Anda di halaman 1dari 9

Sejarah Indonesia Masa Pergerakan Nasional

Peranan Indische Partij dalam Pergerakan Nasional

Disusun oleh :
 Bilal akram
 Jihan Agustin
 Lindi Melini
 Rafika Alfi Rifkiyah
 Sehan Septiandika
 Kelompok : 5
 Kelas : XI – IIS 2

Madrasah Aliyah Negri 5 Jakarta

Pendahuluan
Pergerakan nasional dilatarbelakangi oleh faktor-faktor internal, yakni munculnya kaum
terdidik yang kemudian menjadi pemimpin pergerakan nasional. Hal itu muncul akibat adanya
‘efek tak terduga’ (bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda) dari penerapan Politik Etis,
terutama di bidang pendidikan.
Politik Etis yang dicetuskan oleh Van Deventer1 dilatarbelakangi oleh keterpurukan
masyarakat Jawa yang menjadi tanah jajahan Negeri Belanda dalam bidang ekonomi,
pendidikan juga kemerosotan kesejahteraan pada akibat adanya eksploitasi sumber daya alam
dan sumber daya manusia secara besar-besaran. Berbagai keterpurukan tersebut memicu
keprihatinan, di antaranya dari penganut paham liberal dalam pemerintahan Belanda.
Keprihatinan itu pun sejalan dengan semangat kaum Kristiani ketika Ratu Wilhelmina berkata
tentang suatu “kewajiban yang luhur dan tanggung jawab moral untuk rakyat di Hindia
Belanda”2 pada September 1901. A.W.F. Idenburg3 ditunjuk sebagai orang yang menjalankan
kebijakan yang baru itu.
Penjajahan dan penindasan yang mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan pun
menimbulkan kesadaran dan tekad rakyat yang terjajah di Hindia Belanda untuk bergerak
melawan penjajahan.
Selain itu, adanya kenangan akan kejayaan masa lampau, seperti zaman Sriwijaya dan
Majapahit juga membangkitkan kesadaran bahwa sebagai suatu bangsa, rakyat Hindia Belanda
(Indonesia) pun bisa berjaya selayaknya dua kerajaan besar tersebut.
Adapun faktor-faktor eksternal yang melatarbelakangi pergerakan nasional, yaitu:
1. Adanya All Indian National Congress (1885) dan Gandhiisme di India.
2. Adanya Gerakan Turki Muda (1908) di Turki.
3. Kemenangan Jepang atas Rusia (1905), yang menyadarkan dan membangkitkan
bangsa-bangsa Asia untuk melawan bangsa–bangsa Barat.
4. Nasionalisme di Cina yang dipimpin oleh dr. Sun Yat Sen (1912)
5. Munculnya paham-paham baru di Eropa dan Amerika yang masuk ke Indonesia,
seperti: liberalisme, demokrasi, nasionalisme; yang kesemuanya mempercepat lahirnya
nasionalisme Indonesia.
Dalam makalah ini, akan dijelaskan terkait salah satu organisasi awal pergerakan nasional
yakni Indische Partij (Partai Hindia), dari awal kemunculannya, tujuan berdirinya, peranannya
dalam pergerakan nasional, sampai kemundurannya.

