SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Desain Model Pengering
Spouted Bed Dua Dimensi untuk Pengeringan Gabah adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
YUSNITA ONI NAPITU. Desain Model Pengering Spouted Bed Dua Dimensi
untuk Pengeringan Gabah. Dibimbing oleh LEOPOLD OSCAR NELWAN dan
DYAH WULANDANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema umum
yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengeringan dengan judul Desain Model
Pengering Spouted Bed Dua Dimensi untuk Pengeringan Gabah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Leopold Oscar Nelwan, STP,
MSi dan Ibu Dr Ir Dyah Wulandani, MSi selaku dosen pembimbing yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis, dan Bapak Prof Dr Ir
Sutrisno, MAgr selaku dosen penguji pada sidang tesis yang telah banyak
memberikan saran dan masukan kepada penulis.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada ayah (Donni
Napitu), ibu (Rosita Pardede), adik (Roy Napitu, Leni Napitu dan Lena Napitu)
serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayang yang telah diberikan.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Abdullah Taufiq Kharisma atas
motivasi dan bantuan yang diberikan selama penelitian ini. Terimakasih juga saya
ucapkan kepada Bapak Harto selaku teknisi Laboratorium Energi dan Elektrifikasi
Pertanian, Mas Firman, Nurbaiti, Kak Robert, Kak Ubay, Kak Sapar serta teman –
teman TMP yang telah menjadi rekan seperjuangan penulis selama menempuh
studi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
DAFTAR LAMPIRAN xiv
DAFTAR SIMBOL xiv
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
Gabah 3
Beras 6
Pengering Spouted bed 6
3 METODE 9
Waktu dan Tempat Pelaksanaan 9
Bahan dan Alat 9
Tahapan Penelitian 10
Perumusan kriteria rancangan 10
Perancangan 10
Analisis teknik alat 11
Gambar teknik 12
Pembuatan alat 13
Model matematika pengeringan spouted bed 13
Model matematika pengering tipe kontinyu 15
Prosedur Pengujian 17
Pengujian alat 19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23
Desain pengering spouted bed dua dimensi 23
Profil suhu dalam ruang pengering 25
Validasi Model Matematika Pengering Spouted Bed 27
Hasil Simulasi Sebaran Suhu Udara 27
Hasil Simulasi Sebaran Suhu Gabah 30
Hasil Simulasi Kelembaban Mutlak Udara 31
Hasil Simulasi Penurunan Kadar Air Gabah 32
Hasil Simulasi Pendugaan Kadar Air Gabah Pengering Tipe Kontinyu 33
Tekanan 34
Penurunan Kadar Air 35
Mutu Gabah Hasil Pengeringan dan Konsumsi Energi 37
5 KESIMPULAN DAN SARAN 40
Kesimpulan 40
Saran 41
6 DAFTAR PUSTAKA 42
LAMPIRAN 47
RIWAYAT HIDUP 54
DAFTAR TABEL
1 Mutu fisik gabah galur padi berkadar besi tinggi 5
2 Data karakteristik gabah 5
3 Karakteristik dan dimensi beberapa komoditas gabah 5
4 Persyaratan mutu beras giling menurut SNI RSNI 01-6128-2008 6
5 Parameter yang digunakan selama proses pengeringan 28
6 Kondisi yang digunakan saat simulasi 28
7 Nilai MAPE data hasil simulasi dan eksperimen suhu udara 29
8 Nilai MAPE model pendugaan kadar air gabah tipe kontinyu 33
9 Penurunan kadar air dan lama pengeringan selama proses pengeringan
35
10 Perbandingan rendemen pengering spouted bed dan suhu udara
lingkungan 37
11 Rendemen gabah dan konsumsi energi selama proses pengeringan 39
12 Hubungan kadar air awal gabah dengan kualitas beras 40
13 Kalibrasi termokopel terhadap termometer standar 48
14 Kalibrasi sensor LM35DZ terhadap termometer standar 48
DAFTAR GAMBAR
1 Struktur Gabah 4
2 Diagram skematik spouted bed tipe konvensional silinder 7
3 Beberapa tipe pengering spouted bed (Passos et al. 2011) 8
4 Skema ruang pengering dua dimensi 23
5 Skema rancangan alat 24
6 Diagram alir tahapan penelitian 11
7 Skema penentuan jarak nomal jika Ws = Wi 12
8 Skema penentuan jarak normal jika Ws > Wi 12
9 Skema aliran bahan dan udara pada satu lapisan 15
10 Tahapan simulasi pada daerah spout 17
11 Diagram alir proses penggilingan dan pemutuan gabah 19
12 Titik pengukuran suhu dan tekanan 20
13 Suhu udara pada daerah spout selama proses pengeringan 26
14 Sebaran suhu udara di daerah downcomer kanan 27
15 Sebaran suhu udara di daerah downcomer kiri 27
16 Validasi suhu udara di daerah spout pada proses pengeringan 29
17 Validasi suhu udara daerah downcomer pada proses pengeringan 30
18 Suhu gabah pada daerah spout 30
19 Suhu gabah pada daerah downcomer 31
20 Kelembaban mutlak udara daerah spout 31
21 Simulasi kelembaban udara mutlak daerah downcomer 32
22 Hasil simulasi penurunan kadar air 33
23 Grafik penurunan tekanan pada daerah spout dan downcomer 34
24 Grafik penurunan kadar air gabah yang keluar dari ruang
pengering 36
25 Laju pengeringan bahan selama proses pengeringan 36
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR SIMBOL
Ar Bilangan Archimedes
Cpa Panas spesifik udara saat tekanan konstan (kJ/kgK)
Cpg Panas spesifik bahan saat tekanan konstan (kJ/kgK)
Cpl Panas spesifik air (kJ/kgK)
Cpv Panas spesifik bahan uap air (kJ/kgK)
dp Diameter bahan (m)
dz Ketebalan (m)
E(θ) Fungsi distribusi bahan keluar
G Laju aliran massa (kg/m2s)
g Gravitasi (m/s2)
Ga Laju aliran massa udara (kg/m2s)
Ga,d Laju aliran udara daerah downcomer (kg/m2s)
Ga,s Laju aliran udara daerah spout (kg/m2s)
Gp,d Laju aliran bahan daerah downcomer (kg/m2s)
Gp,s Laju aliran bahan daerah spout (kg/m2s)
Gp Laju aliran massa bahan (kg/m2s)
h Ketinggian air (mm)
H Kelembaban mutlak udara (kg kadar air/ kg udara kering)
HD Tinggi draft plates (m)
He Jarak antara draft plates dan plat distributor (m)
HE Ketinggian jarak pisah (m)
Hr Tinggi total ruang pengering (m)
Hmax Tinggi tumpukan maksimum bahan di dalam ruang pengering (m)
Ho Tinggi tumpukan awal bahan (m)
hS Koefisien pindah panas volumetrik (kJ/sm3K)
Hv Panas laten penguapan air (kJ/s)
I(θ) Distribusi waktu selama proses pengeringan
k Koefisien pengering (1/s)
KAo Kadar air awal bahan (% basis basah)
KAt Kadar air bahan saat t (% basis basah)
KAt+Δt Kadar air bahan saat t+Δt (% basis basah)
La Panas laten penguapan air pada suhu 0oC (kJ/kgK)
Lr Lebar total ruang pengering (m)
Lg Panas laten penguapan air di dalam biji (kJ/kg)
M Nilai kadar air tertentu (desimal basis kering)
MAPE Nilai tengah kesalahan persentasi absolute
M Kadar air rata-rata bahan pada proses batch (g/g)
mA Laju aliran massa udara kering (g/menit)
mB Massa hold up bahan di dalam ruang pengering (g)
mB Laju aliran massa bahan kering (g/menit)
m in Laju aliran massa bahan masuk ruang pengering (kg/s)
Huruf Yunani
δ perubahan
ρ densitas (kg/m3)
Δ selisih
θ waktu tidak berdimensi ( t / t )
ϕ kebundaran bahan
ρf densitas udara (kg/m3)
f viskositas fluida
ρs densitas bahan, kg/m3
θs kemiringan sudut ruang pengering, o
θ0 besar sudut antara draft plates dengan sisi miring bawah ruang
pengering di titik D, o
θE besar sudut antara draft plates dengan sisi miring bawah ruang
pengering di titik A, o
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu jenis FBD adalah pengering spouted bed. Pengering spouted bed
tidak seperti tumpukan fluidisasi dimana partikel bergerak secara acak. Gerakan
partikel di dalam spouted bed bersirkulasi ulang secara teratur sehingga pengering
dengan tipe batch maupun kontinyu dapat diterapkan (Mujumdar 2006). Pengering
tipe spouted bed juga dapat diaplikasikan ke partikel tipe D menurut klasifikasi
karakteristik fluidisasi oleh Geldart.
Keuntungan pengering tipe spouted bed ini adalah kinerja dari panas yang
digunakan dapat ditingkatkan sampai suhu tinggi tanpa menyebabkan adanya
penurunan kualitas yang signifikan pada produk. Hal ini disebabkan karena partikel
yang berada pada wilayah spout merupakan fraksi dari total waktu pengeringan.
