Anda di halaman 1dari 61

PENDUGAAN UMUR SIMPAN BERAS ANALOG

BERDASARKAN PERILAKU
ISOTERMI SORPSI AIR

YOSE RIZAL KURNIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pendugaan Umur Simpan
Beras Analog Berdasarkan Perilaku Isotermi Sorpsi Air adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2018

Yose Rizal Kurniawan


NIM F151140071
RINGKASAN
YOSE RIZAL KURNIAWAN. Pendugaan Umur Simpan Beras Analog
Berdasarkan Perilaku Isotermi Sorpsi Air. Dibimbing oleh Y. ARIS
PURWANTO, NANIK PURWANTI dan SLAMET BUDIJANTO.

Tingkat konsumsi beras di Indonesia mencapai 125 kg/kapita/tahun, jauh


lebih tinggi daripada rata-rata konsumsi dunia sebesar 60 kg/kapita/tahun. Hal ini
mendorong para peneliti untuk memunculkan makanan alternatif pengganti beras,
salah satunya berupa beras analog. Beras analog merupakan salah satu wujud
diversifikasi pangan karena bentuk dan rasanya sesuai dengan kebiasaaan
masyarakat Indonesia. Sifat bahan pangan yang berperan penting dalam proses
produksi terutama pengeringan dan penyimpanan adalah sifat isotermi sorpsi air
(ISA). Pengukuran ISA biasa dilakukan dengan menggunakan metode desikator
larutan garam jenuh. Tujuan penelitian ini adalah mengukur sifat ISA beras
analog dan menduga umur simpan berdasarkan sifat ISA.
Penelitian dilakukan menjadi tiga tahapan, yaitu tahap pengukuran kurva
ISA, pemodelan kurva, penentuan kadar air kritis dan perhitungan umur simpan.
Pendugaan umur simpan melalui pendekatan kadar air kritis menggunakan
persamaan Labuza.
Beras analog singkong mempunyai tipe kurva ISA sigmoid (tipe II) dengan
persamaan GAB dan Henderson sebagai model terbaik. Kadar air kritis beras
analog adalah 15.24 % bk dan berat padatan dalam kemasan 600 gram yaitu
561.45 gram. Prediksi umur simpan beras analog singkong menggunakan
kemasan PP pada penyimpanan RH 84% adalah 1 tahun 10 bulan dan bila
menggunakan kemasan nilon menjadi 3 tahun 3 bulan.

Kata kunci : beras analog, ISA, kadar air kritis, umur simpan
SUMMARY
YOSE RIZAL KURNIAWAN. Accelerated Shelf Life Testing of Rice Analogue
Based on Moisture Sorption Isotherm. Supervised by Y. ARIS PURWANTO,
NANIK PURWANTI and SLAMET BUDIJANTO.

The level of rice consumption in Indonesia reaches 125 kg/capita/year,


much higher than the average world consumption of 60 kg/capita/year. This
promoted researchers to bring up alternative foods to replace rice, one of which is
rice analogue. Rice analogue is one form of food diversification because of its
shape and taste in accordance with the habits of Indonesian people. The property
of food materials that plays an important role in production process, especially
drying and storage is moisture sorption isotherm (MSI). MSI measurement is
usually done using desiccator method of saturated salt slurry. The purposes of this
study were to measure MSI of rice analogue and to estimate shelf life based on the
MSI property.
Shelf life prediction of cassava rice analogue was conducted through MSI
curve measurement, curve modeling, determination of critical moisture content
and calculation of shelf life. Estimation of shelf life through critical moisture
content approach based on Labuza equation.
Cassava rice analogue had MSI curve of sigmoid type (type II) with GAB
and Henderson equations as the best-fit models. Rice analogue critical moisture
content was 15.24 percents db and 600 gram solid weight in pack was 561.45
grams. Shelf life prediction of rice analogue using PP packaging at 84 percents
humidity storage was 1 year 10 months and becomes 3 years 3 months when using
nylon packaging.

Keywords : rice analogue, MSI, critical moisture content, shelf life


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2018
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENDUGAAN UMUR SIMPAN BERAS ANALOG
BERDASARKAN PERILAKU
ISOTERMI SORPSI AIR

YOSE RIZAL KURNIAWAN

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi
Judul Tesis : Pendugaan Umur Simpan Beras Analog Berdasarkan Perilaku
Isotermi Sorpsi Air
Nama : Yose Rizal Kurniawan
NIM : F151140071

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, MSc


Ketua

Dr. Nanik Purwanti, STP, MSc Prof. Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr
Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Teknik Mesin Pertanian dan Pangan

Dr. Ir. I Dewa Made Subrata, MAgr Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng

Tanggal Ujian : 23 Agustus 2018 Tanggal Lulus :