1
Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2009), hlm. 54
2
Ibid., hlm. 51
3
Menteri Jajahan Belanda (1902-1905), lihat
<http://id.wikipedia.org/wiki/Alexander_Willem_Frederik_Idenburg>
Awal Munculnya Indische Partij
Dalam perkembangan sejarah pergerakan nasional awal pertumbuhannya lahir konsepsi
yang bercorak politik dan program nasional yang meliputi nasionalisme modern. Organisasi
tersebut adalah Indische Partij. Organisasi ini ingin menggantikan De Indische Bond sebagai
organisasi kaum Indo dan Eropa di Indonesia yang didirikan tahun 1898.
Perumus gagasan itu adalah Ernest François Eugène Douwes Dekker (Danudirdja
Setiabudi), yang melihat keganjilan dalam masyarakat kolonial khususnya diskriminasi antara
keturunan Belanda totok dan kaum Indo. Douwes Dekker meluaskan pandangannya terhadap
masyarakat Indonesia umumnya daripada hanya membatasi pandangan dan kepentingan
golongan kecil masyarakat Indo, yang masih tetap hidup dalam situasi kolonial. Nasib para
Indo tidak ditentukan oleh pemerintah kolonial, tetapi terletak di dalam bentuk kerja sama
dengan penduduk Indonesia lainnya.
Untuk persiapan pendirian Indische Partij, E. F. E. Douwes Dekker mengadakan
perjalanan propaganda di Pulau Jawa yang dimulai pada tanggal 15 September sampai 3
Oktober 1912. Di dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan dr. Cipto Mangunkusumo di
Surabaya yang langsung mengadakan pertukaran mengenai soal-soal yang bertalian dengan
pembinaan partai yang bercorak nasional. Di Bandung, ia mendapat dukungan dari Suwardi
Suryaningrat. E. F. E. Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat
inilah yang merupakan “Tiga Serangkai” pendiri Indische Partij, yang resmi didirikan di
Bandung pada tanggal 25 Desember 1912.4
Melalui karangan-karangan di dalam majalah De Express, Dekker melakukan propaganda
yang berisi:
(1) pelaksanaan suatu program “Hindia” untuk setiap gerakan politik yang sehat dengan
tujuan penghapusan perhubungan kolonial; dan
(2) menyadarkan golongan Indo dan penduduk bumiputra, bahwa masa depan mereka
terancam oleh bahaya yang sama, yaitu bahaya eksploitasi kolonial.
Selanjutnya disarankan bahwa alat untuk melancarkan aksi-aksi perlawanan terhadap
pemerintahan kolonial adalah dengan mendirikan organisasi yang dapat menampung segala
lapisan masyarakat lepas dari batas-batas yang sempit.5

4
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia jilid V (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm.
351-352
5
Drs. Cahyo Budi Utomo, M.Pd. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia (Semarang: IKIP Semarang
Press, 1975), hlm. 71
Redaktur-redaktur surat kabar di Jawa juga mendukung berdirinya Indische Partij.
Indische Partij yang bersifat keras dan langsung bergerak dalam bidang politik6 pun didukung
oleh mereka yang merasa tidak puas dengan langkah-langkah yang telah diambil organisasi
sebelumnya yang bersifat sangat hati-hati seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam.

Tujuan Berdirinya Indische Partij


“Tujuan Indische Partij ialah untuk membangunkan patriotisme semua Indiers7 terhadap
kepada tanah air, yang telah memberi lapangan hidup kepada mereka, agar mereka mendapat
dorongan untuk bekerja sama atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan tanah air
“Hindia” dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka.” (Sartono Kartodirdjo,
1975: 191)8
Adapun usaha-usaha untuk mencapai tujuan itu sesuai dengan bunyi pasal-pasal dalam
anggaran dasar Indische Partij adalah sebagai berikut :
1. Memelihara Nasionalisme Hindia dengan meresapkan cita-cita kesatuan kebangsaan
semua bangsa Hindia, meluaskan pengetahuan umum tentang sejarah kebudayaan
Hindia, menyatupadukan intelek secara bertahap kedalam golongan-golongan bangsa
yang masih hidup bersama dalam keadaan terpisah karena ras dan ras peralihan masing-
masing, menghidupkan kesadaran diri dan kepercayaan terhadap diri sendiri.
2. Menyingkirkan kesombongan rasial dan keistimewaan ras, baik dalam bidang ke
tatanegaraan maupun dalam bidang kemasyarakatan, melawan usaha untuk
membangkitkan kebencian agama dan sektarisme yang bisa mengakibatkan bangsa
Hindia tidak mengenal satu sama lain, dan memajukan kerjasama nasional.
3. Memperkuat tenaga bangsa Hindia dengan usaha kemajuan terus menerima dari
individu ke arah aktivitas yang lebih besar dalam bidang teknik dan ke arah penguasaan
diri serta pola berpikir dalam bidang kesusilaan.
4. Penghapusan ketidaksamaan hak kaum Hindia.
5. Memperkuat daya pertahanan bangsa Hindia untuk mempertahankan tanah air dari
serangan asing, apabila perlu.

