Morfologi Kota Bentuk-Bentuk Kota
Morfologi Kota Bentuk-Bentuk Kota
1. MORFOLOGI KOTA
2. KOMPONEN MORFOLOGI
3. TEORI MORFOLOGI KOTA
4. MORFOLOGI DAN PERTUMBUHAN KOTA
5. KAJIAN BENTUK-BENTUK KOTA
6. ANALISA PERANCANGAN KOTA
7. ANALISA MORFOLOGI SECARA STRUKTURAL
1. PENGERTIAN KOTA
Dalam pengertian geografis, KOTA ITU ADALAH SUATU TEMPAT
YANG PENDUDUKNYA RAPAT, rumah-rumahnya berkelompok
kelompok, dan mata pencaharian penduduknya bukan pertanian.
Bintarto, 1987, KOTA DALAM TINJAUAN GEOGRAFI ADALAH SUATU
BENTANG BUDAYA YANG DITIMBULKAN OLEH UNSUR-UNSUR
ALAMI DAN NON ALAMI DENGAN GEJALA-GEJALA PEMUSATAN
PENDUDUK YANG CUKUP BESAR, dengan corak kehidupan yang
bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah
di belakangnya.
Tinjauan di atas masih sangat kabur dalam arti akan sulit untuk menarik
batas yang tegas untuk mendefinisi kota dan membedakannya dari
wilayah desa apabila menginginkan tinjauan tersebut. Tinjauan di atas
merupakan batasan kota dari segi sosial.
Dalam perkembangannya, konsep-konsep kota paling tidak dapat
dilihat dari 4 sudut pandang, yaitu
SEGI FISIK ,
ADMINISTRATIF,
SOSIAL
FUNGSIONAL.
Dengan banyaknya sudut pandang dalam membatasi kota,
mengakibatkan pemahaman kota dapat berdimensi jamak dan selama ini
tidak satupun batasan tolak ukur kota yang dapat berlaka secara umum.
KOTA DALAM TINJAUAN FISIK ATAU MORFOLOGI MENEKANKAN
PADA BENTUK-BENTUK KENAMPAKAN FISIKAL DARI LINGKUNGAN
KOTA.
Menurut pendekatan morfologi, kota dapat didefinisikan sebagai
berikut:
a. Menurut Kostof bahwa kota adalah tempat KUMPULAN BANGUNAN DAN
MANUSIA. (cities are place made up of buildings and people)
b. Menurut Sandi Siregar, kota adalah ARTIFAK YANG DIHUNI. Kota sebagai
lingkungan buatan manusia yang memperlihatkan karya anjiniring besar dan kompleks,
terdiri dari kumpulan bangunan (dan elemen-elemen fisik lainnya) serta manusia dengan
konfigurasi tertentu membentuk satu kesatuan ruang fisik (physical-spatial entity).
c. Menurut E.N. Bacon bahwa kota adalah ARTIKULASI RUANG YANG
MEMBERIKAN SUATU PENGALAMAN RUANG TERTENTU KEPADA
PARTISIPATOR. Oleh karena itu, lingkup perhatian perancang kota akan lebih lengkap
jika meliputi bangunan, setting dan karakter kota.
d. Menurut Ali Madanipour bahwa KOTA ADALAH KUMPULAN BERBAGAI
BANGUNAN DAN ARTEFAK (A COLLECTION OF BUILDINGS AND
ARTEFACT) SERTA TEMPAT UNTUK BERHUBUNGAN SOSIAL (a site for social
relationships). Morfologi kota merupakan suatu geometri dari proses perubahan keadaan
yang bersifat sosio-spatial (the geometry of a socio-spatial continum).
e. Menurut Also Rossi18 bahwa kota adalah KARYA KOLEKTIF .
f. Menurut Paul D. Spereiregen juga menekankan pada PENGERTIAN KOTA SEBAGAI
BENTUKAN FISIK yang secara keseluruhan saling mengisi satu sama lainnya dan
membentuk satu kesatuan penampilan kota.
g. Kota menurut Gallion and Eisner20, (1992 : 64) adalah suatu laboratorium tempat
pencarian kebebasan dilaksanakan dan percobaan-percobaan diuji mengenai
bentukan-bentukan fisik. Bentukan-bentukan fisik kota adalah perwujudan kehidupan
manusia ; polanya dijalin dengan pikiran dan tangan yang dibimbing oleh suatu tujuan.
Bentukan fisik kota terjalin dalam aturan yang juga mengemukakan lambang-lambang
pola-pola ekonomi, sosial, politis dan spiritual serta peradaban masyarakatnya. Kota
adalah tempat mengaduk kekuatan-kekuatan budaya dan rancangan kota merupakan
ekspresinya.