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhana wa ta’ala yang
telah memberikan petunjuk dan karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan
karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini mengupas tentang pengukuran
sifat isotermi sorpsi air pada beras analog jagung menggunakan metode
pembangkit kelembaban dengan memanfaatkan instrumen Dynamic Vapor
Sorption dan pendugaan umur simpan beras analog singkong dengan
memanfaatkan hasil pengukuran sifat isotermi sorpsi air menggunakan metode
desikator larutan garam jenuh. Kegiatan penelitian ini berlangsung sejak bulan
Mei 2016 sampai dengan Agustus 2018.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
Prof. Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, Dr. Nanik Purwanti dan Prof. Dr. Ir. Slamet
Budijanto selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan ilmu, bimbingan,
arahan, dukungan dan motivasi sehingga tesis ini terselesaikan. Ucapan terima
kasih saya sampaikan juga kepada Dr. Rokhani Hasbullah selaku penguji luar
komisi yang memberikan saran dan masukan pada perbaikan tesis ini.
Terimakasih saya sampaikan kepada Dr. Ir. I Dewa Made Subrata selaku Ketua
Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan beserta staf dan jajarannya.
Penghargaan saya sampaikan kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi
master di Sekolah Pascasarjana IPB dan Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi atas dukungan dana pendidikan dan penelitian melalui
Program Karyasiswa Ristek 2014. Terimakasih kepada pimpinan, staf, dan teknisi
laboratorium lingkup Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta IPB dan
laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU IPB. Terimakasih kepada Sekolah
Tinggi Perikanan (STP) Jakarta khususnya staf laboratorium Kimia Pangan dan
tim Eramitra atas kesempatan melakukan penelitian DVS. Terimakasih kepada
FITS Mandiri beserta kru pilot plant beras analog dan TechnoPark Fateta IPB
beserta staf atas waktu dan bantuannya dalam penelitian beras analog.
Terimakasih kepada PPTTG LIPI atas dukungan penelitian dan publikasi. Terima
kasih banyak kepada Sdr sdri Novi Alfiyani, Hasniar, Novriaman Pakpahan,
Jusran dan rekan-rekan KS Tubun 5 atas waktu dan bantuannya kepada penulis
dalam melaksanakan penelitian. Terimakasih kepada teman-teman di program
studi S2 Teknik Mesin Pertanian dan Pangan (TMP) 2014 dan Keluarga Besar
TMP, rekan-rekan di Himmpas, BSC, dan FW, dan teman-teman pascasarjana
IPB atas kebersamaan dan persaudaraan yang terjalin.
Terimakasih yang mendalam dan penuh cinta, penulis sampaikan Bapak
Muh. Abdul Cholik, Ibu Suliestyaningsih dan adik Maya Puspita Sari, Bapak
Sunjani, Ibu Sriyanti, dan saudara saudari ipar serta kepada istri (Nur
Rachmawati) dan ananda (Hammam Rupadi Magistra dan Haris Zein Alfath)
yang telah memberikan doa, kasih sayang, perhatian dan dukungan. Semoga hasil
karya ini bisa memberikan manfaat.

Bogor, Agustus 2018


Yose Rizal Kurniawan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN ix
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Beras Analog 3
Aktivitas Air 5
Isotermi Sorpsi Air 6
Umur Simpan 10
3 METODOLOGI
Lokasi dan Tempat Penelitian 11
Bahan dan Alat 11
Pendugaan Umur Simpan Beras Analog 12
4 PENDUGAAN UMUR SIMPAN BERAS ANALOG
Kadar Air Kesetimbangan Beras Analog 15
Pemodelan Matematika Isotermi Sorpsi Air 16
Kadar Air Awal dan Kadar Air Kritis 22
Permeabilitas dan Luas Kemasan 22
Pendugaan Umur Simpan 23
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 25
Saran 25
DAFTAR PUSTAKA 25
LAMPIRAN 32
RIWAYAT HIDUP 46
DAFTAR TABEL
1 Model kadar air kesetimbangan isotermi sorpsi air 9
2 Nilai kelembaban relatif (RH, %) dan aktivitas air (aw) dari garam yang
dilarutkan hingga jenuh ( suhu 30°C) 13
3 Linearisasi model-model sorpsi isotermi 13
4 Kadar air kesetimbangan (Me) beras analog dan waktu tercapainya
kesetimbangan 16
5 Linierisasi model persamaan ISA 17
6 Kadar air kesetimbangan prediksi berdasarkan 6 model persamaan 17
7 Nilai MRD model persamaan 17
8 Permeabilitas uap air dan WVTR kemasan 23
9 Perhitungan umur simpan pada RH 84% menggunakan model GAB 24

DAFTAR GAMBAR
1 Beras analog produksi F-TechnoPark - FITS Mandiri 1
2 Peta stabilitas pangan berdasarkan fungsi aw 5
3 Kurva ISA berdasarkan tipe dan daerah 6
4 Tahapan penelitian 12
5 Kurva isotermi adsorpsi air beras analog 16
6 Ketepatan kurva model GAB 18
7 Ketepatan kurva model Halsey 19
8 Ketepatan kurva model Chen-Clayton 19
9 Ketepatan kurva model Henderson 20
10 Ketepatan kurva model Caurie 21
11 Ketepatan kurva model Oswin 21
12 Penarikan slope kurva model GAB 24

DAFTAR LAMPIRAN
1 Penetapan konstanta model GAB dan prediksi kadar air kesetimbangan 32
2 Penetapan konstanta persamaan Halsey dan prediksi kadar air
kesetimbangan 34
3 Penetapan konstanta persamaan Chen-Clayton dan prediksi kadar air
kesetimbangan 35
4 Penetapan konstanta persamaan Henderson dan prediksi kadar air
kesetimbangan 36
5 Penetapan konstanta persamaan Caurie dan prediksi kadar air
kesetimbangan 37
6 Penetapan konstanta persamaan Oswin dan prediksi kadar air
kesetimbangan 38
7 Formulir uji rating hedonik beras analog singkong 39
DAFTAR LAMPIRAN (lanjutan)
8 Hasil penilaian terhadap parameter aroma beras analog singkong 40
9 Hasil penilaian terhadap parameter tekstur beras analog singkong 41
10 Penentuan kadar air kritis pada parameter aroma dan tekstur 42
11 Profil ISA beras analog jagung suhu 25°C, 30°C, 35°C dan 45°C
DVS Hydrosorb 1000 43
12 Water Vapor Sorption Analyzer Quantachrome Hydrosorb 1000 45
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tingkat konsumsi beras di Indonesia mencapai 125 kg/kapita/tahun