Selama waktu pengeringan, kadar air permukaan bahan akan menguap dan gradien
antar partikel di dalam bahan yang terbentuk semakin tinggi. Tingginya sirkulasi
partikel dan laju transfer massa dan panas pada spouted bed tidak akan lebih dari
50-80 oC walaupun suhu udara masuk pengering 160 oC (Chandra dan Sodha 1986).
Selain itu, penurunan tekanan sebagai fungsi tinggi tumpukan lebih kecil dari 75%.
Kekurangan sistem pengeringan gabah spouted bed konvensional adalah
tingginya penurunan tekanan. Namun, hal ini dapat diatasi dengan penambahan unit
draft tubes di bagian tengah ruang pengering sehingga ruang pengering terdiri dari
daerah anulus dan spout. Penambahan unit ini menyebabkan sirkulasi bahan di
dalam ruang pengering menjadi lebih stabil dan penurunan tekanan menjadi lebih
kecil (Viswanathan et al. 1986). Wetchama et al. (2001) melakukan pengeringan
gabah dengan spouted bed dua dimensi dilengkapi dengan draft plates dan
diperoleh bahwa kandungan beras kepala meningkat ketika gabah memiliki kadar
air awal 45.56% bk (basis kering) dan dikeringkan dengan temperatur lebih dari
130 oC. Namun pada kadar air rendah yaitu 37.8% bk, beras kepala menurun ketika
suhu inlet meningkat. Hanya penelitian Nguyen et al. (2001) melaporkan bahwa
pada pengering spouted bed tipe segitiga dapat menurunkan kadar air gabah sekitar
18% bk dengan hasil beras kepala yang memuaskan walaupun suhu inlet udara
sampai 160 oC. Penurunan tekanan maksimum pada awal spouting adalah 2000-
3600 Pa dan penurunan tekanan berada pada batas antara 1400 - 2300 Pa.
Untuk mensimulasi pengeringan spouted bed, model pengeringan di dalam
tumpukan mencakup persamaan kesetimbangan massa, kesetimbangan energi dan
kinetika pengeringan. Model pengeringan tipe batch untuk gabah dikembangkan
oleh Zurith dan Singh (1982) menggunakan model semi teori dari desorpsi panas-
penguapan sebagai fungsi dari suhu dan kadar air. Untuk memprediksi kadar air,
Zurith dan Singh (1982) mengasumsikan dengan konstanta difusi konstan selama
proses pengeringan (Madhiyanon et al. 2007). Madhiyanon et al. (2007)
mengembangkan persamaan yang terdiri dari persamaan kesetimbangan massa,
kesetimbangan energi, pindah panas dan difusi pengeringan yang diselesaikan
dengan metode numerik. Aliran bahan di ruang pengering diasumsikan bergerak
dengan prinsip plug flow walaupun kondisi sebenarnya perilaku bahan berbeda
dengan prinsip plug flow. Nellist et al. (1987) juga mengembangkan model yang
dapat digunakan untuk pengeringan dengan tipe aliran co-flow dan counter-flow.
Di dalam pengering spouted bed dua dimensi, aliran bahan diasumsikan bergerak
dengan tipe co-flow untuk daerah spout dan counter-flow untuk daerah downcomer.
Model ini diadopsi untuk menduga parameter pengeringan seperti suhu udara, suhu
gabah, kelembaban mutlak udara dan kadar air selama proses pengeringan.
3
Tujuan Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Gabah
Butir Butir
Bobot
Kadar hampa hijau Rendemen
Galur/ Densitas 1000 Rendemen
air + + beras
Varietas (g/l) butir BPK (%)
(%) kotoran kapur giling (%)
(g)
(%) (%)
BP146D 12.8 502 22.9 1.1 1.54 77.84 64.26
BP138E 11.6 481 25.9 1.26 1.48 78.44 6385
IR65600 11.7 480 22.6 0.5 4.02 81 67.09
IR66750 11.2 456.5 22.7 0.38 8.6 78.04 61.41
IR71218 10.8 474 26.4 0.24 8.74 77.75 63.85
IR68144 11.4 492 17.7 1.86 8.14 76.04 63.74
Ciherang 11.5 480 22.5 2.66 6.76 74.38 64.46
Beras
Beras merupakan sumber utama kalori bagi sebagian besar rakyat Indonesia.
Pangsa beras pada konsumsi kalori total adalah 54.3%, atau dengan kata lain
setengah dari intake kalori masyarakat Indonesia bersumber dari beras (Harianto
2001). Secara umum, mutu beras dapat dikategorikan ke dalam 4 kelompok, yaitu
(i) mutu giling, (ii) mutu rasa dan mutu tanak, (iii) mutu gizi, dan (iv) standar
spesifik untuk penampakan dan kemurnian biji (misalnya besar dan bentuk beras,
kebeningan (transluency), dan beras chalky. Sedangkan dalam program pemuliaan
padi, komponen mutu beras dapat dikelompokkan atas (i) rendemen giling, (ii)
penampakan, bentuk, dan ukuran biji, dan (iii) sifat-sifat tanak dan rasa nasi
(Damardjati dan Purwani 1991).
Mutu beras giling dikatakan baik apabila hasil dari proses penggilingan
diperoleh beras kepala yang banyak dengan beras patah minimal. Mutu giling ini
juga ditentukan dengan banyaknya beras putih atau rendemen yang dihasilkan.
Mutu giling ini sangat erat kaitannya dengan nilai ekonomis dari beras. Salah satu
kendala utama bagi produksi beras adalah banyaknya beras yang pecah sewaktu
digiling. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya mutu beras (Allidawati dan
Kustianto 1989). Spesifikasi persyaratan mutu beras giling telah diatur dalam RSNI
01-6128-2008. Mutu beras giling menurut SNI ini dibedakan menjadi beras mutu I,
mutu II, mutu III, mutu IV, dan mutu V. Persyaratan mutu beras giling menurut SNI
ini dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Persyaratan mutu beras giling menurut SNI RSNI 01-6128-2008
Mutu
No Komponen Mutu Satuan
I II III IV V
1 Derajat sosoh (min) (%) 100 100 95 95 95
2 Kadar air (max) (%) 14 14 14 14 14
3 Beras kepala (min) (%) 95 89 78 73 60
4 Butir patah total (max) (%) 5 10 20 25 35
5 Butir menir (max) (%) 0 1 2 2 5
6 Butir merah (max) (%) 0 1 2 3 3
Butir kuning/rusak
7 (max) (%) 0 1 2 3 5
8 Butir mengapur (max) (%) 0 1 2 3 5
9 Benda asing (max) (%) 0 0.02 0.02 0.1 0
10 Butir gabah (max) Butir/100 gr 0 1 1 2 3
Tipe awal spouted bed dikembangkan pada tahun 1954 di NRC (National
Research Council) Kanada oleh Gisler dan Mathur. Tipe ini dikembangkan sebagai
metode alternatif pengeringan gandum yang saat itu terjadi slugging yang buruk
pada pengering fluidized bed. Slugging pada spouted bed dapat diatasi dengan
membagi daerah di dalam ruang pengering menjadi beberapa bagian yaitu anulus,
7
spout dan fountain (Gambar 2). Saluran inlet udara berada pada bagian bawah pada
posisi tengah ruang pengering.
Cara kerja pengering tipe ini adalah bahan yang telah dimasukkan dari bagian
atas kemudian ditiupkan udara yang cukup kuat yang berasal dari saluran inlet
bagian bawah ruang pengering. Hal ini akan menyebabkan bahan akan terbang dan
pada ketinggian tertentu akan jatuh kembali ke daerah anulus. Bahan yang jatuh ke
daerah anulus akan terus bergerak ke daerah spout dan kemudian tertiup oleh udara
inlet kembali ke atas. Siklus ini akan terjadi terus menerus jika udara terus ditiupkan
dari bagian bawah. Sifat hidrodinamika ini kemudian menarik para ahli kala itu
karena dianggap unik dan dinamakan spouted bed. Bagian pusat ruang pengering
dinamakan spout, daerah sekitar spout dinamakan anulus dan bahan yang terdapat
di atas permukaan tumpukan bahan pada daerah spout dan kembali turun ke daerah
anulus dinamakan fountain (Gambar 2). Untuk menghilangkan dead spaces pada
bagian bawah ruang pengering, biasanya digunakan dasar berbentuk kerucut (untuk
tipe konvensional) atau bidang miring (biasa digunakan untuk tipe dua dimensi).
Pengering tipe spouted bed dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu tipe
konvensional silinder (Gambar 3a), conical-cylindrical (Gambar 3b), dua dimensi
(Gambar 3c) dan segitiga (Gambar 3d). Alat pengering konvensional yang banyak
terdapat di pasaran adalah yang berbentuk silinder (Gambar 3a). Keuntungan
pengering spouted bed tipe silinder adalah mudah dalam penanganan untuk partikel
berukuran besar, biaya investasi murah, suhu udara inlet dapat menggunakan suhu
tinggi tanpa mengakibatkan kerusakan yang besar terhadap produk dan aliran udara
sepenuhnya tergantung terhadap semburan dari inlet. Kekurangan pengering tipe
ini adalah terbatas pada kedalaman tumpukan, diameter kolom yang digunakan
(tanpa draft tubes) dan scale-up alat.