7
Orang-orang Indie di negeri Belanda dan mengadakan hubungan dengan “Nederlandsch Indie” (Hindia
Belanda), lihat Sudiyo (1989: 25)
8
Dikutip dari Sudiyo (2004), hlm. 37
6. Mengusahakan unifikasi, perluasan, pendalaman dan Hindianisasi pengajaran, yang di
dalam semua hal harus ditujukan kepada kepentingan ekonomis Hindia, di mana tidak
diperbolehkan adanya perbedaan perlakuan ras, seks atau kasta dan harus dilaksanakan
sampai tingkat setinggi-tingginya yang bisa dicapai.
7. Memperbesar pengaruh Pro-Hindia ke dalam pemerintahan.
8. Memperbaiki keadaan ekonomi bangsa Hindia, terutama dengan memperkuat yang
lemah ekonominya.
9. Semua usaha-usaha lain yang sah dan dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan
tersebut.9

Peranan Indische Partji dalam Pergerakan Nasional


Indische Partij adalah organisasi modern ketiga yang berdiri setelah Budi Utomo dan
Sarekat Islam. Organisasi ini merupakan organisasi pertama yang secara tegas menyatakan
berpolitik. Dengan demikian Indische Partij adalah partai politik pertama di Indonesia.10
Secara politik, sikap menerima saja segala sesuatunya dengan senang hati adalah sesuatu
yang salah. Karena ia akan membawa kita kepada hidup diperbawah. Di dalam perjuangan
politik hendaklah kita dengan gigih memegang teguh apa yang telah kita peroleh, sambil
mengulurkan tangan untuk merebut hak kita yang belum dimiliki.
Semboyan “Indie untuk Indiers” berusaha membangunkan rasa cinta tanah air dari semua
“Indier”, berusaha mewujudkan kerja bersama yang erat untuk kemajuan tanah air dan
menyiapkan kemerdekaan.11
Sifat keberanian organisasi ini sangat menonjol, yaitu melalui tulisan-tulisan beberapa
tokoh pelopornya yang dimuat dalam berbagai majalah. Suwardi Suryaningrat menulis dalam
harian De Express dengan judul Als ik eens Nederlander was (Andaikata saya seorang
Belanda). Tulisan ini sebenarnya ditujukan untuk menyindir pemerintah Hindia Belanda, yang
pada waktu itu akan mengadakan peringatan 100 tahun pembebasan negeri Belanda dari
penjajahan Perancis. Dalam peringatan tersebut diperlukan biaya yang dipungut dari penduduk
Hindia Belanda. Yang berarti penduduk di negeri jajahan, diajak untuk berfoya-foya dalam
peringatan bangsa yang menjajah itu untuk kepentingan dirinya.