(Kementan 2016), jauh lebih tinggi daripada rata-rata konsumsi dunia sebesar 60
kg/kapita/tahun (Hidayat et al. 2013). Budaya “belum kenyang kalau belum
makan nasi” melekat kuat dalam pola konsumsi masyarakat menjadi faktor utama
dominasi beras. Di sisi lain, produksi beras nasional berpotensi mengalami
penurunan akibat alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi perumahan dan
pabrik. Menurut Kusmana et al. (2017) berdasarkan data Kementerian Pertanian,
hanya 3 provinsi diantara 33 provinsi di Indonesia yang mencapai surplus padi.
Salah satu produk pangan yang berhasil dikembangkan beberapa tahun
terakhir adalah beras analog (Gambar 1). Beras analog dibuat dalam rangka
mensukseskan program diversifikasi pangan guna mengatasi problem kelangkaan
beras, dimana Indonesia melakukan impor beras disebabkan ketergantungan pola
konsumsi masyarakat Indonesia terhadap beras. Bentuk dan rasa beras analog
yang tidak bertentangan dengan kebiasaaan masyarakat Indonesia yaitu mirip
dengan beras, memungkinkan beras analog dijadikan sebagai makanan sehari-
hari. Beras analog berasal dari sumber karbohidrat lokal non-beras seperti umbi-
umbian, singkong, jagung, sagu, dan sorgum. Potensi sumber karbohidrat lokal
non-beras di Indonesia sebenarnya sangat tinggi namun pemanfaatannya masih
rendah, padahal kandungan gizinya tidak kalah dengan beras. Implementasi beras
analog diharapkan dapat meningkatkan pemanfaatan sumber karbohidrat lokal
non-beras, mengurangi konsumsi beras sekaligus menekan ketergantungan pangan
impor (beras dan gandum). Pemerintah menargetkan konsumsi sumber karbohirat
non-beras meningkat dari 14.4 kg/kapita/tahun menjadi 36 kg/kapita/tahun.
Sedangkan untuk konsumsi beras diharapkan turun sampai 70 kg/kapita/tahun,
setara dengan Malaysia dan Thailand 80 kg/kapita/tahun (Gultom et al. 2014).

Gambar 1 Beras analog produksi F-TechnoPark - FITS Mandiri


Beras analog mulai diperkenalkan sejak tahun 2012 oleh F-TechnoPark
Fateta IPB dan mendapat sambutan yang baik. Penelitian dan produksi yang
berkesinambungan terus dilakukan. Beras analog banyak diteliti dengan berbagai
2

komposisi bahan lokal terutama sumber karbohidrat dan mengarah sebagai produk
pangan fungsional. Dari segi proses pembuatan, beras analog diproduksi
menggunakan teknologi ekstrusi sebagai pengembangan dari proses granulasi
dimana proses ekstrusi memberikan hasil yang lebih baik dari segi bentuk, tekstur
dan kapasitas produksi. Tahapan proses dalam teknologi ekstrusi tersebut adalah
formulasi, ekstrusi dan pengeringan.
Berdasarkan penelitian Supriadi (2018), pengembangan bisnis beras analog
yang dilakukan atas kerjasama F-TechnoPark IPB dan FITS Mandiri
mengidentifikasi adanya kelebihan dan kelemahan beras analog sebagai produk
usaha pangan. Kelebihan beras analog adalah nilai indeks glikemik yang rendah,
fleksibilitas bahan baku dan standar kualitas produk yang terjaga sedangkan
kelemahannya adalah rasa dan aroma jagung masih terasa dan harga yang mahal.
Berdasarkan temuan tersebut maka perlu dioptimalkan salah satu peluang
peningkatan pemasaran yaitu perluasan saluran distribusi pemasaran dan
kerjasama dengan rumah sakit dan rumah makan. Perluasan saluran distribusi ini
memerlukan pengetahuan stabilitas produk karena beras analog akan ditempatkan
pada kondisi lingkungan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi dimana beras
analog didistribusikan, disimpan sampai dengan dikonsumsi. Salah satu sifat
bahan pangan yang erat kaitannya dengan stabilitas produk adalah sifat isotermi
sorpsi air (ISA). Isotermi sorpsi air akan memberikan gambaran tentang respon
produk pada lingkungan penyimpanan yang berbeda-beda. Pola ISA juga akan
membantu dalam perlakuan produk agar standar kualitas produk tetap terjaga
sebagai salah satu kelebihan beras analog.
Kriteria penting yang juga diperlukan pada komoditas pangan adalah umur
simpan. Beras analog sebagai produk yang diperjualbelikan harus mempunyai
umur simpan yang tertera pada kemasan. Sifat ISA dapat dianalisa lebih lanjut
untuk menentukan umur simpan produk pangan. Pendugaan umur simpan yang
memanfaatkan metode isotermi sorpsi air yaitu metode percepatan (accelerated
shelf life testing, ASLT) dengan pendekatan kadar air kritis. Metode penentuan
kadar air kritis telah digunakan dalam produk pangan yang mudah menyerap air,
seperti tortilla (Budijanto et al. 2010), biskuit (Kusnandar et al. 2010), kue kering
(Rachtanapun 2007), ledok instan (Wijaya et al. 2014), koya ikan (Anandito et al.
2017), minuman instan temulawak (Kusuma et al. 2015) dan bandrek instan
(Faridah et al. 2013).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Menentukan isotermi sorpsi air (ISA) beras analog singkong.
2. Mengevaluasi ketepatan model ISA dalam memprediksi data hasil eksperimen.
3. Menduga umur simpan beras analog berdasarkan hasil ISA.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