Fountain
Anulus
Spout
Bagian dasar
3 METODE
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2015 sampai dengan Januari 2016.
Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah Laboratorium Lapang Siswadhi
Soepardjo Leuwikopo dan Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian.
Rincian alat dan bahan yang digunakan pada penelitian adalah sebagai
berikut :
1. Pembuatan ruang pengering
Alat : Bor tangan, las listrik, pemotong akrilik, lem akrilik, gerinda tangan.
Bahan : Akrilik, besi plat
2. Pembuatan siklon
Alat : Las listrik, elektroda, gerinda, gergaji
Bahan : Besi plat lembaran dengan tebal 0.5 mm.
3. Saluran inlet dan outlet udara
Alat : Gergaji, lem, klem
Bahan : Pipa PVC dengan diameter 1.5 inch.
4. Unit pemanas (heater)
Alat : Gergaji besi, las listrik
Bahan : Heater 1 kW, besi dengan diameter 2.5 inch.
5. Pengujian alat
Alat :
a. Perangkat komputer merk Acer One 10 untuk proses pengolahan data
b. Hybrid recorder merk Chino-10 untuk menampilkan suhu pengukuran
termokopel
c. Arduino Mega 2560 untuk menampilkan suhu pengukuran dari sensor
suhu LM35DZ
d. Termokopel tipe T dan sensor suhu LM35DZ merupakan sensor untuk
pengukuran suhu
e. Anemometer merk Kanomax untuk melakukan pengukuran kecepatan
udara
f. Termometer bola basah dan bola kering untuk mengukur suhu
lingkungan
g. Timbangan digital untuk mengukur massa gabah
h. Oven pengering sebagai media pengukuran kadar air gabah
i. Motor listrik untuk sumber tenaga yang memutar screw pada proses
pengumpanan
j. Motor driver untuk mengatur kecepatan screw feeder pada sistem
pengumpanan bahan
k. Penggiling gabah merk Satake untuk menggiling gabah menjadi beras
coklat
l. Penyosoh beras merk Satake untuk menyosoh beras coklat menjadi
beras putih
10
Bahan : Gabah dengan kadar air awal 23 % bb, 26.5 % bb dan 29 % bb.
Tahapan Penelitian
Perancangan
Alat yang digunakan merupaka skala kecil (model) untuk skala laboratorium.
Perancangan alat dibagi menjadi dua yaitu rancangan fungsional dan rancangan
struktural. Rancangan fungsional merupakan kegiatan yang memastikan alat
berfungsi dengan baik, sementara rancangan struktural merupakan pemaparan
detail dimensi setiap komponen yang terdapat pada alat. Komponen utama desain
pengering spouted bed pada penelitian ini terdiri dari ruang pengering, hoper dan
sistem pengumpanan, siklon, blower dan pemanas udara. Rancangan fungsional
dan struktural akan dijelaskan lebih lanjut pada Bab hasil dan pembahasan.
11
Mulai
Gambar teknik
Pembuatan alat
Modifikasi Berhasil?
Pengolahan data
Selesai
Gambar 4 Diagram alir tahapan penelitian
Analisis teknik alat
Analisis teknik pada penelitian ini merupakan metode yang akan digunakan
dalam penentuan dimensi dari setiap komponen yang akan dirancang, model
matematika yang digunakan untuk simulasi dan kebutuhan energi pengeringan yang
akan dibahas selanjutnya.
Passos et al. (1993) menggunakan beberapa rasio yang dapat digunakan
sebagai dasar penentuan dimensi ruang pengering yaitu :
55 < Pr/dpϕ < 141 (1)
4 < Wi/dpϕ < 11 (2)
0.4 < Ho/Pr < 1.8 (3)
0.5 < Lr/Wi < 1.0 (4)
(Pr/Wi)min = VT/Vmf (5)
12
Pembuatan alat
Pembuatan alat dilakukan setelah proses perancangan alat dan gambar teknik
selesai dilakukan. Proses pabrikasi dilakukan di bengkel Siswadhi Soepardjo
Leuwikopo.
Model matematika yang digunakan pada penelitian ini dibagi menjadi dua
bagian yaitu model pendugaan parameter pengeringan seperti suhu udara, suhu
gabah, kelembaban udara dan kadar air di dalam ruang pengering selama proses
pengeringan dan model matematika pendugaan kadar air rata-rata bahan yang
keluar dari ruang pengering per satuan waktu. Model matematika yang digunakan
untuk pendugaan parameter pengeringan adalah model matematika yang telah
dikembangkan oleh Nellist et al. (1987), sementara model matematika pendugaan
kadar air rata-rata yang keluar dari ruang pengering menggunakan model yang
dikembangkan oleh Zahed dan Epstein (1992).
Tahap awal untuk mengembangkan persamaan adalah dengan menurunkan
persamaan untuk mendeskripsikan perpindahan panas dan massa pada lapisan tipis
pada waktu yang relatif kecil. Tumpukan bahan dibagi menjadi lapisan yang tipis
dengan ketebalan (dz) dengan nilai kadar air tertentu (M) bergerak pada sumbu z
dengan laju aliran udara (G) dan suhu udara (Ta) dan kelembaban mutlak udara (H)
(Gambar 7). Dengan asumsi bahwa kehilangan panas hanya terjadi pada arah aliran,
maka persamaan diferensial perubahan suhu udara selama waktu tertentu (t) dapat
ditulis dengan persamaan :
T T
Ta a dt a dz (14)
t z
Namun, dalam waktu yang relatif singkat maka perubahan suhu udara dan
kelembaban akan lebih berpengaruh terhadap ketebalan tumpukan dibandingkan
terhadap waktu. Sehingga perubahan suhu dapat ditulis dengan komponen terpisah
Ta H
yaitu dengan notasi masing masing dz dan dz .
z z
Perubahan suhu gabah dan kadar air bahan akan berpengaruh lebih besar jika
dihubungkan terhadap waktu dibandingkan dengan ketebalan, sehingga perubahan
Tg M
suhu dapat ditulis dengan notasi masing masing dt dan dt . Hubungan
t t
antara suhu udara, suhu gabah, kelembaban udara dan kadar air akan dinyatakan
dalam empat persamaan yaitu :
1. Kesetimbangan kadar air
Perubahan massa air pada bahan sama dengan massa air di udara sehingga
persamaan dapat ditulis :
M H
dz dt Gdt dz (15)
t z
dz M H
dz (16)
G t z
14
4. Laju pengeringan
Persamaan diferensial kadar air yang hilang M sebagai fungsi dari tiga
faktor yaitu Ta, Tg dan H. Persamaan laju penurunan kadar air dapat dituliskan
sebagai :
k M M e t
M
(22)
1 1 kt
2
Dalam penggunaan model, terdapat empat asumsi yang digunakan yaitu :
1. Pada daerah spout, bahan dan udara diasumsikan bergerak dengan prinsip
aliran co-flow (Gambar 7a) yaitu posisi inlet udara dan bahan berasal dari
posisi yang sama. Sementara untuk daerah downcomer, bahan dan udara
bergerak dengan prinsip aliran counter-flow (Gambar 7b) yaitu posisi inlet
udara dan bahan tidak berada pada posisi yang sama.
2. Bahan dan diasumsikan bersirkulasi dengan satu aliran saja untuk masing
masing daerah spout dan downcomer.
15
3. Koefisien pindah panas antara dinding draft plates dengan daerah spout dan
downcomer diabaikan.
4. Kadar air awal sebagai kondisi awal untuk daerah spout dan daerah
downcomer adalah kadar air awal gabah
(a) (b)
Gambar 7 Skema aliran bahan dan udara pada satu lapisan
Tahapan dalam proses simulasi terdiri dari dua bagian yaitu daerah spout dan
daerah downcomer. Tahapan simulasi pada daerah spout disajikan pada Gambar 8.
Simulasi daerah downcomer dilakukan dengan dua tahapan yaitu :
1. Asumsi untuk tahap awal yaitu posisi inlet bahan dan udara berada pada
posisi yang sama (posisi 0 adalah inlet udara) dan proses simulasi
dilakukan seperti pada tahapan simulasi daerah spout. Jika kondisi sampai
lapisan outlet udara (lapisan n) diketahui, maka simulasi dilanjutkan ke
tahap 2.
2. Kondisi lapisan n (outlet udara) diganti dengan kondisi lapisan (n-1).
Proses ini akan diulang kembali sampai posisi inlet udara dihitung seperti
simulasi daerah spout.
Pendugaan kadar air rata-rata bahan yang keluar dari ruang pengering
merupakan pendugaan kadar air rata-rata pengering tipe kontinyu. Model yang
digunakan adalah model yang telah dikembangkan oleh Zahed dan Epstein (1992).
Kesetimbangan massa yang terjadi pada tumpukan untuk pengumpanan secara
kontinyu dengan kadar air awal yang sama (Mo),laju aliran massa bahan kering
̿ ) dapat ditulis dengan persamaan :
(𝑚̇𝐵 ) dan komposisi kadar air produk (𝑀
m A Y Yi mB M o M (23)
Dalam hal ini 𝑚̇𝐴 adalah laju aliran massa udara kering (g/menit), Y adalah
kelembaban udara outlet (g uap air/g udara kering), Yi adalah kelembaban udara
inlet (g uap air/g udara kering), 𝑚̇𝐵 adalah laju aliran massa bahan kering (g/menit),
Mo adalah kadar air gabah yang diumpankan (g/g), dan 𝑀 ̿ adalah volume rata-rata
kadar air (g/g).