2. MORFOLOGI KOTA
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik suatu rumusan bahwa morfologi kota adalah
“SEBUAH PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI KOTA SEBAGAI SUATU
KUMPULAN GEOMETRIS BANGUNAN DAN ARTEFAK DENGAN
KONFIGURASI KESATUAN RUANG FISIK TERTENTU PRODUK DARI
PERUBAHAN SOSIO-SPATIALNYA “
Pemahaman kita tentang “morfologi kota” tidak dapat dilepaskan
dari wujud fisik kota yang terbentuk utamanya oleh kondisi fisik-
lingkungan maupun interaksi sosial – ekonomi masyarakat yang
dinamis. Sebagai sebuah cabang ilmu geografi dan arsitektur, morfologi
mempelajari perkembangan bentuk fisik di kawasan perkotaan, yang tidak
hanya terkait dengan arsitektur bangunan, namun juga sistem sirkulasi,
ruang terbuka, serta prasarana perkotaan (khususnya jalan sebagai
pembentuk struktur ruang yang utama). Secara garis besar, wujud fisik
kota tersebut merupakan manifestasi visual dan parsial yang
dihasilkan dari interaksi komponen-komponen penting
pembentuknya yang saling mempengaruhi satu8 sama lainnya
(Allain, 2004).
Secara garis besar Hadi Sabari Yunusmenitik beratkan kajian morfologi pada eksistensi
keruangan dari bentuk-bentuk wujud ciri-ciri atau karakteristik kota yaitu analisis
bentuk kota dan faktor-faktor yang mempengaruhinya meliputi ;
(1) BENTUK-BENTUK KOMPAK ; bentuk bujur sangkar (the square cities), bentuk empat
persegi panjang (the rectangular cities), bentuk kipas (fan shaped cities), bentuk bulat
(rounded cities), bentuk pita (ribbon shaped cities), bentuk gurita atau bintang (octopus / star
shaped cities), bentuk tidak berpola (unpatterned cities),
(2) BENTUK TIDAK KOMPAK ; bentuk terpecah (fragmented cities), bentuk berantai
(chained cities), bentuk terbelah (split cities), bentuk stellar (stellar cities),
(3) PROSES PEREMBETAN (urban sprawl) ; perembetan konsentris, perembetan
memanjang, dan perembetan meloncat,
(4) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BENTUK KOTA ; faktor bentang
alam/geografis, sosial, ekonomi, transportasi dan regulasi.
Herbert, lingkup kajian morpologi kota ditekankan pada bentuk bentuk fisikal dari
lingkungan kekotaan yang dapat diamati dari kenampakannya meliputi unsur
(1) sistem jalan-jalan yang ada,
(2) blok-blok bangunan baik daerah hunian ataupun bukan (perdagangan/industri),
(3) bangunan-bangunan individual.
smailes menekankan lingkup kajian morfologi meliputi:
(1) penggunaan lahan (land use)
(2) pola-pola jalan (street) dan
(3) tipe-tipe bangunan.
(architectural style of buildings & their design). Dari sinilah pertama kalinya muncul istilah
Townscape..
Johnson24 (1981) memfokuskan pada kajian
(1) rencana jalan (The plan of streets),
(2) tata bangunan (Buildings), dan
(3) kaitan fungsional jalan dan bangunan (Fungtions performed by its streets, and buildings).
Hamid Sirvani membahas kota dari elemen-elemen fisiknya yang meliputi
(1) penggunaan lahan (land use),
(2) bentuk dan massa bangunan (building form and massing)
(3) sirkulasi dan parkir (circulation and parking),
(4) ruang terbuka (open space),
(5) jalur pedestrian (pedestrian way),
(6) dukungan aktivitas (activity support),
(7) tata informasi (Signage), dan (
(8) preservasi (preservation).
Le Corbusier, Charta Athen memfokuskan kajian kota sebagai konfigurasi massa
Sedangkan Rob krier mengemukakan kota sebagai konfigurasi ruang. Studi ini
kelompokkan dalam teori figure-ground yang memfokuskan pada hubungan perbandingan
tanah/lahan yang ditutupi bangunan sebagai massa yang padat (figure) dengan void-void
terbuka (ground). Teori dan metode ini meliputi analisis ;
(1) pola,
(2) tektur
(3) solid-void sebagai elemen perkotaan.
MORFOLOGI berarti ilmu tentang bentuk. Dalam kontek perkotaan, Carmona et al
(2003: 61) berpendapat bahwa morfologi adalah STUDI MENGENAI FORM DAN
SHAPE DARI LINGKUNGAN PERMUKIMAN.