3

1. Analisis isotermi sorpsi dapat membantu menentukan stabilitas dan umur


simpan beras analog. Stabilitas produk pangan dapat diprediksi dengan
menggunakan aktivitas air pada kondisi kesetimbangan.
2. Informasi pola isotermi sorpsi pada bahan pangan digunakan untuk merancang
dan mengoptimasi proses pengeringan, pengemasan, penyimpanan dan
memodelkan perubahan air yang terjadi selama proses pengeringan,
memprediksi keawetan umur simpan, serta pencampuran bahan pangan.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Beras Analog

Beras analog merupakan sebutan lain dari beras tiruan (artificial rice). Beras
analog adalah beras yang dibuat dari non-padi dengan kandungan karbohidrat
mendekati atau melebihi beras dengan bentuk menyerupai beras dan dapat berasal
dari kombinasi tepung lokal atau padi (Samad 2003; Deptan 2011). Beras ini
memiliki zat gizi dan bentuk mendekati seperti beras (Budijanto dan Yuliyanti
2012). Metode pembuatan beras analog yang cukup dikenal akhir-akhir ini terdiri
atas dua cara yaitu metode granulasi dan ekstrusi. Perbedaan pada kedua metode
ini adalah tahapan gelatinisasi adonan dan tahap pencetakan. Hasil cetakan
metode granulasi adalah butiran (bulat-bulat) seperti pelet sedangkan hasil cetakan
metode ekstrusi adalah bulat lonjong dan sudah lebih menyerupai beras (Gultom
2014). Selama ekstrusi, pati mengalami perubahan fisikokimia yang jauh berbeda
dari sifat produk awalnya (Kadan dan Pepperman 2002). Perubahan fisikokimia
seperti pati tergelatinisasi dan protein terdenaturasi selama proses ekstrusi dapat
menghasilkan sifat fungsional baru (Bryant et al. 2001).
Pembuatan beras analog yang telah dipatenkan oleh Kurachi (1995) dengan
metode granulasi diawali dengan tahap pencampuran tepung, air dan hidrokoloid
sebagai bahan pengikat. Proses pencampuran dilakukan pada suhu 30-80°C
sehingga sebagian adonan telah mengalami gelatinisasi (semigelatinisasi). Setelah
itu adonan dicetak menggunakan granulator, kemudian dikukus (gelatinisasi) dan
dikeringkan.
Metode pembuatan beras analog oleh Budijanto dan Yuliyanti (2012)
dengan cara ekstrusi memiliki perbedaan dengan metode granulasi yaitu adanya
tahap penyangraian dan ekstrusi. Tahap penyangraian bertujuan untuk
menggelatinisasi sebagian adonan (semigelatinisasi) atau pengondisian
(conditioning) adonan sebelum diekstrusi. Tahap ekstrusi meliputi proses
pencampuran, pemanasan (gelatinisasi) dan pencetakan melalui die. Tahap
berikutnya adalah ekstrudat dikeringkan menggunakan oven dryer pada suhu 60°C
sampai kadar air 10-12%.
Teknologi pembuatan beras analog menggunakan metode ekstrusi juga
dilakukan oleh Mishra et al. (2012). Proses pembuatan beras analog meliputi
persiapan bahan, pembentukan adonan, pengondisian adonan (pre-conditioning),
ekstrusi dan pengeringan. Bahan yang digunakan antara lain tepung beras, air, dan
bahan pengikat (sodium alginate), setting agent (kalsium laktat dan kalsium
klorida), fortificants (multivitamin), antioksidan dan pewarna (titanium). Tujuan
4