Jika aliran bahan di dalam ruang pengering diasumsikan berpindah dengan
prinsip plug flow, maka nilai kadar air rata-rata bahan (𝑀̅ ) pada proses batch selama
waktu tinggal (𝑡̅ = 𝑚𝐵 /𝑚̇𝐵 ) akan bernilai sama dengan kadar air rata-rata bahan
(𝑀̅ ) pada proses kontinyu. Namun, jika bahan tidak diasumsikan bergerak secara
plug flow maka nilai komposisi akhir produk dapat dihitung dengan persamaan :
16
M M E d (24)
o
Dimana : t . Dalam hal ini t adalah waktu (menit) dan 𝑡̅ adalah waktu
t
tinggal rata-rata bahan yaitu 𝑚𝐵 /𝑚̇𝐵 , mB adalah massa hold up bahan kering (g),
𝑚̇𝐵 adalah laju aliran massa bahan (g/menit), 𝑀 ̅ adalah volume rata-rata kadar air
masing masing gabah (g/g), E(θ) adalah fungsi distribusi bahan keluar dan 𝑀 ̿
adalah volume rata-rata kadar air (g/g).
Fungsi distribusi keluaran bahan (E(θ)) memiliki relasi terhadap distribusi
waktu selama proses pengeringan (I(θ)) yang dapat ditulis dengan persamaan :
E dI / d (25)
Jika diasumsikan bahwa pencampuran bahan di dalam spouted bed terjadi
secara sempurna, maka persamaan (25) dapat ditulis menjadi :
E I exp (26)
Jika diasumsikan pencampuran bahan terjadi secara baik namun tidak
sempurna di dalam spouted bed, maka distribusi waktu selama proses pengeringan
(I(θ)) dapat ditulis menjadi :
I exp 0.1 / 0.92 (27)
Sehingga persamaan (25) dapat ditulis menjadi :
E 1 / 0.92 exp 0.1 / 0.92 (28)
Persamaan (26) atau (28) dapat digunakan sebagai nilai E(θ)) dalam
persamaan (24) dimana sisi sebelah kanan persamaan dapat diintergralkan secara
numerik. Ketika persamaan (28) digunakan, maka konstanta waktu penundaan 0.1
akan dielimnasi untuk nilai θ yang lebih kecil dari 0.1 sehingga persamaan (24)
dapat dituliskan dengan persamaan :
0.1
M 1 / 0.92 M exp / 0.92d M exp 0.10 / 0.92 (29)
0 0.1
17
Prosedur pengujian pengeringan gabah di dalam spouted bed tipe dua dimensi
adalah :
1 Gabah baru panen dibersihkan terlebih dulu dari butir kosong, kotoran dan
benda asing yang terdapat pada tumpukan gabah.
2 Setelah gabah selesai dibersihkan dari benda asing, gabah dimasukkan ke
dalam plastik polyethylene dengan sealer disimpan di cold storage dengan
suhu 5 oC agar kadar air bahan tetap terjaga (Pradhan et al. 2008). Untuk
mengetahui kadar air awal gabah diambil lima sampel yang kemudian
diukur kadar airnya dengan metode oven dengan standar ASAE
(Persamaan 31).
3 Setelah kadar air awal gabah diketahui, maka dilakukan proses rewetting
untuk mencapai kadar air awal yang dibutuhkan untuk masing masing
perlakuan. Proses rewetting merupakan proses peningkatan kadar air
dengan cara menambahkan jumlah air tertentu agar kadar air yang
diinginkan tercapai. Gabah dan air dimasukkan ke dalam plastik dengan
sealer dan kemudian didiamkan di suhu udara 4-6 oC selama ± 1 minggu
18
atau sampai air di dalam plastik sudah habis. Selama proses rewetting,
gabah diaduk setiap hari agar kadar air gabah merata (Pradhan et al. 2008).
Persamaan yang digunakan untuk peningkatan kadar air adalah (Coskun et
al. 2005) :
Wt M f M i
Q (30)
100 M f
4 Setelah proses rewetting, ukur kembali kadar air gabah apakah sudah
mencapai kadar air yang diinginkan. Jika kadar air gabah sudah naik,
gabah ditaruh di dalam hoper yang kemudian diumpankan secara kontinyu
ke ruang pengering dengan bantuan screw feeder.
5 Selama proses pengeringan, akan terdapat sejumlah gabah yang akan
keluar dari saluran outlet ruang pengering. Gabah yang keluar dari ruang
pengering akan ditampung di wadah. Selama 10 menit, gabah yang keluar
akan ditampung dan setelah 10 menit massa gabah yang keluar ruang
pengering ditimbang massa dan diukur kadar airnya.
6 Kadar air yang keluar ruang pengering diuji dengan metode oven dengan
mengambil sampel dari massa gabah selama 10 menit. Sisa gabah yang
lain kemudian akan didiamkan di dalam ruangan sampai kadar air yang
aman untuk digiling yaitu 14% bb.
7 Gabah yang mencapai kadar air 14% bb kemudian digiling untuk diuji
mutunya. Prosedur penggilingan dapat dilihat pada diagram alir Gambar 9
(Dewi 2009).
8 Gabah yang telah digiling akan berubah menjadi beras. Beras kemudian
disortasi menjadi beberapa bagian yaitu beras kepala, beras patah, menir,
beras hijau, beras kapur, beras kuning dan benda asing yang tercampur di
dalam gabah berdasarkan SNI pada tahun 2008. Proses sortasi beras kepala,
beras patah dan menir menggunakan grader merk Satake, sementara untuk
penentuan beras hijau, kapur dan kuning adalah dengan pengamatan visual.
Persamaan untuk menghitung rendemen beras kepala dan rendemen
penggilingan dapat menggunakan persamaan 47 – 48. Untuk mengetahui
rasio beras kepala, beras patah, menir, beras kuning, beras hijau, butir
kapur dan benda asing dapat menggunakan persamaan 43 – 46.
9 Untuk membandingkan rendemen beras kepala, beras patah, menir, beras
kuning, beras kapur, beras hijau dan benda asing maka gabah dengan kadar
air awal yang sama dikeringkan dengan udara lingkungan yang tidak
langsung terpapar matahari tetapi berada di dalam ruangan. Ketebalan
bahan harus tipis yaitu satu lapisan saja (ketebalan sekitar 2 mm) dan setiap
hari dilakukan pengadukan agar kadar air merata. Gabah pada metode ini
juga dikeringkan sampai kadar air 14 %bb dan proses penggilingan dan
pemutuan sama seperti Tahap 7 dan 8.
19
Pengujian alat
Pengujian bertujuan untuk mengetahui kinerja alat pengering yang sudah
dirancang. Dalam pengujian alat, parameter harus ditentukan untuk mencari nilai
efisiensi dari alat secara aktual dan kemudian akan dibandingkan secara teoritis.
Parameter yang diukur untuk mengetahui kinerja dari alat pengering ini antara lain :
1. Suhu
Suhu yang diukur adalah suhu bola basah lingkungan dan ruang
plenum, suhu bola kering lingkungan dan ruang plenum, suhu udara di
dalam ruang pengering pada posisi 8 cm, 12 cm, 18 cm dan 30 cm dari
bawah (saluran inlet udara). Titik pengukuran suhu dapat dilihat pada
Gambar 10.
2. Kapasitas dan lama pengeringan bahan
Kapasitas pengeringan yaitu total massa bahan yang dikeringkan
dalam satuan waktu. Pada penelitian ini, kapasitas pengeringan dihitung
dari massa bahan kering yang keluar dari ruang pengering dalam waktu
10 menit. Lama pengeringan bahan yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
mengeringkan bahan hingga kadar air yang keluar konstan dari data kadar
air sebelumnya.
3. Kadar air bahan
Kadar air bahan yang diukur meliputi kadar air awal bahan dan kadar
air bahan selama proses pengeringan dan kadar air akhir bahan. Data
kadar air diambil setiap 10 menit. Metode pengukuran kadar air
menggunakan metode oven. Gabah yang akan diukur kadar airnya
dimasukkan ke dalam cawan dan ditimbang. Sebelumnya dilakukan
penimbangan pada cawan. Kemudian masukkan cawan dan gabah
tersebut ke dalam oven pada suhu 105 oC hingga berat konstan. Sebelum
dilakukan penimbangan berat kering, gabah dimasukkan terlebih dulu ke
20
Komponen utama desain pengering spouted bed dua pada penelitian ini terdiri
dari ruang pengering, hoper dan sistem pengumpanan, siklon, blower dan pemanas
udara (heater). Skema rancangan alat dapat dilihat pada Gambar 12. Adapun
dimensi dan fungsi komponen utama sistem pengering akan dijelaskan pada
pemaparan berikut ini :
1. Ruang pengering
Ruang pengering yang digunakan pada penelitian ini adalah spouted
bed dua dimensi yang dilengkapi dengan draft plates disajikan pada
Gambar 11. Draft plates diharapkan dapat meningkatkan stabilitas udara
yang disemburkan (spouted) dan sirkulasi bahan di dalam ruang
pengering. Di bagian dasar ruang pengering juga ditambahkan plat
distributor agar bahan tidak jatuh dan masuk ke daerah plenum. Ruang
pengering dibagi menjadi dua daerah yaitu daerah spout (1) dan daerah
downcomer (2). Daerah spout merupakan daerah yang berada diantara
draft plates (4) sedangkan daerah downcomer merupakan daerah di
samping draft plates. Ruang pengering juga dilengkapi dengan reflektor
(3) yang berfungsi mengembalikan bahan akan kembali ke daerah
downcomer.
