terstandar. Selain itu untuk dapat
dikategorikan sebagai OHT, harus melewati uji praklinis seperti uji toksisitas
(keamanan), kisaran dosis, farmakodinamik (kemanfaatan), dan teratogenik
(keamanan terhadap janin). Uji praklinis ini meliputi uji secara in-vitro

53
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

maupun in-vivo, dengan uji in-vivo dilakukan terhadap hewan uji seperti
pada mencit, tikus, kelinci, atau tingkat yang lebih tinggi. Sedangkan uji in-
vitro dilakukan pada sebagian organ yang terisolasi, kultur sel, ataupun
mikroba. Riset in-vitro bersifat parsial, dalam arti baru diuji pada sebagian
organ atau pada cawan petri, sehingga efek keseluruhan terhadap tubuh
belum dapat diamati.

Gambar 3.5. Logo obat herbal terstandar.

Walaupun telah diuji secara praklinis, OHT belum dapat diklaim


sebagai obat, namun konsumen dapat mengkonsumsinya pada dosis yang
tepat karena telah terjamin keamanan dan khasiatnya. Produk OHT memiliki
logo berupa jari-jari daun berjumlah tiga dalam sebuah lingkarang warna
hijau (Gambar 3.5). Saat ini telah banyak beredar di pasaran produk OHT,
seperti Diapet, Mastin, Tolak Angin, Kiranti, Lelap, dll.

3.9.3. Obat Fitofarmaka

Fitofarmaka merupakan kategori dan status tertinggi dari produk


bahan alam. OHT dapat dinaikkan statusnya menjadi fitofarmaka setelah
melalui uji klinis pada manusia. Dosis dari hewan uji dikonversi ke dosis
aman bagi manusia. Dari uji klinis inilah didapatkan kesamaan efek antara

54
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

hewan coba dengan pada manusia. Sebuah produk yang belum teruji secara
klinis bisa saja ampuh ketika diuji pada hewan coba, tetapi tidak ampuh
ketika diujicobakan pada manusia. Uji klinis dapat terdiri dari atas single
center yang dilakukan di laboratorium penelitian dan multi center di
berbagai lokasi agar lebih objektif.

Gambar 3.6. Logo obat fitofarmaka.

Setelah lolos uji fitofarmaka, maka produsen dapat mengklaim


produknya sebagai sebuah obat, dengan klaim yang tidak boleh
menyimpang dari materi uji klinis sebelumnya. Sebagai contoh, ketika diuji
sebagai materi anti hipertensi maka tidak boleh mengklaim sebagai anti
hipertensi dan anti kanker. Logo obat fitofarmaka yang menempel pada
kemasan berupa bentuk kristal salju warna yang berada dalam sebuah
lingkaran warna hijau seperti terlihat pada Gambar 3.6.

3.10. Rangkuman

1. Beberapa ragam produk pemanfaatan bahan alam meliputi produk


minyak atsiri, produk farmasetik, produk nutrasetik, produk kosmetik
dan perawatan, jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.
2. Minyak atsiri (essential oils) adalah kelompok senyawa metabolit
sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan yang memiliki ciri berupa

55
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

cairan kental mudah menguap pada suhu ruang yang memberikan efek
aromatik.
3. Produk farmasetik (pharmaceuticals) adalah produk-produk yang
berfungsi sebagai obat, baik sebagai bahan baku atau senyawa aktif
obat, atau bentuk ekstrak yang berkhasiat sebagai obat. Obat adalah
suatu zat atau kombinasi dari beberapa zat yang memiliki kemampuan
untuk mencegah atau menyembuhkan suatu penyakit melalui suatu
mekanisme dengan mempengaruhi fungsi dari suatu sistem kerja tubuh.
4. Produk kosmetik (cosmetics) adalah produk utilitas atau pendukung
yang ditujukan untuk menjaga, merawat, atau meningkatkan
penampilan dari wajah dan bagian tubuh lain, seperti mulut, kuku
tangan, mata, rambut, dsb.
5. Produk nutrasetik (nutraceuticals) secara fungsi dan karakteristiknya
dapat diposisikan menjadi produk transisi antara produk pangan umum
(food) dengan produk obat-obatan (pharmaceuticals).
6. Jamu adalah obat alam yang sediaannya masih berupa simplisia
sederhana, di mana khasiat dan keamanannya dibuktikan dari
pengalaman empiris melalui penggunaan secara turun temurun minimal
selama tiga generasi.
7. Obat herbal terstandar adalah produk pengembangan dari jamu yang
bentuk sediaannya sudah berupa ekstrak dengan bahan dan proses
pembuatan yang terstandar serta telah melewati uji praklinis seperti uji
toksisitas, kisaran dosis, farmakodinamik, dll.
8. Obat fitofarmaka adalah pengembangan dari obat herbal terstandar
yang telah melalui uji klinis pada manusia.

56
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

3.11. Latihan

1. Sebutkan contoh-contoh dari produk-produk berbasis bahan alam!


2. Jelaskan definisi minyak atsiri dan berikan karakteristiknya, serta
jelaskan letak perbedaannya dengan minyak/lemak!
3. Jelaskan mengenai produk nutrasetik serta jelaskan apa yang
membedakan produk nutrasetik dan produk farmasetik!
4. Jelaskan konsep perbedaan antara produk dengan status jamu, obat
herbal terstandar, dan obat fitofarmaka!
5. Jelaskan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi untuk mendapatkan
status sebagai obat fitofarmaka untuk suatu bahan alam!

3.12. Bahan Bacaan yang Dianjurkan

Agusta, A., 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropis Indonesia. ITB, Bandung.
Baser, K.H. dan Buchbauer, G., 2010. Handbook of Essential Oils: Science,
Technology, and Applications. CRC Press, Florida.
Dias, D.A., Urban, S., dan Roessner, U., 2012. A Historical Overview of Natural
Products in Drug Discovery. Metabolites, 2: 303-336.
Gunawan, D. dan Mulyani, S., 2004. Ilmu Obat Alam. Penebar Swadaya, Jakarta.
Hariana, A., 2005. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Harris, R., 1987 Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya, Jakarta.
Imanshahidi, M. dan Hosseinzadeh, H., 2008. Pharmacological and Therapeutic
Effects of Berberis vulgaris and Its Active Constituent, Berberine.
Phytotherapy Research, 22: 999-1012.
Kapoor, V.P., 2005. Herbal Cosmetics for Skin and Hair Care. Natural Product
Radiance, 4: 306-314.
Lahlou, M., 2013. The Success of Natural Products in Drug Discovery.
Pharmacology and Pharmacy, 4: 17-31.
Pandey, N., dkk., 2011. Medicinal Plants Derived Nutraceuticals: A Re-emerging
Health Aid. International Journal of Pharma and Bio Sciences. 4: 419-
441.

57
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

4. PEMILIHAN DAN
PENYIAPAN BAHAN

4.1. Deskripsi Singkat

Pada bab 4 ini mulai dibahas mengenai teknik dasar dalam penelitian atau
produksi bahan alam yang dimulai dengan pemilihan dan penyiapan bahan.
Pemilihan bahan merupakan tahap fundamental yang perlu mendapat perhatian.
Kesalahan dalam pemilihan bahan, misalnya kesalahan penentuan jenis spesies
dikarenakan morfologi yang mirip dengan spesies yang lain dapat menyebabkan
tujuan atau target dari penelitian atau produksi tidak tercapai. Selain jenis spesies,
kesalahan dapat juga terjadi karena kurang tepat dalam memilih bagian dari
tanaman yang akan digunakan, salah dalam memilih lokasi sampel, atau salah
dalam menentukan waktu atau musim pemanenan. Selain pemilihan bahan,
faktor penting lainnya adalah penyiapan bahan yang meliputi pengeringan,
pengecilan ukuran, dan penyimpanan. Beberapa hal tersebut dibahas pada bab ini.

58
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

4.2. Relevansi

Bab tentang pemilihan dan penyiapan bahan ini penting disajikan sebagai
dasar dalam praktik-praktik kegiatan penelitian atau produksi dengan bahan alam.
Dengan memahami secara benar prinsip-prinsip pemilihan dan penyiapan bahan,
maka akan menentukan keberhasilan dalam pekerjaan-pekerjaan selanjutnya
seperti ekstraksi, purifikasi, dan formulasi produk.

4.3. Kompetensi

Setelah menyelesaikan bab ini, mahasiswa akan mampu:

1. Memahami prinsip-prinsip dasar pemilihan dan penyiapan bahan untuk


kegiatan penelitian atau produksi bahan alam
2. Memahami faktor-faktor lingkungan yang dapat menyebabkan variasi
kandungan senyawa metabolit sekunder pada bahan alam
3. Memahami faktor-faktor kritis yang dapat merusak kandungan bahan
alam selama proses pemanenan, pengeringan, pengecilan ukuran, dan
penyimpanan
4. Melakukan pemilihan dan penyiapan bahan dengan metode yang benar

4.4. Pengantar

Pemilihan dan penyiapan bahan menjadi faktor penting dalam kegiatan


penelitian dan produksi bahan alam. Karena kegiatan ini adalah fase awal dari
rangkaian pekerjaan, maka kesalahan yang terjadi pada fase ini dapat berakibat
fatal dan berantai pada fase-fase pekerjaan selanjutnya. Pembahasan pada bab ini
meliputi tahap seleksi, identifikasi, koleksi, pengeringan, dan penyimpanan.

59
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

4.5. Pemilihan Bahan

4.5.1. Seleksi

Seleksi atau penentuan jenis bahan tanaman atau bahan alam lainnya
merupakan tahap yang sangat penting dalam sebuah pekerjaan dengan
bahan alam. Ketepatan dalam pemilihan jenis bahan alam, baik dari sisi jenis
atau spesies, usia atau tahap pertumbuhan, bagian atau organ, tempat atau
lokasi tumbuh, maupun musim pemanenan bahan menjadi faktor penting
yang mempengaruhi hasil pekerjaan baik dari segi jenis produk yang
dihasilkan, rendemen, maupun mutu dan kemurniannya.

Hal ini penting dipahami oleh pelaku eksperimen bahwa metabolisme


dan biosintesis metabolit sekunder maupun metabolit primer dari suatu
individu atau organisme sangat dipengaruhi oleh fase pertumbuhan dan
faktor lingkungan atau tempat tumbuhnya seperti musim, kadar air,
intensitas paparan sinar matahari, kondisi tanah (pH, alkalinitas, keberadaan
senyawa makro, mikro, dan mineral lainnya, mikroorganisme, dsb.). Pada
beberapa keluarga tanaman yang mampu menghasilkan senyawa fenolik,
secara umum pada fase muda senyawa asam fenolik cenderung lebih
banyak diproduksi, sedangkan pada fase yang lebih tua produksi metabolit
sekunder akan dominan pada produksi flavonoid. Oleh karena itu, tahapan
ini membutuhkan pertimbangan, pengetahuan dan landasan yang kuat
dalam penentuan jenis bahan sehingga tujuan daripada eksperimen dapat
tercapai sesuai harapan.

Pertimbangan dalam penentuan jenis bahan yang akan digunakan


dapat didasarkan pada beberapa hal, seperti pengalaman penggunaan
turun temurun oleh nenek moyang yang terbukti berkhasiat pada penyakit
atau gangguan kesehatan tertentu atau berdasarkan pada data

60
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

kemotaksonomi dari keluarga atau family tertentu yang secara logika


diyakini mengandung komponen tertentu.

Pendekatan lainnya yang dikenal sebagai pendekatan yang lebih


modern adalah pemilihan jenis material berdasarkan pengujian atau
screening untuk aktivitas tertentu yang menjadi target atas beberapa
kandidat bahan, yang kemudian diseleksi berdasarkan kekuatan aktivitasnya.
Bahan dengan potensi kekuatan yang paling tinggi dipilih untuk ditelusuri
lebih lanjut melalui tahapan-tahapan ekstraksi, isolasi, kuantifikasi, serta
pengujian berbagai aktivitas biologis.

4.5.2. Identifikasi

Identifikasi dan konfirmasi guna memastikan ketepatan atau


autentikasi dari spesies yang dijadikan sebagai material mutlak diperlukan.
Kehadiran seorang ahli taksonomi sangat dibutuhkan untuk memastikan
dan menjamin bahwa spesies yang menjadi target memang tepat dan
lengkap dengan data taksonominya (spesies, genus, famili, ordo, dan
kelasnya). Selain itu informasi mengenai waktu/tanggal dan tempat
koleksi/pengambilan bahan juga harus lengkap sebagai satu kesatuan
informasi dari sampel atau voucher specimen. Sampel dari bahan yang
sudah dikeringkan harus disimpan sebagai koleksi dalam sebuah herbarium.
Hal ini penting jika di kemudian hari diperlukan untuk konfirmasi atau
kebutuhan lainnya.

4.6. Penyiapan Bahan

4.6.1. Pemanenan (Koleksi) Bahan

Koleksi atau pengumpulan bahan dilakukan untuk mendapatkan


jumlah bahan yang cukup untuk memenuhi target dari penelitian. Bahan

61
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

yang dikoleksi dapat berupa keseluruhan atau bagian tertentu saja dari
suatu organisme. Sebagai contoh pada tanaman, dapat hanya diambil untuk
bagian daun, batang, kulit batang, bunga, buah, akar, umbi, atau bagian
tertentu lainnya disesuaikan dengan lokasi di mana metabolit sekunder
yang menjadi target itu berada. Pada Gambar 4.1 di bawah ini diberikan
ilustrasi proses pemanenan atau koleksi daun pepaya (Carica papaya) dari
jenis pepaya California yang dibudidayakan di daerah Kabupaten Tanah Laut.

Gambar 4.1. Pemanenan (koleksi) bahan tanaman untuk ekstraksi.


Sebaiknya dalam mengkoleksi bahan diambil bahan yang sehat dan
bersih, artinya tidak terkontaminasi dengan penyakit, seperti bakteri, jamur,
virus, serangga, tanaman lain, atau debu/kotoran yang mungkin
mengandung mineral tertentu. Hal ini penting diperhatikan, karena
beberapa senyawa dari kontaminan-kontaminan tersebut dapat
mengganggu kemurnian bahan, sehingga menghasilkan data yang kurang
akurat apalagi untuk penelitian-penelitian yang sifatnya adalah analisis
kuantitatif.

62
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

4.6.2. Pengeringan

Pengeringan penting dilakukan untuk bahan yang baru saja


dipanen/dikoleksi. Pengeringan bertujuan untuk mencegah pertumbuhan
mikroba dan jamur serta menghambat aktivitas enzimatis yang dapat
menyebabkan degradasi metabolit, misalnya melalui reaksi hidrolisis dan
glikosidasi. Pengeringan secara sederhana dapat dilakukan dengan
menghampar bahan pada ruangan yang tidak terpapar sinar matahari
langsung tetapi dengan aerasi/ventilasi yang cukup sehingga kondisinya
tidak lembab. Pada Gambar 4.2 diperlihatkan contoh proses pengeringan
bahan pada suhu ruang dalam sebuah ruangan.

Gambar 4.2. Proses pengeringan bahan alam dalam ruangan.

Kondisi yang lembab dapat memacu pertumbuhan jamur dan


fermentasi mikroorganisme lain. Sedangkan paparan sinar matahari
langsung perlu dihindarkan untuk mencegah terjadi efek radiasi sinar
ultraviolet yang dapat memacu reaksi-reaksi kimia yang mendegradasi
senyawa metabolit. Sebaiknya sebelum dilakukan pengeringan, bahan
dicuci/dibersihkan dahulu untuk menghilangkan zat-zat pengotor/
kontaminan.

63
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Gambar 4.3. Pengeringan bahan di dalam oven.

Khusus untuk daerah tropis dengan tingkat kelembaban yang tinggi,


maka pengeringan dengan alat oven juga dianjurkan (Gambar 4.3).
Pengeringan dengan oven sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu
tinggi. Suhu sekitar 35°C dengan bantuan alat vakum dirasa cukup untuk
pengeringan dengan waktu yang sedikit lebih panjang. Suhu yang terlalu
tinggi dikhawatirkan akan mempengaruhi konsistensi beberapa metabolit
yang ada, terutama metabolit-metabolit yang tidak tahan panas.

64
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Gambar 4.4. Pengeringan menggunakan sebuah freeze dryer.

Pengeringan dengan metode lain salah satunya adalah dengan


menggunakan freeze dryer atau dikenal dengan istilah lyofilisasi (Gambar
4.4.). Metode pengeringan ini menggunakan prinsip sublimasi, yaitu
membekukan bahan sehingga air yang terkandung di dalamnya akan
membeku dan pada saat yang sama diberikan kondisi dengan tekanan yang
rendah sehingga air akan berubah menjadi gas dan dikeluarkan. Dalam hal
ini air tidak melalui fase cair dahulu sebelum menjadi gas, melainkan
langsung menyublim dari padat menjadi gas. Melalui metode ini bahan akan
terhindar dari perlakuan panas, sehingga sifat kimia senyawa metabolit
lebih stabil.

Bahan yang telah dikeringkan sebaiknya disimpan pada tempat yang


kedap udara dan pada kondisi yang tidak lembab serta pada suhu yang
dingin. Bahan dapat dimasukkan ke dalam kantong plastik berkait (zipper
bag) dan dimasukkan dalam lemari es. Menyimpan bahan dalam waktu

65
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

yang terlalu lama juga tidak direkomendasikan, karena dikhawatirkan dapat


merubah susunan/komposisi senyawa metabolit pada bahan tersebut.

4.6.3. Pengecilan Ukuran

Gambar 4.5. Pengecilan ukuran dengan mortar.

Pengecilan ukuran adalah memotong-motong bahan menjadi bagian-


bagian yang lebih kecil. Pengecilan ukuran dapat dilakukan dengan
menggunakan gunting, pisau, alat penggiling, blender, mortar (Gambar 4.5)
atau yang lainnya. Sebaiknya bahan yang akan digiling sudah dalam bentuk
bahan kering, sehingga mempermudah penggilingan. Pengecilan ukuran
dimaksudkan untuk beberapa tujuan, yaitu:

1. Menyeragamkan ukuran dan menjadikan bahan yang akan diekstrak


menjadi lebih homogen. Misalkan pada bahan yang berupa daun,
maka ada bagian yang lunak dan ada bagian yang keras (tulang
daun), sudah tentu kedua bahan tersebut berbeda masa jenisnya.
Ketika campuran bahan tersebut ditimbang, maka campuran bahan
yang mengandung bagian tulang daun yang lebih banyak maka akan
memiliki bobot yang lebih berat. Hal semacam ini akan mengganggu
keseragaman sampel, terutama jika sampel yang akan diuji melalui

66
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

beberapa pengulangan. Untuk itu sebaiknya pada saat pengecilan


ukuran, bagian-bagian yang akan mengganggu keseragaman dapat
dipisahkan, sehingga didapatkan bahan yang seragam, baik
jenis/bagian maupun ukurannya.

2. Memperluas bidang permukaan. Semakin kecil ukurun bahan maka


bidang permukaannya semakin luas dan akan meningkatkan bidang
kontak antara bahan dengan pelarut pada proses ekstraksi. Dengan
demikian akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses
ekstraksi untuk mendapatkan ekstrak yang lebih banyak dengan
kandungan senyawa metabolit yang lebih beragam.

3. Meningkatkan penetrasi dari pelarut untuk masuk ke dalam sel.


Mekanisme proses ekstraksi adalah merusak dinding sel dan
membiarkan pelarut merusak dan masuk ke dalam sel sehingga dan
kontak langsung dengan senyawa yang diekstrak untuk kemudian
dengan adanya kedekatan sifat polaritas maka pelarut dapat
membawa senyawa tersebut keluar bersama untuk dipisahkan dari
jaringan yang menghasilkannya. Melalui proses penggilingan maka
semakin banyak sel-sel pada jaringan yang terbuka sehingga
meningkatkan penetrasi pelarut masuk ke dalam sel.

4.7. Rangkuman

1. Pemilihan dan penyiapan bahan menjadi faktor penting dalam kegiatan


penelitian dan produksi bahan alam karena kegiatan ini adalah fase awal
dari rangkaian pekerjaan, di mana kesalahan yang terjadi pada fase ini
dapat berakibat fatal dan berantai pada fase pekerjaan berikutnya.
2. Pemilihan dan penyiapan bahan meliputi kegiatan seleksi, identifikasi,
koleksi, pengeringan, dan penyimpanan.