dari tahap pre-conditioning adalah untuk mencampur dan mengadon air atau uap
dengan bahan-bahan yang telah mengalami pemanasan sebelumnya.
Teknologi ekstrusi mempunyai kelebihan seperti kapasitas besar dan
terjadinya proses pengaliran, pencampuran, pengadonan, pemanasan dan
pembentukan butiran dengan karakteristik yang menyerupai bentuk beras
sesungguhnya (Yeh dan Jaw 1999). Pembentukan butiran beras analog memiliki
tingkat kesulitan tersendiri. Modifikasi parameter proses dan adanya penambahan
bahan tambahan pangan yang tepat diharapkan dapat membentuk butiran beras
yang kokoh, tekstur yang lembut serta waktu tanak yang mendekati beras yang
bersumber dari tanaman padi. Secara umum proses ekstrusi untuk membuat beras
analog hampir sama dengan proses pembuatan produk-produk ekstrusi lainnya
yang terdiri dari empat tahap, antara lain: formulasi, prekondisi, ekstrusi dan
pengeringan.
Proses pembuatan beras analog sangat ditentukan bahan, formula, metode,
dan teknologi yang digunakan. Proses pembuatan akan menentukan karakteristik
produk yang dihasilkan. Pada prinsipnya adalah membentuk dan memampatkan
dengan tekanan, dengan atau tanpa perlakuan panas terhadap bahan-bahan
penyusun sehingga dihasilkan bentuk dan komposisi dan mutu seperti yang
diinginkan.
Formulasi beras analog merupakan penyusunan bahan sesuai dengan
komposisi yang diinginkan. Bahan penyusun adalah jumlah air, perbandingan
tepung dan pati, serta penentuan jenis dan jumlah bahan pengikat. Air merupakan
faktor penting dalam pembentukan beras analog karena air berperan dalam proses
gelatinisasi. Jumlah air yang ditambahkan adalah 50% dari jumlah tepung dan
pati. Jumlah ini juga mengacu pada pembuatan beras analog metode granulasi
yang dipatenkan oleh Kurachi (1995) yang menambahkan air sebanyak 50% dari
jumlah tepung dan pati (bahan kering). Penentuan perbandingan jumlah tepung
dan pati berdasarkan penelitian Lisnan (2008) yang membuat beras tiruan
berbasiskan tepung dan pati singkong. Beras tiruan dengan perbandingan tepung
dan pati sebanyak 70:30 merupakan beras dengan formula terpilih. Oleh karena
itu, jumlah pati yang digunakan adalah sebanyak 30% bahan basis kering. Pati
yang digunakan pada pembuatan beras analog dengan maizena dan sagu aren
sedangkan tepungnya menggunakan sorgum dan mocaf. Namun, penggunaan satu
jenis tepung membuat beras analog yang dihasilkan lengket satu sama lain dan
setelah dimasak menghasilkan nasi yang lengket.
Secara umum kandungan beras analog hampir mendekati kandungan beras.
Kadar air kedua beras tersebut sudah lebih rendah dari kadar air yang aman untuk
penyimpanan beras yaitu <14% bb. Sedangkan kadar abu pada beras analog cukup
rendah karena mengandung pati yang cukup tinggi. Proses pembuatan pati yang
melalui ekstraksi oleh air dapat membuat kandungan mineral pada tepung larut
dan terbuang. Oleh karena itu, dapat dilakukan pengembangan produk yang
mengandung mineral tinggi untuk memenuhi zat gizi yang hilang selama
pengolahan maupun dengan tujuan fortifikasi mineral tertentu. Secara umum
kandungan lemak beras analog termasuk rendah. Kandungan lemak yang rendah
dapat mencegah beras analog menjadi tengik dan dapat membuat beras analog
memiliki masa simpan yang lebih lama. Untuk kadar protein beras analog yang
dihasilkan mempunyai jumlah protein di bawah kadar protein beras. Hal ini
karena perlakuan panas pada saat proses gelatinisasi atau selama proses ekstrusi.
5

Kadar karbohidrat yang tinggi pada beras analog disebabkan oleh bahan baku
yang digunakan sebagian besar menggunakan pati yang merupakan sumber
karbohidrat.
Beras analog output proses tahap ekstrusi masih memiliki kadar air yang
cukup tinggi dan harus dikeringkan untuk menurunkan kadar air sampai di bawah
14 persen agar memiliki umur simpan yang panjang. Menurut Singh dan Heldman
(2009), proses pengeringan dan penyimpanan bahan pangan sangat terkait dengan
kondisi kadar air kesetimbangan di dalamnya. Dalam hal ini kadar air
kesetimbangan digunakan untuk mengetahui apakah suatu bahan pangan
menyerap air atau melepas air ketika berada pada lingkungan dengan kondisi
suhu dan kelembaban relatif (RH) tertentu. Hubungan antara kadar air
kesetimbangan dengan RH atau aktivitas air (aw) dinyatakan dalam kurva isotermi
sorpsi air.

Aktivitas Air

Kandungan air dalam bahan pangan yang berbeda-beda menyebabkan


tingkat keawetan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, hubungan
antara kandungan air dengan tingkat keawetan pangan tidak bisa dilihat secara
langsung karena pangan dengan kadar yang air sama belum tentu mempunyai
tingkat keawetan yang sama. Parameter lain yang lebih tepat digunakan untuk
menjelaskan bagaimana air berpengaruh pada stabilitas dan keawetan pangan, laju
reaksi kimia, aktivitas enzim, dan pertumbuhan mikroba adalah aktivitas air atau
disingkat aw. Aktivitas air paling umum digunakan sebagai kriteria untuk
keamanan pangan dan kualitas pangan. Nilai aktivitas air (aw) berkisar antara 0.0-
0.1, yang diperoleh dari rasio antara tekanan uap air (P) pada kelembaban relatif
tertentu dengan tekanan uap air murni (Po). Bila aw=0 maka bahan bersifat kering
mutlak, sedangkan bila aw=1 maka bahan adalah air murni (Kusnandar 2010).