Ruang pengering terbuat dari akrilik dengan dimensi tinggi total
ruang pengering (Hr) 0.5 m, lebar (Lr) 0.15 m dan panjang (Pr) 0.2 m.
Draft plates juga terbuat dari akrilik dengan tinggi (HD) 0.2 m. Jarak
antara draft plates dan plat distributor dinamakan daerah spout (He)
adalah 0.05 m. Jarak antara kedua draft plates (WD) adalah 0.03 m.
Reflektor (3) berada pada ketinggian 0.36 m dari plat distributor. Sisi
dasar ruang pengering berbentuk sisi miring dengan kemiringan 60oC
sesuai rekomendasi dari Kalwar dan Raghavan (1993). Saluran inlet udara
berbentuk persegi panjang dengan dimensi panjang (Wi) 0.02 m.
Keterangan :
1. 1. Daerah spout
2. 2. Daerah downcomer
3. 3. Reflektor
4. 4. Draft plates
5. 5. Plat distributor
3. Siklon
Siklon berfungsi sebagai pemisah gas-padatan dengan prinsip gaya
sentrifugal sehingga udara yang keluar dari siklon sudah bersih dari
kotoran bahan dan dapat disirkulasikan kembali ke saluran inlet udara di
blower. Siklon terbuat dari besi plat dengan dimensi tinggi 0.6 m,
diameter saluran inlet 0.038 m. Skema siklon disajikan pada Lampiran 4.
4. Blower
Blower berfungsi sebagai sumber udara bertekanan yang akan
disalurkan ke dalam ruang pengering. Tipe blower yang digunakan
25
adalah ring blower tipe RB-100Adengan tenaga 0.4 kW, frekuensi 50/80,
200-230 V/ 346-395 V, putaran motor 2800/3500 rpm dan debit
maksimum 1.3/1.5 m3/ menit.
(c) Percobaan 3
Gambar 13 Suhu udara pada daerah spout selama proses pengeringan
Gambar 14 dan Gambar 15 disajikan suhu udara eksperimen pada daerah
downcomer. Dari grafik dapat dilihat bahwa sebaran suhu daerah downcomer tidak
memiliki bentuk yang sama seperti daerah spout yang mengalami penurunan suhu
yang signifikan terhadap ketinggian aksial ruang pengering. Sebaran suhu udara di
daerah downcomer bernilai fluktuatif. Suhu udara pada ketinggian 0 m – 0.08 m
memiliki suhu yang paling tinggi karena posisi ini masih dekat dengan inlet udara.
Selanjutnya pada ketinggian 0.08 m – 0.12 m suhu udara mengalami penurunan.
Hal ini disebabkan oleh penumpukan bahan ketika proses pengujian. Penumpukan
gabah mengakibatkan udara akan terperangkap di dalam tumpukan gabah sehingga
proses pindah panas antara bahan dan udara terjadi lebih cepat dan suhu udara akan
menurun dari ketinggian 0 – 0.08 m.
Setelah posisi 0.08 m – 0.12 m, suhu udara akan naik kembali. Hal ini dapat
disebabkan oleh dua faktor yaitu pada ketinggian 0.12 m – 0.18 m tidak terdapat
tumpukan gabah dan juga suhu udara dari daerah spout akan tersebar dan memasuki
daerah downcomer. Suhu udara akan menurun kembali pada posisi 0,18 m – 0.3 m
karena pada daerah ini udara telah mengandung uap air yang diperoleh dari
pengeringan gabah. Selain itu, suhu pada ketinggian 0 m – 0.08 m berbeda nilai
untuk daerah downcomer kiri dan kanan. Hal ini dapat terjadi karena massa bahan
yang masuk ke daerah kiri atau kanan downcomer akan bergerak secara acak. Jika
bahan lebih banyak masuk ke daerah downcomer kiri, maka udara akan bergerak
ke daerah downcomer kanan sehingga suhu udara pada downcomer kanan akan
lebih tinggi dibandingkan downcomer kiri.
(c) Percobaan 3
Gambar 14 Sebaran suhu udara di daerah downcomer kanan
(c) Percobaan 3
Gambar 15 Sebaran suhu udara di daerah downcomer kiri
Validasi Model Matematika Pengering Spouted Bed
Simulasi dilakukan pada dua bagian yaitu bagian spout dan bagian
downcomer. Bagian spout diasumsikan sebagai pengering tipe co-flow dan daerah
downcomer sebagai pengering tipe counter-flow. Kondisi yang digunakan untuk
simulasi daerah spout dan downcomer disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Kondisi yang digunakan saat simulasi
Pada Gambar 16 disajikan validasi sebaran suhu udara hasil simulasi dan
eksperimen daerah spout. Dari grafik dapat dilihat bahwa data hasil simulasi belum
mempresentasikan data eksperimen dengan baik. Namun, pada Tabel 7 disajikan
bahwa nilai MAPE sebaran suhu udara daerah spout bernilai kurang dari 10%
sehingga dapat disimpulkan model ini dapat digunakan untuk menduga sebaran
suhu udara di daerah spout. Adapun Nilai MAPE pada daerah spout pada masing
masing percobaan adalah 2.84 % untuk percobaan pertama, 2.62 % untuk
percobaan kedua dan 4.45 % untuk percobaan ketiga.
Data hasil validasi antara simulasi dan eksperimen daerah downcomer kiri
dan kanan disajikan pada Gambar 17 (a), (b) dan (c). Dari grafik dapat dilihat bahwa
dari grafik hasil simulasi belum mempresentasikan data eksperimen dengan baik.
Namun, pada Tabel 7 disajikan bahwa nilai MAPE sebaran suhu udara daerah
29
downcomer kiri dan kanan bernilai kurang dari 10% sehingga dapat disimpulkan
model ini dapat digunakan untuk menduga sebaran suhu udara di daerah
downcomer.
(c) Percobaan 3
Gambar 16 Validasi suhu udara di daerah spout pada proses pengeringan
Tabel 7 Nilai MAPE data hasil simulasi dan eksperimen suhu udara
(c) Percobaan 3
Gambar 17 Validasi suhu udara daerah downcomer pada proses pengeringan
Suhu gabah daerah downcomer disajikan pada Gambar 19. Dari grafik dapat
dilihat bahwa suhu gabah mengalami penurunan ketika menjauhi saluran inlet
ruang pengering. Hal ini sejalan dengan penurunan suhu udara yang semakin
menurun terhadap ketinggian aksial ruang pengering. Pada posisi 0.4 – 0.5 m
merupakan posisi dimana gabah masuk sehingga pada posisi tersebut suhu gabah
masih rendah. Namun pada posisi selanjutnya yaitu dari posisi 0 – 0.4 m suhu gabah
dan suhu udara secara perlahan akan mengalami kondisi kesetimbangan dan
selanjutnya akan bernilai konstan seperti pola pada daerah spout.
downcomer akan menurun terhadap inlet udara. Hal ini disebabkan semakin
mendekati inlet udara, maka kelembaban udara akan semakin rendah. Dari ketiga
percobaan dapat dilihat bahwa kelembaban yang paling besar terdapat pada
percobaan pertama dan selanjutnya percobaan kedua dan terakhir adalah percobaan
ketiga. Hal ini dipengaruhi oleh nilai kadar air awal gabah yang masuk ke dalam
ruang pengering. Dari ketiga percobaan tersebut, nilai kadar air terbesar terdapat
pada percobaan pertama yaitu 41 %bk. Semakin tinggi kadar air awal yang masuk
ke dalam ruang pengering, maka suhu yang keluar dari ruang pengering akan
semakin rendah dan kelembaban mutlak udara semakin tinggi.