67
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

3. Ketepatan dalam seleksi bahan alam (jenis atau spesies, usia atau tahap
pertumbuhan, bagian atau organ, tempat atau lokasi tumbuh, maupun
musim pemanenan) adalah faktor penting yang mempengaruhi jenis
produk yang dihasilkan, rendemen, maupun mutu dan kemurniannya.
4. Identifikasi berguna untuk memastikan ketepatan atau autentikasi dari
spesies yang dijadikan sebagai material dengan melengkapi data
taksonominya.
5. Pengeringan bertujuan untuk mencegah pertumbuhan mikroba dan
jamur serta menghambat aktivitas enzimatis yang dapat menyebabkan
degradasi metabolit.
6. Pengecilan ukuran bertujuan untuk menyeragamkan bentuk dan bagian
organisme dari bahan, memperluas bidang permukaan, serta
meningktkan penetrasi pelarut pada sel dan jaringan bahan.

4.8. Latihan

1. Jelaskan alasan bahwa pemilihan (seleksi) dan identifikasi jenis sumber


bahan alam sangat penting sebagai tahap awal dari suatu kegiatan
penelitian atau produksi bahan alam!
2. Sebut dan jelaskan faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
jenis dan konsentrasi senyawa metabolit sekunder dari suatu bahan
alam!
3. Sebut dan jelaskan tujuan dari pengeringan bahan!
4. Sebut dan jelaskan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan pada tahap
pengeringan bahan!
5. Sebut dan jelaskan tiga tujuan dari pengecilan ukuran bahan baik
dengan perajangan atau penggilingan!

68
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

4.9. Bahan Bacaan yang Dianjurkan

Agoes, G., 2006. Pengembangan Sediaan Farmasi. ITB, Bandung.


Agoes, G., 2007. Teknologi Bahan Alam. ITB, Bandung.
Cannel, RJP., 1998. How to approach the isolation of a natural product, in Natural
Products Isolation. Humana Press, New Jersey.
Harborne, J.B., 1973. Phytochemical Methods. Chapman and Hall, London.
Harborne, J.B., 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan (terjemahan). Penerbit ITB, Bandung.
Rostagno, M.A. dan Prado, J. M., 2013. Natural Product Extraction: Principles and
Applications. RSC Publishing, Cambridge, UK.
Sarker, S.D., Latif, Z., dan Gray, A.I., 2006. Natural Product Isolation 2nd edition.
Humana Press, New Jersey, USA.

69
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

5. TEKNIK EKSTRAKSI
BAHAN ALAM

5.1. Deskripsi Singkat

Setelah suatu bahan dipersiapkan baik melalui tahap pengeringan maupun


pengecilan ukuran dan penyeragaman, maka tahapan selanjutnya adalah
ekstraksi. Ekstraksi adalah pengambilan senyawa-senyawa metabolit sekunder
yang menjadi target untuk dipisahkan dari biomasa atau ampas atau bagian yang
tidak diperlukan karena sifatnya yang mengganggu baik dalam penyajian maupun
karena mengganggu efektivitas khasiat dari bahan aktifnya. Ada berbagai macam
metode/teknik ekstraksi bahan dari yang paling sederhana dan kuno sampai
metode modern. Pemilihan metode didasarkan pada beberapa alasan, seperti
sifat bahan, kestabilan metabolit sekunder, rendemen dan kualitas yang
diinginkan, maupun karena alasan biaya dan waktu (efisiensi).

Teknik ekstraksi bahan alam dari jenis minyak atsiri sedikit berbeda
dikarenakan sifat fisik dan kimianya yang berbeda dengan metabolit sekunder
pada umumnya. Untuk itu pembahasan mengenai teknik ekstraksi minyak atsiri
disajikan pada bab tersendiri. Bab ini menyajikan beberapa teknik ekstraksi umum
untuk bahan non minyak atsiri, yang meliputi: metode maserasi, perkolasi,

70
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

ekstraksi dengan reflux, ekstraksi dengan soxhlet, ekstraksi dengan ultrasonikasi,


dan ekstraksi dengan pelarut bertekanan (pressurized solvent extraction).

5.2. Relevansi

Ekstraksi merupakan tahap utama dalam pengolahan bahan alam dengan


berbagai tujuannya. Penguasan teknik-teknik ekstraksi menjadi hal yang sangat
penting dalam pengelolaan bahan alam. Untuk itu dalam bab ini diperkenalkan
beberapa teknik ekstraksi dari yang paling sederhana sampai dengan metode
ekstraksi kompleks. Mahasiswa perlu mengetahui prinsip-prinsip dasar dari
masing-masing teknik, kelebihan dan kekurangannya, kesesuaian dengan sifat
bahan yang akan diekstrak, serta kesesuaian dengan biaya dan waktu yang
tersedia.

5.3. Kompetensi

Setelah menyelesaikan bab ini mahasiswa akan memiliki kemampuan dalam:

1. Menjelaskan prinsip dasar ekstraksi bahan alam


2. Menjelaskan faktor-faktor penting yang mempengaruhi kualitas dan
rendemen hasil ekstraksi
3. Menyebutkan dan menjelaskan berbagai jenis teknik ekstraksi
4. Menjelaskan prinsip-prinsip dan faktor kritis dari masing-masing teknik
ekstraksi
5. Memahami kesesuaian antara sifat bahan yang akan diekstrak dengan
pemilihan teknik ekstraksi yang tepat
6. Melakukan praktik ekstraksi untuk beberpa bahan dengan beberapa
teknik.

71
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

5.4. Pengantar

Pada bab ini dijelaskan metode ekstraksi untuk metabolit sekunder selain
minyak atsiri. Penjelasan metode ekstraksi kedua jenis bahan tersebut dipisahkan
karena di antara keduanya memiliki sifat-sifat kimia dan fisik yang berbeda
sehingga perlakuannya pun berbeda agar produk hasil ekstraksi yang diperoleh
terjaga mutu serta rendemennya. Pada ekstraksi minyak atsiri, bahan yang akan
dipisahkan adalah senyawa-senyawa yang mudah menguap (volatile atau
senyawa terbang) dan beberapa senyawa di antaranya cukup sensitif atau mudah
rusak dengan perlakuan panas.

Sementara itu, ekstraksi senyawa metabolit sekunder non minyak atsiri


(pada umumnya berwujud padat (solid) pada suhu ruang), menggunakan
pendekatan teknik ekstraksi yang berbeda dalam rangka untuk mendapatkan
rendeman yang maksimal dengan mutu yang tetap terjaga. Kesesuaian sifat
kepolaran dan perlakuan panas serta tekanan akan dapat meningkatkan efisiensi
dan rendemen proses ekstraksi senyawa metabolit sekunder. Meskipun demikian,
ada juga senyawa metabolit sekunder non atsiri yang tidak stabil pada suhu tinggi.
Dalam hal ini, pendekatan teknik ekstraksinya tetap harus menggunakan teknik
ekstraksi tanpa perlakuan panas.

5.5. Prinsip Ekstraksi

Prinsip proses ekstraksi dimulai dengan proses pembukaan jaringan atau


dinding sel dengan perlakuan panas, yang dilanjutkan dengan proses penarikan
senyawa target menggunakan pelarut organik yang sesuai, berdasarkan prinsip
kedekatan sifat kepolaran/polaritas dari senyawa dan pelarut. Berbagai macam
pelarut organik ataupun air dapat digunakan untuk ekstraksi. Selain itu juga ada
metode ekstraksi tanpa pelarut yaitu dengan metode supercritical fluid extraction
(SFE). Melalui metode ini, fungsi pelarut sebagai extractant digantikan oleh gas

72
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

karbondioksida yang bersifat inner, sehingga metode ini lebih ramah lingkungan
karena tidak menghasilkan limbah pelarut organik.

Ekstraksi dengan pelarut sangat berhubungan dengan dua tipe ekstraksi,


yaitu ekstraksi padatan-cairan (solid-liquid extraction) dan juga ekstraksi cairan-
cairan (liquid-liquid extraction). Ekstraksi padatan-cairan berarti pengambilan atau
pemisahan senyawa metabolit dari suatu matriks bahan padat yang berupa
bagian tertentu atau keseluruhan bagian bahan tanaman dengan menggunakan
pelarut tertentu. Sedangkan ekstraksi cairan-cairan adalah pengambilan atau
pemisahan senyawa metabolit yang sudah terlarut sebelumnya pada suatu bahan
pelarut dengan cara mencampurkannya dengan pelarut lain yang bersifat
immiscible (tidak dapat bercampur baik) dengan pelarut awal tetapi memiliki
kemiripan tingkat polaritas dengan senyawa yang akan dipisahkan, sehingga
senyawa-senyawa target dapat terlarutkan atau terkumpul pada pelarut baru
tersebut. Metode ini disebut juga sebagai metode fraksinasi yang akan dibahas
tersendiri.

Pada proses ekstraksi, bahan yang akan diekstrak kontak secara langsung
dengan pelarut. Selama itu akan terjadi proses yang berlangsung secara dinamik
yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga fase, yaitu: pelarut akan
merusak dinding sel dan jaringan, serta masuk ke dalam sel, setelah itu pelarut
akan melarutkan senyawa-senyawa metabolit, dan akhirnya pelarut bersama
senyawa metabolit yang terlarut dikeluarkan atau dipisahkan dari bahan atau
biomassa penghasilnya. Oleh karena itu penggilingan atau pengecilan ukuran dan
juga peningkatan termperatur sangat diperlukan untuk mempercepat fase-fase
tersebut. Selanjutnya pelarut harus dipisahkan dari senyawa metabolit yang
terlarut di dalamnya melalui proses evaporasi untuk menghasilkan ekstrak kasar,
baik dalam bentuk cairan kental atau padatan (solid).

73
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Ada beberapa metode ekstraksi berdasarkan prinsip kerja dan peralatan


yang digunakan. Pemilihan metode didasarkan pada karakteristik bahan dan
senyawa metabolit yang akan diekstrak, rendemen ekstrak yang ingin diperoleh,
kecepatan ekstraksi, dan juga biaya. Beberapa metode ekstraksi antara lain:
maserasi, perkolasi, ekstraksi dengan reflux, ekstraksi dengan soxhlet, ekstraksi
dengan ultrasonikasi, ekstraksi dengan tekanan, dan ekstraksi dengan microwave.
Prinsip dan mekanisme dari masing-masing metode tersebut dijelaskan di bawah
ini.

5.5.1. Maserasi

Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling sederhana dan


kuno. Meskipun demikian, metode ini masih secara luas digunakan karena
beberapa kelebihan seperti biaya yang murah, peralatan yang sederhana,
serta tanpa perlakuan panas sehingga menjadi pilihan tepat untuk ekstraksi
senyawa-senyawa yang tidak tahan panas (termolabile).

Gambar 5.1. Proses maserasi skala kecil.

74
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Prosedur maserasi adalah dengan merendam bahan baku yang telah


disiapkan (dikeringkan dan digiling) ke dalam pelarut yang sesuai pada suatu
bejana dan ditempatkan pada suhu ruang dan ditunggu untuk beberapa
waktu, seperti terlihat pada Gambar 5.1 di atas. Pengadukan secara
kontinyu atau berkala juga dapat dilakukan untuk mempercepat proses
ekstraksi. Proses ekstraksi dapat dihentikan jika telah diperoleh titik jenuh
(equilibrium) antara konsentrasi senyawa metabolit pada larutan ekstrak
dengan konsentrasi senyawa metabolit pada bahan. Setelah selesai maka
larutan ekstrak dapat disaring dengan kertas saring untuk memisahkan
dengan bahan asalnya.

Untuk meningkatkan rendemen, maka prosedur di atas dapat diulangi


hingga dua atau tiga kali dengan menggunakan sisa/ampas bahan hasil
ekstraksi tahap pertama. Hal ini dimungkinkan karena pada ekstraksi tahap
pertama, tepatnya pada saat titik equilibrium di mana kesetimbangan
konsentrasi tercapai, masih ada sisa senyawa metabolit yang tertinggal pada
bahan dan masih berpeluang untuk diambil kembali dalam rangka
meningkatkan rendemen totalnya.

Kelemahan metode maserasi adalah kurang efisien dari segi waktu


dan rendemen. Satu kali ekstraksi memerlukan waktu sekitar 1 hari sampai
dengan satu minggu, tergantung pada jenis bahan yang diekstrak, semakin
kuat jaringan dan dinding sel pada bahan maka membutuhkan waktu yang
lebih panjang. Selain itu, maserasi juga membutuhkan pelarut dengan
volume yang lebih banyak, dan peluang hilangnya senyawa metabolit
selama proses juga lebih banyak, karena menempel pada bahan, menempel
pada kertas saring, menempel pada bejana, dll. Ada kemungkinan terjadinya
perubahan struktur kimia dari metabolit yang tidak stabil karena lamanya
proses dan kontak dengan air atau pelarut.

75
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

5.5.2. Perkolasi

Perkolasi dan maserasi memiliki persamaan sama-sama tidak


memerlukan panas dalam proses ekstraksinya. Alat utamanya adalah
perkolator (Gambar 5.2), yaitu sebuah bejana berbentuk silindris atau
kerucut terbalik yang dilengkapi dengan lobang atau kran di bagian ujung
bawahnya. Proses perkolasi sendiri dilakukan dengan melarutkan senyawa
metabolit pada suatu bahan yang akan diekstrak dengan cara mengalirkan
pelarut yang sesuai pada matriks bahan atau sampel yang telah dipak atau
ditata pada perkolator sehingga senyawa metabolit terikut dengan pelarut
dan mengalir keluar dari bejana untuk ditampung.

Gambar 5.2. Proses perkolasi menggunakan beberapa perkolator.

Prosedur ini dapat diulangi berkali-kali sampai dirasa mulai tidak


efesien lagi dikarenakan metabolit yang terbawa terlalu sedikit yang terlihat
dari perubahan warna larutan ekstrak atau dari hasil tes dengan bahan

76
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

kimia tertentu (reagent) untuk mendeteksi dan memastikan apakah masih


ada senyawa yang terikut apa tidak. Metode ini sudah tentu tidak
membutuhkan proses filtrasi, karena ekstrak sudah tersaring pada
perkolator.

Metode ini hanya efektif untuk bahan-bahan dengan tingkat kelarutan


yang tinggi terhadap pelarut. Atau dengan kata lain, metode ini efektif jika
senyawa metabolit di dalam bahan mudah terlarut dalam pelarut yang
digunakan. Untuk itu, pemilihan jenis pelarut memegang peranan sangat
penting di sini. Perkolasi juga memungkinkan untuk diaplikasikan pada skala
yang lebih besar, seperti pada industri. Jika menginginkan proses yang lebih
efisien dengan rendemen yang lebih tinggi, maka penggunaan pelarut panas
juga dimungkinkan asalkan tidak merusak senyawa, terutama senyawa yang
labil pada suhu tinggi (thermolabile).

Selain hal di atas, ada beberapa kelemahan mendasar dari metode


perkolasi. Kelemahan pertama adalah volume pelarut yang dibutuhkan
tentu lebih banyak, karena dilakukan secara kontinyu dan tanpa adanya
waktu kontak yang lama. Selain itu, karena sampel bahan dipak pada bejana
perkolator, maka ada kemungkinan packing tersebut tidak homogen, ada
bagian yang padat tetapi ada juga yang kurang padat. Sudah tentu pada
bagian padat akan lebih sulit bagi pelarut untuk melewatinya sehingga
kemungkinan senyawa metabolit yang tertinggal pada bagian itu menjadi
cukup tinggi. Kelemahan lain yang perlu diatasi adalah masalah sumbatan
pada perkolator yang disebabkan terlarutnya beberapa jenis resin yang
menggumpal serta sifat bahan tanaman yang mudah hancur dan larut
sehingga menyumbat perkolator.

77
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

5.5.3. Ekstraksi dengan Reflux

Ekstraksi dengan reflux saat ini menjadi metode ekstraksi yang paling
banyak diterapkan. Metode ini dinilai sebagai metode yang murah dan
simpel dengan rendemen yang cukup tinggi, jika dibandingkan dengan
metode maserasi atau perkolasi. Reflux berarti pelarut yang diputar kembali
atau di-recycle secara kontinyu melalui pengkondensasian berulang pada
sebuah alat kondensor. Pada metode ini bahan yang akan diekstrak
direndam pada pelarut dalam sebuah bejana/labu yang biasanya berbentuk
bulat yang kemudian ditempatkan pada sebuah pemanas (dapat
menggunakan water bath, heating mantle, atau hot plate). Bagian atas labu
ada sebuah lubang yang dihubungkan dengan alat pendingin balik
(kondesor). Lubang pada bejana tersebut juga berguna untuk memasukkan
dan mengeluarkan bahan, pelarut, maupun hasil ekstraknya. Gambar 5.3
memperlihatkan proses ekstraksi dengan reflux di atas hot plate sebagai
sumber panasnya.

Gambar 5.3. Ekstraksi skala kecil dengan reflux.

78
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Selama proses pemanasan, pelarut akan mendidih dan menguap.


Pada fase ini pelarut panas akan merusak jaringan dan dinding sel yang
kemudian berpenetrasi ke bagian dalam sel dan melarutkan senyawa-
senyawa metabolit yang kemudian terlarut bersama pelarut. Pada saat
pelarut mendidih, maka zat-zat yang terlarut akan tertinggal di dalam labu
ekstraksi. Sementara itu, pelarut akan mendidih, menguap dan mengalir
dengan bergerak ke atas menuju kondensor. Pada saat yang sama, karena
dialiri dengan fluida dingin, maka suhu kondensor jauh di bawah suhu uap
pelarut. Dengan demikian uap pelarut akan cepat mengalami kondensasi
(pendinginan dan berubah wujud menjadi cair kembali) yang kemudian
mengalir ke bawah lagi menuju labu ekstraksi. Proses ini berlangsung secara
kontinyu sampai mekanisme pemanasan dihentikan.

Melalui metode seperti ini, maka akan menghemat penggunaan


pelarut, karena proses ekstraksi dilakukan secara berkelanjutan. Selain itu,
rendemen ekstrak yang dihasilkan juga lebih tinggi, dikarenakan proses
ekstraksi berlangsung pada suhu tinggi sehingga mempercepat kerusakan
sel dan jaringan tumbuhan serta mempercepat proses pelarutan. Salah satu
kelemahan metode ini adalah pada penggunaan suhu tinggi yang berpotensi
mendegradasi beberapa senyawa yang tidak stabil pada temperatur tinggi.
Selain itu, tentu saja biaya energi yang lebih besar karena diperlukan dalam
proses pemanasan dan juga proses pendinginan pada kondensor.

5.5.4. Ekstraksi dengan Soxhlet

Ekstraksi dengan soxhlet juga termasuk salah satu metode yang paling
banyak digunakan karena tingkat kepraktisan dan kenyamanannya. Prinsip
ekstraksi dengan metode soxhlet adalah dengan mengekstrak bahan yang
sudah dihaluskan dan dibungkus pada selembar kertas saring kemudian
dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang sebelumnya telah ditempatkan

79
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

pelarut pada labu soxhlet yang berada di bagian bawah (Gambar 5.4). Persis
di bawah labu soxhlet tersebut ditempatkan sebuah heating mantle atau
hot plate untuk memanaskan labu soxhlet.

Gambar 5.4. Esktraksi dengan soxhlet.

Ketika soxhlet dipanaskan, maka pelarut pada labu soxhlet akan


menguap dan terkondensasi kembali karena adanya sistem pendingin
(kondensasi) pada bagian atas, sehingga mencair kembali dengan menyiram
dan merendam bahan dalam bungkusan kertas saring tadi. Akibatnya adalah
pelarut tersebut akan mengekstrak bahan/sampel dan melarutkan senyawa
metabolitnya. Setelah beberapa saat, maka larutan ekstrak akan mencapai
volume tertentu, dan dengan mekanisme soxhlet maka larutan tadi akan

80
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

terpompa dan mengalir ke bawah menuju bagian labu soxhlet. Pada saat
yang sama, labu dalam kondisi panas, sehingga larutan tersebut akan
kembali menguap dengan meninggalkan ekstraknya pada labu dan hanya
pelarutnya yang menguap kembali untuk dikondensasi kembali. Proses ini
berlangsung secara kontinyu sehingga menyebabkan sampel secara terus
menerus terkena efek mekanik dan kimia dari pelarut yang menyebabkan
proses ekstraksi berjalan lebih cepat dan efisien.

