Anda di halaman 1dari 36

MORFOLOGI KOTA

1. MORFOLOGI KOTA
2. KOMPONEN MORFOLOGI
3. TEORI MORFOLOGI KOTA
4. MORFOLOGI DAN PERTUMBUHAN KOTA
5. KAJIAN BENTUK-BENTUK KOTA
6. ANALISA PERANCANGAN KOTA
7. ANALISA MORFOLOGI SECARA STRUKTURAL
1. PENGERTIAN KOTA
Dalam pengertian geografis, KOTA ITU ADALAH SUATU TEMPAT
YANG PENDUDUKNYA RAPAT, rumah-rumahnya berkelompok
kelompok, dan mata pencaharian penduduknya bukan pertanian.
Bintarto, 1987, KOTA DALAM TINJAUAN GEOGRAFI ADALAH SUATU
BENTANG BUDAYA YANG DITIMBULKAN OLEH UNSUR-UNSUR
ALAMI DAN NON ALAMI DENGAN GEJALA-GEJALA PEMUSATAN
PENDUDUK YANG CUKUP BESAR, dengan corak kehidupan yang
bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah
di belakangnya.
Tinjauan di atas masih sangat kabur dalam arti akan sulit untuk menarik
batas yang tegas untuk mendefinisi kota dan membedakannya dari
wilayah desa apabila menginginkan tinjauan tersebut. Tinjauan di atas
merupakan batasan kota dari segi sosial.
Dalam perkembangannya, konsep-konsep kota paling tidak dapat
dilihat dari 4 sudut pandang, yaitu
 SEGI FISIK ,
 ADMINISTRATIF,
 SOSIAL
 FUNGSIONAL.
Dengan banyaknya sudut pandang dalam membatasi kota,
mengakibatkan pemahaman kota dapat berdimensi jamak dan selama ini
tidak satupun batasan tolak ukur kota yang dapat berlaka secara umum.
KOTA DALAM TINJAUAN FISIK ATAU MORFOLOGI MENEKANKAN
PADA BENTUK-BENTUK KENAMPAKAN FISIKAL DARI LINGKUNGAN
KOTA.
Menurut pendekatan morfologi, kota dapat didefinisikan sebagai
berikut:
a. Menurut Kostof bahwa kota adalah tempat KUMPULAN BANGUNAN DAN
MANUSIA. (cities are place made up of buildings and people)
b. Menurut Sandi Siregar, kota adalah ARTIFAK YANG DIHUNI. Kota sebagai
lingkungan buatan manusia yang memperlihatkan karya anjiniring besar dan kompleks,
terdiri dari kumpulan bangunan (dan elemen-elemen fisik lainnya) serta manusia dengan
konfigurasi tertentu membentuk satu kesatuan ruang fisik (physical-spatial entity).
c. Menurut E.N. Bacon bahwa kota adalah ARTIKULASI RUANG YANG
MEMBERIKAN SUATU PENGALAMAN RUANG TERTENTU KEPADA
PARTISIPATOR. Oleh karena itu, lingkup perhatian perancang kota akan lebih lengkap
jika meliputi bangunan, setting dan karakter kota.
d. Menurut Ali Madanipour bahwa KOTA ADALAH KUMPULAN BERBAGAI
BANGUNAN DAN ARTEFAK (A COLLECTION OF BUILDINGS AND
ARTEFACT) SERTA TEMPAT UNTUK BERHUBUNGAN SOSIAL (a site for social
relationships). Morfologi kota merupakan suatu geometri dari proses perubahan keadaan
yang bersifat sosio-spatial (the geometry of a socio-spatial continum).
e. Menurut Also Rossi18 bahwa kota adalah KARYA KOLEKTIF .
f. Menurut Paul D. Spereiregen juga menekankan pada PENGERTIAN KOTA SEBAGAI
BENTUKAN FISIK yang secara keseluruhan saling mengisi satu sama lainnya dan
membentuk satu kesatuan penampilan kota.

g. Kota menurut Gallion and Eisner20, (1992 : 64) adalah suatu laboratorium tempat
pencarian kebebasan dilaksanakan dan percobaan-percobaan diuji mengenai
bentukan-bentukan fisik. Bentukan-bentukan fisik kota adalah perwujudan kehidupan
manusia ; polanya dijalin dengan pikiran dan tangan yang dibimbing oleh suatu tujuan.
Bentukan fisik kota terjalin dalam aturan yang juga mengemukakan lambang-lambang
pola-pola ekonomi, sosial, politis dan spiritual serta peradaban masyarakatnya. Kota
adalah tempat mengaduk kekuatan-kekuatan budaya dan rancangan kota merupakan
ekspresinya.

2. MORFOLOGI KOTA
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik suatu rumusan bahwa morfologi kota adalah
“SEBUAH PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI KOTA SEBAGAI SUATU
KUMPULAN GEOMETRIS BANGUNAN DAN ARTEFAK DENGAN
KONFIGURASI KESATUAN RUANG FISIK TERTENTU PRODUK DARI
PERUBAHAN SOSIO-SPATIALNYA “
Pemahaman kita tentang “morfologi kota” tidak dapat dilepaskan
dari wujud fisik kota yang terbentuk utamanya oleh kondisi fisik-
lingkungan maupun interaksi sosial – ekonomi masyarakat yang
dinamis. Sebagai sebuah cabang ilmu geografi dan arsitektur, morfologi
mempelajari perkembangan bentuk fisik di kawasan perkotaan, yang tidak
hanya terkait dengan arsitektur bangunan, namun juga sistem sirkulasi,
ruang terbuka, serta prasarana perkotaan (khususnya jalan sebagai
pembentuk struktur ruang yang utama). Secara garis besar, wujud fisik
kota tersebut merupakan manifestasi visual dan parsial yang
dihasilkan dari interaksi komponen-komponen penting
pembentuknya yang saling mempengaruhi satu8 sama lainnya
(Allain, 2004).
Secara garis besar Hadi Sabari Yunusmenitik beratkan kajian morfologi pada eksistensi
keruangan dari bentuk-bentuk wujud ciri-ciri atau karakteristik kota yaitu analisis
bentuk kota dan faktor-faktor yang mempengaruhinya meliputi ;
(1) BENTUK-BENTUK KOMPAK ; bentuk bujur sangkar (the square cities), bentuk empat
persegi panjang (the rectangular cities), bentuk kipas (fan shaped cities), bentuk bulat
(rounded cities), bentuk pita (ribbon shaped cities), bentuk gurita atau bintang (octopus / star
shaped cities), bentuk tidak berpola (unpatterned cities),
(2) BENTUK TIDAK KOMPAK ; bentuk terpecah (fragmented cities), bentuk berantai
(chained cities), bentuk terbelah (split cities), bentuk stellar (stellar cities),
(3) PROSES PEREMBETAN (urban sprawl) ; perembetan konsentris, perembetan
memanjang, dan perembetan meloncat,
(4) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BENTUK KOTA ; faktor bentang
alam/geografis, sosial, ekonomi, transportasi dan regulasi.
 Herbert, lingkup kajian morpologi kota ditekankan pada bentuk bentuk fisikal dari
lingkungan kekotaan yang dapat diamati dari kenampakannya meliputi unsur
(1) sistem jalan-jalan yang ada,
(2) blok-blok bangunan baik daerah hunian ataupun bukan (perdagangan/industri),
(3) bangunan-bangunan individual.
 smailes menekankan lingkup kajian morfologi meliputi:
(1) penggunaan lahan (land use)
(2) pola-pola jalan (street) dan
(3) tipe-tipe bangunan.
(architectural style of buildings & their design). Dari sinilah pertama kalinya muncul istilah
Townscape..
Johnson24 (1981) memfokuskan pada kajian
(1) rencana jalan (The plan of streets),
(2) tata bangunan (Buildings), dan
(3) kaitan fungsional jalan dan bangunan (Fungtions performed by its streets, and buildings).
Hamid Sirvani membahas kota dari elemen-elemen fisiknya yang meliputi
(1) penggunaan lahan (land use),
(2) bentuk dan massa bangunan (building form and massing)
(3) sirkulasi dan parkir (circulation and parking),
(4) ruang terbuka (open space),
(5) jalur pedestrian (pedestrian way),
(6) dukungan aktivitas (activity support),
(7) tata informasi (Signage), dan (
(8) preservasi (preservation).
Le Corbusier, Charta Athen memfokuskan kajian kota sebagai konfigurasi massa
Sedangkan Rob krier mengemukakan kota sebagai konfigurasi ruang. Studi ini
kelompokkan dalam teori figure-ground yang memfokuskan pada hubungan perbandingan
tanah/lahan yang ditutupi bangunan sebagai massa yang padat (figure) dengan void-void
terbuka (ground). Teori dan metode ini meliputi analisis ;
(1) pola,
(2) tektur
(3) solid-void sebagai elemen perkotaan.
MORFOLOGI berarti ilmu tentang bentuk. Dalam kontek perkotaan, Carmona et al
(2003: 61) berpendapat bahwa morfologi adalah STUDI MENGENAI FORM DAN
SHAPE DARI LINGKUNGAN PERMUKIMAN.
Form berarti BENTUK YANG DAPAT DIAMATI DAN MERUPAKAN
KONFIGURASI DARI BEBERAPA OBJEK, SEMENTARA SHAPE ADALAH FITUR
GEOMETRIK ATAU BENTUK EKSTERNAL DAN OUTLINE DARI SEBUAH
BENDA. Meskipun memiliki pengertian yang hampir sama, kedua kata ini (form dan shape)
memiliki pemahaman dasar yang berbeda, dimana FORM MENEGASKAN BENTUK
YANG TERDIRI DARI BERBAGAI UNSUR DAN MASING-MASING UNSUR
DAPAT DIAMATI SECARA JELAS KARAKTERISTIKNYA SERTA SECARA
VISUAL masing-masing unsur tersebut berada dalam satu kesatuan (konfigurasi). Sebagai
contoh: sebuah koridor jalan secara visual terbentuk dari deretan bangunan dengan ketinggian
tertentu dan tersusun dalam jarak tertentu dari batas jalan.
Shape menekankan BENTUK EKSTERNAL DARI FORM, ATAU DENGAN
KATA LAIN SILUET YANG DALAM KONTEKS TOWNSCAPE SERING DISEBUT
SEBAGAI SKYLINE. Sekumpulan objek yang terletak di atas permukaan tanah akan
membentuk pola tertentu (shape), seperti linier, grid, konsentris, radial, klaster, dan lain
sebagainya.
Kata kunci lainnya adalah ‘LINGKUNGAN PERMUKIMAN’. Kata kunci ini
demikian penting sebab dalam literatur-literatur perencanaan dan perancangan kota
disebutkan bahwa peradaban dimulai dari kegiatan bermukim. Kompleksitas dalam
pertumbuhan permukiman kemudian membentuk unit-unit lingkungan yang lebih besar yaitu
kota. Jadi lingkungan kota tidak akan dapat dipisahkan dari lingkungan permukiman.
MORFOLOGI BUKAN KAJIAN YANG STATIS, dimana hanya mempelajari
bentuk fisik seperti ketinggian bangunan, susunan jaringan jalan, serta komposisi dan
proporsi bangunan dalam suatu bentang kota (townscape), melainkan justru berusaha
menggali proses yang melatarbelakangi perubahan dan dinamika terbentuknya
lingkungan perkotaan dengan lingkungan fisik sebagai representasinya. Dengan
demikian dengan mempelajari morfologi, seorang perancang kota dapat tanggap akan
keberadaan pola-pola lokal dari proses terbentuk dan terbangunnya suatu lingkungan
perkotaan (Carmona et al. 2003: 61).
Morfologi terdiri dari dua suka kata yaitu MORF yang berarti bentuk dan LOGOS
yang berarti ilmu. Secara sederhana morfologi kota BERARTI :
 ILMU YANG MEMPELAJARI PRODUK BENTUK-BENTUK FISIK KOTA
SECARA LOGIS.
 PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI BENTUK LOGIS SEBUAH KOTA
SEBAGAI PRODUK PERUBAHAN SOSIO-SPATIAL. Disebabkan karena setiap
karakteristik sosial-spatial di setiap tempat berbeda-beda maka istilah morfologi sangat
erat kaitannya dengan istilah tipologi.
 Markus Zahn; memberi pengertian istilah MORFOLOGI SEBAGAI FORMASI
SEBUAH OBJEK BENTUK KOTA DALAMSKALA YANG LEBIH LUAS.
Morfologi biasanya digunakan untuk SKALA KOTA DAN KAWASAN.
TIPOLOGI SEBAGAI KLASIFIKASI WATAK ATAU KARAKTERISTIK
DARI FORMASI OBJEK-OBJEK BENTUKAN FISIK KOTA DALAM SKALA
LEBIH KECIL. Istilah tipologi lebih banyak digunakan untuk mendefinisikan bentuk
elemen-elemen kota seperti jalan, ruang terbuka hijau, bangunan dan lain sebagainya.