Form berarti BENTUK YANG DAPAT DIAMATI DAN MERUPAKAN
KONFIGURASI DARI BEBERAPA OBJEK, SEMENTARA SHAPE ADALAH FITUR
GEOMETRIK ATAU BENTUK EKSTERNAL DAN OUTLINE DARI SEBUAH
BENDA. Meskipun memiliki pengertian yang hampir sama, kedua kata ini (form dan shape)
memiliki pemahaman dasar yang berbeda, dimana FORM MENEGASKAN BENTUK
YANG TERDIRI DARI BERBAGAI UNSUR DAN MASING-MASING UNSUR
DAPAT DIAMATI SECARA JELAS KARAKTERISTIKNYA SERTA SECARA
VISUAL masing-masing unsur tersebut berada dalam satu kesatuan (konfigurasi). Sebagai
contoh: sebuah koridor jalan secara visual terbentuk dari deretan bangunan dengan ketinggian
tertentu dan tersusun dalam jarak tertentu dari batas jalan.
Shape menekankan BENTUK EKSTERNAL DARI FORM, ATAU DENGAN
KATA LAIN SILUET YANG DALAM KONTEKS TOWNSCAPE SERING DISEBUT
SEBAGAI SKYLINE. Sekumpulan objek yang terletak di atas permukaan tanah akan
membentuk pola tertentu (shape), seperti linier, grid, konsentris, radial, klaster, dan lain
sebagainya.
Kata kunci lainnya adalah ‘LINGKUNGAN PERMUKIMAN’. Kata kunci ini
demikian penting sebab dalam literatur-literatur perencanaan dan perancangan kota
disebutkan bahwa peradaban dimulai dari kegiatan bermukim. Kompleksitas dalam
pertumbuhan permukiman kemudian membentuk unit-unit lingkungan yang lebih besar yaitu
kota. Jadi lingkungan kota tidak akan dapat dipisahkan dari lingkungan permukiman.
MORFOLOGI BUKAN KAJIAN YANG STATIS, dimana hanya mempelajari
bentuk fisik seperti ketinggian bangunan, susunan jaringan jalan, serta komposisi dan
proporsi bangunan dalam suatu bentang kota (townscape), melainkan justru berusaha
menggali proses yang melatarbelakangi perubahan dan dinamika terbentuknya
lingkungan perkotaan dengan lingkungan fisik sebagai representasinya. Dengan
demikian dengan mempelajari morfologi, seorang perancang kota dapat tanggap akan
keberadaan pola-pola lokal dari proses terbentuk dan terbangunnya suatu lingkungan
perkotaan (Carmona et al. 2003: 61).
Morfologi terdiri dari dua suka kata yaitu MORF yang berarti bentuk dan LOGOS
yang berarti ilmu. Secara sederhana morfologi kota BERARTI :
ILMU YANG MEMPELAJARI PRODUK BENTUK-BENTUK FISIK KOTA
SECARA LOGIS.
PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI BENTUK LOGIS SEBUAH KOTA
SEBAGAI PRODUK PERUBAHAN SOSIO-SPATIAL. Disebabkan karena setiap
karakteristik sosial-spatial di setiap tempat berbeda-beda maka istilah morfologi sangat
erat kaitannya dengan istilah tipologi.
Markus Zahn; memberi pengertian istilah MORFOLOGI SEBAGAI FORMASI
SEBUAH OBJEK BENTUK KOTA DALAMSKALA YANG LEBIH LUAS.
Morfologi biasanya digunakan untuk SKALA KOTA DAN KAWASAN.
TIPOLOGI SEBAGAI KLASIFIKASI WATAK ATAU KARAKTERISTIK
DARI FORMASI OBJEK-OBJEK BENTUKAN FISIK KOTA DALAM SKALA
LEBIH KECIL. Istilah tipologi lebih banyak digunakan untuk mendefinisikan bentuk
elemen-elemen kota seperti jalan, ruang terbuka hijau, bangunan dan lain sebagainya.
1. KOMPONEN MORFOLOGI
Meskipun masing-masing mahzab di atas memiliki fokus amatan yang berbeda, tetapi
masingmasing menerapkan disiplin yang sama, yaitu adanya skala observasi dan komponen
observasi. Skala observasi merupakan penjenjangan tingkat kedetailan pengamatan (resolusi)
yang berimplikasi pada jenis komponen fisik dasar yang observasi.
Secara umum, resolusi pengamatan dalam analisis morfologi antara lain terdiri dari :
PLOT, merupakan skala pengamatan morfologi dengan resolusi yang paling rendah
karena hanya fokus ke komponen-komponen fisik yang berada pada potongan
lahan yang sama. Objekobjek dalam sebuah plot tidak dibatasi oleh ruas jalan apapun,
dengan demikian kita dapat menemukan komponen bangunan dan guna lahan di
dalamnya. Plot yang terdiri dari beberapa beberapa kapling biasanya disebut blok.
• DISTRIK, merupakan sekumpulan plot beserta komponen fisik di dalamnya yang
dihubungkan oleh ruas-ruas jalan. Distrik sudah dapat memperlihatkan kompleksitas
kawasan karena didalamnya dapat diamati sebaran blok dengan karakteristik fisik
lingkungan dan demografi.