Alat ekstraksi soxhlet sendiri didesain dan dibuat pertama kali oleh
Franz von Soxhlet pada tahun 1879 di Jerman. Orang yang sama yang
menjelaskan pertama kali mengenai keberadaan gula (laktosa) pada susu.
Beliau jugalah yang pertama kali mampu memisahkan protein pada susu
(casein, albumin, dan globulin). Pada mulanya soxhlet didesain untuk
mengekstrak lemak dari bahan padat. Pada dasarnya soxhlet merupakan
perkolator yang didesain dapat bekerja secara kontinyu tanpa harus
menuang pelarut secara manual dan berulang-ulang.

Kelebihan utama soxhlet adalah sistem kerjanya yang kontinyu.


Dengan prinsip seperti itu maka proses ekstraksi dapat dilakukan dengan
lebih cepat. Selain itu jumlah pelarut yang digunakan juga dapat
diminimalisasi. Sedangkan untuk kelemahannya adalah sekali lagi karena
prosesnya melibatkan panas yang cukup tinggi, yaitu pemanasan sampai
titik didih pelarut maka resiko kerusakan senyawa metabolit yang sensitif
terhadap panas juga cukup tinggi.

5.5.5. Ekstraksi dengan Ultrasonikasi

Sebenarnya metode ini merupakan pengembangan dari metode


maserasi. Jika pada maserasi bahan dimasukkan pada labu atau bejana dan
kemudian proses ekstraksi dipercepat dengan pengadukan, maka pada
metode ini proses pengadukan digantikan dengan pemberian gelombang

81
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

ultrasonik, yaitu gelombang suara yang memiliki frekuensi yang tinggi


(20.000 Hz), frekuensi di atas ambang batas kemampuan telinga manusia
menangkap gelombang suara.

Gambar 5.5. Contoh ekstraksi maserasi dengan bantuan alat


ultrasonikasi (Power Sonic 420).

Prosedur pada metode ekstraksi dengan ultrasonikasi ini adalah


dengan memasukkan bahan atau sampel pada sebuah labu (biasanya
erlenmeyer) yang telah berisi pelarut yang sesuai. Erlenmeyer tersebut
ditempatkan pada alat ultrasonikasi berupa water bath yang di bagian
bawahnya dipasang alat penghasil gelombang suara ultrasonik. Gelombang
ultrasonik tersebut akan menghasilkan efek getaran dengan frekuensi yang
kuat terhadap bahan sehingga menimbulkan efek tekanan mekanis pada sel
dan jaringan. Dampak dari efek ini adalah terbukanya dinding sel dan
terlarutnya senyawa metabolit pada pelarut. Kerusakan sel akan
mempercepat kelarutan senyawa metabolit sehingga akan meningkatkan
rendemen dari ekstrak yang dihasilkan. Gambar 5.5 di atas memperlihatkan
proses ekstraksi secara maserasi dengan bantuan ultrasonikasi.

82
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam


(sumber: pubs.rsc.org)

Gambar 5.6. Mekanisme ekstraksi dengan bantuan ultrasonikasi.

Alat ultrasonik dilengkapi dengan pengatur suhu. Suhu operasinya


dapat dinaikkan hingga 60°C. Operasi dengan suhu lebih tinggi tentu saja
meningkatkan kinerja proses ekstraksi. Efisiensi dari ekstraksi sangat
ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain adalah frekuensi gelombang
suara, suhu operasi, jenis pelarut, dan juga perbandingan antara sampel dan
pelarut yang digunakan. Karena peralatan yang cukup rumit, maka metode
ini jarang digunakan untuk ekstraksi skala besar. Meskipun peralatan yang
digunakan cukup mahal, tetapi metode ini sangat praktis dan sesuai
diaplikasikan untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang tidak stabil pada
suhu tinggi. Gambar 5.6 memperlihatkan bagian-bagian dari alat
ultrasonikasi.

5.5.6. Ekstraksi dengan Pelarut Bertekanan (Pressurized Solvent Extraction)

Ini merupakan metode yang paling efisien, presisi, terukur, tetapi juga
paling rumit di antara metode-metode ekstraksi konvensional yang lain.
Ekstraksi dengan pelarut bertekanan membutuhkan peralatan yang cukup
kompleks. Komponen utama adalah sebuah sel ekstraksi (extraction cell)

83
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

yang ditempatkan pada sebuah oven. Sel ini sebagai tempat meletakkan
sampel sehingga ketika diberikan tekanan yang kuat, posisinya akan tetap
stabil. Oven berfungsi untuk memanaskan sel dan sampel yang akan
diekstrak. Komponen lainnya adalah pompa pelarut dan juga tabung
nitrogen bertekanan, serta tabung penampung larutan ekstrak. Gambar 5.7
di bawah ini memperlihatkan bagian-bagian dari alat yang digunakan untuk
proses ekstraksi dengan pelarut bertekanan.


(sumber: pubs.rsc.org)

Gambar 5.7. Bagian-bagian alat ekstraksi dengan pelarut bertekanan.

Prinsip kerja dari metode ini adalah ketika sampel telah ditempatkan
pada sel ekstraksi maka pelarut dengan volume tertentu akan dipompa
menuju sel dan mengisi seluruh sel sehingga merendam sampel bahan.
Setelah itu sel akan dipanaskan dan diberikan tekanan menggunakan gas
nitrogen pada skala tertentu serta pada periode tertentu. Parameter-
parameter kontrol tersebut (suhu, tekanan, dan waktu) dapat diprogram
secara akurat. Setelah dinyatakan cukup maka katup output akan dibuka

84
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

dan seketika larutan ekstrak akan didesak oleh gas nitrogen bertekanan,
maka serta merta larutan ekstrak akan terpisah dari matriks sampel bahan
dan akan ditampung pada labu penampung. Setelah itu sampel kembali
disiram dengan pelarut baru untuk keperluan pembilasan, sehingga
senyawa metabolit yang tertinggal dapat diambil secara maksimal. Proses
terakhir adalah pengaliran gas nitrogen kembali terhadap sampel guna
mengeringkan sampel tersebut.

Metode ekstraksi dengan pelarut bertekanan ini juga disebut sebagai


ekstraksi dengan pelarut yang dipercepat (accelerated solvent extraction).
Suhu yang diberikan pada metode ini pada umumnya melebih suhu
ekstraksi konvensional lainnya. Untuk mencegah agar pelarut tidak
menguap pada temperatur tersebut, maka pemberian tekanan tinggi mutlak
diperlukan untuk menjaga pelarut tetap tetap berada pada wujud cairnya.
Dengan prinsip seperti dijelaskan di atas, maka metode ini cocok untuk
digunakan pada proses-proses ekstraksi yang membutuhkan kecepatan dan
melibatkan jumlah sampel dengan jenis yang banyak.

Metode ini memiliki banyak keunggulan, seperti program ekstraksi


yang dapat diatur secara detail dan akurat, sehingga memungkinkan
penggunaan pelarut yang sangat minim dan tentunya akan berdampak
positif bagi lingkungan. Selain itu rendemen ekstrak yang dihasilkan juga
cukup tinggi yang diperoleh dalam waktu singkat dengan usaha yang lebih
sedikit. Meskipun demikian, metode ini juga cukup rumit dalam hal
persiapan sebelum melakukan ekstraksi yaitu harus merancang dan
menyiapkan kondisi optimal ekstraksi seperti temperatur yang sesuai,
waktu ekstraksi yang efisien, pelarut yang paling efektif, serta tekanan yang
tepat.

85
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

5.6. Menentukan Teknik Ekstraksi dan Pelarut yang Tepat

Dalam melakukan ekstraksi harus ditentukan teknik ekstraksi dan jenis


pelarut yang tepat disesuaikan dengan sifat fisik dan kimia dari bahan baku
maupun metabolit sekundernya. Selain faktor efisiensi juga harus
dipertimbangkan untuk mendapatkan rendemen yang tinggi dengan kualitas yang
tetap terjaga tetapi dengan waktu ekstraksi yang lebih singkat, pelarut yang lebih
sedikit, biaya yang lebih murah, serta resiko yang lebih rendah. Itu semua harus
menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan teknik ekstraksi.

Jenis pelarut juga memainkan peranan penting dalam menunjang


keberhasilan ekstraksi. Ada banyak jenis pelarut organik yang dapat digunakan
dalam ekstraksi bahan alam seperti hexane, butanol, kloroform, etil asetat,
aseton, metanol, etanol, ataupun akuades. Setiap pelarut memiliki sifat berbeda-
beda seperti nilai polaritas, titik didih, viskositas, dan tingkat kelarutan pada air.
Hal ini menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan jenis pelarut disesuaikan
dengan sifat fisik dan kimia dari bahan dan metabolit sekunder yang akan
diekstrak.

Secara prinsip, dibutuhkan tingkat kepolaran yang mirip antara pelarut


dengan metabolit yang akan diekstrak, sehingga proses pelarutannya maksimal.
Tetapi juga perlu diperhatikan jenis pelarut yang memiliki daya perusakan yang
kuat terhadap dinding sel dan jaringan sehingga proses ekstraksi juga berjalan
lebih optimal. Jika menginginkan ekstraksi terhadap berbagai macam senyawa
metabolit sekunder dengan spektrum yang luas, maka pelarut dengan sifat
kepolaran yang luas atau berada pada nilai tengah dapat digunakan, seperti
metanol, etanol, atau aseton. Pada tabel di bawah ini ditampilkan sifat-sifat
beberapa pelarut organik yang umum digunakan untuk ekstraksi.

86
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Tabel 5.1. Sifat fisik dan kimia beberapa pelarut organik yang digunakan pada
ekstraksi bahan alam

Kelarutan
Indeks Titik Didih Viskositas
Pelarut dalam Air
Polaritas (OC) (cPoise)
(%)
n-heksan 0,0 69 0,33 0,001
diklorometan 3,1 41 0,44 1,6
n-butanol 3,9 118 2,98 7,81
isopropanol 3,9 82 2,30 100
n-propanol 4,0 92 2,27 100
kloroform 4,1 61 0,57 0,815
etil asetat 4,4 77 0,45 8,7
aseton 5,1 56 0,32 100
metanol 5,1 65 0,60 100
etanol 5,2 78 1,20 100
akuades 9,0 100 1,00 100

Masing-masing pelarut memiliki perbedaan rentang harga yang jauh


berbeda. Akuades, etanol, metanol, dan aseton termasuk pelarut yang mudah
didapat dengan harga yang relatif lebih rendah karena penggunaanya yang
banyak pada bidang lain, sehingga secara ekonomi harganya akan lebih murah.
Sedangkan pelarut yang jarang digunakan secara umum seperti kloroform,
butanol, dan etil asetat cenderung lebih mahal.

5.7. Rangkuman

1. Ekstraksi adalah pengambilan senyawa-senyawa metabolit sekunder


yang menjadi target untuk dipisahkan dari biomasa atau ampas atau
bagian yang tidak diperlukan karena sifatnya yang mengganggu baik
dalam penyajian maupun karena mengganggu efektivitas khasiat dari
bahan aktifnya.
2. Prinsip proses ekstraksi dimulai dengan proses pembukaan jaringan atau
dinding sel melalui proses panas dan pelarut organik, yang kemudian

87
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

pelarut melakukan penetrasi dan melarutkan senyawa karena kemiripan


tingkat polaritas dan selanjutnya senyawa tersebut terbawa bersama
pelarut.
3. Maserasi adalah teknik ekstraksi dengan cara merendam bahan baku ke
dalam pelarut pada suatu bejana dan ditempatkan pada suhu ruang
(ekstraksi dingin) selama beberapa waktu.
4. Perkolasi adalah teknik ekstraksi dengan melarutkan senyawa metabolit
dengan cara mengalirkan pelarut yang sesuai pada matriks bahan atau
sampel yang telah ditempatkan pada alat perkolator.
5. Ekstraksi dengan reflux adalah teknik ekstraksi panas yang dilakukan
dengan menguapkan pelarut dan mendinginkannya (kondensasi) lagi
untuk diulang secara kontinyu sehingga volume pelarut dalam sistem
akan terjaga.
6. Ekstraksi dengan soxhlet adalah pengembangan teknik perkolasi dan
refluks dengan menggabungkan dua prinsip tersebut dengan cara
menguapkan pelarut dan menyiramkan atau melewatkannya pada
sampel bahan yang terbungkus.
7. Ekstraksi dengan ultrasonikasi adalah teknik ekstraksi pengembangan
metode maserasi dingin dengan menambahkan alat ultrasonikasi untuk
mengahasilkan gelombang suara ultrasonik sehingga mempercepat
proses pelepasan senyawa metabolit sekunder.
8. Ekstraksi dengen pelarut bertekanan merupakan pengembangan
metode perkolasi tetapi dengan menambahkan tekanan dan
meningkatkan suhu proses sehingga proses ekstraksi lebih efisien.

5.8. Latihan

1. Jelaskan tujuan dan mekanisme kerja proses ekstraksi!

88
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

2. Jelaskan dasar-dasar pertimbangan dalam pemilihan metode ekstraksi


dan pelarut yang digunakan!
3. Jelaskan macam-macam teknik ekstraksi beserta kelebihan dan
kekurangannya!
4. Jelaskan perbedaan antara ekstraksi dingin dan ekstraksi panas serta
sebutkan contoh-contoh tekniknya!
5. Jelaskan konsep hubungan pengembangan antara teknik maserasi
dengan ekstraksi dengan ultrasonikasi!
6. Jelaskan konsep hubungan pengembangan antara teknik perkolasi,
ekstraksi dengan refluks, ekstraksi dengan soxhlet, dan ekstraksi dengan
pelarut bertekanan!

5.9. Bahan Bacaan yang Dianjurkan

Agoes, G., 2007. Teknologi Bahan Alam. ITB, Bandung.


Cannel, RJP., 1998. How to approach the isolation of a natural product, in Natural
Products Isolation. Humana Press, New Jersey.
Harborne, J.B., 1973. Phytochemical Methods. Chapman and Hall, London.
Harborne, J.B., 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan (terjemahan). Penerbit ITB, Bandung.
Kabera, J.N., Semana, E., Mussa, A.R., dan He., X., 2014. Plant Secondary
Metabolites: Biosynthesis, Classification, Function and Pharmacological
Properties. Journal of Pharmacy and Pharmacology, 2:377-392.
Markham, K.R., 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. ITB, Bandung.
Nugroho, A., 2016. Identification and Quantification of Flavonoids in Carica
papaya Leaf and Peroxynitrite-Scavenging Activity. Asian Pacific Journal
of Tropical Biomedicine, 7: 930-934.
Rostagno, M.A. dan Prado, J. M., 2013. Natural Product Extraction: Principles and
Applications. RSC Publishing, Cambridge, UK.
Sarker, S.D., Latif, Z., dan Gray, A.I., 2006. Natural Product Isolation 2nd edition.
Humana Press, New Jersey, USA.
Wonorahardjo, S., 2013. Metode-Metode Pemisahan Kimia. Indeks, Jakarta.

89
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

6. TEKNIK FRAKSINASI
DAN ISOLASI BAHAN
ALAM

6.1. Deskripsi Singkat

Bab ini berisi mengenai teknik-teknik pemurnian bahan alam baik berupa
ekstrak, fraksi, ataupun senyawa tunggal. Teknik pemurnian (purifikasi) di sini
dibagi menjadi dua yaitu fraksinasi dan isolasi. Dalam bab ini dijelaskan mengenai
prinsip-prinsip dan tujuan fraksinasi dan isolasi berikut dengan peralatan-
peralatan yang dibutuhkan dan pelarut-pelarut yang dapat digunakan. Selain itu
dijelaskan juga mengenai berbagai macam teknik isolasi senyawa tunggal berikut
prinsip kerja dan kelebihan serta kekurangannya masing-masing. Sebuah contoh
fraksinasi dan isolasi juga disajikan berdasarkan pengalaman penelitian penulis
dalam mengisolasi beberapa senyawa flavonoid dari daun pepaya (Carica papaya).

6.2. Relevansi

Teknik fraksinasi dan isolasi ini merupakan pengetahuan penting dalam


bekerja dengan bahan alam. Teknik ini berguna untuk memurnikan suatu bahan
alam baik dalam bentuk fraksi maupun senyawa tunggal. Pekerjaan fraksinasi dan

90
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

isolasi merupakan kelanjutan dari ekstraksi. Setelah mendapatkan ekstrak kasar


dari proses ekstraksi maka tahap selanjutnya adalah pemurnian atau pemisahan
fraksi, atau bahkan isolasi senyawa metabolit sekundernya. Sebenarnya masih
banyak tahapan lanjutan setelah dari pekerjaan ini, seperti: identifikasi struktur
kimia senyawa hasil isolasi dengan metode spektroskopi, kuantifikasi atau analisis
konsentrasi senyawa dalam bahan untuk keperluan pengendalian mutu,
pengujian sifat kimia fisik dan kimia produk, dan sebagainya.

6.3. Kompetensi

Setelah menyelesaikan bab ini, mahasiswa akan mampu:

1. Menjelaskan teknik-teknik pemurnian ekstrak, fraksi, dan senyawa


tunggal
2. Menjelaskan prinsip-prinsip dasar fraksinasi ekstrak bahan alam, berikut
cara kerja, peralatan, dan bahan-bahan kimia yang dibutuhkan
3. Menjelaskan prinsip-prinsip dasar isolasi senyawa tunggal metabolit
sekunder serta bahan-bahan yang diperlukan
4. Menjelaskan beberapa teknik isolasi senyawa tunggal dengan berbagai
metode kolom kromatografi.

6.4. Pengantar

Sebuah ekstrak hasil ekstraksi dari suatu bahan tanaman dapat


mengandung puluhan hingga ratusan jenis senyawa metabolit sekunder. Jika kita
ingin memisahkan sebuah senyawa dari sebuah ekstrak yang berisi ratusan
senyawa kimia, maka tentunya akan menjadi pekerjaan yang sangat sulit. Seperti
halnya menambang biji intan dari gumpalan batu atau tanah, maka prosesnya
juga cukup rumit. Untuk itulah produk-produk hasil isolasi atau pemurnian
memiliki harga yang tinggi dikarenakan oleh proses pemurniannya yang
membutuhkan usaha dan biaya tinggi.

91
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Tidak berbeda dengan ilustrasi pada penambangan intan tersebut, proses


pemisahan dan pemurnian senyawa metabolit sekunder pada dasarnya
menggunakan prinsip yang sama, yaitu dimulai dengan mekanisme pembagian
kelompok secara bertahap. Proses inilah yang disebut sebagai fraksinasi. Setelah
melalui fase pembagian kelompok secara bertahap, maka fase akhirnya adalah
memisahkan sebuah senyawa dari sebuah kelompok terpilih tetapi dengan
anggota yang jauh lebih sedikit dibanding pada jumlah anggota kelompok hasil
pembagian tahap pertama. Dengan sedikitnya jumlah anggota, maka untuk
memisahkan salah satunya akan menjadi lebih mudah. Prinsip inilah yang disebut
sebagai proses isolasi. Di bawah ini dijelaskan secara lebih detail mengani teknik
fraksinasi dan isolasi.

6.5. Fraksinasi Ekstrak Bahan Alam

Fraksinasi berasal dari kata fraction atau bagian, secara harfiah dapat
diartikan sebagai mekanisme untuk memilah-milah atau memisah-misahkan suatu
kumpulan/kesatuan menjadi beberapa bagian (fraction/part) atau lebih
mudahnya dapat dikatakan sebagai proses pembagian kelompok. Sebuah ekstrak
dari suatu bahan tanaman dapat mengandung puluhan atau ratusan senyawa.
Melalui proses fraksinasi maka misalkan dari sebuah ekstrak yang mengandung
100 senyawa dapat dibagi menjadi empat fraksi/kelompok (fraksi A, B, C, dan D),
dengan masing-masing anggotanya sekitar 25 jenis senyawa. Setelah itu dapat
dilakukan pembagian kelompok tahap ke dua, dengan melakukan fraksinasi pada
kelompok target/terpilih. Misalkan berdasarkan hasil pertimbangan atau hasil
pengujian bahwa fraksi B menjadi fraksi terpilih, maka fraksi B difraksinasi kembali
untuk dibagi menjadi lima fraksi/kelompok yang lebih kecil (sebagai contoh: B1,
B2, B3, B4, dan B5), di mana masing-masing fraksi memiliki senyawa sekitar 5
jenis. Kemudian dilakukan pengujian lagi untuk mendapatkan fraksi yang terpilih.
Andaikan fraksi B3 menjadi fraksi terpilih, maka fraksi B3 dengan anggotanya yang

92
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

berjumlah 5 jenis senyawa, secara teknis cukup memungkinkan untuk dilakukan


pemisahan dari salah satu senyawanya misalkan B3-2 (senyawa nomor 2 dari dari
lima senyawa anggota fraksi B3).