1. KOMPONEN MORFOLOGI
Meskipun masing-masing mahzab di atas memiliki fokus amatan yang berbeda, tetapi
masingmasing menerapkan disiplin yang sama, yaitu adanya skala observasi dan komponen
observasi. Skala observasi merupakan penjenjangan tingkat kedetailan pengamatan (resolusi)
yang berimplikasi pada jenis komponen fisik dasar yang observasi.
Secara umum, resolusi pengamatan dalam analisis morfologi antara lain terdiri dari :
 PLOT, merupakan skala pengamatan morfologi dengan resolusi yang paling rendah
karena hanya fokus ke komponen-komponen fisik yang berada pada potongan
lahan yang sama. Objekobjek dalam sebuah plot tidak dibatasi oleh ruas jalan apapun,
dengan demikian kita dapat menemukan komponen bangunan dan guna lahan di
dalamnya. Plot yang terdiri dari beberapa beberapa kapling biasanya disebut blok.
• DISTRIK, merupakan sekumpulan plot beserta komponen fisik di dalamnya yang
dihubungkan oleh ruas-ruas jalan. Distrik sudah dapat memperlihatkan kompleksitas
kawasan karena didalamnya dapat diamati sebaran blok dengan karakteristik fisik
lingkungan dan demografi.
• KOTA, secara morfologis merupakan satu kesatuan wilayah dengan kompleksitas
struktur dan pola ruang sebagai pusat permukiman.
• WILAYAH, merupakan satu kesatuan wilayah yang tersusun dari pusat-pusat
permukiman secara berjenjang.
2. TEORI MORFOLOGI KOTA
Smailes (1955) dalam Yunus (1994) memperkenalkan 3 unsur
morfologi kota yaitu penggunaan lahan, pola-pola jalan dan tipe
atau karakteristik bangunan.
Sementara itu Conzen (1962) dalam Yunus (1994) juga mengemukakan
unsur -unsur yang serupa dengan dikernukakan Smailes, yaitu plan,
architectural style and land use.
Berdasarkan pada berbagai macam unsur morfologi kota yang
dikemukakan di atas, terlihat bahwa secara umum unsur-unsur morfologi
kota berkisar antara karakteristik bangunan, pola jalan dan
penggunaan lahan.Unsur-unsur ini yang paling sering igunakan untuk
mengenali suatu daerah secara, morfologis, kota atau bukan
A. Komponen Morfologi ; Muratorian.
Pendekatan ini menganggap tipologi bangunan merupakan akar dari bentuk kota (Moudon,
1997). Dengan demikian, selain mempergunakan empat skala amatan (bangunan/plot, distrik,
kota dan wilayah), pendekatan ini mempergunakan empat aspek analisis, antara lain :
1. ELEMEN DESAIN, yaitu komponen-komponen yang mendukung kelengkapan
desain, misalnya bangunan terdiri dari atap, pintu, dan lain sebagainya; suatu distrik
terdiri dari bangunan-bangunan dan ruang terbuka, dan lain sebagainya.
2. STRUKTUR INTERNAL ELEMEN, yaitu posisi atau hubungan antara elemen
desain. Misalnya sebaran ruang tebuka hijau menurut sebaran bangunan, dan lain
sebagainya.Hubungan antara bentuk dan kegunaan, yaitu komponen yang menjelaskan
bagaimana dimensi dan proporsi ruang serta komponen fisik lainnya dapat
mengakomodasi fungsi ruang.
3. ASPEK FORMAL ATAU PERWUJUDAN FISIK, yaitu bagaimana desain
bangunan dan kawasan secara fisik mencerminkan makna dan kegunaan. Misalnya
pemakaian tutupan lahan berupa rumput tanpa pagar pada suatu ruang terbuka
menandakan bahwa rumput dapat dipergunakan sebagai alas duduk atau tempat
beristirahat, berbeda halnya apabilakawasan berumput ini diberi pagar
vegetasi atau komponen pembatas lainnya.
Dalam analisisnya, ada beberapa dalil yang harus diperhatikan, antara lain :

 BANGUNAN DAN LINGKUNGAN TIDAK DAPAT DIPISAHKAN.


 BAGIAN DARI SEBUAH KOTA TIDAK DAPAT DIPISAHKAN
DARI KOTA SECARA KESELURUHAN.
 SEBUAH KOTA HANYA DAPAT DIPAHAMI DARI DIMENSI
SEJARAHNYA KARENA KOTA MUNCUL SEBAGAI SUKSESI
DARI REAKSI AN PROSES PERTUMBUHAN.