(c) Percobaan 3
Gambar 22 Hasil simulasi penurunan kadar air
Hasil Simulasi Pendugaan Kadar Air Gabah Pengering Tipe Kontinyu
Data hasil pendugaan kadar air yang keluar dari pengering spouted bed tipe
kontinyu disajikan pada Tabel 8. Nilai hasil simulasi percobaan pertama tidak
mendekati nilai yang sebenarnya namun pada percobaan kedua dan ketiga nilai
pendugaan kadar air hampir senilai dengan eksperimen. Nilai pendugaan pada
percobaan pertama tidak sama dengan nilai aktual dapat disebabkan oleh penentuan
parameter waktu tinggal gabah selama proses pengeringan. Pada penelitian ini,
penentuan waktu tinggal bahan di dalam ruang pengering dengan membagi laju
pengumpanan dengan massa bahan awal di dalam ruang pengering. Sementara
penentuan waktu tinggal bahan dapat menggunakan beberapa persamaan seperti
persamaan Levenspiel (Madhiyanon et al. 2007)
Tabel 8 Nilai MAPE model pendugaan kadar air gabah tipe kontinyu
Tekanan
(c) Percobaan 3
Gambar 23 Grafik penurunan tekanan pada daerah spout dan downcomer
35
Percobaan ke-
Deskripsi
1 2 3
Laju pengumpanan (kg/jam) 3 3 3
Hold up (kg) 0.1 0.1 0.1
Rataan suhu udara masuk (oC) 80 80 80
Rataan RH udara masuk (%) 14.4 14.62 15.12
Residence time (min) 2 2 2
o
Rataan suhu udara keluar ( C) 60 57 59
RH udara keluar (%) 56.1 54.6 52.1
Lama pengeringan (jam) 3.3 1.83 3.66
3
Debit aliran udara masuk (m /s) 0.014 0.014 0.014
Kadar air rata-rata
- Sebelum pengeringan (%bb) 29 26.5 23
- Setelah pengeringan (%bb) 18.7 19.3 17
(c) Percobaan 3
Gambar 24 Grafik penurunan kadar air gabah yang keluar dari ruang pengering
Dari Gambar 24 dapat dilihat bahwa penurunan kadar air terhadap waktu
berbentuk eksponensial. Dengan kondisi awal kondisi kadar air awal yang berbeda
sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan juga membutuhkan
waktu yang berbeda. Dari ketiga kurva tersebut terlihat penurunan air sangat cepat
dan penurunan air lambat. Pada awal proses pengeringan terjadi penurunan kadar
air cepat karena massa air bahan yang terdapat dalam permukaan sangat besar
dinamakan air bebas. Sedangkan ketika pengeringan dimulai, udara pengering
memiliki suhu tinggi akan kontak dengan seluruh permukaan bahan ditambah
dengan kecepatan udara yang dialirkan pada panas. Pengaruh perbedaan tekanan
udara pengering dan tekanan uap air di dalam bahan menyebabkan terjadi
perpindahna uap air dari bahan ke udara, dan tekanan uap air pada permukaan bahan
menurun. Perpindahan massa air dari bahan ke udara akan terus berlanjut sampai
bahan mengalami penurunan kadar air yang konstan atau tekanan pada bahan dan
udara seimbang sehingga tidak ada perpindahan air.
Pada Gambar 25 ditampilkan laju pengeringan untuk tiga percobaan. Laju
pengeringan menunjukkan banyaknya air yang diuapkan persatuan waktu. Dari
grafik dapat dilihat bahwa laju pengeringan paling cepat terjadi pada pengujian
pertama dengan kadar air awal 41% bk. Dengan kadar air awal yang tinggi, laju
pengeringan akan cepat karena kandungan air di dalam gabah merupakan kadar air
bebas. Setelah kadar air bebas menguap, laju pengeringan akan menurun karena
saat kadar air bahan mendekati kadar air keseimbangan, penguapan air bahan
semakin sedikit dan laju pengeringan semakin melambat.
Hasil pengeringan sering terjadi kerusakan pada bahan akibat terlalu panas
atau fisiologis dari bahan yang jelek. Dengan demikian untuk hasil pengeringan
yang baik, maka diperlukan perlakuan pemutuan gabah hasil pengeringan. Hal ini
bertujuan untuk mengevaluasi pada saat pengupasan dan pengeringan apakah
terjadi kerusakan atau tidak. Kriteria dari pemutuan gabah adalah rendemen beras
kepala (HRY), rendemen beras giling (MRY), kandungan beras kepala, kandungan
beras patah, kandungan menir, kandungan beras kuning dan kandungan beras
berkapur.
Analisis pengaruh kadar air gabah terhadap beras giling dilakukan untuk
mengetahui kadar air gabah yang optimum untuk menghasilkan beras dengan
rendemen yang tinggi dan kandungan beras kepala yang tinggi. Pada Tabel 10
disajikan rendemen gabah hasil penggilingan (HRY dan MRY) dengan pengering
spouted bed dan pengering udara lingkungan. Dari data disajikan bahwa kualitas
pengeringan gabah lingkungan memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan
dengan pengering spouted bed. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kadar air
yang relatif masih kecil (23 – 29%bb) jika ingin dikeringkan di pengering suhu
tinggi seperti spouted bed. Umumnya pengering suhu tinggi akan lebih baik
digunakan jika kadar air awal gabah sekitar 30 – 40 %bb. Selain itu dapat juga
disebabkan oleh kelembaban yang tidak terdistribusi dengan baik di dalam gabah
selama proses tempering di daerah downcomer sehingga terjadi kejenuhan air di
dalam dan permukaan gabah ketika melalui daerah spout (Madhiyanon et al.
(2007)). Penumpukan yang terjadi selama proses pengeringan juga menyebabkan
gabah akan menerima suhu tinggi dalam waktu yang relatif lama. Tumpukan akan
menyebabkan gabah menerima udara panas dalam waku yang cukup lama sehingga
perbedaan suhu udara dan gabah bernilai cukup besar. Hal ini menyebabkan di
dalam biji gabah terjadi proses fissuring yang berimbas pada proses penggilingan
dan mutu gabah yang dihasilkan.
Tabel 10 Perbandingan rendemen pengering spouted bed dan suhu udara
lingkungan
Percobaan ke-
Deskripsi
1 2 3
Kadar air awal (%bb) 29.07 26.4 23
Kadar air akhir sebelum
penggilingan (%bb) 14 14 14
Pengering HRY (%) 39.2 46.6 44.8
spouted
bed MRY (%) 55.4 60.4 59
Pengering HRY (%) 47 52 50
suhu udara
lingkungan MRY (%) 55.4 60.4 59
24 % bb dan kadar air akhir berada pada rentang 10 – 21 %bb dengan suhu
pengeringan 146 oC. Nilai HRY paling besar ketika gabah dikeringkan dari kadar
air 24 % sampai kadar air 21.6 % dengan nilai HRY 64.8 %.
Pengeringan gabah dengan suhu inlet 80 oC dilakukan oleh Tirawanichakul
et al. (2007) pada pengering tipe fluidized bed. Dari hasil penelitian ini diperoleh
bahwa nilai HRY juga dipengaruhi oleh proses rewetting dan varietas gabah yang
digunakan. Nilai HRY setelah proses rewetting akan lebih rendah jika tidak
dilakukan proses rewetting. Kadar air awal gabah 32.5 %bk sebelum dilakukan
proses rewetting akan memiliki nilai HRY 50.3%, tetapi setelah proses rewetting
akan turun menjadi 44%. Selain faktor kadar air awal, pengaruh varietas juga
berpengaruh terhadap nilai HRY. Varietas yang dimaksud adalah kandungan
amilosa gabah. Kandungan amilosa di dalam gabah akan berperan dalam
meningkatkan gaya intra-granular selama proses gelatinisasi; rendahnya
kandungan amilosa, maka gaya yang terjadi akan semakin kecil sehingga biji
kurang resisten terhadap gaya abrasive selama proses penggilingan. Varietas
Pathumthani 1 yang memiliki kadar amilosa yang sedikit, tidak terlalu berpengaruh
terhadap perlakuan suhu pengeringan dan nilai HRY yang dihasilkan. Nilai HRY
yang dihasilkan adalah 53 – 55 % untuk kadar air awal 25 – 28.8 % bk, dan untuk
kadar air awal 32.5% bk, nilai HRY adalah 52 – 54%. Untuk varietas Suphanburi I,
nilai HRY tidak menunjukkan pola yang sama dengan varietas 1 walaupun kadar
air awal bahan adalah 32.5 % bk. Dari penelitian ini juga diperoleh bahwa nilai
HRY dengan kadar air awal 32.5 %bk akan lebih rendah daripada kadar air awal
gabah yang lebih rendah.
Sutherland dan Ghaly (1990) juga mempelajari pengeringan gabah dengan
pengering tipe fluidized bed. Kadar air gabah turun dari 22-26% sampai 16-19%bb
dengan tumpukan 2.5 cm dan suhu pengeringan adalah 40-90 oC. Dari hasil
penelitian diperoleh bahwa penurunan kadar air dari 22% ke 17 %bb nilai HRY
akan berada pada rentang 58 - 61 %, namun ketika kadar air diturunkan hingga
16 %bb maka nilai HRY akan turun sampai ke nilai 15-24%.
Dari data yang ditampilkan pada Tabel 11, nilai HRY dan MRY terendah
berada pada percobaan pertama dengan nilai 39.2 % dan 65.6 % lalu percobaan
ketiga dengan nilai 44.8 % dan 66.38 % untuk masing masing nilai HRY dan MRY.
Nilai HRY dan MRY paling tinggi terdapat pada percobaan pertama dengan nilai
46.6 % dan 67.9 %. Nilai yang diperoleh pada penelitian ini merupakan nilai tengah
dari nilai HRY pada umumnya yaitu dari 33 - 65%, sementara untuk nilai MRY
termasuk batas bawah yang umumnya nilai MRY berada pada 68 % - 72 %
(Siebenmorgen et al. 2005). Dari hasil yang diperoleh bahwa nilai HRY dan MRY
masih dalam range yang sama dengan pengeringan gabah dengan suhu tinggi.