Ada berbagai macam tujuan dari fraksinasi. Fraksinasi dapat ditujukan untuk
mendapatkan fraksi (bagian) tertentu dari suatu ekstrak, dimana bagian itulah
yang merupakan fraksi aktif, dan perlu dipisahkan dari fraksi lainnya yang kurang
aktif. Tujuan lainnya adalah dalam rangka mendapatkan ekstrak yang lebih murni,
sehingga perlu dihilangkan senyawa-senyawa lain yang mengotori atau
mengganggu. Fraksinasi juga diperlukan ketika akan melakukan isolasi atau
pemisahan satu senyawa metabolit sekunder tunggal. Dengan fraksinasi maka
proses pemisahan senyawanya menjadi lebih mudah seperti diilustrasikan pada
penjelasan di atas.

Fraksinasi dapat dilakukan dengan beberapa teknik, di antaranya adalah


dengan liquid-iquid extraction (ekstraksi cairan-cairan) atau menggunakan kolom
kromatografi dengan fase diam dan fase gerak tertentu. Pada bab 5 tentang
ekstraksi, telah sedikit disinggung mengenai liquid-iquid extraction. Pada bab ini
akan dijelaskan secara lebih detail. Sedangkan fraksinasi dengan kolom
kromatografi akan dibahas pada sub bab 6.6 tentang isolasi senyawa metabolit
sekunder, yaitu pada pembahasan mengenai kromatografi dan kromatografi
kolom (6.6.1 dan 6.6.2).

6.5.1. Fraksinasi dengan liquid-iquid extraction.

Fraksinasi dengan liquid-iquid extraction adalah pemisahan


sekelompok senyawa dari kumpulan senyawa dalam sebuah ekstrak yang
telah dilarutkan pada suatu pelarut dengan cara menambahkan jenis
pelarut lain yang memiliki polaritas berbeda dan tidak dapat bercampur
antara keduanya (immiscible). Pada umumnya fraksinasi dengan metode ini
dilakukan dengan menggunakan labu pemisah (separating funnel).

93
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Gambar 6.1. Proses fraksinasi pada sebuah labu pemisah dan


terbentuknya dua fase yang terpisah.

Hadirnya dua pelarut (pelarut awal dan pelarut tambahan) yang


berbeda sifat, baik polaritas maupun masa jenisnya, pada sebuah sistem
dalam labu pemisah menyebabkan terbentuknya dua fase/fraksi yang
terpisah pada bagian atas dan bawah (Gambar 6.1). Kedua fase tersebut
terbentuk setelah kedua pelarut beserta ekstrak yang ada di dalamnya itu
dicampur dengan cara dikocok dan kemudian didiamkan selama beberapa
saat. Fase bagian atas ditempati oleh pelarut yang memiliki masa jenis lebih
rendah, dan fase bagian bawah ditempati oleh pelarut dengan masa jenis
lebih tinggi. Senyawa-senyawa dari ekstrak tersebut akan bergerak dan
terpisah dengan dua kecenderungan mengikuti kedekatan sifat dari
senyawa dengan pelarutnya. Sejumlah senyawa akan bergabung bersama
fase bagian atas dan ada sejumlah senyawa lainnya akan bergabung dengan
fase bagian bawah.

94
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Penggunaan labu pemisah memungkinkan kedua fase/fraksi tersebut


dapat dipisahkan dengan mudah. Dengan demikian akan diperoleh dua
fraksi yang berbeda, di mana masing-masing fraksi memiliki anggota
senyawa yang berbeda jenisnya. Dengan demikian sebuah proses fraksinasi
telah dilakukan.

Setelah masing-masing fraksi tersebut dipisahkan maka tahap


selanjutnya adalah pengentalan atau pengeringan fraksi dengan cara
evaporasi menggunakan evaporator untuk memisahkan pelarut dari fraksi
ekstraknya. Biasanya hasil proses evaporasi menggunakan rotary vacuum
evaporator (Gambar 6.2) berupa pasta atau cairan kental. Untuk
mengeringkannya dapat menggunakan freeze dryer sehingga akan
didapatkan fraksi ekstrak berbentuk padatan (solid).

Gambar 6.2. Proses evaporasi dengan rotary vacuum evaporator.

6.5.2. Fraksinasi dengan kolom kromatografi

Teknik fraksinasi lainnya adalah dengan metode kromatografi kolom.


Pada dasarnya, prinsip kerjanya hampir sama dengan liquid-liquid extraction,
yang membedakan adalah media yang digunakan. Pada fraksinasi dengan

95
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

kromatografi kolom, maka proses pembagian fraksinya dilakukan pada


sebuah kolom dengan menggunakan prinsip-prinsip kromatografi di mana
sama-sama mengaplikasikan prinsip tingkat kepolaran/polaritas, prinsip
yang sama seperti pada liquid-liquid extraction.

Pada kromatografi kolom dikenal fase gerak (mobile phase) dan fase
diam (stationary phase). Untuk memahami teknik ini, maka perlu dijelaskan
lebih detail mengenai prinsip kerja dari kromatografi. Mengenai
kromatografi ini dijelaskan pada sub bab 6.6. tentang isolasi senyawa
metabolit sekunder seperti tertera di bawah ini.

6.6. Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder

Isolasi dalam bidang bahan alam adalah usaha untuk memisahkan sebuah
senyawa metabolit sekunder dari suatu ekstrak atau fraksi ekstrak dari suatu
bahan. Proses isolasi senyawa metabolit sekunder harus didahului dengan
ekstraksi untuk mendapatkan ekstrak dengan komposisi senyawa yang masih
kompleks, dan juga diikuti dengan fraksinasi untuk memperoleh fraksi dengan
komposisi senyawa yang lebih sederhana. Jika telah diperoleh sebuah fraksi dari
ekstrak yang telah terpilih berdasarkan target senyawa yang diinginkan maka
proses isolasi dapat dilakukan.

Proses isolasi senyawa metabolit sekunder dapat dilakukan dengan berbagai


metode. Metode paling umum adalah menggunakan teknik kromatografi. Teknik
kromatografi untuk isolasi senyawa dapat diaplikasikan pada beberapa jenis
media. Dua media yang paling umum digunakan adalah dengan kolom
kromatografi dan menggunakan kromatografi lapis tipis atau thin layer
cromatography (TLC). Dengan kolom kromatografi memungkinkan untuk
mendapatkan sebuah senyawa tunggal dengan jumlah yang cukup besar, tetapi
dengan TLC hanya akan diperoleh dalam jumlah yang terbatas walaupun dapat

96
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Penjelasan lebih detail mengenai
kromatografi kolom dan TLC diberikan pada beberapa sub bab setelah ini.

Kromatografi kolom dan TLC menggunakan prinsip kerja yang sama, yaitu
memisahkan sekumpulan senyawa berdasarkan perbedaan polaritasnya.
Kromatografi kolom menggunakan sebuah kolom atau tabung kaca sebagai
tempat pemisahannya, sedangkan pada TLC menggunakan sebuah lapisan tipis
sebagai tempat pemisahannya. Kromatografi kolom dan TLC sama-sama
melibatkan dua jenis fase dalam mekanisme pemisahannya, yaitu fase gerak
(mobile phase) dan fase diam (stationary phase). Fase gerak berupa pelarut
(solvent atau eluent) yang dapat bergerak/mengalir karena adanya pengaruh gaya,
seperti gaya kapilaritas, gaya gravitasi/potensial, gaya tekan, dan lainnya
tergantung pada jenisnya. Sedangkan fase diamnya adalah sesuatu yang tidak
bergerak atau statis yang difungsikan sebagai media/jalur tempat
berjalan/bergeraknya setiap senyawa yang akan dipisahkan.

Dengan perbedaan polaritas pada setiap jenis senyawa maka akan terjadi
perbedaan kecepatan pergerakan senyawa tersebut. Dengan mekanisme
demikian akan dapat dipisahkan beberapa jenis senyawa yang pada awalnya
terkumpul menjadi satu. Prinsip kromatografi menjadi pilihan dalam metode
pemisahan/separasi ketika metode atau cara lain sudah tidak memungkinkan,
seperti metode filtrasi atau sentrifugasi yang lebih mudah karena memanfaatkan
sifat fisik dari senyawanya. Sedangkan kromatografi adalah metode yang cukup
rumit dan memakan biaya, karena membutuhkan beberapa bahan dengan harga
yang tidak murah dan juga kurang aman bagi lingkungan karena menghasilkan
sampah pelarut.

Ada beberapa jenis fase diam dalam kromatografi. Pada dasarnya ada dua
golongan fase diam, yaitu yang bersifat polar dan yang bersifat non polar. Contoh
yang bersifat polar yaitu silica gel, sedangkan yang non polar adalah ODS

97
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

(octadecylsilane) yang merupakan modifikasi dari silica gel. Pada kromatografi


kolom, fase diam tersebut diisikan pada kolom/tabung dan dipak dengan
penambahan pelarut sehingga membentuk fase gel. Sedangkan pada TLC, fase
diamnya dilapiskan pada sebuah bidang datar rata yang sifatnya inert, seperti
kaca atau alumunium.

Untuk pelarut atau solvent dapat digunakan beberapa macam pelarut


organik baik secara individu maupun campuran/kombinasi dari beberapa pelarut.
Beberapa pelarut yang umum digunakan antara lain: metanol, kloroform, dan
akuades. Pelarut pada sistem kromatografi disebut juga sebagai eluent karena
difungsikan sebagai media untuk elusi atau mengalirkan suatu bahan. Jadi solvent
atau eluent memiliki makna yang hampir sama.

Pada proses isolasi, prinsip kromatografi ini sangat memegang peranan


penting. Hampir semua senyawa metabolit sekunder yang diidentifikasi dihasilkan
dari proses isolasi dan pemurnian menggunakan kromatografi. Pada Gambar 6.3
ditampilkan contoh proses isolasi beberapa senyawa flavonoid pada daun pepaya
(Carica papaya) menggunakan berbagai teknik kromatografi kolom yang didahului
dengan proses ekstraksi dengan pelarut metanol dan juga fraksinasi dengan
beberapa pelarut (kloroform, butanol, dan akuades). Pada Gambar 6.4
disampaikan struktur kimia dari tujuh senyawa flavonoid yang berhasil diisolasi
dan diidentifikasi dari fraksi butanol hasil fraksinasi dari ekstrak metanol daun
pepaya.

98
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam


(Nugroho, 2016)

Gambar 6.3. Contoh proses isolasi beberapa senyawa flavonoid dari


ekstrak metanol daun pepaya (Carica papaya).

99
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam



Senyawa R 1 R 2 R 3
(1) Quercetin 3-(2G- O-[α-L-rhamnopyranosyl (1→2)][α-L-
OH H
rhamnosylrutinoside) rhamnopyranosyl (1→6)]-β-D-glucopyranosyl
(2) Kaempferol 3-(2G- O-[α-L-rhamnopyranosyl (1→2)][α-L-
H H
rhamnosylrutinoside) rhamnopyranosyl (1→6)]-β-D-glucopyranosyl
(3) Quercetin 3- O-α-L-rhamnopyranosyl (1→6)-β-D-
OH H
rutinoside glucopyranosyl
(4) Myricetin 3-
OH OH O-α-L-rhamnopyranosyl
rhamnoside
(5) Kaempferol 3- O-α-L-rhamnopyranosyl (1→6)-β-D-
H H
rutinoside glucopyranosyl
(6) Quercetin OH H H
(7) Kaempferol H H H
(Nugroho, 2016)

Gambar 6.4. Struktur kimia dan nama senyawa flavonoid hasil isolasi dari
ekstrak daun pepaya.

6.6.1. Prinsip Kromatografi

Kromatografi diambil dari bahasa Romawi, yaitu chroma (warna) dan


graph (gambaran/pola). Dalam aplikasinya pada bidang bahan alam, secara
sederhana kromatografi dapat didefinisikan sebagai sebuah metode
pemisahan atau lebih tepatnya pengurutan berdasarkan tingkat polaritas
dari komponen-komponen yang pada awalnya terkumpul dalam suatu

100
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

bahan alam, yang didasarkan oleh penampakan secara grafis pada sebuah
media perambatan. Media perambatan di sini diartikan sebagai fase diam
(stationary phase), di mana komponen-komponen tadi akan terurut atau
terposisikan secara berurutan pada media ini karena terbawa oleh adanya
fase gerak (mobile phase) yang berjalan dari ujung satu menuju ujung
lainnya dari suatu fase diam yang disebabkan oleh adanya gaya kapilaritas
atau gaya lainnya, misalkan gaya gravitasi/potensial atau tekanan. Gambar
6.5 memberikan ilustrasi mengenai mekanisme proses kromatografi dalam
pemisahan tiga buah senyawa.


(http://www.separationprocesses.com)

Gambar 6.5. Prinsip kromatografi dalam pemisahan senyawa.

Kromatografi dapat diibaratkan sebagai sebuah proses seleksi, baik itu


seleksi alam dalam kehidupan makhluk hidup di muka bumi, atau lebih
sederhananya seperti seleksi masuk perguruan tinggi oleh calon-calon
mahasiswa yang merupakan lulusan siswa-siswa tingkat SLTA. Mereka akan

101
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

masuk pada perguruan tinggi, fakultas, atau program studi yang disesuaikan
dengan nilai ujian masuknya. Bagi yang mendapat nilai tinggi akan
mendapatkan kesempatan untuk masuk pada perguruan tinggi atau
program studi favorit sesuai dengan kapabilitasnya. Sedangkan bagi yang
mendapatkan nilai rendah, tentunya akan tinggal pada perguruan tinggi
atau program studi yang grade-nya lebih rendah, sesuai dengan
kapabilitasnya. Walaupun penggambaran ini tidak sepenuhnya tepat, tapi
cukup untuk menjelaskan dengan cara yang lebih mudah dan sederhana
dari sebuah proses kromatografi.

Dalam hal ini, sekumpulan atau asosiasi perguruan tinggi negeri dapat
dikatakan sebagai fase diam (stationary phase), sedangkan untuk mobile
phase-nya adalah proses ujian masuk itu sendiri, yang dimulai dari fase
pendaftaran, ujian, sampai pengumuman. Sedangkan siswa-siswa lulusan
SLTA diibaratkan sebagai senyawa-senyawa metabolit sekunder yang akan
dipisahkan sesuai dengan kapabilitasnya.

Begitu fase pendaftaran ujian dimulai, berarti proses kromatografi


berjalan, sampai nanti pada fase pengumuman hasil. Setelah proses selesai
maka akan tampak sebuah peta klasifikasi atau penempatan lulusan-lulusan
SLTA tadi (yang sekarang sudah menjadi mahasiswa) pada perguruan tinggi
atau program studi sesuai dengan grade atau nilai ujian masuk yang mereka
hasilkan.

Mekanisme kromatografi didasarkan pada prinsip perbedaan


polaritas. Dengan kromatografi, suatu kelompok senyawa dapat diurutkan
atau dipisahkan dari yang paling polar sampai yang paling kurang polar.
Perbedaan polaritas komponen kimia ini disebabkan oleh gugus fungsi yang
dimilikinya. Sebagai contoh jika sebuah komponen memiliki gugus fungsi
hidroksil (-OH) yang melimpah, maka komponen itu akan cenderung bersifat

102
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

polar. Sedangkan yang memiliki gugus metoksil (CHO), akan cenderung ke


arah polaritas yang rendah karena adanya atom karbon.

6.6.2. Tipe Kromatografi

Berdasarkan sifat kepolaran dari fase diamnya (stationary phase),


teknik kromatografi dibedakan menjadi dua tipe, yaitu fase normal (normal
phase atau disingkat sebagai NP) dan fase terbalik (reversed phase atau
disebut sebagai RP). Kromatografi dengan teknik NP mengurutkan
komponen dari yang paling polar ke yang paling kurang polar, sedangkan
kebalikannya, teknik RP mengurutkan dari yang kurang polar ke yang paling
polar. Masing-masing teknik dijalankan sesuai dengan kebutuhan penelitian
dan sifat komponen yang akan diisolasi.

Kedua teknik kromatografi tersebut berbeda pada jenis bahan atau


material yang digunakan untuk fase diamnya, dan tentunya pelarut (solvent)
yang digunakan untuk fase geraknya. Pada teknik NP, fase diamnya
menggunakan material yang bersifat polar, dalam hal ini biasanya
mengaplikasikan silica gel (SiO2) dalam sebuah kolom, dengan berbagai
ukuran diameter partikel, sedangkan untuk fase bergeraknya digunakan
kombinasi pelarut kloroform-metanol-air dengan berbagai perbandingan
sesuai kebutuhan. Untuk teknik RP, fase diamnya menggunakan material
yang bersifat nonpolar, misalnya ODS (octadesylsilane), dan fase
bergeraknya menggunakan kombinasi pelarut metanol-air.

Mekanisme kromatografi sebenarnya sangat sederhana. Pada


kromatografi dengan prinsip fase normal (normal phase), dengan fase diam
berupa media yang bersifat polar (misalkan silica gel), maka senyawa-
senyawa kimia yang memiliki polaritas rendah berusaha secepat mungkin
untuk menjauhi atau menghindari media polar tersebut, dan cenderung
mengikuti pergerakan dari fase gerak atau eluent-nya. Hal ini menyebabkan

103
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

senyawa-senyawa tersebut akan bergerak lebih cepat dibandingkan dengan


senyawa-senyawa lain yang memiliki polaritas lebih tinggi. Dengan
demikian, pada proses fraksinasi atau isolasi menggunakan prinsip
kromatografi fase normal, maka senyawa-senyawa dengan kepolaran
rendah akan terelusi (keluar) lebih cepat (dikatakan memiliki waktu
retensi/retention time yang rendah) dibandingkan dengan senyawa-
senyawa lain dengan kepolaran yang lebih tinggi yang terelusi lebih lambat
(dikatakan memiliki waktu retensi yang lebih panjang).

Hal sebaliknya terjadi untuk kromatografi dengan prinsip reversed


phase (RP). Senyawa-senyawa dengan polaritas lebih tinggi, misalkan
senyawa yang memiliki gula, maka akan terelusi lebih awal dibandingkan
dengan senyawa dengan struktur kimia yang sama tetapi tanpa struktur
gula yang melekat pada struktur utamanya. Hal ini dikarenakan gula
merupakan struktur kimia yang sangat polar.

Gambar 6.6. Contoh kromatografi kolom dengan tekanan medium (MPLC).

104
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Dalam penerapannya, banyak sekali teknik kromatografi yang ada saat


ini, antara lain thin layer chromatography (TLC), open column liquid
chromatography, medium pressure liquid chromatography (MPLC, seperti
pada Gambar 6.6), high pressure liquid chromatography atau High
Performance Liquid Chromatography (HPLC), dan juga GC (gas
chromatography), di mana fase bergeraknya berupa gas inert (nitrogen atau
karbondioksida). Selain itu, penggunaannya juga sangat luas tidak terbatas
pada bidang bahan alam tapi juga digunakan pada bidang fisika, analisis
cemaran lingkungan dan lain-lain.

6.6.3. Kromatografi Kolom

Fraksinasi dan isolasi senyawa metabolit sekunder tunggal dapat


dilakukan dengan teknik kromatografi kolom. Tahapan dalam teknik
kromatografi kolom meliputi: pembuatan kolom (packing column),
persiapan ekstrak sampel, pembuatan pelarut/fase gerak (eluent),
pemuatan sampel (loading sample), pengelusian, serta koleksi fraksi-fraksi
terelusi. Masing-masing jenis kolom memiliki teknik yang sedikit berbeda,
tapi pada dasarnya memiliki prinsip yang sama.

Kolom silica gel termasuk dalam kromatografi fase normal (normal


phase), karena fase diamnya bersifat polar. Sebenarnya fase asli silica tidak
bersifat polar, dan berbentuk padat/granul/powder, tetapi ketika
diaplikasikan dalam sebuah kolom bersama eluent maka sifatnya berubah
menjadi polar, dan berubah menjadi gel. Untuk fase diam silica gel ini
menggunakan eluent berupa larutan dengan berbagai persentase antara
kloroform (CHCl3), metanol, dan air, di mana perbandingan antara
choloroform dan metanol sebaiknya genap 100 %, dan ekses air 10 %.
Sebagai contoh kloroform : metanol : air (C:M:W) = 60 : 40 : 10, atau 70 : 30 :
10 dan sebagainya. Yang paling berperan di sini adalah kloroform dan

105
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

metanol, karena keduanya bersifat saling larut (miscible), dengan indeks


polaritas yang tidak jauh berbeda. Sedangkan penambahan air selain sedikit
mempengaruhi polaritas, juga berfungsi sebagai penutup dari campuran
kedua pelarut tersebut, sehingga tidak menguap bebas.