Gambar 2 Peta stabilitas pangan berdasarkan fungsi aw


( Labuza dan Altunakar 2007)
Di antara penyebab kerusakan bahan pangan adalah tumbuhnya mikroba
pembusuk, berupa kapang, khamir, ataupun bakteri. Mikroba pembusuk dapat
tumbuh dan merusak makanan apabila tersedia air bebas yang cukup untuk
pertumbuhannya. Pertumbuhan mikroba akan semakin cepat apabila air bebas
tersedia banyak. Batas terendah aw untuk pertumbuhan beberapa jenis mikroba
adalah sebagai berikut: bakteri (~0.91), khamir (~0.88), kapang (~0.80), bakteri
6

halofilik (~0.75), kapang serofilik (~0.65) dan khamir osmofilik (~0.60). Pada
umumnya, hubungan laju pertumbuhan mikroba dengan aw mengikuti pola seperti
pada Gambar 2.

Isotermi Sorpsi Air (ISA)

Isotermi sorpsi air (ISA) menjelaskan hubungan antara aktivitas air (aw)
dengan kadar air suatu bahan pangan pada suhu dan tekanan tertentu (Seid dan
Hensel 2012; Handoko 2004; Bajpai dan Tiwari 2013). Informasi pola isotermi
sorpsi pada bahan pangan digunakan untuk merancang dan mengoptimasi proses
pengeringan, pengemasan, penyimpanan dan memodelkan perubahan air yang
terjadi selama proses pengeringan, memprediksi keawetan umur simpan, serta
pencampuran bahan pangan (Sinija dan Mishra 2008). Kurva isotermi sorpsi air
dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu cara adsorpsi (penyerapan uap air oleh
bahan) dan cara desorpsi (pelepasan uap air dari bahan ke udara). Ketika bahan
berada pada lingkungan yang mempunyai tekanan uap air lebih tinggi daripada
tekanan uap air bahan, terjadi proses adsorpsi dan ketika tekanan uap air
sekeliling bahan lebih rendah daripada tekanan uap air bahan memicu terjadinya
proses desorpsi (Cuervo-Andrade dan Hensel 2013). Data isotermi adsorpsi
berguna untuk menentukan metode penyimpanan, sedangkan data isotermi
desorpsi berguna untuk analisa pengeringan (Cordeiro et al. 2006).

(a) (b)
Gambar 3 Kurva ISA berdasarkan tipe (a) dan daerah (b)
(Sahin dan Sumnu 2006)
Bentuk kurva isotermi sorpsi air (ISA) bagi setiap bahan pangan khas. Hal
ini berkaitan dengan struktur, sifat fisikokimia dan kimia, serta komponen
penyusun bahan pangan (Purnomo 1995). Kurva ISA memiliki bentuk sigmoidal
(tipe II) pada banyak produk pangan (Gambar 3a), meskipun untuk makanan
dengan kadar gula tinggi atau molekul larut rendah memiliki kurva sorpsi dalam
bentuk J ( tipe I). Kurva berbentuk J adalah tipikal produk yang mengikat sedikit
air pada tingkat aw yang lebih rendah dan jumlah air yang lebih banyak pada nilai
aw yang tinggi. Kurva tipe I umumnya ditemui pada makanan berkomponen
kristalin seperti gula dan garam. Bahan pangan kering umumnya termasuk
isotermi sorpsi tipe sigmoid. Kurva isotermi sorpsi tipe sigmoid terjadi karena
efek akumulatif dari ikatan hidrogen, hukum Raoult, kapiler, dan interaksi antara
permukaan material dan molekul air. Kurva sorpsi sigmoidal adalah pola umum
dalam sistem pangan amorf. Karbohidrat dan pati yang digunakan kebanyakan
7