B. KOMPONEN MORFOLOGI; CONZENIAN.

M.G.R. Conzen memandang bahwa sangat perlu untuk memperhatikan empat


komponen morfologi (Carmona et al. 2003: 61), antara lain :
1. GUNA LAHAN. GUNA LAHAN (LAND USES) MERUPAKAN KOMPONEN
POKOK DALAM PERTUMBUHAN KAWASAN. Komponen ini dianggap
sebagai generator sistem aktivitas (activity system) yang sangat menentukan
pola dan arah pertumbuhan kawasan (Kaiser, 1995). Komponen ini memiliki
tingkat temporalitas yang sangat tinggi dalam hal dapat literatur dengan
mudah berubah, terutama dikaitkan dengan nilai ekonomi yang dimilikinya.
Guna lahan sangat mempengaruhi perwujudan fisik kawasan, terutama
dalam menentukan pengembangan kawasan terbangun dan tidak terbangun.
Beberapa penelitian dan literatur menjelaskan bagaimana tingkat
pencampuran (mixture) guna lahan sangat mempengaruhi vitalitas kawasan,
nilai ekonomi dan beberapa komponen kualitas lingkungan lainnya (Choi dan
Sayyar, 2012; Barton et al, 2003:194).
2. STRUKTUR BANGUNAN. KOMPONEN INI MERUPAKAN REPRESENTASI
DARI TYPOLOGY DALAM ANALISIS MORFOLOGI DAN DAPAT DIBAHAS DALAM
DUA ASPEK, ANTARA LAIN PENATAAN MASSA DAN ARSITEKTUR BANGUNAN.
Penataan massa terkait dengan bagaimana bangunan tersebar di dalam
tapak berikut kepadatan dan intensitasnya sementara arsitektur bangunan
lebih perwujudan fisik ruang dan bangunan yang merepresentasikan budaya,
sejarah dan kreatifitas suatu komunitas.
3. POLA PLOT. KOMPONEN INI DAPAT DIBAHAS DARI ASPEK UKURAN
(DIMENSI) DAN SEBARANNYA. Ukuran plot akan mempengaruhi intensitas
pemanfaatan lahannya sementara sebaran plot akan mempengaruhi
pembentukan jaringan penghubung. Secara umum, pola plot ini sangat
dipengaruhi oleh potensi alamiah terutama kontur dan kondisi geologi. Secara
hukum, plot dibatasi oleh batas kepemilikan yang sangat mempengaruhi pola
penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan ruang.
4. JARINGAN JALAN. KOMPONEN INI MERUPAKAN FUNGSI DERIVATIF
DARI GUNA LAHAN. SEBAGAI JALUR PENGHUBUNG, JARINGAN JALAN
SANGAT MEMPENGARUHI EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS FUNGSI
KAWASAN. Jaringan jalan sebagai representasi dari ruang publik dianggap
sebaga generator inti dari vitalitas kawasan sebagaiman dijelaskan dalam
teori space syntax (Hillier dan Hanson, 1984; Hillier, 2007).

C. KOMPONEN TYPO-MORPHOLOGY.
Moudon menjelaskan bahwa pendekatan TIPO-MORFOLOGI merupakan
refleksi dari dialektik antara tipologi bangunan dengan morfologi kota .
Tradisi dialektik ini menghendaki adanya analisis untuk menemukan kebenaran
mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam perwujudan lingkungan bangunan
secara horisontal (plan / morphology) dan vertikal (perwujudan desain
arsitektural).
Dengan demikian, pendekatan ini mempergunakan komponen-komponen
yang dipergunakan dalam pendekatan tipologi dan morfologi. Dalam kajian
kontemporer mengenai perkotaan, pendekatan ini dapat dipergunakan untuk
menguraikan komponen place dengan memasukkan komponen baru yaitu
persepsi mengenai makna. Carmona et al (2003: 89) menjelaskan konsep
yang dipergunakan Kevin Lynch dalam menguraikan komponen place dengan
mempergunakan tiga buah atribut, yaitu:
identitas,
struktur
makna.
Ketiga atribut ini secara jelas mendefenisikan susunan ruang perkotaan dalam
lima tipologi, yaitu ;
district,
edge,
path,
landmark
node
(Zahnd, 1999).
4. MORFOLOGI DAN PERTUMBUHAN KOTA

Pertumbuhan kota dapat dipahami dengan melakukan pengamatan pada


komponenkomponen morfologi, baik dengan mempergunakan PENDEKATAN
CONZENIAN MAUPUN TIPO-MORFOLOGI.
SECARA FUNGSIONAL DAN EKONOMI, PERTUMBUHAN KAWASAN
DIPENGARUHI OLEH GUNA LAHAN, BANGUNAN, PLOT DAN
JARINGAN JALAN. Kawasan perkotaan terbetuk dari sistem aktivitas yang
secara kompleks dihubungkan oleh jaringan pergerakan. Interaksi antara kedua
sistem ini, sistem aktivitas dan sistem pergerakan, membuat kawasan perkotaan
memiliki nilai ekonomi atau nilai properti yang distribusinya sangat dipengaruhi
oleh karakteristik fisik alamiah dan keterdukungan kedua sistem tersebut.
Conzenian memandang pertumbuhan kota dapat diamati secara geografis
dibantu oleh ilmu peta (kartografi). Dengan mempergunakan peta, sebaran
potensi fisik alamiah dan buatan dapat dengan mudah diobservasi dan dianalisis.
Guna lahan, kepadatan bangunan, ukuran dan penguasaan lahan serta jaringan
jalan dapat dipetakan dan dijelaskan secara logis hubungannya satu sama lain.
Sama halnya dengan pendekatan Conzenian, pendekatan tipo-morfologi juga
berkembang dengan adanya ilmu dan teknik pemetaan. Dalam pendekatan ini,
arsitektur kota dipandang sebagai SATU KESATUAN DENGAN KOMPONEN-
KOMPONEN TEKNIS (FIRMNESS), KOMPONEN FUNGSIONAL
(COMMODITY) DAN ESTETIKA (DELIGHT). Konsep yang dahulu diperkenalkan
oleh Vitruvius ini (Adams dan Tiesdell, 2013) masih dipandang relevan untuk
menanggapi kompleksitas pemasalahan perkotaan dimana secara geografis,
aspek-aspek fisik perkotaan harus dapat diparalelkan dengan aspek-aspek
kognitif penghuninya. Dalam pendekatan tipo-morfologi, pertumbuhan kota
harus dapat dikendalikan sedemikian rupa agar pemahaman (kognisi) penghuni
akan identitas, struktur dan makna ruang dapat seimbang dengan pertumbuhan
motor penggerak ekonomi dan aktivitas perkotaan.
Dewasa ini teah berkembang beberapa teori kontemporer yang berusaha
menjelaskan bagaimana ruang secara geografis dapat bertumbuh dan
mempengaruhi (atau dipengaruhi) oleh perilaku penghuninya. Para
environmentalis mempergunakan iklim mikro (micro climate) sebagai salah satu
parameter perubahan dan pertumbuhan kota yang diyakini mempengaruhi
kognisi dan aktivitas penghuninya, selain juga mempengaruhi keberlanjutan
(sustainability) lingkungan.
Morfologi kota mempengaruhi iklim mikro dengan beberapa cara (Carmona et
al. 2003: 85), antara lain:
Konfigurasi ruang, yang akan mempengaruhi efisiensi energi, terutama
energi pergerakan
dan polusi.
Keterbukaan terhadap cahaya matahari dan pengendalian angin melalui
penataan massa
bangunan.
Pengendalian kebisingan dan polusi.
Pengendalian suhu udara, dimana fenomena urban heat island telah
menjadi isu global di kawasan perkotaan.
Aspek perkotaan lain yang juga masih terkait kelestarian dan kesehatan
alam adalah energi.Morfologi kota mempengaruhi efisiensi energi dalam
beberapa cara (Leang, 2000) antara lain :
Pemanfaatan energi surya yang sangat dipengaruhi oleh penataan
bangunan meliputi arah hadap bangunan, ketinggian bangunan dan topografi.
Pemanfaatan dan pengolahan air bersih dan air tanah yang sangat
dipengaruhi oleh potensi alamiah kawasan perkotaan dan daya dukung
lingkungan.
Pengendalian angin yang sangat dipengaruhi oleh penataan blok bangunan.
Efisiensi dalam sistem infrastruktur, baik terkait sistem pergerakan,
pengelolaan sampah, dan lain sebagainya.
Pendekatan lain yang merupakan bagian dari perkembangan ilmu
morfologi adalah teori space syntax (Hillier dan Hanson, 1984; Hillier 2007;
Carmona et al, 2003:171). Teori ini memberi penjelasan logis terhadap
konfigurasi ruang dalam kaitannya dengan perilaku pergerakan manusia.
Pendekatan ini menganggap konfigurasi ruang sebagai akar atau
generator pertumbuhan kawasan yang secara logis berkaitan
dengan persepsi dan perilaku penghuni serta berimplikasi pada
beberapa aspek ekonomi ruang kota seperti nilai guna lahan .
Dalam kajian perkotaan kontemporer, penelitian konfigurasi ruang dengan
mempergunakan pendekatan space syntax diarahkan untuk membangun konsep
yang kuat dalam menggabungkan kawasan lama (historic district) dengan
kawasan baru (Karimi, 2000). Susunan ruang dianggap sebagai bentuk warisan
budaya yang mengalami perkembangan dalam jangka waktu yang lama. Dalam
hal ini, budaya tidak dianggap sebagai artefak yang mati (Hillier, 2007:30),
tetapi sebagai unsur organik yang harus dijaga integritasnya dengan lingkungan
yang baru agar tujuan fungsional, sosial budaya dan lingkungan dalam
pembentukan kawasan perkotaan dapat tercapai.

Morfologi sebagai formasi sebuah objek bentuk kota dalam skala yang lebih luas. Morfologi
perkotaan adalah penataan atau formasi keadaan kota yang sebagai objek dan sistem yang dapat diselidiki
secara struktural, fungsional, dan visual (Zahnd, 1999). Tiga unsur morfologi kota yaitu unsur-unsur
penggunaan lahan, pola-pola jalan dan tipe-tipe bangunan. Dari sinilah pertama kali muncul
istilah “Townscape” (Smailes, 1955).
DARI PENGERTIAN-PENGERTIAN TERSEBUT, MORFOLOGI KOTA
SECARA SEDERHANA DAPAT DIARTIKAN SEBAGAI :
 BENTUK-BENTUK FISIK KOTA DENGAN DIKETAHUI SECARA
STRUKTURAL, FUNGSIONAL DAN VISUAL.
 MORFOLOGI KOTA SATU DENGAN KOTA LAIN DAPAT BERBEDA-BEDA
SEHINGGA MORFOLOGI KOTA INI MENJADI PEMBENTUK
KARAKTERISTIK ATAU CIRI KHAS SUATU KOTA.