9
Poesponegoro, dkk., op. cit., hlm. 352
10
<http://bimowiwoho.wordpress.com/2013/10/18/politik-etis-bom-waktu-bunuh-diri-belanda>, diakses 23-2-
2014 pukul 20.25 WIB
11
A. K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat, 1994), hlm. 13
Hal tersebut memang sangat mengherankan dan dinilai tidak pada tempatnya. Oleh karena
itu, Suwardi Suryaningrat mengadakan protes secara halus melalui tulisannya itu. Dalam
tulisannya tersebut juga dikatakan sebagai berikut.
“Jika sekiranya penulis seorang Belanda, maka ia akan mengusulkan kepada pemerintah
Hindia Belanda agar tidak merayakan hari pembebasan itu di Hindia Belanda.” (Ruben
Nalenan, 1974: 86)12
Kalimat tersebut mengandung maksud, bahwa sebenarnya pemerintah Hindia Belanda
“harus malu” mengajak bangsa yang terjajah untuk peringatan negeri si penjajah. Namun
disadari atau tidak, bahwa pihak pemerintah Hindia Belanda juga membuka mata rakyat Hindia
Belanda tentang pentingnya “kemerdekaan dan kebebasan suatu bangsa”. Oleh karena itu,
tulisan tersebut segera ditarik dari peredaran, agar tidak dapat terbaca oleh masyarakat luas.
Dengan tulisannya tersebut, maka Suwardi Suryaningrat ditangkap. Berhubung Suwardi
termasuk salah satu pendiri Indische Partij, maka dr. Cipto Mangunkusumo berusaha
membelanya. Tulisan dr. Cipto tersebut dimuat dalam majalah Indische Partij yang bernama
Het Tijdschrift dan hariannya bernama De Express. Adapun judul tulisan tersebut berbunyi
(dalam bahasa Indonesia) “Kekuatan atau Ketakutan”. Setelah tulisan dr. Cipto
Mangunkusumo tersebut beredar di majalah dan juga harian itu, maka tidak lama kemudian dr.
Cipto juga ditangkap. Dengan demikian di antara pendiri Indische Partij, tinggal satu lagi yang
belum ditangkap, yaitu E. F. E. Douwes Dekker.
Karena Indische Partij bergerak langsung terjun dalam bidang politik, tidak mustahil
apabila tokoh-tokohnya mendapat pengawasan secara ketat pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Pergerakan dalam bidang politik pada saat itu memang masih sangat berbahaya.
Organisasi yang tampak bergerak dalam bidang politik, sudah pasti mendapat tuduhan
pemerintah kolonial Belanda bahwa organisasi tersebut akan melakukan pemberontakan
terhadap pemerintah.
Penolakan atas pengakuan Indische Partij sebagai badan hukum oleh Gubernur Jenderal
dialami Indische Partij pada saat mengajukan permohonan tanggal 4 Maret 1913. Alasan
penolakannya karena organisasi ini berdasarkan politik dan mengancam hendak merusak
keamanan umum.
Walaupun sudah jelas kegiatan Indische Partij mendapat pengawasan secara ketat, E. F. E.
Douwes Dekker tetap meneruskan perjuangannya. Dia berusaha menghadap kepada Gubernur
Jenderal dengan tujuan, ingin menjelaskan dan bersedia mengubah pasal-pasal dari anggaran

12
Dikutip dari Sudiyo (2004), hlm. 36
dasar Indische Partij, apabila dianggap membahayakan pemerintah. Akan tetapi usaha E. F. E.
Douwes Dekker ini sia-sia saja, karena pada tanggal 11 Maret 1913 pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan peringatan kepada Indische Partij dan organisasi ini dinyatakan sebagai partai
terlarang.13
Pergerakan Indische Partij, setelah Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto ditangkap, maka
Douwes Dekker terus mengadakan pembelaannya. Di dalam majalah dan harian Indische
Partij, E. F. E. Douwes Dekker menulis pembelaan itu dengan judul (bahasa Indonesia)
“Pahlawan kita Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo”.
Setelah tulisan tersebut diketahui oleh pihak pemerintah kolonial Belanda, maka E. F. E.
Douwes Dekker ditangkap oleh pemerintah. Dengan demikian, ketiga tokoh Indische Partij,
semuanya telah ditangkap pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1913. Jadi, umur Indische
Partij sangat singkat, kurang lebih hanya satu tahun saja.
Sebenarnya ketiga pemimpin Indische Partij tersebut ditawari dibuang di dalam negeri
saja, yakni:
Douwes Dekker ke Timor (Kupang),
Cipto Mangunkusumo ke Banda, dan
Suwardi Suryaningrat ke Bangka.14
Namun, atas permintaan mereka, ketiganya memilih dibuang ke luar negeri saja, yakni ke
Belanda. Dengan pertimbangan, kalau dibuang di dalam negeri diperlakukan hukum kolonial
(kejam), kalau dibuang ke luar negeri diperlakukan hukum internasional. Sifat hukum
internasional adalah liberal dan demokrasi, sehingga masih dapat untuk mempelajari masalah-
masalah perjuangan di negara-negara lain.15

Kemunduran Indische Partij


Sepeninggalnya “Tiga Serangkai” ke Belanda, keadaan organisasi Indische Partij semakin
lama semakin mundur. Mundurnya Indische Partij bukan karena ditinggalkan oleh ketiga tokoh
tersebut, melainkan karena adanya larangan dari pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya,
hampir setiap langkah-geraknya tertutup, walaupun penerusnya berusaha mengubah nama
organisasi, yaitu menjadi “Partai Insulinde”. Perkumpulan ini terdiri dari sebagian besar
anggota Indische Partij (di Semarang saja ada 1.000 orang) dan lama-kelamaan duduk dalam