adalah material amorf. Sedangkan untuk kurva tipe III, tipe ini dimiliki oleh bahan
pangan yang sangat higroskopis, dimana bahan ini dapat mengikat air dalam
jumlah besar pada level aw rendah.
Labuza (1975) membagi kurva isotermis sorpsi air menjadi tiga bagian
(Gambar 3b). Zona A menunjukkan absorpsi lapisan air satu lapis molekul
(daerah monolayer), zona B menunjukkan absorpsi tambahan di atas lapisan
monolayer (daerah multilayer), dan zona C menunjukkan air terkondensasi pada
pori-pori bahan (Troller dan Christian 1978). Salah satu manfaat dari analisis ISA
tersebut yaitu untuk membantu menentukan stabilitas dan umur simpan produk.
Penentuan umur simpan dengan metode pendekatan air kritis ini dilakukan
berdasarkan tingkat kelembaban relatif (% RH), metode tersebut menggunakan
prinsip kadar air kesetimbangan dan kadar air kritis (Labuza 1982). Fennema
(1985) memaparkan adanya hubungan yang erat antara kadar air dalam bahan
pangan dengan stabilitas penyimpanan. Kriteria ikatan air dalam aspek daya awet
bahan pangan dapat ditinjau dari kadar air, konsentrasi larutan, tekanan osmotik,
kelembaban relatif berimbang dan aktivitas air (aw) (Purnomo 1995).
Metode konvensional untuk mengukur sifat sorpsi air adalah metode statis
gravimetri. Metode statis gravimetri disebut juga sebagai metode desikator atau
metode larutan garam jenuh. Larutan garam jenuh dalam metode ini diletakkan di
dasar desikator. Kelebihan metode statis adalah kemampuan mempertahankan
kondisi konstan secara mudah (Barrozo et al. 1994). Dalam metode ini, sampel
ditempatkan di dalam lingkungan yang diatur suhu dan kelembaban relatifnya
menggunakan larutan garam jenuh (bisa juga menggunakan larutan asam sulfat
atau larutan gliserol). Saat perubahan massa sampel tidak signifikan, kadar air
sampel diukur dan kemudian dianggap sebagai kadar air kesetimbangan (KAK).
Secara teoritis, saat setimbang aw sampel sama dengan aw lingkungan
sekelilingnya. Setiap garam jenuh memiliki interaksi ionik dengan air yang
menyebabkan terbentuknya berbagai kondisi tekanan uap di lingkungan. Semakin
besar interaksi ionik garam dengan air maka tekanan uap semakin rendah.
Tekanan uap air yang terbentuk menunjukkan kondisi kelembaban relatif tertentu.
Nilai kelembaban relatif merupakan persentase antara tekanan uap air yang
dibentuk oleh larutan garam jenuh dengan tekanan uap air murninya. Kondisi
kelembaban relatif ini juga dipengaruhi oleh suhu. Aktivitas air sebagian besar
larutan garam berkurang dengan meningkatnya suhu karena kenaikan kelarutan
dan kenegatifan panas larutan. Kelemahan utama preparasi ISA metode ini adalah
lamanya waktu kesetimbangan dan resiko pertumbuhan jamur dan bakteri pada
RH tinggi. Untuk mengurangi lama waktu kesetimbangan, udara di dalam
desikator dapat disirkulasi dan luas permukaan sampel diperbesar. Pada RH
tinggi, penyimpanan perlu dilakukan pada suhu rendah untuk mencegah
pertumbuhan mikroba.
Metode kedua yang berkembang adalah metode pembangkit kelembaban
(humidity generating method). Metode pembangkit kelembaban lebih dikenal
sebagai metode Dynamic Vapor Sorption (DVS). Kelebihan metode DVS
dibanding metode tradisional larutan garam jenuh yaitu waktu ekuilibrasi lebih
cepat 10 sampai 100 kali. Mayoritas kekurangan metode statis ( metode larutan
garam jenuh) telah bisa diatasi oleh metode DVS. Instrumen DVS mempunyai
kemampuan menghasilkan isotermi sorpsi dalam waktu yang relatif singkat
karena bekerja berdasarkan teknologi pembagi aliran air-udara. Pengguna alat
8

memilih kelembaban relatif yang diinginkan atau seri kelembaban relatif


menggunakan program komputer. Kelembaban relatif secara otomatis dikontrol
pengendali aliran massa, aliran udara kering dan aliran udara jenuh air, dengan
mencampur keduanya dalam rasio yang tepat untuk menghasilkan kelembaban
relatif yang diinginkan. Sampel diberi perlakuan kelembaban relatif yang sudah
ditentukan dan massa diukur secara gravimetri (ditimbang). Perubahan massa
diukur menggunakan timbangan mikro digital yang stabil dan bersensitivitas tingi.
Instrumen DVS diprogram secara otomatis bersiklus antar level kelembaban,
menjaga kelembaban konstan pada tiap level hingga kesetimbangan tercapai
(Mermelstein 2009). Metode DVS menggunakan instrumen yang diotomatisasi
dan interface komputer sehingga mengurangi kebutuhan tenaga dan supervisi
dibanding metode garam jenuh. Instrumen DVS mempertahankan kondisi
kelembaban relatif dan suhu bahan selama durasi eksperimen, kebutuhan sampel
jauh lebih sedikit, dikarenakan tingkat presisi dan sensitivitas tinggi (Levoguer
dan Williams 1997; Yu 2007; Mermelstein 2009; Penner 2012). Hasil output
instrumen DVS Hydrosorb ditampilkan pada Lampiran 11.
Sejumlah instrumen DVS dijual secara komersial disebutkan oleh
(Mermelstein 2009) antara lain Dynamic Vapor Sorption (Surface Measurement
Systems, London, Inggris), IGA-Sorp (Hiden Analytical, Warrington, Inggris),
VTI dan Q5000SA (TA Instruments, Delaware, Amerika Serikat), Cisorp Water
Sorption Analyzer (CI Electronics Ltd, Salisbury, Inggris), SPS Moisture Sorption
Analyzers (Project Messtechnk, Ulm, Jerman), HydrosorbTM 1000 Water Vapor
Sorption Analyzer (Quantachrome Instruments, Boynton Beach, Florida, Amerika
Serikat), dan AquaSorp Isotherm Generator (Decagon Devices Inc., Pullman,
Amerika Serikat).
Metode larutan garam jenuh dan instrumen pembangkit kelembaban (DVS)
adalah dua tipe metode yang digunakan untuk memperoleh pengukuran isotermi
sorpsi. Akan tetapi, pemilihan salah satu metode dibanding yang lainnya bukan
merupakan keputusan mudah. Banyak faktor mesti dipertimbangkan seperti
kriteria kesetimbangan DVS (dm/dt), waktu kesetimbangan, koefisien difusi,
investasi modal, struktur dan porositas material (Li 2010).
Isotermi sorpsi biasanya disajikan menggunakan model matematika
berdasarkan kriteria empiris dan atau teoritis. Tabel 1 menampilkan beberapa
persamaan model yang sering diujikan dalam bahan pangan. Dalam literatur,
banyak model isotermi yang tersedia, dimana dapat dikategorikan dalam beberapa
kelompok; model kinetik berbasis adsorpsi mono-layer (model BET (Brunauer-
Emmett-Teller)), model kinetik berbasis film multi-layer dan terkondensasi
(model Guggenheim-Anderson dan de Boer (GAB)), semi empiris (model Halsey,
Ferro-Fontan, dan Henderson), model empiris murni (model Oswin dan Smith),
Isotermi sorpsi air adalah unik untuk setiap bahan dan harus melalui eksperimen
(Muzaffar dan Kumar 2016). Dari sekian banyak model persamaan yang
dikembangkan, persamaan BET dan GAB mewakili model isotermi sorpsi yang
memiliki daya guna cukup baik yaitu dalam hal kemampuannya secara matematis
menguraikan isotermi sorpsi, dan kemampuan tetapan-tetapan dalam model
tersebut untuk menjelaskan fenomena secara teoritis (Adawiyah dan Soekarto
2010). Model homogen dua parameter terbaik yang dikenal adalah model BET
namun penerapannya terbatas pada rentang aw 0.05-0.45 (Al-Muhtaseb et al.
2002). Persamaan Guggenheim-Anderson-de Boer (GAB) dianggap sebagai
9