5. KAJIAN BENTUK-BENTUK KOTA

MORFOLOGI BIASANYA DIGUNAKAN UNTUK SKALA KOTA DAN KAWASAN.


Morfologi kota pada eksistensi keruangan dari bentuk-bentuk wujud karakteristik kota yaitu analisa bentuk
kota dan faktorfaktor yang mempengaruhinya (Yunus, 2000). Jadi morfologi kota tidak hanya sebatas
menganalisa bentuk kota tetapi juga mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk kota
tersebut. Birkhamshaw, Alex J and Whitehand (2012) menyatakan bahwa dalam aspekaspek urban
morfologi, penetapan karakteristik perkotaan dari berbagai jenis bentuk adalah hal yang mendasar terutama
dalam kaitannya untuk membedakan dan melakukan pemetaan wilayah yang kebijakan setiap wilayah juga
berbeda-beda. Dengan adanya teori tersebut maka dalam suatu penelitian morfologi kota, memerlukan
kajian morfologi kota dengan berbagai jenis bentuk atau aspek.
Menurut Conzen dalam Birkhamshaw, Alex J and Whitehand (2012), morfologi kota memiliki tiga
komponen yaitu :
1. Ground Plan (pola jalan, blok bangunan),
2. Bentuk bangunan (tipe bangunan)
3. Utilitas lahan/bangnan.
Analisa bentuk kota meliputi:
A. BENTUK-BENTUK KOMPAK
Terdiri atas:
 bentuk bujur sangkar (the square cities),
 bentuk empat persegi panjang (the rectangular cities),
 bentuk kipas (fan shaped cities),
 bentuk bulat (rounded cities),
 bentuk pita (ribbon shaped cities),
 bentuk gurita atau bintang (octopus/star shaped cities),
 bentuk tidak berpola (unpatterned cities).
B.BENTUK-BENTUK TIDAK KOMPAK
Terdiri atas :
 bentuk terpecah (fragmented cities),
 bentuk berantai (chained cities),
 bentuk terbelah (split cities),
 bentuk stellar (stellar cities).
Faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk kota yaitu faktor bentang alam atau geografis, transportasi,
sosial, ekonomi dan regulasi. Morfologi kota selain dilihat dari sisi bentuk kota dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya juga dapat dilihat berdasarkan tipe morfologi kota (Urban Morphology Type). Tipe
morfologi kota dapat dirinci berdasarkan penggunaan lahan utama/ Primary Land Use) (Philip James dan
Daniel Bound, 2009). Tipe morfologi kota ini sering dikenal sebagai penggunaan lahan. Teori tipe
morfologi kota ini sering dikenal sebagai fungsi bangunan. Kajian morfologi kota secara struktural,
fungsional dan visual serta perancangan kota dapat dijelaskan sebagai berikut:
KAJIAN MORFOLOGI KOTA

(1) KAJIAN MORFOLOGI KOTA SECARA STRUKTURAL


(2) KAJIAN MORFOLOGI KOTA SECARA FUNGSIONAL
(3) KAJIAN MORFOLOGI KOTA SECARA VISUAL

5.1.KAJIAN MORFOLOGI KOTA SECARA STRUKTURAL


Analisa struktural menyatakan adanya pemisahan tingkatan-tingkatan yang dikaitkan dengan
tastes, preferences dan life styles. Seperti yang diungkapkan oleh Alonso yang menggunakan
pembagian zona konsentris dari Burgess untuk menjelaskan spatial distribution-residential mobility (dalam
Yunus, 2000).
5.2. KAJIAN MORFOLOGI KOTA SECARA FUNGSIONAL
Pada tahun 1748 Giambattista Nolli (Zahnd, 1999), seorang arsitek Italia, menemukan suatu
cara analisa suatu tekstur perkotaan dari segi fungsi massa dan ruang serta bagaimana
hubungannya secara fungsional. Adapun cara yang harus dilakukan yaitu dengan menunjukkan
secara analitis semua massa dan ruang perkotaan yang bersifat publik (dan semipublik) ke dalam suatu
gambaran figure/graund secara khusus. Cara analisa tersebut diberi nama Nolliplan yaitu semua massa
yang bersifat publik atau semipublik tidak lagi diekspresikan sebagai massa (dengan warna hitam),
melainkan digolongkan bersama tekstur ruang (warna putih).
5.3. KAJIAN MORFOLOGI KOTA SECARA VISUAL
Kajian morfologi kota secara visual dapat dilihat pada analisa linkage (penghubung)
yang membahas hubungan sebuah tempat dengan yang lain dari berbagai aspek
sebagai suatu generator (pengerak) perkotaan. Dalam analisa linkage dikemukakan tiga
pendekatan diantaranya linkage visual. Dalam linkage yang visual dua atau lebih banyak fragmen (bagian
atau pecahan sesuatu) kota dihubungkan menjadi satu kesatuan secara visual. Lima elemen.

6. ANALISA PERANCANGAN KOTA


Seperti yang dikemukkan dalam buku Perancangan Kota Secara Terpadu yang ditulis oleh
Markus Zahnd bahwa, di dalam perancangan kota dikenal tiga kelompok analisa perancangan
kota (figure/ground, lingkage, place) yaitu sebagai berikut:a. ANALISA FIGURE/
GROUNDPada analisa ini meliputi pola sebuah tempat yang membahas mengenai fungsi
dan sistem pengaturan, dua pandangan pokok terhadap pola kota yang meliputi organisasi
lingkungan, figure yang figuratif dan ground yang figuratif serta sistem poche, tekstur figure/
ground.b. ANALISA LINKAGEAda tiga macam cara penghubung, yaitu linkage visual,
linkage struktural, serta linkage bentuk kolektif. Semua bentuk tersebut merupakan
dinamika perkotaan yang dianggap sebagai generator kota.c. ANALISA PLACE
Pada analisa ini akan dibahas mengenai makna sebuah kawasan sebagai sebuah tempat
perkotaan. Analisa Place pada penelitian ini adalah analisa konteks kota dan citra kota yang
terdiri dari path (jalur), edge (tepian), district (kawasan), node (simpul), landmark (tengeran).
7. ANALISA MORFOLOGI SECARA STRUKTURAL
Analisis morfologi secara struktural yang dilihat dari elemen morfologi kota. Adapun elemen tersebut
adalah:
a. BANGUNAN-BANGUNAN
Pada bangunan-bangunan menjelaskan mengenai fungsi bangunan atau disebut dengan peruntukan
bangunan, serta menjelaskan mengenai hubungan antar bangunan. Fungsi atau peruntukan bangunan
di lokasi studi penelitian terdiri dari perdagangan dan jasa, perkantoran, fasilitas umum, perumahan dan
industri.
b. KAPLING ATAU KADASTER
Kapling atau kadaster merupakan elemen morfologi yang paling lama bertahan. Kebanyakan
kapling yang berada pada lokasi penelitian, khususnya yang berada pada pusat kota berupa kapling
tunggal yang terletak sebagai deretan atau sebagai koridor-koridor pada jalan-jalan besar dipusat kota.
Blok kota yang ada di lokasi penelitian meliputi blok untuk perumahan, blok perdagangan dan jasa, serta
blok fasilitas umum.
c. POLA JARINGAN JALAN
Pola transportasinya adalah konsentris radial dengan sistem lingkar dalam dengan pola grid.Ditinjau dari
fungsi pelayanannya, jaringan jalan Kota Malang di bedakan atas dua sistem utama yaitu sistem primer dan
sekunder. Sistem primer merupakan penghubung antara fungsi primer di Kota Malang sedangkan sistem
sekunder merupakan penghubung fungsi sekunder dalam Kota malang. Jenis jaringan jalan yang ada pada
lokasi penelitian dibagi atas jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal/ jalan lingkungan, sedangkan pola
jaringan jalannya adalah pola linier arah Utara-Selatan serta pola grid pada beberapa perumahan. Secara
keseluruhan transportasi memusat pada kawasan CBD (pusat kota) dan alun-alun kotak di Jalan Tugu yang
merupakan kawasan dengan hirarki tinggi di Kecamatan Klojen. Apabila ditinjau dari fungsi pelayanannya
maka jaringan jalan yang ada di lokasi penelitian ternasuk dalam sistem sekunder yang
merupakan penghubung fungsi sekunder dalam Kota Malang. Sistem jaringan jalan sekunder di lokasi
penelitian meliputi jalan arteri sekunder, jalan kolektor sekunder dan lokal sekunder serta beberapa jalan
lingkungan.