Gambar 6.7. Proses packing kromatografi kolom.

Sebelum melakukan packing kolom untuk kromatografi, pelarut


(solvent atau eluent) harus dipersiapkan terlebih dahulu. Serbuk silica gel
harus dilarutkan dulu dengan eluent tersebut sampai terbentuk gel. Gel
inilah yang kemudian dituangkan ke dalam kolom. Proses ini
dinamakan packing. Kolom yang baik adalah jika fase diamnya terbentuk
secara rapat/ketat/kompak, dalam arti tidak ada rongga udara (bubble) atau
strukturnya yang tidak rapuh, untuk itu sebelum sample ekstrak
diaplikasikan atau di-loading, perlu dipastikan dulu kondisi kolom sudah siap
yaitu dengan mengelusikan eluent terlebih dahulu selama beberapa jam

106
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

untuk menjamin kolom sudah sangat kompak/rapat. Gambar 6.7 di atas


memperlihatkan proses packing kolom dengan fase diam berupa silica gel.
Sedangkan Gambar 6.8 di bawah ini memperlihatkan contoh kolom
kromatografi yang telah diaplikasikan/di-loading dengan sampel ekstrak dan
siap untuk dielusikan dengan eluent.

Gambar 6.8. Kolom kromatografi dengan sampel yang siap dielusi.

Pada open column chromatography, sampel yang akan dielusikan


berdasarkan fasenya dibedakan menjadi dua yaitu dry phase (fase
solid/kering/serbuk) dan wet phase (liquid). Untuk kolom silica gel dan ODS
biasanya dalam bentuk dry phase, sedangkan Sephadex dan Diaion
menggunakan metode wet phase. Untuk kolom silica gel, ekstrak yang akan
dielusi harus dicampur dengan silica gel. Tahap pertama, ekstrak dilarutkan
terlebih dahulu dengan metanol dalam sebuah evaporating flask (gelas

107
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

untuk evaporasi menggunakan rotary evaporator), kemudian ditambahkan


silica gel secukupnya, diperkirakan seluruh ekstrak dapat tercampur rata.
Kemudian campuran larutan ekstrak dan silica gel tersebut dievaporasikan
sampai terbentuk serbuk atau granula, di mana ekstrak sudah terabsorbsi
dalam silica gel. Granula ini harus dilembutkan menggunakan mortar
sehingga diperoleh fase serbuk yang seragam, yang kemudian baru bisa
diaplikasikan dalam kolom kromatografi.

Pada aplikasi atau penuangan sampel ke dalam kolom, ada beberapa


hal yang harus diperhatikan, antara lain:

1. Volume eluent di atas fase diam disisakan seminimal mungkin, sekiranya


seluruh sampel dapat terendam. Hal ini penting agar level isolasi presisi.
2. Jangan sampai sampel terlarut pada eluent yang posisinya berada di
atasnya, diusahakan senyawa dalam sampel terelusi dengan baik
mengikuti arah alir eluent dalam kolom. Jika hal ini terjadi, maka proses
isolasi tidak akan berlangsung dengan baik.
3. Dijaga agar eluent tetap mengalir dengan flow rate yang rendah dengan
tujuan sampel dapat terelusi ke bawah mengikuti aliran eluent dan
mencegah sampel terlarut oleh eluent/solvent di bagian atasnya.
4. Aplikasi sampel dilakukan seperti menaburkan gula dalam minuman kopi,
tetapi harus dilakukan dengan perlahan-lahan dan merata, agar sampel
dapat terposisikan merata dengan struktur yang baik pada permukaan
atas fase diam.
Tahap selanjutnya adalah proses elusi. Hal yang perlu diperhatikan di
sini adalah laju alir atau flow rate, kemudian volume koleksi, serta waktu
kapan fraksi mulai dikoleksi. Flow rate yang terlalu rendah menyebabkan
waktu isolasi terlalu panjang, sehingga tidak efisien, sedangkan jika terlalu
cepat dikhawatirkan proses isolasi tidak berhasil, karena senyawa tidak
terfraksinasi dengan baik. Penentuan volume koleksi fraksi juga ditentukan

108
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

dengan memperhatikan efektifitas dan efisiensi proses, volume yang terlalu


tinggi menyebabkan kehilangan kuantitas senyawa tunggal yang signifikan,
karena terkontaminasi dengan senyawa lain pada fraksi sebelum atau
sesudahnya.

Gambar 6.9. Koleksi fraksi dari hasil elusi kromatografi kolom.

Volume yang terlalu rendah akan menyebabkan pengecekan


keberadaan senyawa tunggal menggunakan TLC akan banyak dan
merepotkan. Jika memang sampel dalam jumlah yang besar dan
menggunakan kolom berdiameter lebar maka volume lebih tinggi dapat
diaplikasikan, sedangkan jika sampel sangat sedikit dengan ukuran kolom
yang kecil maka koleksi dalam volume yang rendah lebih disarankan. Koleksi
dapat menggunakan tabung reaksi dengan berbagai ukuran, mulai dari 10
ml sampai 50 ml. Dapat juga dengan menggunakan alat auto sampler yang
secara otomatis dapat mengoleksi fraksi. Gambar 6.9 memperlihatkan
contoh koleksi fraksi-fraksi yang ditampung pada beberapa tabung reaksi
yang merupkan hasil elusi kromatografi kolom.

109
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

6.6.4. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) atau Thin Layer Chromatography (TLC)


adalah teknik separasi atau pemisahan dengan menggunakan sebuah
bidang datar/planar yang dapat memfasilitasi prinsip-prinsip kromatografi.
Prinsip kerja pada TLC sama dengan kromatografi kolom. Sistem kerja TLC
juga terdiri atas dua elemen utama, yaitu fase diam (stationary phase) dan
fase gerak (mobile phase) atau biasa disebut solvent/eluent. Gambar 6.10
memperlihatkan contoh plat/papan TLC dan proses spotting atau
penempatan sampel pada plat TLC.

Gambar 6.10. Pengerjaan (spotting) TLC.

Berdasarkan jenis kepolaran, TLC juga dibagi menjadi dua, yaitu


normal phase (NP) dan reversed phase (RP). Pada jenis NP, untuk fase diam-
nya digunakan bahan yang bersifat polar, pada umumnya menggunakan
material silica gel (SiO2). Sedangkan pada jenis RP menggunakan material
yang bersifat non polar, salah satunya adalah ODS (octadecylsilane). Harga
ODS sendiri jauh sangat mahal dibandingkan dengan harga silica gel,

110
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

sehingga biaya TLC menggunakan sistem reversed phase membutuhkan


biaya yang lebih tinggi.

Gambar 6.11. Contoh TLC diamati di bawah sinar UV.

Material yang digunakan dalam fase gerak memiliki sifat yang


berkebalikan dengan sifat material yang digunakan dalam fase diamnya.
Kenapa demikian, hal ini berfungsi untuk mengetahui apakah nantinya
komponen atau senyawa aktif yang diuji di atas TLC dapat diketahui dia
lebih cenderung ‘menyukai’ fase diam atau fase geraknya. Kalau senyawa
itu lebih menyukai fase diamnya, berarti dia tidak akan bergerak cepat
mengikuti laju pergerakan solvent yang disebabkan oleh daya kapilaritas,
sehingga titik henti atau waktu retensi atau retention time (Rf), berada pada
nilai rendah (posisi bagian bawah dari TLC), biasanya memiliki nilai Rf antara
0.20-0.30. Sedangkan kalau senyawa itu cenderung menyukai solventnya,
maka senyawa tersebut akan cepat bergerak mengikuti arus kapilaritas dari
solvent tersebut, biasanya berada pada nilai Rf antara 0.70-0.90 (posisi henti
pada TLC lebih tinggi). Gambar 6.11 memperlihatkan contoh pergerakan
senyawa pada sebuah TLC yang diamati di bawah sinar UV yang

111
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

menunjukkan adanya beberapa senyawa dengan waktu retensi yang


berbeda-beda.

Pada TLC dengan prinsip NP, dimana digunakan bahan bersifat polar
sebagai fase diamnya, maka untuk fase geraknya digunakan eluent yang
memiliki kepolaran yang rendah. Pada umumnya digunakan campuran
antara kloroform dan metanol dengan berbagai perbandingan seperti telah
dijelaskan pada bab sebelumnya tentang kromatografi kolom. Sedangkan
pada pinsip RP, eluent yang digunakan memiliki sifat kepolaran yang lebih
tinggi, dalam hal ini campuran antara metanol (MeOH) dan akuades
merupakan perpaduan yang sering digunakan dengan berbagai
perbandingan misalnya MeOH : akuades = 30 : 40, 50 : 50, atau 30 : 20.
Angka perbandingan ini disesuaikan dengan karakteristik senyawa yang
sedang diuji.

Gambar 6.12. Perbedaan prinsip normal phase dan reversed phase pada
kromatografi lapis tipis.

Prinsip kerja untuk NP, jika kita menguji kepolaran antara tiga jenis
senyawa yang berbeda tingkat kepolarannya (diilustrasikan dengan Gambar
6.12). Sebagai contoh, berturut-turut dari senyawa A, B dan C, memiliki
tingkat polaritas dari yang tertinggi ke yang rendah. Ketika ketiga senyawa

112
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

tersebut diuji pada TLC tipe NP, senyawa A akan berada pada posisi
terbawah (Rf terkecil), C akan berada di posisi teratas (Rf tinggi), sedangkan
B akan berada di posisi tengah antara A dan C.

Hal ini terjadi karena A (polaritas tinggi) secara kimia akan cenderung
menyukai fase diam daripada fase geraknya karena sama-sama bersifat
polaritas tinggi sehingga kecenderungan untuk bersama fase diam lebih
kuat. Sedangkan senyawa C dengan polaritas yang lebih rendah tentunya
kurang memiliki kecenderungan terhadap fase diamnya, karena perbedaan
sifat polaritas yang tinggi. Dengan demikian, senyawa C cenderung lebih
menyukai fase geraknya, oleh karena itu senyawa C akan bergerak
mengikuti pergerakan eluent yang pada akhirnya akan berhenti pada posisi
tertentu (Rf). Sudah bisa dipastikan bahwa senyawa B akan berada pada
posisi antara A dan C.

Prinsip yang sama juga terjadi pada sistem RP, hanya saja hasilnya
akan berkebalikan dengan NP, dalam kasus di atas senyawa A akan berada
pada posisi teratas dan C pada posisi terbawah (Gambar 6.12). Hal ini bisa
dipahami karena memang baik fase diam maupun fase gerak kedua sistem
berlawanan sifatnya.

Prinsip kedua jenis TLC yang telah dijelaskan di atas juga digunakan
untuk kromatografi kolom. Karena pada dasarnya antara TLC dan
kromatografi kolom adalah sama secara sistem kerjanya baik fase diam atau
fase gerak yang digunakan maupun senyawa yang dielusikan ke dalamnya.
Perbedaannya hanya terletak pada segi skala atau volume yang digunakan.

Kemudian berkaitan dengan penggunaan rasio campuran eluent yang


digunakan. Perbandingan atau rasio yang dipakai didasarkan pada
karakteristik senyawa yang akan dielusikan. Yang pertama untuk aplikasi
pada jenis NP, jika senyawa yang akan dielusikan memiliki tingkat polaritas

113
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

yang tinggi, maka senyawa-senyawa tersebut akan berada pada posisi Rf


yang sangat kecil, misalkan antara 0.01-0.20, hal ini nanti akan kurang jelas
terlihat pada saat pengamatan hasil dan yang lebih penting lagi ketika
diaplikasikan pada skala yang lebih besar dengan menggunakan
kromatografi kolom maka hal ini akan menyulitkan proses pemisahan
senyawa. Untuk itu agar Rf berada pada rentang 0.40-0.60, maka tingkat
polaritas dari eluent harus ditingkatkan, misalkan pada awalnya
menggunakan (kloroform : metanol = 70 : 30), maka bisa ditingkatkan
konsentrasi metanolnya menjadi (kloroform : metanol = 60 : 40 atau 65 : 35),
tergantung hasil ujioba (memerlukan proses trial and error). Dan sebaliknya
jika Rf terlalu tinggi (0.75-0.90) maka dapat diturunkan dengan menurunkan
konsentrasi dari metanolnya (atau lebih tepatnya meningkatkan rasio dari
eluent yang memiliki polaritas yang lebih tinggi).

Hal serupa juga berlaku pada prinsip RP, misalkan fase geraknya
adalah campuran antara metanol dan air, maka untuk mempertinggi nilai Rf
dilakukan dengan cara meningkatkan konsentrasi metanol. Sebaliknya untuk
menurunkan nilai Rf dengan cara meningkatkan konsentrasi air dalam
campuran fase geraknya. Perbandingan yang optimal hanya didapatkan
dengan melakukan beberapa uji trial and error dengan berbagai
perbandingan, dapat dimulai dari standar (metanol : air = 1 : 1).

Penentuan formulasi optimal fase gerak, yang menjadi kunci adalah


permainan konsentrasi metanol, baik untuk NP maupun RP. Khusus pada RP
sendiri, peran metanol sebagai kunci karena dia memiliki boiling point atau
titik didih yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan air, sehingga daya
kapilaritasnya akan lebih tinggi dibandingkan air.

114
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

6.7. Rangkuman

1. Fraksinasi berasal dari kata fraction atau bagian, secara harfiah dapat
diartikan sebagai mekanisme untuk memilah-milah atau memisah-
misahkan suatu kumpulan/kesatuan menjadi beberapa bagian
(fraction/part).
2. Fraksinasi dapat dilakukan dengan teknik liquid-iquid extraction
(ekstraksi cairan-cairan) atau dengan kolom kromatografi dengan fase
diam dan fase gerak tertentu.
3. Fraksinasi dengan liquid-iquid extraction adalah pemisahan sekelompok
senyawa dari kumpulan senyawa dalam sebuah ekstrak yang telah
dilarutkan pada suatu pelarut dengan cara menambahkan jenis pelarut
lain yang memiliki polaritas berbeda dan tidak dapat bercampur antara
keduanya (immiscible) sehingga diperoleh dua fraksi yang terpisah
berdasarkan perbedaan polaritas.
4. Pada fraksinasi dengan kromatografi kolom, maka proses pembagian
fraksinya dilakukan pada sebuah kolom dengan menggunakan prinsip-
prinsip kromatografi di mana sama-sama mengaplikasikan prinsip
perbedaan polaritas, prinsip yang sama seperti pada liquid-liquid
extraction.
5. Isolasi dalam bidang bahan alam adalah usaha untuk memisahkan
sebuah senyawa metabolit sekunder dari suatu ekstrak atau fraksi
ekstrak dari suatu bahan.
6. Dua jenis teknik yang memanfaatkan prinsip kromatografi untuk proses
isolasi adalah kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis atau thin
layer cromatography (TLC).
7. Kromatografi Lapis Tipis adalah teknik separasi atau pemisahan dengan
menggunakan sebuah bidang datar/planar yang dapat memfasilitasi
prinsip-prinsip kromatografi.

115
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

6.8. Latihan

1. Jelaskan langkah langkah umum yang harus dilakukan dalam rangka


mengisolasi suatu senyawa dari suatu ekstrak bahan alam!
2. Jelaskan prinsip dasar dari teknik fraksinasi pada bahan alam!
3. Jelaskan prinsip dasar teknik isolasi senyawa metabolit sekunder dari
suatu bahan alam!
4. Jelaskan prinsip dasar teknik kromatografi!
5. Jelaskan persamaan dan perbedaan dari kromatografi kolom dan TLC!
6. Jelaskan dua fase yang mendasari prinsip kerja kromatografi!
7. Ada dua jenis kromatografi, yaitu normal phase dan reversed phase.
Jelaskan perbedaannya!

6.9. Bahan Bacaan yang Dianjurkan

Agoes, G., 2007. Teknologi Bahan Alam. ITB, Bandung.


Cannel, RJP., 1998. How to approach the isolation of a natural product, in Natural
Products Isolation. Humana Press, New Jersey.
Gandjar, I.G. dan Rohman, A., 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Belajar,
Yogyakarta.
Harborne, J.B., 1973. Phytochemical Methods. Chapman and Hall, London.
Harborne, J.B., 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan (terjemahan). Penerbit ITB, Bandung.
Markham, K.R., 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. ITB, Bandung.
Nugroho, A., 2016. Identification and Quantification of Flavonoids in Carica
papaya Leaf and Peroxynitrite-Scavenging Activity. Asian Pacific Journal
of Tropical Biomedicine, 7: 930-934.
Rostagno, M.A. dan Prado, J. M., 2013. Natural Product Extraction: Principles and
Applications. RSC Publishing, Cambridge, UK.
Sarker, S.D., Latif, Z., dan Gray, A.I., 2006. Natural Product Isolation 2nd edition.
Humana Press, New Jersey, USA.
Wonorahardjo, S., 2013. Metode-Metode Pemisahan Kimia. Indeks, Jakarta.

116
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

7. TEKNIK EKSTRAKSI
MINYAK ATSIRI

7.1. Deskripsi Singkat

Meskipun secara prinsip adalah sama, teknik ekstraksi minyak atsiri sedikit
berbeda dengan teknik ekstraksi bahan alam lain. Minyak atsiri sebagai senyawa
volatil sangat mudah menguap. Selain itu banyak bahan-bahan tanaman yang
menjadi sumber minyak atsiri merupakan bahan yang tidak tahan panas, seperti
pada berbagai jenis bunga. Secara umum ada dua kelompok teknik ekstraksi
minyak atsiri, yaitu dengan metode dingin dan metode panas. Metode dingin,
berarti tanpa ada perlakuan panas, seperti pada teknik enfleurasi, maserasi,
pengepresan, dan ekstraksi dengan pelarut organik. Sedangkan ekstraksi dengan
panas antara lain melalui penyulingan/destilasi baik dengan metode destilasi uap,
air, atau campuran air dan uap, serta maserasi dengan lemak panas. Teknik-teknik
tersebut dibahas pada bab ini mulai prinsip dasar dan peralatan yang digunakan
beserta kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

117
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

7.2. Relevansi

Ada perbedaan pendekatan antara teknik ekstraksi bahan alam pada


umumnya dengan ekstraksi untuk minyak atsiri, meskipun prinsip dasarnya tetap
sama. Oleh karena penjelasan mengenai teknik ekstraksi minyak atsiri
disampaikan pada bab tersendiri. Minyak atsiri bersifat mudah menguap (volatile)
dan beberapa di antaranya sensitif pada suhu tinggi. Untuk itu perlu pemahaman
yang lebih spesifik mengenai teknik-teknik ekstraksi minyak atsiri, sehingga
produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik serta dengan rendemen yang
tinggi. Dengan demikian bab ini penting disajikan secara khusus seperti di bawah
ini.

7.3. Kompetensi

Setelah menyelesaikan bab ini, mahasiswa dapat mengetahui dan


memahami prinsip-prinsip dan teknik-teknik ekstraksi minyak atsiri, serta mampu
memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing baik dari segi kualitas
produk yang dihasilkan, rendemen, serta biaya produksinya. Selain itu mahasiswa
juga memiliki kemampuan dan ketrampilan dalam melakukan ekstraksi untuk
beberapa bahan alam.

7.4. Pengantar

Minyak atsiri memiliki ciri utama sebagai senyawa yang berwujud cairan
(liquid) pada suhu ruang, mudah menguap/terbang (volatile), serta menghasilkan
aroma tertentu. Minyak atsiri yang terkandung pada suatu bahan tanaman pada
umumnya terdiri dari campuran beberapa jenis senyawa minyak atsiri. Beberapa
di antaranya sangat thermolabile atau tidak stabil pada perlakuan suhu tinggi.
Minyak atsiri memerlukan penanganan khusus karena sifat-sifatnya tersebut.
Dalam bab ini dijelaskan teknik-teknik ekstraksi minyak atsiri baik dengan metode

118
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

dingin maupun metode panas. Teknik-teknik tersebut meliputi: penyulingan atau


destilasi (air, uap, air dan uap), metode pengepresan, enfleurasi, serta maserasi
dengan lemak panas. Kelebihan dan kelemahan masing-masing metode tersebut
juga dijelaskan.