• KOTA, secara morfologis merupakan satu kesatuan wilayah dengan kompleksitas
struktur dan pola ruang sebagai pusat permukiman.
• WILAYAH, merupakan satu kesatuan wilayah yang tersusun dari pusat-pusat
permukiman secara berjenjang.
2. TEORI MORFOLOGI KOTA
Smailes (1955) dalam Yunus (1994) memperkenalkan 3 unsur
morfologi kota yaitu penggunaan lahan, pola-pola jalan dan tipe
atau karakteristik bangunan.
Sementara itu Conzen (1962) dalam Yunus (1994) juga mengemukakan
unsur -unsur yang serupa dengan dikernukakan Smailes, yaitu plan,
architectural style and land use.
Berdasarkan pada berbagai macam unsur morfologi kota yang
dikemukakan di atas, terlihat bahwa secara umum unsur-unsur morfologi
kota berkisar antara karakteristik bangunan, pola jalan dan
penggunaan lahan.Unsur-unsur ini yang paling sering igunakan untuk
mengenali suatu daerah secara, morfologis, kota atau bukan
A. Komponen Morfologi ; Muratorian.
Pendekatan ini menganggap tipologi bangunan merupakan akar dari bentuk kota (Moudon,
1997). Dengan demikian, selain mempergunakan empat skala amatan (bangunan/plot, distrik,
kota dan wilayah), pendekatan ini mempergunakan empat aspek analisis, antara lain :
1. ELEMEN DESAIN, yaitu komponen-komponen yang mendukung kelengkapan
desain, misalnya bangunan terdiri dari atap, pintu, dan lain sebagainya; suatu distrik
terdiri dari bangunan-bangunan dan ruang terbuka, dan lain sebagainya.
2. STRUKTUR INTERNAL ELEMEN, yaitu posisi atau hubungan antara elemen
desain. Misalnya sebaran ruang tebuka hijau menurut sebaran bangunan, dan lain
sebagainya.Hubungan antara bentuk dan kegunaan, yaitu komponen yang menjelaskan
bagaimana dimensi dan proporsi ruang serta komponen fisik lainnya dapat
mengakomodasi fungsi ruang.
3. ASPEK FORMAL ATAU PERWUJUDAN FISIK, yaitu bagaimana desain
bangunan dan kawasan secara fisik mencerminkan makna dan kegunaan. Misalnya
pemakaian tutupan lahan berupa rumput tanpa pagar pada suatu ruang terbuka
menandakan bahwa rumput dapat dipergunakan sebagai alas duduk atau tempat
beristirahat, berbeda halnya apabilakawasan berumput ini diberi pagar
vegetasi atau komponen pembatas lainnya.
Dalam analisisnya, ada beberapa dalil yang harus diperhatikan, antara lain :
C. KOMPONEN TYPO-MORPHOLOGY.
Moudon menjelaskan bahwa pendekatan TIPO-MORFOLOGI merupakan
refleksi dari dialektik antara tipologi bangunan dengan morfologi kota .
Tradisi dialektik ini menghendaki adanya analisis untuk menemukan kebenaran
mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam perwujudan lingkungan bangunan
secara horisontal (plan / morphology) dan vertikal (perwujudan desain
arsitektural).
Dengan demikian, pendekatan ini mempergunakan komponen-komponen
yang dipergunakan dalam pendekatan tipologi dan morfologi. Dalam kajian
kontemporer mengenai perkotaan, pendekatan ini dapat dipergunakan untuk
menguraikan komponen place dengan memasukkan komponen baru yaitu
persepsi mengenai makna. Carmona et al (2003: 89) menjelaskan konsep
yang dipergunakan Kevin Lynch dalam menguraikan komponen place dengan
mempergunakan tiga buah atribut, yaitu:
identitas,
struktur
makna.
Ketiga atribut ini secara jelas mendefenisikan susunan ruang perkotaan dalam
lima tipologi, yaitu ;
district,
edge,
path,
landmark
node
(Zahnd, 1999).
4. MORFOLOGI DAN PERTUMBUHAN KOTA
Morfologi sebagai formasi sebuah objek bentuk kota dalam skala yang lebih luas. Morfologi
perkotaan adalah penataan atau formasi keadaan kota yang sebagai objek dan sistem yang dapat diselidiki
secara struktural, fungsional, dan visual (Zahnd, 1999). Tiga unsur morfologi kota yaitu unsur-unsur
penggunaan lahan, pola-pola jalan dan tipe-tipe bangunan. Dari sinilah pertama kali muncul
istilah “Townscape” (Smailes, 1955).