Kota Malang sebagai suatu kota dengan morfologi/bentuk bunga


8. PROSES PERLUASAN AREAL KEKOTAAN

Secara garis besar ada tiga macarn PROSES PERLUASAN AREAL


KEKOTAAN (urbansprawl) menurut Hadi Sabari Yunus, yaitu:
1. PEREMBETAN KONSENTRIS
Tipe pertama ini dikemukakan oleh Haevey Clark dengan. Jenis
perembetan ini berlangsung paling lambat karena perembetan berjalan
perlahan-lahan terbatas pada semua bagian luar kenampakan fisik kota.
Proses perembetan ini menghasilkan bentuk kota yang relatif kompak dan
peran transportasi tidak begitu besar.
2. PEREMBETAN MEMANJANG
Tipe ini dikenal dengan RIBBON DEVELOPMENT LINEAR yang
menunjukkan, ketidak merataan perembetan areal perkotaan di semua
bagian sisi luar dari kota utarna. Perernbetan paling cepal terlillat
disepapJang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat
menjari dari pusat kota.
3. PEREMBETAN YANG MELONCAT
Tipe ini dikenal sebagai leaf ftog development dan dianggap paling
merugikan. Hal ini karena perembetan ini tidak efisien dalam arti
ekonorni, tidak mempunyai estetika dan tidak. menarik. Perkernbangan
lahan terjadi berpencaran secara sporadis dan menyulitkan
pernerintah kota untuk membangun prasarana fasilitas
kebutuhan hidup penduduknya. Tipe ini sangat cepat menimbulkan
darnpak negatif terhadap kegiatan pertanian, memunculkan kegiatan
spekulasi lahan, dan menyulitkan upaya penataan ruang kota.

9. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH DALAM PERKEMBANGAN


KOTA

Aspek perkernbangan dan pengernbangan wilayah tidak dapat lepas


dari adanya ikatan-ikatan ruang perkernbangan wilayah secara
geograris. Menurut Yunus (1981) proses perkembang,ini dalam arti luas
tercermin. Chapin (dalam Soekonjono, 1998) mengemukakan ada 2 hal
yang mempengaruhi tuntutan kebutuhan ruang yang selanjutnva
menyebabkan perubahan penggunaan lahan yaitu:
1. Adanya perkembangan penduduk dan perekonomian,
2. Pengaruh sistem aktivitas, sistem pengembangan, dan sistem
lingkungan.

Variabel yang berpengaruh dalarn proses perkembangan kota menurut


Raharjo (dalam Wdyaningsih, 2001), adalah:
1. Penduduk, keadaan penduduk, proses penduduk, lingkungan sosial
penduduk
2. Lokasi yang strategis, sehingga aksesibilitasnya tinggi
3. Fungsi kawasan perkotaan, merupakan fungsi dorminan yang
mampu menimbulkan
4. Kelengkapan fasilitas sosial ekonomi yang merupakan faktor
utama timbulnya
5. perkembangan dan pertumbuhan pusat kota
6. Kelengkapan sarana dan prasarana transportasi untuk
meningkatkan aksesibilitas penduduk ke segala arah
7. Faktor kesesuaian lahan
8. Faktor kemajuan dan peningkatan bidang teknologi yang
mempercepat proses pusat kota mendapatkan perubahan yang
lebih maju.
10. STRUKTUR TATA RUANG KOTA

Struktur tata ruang kota dapat membantu dalam memberi pernahaman


tentang perkernbangan suatu kota. Ada 3 (tiga) teori struktur tata ruang
kota yang berhubungan erat dengan perk embangain guna lahan kota dan
perkembangan kota, yaitu (Chapin,1979).

A. TEORI KONSENTRIK (concentriczone concept)


yang dikemukakan EW.Burkss.Dalam teori konsentrik ini, Burgess
mengemukakan bahwa bentuk guna lahan kota membentuk suatu zona
konsentris.
Dia mengemukakan wilayah kota dibagi dalam 5 (lima) zona
penggunaan lahan yaitu:
1. Lingkaran dalam terletak pusat kota (central business distric atau
CBD) yang
terdiri bangunan-bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar dan pusat
perbelanjaan
2. Lingkaran kedua terdapat jalur peralihari yang terdiri dari: rumah-
rumah sewaan,
kawasan industri, dan perumahan buruh
3. Lingkaran ketiga terdapat jalur wisma buruh, yaitu kawasan
perumahan untuk tenaga kerja pabrik.
4.Lingkaran keempat terdapat kawasan perumahan yang luas untuk
tenaga kerja kelas menengah
5.Lingkaran kelima merupakan zona penglaju yang merupakan
tempat kelas menengah dan kaum berpenghasilan tinggi.

B. TEORI SEKTOR (SECTOR CONCEPT)


yang dikemukakan oleh Hommer Hoyt. Dalam teori ini Hoyt
mengemukakan beberapa masukan tambahan dari bentuk guna lahan
kota yang berupa suatu penjelasan dengan penggunaan lahan
permukiman yang lebih memfokusan pada pusat kota dan
sepanjang jalan transportasi. Dalam teorinya ini,
Hoyt membagi wilayah kota dalam beberapa zona, yaitu:
1. Lingkaran pusat, terdapat pusat kota atau CBD
2. Sektor kedua terdapat kawasan perdagangan dan industri
3. Sektor ketiga terdapat kawasan tempat tinggal kelas rendah
4. Sektor keempat terdapat kawasan tempat tinggal kelas
menengah
5. Sektor kelima terdapat kawasan ternpat tinggal kelas atas.

C. TEORI BANYAK PUSAT (MULTIPLE-NUCLEI CONCEPT)


yang dikernukakan oleh R.D.McKenzie. Menurut McKenzie teori banyak
pusat ini didasarkan pada pengamatan lingkungan sekitar yang sering
terdapat suatu kesamaan pusat dalam bentuk pola guna lahan kota
daripada satu titik pusat yang dikemukakan pada teori sebelumnya.
Dalarn teori ini pula McKenzie menerangkan bahwa kota meliputi pusat
kota, kawasan kegiatan ekonomi, kawasan hunian dan pusat
lainnya. Teori banyak pusat ini selanjutnya dikembangkan oleh Chancy
Harris dan Edward Ullman yang kemudian membagi kawasan kota
menjadi beberapa Pusat kota atau CBD
(1)Kawasan perdagangan dan industri
(2) Kawasan ternpat tinggal kelas rendah
(3)Kawasan ternpat tinggal kelas menengah
(4)Kawasan tempat tinggal kelas atas
(5)Pusat industri berat
(6)Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran
(7)Kawasan tempat tinggal sub-urban
(8)Kawasan industri suburban

11. TIPE-TIPE STRUKTUR TATA RUANG KOTA


Menurut Yunus, tipe-tipe struktur tata ruang kota diatas merupakan
tipe struktur ruang yang berdasarkan pendekatan ekologikal. Pendekatan
ekologikal memandang manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai
hubungan interrelasi dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk
penggunahn lahan yaitu merupakan proses bertempat tinggal,
mengembangkan keturunan, dan tempat mencari makan (Yunus, 1999).
Struktur tata ruang kota juga dapat dijelaskan berdasarkan
pendekatan morfologikal, Beberapa sumber mengernukakan bahwa
tinjauan terhadap morfologi kota.ditekankan pada bentuk-bentuk- fisikal
dari lingkungan kekotaan dan hal ini dapat diamati dari kenampakan kota
secara fisikal yang antara lain tercermin pada sistern jalan- jalan yang
ada, blok-blok bangunan baik daerah hunian ataupun bukan
(perdagangan/industri) dan juga bangunan bangunan individual (Herbert,
1973 dalam Yunus,1999 J07).
Ada tujuh pola struktur tata ruang kota. yang didasarkan pada
pendekatan morfologikal ini (Hudson dalam Yunus, 2003) yaltu:
1. Bentuk satelit dan pusat-pusat baru.
2. Bentuk stelar atau radial
3. Bentuk cincin
4. Bentuk linier bermanik
5. Bentuk inti/kompak
6. Bentuk memencar
7. Bentuk kota. bawah tanah
Apabila pola jalan sebagai indikator morfologi kota, maka ada tiga sistem
pola jalan yang dikenal. (yunus, 2000: 142), yaitu:
1. Sistern pola jalan tidak teratur
2. Sistim pola jalan radial koilswitris
3. Sistem pola jalan bersudut siku/grid
12. KONSEP GUNA LAHAN