13
Sudiyo, op. cit., hlm. 37-38
14
A. K. Pringgodigdo, op. cit., hlm. 13
15
Sudiyo, op. cit., hlm. 39
pimpinan, akibatnya perkumpulan ini kemudian menjadi suatu partai yang menuju
kemerdekaan.16
Namun, pihak pemerintah tetap curiga terhadap organisasi yang baru ini. Dari program
partainya masih tampak sebagai penerus Indische Partij yang telah dilarang itu. Antara lain
menyebutkan sebagai berikut.
“Mendidik suatu nasionalisme Hindia dengan memperkuat cita-cita persatuan bangsa.”
(Sartono Kartodirdjo, 1975: 193 dalam Sudiyo, 2004: 40)
Kemunduran Indische Partij juga disebabkan oleh pengaruh Sarekat Islam yang semakin
kuat di masyarakat, maka banyak para penerus Indische Partij yang mengikuti jejak SI. Dengan
demikian, Indische Partij semakin lemah dan mati dengan sendirinya. Walaupun sebenarnya
Douwes Dekker sekembalinya dari negeri Belanda pada tahun 1918, masih berusaha
menghidupkan kembali Indische Partij, namun usahanya sia-sia. Usaha Douwes Dekker itu
antara lain dengan mengubah nama Indische Partij menjadi National Indische Partij (NIP) pada
tahun 1919. Berhubung sudah dicatat pemerintah sebagai organisasi berbahaya, maka dalam
bentuk apapun Indische Partij tetap dilarang.17

Penutup
Dengan berdirinya Indische Partij, ‘ruh’ awal bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia pun
telah muncul. Partai yang bercita-cita memperjuangkan kesetaraan hak bagi seluruh ras di
Hindia Belanda ini disambut gegap gempita di tengah kekecewaan sebagian kalangan terhadap
sikap elite Boedi Oetomo18.
Di usianya yang singkat (1912-1913) karena dipaksa bubar oleh Belanda, Indische Partij
berhasil menyuburkan semangat, juga harapan akan upaya pembangkitan menuju kebebasan
dari penjajahan. Organisasi politik ini meniupkan napas panjang bagi aksi-aksi pergerakan
setelah itu.
Lagi pula tidak boleh dilupakan bahwa asas-asas yang dipropagandakan oleh Indische
Partij, seperti “Indische nationalism”, aksi mencapai kemerdekaan kelak, dan lain-lain adalah
suara-suara yang dengan sendirinya terus mudah ditangkap dan tertanam di tanah jajahan, dan
terang besarlah pengaruhnya dalam golongan-golongan terjajah.19

16
A. K. Pringgodigdo, op. cit., hlm. 14
17
Sudiyo, op. cit., hlm. 40
18
<http://www.tempo.co/read/news/2012/08/17/078424160/Arti-Penting-Indische-Partij-untuk-Revolusi-
Indonesia>, diakses 8-2-2014 pukul 11.11 WIB
19
A. K. Pringgodigdo, op. cit., hlm. 14
Daftar Pustaka
Niel, Robert Van. 2009. Munculnya Elite Modern Indonesia. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya
Poesponegoro, dkk. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid V. Jakarta: Balai Pustaka
Pringgodigdo, A. K. 1994. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat
Sudiyo. 1989. Perhimpunan Indonesia Sampai dengan Lahirnya Sumpah Pemuda. Jakarta:
Bina Aksara
Sudiyo. 2004. Pergerakan Nasional Mencapai dan Mempertahankan Kemerdekaan. Jakarta:
Rineka Cipta
Utomo, Cahyo Budi. 1975. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Semarang: IKIP
Semarang Press
http://hikmat.web.id/sejarah-kelas-xi/latar-belakang-lahirnya-pergerakan-nasional-
indonesia>, diakses 23-2-2014 pukul 20.25 WIB
<http://id.wikipedia.org/wiki/Alexander_Willem_Frederik_Idenburg>, diakses 23-02-2014
pukul 19.11 WIB
<http://www.tempo.co/read/news/2012/08/17/078424160/Arti-Penting-Indische-Partij-untuk-
Revolusi-Indonesia>, diakses 8-2-2014 pukul 11.11 WIB

Anda mungkin juga menyukai