DARI PENGERTIAN-PENGERTIAN TERSEBUT, MORFOLOGI KOTA
SECARA SEDERHANA DAPAT DIARTIKAN SEBAGAI :
BENTUK-BENTUK FISIK KOTA DENGAN DIKETAHUI SECARA
STRUKTURAL, FUNGSIONAL DAN VISUAL.
MORFOLOGI KOTA SATU DENGAN KOTA LAIN DAPAT BERBEDA-BEDA
SEHINGGA MORFOLOGI KOTA INI MENJADI PEMBENTUK
KARAKTERISTIK ATAU CIRI KHAS SUATU KOTA.
12.4.AKSESIBILITAS
Menurut Black (1981) aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan
atau kemudahan lokasi tata guna lahan berinteraksi satu dengan
yang lain, dan mudah atau sulitnya lokasi tersebut dicapai
melalui sistem jaringan transportasi. Pernyataan mudah atau sulit
merupakan hal yang sangat subyektif dan kualitatif, mudah bagi
seseorang belum tentu mudah bagi orang yang lain, begitu pula dengan
pernyataan sulit, oleh karena itu diperlukan kinerja kualitatif yang dapat
menyatakan aksesibilitas.
Menurut Black and Conroy (1977) aksesibilitas zona dipengaruhi oleh
proporsi orang menggunakan moda tertentu. Ukuran fisik
aksesibilitas menerangkan struktur perkotaan secara spesial tanpa
melihat adanya perbedaan yng disebabkan oleh keragaman moda
transprtasi yang tersedia, misalnya mobil dan angkutan umum. Mobil
mempunyai aksesibilitas yang lebih baik dari angkutan umum atau
berjalan kaki. Banyak orang didaerah pemukiman mempunyai akses yang
baik dengan mobil atau sepeda motor dan banyak juga yang tergantung
kepada angkutan umum dan jalan.
Pengukuran sikap seseorang atas suatu obyek dipengaruhi oleh
stimuli. Sebagai stimuli adalah peubah-peubah bebasnya (Sudibyo, 1993).
Metode pengukuran sikap diukur dalam mempersepsi sesuatu obyek.
Sikap adalah respon psikologis seseorang atas faktor yang berasal dari
suatu obyek, respon tersebut menunjukkan kecenderungan mudah atau
sulit. Dengan demikian maka pengukuran aksesibilitas transportasi dari
seseorang merupakan pengukuran sikap orang tersebut terhadap kondisi
aksesibilitas transportasinya.
Ukuran fisik aksesibilitas menerangkan struktur perkotaan secara spasial
tanpa melihat adanya perbedaan yang disebabkan oleh keragaman moda
transportasi yang tersedia misalnya dengan berjalan kaki, berkendaraan
pribadi atau angkutan umum.
Banyak orang di daerah pemukiman baik mempunyai akses yang baik
dengan mobil atau sepeda motor atau kendaraan pribadi, tetapi banyak
pula yang bergantung pada angkutan umum atau berjalan kaki. Jadi
aksesibilitas zona asal dipengaruhi oleh proporsi orang yang
menggunakan moda tertentu, dan harga ini dijumlahkan untuk semua
moda transportasi yang ada untuk mendapatkan aksesibilitas zona
(Tamin, 1997).
Menurut Black, 1978 jumlah atau jenis lalu lintas yang dihasilkan oleh
setiap tata guna lahan merupakan hasil dari fungsi parameter sosial dan
ekonomi. Jenis tata guna lahan yang berbeda (pemukiman, pendidikan,
komersil) mempunyai ciri bangkitan lalulintas yang berbeda seperti
jumlah lalulintas, jenis lalulintas (pejalan kaki, truk, mobil), lalulintas pad
waktu tertentu (kantor menghasilkan arus lalulintas pada pagi hari,
sedangkan pertokoan menghasilkan arus lalulintas sepanjang hari)
Menurut Wells, 1975 bangkitan pergerakan memperlihatkan bnyaknya
lalulintas yang dibangkitkan oleh setiap tata guna lahan, sedangkan
sebaran menunjukkan kemana dan darimana lalulintas tersebut.
Tarikan pergerakan adalah jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata
guna lahan atau zona tarikan pergerakan (Tamin, 2000). Tarikan
pergerakan dapat berupa arikan lalu lintas yang mencakup lalu lintas
yang menuju atau tiba ke suatu lokasi.
Pergerakan lalu lintas merupakan fungsi tata guna lahan yang
menghasilkan arus lalu lintas.
Menurut Tamin, 1997 pergerakan Lalu - lintas dalam suatu daerah kajian
tertentu dipengaruhi oleh dua jenis zona yaitu Zona Eksternal dan Zona
Internal. Zona Eksternal adalah Zona yang berada diluar daerah Kajian
yang dianggap sedikit memberi pengaruh dalam pergerakan lalu - lintas
dalam suatu daerah kajian tertentu. Zona internal adalah adalah zona
yang berada di dalam daerah kajian yang dianggap berpengaruh besar
terhadap pergeraakan arus lalu lintas dalam suatu daerah kajian tertentu.