12.1. Pengertian Guna Lahan


Lahan merupakan sumber daya alam yang sangat. penting
bagi kehidupan manusia. Dikatakan sebagai sumber daya alam
yang penting karena lahan tersebut merupakan tempat nianusia
melakukan segala aktifitasnya.
Pengertian lahan dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi
fisik geografi, lahan adalah tempat dimana sebualh hunian mempunyai
kualitas fisik yang penting dalam penggunaannya. Sementara ditinjau dari
segi ekonomi lahan adalah suatu sumber daya alam yang mempunyai
peranan penting dalam produksi (Lichrield dan Drabkin, 1980).
Beberapa sifat atau karakteristik lahan yang dikemukakan oleh Sujarto
(1985) dan Drabkin (4980) adalah sebagai berikut:
1. Secara fisik, lahan merupakan aset ekonomi yang tidak
dipengaruhi oleh kemungkinan penurtman nilai dan harga, dan tidak
terpengaruhi oleh waktu, Lahan juga merupakan aset yang terbatas
dan tidak bertambah besar kecuali melalui reklamasi.
2. Perbedaan antara lahan tidak terbangun dan lahan terbangun
adalah lahan tidak terbangun tidak akan dipengarahi oleh
kemungkinan penurunan nilai, sedangkan lahan terbangun nilainya
cenderung turun karena penurunan nilai struktur bangunan yang ada
di atasnya. Tetapi penurunan nilai struktur bangunan juga dapat
meningkatkan nilai lahannya karena adanya harapan peningkatan
fungsi penggunaan lahan tersebut selanjutnya.
3. Lahan tidak dapat dipindahkan tetapi sebagai substitusinya
intensitas penggunaan lahan dapat ditingkatkam. Sehingga faktor
lokasi untuk setiap jenis penggunaan lahan tidak sama.
4. Lahan tidak hanya berfungsi untuk tujuan produksi tetapi juga
sebagai investasi jangka panjang (long-ferm investment) atau
tabungan. Keterbatasan lahan dan sifatnya yang secara fisik tidak
terdepresiasi membuat lahan menguntungkan sebagai tabungan.
Selain itu investasi lahan berbeda dengan investasi barang ekonomi
yang lain, dimana biaya perawatannya (maintenance cost) hanya
meliputi pajak dan interest charges. Biaya ini relatif jauh lebih kcill
dibandingkan dengan keuntiungan yang akan diperoleh dari penjualan
lahan tersebut.
Penggunaan lahan adalah suatu proses yang berkelanjutan dalam
pemanfaatan lahan bagi maksud-maksud pembangunan secara
optimal dan efisien (Sugandhy, 1989) selain itu penggunaan lahan
dapat diartikan pula suatu aktivitas manusia pada lahan yang langsung
berhubungan dengan lokasi dan kondisi lahan (Soegino, 1987).
Penggunaan lahan dapat diartikan juga sebagai wujud atau bentuk usaha
kegiatan, pemanfaatan suatu bidang tanah pada suatu waktu (Jayadinata,
1992).

12.2.Jenis Penggunaan lahan


Lahan kota terbagi menjadi lahan terbangun dan lahan tak terbangun.
Lahan Terbangun terdiri dari dari perumahan, industri, perdagangan, jasa
dan perkantoran.
Sedangkan lahan tak terbangun terbagi menjadi lahan tak terbangun
yang digunakan untuk aktivitas kota (kuburan, rekreasi, transportasi,
ruang terbuka) dan lahan tak terbangun non aktivitas kota (pertanian,
perkebunan, area perairan, produksi dan penambangan sumber daya
alam). Untuk mengetahui penggunaan lahan di suatu, wilayah, maka perlu
diketahui komponen komponen penggunaan lahannya. Berdasarkan jenis
pengguna lahan dan aktivitas yang dilakukan di atas lahan tersebut, maka
dapat diketahui komponen-komponen pembentuk guna lahan (Chapin dan
Kaiser, 1979).
Menurut Maurice Yeates, komponen penggunaan lahan suatu wilayah
terdiri atas (Yeates, 1980):
1.Permukiman
2. Industri
3. Komersial
4. Jalan
5. Tanah publik
6. Tanah kosong
menurut Hartshorne, komponen penggunaan lahan dapat dibedakan
menjadi (Hartshorne, 1980):
1. Private Uses, penggunaan lahan untuk kelompok ini adalah
penggunaan lahan permukiman, komersial, dan industri.
2. Public Uses, penggunaan lahan untuk kelompok ini adalah penggunaan
lahan rekreasi dan pendidikan.
3. Jalan
menurut Lean dan Goodall , 1976), komponen penggunaan lahan
dibedakan menjadi
1. Penggunaan lahan yang menguntungkan Penggunaan lahan yang
menguntungkan tergantung pada penggunaan lahan yang tidak
menguntungkan. Hal ini disebabkan guna lahan yang tidak
menguntungkan tidak dapat bersaing secara bersamaan dengan lahan
untuk ftmgsi yang menguntungkan. Komponen penggunaan lahan ini
meliputi penggunaan lahan untuk pertokoan, perumahan, industri,
kantor dan bisnis. Tetapi keberadaan. guna lahan ini tidak lepas dari
kelengkapan penggunaan lahan lainnya yang cenderung tidak
menguntungkan, yaitu penggunaan lahan untuk sekolah, rumah sakit,
taman, tempat pembuangan sampah, dan sarana prasarana.
Pengadaan sarana dan prasarana yang Iengkap merupakan suatu
contoh bagaimana. guna lahan yang menguntungkan dari suatu lokasi
dapat inempengaruhi guna lahan yang lain. Jika lahan digunakan untuk
suatu tujuan dengan membangun kelengkapan untuk guna.lahan
disekitarnya, maka hal ini dapat meningkatkan nilai keuntungan secara
umum, dan meningkatkan nilai-lahan. Dengan demikian akan
memungkinkan beberapa guna lahan bekerjasama meningkatkan
keuntungannya dengan berlokasi dekat pada salah satu guna lahan.
2. Penggunaan lahan yang tidak menguntungkan Komponen penggunaan
lahan ini meliputi penggunaan lahan untuk jalan, taman, pendidikan
dan kantor pemerintahan.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa guna lahan yang
menguntungkan mempunyai keterkaitan yang besar dengan guna lahan
yang tidak menguntungkan. Guna lahan utama yang dapat dikaitkan
dengan fungsi perumahan adalah guna lahan komersial, guna lahan
industri, dan guna lahan publik maupun semi publik (Chajin dan Kaiser,
1979). Adapun penjelasan masing masing guna lahan tersebut adalah:
a. Guna lahan komersial, Fungsi komersial dapat dikombinasikan dengan
perumahan melalui percampuran secara vertikal. Guna lahan komersial
yang harus dihindari dari perumahan adalah perdagangan grosir dan
perusahaan besar.
b. Guna lahan industri,Keberadaan industri tidak saja dapat inemberikan
kesempatan kerja namun juga memberikan nilai tambah melalui
landscape dan bangunan yang megah yang ditampilkannya. Jenis
industri yang harus dihindari dari perumahan adalah industri
pengolahan minyak, industri kimia, pabrik baja dan industri pengolahan
hasil tambang.
c. Guna lahan publik maupun semi publik, Guna lahan ini meliputi guna
lahan untuk pemadam kebakaran, tempat ibadah, sekolah, area
rekreasi, kuburan, rumah sakit, terminal dan lain-lain.

12.3. Perubahan Guna Lahan


Pengertian perubahan guna lahan secara umum menyangkut transformasi
dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke
penggunaan lainnya. Namundalam kajian land economics, pengertiannya
difokuskan pada proses dialih gunakannya lahan dari lahan pertanian atau
perdesaan ke penggunaan non pertanian atau perkotaan. Perubahan guna
lahan ini melibatkan baik reorganisasi struktur fisik kota secara internal
maupun ekspansinya ke arah luar (Pierce, 1981). Perubahan guna lahan.
ini dapat tejadi karena ada beberapa faktor yang menjadi penyebab. Ada
empat proses utama yang menyebabkan terjadinya perubahan guna
lahan yaitu (Bourne. 1982):
1. Perluasan batas kota
2. Peremajaan di pusat kota
3. Perluasan jaringan infrastruktur
4. Tumbuh dan hilangnya pernusatan aktivitas tertentu
Menurut Chapin, Kaiser, dan Godschalk perubaban guna lahan juga dapat
terjadi karena pengaruh perencanaan guna lahan setempat yang
merupakan rencana dan kebijakan guna lahan untuk masa mendatang,
proyek pembangunan, program perbaikan pendapatan, dan partisipasi
dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahanmasalah dari
pernerintah daerah. Perubahan guna lahan juga terjadi karena kegagalan
mempertermukan aspek dan politis dalam suatu manajemen perubahan
guna lahan.
Menurut Chapin, 1996, perubahan guna lahan adalah interaksi yang
disebabkan oleh tiga komponen pembentuk guna lahan, yaitu sistem
pembangunan, sistem aktivitas dan sistem lingkungan hidup. Didalam
sistem aktivitas, konteks perekonomian aktivitas perkotaan dapat
dikelompokkan menjadi kegiatan produksi dan konsumsi. Kegiatan
produksi membutuhkan lahan untuk berlokasi dimana akan mendukung
aktivitas produksi diatas. Sedangkan pada kegiatan konsurnsi
membutuhkan lahan untuk berlokasi dalam rangka pemenuhan kepuasan.