7.5. Ekstraksi dengan Destilasi

Destilasi (penyulingan) secara umum dapat diartikan sebagai teknik


pemisahan zat baik berupa cairan maupun padatan dari dua atau lebih komponen
yang tercampur berdasarkan perbedaan titik didihnya. Pada proses ekstraksi
minyak atsiri dengan destilasi di mana minyak atsiri memiliki titik didih yang lebih
rendah daripada air serta sifat minyak atsiri yang tidak larut dengan air, maka
prinsip ekstraksi dengan destilasi menggunakan air dapat dimanfaatkan untuk
memisahkan minyak atsiri dari jaringan pada tanaman penghasilnya. Air selain
berfungsi sebagai pelarut dan pembuka komponen-komponen dalam sel yang
menghasilkan minyak atsiri sehingga minyak atsiri dapat lepas dari jaringan
pembentuknya, air juga berfungsi sebagai parameter/ukuran bahwa ketika air
sudah mendidih dan menjadi uap maka suhu pemanasan sudah memungkinkan
untuk menguapkan minyak atsiri.

Berdasarkan jenis kontak antara bahan tanaman penghasil minyak atsiri


dengan pelarut air yang digunakan maka ekstraksi dengan teknik destilasi ini
dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu destilasi dengan air, destilasi dengan air dan
uap, serta destilasi dengan uap. Masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan, baik dari segi efektifias, efisiensi, dan rendemen minyak atsiri yang
dihasilkan.

7.5.1. Destilasi dengan air (water destillation)

Metode ini merupakan metode penyulingan yang paling sederhana,


karena membutuhkan susunan alat yang relatif sederhana. Pada metode ini,

119
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

bahan kering yang telah disiapkan untuk disuling dimasukkan ke dalam ketel
suling yang telah diisi dengan air, di mana rasio antara bahan kering dan air
adalah 1:1, dengan demikian bahan tercampur dan kontak langsung dengan
air. Ketika ketel dipanaskan dan tercapai titik didih air, maka pergerakan air
panas pada ketel akan membuka jaringan-jaringan dari bahan, sehingga
minyak atsiri yang terkandung dapat lepas dan menguap bersama uap air.
Uap air dan uap minyak kemudian dikondensasi dengan pendingin
balik/kondensor dengan dibuat kontruksi sedemikian rupa sehingga
kondensat tidak kembali lagi ke ketel, tetapi masuk ke dalam penampungan.
Proses ekstraksi minyak atsiri melalui destilasi dengan air ini diilustrasikan
pada Gambar 7.1 di bawah ini.


(http://www.essentialoilco.com/)

Gambar 7.1. Metode ekstraksi melalui destilasi dengan air.

Dalam labu penampungan tersebut terkandung air dan minyak atsiri.


Perbedaan polaritas serta berat jenis antara minyak atsiri dan air, maka
minyak atsiri dapat dipisahkan secara manual menggunakan labu pemisah.
Meskipun demikian, untuk mendapatkan rendemen minyak atsiri yang lebih
tinggi, maka proses pemisahan air dengan minyak atsiri atau pencucian

120
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut organik seperti eter, yang


memiliki sifat kelarutan dengan minyak atsiri yang baik tetapi memiliki
tingkat kelarutan yang rendah dengan minyak. Minyak atsiri yang terlarut
dengan eter dapat dipisahkan dengan mengevaporasi eter, karena sifat
fisika eter yang memiliki titik didih cukup rendah.

7.5.2. Destilasi dengan air dan uap (water and steam destillation)

Prinsip metode ekstraksi dengan destilasi dengan air dan uap adalah
mirip dengan metode mengukus, yaitu dengan menempatkan bahan baku
kering di atas plat besi berlobang (saringan) yang diposisikan di atas
permukaan air yang akan diuapkan. Saat air dipanaskan sampai mendidih,
maka uap air akan bergerak ke atas melewati saringan dan uap akan turut
serta memanaskan bahan, sehingga sel-sel pada bahan akan terbuka dan
minyak atsiri yang ada di dalamnya akan menguap bersama uap air.


(http://www.union-nature.com/)

Gambar 7.2. Metode ekstraksi melalui destilasi dengan air dan uap.

121
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Uap air dan minyak atsiri akan dikondensasi bersama menggunakan


kondensor (pendingin) sehingga diperoleh cairan campuran air dan minyak
atsiri yang dapat dipisahkan menggunakan labu pemisah. Untuk
mendapatkan rendemen minyak atsiri yang lebih tinggi, maka proses
pemisahan air dengan minyak atsiri dilakukan dengan menggunakan pelarut
organik seperti eter, yang memiliki sifat kelarutan dengan minyak atsiri yang
baik tetapi memiliki tingkat kelarutan yang rendah dengan minyak. Minyak
atsiri yang terlarut bersama eter dapat dipisahkan dengan cara
menguapkannya menggunakan vacuum rotary evaporator. Gambar 7.2 di
atas menggambarkan proses ekstraksi minyak atsiri melalui destilasi air dan
uap seperti yang telah dijelaskan.

Gambar 7.3. Penyulingan minyak atsiri dengan teknik destilasi air dan uap.

122
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Keuntungan dari teknik ini adalah penetrasi uap terjadi secara lebih
merata di seluruh jaringan bahan, selain itu suhu dapat terus dipertahankan
sampai 100°C karena uap air memiliki suhu yang lebih tinggi dan stabil
dibandingkan fase cairnya sebelum menjadi uap. Hal ini berimplikasi pada
waktu penyulingan yang semakin pendek, dengan rendemen yang lebih
tinggi serta kualitas serta mutu minyak atsiri yang lebih baik dibandingkan
dengan sistem penyulingan dengan air. Gambar 7.3 di atas ini memberikan
contoh penerapan proses ekstraksi minyak atsiri dengan metode destilasi
air dan uap pada skala laboratorium.

7.5.3. Destilasi dengan uap (steam destillation)


(http://www.imaninatural.com/)

Gambar 7.4. Metode ekstraksi melalui destilasi dengan uap.

Pada metode destilasi dengan uap, air sebagai sumber uap panas
diproduksi dari sebuah ketel atau boiler khusus sebagai penghasil uap yang
diposisikan terpisah dari ketel penyulingan (Gambar 7.4). Dibandingkan
dengan water and steam destillation, metode ini menghasilkan tekanan uap
yang lebih tinggi, dan tekanan uapnya lebih tinggi dibanding dengan
tekanan udara luar. Maka metode ini lebih cocok digunakan untuk

123
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

menyuling minyak atsiri yang sumbernya berasal dari bahan-bahan yang


memiliki serat keras, seperti kayu, kulit batang, atau biji-bijian. Tentunya
kelemahan metode ini adalah biaya yang lebih tinggi, selain peralatan yang
dibutuhkan lebih kompleks, biaya produksi juga lebih tinggi karena
membutuhkan energi panas yang lebih besar.

7.6. Ekstraksi dengan Teknik Pengepresan


(https://glorybee.com)

Gambar 7.5. Metode ekstraksi melalui pengepresan.

Pengepresan merupakan metode ekstraksi yang paling sederhana. Pada


metode ini alat yang digunakan adalah mesin pengepres yang bekerja dengan
menekan bahan baku sehingga sel-sel penghasil minyak atsiri akan pecah yang
memungkinkan minyak dapat keluar, seperti diilustrasikan pada Gambar 7.5 di
atas. Metode pengepresan pada umumnya diaplikasikan untuk bahan berupa biji,
buah, ataupun kulit luar yang dihasilkan oleh tanaman dari famili citrus (jeruk).
Hal ini disebabkan karena minyak dari famili citrus mudah mengalami kerusakan
jika terpapar panas melalui metode penyulingan dengan uap atau air. Beberapa

124
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

jenis minyak atsiri lain yang dihasilkan melalui metode pengepresan antara lain
adalah minyak almond, aprikot, lemon, minyak kulit jeruk, minyak biji anggur, dll.

7.7. Ekstraksi dengan Pelarut Organik

Prinsip dari metode ekstraksi dengan pelarut organik adalah melarutkan


bahan yang mengandung minyak atsiri dengan pelarut organik yang mudah
menguap (volatile). Pelarut organik yang biasa digunakan antara lain eter dan
kloroform atau pelarut lain dengan titik didih rendah. Pelarut organik tersebut
akan masuk ke dalam jaringan bahan dan merusak dinding sel dan jaringan serta
membuka jalan untuk keluarnya minyak atsiri dan melarutkannya bersama
senyawa-senyawa lain seperti resin, lilin, dan beberapa senyawa pewarna.


(https://www.researchgate.net)

Gambar 7.6. Metode ekstraksi dengan pelarut organik.

Proses ekstraksi dilakukan dengan memasukkan bahan segar ke dalam


sebuah wadah yang berbentuk kerucut (ekstraktor) bersama-sama dengan
pelarut organik (Gambar 7.6). Kemudian ekstraktor diputar untuk menghasilkan

125
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

gaya sentrifugal sehingga pelarut akan berpenetrasi ke dalam jaringan bahan


baku serta melarutkan minyak atsiri bersama-sama bahan lain yang terikut seperti
resin dan lilin. Proses ini pada umumnya berlangsung antara 30 s.d. 60 menit.
Pelarut dan minyak atsiri serta bahan lainnya akan berada di ujung bawah wadah,
sehingga dapat dipisahkan dengan membuka ujung kerucutnya. Larutan hasil
ekstraksi kemudian didestilasi dengan vacuum rotary evaporator pada suhu yang
relatif rendah (sekitar 40°C). Hal ini dilakukan karena ekstraksi dengan pelarut
organik pada umumnya dilakukan untuk mengekstraksi minyak atsiri yang mudah
rusak oleh pemanasan dengan uap/air, seperti minyak atsiri dari bunga melati,
cempaka, mawar, lavender, lily, tuberose, geranum, labdanum, dll.

Dari proses evaporasi menggunakan vacuum rotary evaporator maka akan


didapatkan larutan kental atau semi padat berwarna gelap yang disebut sebagai
concrete, yang merupakan campuran antara minyak atsiri, resin, lilin, dan zat
pewarna alami. Kemudian concrete dilarutkan dengan alkohol sambil dipanaskan
untuk meningkatkan kelarutan. Alkohol digunakan karena jenis pelarut ini mampu
mengikat minyak atsiri dengan baik. Larutan concrete dan alkohol ini selanjutnya
didinginkan pada suhu -50°C sehingga terbentuk endapan dan berbentuk lilin.
Endapan lilin tersebut kemudian diperas dan disaring sehingga diperoleh larutan
jernih. Larutan jernih inilah yang kemudian dievaporasi lagi untuk memisahkan
alkohol dari minyak pada suhu 40°C. Minyak atsiri yang dihasilkan disebut sebagai
absolut, yaitu larutan minyak atsiri yang dijual dengan harga tinggi, karena
mengandung konsentrasi minyak atsiri yang cukup tinggi.

7.8. Enfleurasi (Ekstraksi dengan lemak dingin)

Metode ekstraksi selanjutnya adalah enfleurasi. Metode ini diaplikasikan


untuk mengekstrak minyak atsiri dari bahan-bahan yang mudah rusak karena
pemanasan, seperti minyak atsiri dari bunga sedap malam, melati, mawar, dll.
Dengan enfleurasi akan diperoleh minyak atsiri yang bermutu serta dengan

126
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

rendemen yang cukup tinggi. Hal itu dimungkinkan karena pada umumnya setelah
bunga dipetik dari tangkainya, sebenarnya secara fisiologis bunga tersebut akan
tetap hidup, artinya metabolisme masih tetap berjalan. Bunga tersebut terus
menjalankan proses hidupnya dan tetap memproduksi minyak atsiri, meskipun
minyak yang terbentuk akan menguap dengan cepat. Jika dilakukan penyulingan
dengan uap panas ataupun dengan pelarut organik maka secara spontan kegiatan
bunga dalam memproduksi minyak atsiri akan terhenti dan mati karena panas dan
rusak karena pelarut organik. Di sisi lain, minyak atsiri yang terbentuk sebelumnya
sangat cepat menguap. Oleh sebab itu ekstraksi dengan pelarut organik biasanya
menghasilkan rendemen yang rendah.

Untuk itu dicari alternatif metode yang mampu mengatasi kelemahan-


kelemahan dari metode penyulingan dan pelarut organik, yang mampu
menghasilkan minyak atsiri dengan rendemen yang tinggi dengan mutu yang baik.
Kuncinya adalah menjaga agar proses fisiologi dalam bunga selama proses
ekstraksi dapat terus terjaga selama mungkin sehingga bunga tetap terus mampu
memproduksi minyak atsiri. Material kunci yang dapat digunakan untuk
menjawab persoalan ini adalah bahan lemak, yang memiliki sifat menyerap bau
serta tidak merusak bahan itu sendiri. Lemak yang digunakan dapat berupa lemak
hewani maupun lemak nabati, seperti lemak sapi, lemak domba, mentega putih
atau dikombinasi dengan minyak nabati seperti minyak kedelai, kanola, atau
kacang-kacangan.

Syarat lemak yang dapat digunakan untuk enfleurasi adalah lemak yang
tidak berbau, tidak berwarna, dan bersih dari kontaminan. Lemak dengan bau
tajam dan warna kuat tentu saja akan mempengaruhi mutu dari produk minyak
atsiri yang dihasilkan. Selain itu, lemak yang digunakan harus memiliki konsistensi
atau kekenyalan tertentu. Lemak yang terlalu keras memiliki daya adsorpsi yang
relatif lebih rendah, sedangkan lemak yang terlalu encer akan mudah menempel
pada permukaan daun sehingga ketika bunga diangkat akan terbawa bersama

127
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

bunga tersebut. Titik leleh lemak yang optimal adalah sekitar 36-37°C. Lemak
dengan titik leleh yang rendah lebih memiliki sifat adsorbsi yang lebih baik, tetapi
menyulitkan proses deflourasi atau pengambilan bunga layu disebabkan
banyaknya lemak yang menempel pada bunga. Sementara lemak dengan titik
leleh di atas 37°C memudahkan proses deflourasi tetapi dengan daya adsorpsi
yang lebih rendah.


(http://boisdejasmin.com/)

Gambar 7.7. Metode ekstraksi dengan enfleurasi.

Teknik ekstraksi enfleurasi dimulai dengan membuat bidang


datar/permukaan datar pada sebuah bejana kaca yang dapat ditutup untuk
menjaga agar minyak tidak menguap keluar sehingga menghasilkan rendemen
yang tinggi (Gambar 7.7). Bahan yang diekstrak dari jenis bunga-bunga harus
dibersihkan dari tangkainya dan dipilih bunga yang masih kuncup tetapi dengan
tingkat ketuaan yang optimum. Bunga tersebut selanjutnya disebar di atas lapisan
lemak secara merata. Semakin lebar bidang kontak antara bunga dengan bidang
lemak maka tingkat minyak atsiri yang terserap semakin tinggi. Proses dapat
berlangsung selama 24 jam. Setelah itu bunga lama dapat diganti dengan bunga

128
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

baru. Penggantian bunga harus hati-hati agar jumlah lemak yang terikut dapat
diminimalisasi. Penggantian bunga ini dapat dilakukan secara berulang-ulang
sehingga diperoleh minyak dengan kandungan yang lebih tinggi. Lemak yang
mengandung minyak disebut sebagai pomade.

Pomade yang telah mengandung minyak bunga selanjutnya diangkat dari


lapisan kaca dan ditampung dalam suatu wadah, kemudian dilarutkan dengan
alkohol sambil dipanaskan untuk meningkatkan kelarutan. Selanjutnya larutan
pomade ini didinginkan sampai lemak membeku dan diperas untuk memisahkan
larutan minyak dalam alkohol dengan lemak. Larutan yang mengandung minyak
ini selanjutnya dievaporasi dengan vacuum rotary evaporator untuk mendapatkan
minyak bunga murni atau disebut sebagai absolute.

7.9. Ekstraksi dengan metode maserasi (lemak panas)

Metode maserasi minyak atsiri ini sebenarnya adalah kombinasi antara


metode maserasi pada umumnya yaitu dengan cara merendam bahan yang akan
diekstrak pada suatu pelarut yang ditempatkan dalam suatu wadah dengan
metode enfleurasi. Metode ini dilakukan dengan merendam bahan misalkan
bunga pada pelarut lemak yang kemudian dipanasi sampai suhu sekitar 80°C yaitu
sampai lemak mencair, setelah itu dibiarkan selama sekitar 12 jam (Gambar 7.8).
Dengan demikian, sel-sel dan jaringan pada bunga akan rusak dan membuka jalan
bagi minyak atsiri untuk keluar dan terlarut atau teradsorpsi oleh lemak. Setelah
itu, minyak atsiri yang terkandung di dalam lemak dipisahkan dengan cara
menambahkan alkohol panas untuk menarik minyak atsiri dari lemak. Kemudian
disaring untuk membuang ampas dari bahan.

129
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam


(http://millstreamgardens.wordpress.com)

Gambar 7.8. Metode ekstraksi dengan maserasi lemak panas.

Untuk memisahkan lemak, maka campuran minyak atsiri, alkohol, dan


lemak perlu didinginkan sampai lemak membeku dan kemudian diperas dan
disaring untuk mendapatkan larutan alkohol dan minyak atsiri. Selanjutnya
pemisahan minyak atsiri dari alkohol dapat dilakukan dengan evaporasi pada suhu
rendah menggunakan vacuum rotary evaporator.

7.10. Rangkuman

1. Minyak atsiri memiliki ciri utama sebagai senyawa yang berwujud cairan
(liquid) pada suhu ruang, mudah menguap/terbang (volatile), serta
menghasilkan aroma tertentu. Minyak atsiri yang terkandung pada
suatu bahan tanaman pada umumnya terdiri dari campuran beberapa
jenis senyawa minyak atsiri.
2. Destilasi (penyulingan) diartikan sebagai teknik pemisahan zat baik
berupa cairan maupun padatan dari dua atau lebih komponen yang
tercampur berdasarkan perbedaan titik didihnya.

130
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

3. Berdasarkan jenis kontak antara bahan tanaman dengan pelarutnya,


metode destilasi dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu destilasi dengan air,
destilasi dengan air dan uap, serta destilasi dengan uap.
4. Pengepresan adalah metode ekstraksi minyak atsiri dengan mesin
pengepres yang bekerja dengan menekan bahan baku sehingga sel-sel
penghasil minyak atsiri akan pecah yang memungkinkan minyak dapat
keluar.
5. Ekstraksi dengan pelarut organik adalah teknik ekstraksi yang dilakukan
dengan memasukkan bahan segar bersama dengan pelarut organiknya
ke dalam sebuah wadah yang berbentuk kerucut (ekstraktor) yang
diputar dengan memanfaatkan gaya sentrifugasi.
6. Enfleurasi adalah teknik ekstraksi minyak atsiri dengan menggunakan
lemak sebagai media penyerap uap minyak atsiri yang kemudian
dipisahkan dari lemak pengikatnya.
7. Teknik maserasi pada minyak atsiri adalah metode maserasi seperti
pada umumnya yang dilakukan dengan menggunakan lemak panas
dalam wujud cair.

7.11. Latihan

1. Sebutkan lima metode ekstraksi minyak atsiri!


2. Sebutkan dan jelaskan metode ekstraksi yang sesuai digunakan untuk
mengekstrak minyak atsiri dari bahan yang tidak tahan panas!
3. Sebutkan dan jelaskan metode ekstraksi yang sesuai diaplikasikan untuk
mengekstrak minyak atsiri dari bahan yang teksturnya keras!
4. Jelaskan metode ekstraksi yang berpeluang menghasilkan minyak atsiri
dengan rendemen dan kualitas tinggi untuk bahan yang sifatnya lunak!
5. Sebut dan jelaskan tiga teknik ekstraksi dengan metode penyulingan
(destilasi)!

131
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

7.12. Bahan Bacaan yang Dianjurkan

Agusta, A., 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropis Indonesia. ITB, Bandung.
Baser, K.H. dan Buchbauer, G., 2010. Handbook of Essential Oils: Science,
Technology, and Applications. CRC Press, Florida.
Guenther E., 1972. The Essential Oil Vol. IV. Robert W. Kringer. Article Publishing
Co., Inc. Huntington, New York.
Harris, R., 1987 Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya, Jakarta.
Ketaren, S., 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta.
Ketaren, S., 1990. Minyak Atsiri Jilid IVA. Terjemahan (Gunther, E.) UI Press,
Jakarta.
Rusli S, Nurdjanah, N., Soediarto, Sitepu, D., Ardi, dan Sitorus. D.T., 1985.
Penelitian dan Pengembangan Minyak Atsiri Indonesia. Bogor: Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Sastrohamidjojo, H., 2004. Kimia Minyak Atsiri. Universitas Gadjah Mada.
Jogjakarta.