Adapun suatu daerah kajian transportasi dibatasi oleh daerah kajian
disekelilinganay (Garis Kordon) dan semua informasi transportasi yang
bergerak didalamnya harusa diketahui.
Di dalam batasanya, daerah kajian dibagi menjadi N subdaerah yang
disebut zona yang masing-masing diwakili oleh pusat zona. Pusat Zona
dianggap sebagai awal pergerakan lalulintas dari zona tersebut dan akhir
pergerakan lalulintas yang menuju zona tersebut Menurut IHT and DTp
1987 dalam Tamin, 1997 kriteria utama yang perlu diperhatikan dalam
pembentukan Zona Transportasi adalah:
1. Ukuran zona harus konsisten dengan kepadatan jaringan yang akan
dimodel. Biasanya ukuran zona semakin membesar jika semakin jauh dari
pusat kota.
2. Ukuran zona harus lebih besar dari yang seharusnya untuk
memungkinkan arus lalu lintas dibebankan ke atas jaringan jalan dengan
ketepatatan yang disyaratkan.
3. Batas zona harus dibuat sedemikian rupa sehingga konsisten dengan
jenis pola pengembangan untuk setiap zona, misalnya pemukiman,
industri dan perkantoran.
4. Batas zona harus sesuai dengan batas sensus, batas administrasi
daerah dan batas zona yang digunakan oleh daerah kajian.
5. Batas zona harus sesuai dengan batas daerah yang digunakan dalam
pengumpulan data.
1. Setelah menguasai banyak kota-kota besar di sepanjang pantai Utara Jawa pada abad ke
18, Belanda sedikit demi sedikit mulai keluar dari bentengnya.
2. Kemudain mereka ini mendirikan sebuah pusat kota yang sering dinamakan sebagai
‘STADHUIS’. Daerah ini merupakan kombinasi dari ‘city hall’ dan ‘court of justice’,
yang disekitarnya dikelilingi oleh bangunan-bangunan seperti gereja, kantor pos, rumah
yatim piatu anak-anak Belanda dan fasilitas umum lainnya. Contoh dari kota-kota
seperti ini adalah : Surabaya, Semarang, dan banyak kota-kota besar di Utara Jawa
lainnya.
3. Pada abad ke 19, setelah Belanda berhasil menguasai seluruh P. Jawa, termasuk
pedalamannya, maka bentuk dan struktur kota-kota di Jawa mengalami banyak
perubahan. Dalam periodisasi sejarah perkembangan kota Jawa, antara th. 1800-1900 ini
sering disebut sebagai KOTA “INDISCH’. Pada prinsipnya bentuk kota ‘indisch’ ini
terdiri atas pusat kota, yang berupa alun-alun dengan bangunan pemerintahan dan
keagamaan di sekelilingnnya, serta bangunan fasilitas umum yang letaknya tidak
jauh dari pusat kota tersebut. Pola permukimannya pada umumnya terbagi
menjadi 3 kelompok etnis yang berorientasi pada pusat kota tersebut. Orang Eropa
menempati daerah yang paling strategis dan nyaman dekat pusat kota. Daerah orang Cina
yang disebut sebagai Pecinan, biasanya terletak dekat pasar atau daerah perdagangan
lokal. Dan daerah penduduk setempat yang agak jauh dari pusat kota , suatu daerah yang
dalam kedudukan kota kolonial terdiri atas kampung-kampung yang kurang mendapat
perhatian dari pemerintah kolonial.
4. Ronald G.Gill (1995), membagi kota Indisch terseut menjadi 2 bagian. : 1) disebut
sebagai “OUD INDISCHE STAD” , 2) yang kedua disebut sebagai “NIEUWE
INDISCHE STAD”. Yang dimaksud dengan kota Hindia Belanda lama (Oud Indische
Stad) adalah sebuah kota dimana pada pusat kotanya (daerah alun-alun), terdapat
pemisahan antara pemerintahan kolonial Belanda (yang diwakili oleh Residen atau
Asisten Residen) dengan gedung pemerintahan Pribumi (yang diwakili oleh Bupati). Jadi
pada hakekatnya gedung pemerintahan yang termasuk mengatur kota tersebut
dalam satu kota terpisah satu sama lain. Gedung pemerintahan Pribumi biasanya
terletak di Selatan alun-alun. Sedangkan kantor Asisten Residen ada di bagian lain
di kota tersebut. Contoh yang jelas seperti ini adalah Pasuruan, Pekalongan. Tegal,
Blitar, Banyumas dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan Kota Hindia
Belanda Baru (Nieuwe Indische Stad), adalah sebuah kota dimana pada pusat kotanya
(daerah alun-alun) antara pusat pemerintahan Pribumi (Kabupaten) dengan pusat
pemerintahan Kolonial Belanda (Kantor Asisten Residen) ada disekitar alun-alun
tersebut. Contoh kota seperti itu misalnya adalah: Probolinggo, Bondowoso,
Bojonegoro, Lumajang, dan sebagainya.