Selisih antara nilai MRY dan HRY disebut rendemen biji rusak. Pada percobaan
pertama, rendemen biji rusak merupakan nilai yang paling besar diantara perlakuan
yang lain. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : gabah yang
belum matang, gabah yang bersifat chalky dan fissured dan kadar air awal yang
terlalu tinggi. Kondisi gabah seperti itu akan menyebabkan sifat gabah akan lemah
dan rusak ketika digiling karena gaya yang besar diberikan kepada biji untuk
menghilangkan sekam (Siebenmorgen et al. 2005). Faktor lain yang berpengaruh
terhadap nilai HRY dan MRY adalah kadar air akhir gabah setelah proses
pengeringan. Pada penelitian ini merupakan tipe pengering tipe kontinyu dimana
umumnya kadar air akhir gabah yang keluar dari ruang pengering harus berkisar
39
antara nilai 19 – 20 % bb. Dari hasil pengujian, yang memenuhi syarat kadar air
akhir gabah hanya pada percobaan kedua yaitu dengan kadar air 19.3% sehingga
nilai HRY dan MRY yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan percobaan pertama
dan ketiga.
Tabel 11 juga menampilkan konsumsi energi selama proses pengeringan.
Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa konsumsi yang paling besar adalah percobaan
ketiga karena menurunkan kadar air dari 30 ke 21 % bk sudah memasuki laju
pengeringan menurun. Konsumsi energi termal yang berada pada nilai 5.14 - 9.48
MJ/ kg air yang diuapkan merupakan nilai yang relatif tinggi. Berdasarkan hasil
penelitian Madhiyanon et al. (2000) dimana konsumsi energi panas juga masih
bernilai tinggi yaitu berada pada rentang 5.94 – 8.66 MJ/kg air. Hal ini disebabkan
oleh dua faktor yaitu kadar air yang berada pada rentang 20-30 %bk merupakan
kadar air yang cukup sulit untuk menghilangkan kadar airnya. Kedua adalah
sirkulasi gabah pada daerah draft plates tidak lancar sehingga laju pengeringan
menjadi jelek di daerah spout. Namun, nilai tersebut dapat bernilai lebih rendah dari
perhitungan karena selama proses pengujian menggunakan termostat dengan
kontrol on-off, namun ketika suhu melebihi suhu 80 oC termostat akan mati dan
tidak diperhitungkan di dalam perhitungan.
Tabel 11 Rendemen gabah dan konsumsi energi selama proses pengeringan
Percobaan ke-
Deskripsi
1 2 3
Laju pengumpanan (kg/jam) 3 3 3
Hold up (kg) 0.1 0.1 0.1
Rataan suhu udara masuk (oC) 80 80 80
Residence time (min) 2 2 2
Rataan suhu udara keluar (oC) 60 57 59
Lama pengeringan (jam) 3.3 1.83 3.66
Debit aliran udara masuk (m3/s) 0.014 0.014 0.014
Kadar air rata-rata
- Sebelum pengeringan (%bb) 29.07 26.4 23
- Setelah pengeringan (%bb) 18.7 19.3 17.3
Rendemen beras kepala (HRY) 39.2 46.6 44.8
Rendemen penggilingan
65.6 67.9 66.38
(MRY)
Laju pengeringan (%bk /jam) 8.29 12 4.35
Konsumsi energi (MJ/kg air
yang diuapkan)
- Panas 5.14 7.43 9.48
- Total 8.95 12.95 16.51
Pengaruh kadar air awal gabah terhadap mutu beras disajikan pada Tabel 12.
Dari data dapat dilihat bahwa semakin tinggi kadar air awal gabah maka kualitas
gabah akan menurun. Hal ini disebabkan oleh laju respirasi gabah yang cepat
40
sehingga menimbulkan kerusakan pada butir gabah. Respirasi yang cepat selama
penyimpanan dapat disebabkan oleh kegiatan cendawan yang umumnya terinfestasi
dalam lapisan pembungkus biji (Damardjati 1991) sehingga kualitas gabah
menurun. Dari data yang disajikan pada Tabel 12 mendapatkan pola yang sama
dengan penelitian Madhiyanon et al. (2007) yaitu sulitnya memperoleh produk
dengan kualitas tinggi dan kadar air yang aman untuk penyimpanan jika hanya
menggunakan pengering spouted bed dua dimensi satu aliran saja. Sehingga
disarankan jika kadar air bahan yang masuk tinggi diperlukan pengering multi-stage
dengan proses tempering terlebih dulu.
Kesimpulan
Dimensi ruang pengering yang di desain pada penelitian ini adalah tinggi total
ruang pengering yaitu 0.5 m, lebar 0.15 m dan panjang 0.2 m. Sisi bawah ruang
pengering berupa sisi miring dengan sudut 60o yang terhubung dengan saluran inlet
udara yang berdimensi 0.02 m x 0.15 m. Kadar air awal gabah 23 – 29 %bb
dikeringkan sampai kadar air akhir 17 – 19 %bb menghasilkan rendemen beras
kepala bernilai 39 - 46.5% serta rendemen penggilingan bernilai 65 – 67 %bb.
Konsumsi energi panas selama proses pengeringan adalah 5.14 – 9.48 MJ/kg air
yang diuapkan dan nilai konsumsi energi total adalah 8 - 16 MJ/kg air yang
diuapkan.
Model matematika yang dikembangkan oleh Nellist et al. (1987) digunakan
untuk memprediksi sebaran suhu udara, suhu gabah dan kadar air selama proses
pengeringan. Nilai MAPE suhu udara daerah spout bernilai kurang dari 4.45% dan
pada daerah downcomer kurang dari 8.51%. Dari nilai MAPE tersebut dapat
disimpulkan bahwa model Nellist et al. (1987) dapat digunakan untuk menduga
parameter selama proses pengeringan. Nilai MAPE pendugaan kadar air keluaran
dengan model Zahed dan Epstein (1992) adalah 7%.
41
Saran
6 DAFTAR PUSTAKA
Allidawati, Kustianto B. 1989. Metode uji mutu beras dalam program pemuliaan
padi. Di dalam: Ismunadji M, M Syam dan Yuswadi. Padi Buku 2. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor (ID). 363-375.
Anugrah, Nurdiah H. 2015. Menghitung kehilangan padi. BPTP Sulawesi Selatan
(No. 9 Tahun 2014) [Internet]. (12 November 2014, [diunduh 15 April 2016]).
Tersedia pada :
http://sulsel.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option=com_content&vie
w=article&id=1034:menghitung-kehilangan-pasca-panen-padi-
&catid=181:buletin-nomor-9-tahun-2014&Itemid=399
Barnett GR. 1967. The need for artificial drying of paddy in the human tropics.
Proceeding of Seminar on Principle and Practise of Artificial Drying of
Paddy. University of Malaya. Kuala Lumpur.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1993. Standar mutu gabah. SNI 0224-
1987/SPI-TAN/01/01/1993. Jakarta (ID).
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2008. Beras. SNI 6128. Jakarta (ID).
[Balitbang] Balai Besar Penelitian Pasca Panen Pertanian. 2011. Jakarta (ID).
Bizmark N, Mostoufi N, Gharebagh RS, Ehsani H. 2010. Sequential modelling of
fluidized bed paddy dryer. Journal of Food Engineering. 101:303-308.
Boyce DS. 1965. Grain moisture and temperature changes with position and time
during through drying. Journal of Agricultural Engineering Research.
10:333-341
Chandra R, Sodha MS. 1986. Drying characteristics of coarse agricultural grains.
Energy conservation management. 27(3):289-291.
Chung LL, Mujumdar AS. 2006. Fluidized bed dryer. Handbook of Industrial
Drying chapter 8. Third Edition. National University of Singapore.
Cnossen AG, Siebenmorgen TJ. 2000. The glass transition temperature concept in
rice drying and tempering: Effect on Milling Quality. ASAE. 43:1661-1167.
Coşkun MB, I Yalçin, C Özarslan. 2005. Physical properties of sweet corn seed
(Zea mays saccharata Sturt.). Journal of Food Engineering. 74 (4): 523–528.
Damardjati DS, Purwani EY. 1991. Mutu beras. Di dalam : Padi-Buku 3. Balai
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor(ID).
Dewi AR. 2009. Kajian konfigurasi mesin penggilingan untuk meningkatkan
rendemen dan menekan susut penggilingan pada beberapa varietas padi.
Institut Pertanian Bogor (IPB).
Freitas LAP, Freire JT. 1997. Experimental study on dynamics of a draft tube
spouted bed with continuous solids feeding. Brazilian Journal Chemical
Engineering. 4(3):29-280.
Gallaghan GL. 1951. A method of determining the latent heat of agricultural crops.
Journal Agricultural Engineering. 32(1):34-38.
Gisler M, Epstein N. 1987. Spouted beds. Academic Press. New York(USA).
Handerson SM, Perry RL. 1976. Agricultural process engineering 3th Edition. The
AVI Publishing Company Inc. Westport Connecticut (USA)
43
Harianto. 2001. Pendapatan, harga, dan konsumsi beras. Di dalam: Suryana, A. dan
S. Mardianto. Bunga rampai ekonomi beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi
dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI)
Hasbullah R, Dewi AR. 2009. Kajian pengaruh konfigurasi mesin penggilingan
terhadap rendemen dan susut giling beberapa varietas padi. JTEP. IISN 0216-
3365. 23(2)
He YL, J Lim, JR Grace, JX Zhu dan SZ Qin. 1994. Measurements of voidage
profiles in spouted beds. Canadian Journal Chemical Engineering. 72:229-
234.