12.4.AKSESIBILITAS
Menurut Black (1981) aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan
atau kemudahan lokasi tata guna lahan berinteraksi satu dengan
yang lain, dan mudah atau sulitnya lokasi tersebut dicapai
melalui sistem jaringan transportasi. Pernyataan mudah atau sulit
merupakan hal yang sangat subyektif dan kualitatif, mudah bagi
seseorang belum tentu mudah bagi orang yang lain, begitu pula dengan
pernyataan sulit, oleh karena itu diperlukan kinerja kualitatif yang dapat
menyatakan aksesibilitas.
Menurut Black and Conroy (1977) aksesibilitas zona dipengaruhi oleh
proporsi orang menggunakan moda tertentu. Ukuran fisik
aksesibilitas menerangkan struktur perkotaan secara spesial tanpa
melihat adanya perbedaan yng disebabkan oleh keragaman moda
transprtasi yang tersedia, misalnya mobil dan angkutan umum. Mobil
mempunyai aksesibilitas yang lebih baik dari angkutan umum atau
berjalan kaki. Banyak orang didaerah pemukiman mempunyai akses yang
baik dengan mobil atau sepeda motor dan banyak juga yang tergantung
kepada angkutan umum dan jalan.
Pengukuran sikap seseorang atas suatu obyek dipengaruhi oleh
stimuli. Sebagai stimuli adalah peubah-peubah bebasnya (Sudibyo, 1993).
Metode pengukuran sikap diukur dalam mempersepsi sesuatu obyek.
Sikap adalah respon psikologis seseorang atas faktor yang berasal dari
suatu obyek, respon tersebut menunjukkan kecenderungan mudah atau
sulit. Dengan demikian maka pengukuran aksesibilitas transportasi dari
seseorang merupakan pengukuran sikap orang tersebut terhadap kondisi
aksesibilitas transportasinya.
Ukuran fisik aksesibilitas menerangkan struktur perkotaan secara spasial
tanpa melihat adanya perbedaan yang disebabkan oleh keragaman moda
transportasi yang tersedia misalnya dengan berjalan kaki, berkendaraan
pribadi atau angkutan umum.
Banyak orang di daerah pemukiman baik mempunyai akses yang baik
dengan mobil atau sepeda motor atau kendaraan pribadi, tetapi banyak
pula yang bergantung pada angkutan umum atau berjalan kaki. Jadi
aksesibilitas zona asal dipengaruhi oleh proporsi orang yang
menggunakan moda tertentu, dan harga ini dijumlahkan untuk semua
moda transportasi yang ada untuk mendapatkan aksesibilitas zona
(Tamin, 1997).
Menurut Black, 1978 jumlah atau jenis lalu lintas yang dihasilkan oleh
setiap tata guna lahan merupakan hasil dari fungsi parameter sosial dan
ekonomi. Jenis tata guna lahan yang berbeda (pemukiman, pendidikan,
komersil) mempunyai ciri bangkitan lalulintas yang berbeda seperti
jumlah lalulintas, jenis lalulintas (pejalan kaki, truk, mobil), lalulintas pad
waktu tertentu (kantor menghasilkan arus lalulintas pada pagi hari,
sedangkan pertokoan menghasilkan arus lalulintas sepanjang hari)
Menurut Wells, 1975 bangkitan pergerakan memperlihatkan bnyaknya
lalulintas yang dibangkitkan oleh setiap tata guna lahan, sedangkan
sebaran menunjukkan kemana dan darimana lalulintas tersebut.
Tarikan pergerakan adalah jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata
guna lahan atau zona tarikan pergerakan (Tamin, 2000). Tarikan
pergerakan dapat berupa arikan lalu lintas yang mencakup lalu lintas
yang menuju atau tiba ke suatu lokasi.
Pergerakan lalu lintas merupakan fungsi tata guna lahan yang
menghasilkan arus lalu lintas.
Menurut Tamin, 1997 pergerakan Lalu - lintas dalam suatu daerah kajian
tertentu dipengaruhi oleh dua jenis zona yaitu Zona Eksternal dan Zona
Internal. Zona Eksternal adalah Zona yang berada diluar daerah Kajian
yang dianggap sedikit memberi pengaruh dalam pergerakan lalu - lintas
dalam suatu daerah kajian tertentu. Zona internal adalah adalah zona
yang berada di dalam daerah kajian yang dianggap berpengaruh besar
terhadap pergeraakan arus lalu lintas dalam suatu daerah kajian tertentu.
Adapun suatu daerah kajian transportasi dibatasi oleh daerah kajian
disekelilinganay (Garis Kordon) dan semua informasi transportasi yang
bergerak didalamnya harusa diketahui.
Di dalam batasanya, daerah kajian dibagi menjadi N subdaerah yang
disebut zona yang masing-masing diwakili oleh pusat zona. Pusat Zona
dianggap sebagai awal pergerakan lalulintas dari zona tersebut dan akhir
pergerakan lalulintas yang menuju zona tersebut Menurut IHT and DTp
1987 dalam Tamin, 1997 kriteria utama yang perlu diperhatikan dalam
pembentukan Zona Transportasi adalah:
1. Ukuran zona harus konsisten dengan kepadatan jaringan yang akan
dimodel. Biasanya ukuran zona semakin membesar jika semakin jauh dari
pusat kota.
2. Ukuran zona harus lebih besar dari yang seharusnya untuk
memungkinkan arus lalu lintas dibebankan ke atas jaringan jalan dengan
ketepatatan yang disyaratkan.
3. Batas zona harus dibuat sedemikian rupa sehingga konsisten dengan
jenis pola pengembangan untuk setiap zona, misalnya pemukiman,
industri dan perkantoran.
4. Batas zona harus sesuai dengan batas sensus, batas administrasi
daerah dan batas zona yang digunakan oleh daerah kajian.
5. Batas zona harus sesuai dengan batas daerah yang digunakan dalam
pengumpulan data.

Menurut Kevin Lynch, memfokuskan pada KEBUTuHAN PEMBENTUKAN


KARAKTER KOTA YANG DIMULAI DENGAN PERSEPSI LINGKUNGAN, TANDA
PENGENAL DAN KEMUDIAN CITRA KOTA.
Oleh karena itu Lynch menekankan pada argumentasi adanya 8 kriteria terpadu dalam
menciptakan bentuk yang kota adalah
(1) Singularity yaitu adanya batasan yang jelas baik antar kawasannya maupun antara
kawasan perkotaan dan perdesaan sekitarnya
(2) Continuity yaitu kaitan fungsional antara satu tempat dan tempat yang lain secara efektif
dan efisien,
(3) Simplicity yaitu kejelasan dan keterpaduan morfologi dan tipologinya,
(4) Dominance yaitu memiliki bagian kota yang mempunyai karakter khusus danpenting,
(5) Clarity of joint yaitu bagian strategis yang mampu berhubungan dengan sisi yang
lain,
(6) Visual scope yaitu tempat terbuka atau tinggi yang dapat memandang secara bebas
dan lepas ke semua penjuru kota,
(7) Directional differentiation yaitu beragam-beragam bentukan fisik yang diatur secara
harmonis
, (8) Motion awareness yaitu kemampuan menggerakan emosional yaitu perasaan
nyaman dan dinamis

13. MORPOLOGI KOTA-KOTA DI JAWA PADA AWAL DAN AKHIR ABAD


KE-20.

1. Setelah menguasai banyak kota-kota besar di sepanjang pantai Utara Jawa pada abad ke
18, Belanda sedikit demi sedikit mulai keluar dari bentengnya.
2. Kemudain mereka ini mendirikan sebuah pusat kota yang sering dinamakan sebagai
‘STADHUIS’. Daerah ini merupakan kombinasi dari ‘city hall’ dan ‘court of justice’,
yang disekitarnya dikelilingi oleh bangunan-bangunan seperti gereja, kantor pos, rumah
yatim piatu anak-anak Belanda dan fasilitas umum lainnya. Contoh dari kota-kota
seperti ini adalah : Surabaya, Semarang, dan banyak kota-kota besar di Utara Jawa
lainnya.
3. Pada abad ke 19, setelah Belanda berhasil menguasai seluruh P. Jawa, termasuk
pedalamannya, maka bentuk dan struktur kota-kota di Jawa mengalami banyak
perubahan. Dalam periodisasi sejarah perkembangan kota Jawa, antara th. 1800-1900 ini
sering disebut sebagai KOTA “INDISCH’. Pada prinsipnya bentuk kota ‘indisch’ ini
terdiri atas pusat kota, yang berupa alun-alun dengan bangunan pemerintahan dan
keagamaan di sekelilingnnya, serta bangunan fasilitas umum yang letaknya tidak
jauh dari pusat kota tersebut. Pola permukimannya pada umumnya terbagi
menjadi 3 kelompok etnis yang berorientasi pada pusat kota tersebut. Orang Eropa
menempati daerah yang paling strategis dan nyaman dekat pusat kota. Daerah orang Cina
yang disebut sebagai Pecinan, biasanya terletak dekat pasar atau daerah perdagangan
lokal. Dan daerah penduduk setempat yang agak jauh dari pusat kota , suatu daerah yang
dalam kedudukan kota kolonial terdiri atas kampung-kampung yang kurang mendapat
perhatian dari pemerintah kolonial.
4. Ronald G.Gill (1995), membagi kota Indisch terseut menjadi 2 bagian. : 1) disebut
sebagai “OUD INDISCHE STAD” , 2) yang kedua disebut sebagai “NIEUWE
INDISCHE STAD”. Yang dimaksud dengan kota Hindia Belanda lama (Oud Indische
Stad) adalah sebuah kota dimana pada pusat kotanya (daerah alun-alun), terdapat
pemisahan antara pemerintahan kolonial Belanda (yang diwakili oleh Residen atau
Asisten Residen) dengan gedung pemerintahan Pribumi (yang diwakili oleh Bupati). Jadi
pada hakekatnya gedung pemerintahan yang termasuk mengatur kota tersebut
dalam satu kota terpisah satu sama lain. Gedung pemerintahan Pribumi biasanya
terletak di Selatan alun-alun. Sedangkan kantor Asisten Residen ada di bagian lain
di kota tersebut. Contoh yang jelas seperti ini adalah Pasuruan, Pekalongan. Tegal,
Blitar, Banyumas dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan Kota Hindia
Belanda Baru (Nieuwe Indische Stad), adalah sebuah kota dimana pada pusat kotanya
(daerah alun-alun) antara pusat pemerintahan Pribumi (Kabupaten) dengan pusat
pemerintahan Kolonial Belanda (Kantor Asisten Residen) ada disekitar alun-alun
tersebut. Contoh kota seperti itu misalnya adalah: Probolinggo, Bondowoso,
Bojonegoro, Lumajang, dan sebagainya.
5. Kota-kota besar di Jawa seperti Batavia, Semarang, Bandung, Surabaya Malang
dan sebagainya mengalami prubahan drastis pada bentuk dan strukturkotanya
diawal abad ke 20. Salah satu penyebabnya adalah pertambahan penduduk
yang sangat cepat dalam waktu yang relatif singkat di perkotaan. Sarana dan
prasarana kota lama sudah tidak dapat menampung lagi pertambahan penduduk dan
kemajuan jaman. Antara th. 1905 sampai th.1930 , Jawa dan Madura bertumbuh dengan
27%, Sedangkan Batavia bertumbuh 130%, Surabaya 80%, Semarang 100%, Bandung
325% dan Malang 140%. Ledakan penduduk di kota-kota besar Jawa seperti data diatas
jelas tidak bisa diatasi dengan sistim administrasi pemerintahan yang terpusat seperti
yang dipakai pada abad ke 19. Oleh sebab itu pada th.1905 diputuskan suatu undang-
undang desentralisasi, yang pada pokoknya memberikan pemerintahan sendiri pada
wilayah Karesidenan dan Kabupaten yang ditunjuk oleh pemerintah.
6. Setelah itu menyusul timbulnya kotamadya-kotamadya di Jawa yang istilahnya
waktu itu disebut sebagai “GEMEENTE’. Pada tahun 1905, yang ditentukan sebagai
gemeente adalah Batavia, Meester Cornelis (Jatinegara) dan Bogor. Kemudian pada
th.1906 adalah Bandung, Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Surabaya dan Kediri.
Pada tahun-tahun berikutnya kota yang diberi status ‘gemeente’ ini terus bertambah.
Sehingga sampai th. 1942 seluruh gemeente yang ada di Indonesia berjumlah 30. Delapan
belas ada di Jawa dan sisanya 12 ada diluar Jawa.