5. Kota-kota besar di Jawa seperti Batavia, Semarang, Bandung, Surabaya Malang
dan sebagainya mengalami prubahan drastis pada bentuk dan strukturkotanya
diawal abad ke 20. Salah satu penyebabnya adalah pertambahan penduduk
yang sangat cepat dalam waktu yang relatif singkat di perkotaan. Sarana dan
prasarana kota lama sudah tidak dapat menampung lagi pertambahan penduduk dan
kemajuan jaman. Antara th. 1905 sampai th.1930 , Jawa dan Madura bertumbuh dengan
27%, Sedangkan Batavia bertumbuh 130%, Surabaya 80%, Semarang 100%, Bandung
325% dan Malang 140%. Ledakan penduduk di kota-kota besar Jawa seperti data diatas
jelas tidak bisa diatasi dengan sistim administrasi pemerintahan yang terpusat seperti
yang dipakai pada abad ke 19. Oleh sebab itu pada th.1905 diputuskan suatu undang-
undang desentralisasi, yang pada pokoknya memberikan pemerintahan sendiri pada
wilayah Karesidenan dan Kabupaten yang ditunjuk oleh pemerintah.
6. Setelah itu menyusul timbulnya kotamadya-kotamadya di Jawa yang istilahnya
waktu itu disebut sebagai “GEMEENTE’. Pada tahun 1905, yang ditentukan sebagai
gemeente adalah Batavia, Meester Cornelis (Jatinegara) dan Bogor. Kemudian pada
th.1906 adalah Bandung, Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Surabaya dan Kediri.
Pada tahun-tahun berikutnya kota yang diberi status ‘gemeente’ ini terus bertambah.
Sehingga sampai th. 1942 seluruh gemeente yang ada di Indonesia berjumlah 30. Delapan
belas ada di Jawa dan sisanya 12 ada diluar Jawa.
7. Sebagian besar dari kota-kota yang disebut sebagai ‘ gemeente’ inilah yang
mengalami perubahan drastis morpologi kotanya. Bentuk dan struktur kota
yang sering disebut sebagai kota ‘Indisch’1 pada abad ke 19 tersebut
segera mengalami perubahan pada awal abad ke 20 ini. Setelah adanya
undang-undang desentralisasi th. 1905, kota-kota besar di Jawa mengalami
‘WETERNISASI’. Westernisasi tersebut memasuki berbagai sendi kehidupan
kota di awal abad ke 20. Pusat kota lama yang berbau Indisch atau bahkan
unsur tradisional yang dominan, ada kecenderungan untuk diperkecil
perannya. Pusat pemerintahan kota gaya Indisch yang terletak di alun-alun
diganti dengan pusat pemerintahan modern di daerah yang baru yang lebih
modern. Walikota sebagai penguasa kota yang sebelum adanya undang-
undang desentralisasi tidak ada dalam struktur administrasi kota, sekarang
merupakan penguasa tertinggi di dalam kota. Sebagai akibatnya maka harus
dibangun belasan gedung kotamadya baru diseluruh Jawa dengan arsitektur
kolonial yang modern.
8. Daerah baru tersebut terlepas sama sekali dari daerah alun-alun sebagai pusat
kota lama. Daerah ini biasanya terletak dekat dengan pusat hunian orang
Eropa yang baru dikembangkan. Contoh nyata kota-kkota seperti itu misalnya
adalah Malang, pusat kota lamanya di daerah alun-alun pada th. 1928
dipindahkan ke komplek baru di daerah alun-alun bunder dengan bangunan
gedung kotamadya yang megah, terletak dekat komplek hunian orang Eropa yang
dinamakan “Gouverneur General Buurt”.
9. pada bagian pertama abad 20 tersebut kota-kota besar di Jawa mengalami
perubahan drastis, baik pada pemindahan pusat kotanya, tumbuhnya daerah-
daerah perdagangan baru dan perkembangan daerah perumahan secara besa-
besaran. Semuanya ini merubah total morpologi kota yang sudah ada pada
abad ke 19. Perubahan tersebut harus diatur dengan undang-undang perkotaan
yang mempunyai kekuatan hukum. Karsten punya andil besar dalam rencana
terbentuknya undang-undang tersebut, meskipun pengesahan resminya dipandang
sangat terlambat sekali. Perubahan morpologi kota besar diJawa awal abad ke 20,
meskipin melalui banyak hambatan dan pengorbanan, tapi pada umumnya dinilai
sangat berhasil.