132
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

8. KELOMPOK DAN
SIFAT FISIKOKIMIA
MINYAK ATSIRI

8.1. Deskripsi Singkat

Melanjutkan dari bab sebelumnya yaitu tentang teknik ekstraksi minyak


atsiri, maka pada bab ini dijelaskan pengelompokkan minyak atsiri serta sifat fisik
dan kimia minyak atsiri sebagai parameter mutu. Setelah proses ekstraksi maka
akan diperoleh minyak atsiri kasar yang perlu dimurnikan untuk mendapatkan
minyak absolute. Nilai ekonomi absolute sangat ditentukan dengan kualitas dan
tingkat kemurniannya. Untuk itu, menjaga kualitas minyak atsiri dari kerusakan
dan kontaminan menjadi hal yang sangat penting. Untuk mampu menghasilkan
minyak atsiri yang berkualitas tinggi maka pemahaman tentang sifat-sifat minyak
atsiri sangatlah penting. Masing-masing kelompok memiliki sifat-sifat yang

133
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

berbeda-beda. Pada bab ini disampaikan kelompok-kelompok minyak atsiri


beserta beberapa sifat fisik dan kimianya.

8.2. Relevansi

Penting bagi mahasiswa untuk memahami kelompok senyawa minyak atsiri


dan sifat fisik dan kimianya karena mutu dari minyak atsiri yang dihasilkan melalui
proses ekstraksi tergantung pada beberapa sifat fisikokimianya seperti berat jenis,
indek bias, putaran optik, kelarutan pada alkohol, warna, bilangan asam, dan
bilangan ester. Nilai dari parameter-parameter sifat tadi dapat mengindikasikan
tingkat kemurnian dan kualitas minyak atsiri yang ujungnya sangat menentukan
harga produk. Untuk itu bab ini sangat penting dan relevan untuk dipelajari.

8.3. Kompetensi

Setelah menyelesaikan bab ini, mahasiswa akan memiliki pengetahan dan


pemahaman mengenai beberapa hal berikut:

1. Kelompok-kelompok senyawa minyak atsiri beserta karakteristiknya


masing-masing
2. Sifat fisik dan sifat kimia minyak atsiri beserta parameter mutunya
3. Proses-proses yang dapat mempengaruhi sifat fisikokimia minyak atsiri
4. Reaksi-reaksi kimia yang mempengaruhi sifat kimia minyak atsiri.

8.4. Pengantar

Minyak atsiri merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh


tumbuhan dengan ciri berupa cairan kental yang mudah menguap dan
mengeluarkan aroma. Beberapa ciri khusus minyak atsiri antara lain: memiliki bau
yang khas/spesifik untuk masing-masing minyak atsiri, tidak larut dalam air, tetapi

134
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

mudah terlarut pada pelarut organik seperti ether, metanol, etanol, dan
kloroform, serta sebagian komponen penyusunnya sangat mudah menguap.

Seperti senyawa organik lainnya, minyak atsiri juga merupakan senyawa


hidrokarbon yang termasuk dalam golongan terpene (monoterpene dan
sesquiterpene), alkohol (monoterpene alkohol dan sesquiterpene alkohol), ester,
aldehida, keton, fenol, dll yang cenderung bersifat hidrofobik. Semua jenis minyak
atsiri tidak tersusun atas sebuah senyawa tunggal, tetapi merupakan campuran
dari beberapa senyawa volatil dengan titik uap rendah. Senyawa-senyawa
penyusun minyak atsiri memiliki efek yang mampu mempengaruhi saraf pusat
manusia sehingga dapat menciptakan efek psikologis atau perasaan tertentu. Di
bawah ini dijelaskan pengelompokkan dan sifat fisikokimia minyak atsiri, serta
faktor-faktor yang dapat merusak mutu minyak atsiri.

8.5. Pengelompokkan Minyak Atsiri

Seperti telah disinggung di atas bahwa minyak atsiri berasal dari beberapa
golongan senyawa organik, tetapi secara umum ada dua kelompok utama
golongan minyak atsiri berdasarkan komponen kimia penyusunnya, yaitu
golongan hidrokarbon dan golongan senyawa teroksigenasi. Golongan
hidrokarbon terdiri dari beberapa golongan senyawa terpene, baik monoterpene,
sesquiterpene, maupun diterpene. Sedangkan yang termasuk golongan senyawa
teroksigenasi meliputi senyawa dengan gugus ester, aldehida, keton, alkohol, dan
fenol. Meskipun banyak dari golongan senyawa atsiri teroksigenasi ini adalah
senyawa terpene, terutama monoterpene, tetapi karena memiliki gugus fungsi-
gugus fungsi tersebut maka dimasukkan pada kelompok yang berbeda.

8.5.1. Terpene

Minyak atsiri dari kelompok terpene biasanya memiliki aktivitas


farmakologis yang kuat seperti sebagai antiseptik, anti bakteri, anti

135
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

inflamatori, dan antiviral. Contoh dari kelompok ini antara lain limonene,
pinene, farnesene camphene, cadinene, dipentene, sabinene, cedrene,
myrcene, dll.

Limonene merupakan minyak atsiri kelompok terpene siklik yang


terkenal, di mana 90% dihasilkan dari tanaman jeruk. Limonene banyak
dimanfaatkan sebagai produk kosmetik, seperti untuk parfum, pengharum
sabun, lotion, serta untuk aromaterapi dan pengharum (fragrance) untuk
beberapa produk rumah tangga. Selain itu limonene juga dimanfaatkan
sebagai insektisida dan herbisida alami. Limonene termasuk minyak atsiri
yang stabil sehingga tidak terdekomposisi pada proses penyulingan pada
suhu tinggi.

8.5.2. Ester

Ester dihasilkan dari proses esterifikasi antara alkohol dengan asam.


Gugus fungsi ester sangat umum dijumpai pada senyawa minyak atsiri.
Minyak atsiri golongan ester pada umumnya memiliki efek relaksasi, sebagai
contohnya adalah linalyl acetate yang dijumpai pada berbagai bunga,
seperti pada bunga lavender yang menjadi ciri khususnya serta dijumpai
juga pada beberapa bahan rempah.

8.5.3. Aldehida

Minyak atsiri dari golongan ini dicirikan dengan adanya gugus C-H-O
yang sifatnya reaktif. Beberapa minyak atsiri golongan aldehida memiliki
efek menenangkan (sedative effect) yang bekerja pada sistem saraf pusat.
Contoh dari golongan ini adalah citral dan citronellal yang memiliki aroma
seperti lemon.

136
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

8.5.4. Ketone

Contoh minyak atsiri dari golongan ketone adalah jasmone yang


ditemukan pada minyak atsiri bunga melati yang secara komersial
digunakan sebagai parfum dan fragance pada berbagai produk kosmetik.
Contoh lain adalah thujone. Thujone memiliki aroma seperti mentol.
Thujone merupakan anggota yang paling toksik dari kelompok ketone, yang
bersifat iritant yang mempengaruhi kerja saraf pusat. Contoh minyak atsiri
kelompok ketone lainnya antara lain: camphor, menthone, carvone, dan
pinacamphone.

8.5.5. Alkohol

Contoh minyak atsiri golongan alkohol antara lain menthol, citronellol,


linalol, geraniol, farnesol, borneol, terpineol, vetiverol, nerol, dll. Menthol
diekstrak dari tumbuhan mint, yang berbentuk kristal bening. Menthol
dimanfaatkan pada berbagai produk dengan berbagai fungsi. Sebagai
topical analgesic, menthol digunakan untuk meredakan rasa sakit dan pegal
dengan dikombinasikan dengan minyak atsiri lain seperti camphor, minyak
kayu putih, atau capsaicin untuk menghasilkan sensasi lebih pedas. Selain
itu juga dipakai pada luka bakar untuk memberikan efek dingin. Menthol
juga bersifat decongestant (meredakan tenggorokan dan dada), sehingga
digunakan untuk beberapa produk pelega dada dan tenggorokan seperti
Vicks Vaporub. Pada produk makanan, seperti permen, menthol banyak
diaplikasikan untuk memberikan sensasi segar, selain diaplikasikan juga
untuk beberapa produk pasta gigi dan mouthwash.

8.5.6. Fenol

Minyak atsiri kelompok fenol banyak dimanfaatkan untuk produk-


produk pengharum (fragrance) selain memiliki efek farmakologi sebagai

137
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

antiseptik dan anti bakteria. Contoh terkenal dari kelompok ini adalah
eugenol, yang menjadi penyusun utama minyak cengkeh (80-90%). Eugenol
bukan berasal dari golongan terpene, tetapi phenylpropanoid karena
merupakan senyawa berfenol. Selain dimanfaatkan dalam pembuatan
parfum dan sebagai bahan flavor untuk berbagai makanan, eugenol juga
dimanfaatkan sebagai senyawa penting dalam bidang kedokteran gigi.
Contoh senyawa lain yang termasuk minyak atsiri fenol antara lain: thymol,
carvacrol, safrole, apiol, dll.

8.6. Sifat Fisik Minyak Atsiri

Seperti bahan-bahan lain yang memiliki sifat fisik, minyak atsiri juga
memiliki sifat fisik yang bisa diketahui melalui beberapa pengujian. Sifat fisik dari
setiap minyak atsiri berbeda satu sama lain. Sifat fisik terpenting dari minyak atsiri
adalah dapat menguap pada suhu kamar sehingga sangat berpengaruh dalam
menentukan metode analisis yang dapat digunakan untuk menentukan
komponen kimia dan komposisinya dalam minyak asal. Sifat-sifat fisika minyak
atsiri, meliputi: aroma yang khas, berat jenis, indeks bias yang tinggi, serta
bersifat optis aktif.

8.6.1. Aroma yang khas.

Minyak atsiri adalah minyak yang dihasilkan dari jaringan tanaman


tertentu, seperti akar, batang, kulit, bunga, daun, biji, dan rimpang serta
umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air. Minyak ini
bersifat mudah menguap pada suhu kamar (250C) tanpa mengalami
dekomposisi sehingga menghasilkan aroma yang khas sesuai dengan
tanaman penghasilnya.

138
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

8.6.2. Berat Jenis

Bobot jenis adalah perbandingan berat zat di udara pada suhu 250C
terhadap berat air dengan volume dan suhu yang sama. Penentuan berat
jenis menggunakan alat piknometer. Berat jenis minyak atsiri umumnya
berkisar antara 0,800 - 1,180. Berat jenis merupakan salah satu kriteria
penting dalam penentuan mutu dan kemurnian minyak atsiri.

Nilai berat jenis minyak atsiri ditentukan oleh komponen kimia yang
terkandung di dalamnya. Semakin tinggi kadar fraksi berat maka berat jenis
minyak atsiri semakin tinggi. Berat jenis pada berbagai minyak atsiri juga
sangat dipengaruhi oleh ukuran bahan yang akan diekstrak, metode
ekstraksi, serta lama penyulingan yang dilakukan. Pada waktu penyulingan,
penetrasi uap pada bahan yang memiliki ukuran yang lebih kecil akan
berlangsung secara lebih mudah karena jaringannya lebih terbuka dengan
luas bidang kontak yang lebih luas sehingga jumlah uap air panas yang
kontak dengan minyak lebih banyak. Kondisi tersebut mengakibatkan
komponen fraksi berat minyaknya lebih mudah dan cepat diuapkan.

8.6.3. Indeks Bias

Indeks bias suatu zat adalah perbandingan kecepatan cahaya dalam


udara dengan kecepatan cahaya dalam zat tersebut. Penentuan indeks bias
menggunakan alat refraktometer. Prinsip penggunaan alat refraktometer
adalah penyinaran yang menembus dua macam media dengan kerapatan
yang berbeda, kemudian terjadi pembiasan (perubahan arah sinar) akibat
perbedaan kerapatan media. Indeks bias berguna untuk identifikasi suatu
zat dan deteksi ketidakmurnian.

Semakin banyak kandungan airnya, maka semakin kecil nilai indeks


biasnya. Ini karena sifat dari air yang mudah untuk membiaskan cahaya

139
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

yang datang. Jadi minyak atsiri dengan nilai indeks bias yang besar lebih baik
dibandingkan dengan minyak atsiri dengan nilai indeks bias yang kecil.
Selain itu, semakin tinggi kadar patchouli alkohol maka semakin tinggi pula
indeks bias yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena penguapan minyak
dari bahan berukuran kecil berlangsung lebih mudah sehingga fraksi berat
minyaknya lebih banyak terkandung dalam minyak, yang mengakibatkan
kerapatan molekul minyak lebih tinggi dan sinar yang menembus minyak
sukar diteruskan. Semakin sukar sinar diteruskan dalam suatu medium
(minyak) maka nilai indeks bias medium tersebut semakin tinggi.

Sebagian besar komponen minyak kulit kayu manis terdiri atas


kelompok senyawa terpen-o yang mempunyai berat molekul dan kerapatan
yang lebih tinggi dibanding kelompok senyawa terpen, tetapi relatif mudah
larut dalam air. Semakin lama penyulingan, senyawa terpen-o semakin
banyak terlarut dalam air panas yang mengakibatkan kerapatan minyak
menurun sehingga indeks biasnya lebih rendah. Standar mutu minyak atsiri
menurut Essential Oil Association of USA (EOA) adalah minyak atsiri dengan
indeks bias berkisar antara 1,5730 – 1,5910.

8.6.4. Putaran Optik

Setiap jenis minyak atsiri memiliki kemampuan memutar bidang


polarisasi cahaya ke arah kiri atau kanan. Besarnya pemutaran bidang
polarisasi ditentukan oleh jenis minyak atsiri, suhu, dan panjang gelombang
cahaya yang digunakan. Penentuan putaran optik menggunakan alat
polarimeter. Besarnya putaran optik tergantung pada jenis dan konsentrasi
senyawa, panjang jalan yang ditempuh sinar melalui senyawa tersebut dan
suhu pengukuran.

Besar putaran optik minyak merupakan gabungan nilai putaran optik


senyawa penyusunnya. Penyulingan bahan berukuran kecil akan

140
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

menghasilkan minyak yang komponen senyawa penyusunnya lebih banyak


(lengkap) dibanding dengan bahan ukuran besar, sehingga putaran optik
yang terukur adalah putaran optik dari gabungan (interaksi) senyawa-
senyawa yang biasanya lebih kecil dibanding putaran optik gabungan
senyawa yang kurang lengkap (sedikit) yang dihasilkan bahan berukuran
besar. Standar mutu minyak atsiri menurut Essential Oil Association of USA
(EOA) adalah minyak atsiri dengan putaran optik berkisar antara (-) 2 sampai
0 derajat.

8.6.5. Kelarutan dalam Alkohol

Kelarutan dalam alkohol merupakan nilai perbandingan banyaknya


minyak atsiri yang larut sempurna dengan pelarut alkohol. Setiap minyak
atsiri mempunyai nilai kelarutan dalam alkohol yang spesifik, sehingga sifat
ini bisa digunakan untuk menentukan suatu kemurnian minyak atsiri.

Minyak atsiri banyak yang mudah larut dalam etanol dan jarang yang
larut dalam air, sehingga kelarutannya mudah diketahui dengan
menggunakan etanol pada berbagai tingkat konsentrasi. Untuk menentukan
kelarutan minyak atsiri juga tergantung pada kecepatan daya larut dan
kualitas minyak atsiri tersebut. Kelarutan minyak juga dapat berubah karena
lamanya penyimpanan. Hal ini disebabkan karena proses polimerisasi
menurunkan daya kelarutan, sehingga untuk melarutkannya diperlukan
konsentrasi etanol yang tinggi. Kondisi penyimpanan yang kurang baik dapat
mempercepat polimerisasi di antaranya adalah cahaya, udara, dan adanya
air dapat menimbulkan pengaruh yang tidak baik.

Tingkat kelarutan minyak dalam alkohol dipengaruhi oleh jenis dan


konsentrasi senyawa yang dikandungnya. Minyak atsiri yang konsentrasi
senyawa terpennya tinggi lebih sukar larut dalam alkohol; sedangkan yang
banyak mengandung senyawa terpen-o lebih mudah larut dalam alkohol.

141
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Dalam penyulingan bertingkat, uap panas lebih mudah dan cepat


menembus bahan yang susunannya tidak padat, sehingga senyawa terpen-o
yang titik didihnya lebih rendah, lebih banyak terdapat dalam minyak
sehingga minyaknya mudah larut dalam alkohol. Bahan yang berukuran
lebih besar, lebih sukar diuapkan minyak atsirinya sehingga senyawa fraksi
berat dalam minyak seperti seskuiterpen akan terpolimerisasi akibat
pengaruh panas terus menerus dalam penyulingan dan polimer yang
terbentuk tidak dapat diuapkan. Kondisi tersebut mengakibatkan komposisi
terpen-o dalam minyaknya lebih rendah sehingga minyaknya sukar larut
dalam alkohol.

Semakin lama penyulingan maka senyawa fraksi-fraksi berat dalam


minyak akan lebih banyak sehingga kelarutannya dalam alkohol semakin
rendah. Menurut standar EOA, kelarutan minyak dalam etanol 70% adalah
dengan nilai rasio antara volume alkohol dengan minyak atsiri sebesar 3:1
atau lebih.

8.6.6. Warna

Sesuai dengan SNI 06-2385-2006, minyak atsiri memiliki warna antara


kuning muda hingga coklat kemerahan, namun setelah dilakukan
penyimpanan minyak atsiri biasanya akan berubah warna menjadi kuning
tua hingga coklat muda. Minyak atsiri akan berwarna gelap yang disebabkan
oleh proses aging, di mana bau dan flavornya tipikal rempah, aromatik
tinggi, kuat, serta tahan lama.

142
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

8.7. Sifat Kimia Minyak Atsiri

8.7.1. Bilangan Asam

Metode Bilangan asam pada minyak atsiri mengindikasikan adanya


kandungan asam organik pada minyak tersebut. Asam organik pada minyak
atsiri bisa terdapat secara alamiah. Nilai bilangan asam dapat digunakan
untuk menentukan kualitas minyak.

8.7.2. Bilangan Ester

Bilangan ester merupakan banyaknya jumlah alkali yang diperlukan


untuk penyabunan ester. Adanya bilangan ester pada minyak dapat
menandakan bahwa minyak tersebut mempunyai aroma yang baik.

Di bawah ini ditampilkan contoh standar mutu fisik dan kimia


berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 06-2385-2006 dari
minyak nilam yang diekstrak dari tanaman nilam (Pogostemon cablin).

Tabel 8.1. Standar mutu fisik dan kimia minyak nilam berdasarkan SNI 06-2385-
2006.

No Parameter Satuan Standar


1 Warna - Kuning – coklat kemerahan
0
2 Bobot jenis (25 C) - 0,950 – 0,975
20
3 Indeks Bias (nD ) - 1,507 – 1,515
4 Kelarutan dalam etanol - Larutan jernih dalam
0 0
90% (suhu 20 C±3 C) perbandingan volumen 1:10
5 Bilangan Asam - Maks. 8
6 Bilangan Ester - Maks. 20
7 Putaran Optik - (-)480 – (-)650
8 Patchouli alcohol (C15H26O) % Min. 30
9 Alpha copaene (C15H24) % Maks. 0,5
10 Kandungan Besi (Fe) mg/kg Maks. 25

143
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

8.8. Reaksi yang Mempengaruhi Sifat Kimia Minyak Atsiri

Minyak atsiri juga dapat mengalami kerusakan yang mengakibatkan


perubahan sifat kimia minyak atsiri yaitu dengan adanya proses oksidasi, hidrolisis,
dan resinifikasi.

8.8.1. Reaksi Oksidasi

Reaksi oksidasi pada minyak atsiri terutama terjadi pada ikatan


rangkap dalam terpene. Peroksida yang bersifat labil akan berisomerisasi
dengan adanya air, sehingga membentuk senyawa aldehid, asam organik,
dan keton yang menyebabkan perubahan bau yang tidak dikehendaki.

8.8.2. Reaksi Hidrolisis

Proses hidrolisis terjadi pada minyak atsiri yang mengandung ester.


Proses hidrolisis ester merupakan proses pemisahan gugus OR dalam
molekul ester sehingga terbentuk asam bebas dan alkohol. Ester akan
terhidrolisis secara sempurna dengan adanya air dan asam sebagai
katalisator.