Heldman DR, Singh PR. 1981. Food process engineering. 2nd sd. The AVI Publ
CompInc. Westport CT(USA)
Hosokawa A. 1995. Rice postharvest technology. The Food Agency Ministry of
Agriculture. Forestry and Fisheries. Japan Yoshihito Makao, ACE
Corporation, Tokyo. p 566
Jayas DS, Cenkowski S. 2006. Grain property values and their measurement.
Handbook of Industrial Drying. chapter 24. Third Edition. National
University of Singapore.
Jittanit W, George S, Robert D. 2010. Seed drying in fluidized and spouted bed
dryers. Drying technology: an international journal.28(10):1213-1219.
Juliano. 1980. Kandungan mineral padi varietas unggul dan kaitannya dengan
Kesehatan. Jurnal Iptek Tanaman Pangan 1:88-90.
Kalwar MI, Kudra TG, Raghavan GSV, Mujumdar AS. 1991. Drying grain in
drafted two dimensional spouted bed. Journal Food Process Engineering
13:321-332.
Kalwar MI, Raghavan GSV. 1993. Circulation of particles in two dimensional
spouted beds with draft plates. Journal Powder Technology. 77:233-242.
Kudra T, Platon R, Navarri P. 2009. Excel-based tool to analyze the energy
performance convective dryers. Drying Technology:An International Journal.
27(12):1302-1308.
Laforteza. 1951. Rice production manual. University of Philippiines College of
Agriculture.
Laithong C. 1987. Study of thermo-physical properties of rough rice. MSc. Tesis.
King Mongkut’s Institute of Technology Thonburi. Thailand.
Law Chung L, Mujumdar AS. 2006. Fluidized bed Dryer. Handbook of Industrial
Drying.
Madhiyanon T, Somchart S, Warunee T. 2000. Continuous drying of paddy in two
dimensional spouted bed. Kasetsart journal. 34:308-314.
Madhiyanon T, Somchart S, Warunee T. 2007. A mathematical model for
continuous drying of grans in a spouted bed dryer. Drying Technology : An
International Journal. 587-614.
Makridakis S, Wheelwright SC, McGee VE. 1999. Metode dan aplikasi peramalan.
Erlangga. Jakarta
Mujumdar AS, Devahastin S. 2003. Application for fluidized bed drying.
Handbook of Fluidization and Fluid Systems. New York(USA).
Mujumdar AS. 2006. Handbook of Industrial Drying Third Edition. CRC Press
Mukhlenov-Gorhstein, AE Gorshtein. 1965. Investigation of a spouted bed. Khim
Prom. 41(6):443-446.
44
Nellist ME, Whitfield RD, Marchant JA. 1987. Computer simulation and control of
grain drying in JA Clark, K Gregson dan RA Saffell. Computer applications
in agricultural environments. (UK) p127-142.
Nguyen LH, Driscoll RH, Srzednicki GS. 2001. Drying of high moisture content
paddy in a pilot scale triangular spouted bed dryer. Drying technology.
19:375-387.
O’Callaghan JR, Menzies DJ, Bailey PH. 1971. Digital simulation of agricultural
drier performance. Journal of Agricultural Engineering Research. 16:223-
244.
Pallai E, Szentmarjay T, Mujumdar AS. Spouted bed Drying. Handbook of
Industrial Drying chapter 14. Third Edition. National University of Singapore.
Passos ML, Mujumdar AS, Ragahavan VSG. 1993. Predictions of the maximum
spoutable bed height in two dimensional spouted beds. Powder technology
journal. 74:97-105.
Passos ML, Esly Ferreira da Costa JR, Mujumdar AS. 2011. Drying of particulate
solids, in Norman Epstein dan John R Grace. Spouted and spout-fluid beds.
UK. p 187-205.
Pradhan RC, Naik SN, Bhatnagar N, Swain SK. 2008. Moisture-dependent physical
properties of Karanja (Pongamia pinnata) kernel. Industrial Crops and
Products. 28(2):155-161.
SC Len . 1967. Principle of Rice Drying. Proceeding of seminar on principle and
practice of artificial drying of paddy. University of Malaya. Kuala Lumpur.
Soemardi. 1987. Beberapa masalah dalam prosesing padi/beras yang dialami di
Indonesia dewasa ini dan cara Penanggulangannya. Seminar Penerapan
Teknologi Madya Pada Institut Pertanian. FATEMETA IPB. Bogor (ID).
Sopanronnarit S, Prachayawarakarn S. 1994. Optimum strategy for fluidized bed
paddy drying. Drying Technology .
Soponronnarit S, Prachayawarakorn S, Sripawatakul O. 1996. Development of
cross-flow fluidized bed paddy dryer. Drying Technology. 14(10):2397-2410.
Soponronnarit S, S Wetchakama, T Swasdisevi and N Poomsa-ad. 1999. Managing
moist paddy by drying, tempering and ambient air ventilation. Drying
Technology. 17:335-344.
Sripawatakul O. 1994. Study of drying paddy by cross-flow fluidization technique.
Tesis. Faculty of Engineering King Mongkut's Institute of Technology
Thonburi. Bangkok. Thailand.
Srzednicki GS, Driscoll RH. 1993. High moisture grain drying with spouted bed
dryer. Proceedings of the 14th ASEAN Techical Seminar on Grain Post
Harvest Technology.
Sutherland JW, Ghaly TF. 1990. Rapid-fluid bed drying of paddy rice in the humid
tropics. Presented at 13thASEAN Seminar on Grain Postharvest Technology.
Brunai Darussalam.
Sutkar VS, Niels GD, JAM Kuipers. 2013. Spout fluidized beds : Recent Advances
in Experimental and Numerical Studies. Chemical Engineering Science. 124-
136.
Tirawanichakul S, Prachayawarakorn S, Varanyanond W, Tungtrakul P, Somchart
S. 2007. Effect of fluidized bed drying temperature on various quality
attributes of paddy. Drying Technology : an international journal. 22:7, 1731-
1754
45
Tulasidas TN, T Kudra, Raghavan GSV. 1993. Effect of bed height on simulaneous
heat and mass transfer in a two-dimensional spouted bed dryer. Int.Comm.
Heat Mass Transfer. 20:70-88.
Vijaya GS, Raghavan, Venkatesh S. 2006. Grain drying. Handbook of Industrial
Drying chapter 23. Third Edition. National University of Singapore
Viswanathan K, Lyall MS, Raychaudhuri BC. 1986. Agricultural grains spouted
bed drying. Canadian Chemical Engineering. 64:223-232.
Wetchama S, Somchart S, Tahnit S, Somkiat P, Jinda P, Suchart S. 2001. Drying
of high moisture paddy by two-dimensional spouted bed technique. Kasetsart
Journal National Science. 35:93-103
Wiset L, G Srzednicki, R Driscoll, C Nimmuntavin, P Siwapornrak. 2001. Effects
of high temperature drying on rice quality. Agricultural Engineering
International: the CIGR Journal of Scientific Research and Development.
Manuscript FP 01 003
Yamashita R. 1972. Current status and problems of rice processing procedure from
harvesting through milling in south east asia- a case study on Malaysia. The
Association of Japanese Agricultural Scientific Societies.
Zahed AH, Epstein N. 1992. Batch and continuous spouted bed drying of cereal
grains : the thermal equilibrium model. The Canadian Journal of Chemical
Engineering. 70(5):945-953.
Zurith CA, Singh RP. 1982. In simulation of rough rice drying in a spouted bed in
Drying’82 Mujumdar AS Edition. McGraw-Hill. Hemisphere. New York
46
47
LAMPIRAN
48
No Persamaan R²
No Persamaan R²
Sensor 1 y = 1.04x – 3.6 0.9971
Sensor 2 y = 1.04x – 3.8 0.9985
Sensor 3 y = 1.02x – 1.9 0.9958
Sensor 4 y = x – 0.4 0.9952
Sensor 5 y = 1.04x – 2.6 0.9971
Sensor 6 y = 1.04x – 3.2 0.9985
Sensor 7 y = 1.04x – 4.8 0.9912
Sensor 8 y = 1.06x – 5.1 0.9989
Sensor 9 y = 1.04x – 3.6 0.9971
Sensor 10 y = 1.04x – 4.2 0.9985
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 23 Mei 1992 di kota Bandung, Jawa Barat
sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Donni Napitu dan Rosita
Pardede. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknik Mesin dan
Biosistem dan lulus pada tahun 2014. Penulis melanjutkan pendidikan magister
melalui program sinergi S1-S2 di Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan
Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa yang diterima penulis selama
menempuh pendidikan pascasarjana adalah beasiswa freshgraduate dari Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi.
Karya ilmiah dengan judul “Simulasi Pengeringan Gabah Pada Pengering
Spouted Bed Dua Dimensi” telah disajikan dalam Seminar Pascasarjana IPB pada
bulan April 2016. Selain itu, karya ilmiah dengan judul yang sama akan diterbitkan
pada Jurnal Keteknikan Pertanian Volume 4. No. 2 Oktober 2016.