Pada awal tahun 1960-an, Jakarta tidak lebih dari
sebuah “kampoeng besar” dengan sebuah hotel
berbintang, Hotel Indonesia dan sebuah
department store “Sarinah”. 13Namun dalam tempo
50 tahun terakhir, perkembangan yang sangat pesat telah
terjadi. Jakarta telah bermetamorfosa menjadi sebuah kota
metropolitan, dengan gedung-gedung modern pencakar
langit yang megah (hotel, apartemen, kantorhingga
mall/pusat-pusat perbelanjaan), khususnya di kawasan
Segitiga Emas. Dalam prosesnya, transformasi sosio-fisik
dilakukan dengan mengkonversi kampungkampung yang
banyak berada di dataran rendah (rawa dan kebun)2 ke
segala arah:Barat, Selatan dan Timur. Kini, dengan
statusnya sebagai “multi-function”3 yang
mengakumulasi berbagai fungsi tertinggi secara nasional
(pusat pemerintahan, perdagangan dan jasa, bahkan
kebudayaan), Jakarta telah menjema menjadi salah satu
pusat pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan di kawasan
Asia-Pasifik. Selain itu, perkembangan yang sangat pesat
terjadi di kawasan pinggiran, dimana tidak kurang dari 7
(tujuh) kotabaru.berskala besar telah terbangun di
Jabodetabek sejak tahun 1980-an (Gani, 2010).
Kota Bandung sejak lama direncanakan sebagai salah satu pusat kegiatan
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930-an apabila merujuk pada keberadaan
Gedung Sate. Konsep yang dikembangkan awalnya adalah kota taman yang asri,
sebagai unsur esensial dari sistem internal kotanya. Proses urbanisasi telah terjadi
secara cepat mulai tahun 1980-an, ditandai dengan okupansi lahan-lahan di Bandung
Utara dan Bandung Selatan. Perubahan morfologi kota semakin tajam pada awal tahun
2000- an, ditandai dengan pemekaran Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat, serta
132dibukanya akses jalan tol Cipularang pada tahun 2005 yang memangkas jarak waktu
Jakarta – Bandung secara signifikan. Bandung mengalami metamorfosa, dari kota tempat
peristirahatan para mandor perkebunan « tempoe doeloe » menjadi kota tujuan wisata «
urban tourism » dengan atraksi wisata kuliner, kesejukan alami. dataran tinggi, serta pusat
belanja (factory outlets). Kawasan Dago, Setiabudi dan sekitarnya kini menjadi pusat
kegiatan komersial utama di Kota Bandung, padahal lama sebelumnya ia direncanakan
sebagai pusat hunian yang tenang. Sementara itu, kawasan Bandung Utara yang
sebelumnya merupakan kawasan lindung untuk peresapan air, kini telah beralih fungsi
menjadi salah satu pusat permukiman elit serta pusat kegiatan pariwisata yang dipadati
oleh turis domestik saat weekend.
Kota Gorontalo hingga akhir tahun 1990-an « hanya » merupakan ibukota Kabupaten
Gorontalo dengan fasilitas sosial-ekonomi yang sangat terbatas (hotel, rumah sakit, restoran,
dsb.). Sejak beralih status menjadi kota otonom sekaligus Ibukota Provinsi
Gorontalo pada tahun 1999, aliran investasi yang mengalir cukup deras dipicu
oleh kegiatan pemerintahan telah merubah wajah kota secara signifikan. Pusat-
pusat kegiatan komersial dan jasa (perbankan, restoran, hotel dsb). tumbuh
subur. Infrastruktur sosial-ekonomi semakin membaik, khususnya yang berkaitan
dengan sektor industri perikanan (pelabuhan) dan sektor pertanian tanaman
pangan (industri pengolahan komoditas jagung). Wajah kota yang relatif
sederhana, secara perlahan kini berubah mengikuti perkembangan zaman.
Beberapa faktor tampaknya cukup dominan dalam proses tersebut :
(1) ALIRAN INVESTASI YANG MENDORONG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KOTA,
KHUSUSNYA YANG DIGERAKKAN OLEH INVESTASI SWASTA
(2) KEBERADAAN INFRASTRUKTUR SOSIAL-EKONOMI, SEPERTI JALAN DAN
PELABUHAN, SERTA
(3) PENINGKATAN STATUS KOTA OTONOM (IBUKOTA PROVINSI).
Ketiga faktor tersebut menjadi penyebab utama terjadinya urbanisasi dan
mengakselerasi alih-fungsi ruang perkotaan. Perbedaannya terletak pada titik awal
terjadinya perubahan (Jakarta sejak 1960-an, Bandung sejak 1980-an, dan Gorontalo
sejak 2000-an), serta kecepatan 132transformasi yang terjadi yang banyak
ditentukan oleh peran sektor swasta.