7. Sebagian besar dari kota-kota yang disebut sebagai ‘ gemeente’ inilah yang
mengalami perubahan drastis morpologi kotanya. Bentuk dan struktur kota
yang sering disebut sebagai kota ‘Indisch’1 pada abad ke 19 tersebut
segera mengalami perubahan pada awal abad ke 20 ini. Setelah adanya
undang-undang desentralisasi th. 1905, kota-kota besar di Jawa mengalami
‘WETERNISASI’. Westernisasi tersebut memasuki berbagai sendi kehidupan
kota di awal abad ke 20. Pusat kota lama yang berbau Indisch atau bahkan
unsur tradisional yang dominan, ada kecenderungan untuk diperkecil
perannya. Pusat pemerintahan kota gaya Indisch yang terletak di alun-alun
diganti dengan pusat pemerintahan modern di daerah yang baru yang lebih
modern. Walikota sebagai penguasa kota yang sebelum adanya undang-
undang desentralisasi tidak ada dalam struktur administrasi kota, sekarang
merupakan penguasa tertinggi di dalam kota. Sebagai akibatnya maka harus
dibangun belasan gedung kotamadya baru diseluruh Jawa dengan arsitektur
kolonial yang modern.
8. Daerah baru tersebut terlepas sama sekali dari daerah alun-alun sebagai pusat
kota lama. Daerah ini biasanya terletak dekat dengan pusat hunian orang
Eropa yang baru dikembangkan. Contoh nyata kota-kkota seperti itu misalnya
adalah Malang, pusat kota lamanya di daerah alun-alun pada th. 1928
dipindahkan ke komplek baru di daerah alun-alun bunder dengan bangunan
gedung kotamadya yang megah, terletak dekat komplek hunian orang Eropa yang
dinamakan “Gouverneur General Buurt”.
9. pada bagian pertama abad 20 tersebut kota-kota besar di Jawa mengalami
perubahan drastis, baik pada pemindahan pusat kotanya, tumbuhnya daerah-
daerah perdagangan baru dan perkembangan daerah perumahan secara besa-
besaran. Semuanya ini merubah total morpologi kota yang sudah ada pada
abad ke 19. Perubahan tersebut harus diatur dengan undang-undang perkotaan
yang mempunyai kekuatan hukum. Karsten punya andil besar dalam rencana
terbentuknya undang-undang tersebut, meskipun pengesahan resminya dipandang
sangat terlambat sekali. Perubahan morpologi kota besar diJawa awal abad ke 20,
meskipin melalui banyak hambatan dan pengorbanan, tapi pada umumnya dinilai
sangat berhasil.
 Pada awal tahun 1960-an, Jakarta tidak lebih dari
sebuah “kampoeng besar” dengan sebuah hotel
berbintang, Hotel Indonesia dan sebuah
department store “Sarinah”. 13Namun dalam tempo
50 tahun terakhir, perkembangan yang sangat pesat telah
terjadi. Jakarta telah bermetamorfosa menjadi sebuah kota
metropolitan, dengan gedung-gedung modern pencakar
langit yang megah (hotel, apartemen, kantorhingga
mall/pusat-pusat perbelanjaan), khususnya di kawasan
Segitiga Emas. Dalam prosesnya, transformasi sosio-fisik
dilakukan dengan mengkonversi kampungkampung yang
banyak berada di dataran rendah (rawa dan kebun)2 ke
segala arah:Barat, Selatan dan Timur. Kini, dengan
statusnya sebagai “multi-function”3 yang
mengakumulasi berbagai fungsi tertinggi secara nasional
(pusat pemerintahan, perdagangan dan jasa, bahkan
kebudayaan), Jakarta telah menjema menjadi salah satu
pusat pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan di kawasan
Asia-Pasifik. Selain itu, perkembangan yang sangat pesat
terjadi di kawasan pinggiran, dimana tidak kurang dari 7
(tujuh) kotabaru.berskala besar telah terbangun di
Jabodetabek sejak tahun 1980-an (Gani, 2010).

 Kota Bandung sejak lama direncanakan sebagai salah satu pusat kegiatan
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930-an apabila merujuk pada keberadaan
Gedung Sate. Konsep yang dikembangkan awalnya adalah kota taman yang asri,
sebagai unsur esensial dari sistem internal kotanya. Proses urbanisasi telah terjadi
secara cepat mulai tahun 1980-an, ditandai dengan okupansi lahan-lahan di Bandung
Utara dan Bandung Selatan. Perubahan morfologi kota semakin tajam pada awal tahun
2000- an, ditandai dengan pemekaran Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat, serta
132dibukanya akses jalan tol Cipularang pada tahun 2005 yang memangkas jarak waktu
Jakarta – Bandung secara signifikan. Bandung mengalami metamorfosa, dari kota tempat
peristirahatan para mandor perkebunan « tempoe doeloe » menjadi kota tujuan wisata «
urban tourism » dengan atraksi wisata kuliner, kesejukan alami. dataran tinggi, serta pusat
belanja (factory outlets). Kawasan Dago, Setiabudi dan sekitarnya kini menjadi pusat
kegiatan komersial utama di Kota Bandung, padahal lama sebelumnya ia direncanakan
sebagai pusat hunian yang tenang. Sementara itu, kawasan Bandung Utara yang
sebelumnya merupakan kawasan lindung untuk peresapan air, kini telah beralih fungsi
menjadi salah satu pusat permukiman elit serta pusat kegiatan pariwisata yang dipadati
oleh turis domestik saat weekend.
 Kota Gorontalo hingga akhir tahun 1990-an « hanya » merupakan ibukota Kabupaten
Gorontalo dengan fasilitas sosial-ekonomi yang sangat terbatas (hotel, rumah sakit, restoran,
dsb.). Sejak beralih status menjadi kota otonom sekaligus Ibukota Provinsi
Gorontalo pada tahun 1999, aliran investasi yang mengalir cukup deras dipicu
oleh kegiatan pemerintahan telah merubah wajah kota secara signifikan. Pusat-
pusat kegiatan komersial dan jasa (perbankan, restoran, hotel dsb). tumbuh
subur. Infrastruktur sosial-ekonomi semakin membaik, khususnya yang berkaitan
dengan sektor industri perikanan (pelabuhan) dan sektor pertanian tanaman
pangan (industri pengolahan komoditas jagung). Wajah kota yang relatif
sederhana, secara perlahan kini berubah mengikuti perkembangan zaman.
Beberapa faktor tampaknya cukup dominan dalam proses tersebut :
(1) ALIRAN INVESTASI YANG MENDORONG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KOTA,
KHUSUSNYA YANG DIGERAKKAN OLEH INVESTASI SWASTA
(2) KEBERADAAN INFRASTRUKTUR SOSIAL-EKONOMI, SEPERTI JALAN DAN
PELABUHAN, SERTA
(3) PENINGKATAN STATUS KOTA OTONOM (IBUKOTA PROVINSI).
Ketiga faktor tersebut menjadi penyebab utama terjadinya urbanisasi dan
mengakselerasi alih-fungsi ruang perkotaan. Perbedaannya terletak pada titik awal
terjadinya perubahan (Jakarta sejak 1960-an, Bandung sejak 1980-an, dan Gorontalo
sejak 2000-an), serta kecepatan 132transformasi yang terjadi yang banyak
ditentukan oleh peran sektor swasta.

Anda mungkin juga menyukai