8.8.3. Reaksi Resinifikasi

Beberapa fraksi dalam minyak atsiri dapat membentuk resin, yang


merupakan senyawa polimer. Resin ini dapat terbentuk selama proses
pengolahan (ekstraksi) minyak yang melibatkan tekanan dan suhu tinggi
selama penyimpanan.

144
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

8.9. Proses yang Mempengaruhi Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Minyak
Atsiri

Minyak atsiri memiliki sifat mudah menguap dan mudah teroksidasi. Hal
itulah yang menyebabkan perubahan secara fisika maupun kimia pada minyak
atsiri. Perubahan sifat fisikokimia minyak atsiri dapat terjadi saat:

8.9.1. Penyimpanan Bahan

Penyimpanan bahan sebelum dilakukan pengecilan ukuran bahan


mempengaruhi jumlah minyak atsiri, terutama dengan adanya penguapan
secara bertahap yang sebagian besar disebabkan oleh udara yang bersuhu
cukup tinggi. Oleh karena itu, bahan yang akan diekstrak sebaiknya
disimpan pada udara kering dan bersuhu rendah.

8.9.2. Proses Ekstraksi

Perubahan sifat fisikokimia dapat disebabkan juga oleh proses


ekstraksi terutama karena pengaruh suhu tinggi, uap air, dan kontak dengan
udara bebas baik melalui proses penyulingan maupun pengepresan.

8.10. Rangkuman

1. Kelompok utama golongan minyak atsiri berdasarkan komponen kimia


penyusunnya, yaitu golongan hidrokarbon dan golongan senyawa
teroksigenasi. Golongan hidrokarbon terdiri dari beberapa golongan
senyawa terpene, baik monoterpene, sesquiterpene, maupun diterpene.
Sedangkan yang termasuk golongan senyawa teroksigenasi meliputi
senyawa dengan gugus ester, aldehida, keton, alkohol, dan fenol.

145
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

2. Sifat-sifat fisika minyak atsiri meliputi aroma yang khas, berat jenis,
indeks bias yang tinggi, serta bersifat optis aktif. Sedangkan sifat
kimianya antara lain bilangan asam dan bilangan ester.
3. Perubahan sifat fisik dan kimia minyak atsiri dapat terjadi pada saat
ekstraksi maupun pada saat penyimpnan bahan baku. Proses oksidasi,
hidrolisis, dan resinifikasi dapat mengakibatkan perubahan sifat
fisikokimia minyak atsiri.

8.11. Latihan

1. Jelaskan pengelompokkan minyak atsiri berdasarkan komponen


penyusunnya!
2. Sebutkan dan jelaskan secara ringkas sifat fisik dan kimia minyak atsiri!
3. Sebutkan dan jelaskan beberapa reaksi kimia yang dapat mempengaruhi
mutu minyak atsiri!
4. Sebutkan dan jelaskan mekanisme perubahan nilai sifat fisik dan kimia
minyak atsiri karena faktor proses produksi!
5. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
kelarutan minyak atsiri dalam alkohol!

8.12. Bahan Bacaan yang Dianjurkan

Baser, K.H. dan Buchbauer, G., 2010. Handbook of Essential Oils: Science,
Technology, and Applications. CRC Press, Florida.
Guenther E., 1972. The Essential Oil Vol. IV. Robert W. Kringer. Article Publishing
Co., Inc. Huntington, New York.
Ketaren, S., 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta.
Ketaren, S., 1990. Minyak Atsiri Jilid IVA. Terjemahan (Gunther, E.) UI Press,
Jakarta.
Sastrohamidjojo, H., 2004. Kimia Minyak Atsiri. Universitas Gadjah Mada.
Jogjakarta.

146
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, S.A., 2001. Materi Pokok Kimia Organik Bahan Alam. Universitas
Terbuka, Jakarta.
Agoes, G., 2006. Pengembangan Sediaan Farmasi. ITB, Bandung.
Agoes, G., 2007. Teknologi Bahan Alam. ITB, Bandung.
Agusta, A., 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropis Indonesia. ITB, Bandung.
Ardiansyah., 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Trubus Agriwidya, Jakarta.
Baser, K.H. dan Buchbauer, G., 2010. Handbook of Essential Oils: Science,
Technology, and Applications. CRC Press, Florida.
Cannell, R.J.P., 1998. Natural Products Isolation. Humana Press, New Jersey.
Dias, D.A., Urban, S., dan Roessner, U., 2012. A Historical Overview of Natural
Products in Drug Discovery. Metabolites, 2: 303-336.
Gandjar, I.G. dan Rohman, A., 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Belajar,
Yogyakarta.
Grotewold, E., 2008. The Science of Flavonoids. Springer, New York.
Guenther E., 1972. The Essential Oil Vol. IV. Robert W. Kringer. Article Publishing
Co., Inc. Huntington, New York.
Gunawan, D. dan Mulyani, S., 2004. Ilmu Obat Alam. Penebar Swadaya, Jakarta.
Harris, R., 1987 Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya, Jakarta.
Harborne, J.B., 1973. Phytochemical Methods. Chapman and Hall, London.
Harborne, J.B., 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan (terjemahan). Penerbit ITB, Bandung.
Imanshahidi, M. dan Hosseinzadeh, H., 2008. Pharmacological and Therapeutic
Effects of Berberis vulgaris and Its Active Constituent, Berberine.
Phytotherapy Research, 22: 999-1012.
Irchhaiya, R., dkk., 2014. Metabolites in Plants and Its Classification. World Journal
of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 4: 287-305.
Kabera, J.N., Semana, E., Mussa, A.R., dan He., X., 2014. Plant Secondary
Metabolites: Biosynthesis, Classification, Function and Pharmacological
Properties. Journal of Pharmacy and Pharmacology, 2:377-392.

147
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Kapoor, V.P., 2005. Herbal Cosmetics for Skin and Hair Care. Natural Product
Radiance, 4: 306-314.
Ketaren, S., 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta.
Ketaren, S., 1990. Minyak Atsiri Jilid IVA. Terjemahan (Gunther, E.) UI Press,
Jakarta.
Lahlou, M., 2013. The Success of Natural Products in Drug Discovery.
Pharmacology and Pharmacy, 4: 17-31.
Markham, K.R., 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. ITB, Bandung.
Nugroho, A., 2016. Identification and Quantification of Flavonoids in Carica
papaya Leaf and Peroxynitrite-Scavenging Activity. Asian Pacific Journal
of Tropical Biomedicine, 7: 930-934.
Pandey, N., dkk., 2011. Medicinal Plants Derived Nutraceuticals: A Re-emerging
Health Aid. International Journal of Pharma and Bio Sciences. 4: 419-
441.
Rostagno, M.A. dan Prado, J. M., 2013. Natural Product Extraction: Principles and
Applications. RSC Publishing, Cambridge, UK.
Rusli S, Nurdjanah, N., Soediarto, Sitepu, D., Ardi, dan Sitorus. D.T., 1985.
Penelitian dan Pengembangan Minyak Atsiri Indonesia. Bogor: Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Samuelsson, G., 1999. Drug of Natural Origin: A Textbook of Pharmacognosy.
Swedish Pharmaceutical Press, Stockholm, Sweden.
Sarker, S.D., Latif, Z., dan Gray, A.I., 2006. Natural Product Isolation 2nd edition.
Humana Press, New Jersey, USA.
Sastrohamidjojo, H., 2004. Kimia Minyak Atsiri. Universitas Gadjah Mada.
Jogjakarta.
Wiryowidagdo, S., 2008. Kimia dan Farmakologi Bahan Alam. EGC, Jakarta.
Wonorahardjo, S., 2013. Metode-Metode Pemisahan Kimia. Indeks, Jakarta.

148
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

GLOSARIUM


Alkaloid, senyawa metabolit sekunder yang mengandung atom nitrogen dalam
struktur kimianya.
Anthocyanin, salah anggota dari flavonoid yang memiliki sifat mudah larut dalam
air dan berwarna antara merah dan biru.
Bahan Alam, substansi kimia yang merupakan metabolit sekunder yang dapat
berupa komponen tunggal/murni hasil isolasi maupun yang masih
berupa campuran komponen dalam bentuk ekstrak, sediaan kering dari
bagian tertentu atau keseluruhan dari suatu organisme baik tumbuhan,
mikroba, ataupun hewan yang dimanfaatkan karena efek
farmakologisnya.
Berat jenis, perbandingan berat zat di udara pada suhu 250C terhadap berat air
dengan volume dan suhu yang sama.
Destilasi, teknik pemisahan zat baik berupa cairan maupun padatan dari dua atau
lebih komponen yang tercampur berdasarkan perbedaan titik didihnya.
Ekstraksi, pengambilan senyawa-senyawa metabolit sekunder yang menjadi
target untuk dipisahkan dari biomasa atau ampas atau bagian yang tidak
diperlukan karena sifatnya yang mengganggu baik dalam penyajian
maupun karena mengganggu efektivitas khasiat dari bahan aktifnya.
Enfleurasi, teknik ekstraksi minyak atsiri dengan menggunakan lemak sebagai
media penyerap uap minyak atsiri yang kemudian dipisahkan dari lemak
pengikatnya.
Fase diam, salah satu elemen dari metode kromatografi yang berfungsi sebagai
media pembawa atau transporter yang bergerak dari ujung satu ke ujung
lainnya disebabkan oleh beberapa hal seperti gaya kapilaritas, gravitasi,
tekanan, dll.
Fase gerak, salah satu elemen dari metode kromatografi yang posisinya tetap dan
berfungsi sebagai jalur atau tempat bergerak atau merambatnya
senyawa.
Fenolik, senyawa metabolit sekunder dengan cincin aromatik dengan satu atau
lebih gugus hidroksil yang terikat dengannya.
Fitofarmaka, pengembangan dari obat herbal terstandar yang telah melalui uji
klinis pada manusia.

149
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

Fitokimia, senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan.


Flavonoid, senyawa polifenol yang terdiri dari 15 atom karbon, dengan dua cincin
aromatik (cincin A dan cincin B) yang terhubung melalui sebuah
jembatan dengan tiga atom karbon (cincin C).
Fraksinasi, proses pemilahan atau pemisahan sekelompok senyawa dari
kumpulan senyawa-senyawa lainnya berdasarkan kemiripan sifat
polaritasnya.
Indeks bias, perbandingan kecepatan cahaya dalam udara dengan kecepatan
cahaya dalam zat tersebut.
Isolasi, proses pemisahan sebuah senyawa dari kumpulan senyawa lainnya dalam
sebuah ekstrak atau fraksi ekstrak untuk tujuan mendapatkan senyawa
tunggal.
Jamu, bahan alam yang sediaannya masih berupa simplisia sederhana, di mana
khasiat dan keamanannya dibuktikan dari pengalaman empiris melalui
penggunaan secara turun temurun minimal selama tiga generasi.
Kromatografi kolom, metode kromatografi dengan menggunakan kolom yang
diisi dengan fase diam (silica gel) yang digunakan untuk memisahkan
senyawa dari suatu fraksi ekstrak.
Kromatografi Lapis Tipis, metode kromatografi dengan menggunakan bidang
datar tipis yang terbuat dari bahan inert yang dilapisi dengan bahan
tertentu (biasanya silica gel) sebagai fase diamnya.
Kromatografi, metode pemisahan suatu senyawa kimia dari senyawa-senyawa
lainnya berdasarkan prinsip perbedaan polaritas yang melibatkan fase
diam dan fase gerak.
Maserasi, teknik ekstraksi dengan cara merendam bahan baku ke dalam pelarut
pada suatu bejana dan ditempatkan pada suhu ruang (ekstraksi dingin)
selama beberapa waktu.
Metabolit Sekunder, senyawa kimia organik hasil biosintesis dalam sel makhluk
hidup yang tidak memiliki fungsi esensial dalam proses metabolisme,
tetapi berperan dalam fungsi penunjang lainnya, seperti fungsi
pertahanan, fungsi menarik pihak lain, pelindung, dsb.
Minyak Atsiri, golongan senyawa metabolit sekunder (pada umumnya dari
golongan monoterpene dan sesquiterpene) yang berwujud cair pada
suhu ruang, mudah menguap, dan memiliki aroma.
Obat herbal terstandar, produk pengembangan dari jamu yang bentuk sediaanya
sudah berupa ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang

150
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

terstandar serta telah melewati uji praklinis seperti uji toksisitas, kisaran
dosis, farmakodinamik, dll.
Perkolasi, teknik ekstraksi dengan melarutkan senyawa metabolit dengan cara
mengalirkan pelarut yang sesuai pada matriks bahan atau sampel yang
telah ditempatkan pada alat perkolator.
Polifenol, senyawa metabolit sekunder yang memiliki lebih dari satu gugus
hidroksil pada cincin aromatik.
Produk farmasetik, produk-produk yang berfungsi sebagai obat, baik sebagai
bahan baku atau senyawa aktif obat, atau bentuk ekstrak yang
berkhasiat sebagai obat.
Produk kosmetika, produk utilitas atau pendukung yang ditujukan untuk menjaga,
merawat, atau meningkatkan penampilan dari wajah dan bagian tubuh
lain, seperti mulut, kuku tangan, mata, rambut, dsb.
Produk nutrasetik, produk yang fungsi dan karakteristiknya dapat diposisikan
menjadi produk transisi antara produk pangan umum (food) dengan
produk obat-obatan (drug).
Tanin, senyawa polifenol yang memiliki jumlah gugus hidroksil yang melimpah
atau gugus lainnya seperti karboksil untuk dapat membentuk ikatan
kompleks yang kuat dengan beberapa molekul makro seperti protein,
pati, selulosa, dan juga mineral.
Terpenoid, golongan senyawa yang disintesis melalui proses kondensasi dari unit-
unit terkecilnya yaitu isoprene yang berupa sebuah struktur kimia
dengan lima atom karbon (C5).
Ultrasonikasi, pemancaran gelombang suara frekuensi tinggi (ultrasonik) yang
digunakan untuk membantu mempercepat proses ekstraksi.



151
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

INDEX

A
D
acyclic, 16
aglicone, 27, 32 destilasi, 119, 121, 123, 130

agroindustri, 2, 3, 9, 11 diterpene, 15, 18, 19, 38, 135, 145

akar kuning, 4
aktivitas biologis, 4, 8, 61 E
alkaloid, 22, 23, 38
ekstrak, iii, 1, 3, 4, 5, 8, 10, 45, 53, 56, 67, 73, 74,
alkohol, 17, 42, 126, 129, 130, 134, 135, 136,
75, 76, 79, 80, 82, 84, 85, 90, 91, 92, 93, 94,
137, 140, 141, 142, 144, 145, 146
95, 96, 99, 100, 105, 106, 107, 115, 116, 149
anthocyanin, 25, 31, 32
ekstraksi, 70, 71, 72, 73, 78, 79, 81, 83, 86, 87,
antibacterial, 4
88, 119, 124, 125, 126, 129, 131, 145
antibakteri, 4
enfleurasi, 126, 131
antioksidan, 4, 21, 26, 28, 32, 48
essential oil, 41
antioxidative effect, 4

F
B
farmakologi, 5, 46, 137
bahan alam, 1, 3, 5, 10, 11
farmakologis, 4, 13, 18, 23, 32, 135
bahan obat, 6, 10, 52
farmasetik, 40, 41, 45, 50, 51, 55, 57
berberine, 4
fenolik, 14, 24, 25, 32, 33, 36, 38, 60
bilangan Asam, 143
Fitofarmaka, 54
bilangan Ester, 143
fitokimia, 2, 6, 11, 14, 23, 155
biological activity, 4
fixative agent, 4
borneol, 17, 137
Flavanone, 29
flavone, 25, 26, 27, 28, 29, 30
C Flavonoid, 25, 39, 89, 116, 148

caffeic acid, 35 flavonol, 25, 26, 27, 28, 29, 30

camphor, 17 flavoring agent, 4

cinnamic acid, 34, 35 fraksinasi, 92, 93, 95, 105, 115

citrus, 30, 49 freeze dryer, 65, 95

coloring agent, 4 functional foods, 6, 10, 51

coumaric acid, 35
curcuminoids, 5 H
hesperidin, 29, 30

152
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

hidrokarbon, 42, 135, 145 metabolit sekunder, iii, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 10, 11, 13,
Hidrolisis, 144 14, 22, 38, 40, 41, 46, 50, 55, 60, 62, 72, 134,
hidroxycinnamic acid, 34 149
hydroxybenzoic acid, 33 mikroorganisme, 3, 48, 60, 63
minyak Atsiri, 12, 39, 41, 42, 43, 44, 49, 55, 57,
I 117, 118, 121, 122, 126, 130, 132, 134, 135,
136, 137, 138, 141, 142, 143, 144, 145, 146,
immiscible, 73, 93, 115
147, 148
indeks Bias, 139, 143
mobile phase, 96, 97, 101, 102, 110
industri, 1, 2, 8, 9, 10, 11, 22, 48, 51, 77
monocyclic, 16, 18
isoflavone, 25, 29, 30, 37
monoterpen, 15, 38
isolasi, 96, 115
morfin, 23

J
N
jamu, 51, 52, 53, 56
natural pesticide, 4
natural product, 10, 69, 89, 116
K
natural products, 3, 12, 15, 39, 57, 69, 89, 116,

kafein, 23, 24 147, 148

kelarutan dalam Alkohol, 141 natural resources, 3

ketone, 17, 137 neutraceuticals, 6, 10

kosmetik, 48 nikotin, 23

kromatografi, 91, 93, 95, 96, 97, 98, 100, 101, nutrasetik, 40, 41, 50, 51, 55, 56, 57

102, 103, 104, 105, 108, 109, 110, 112, 113, nutritional supplements, 6, 10

115, 116
O
L
obat, 10, 40, 41, 45, 46, 50, 51, 52, 53, 54, 55,

lead structure, 45 56, 57

liquid-iquid extraction, 93, 115 obat herbal terstandar, 53


octadesylsilane, 103

M ODS, 97, 103, 107, 110


oksidasi, 144
maserasi, 70, 74, 75, 76, 78, 81, 82, 88, 89, 117, organisme, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 11, 14, 60, 62, 68,
119, 129, 130, 131 149
menthol, 3, 137
mentol,, 15 P
metabolit primer, 7
parfuming agent, 4
pengepresan, 124, 131
perkolasi, 76, 77, 88

153
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

pewarna, 4, 5, 6, 11, 20, 26, 125, 126 T


pharmaceuticals, 10
pharmacological effect, 4 tanin, 36, 37

phytochemicals, 6 termolabile, 74, 118

polarisasi, 140 terpenoid, 14, 38

pressurized solvent extraction, 83 tetraterpene, 15, 20, 38

putaran optik, 140, 143 therapeutic effect, 4


thin layer cromatography, 96, 115

R TLC, 96, 97, 98, 105, 109, 110, 111, 113, 115
triterpene, 15, 19, 20, 21, 38
reflux, 78
resin, 17, 43, 77, 125, 126, 144 U
rotary vacuum evaporator, 95
ultrasonikasi, 81

S
V
saponin, 21, 22
secondary metabolites, 4 volatile, 41, 72, 118, 125, 130

seskuiterpen, 38, 142


sesquiterpen, 15 W
silica gel, 97, 103, 105, 107, 110
water and steam destillation, 121, 123
solvent, 71, 85, 97, 98, 103, 106, 108, 110, 111,
water destillation, 119
112, 113
soxhlet, 79, 81
stationary phase, 96, 97, 101, 102, 103
steam destillation, 123

154
Buku Ajar: Teknologi Bahan Alam

PROFIL PENULIS

Agung Nugroho, lahir di Karanganyar, Jawa


Tengah, 19 Juli 1983. Sejak tahun 2008 menjadi
dosen pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian,
Universitas Lambung Mangkurat di Banjarbaru.
Agung Nugroho, Ph.D memperoleh gelar sarjana di
Institut Pertanian Bogor pada Departemen
Teknologi Industri Pertanian, dan kemudian
memperoleh Master dan Doktor di Sangji University,
Korea pada bidang Fitokimia. Penulis banyak
melakukan penelitian pada bidang bahan alam tumbuhan, meliputi ekstraksi,
isolasi dan identifikasi fitokimia, HPLC kuantifikasi, uji bioaktivitas, serta formulasi
produk-produk berbasis bahan alam. Sampai saat ini, lebih dari 25 artikel tentang
analisis dan pemanfaatan bahan alam telah penulis publikasikan pada jurnal
ilmiah internasional. Penulis juga aktif dalam beberapa hibah penelitian dan
menjadi salah satu reviewer nasional untuk kegiatan penelitian pada DRPM -
Kemenristekdikti.

155

Anda mungkin juga menyukai