model paling serbaguna untuk berbagai material seperti produk anorganik dan
pangan pada rentang aw yang luas (Soysal dan Oztekin 2001).

Tabel 1 Model kadar air kesetimbangan isotermi sorpsi air


Persamaan Model

Oswin 𝑎 𝑁
𝑀 = 𝐾 (1−𝑎𝑤 )
𝑤

Halsey 𝐴𝑀−𝐶
𝑎𝑤 = 𝑒𝑥𝑝 (− )
𝑅𝑇

Henderson 𝑎𝑤 = 1 − 𝑒𝑥𝑝[−𝐴𝑇𝑀𝐶 ]

GAB 𝑎𝑏𝑐𝐻𝑅
𝑀 = (1−𝑏𝐻 )(1−𝑏𝐻
𝑅 𝑅 +𝑏𝑐𝐻𝑅 )

dimana
𝑏 = 𝑏0 𝑒(ℎ1 /𝑅𝑔 𝑇𝑘 )
𝑐 = 𝑐0 𝑒(ℎ2 /𝑅𝑔 𝑇𝑘 )

Chen-Clayton −1 ln(𝑅 )
𝑀𝐸 = 𝑐𝑇 𝑑 ln [ −𝑎𝑇ℎ𝑏 ]

Caurie 𝑀 = 𝑒𝑥𝑝(𝐴 + 𝐵. 𝑎𝑤 )

Model BET dan GAB menggunakan asumsi sorpsi homogen dengan air
membentuk sebuah lapis monomolekular pada awalnya, sedangkan air tambahan
membentuk multilayer (Yanniotis dan Blahovec 2009). Kandungan air monolayer
(Mo) adalah signifikan penting bagi stabilitas pangan berkenaan dengan oksidasi
lipid, aktivitas enzim, browning non-enzimatik dan karakteristik struktural.
Menurut Lomauro et al. (1985) persamaan GAB memberikan pemodelan terbaik
untuk lebih dari 50% buah-buahan, daging dan sayuran daripada model dengan
dua parameter setelah mengevaluasi 163 bahan makanan termasuk buah-buahan,
sayuran, rempah-rempah dan makanan berpati. Parameter keempat untuk
persamaan GAB diperkenalkan oleh Viollaz dan Rovedo (1999) untuk
mengkorelasikan data sorpsi pada aw lebih tinggi dari 0.9. Bahkan, Peleg (1993)
mengusulkan sebuah model empat parameter yang dapat digunakan untuk kurva
isotermi sigmoid dan non-sigmoid, dan memodelkan sama baik atau lebih baik
dari model GAB. Model Oswin adalah seri ekspansi untuk kurva berbentuk
sigmoid yang paling cocok untuk menggambarkan isotermi dari makanan berpati
sedangkan model Smith merumuskan bahwa kadar air dalam fraksi kedua
(dibentuk setelah serapan dari fraksi pertama), proporsional dengan perbedaan
antara aw sampel dan air murni (Al-Muhtaseb et al. 2002). Meskipun demikian,
sudah diteliti bahwa tidak ada model isotermi sorpsi bisa memodelkan data pada
seluruh rentang kelembaban relatif (RH) karena air berasosiasi dengan matriks
pangan dengan mekanisme yang berbeda pada wilayah aktivitas yang berbeda.
Penelitian mendalam pada literatur menunjukkan bahwa isotermi sorpsi air bahan
10

pangan dapat dideskripsikan menggunakan lebih dari satu model sorpsi


(Yogendrarajah et al. 2015).

Umur Simpan

Umur simpan adalah salah satu kriteria atau komponen mutu yang penting
pada komoditas pangan. Menurut Institute of Food Science and Technology
(1993), umur simpan produk pangan adalah periode waktu dimana produk
makanan dalam kondisi aman secara sensori, kimia, fisik, mikrobiologi, dan
fungsional yang diharapkan. Sementara itu, European Food Information Council
(2013) menyatakan bahwa umur simpan adalah selang waktu produk makanan
dapat disimpan dalam kondisi penyimpanan yang ditentukan dengan tetap
mempertahankan keamanan dan kualitas optimum.
Dari kedua definisi di atas, terlihat bahwa produk pangan akan mengalami
perubahan dalam proses penyimpanan. Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya perubahan pada produk pangan menjadi dasar dalam menentukan titik
kritis umur simpan. Titik kritis ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat
sensitif serta dapat menimbulkan terjadinya perubahan mutu produk selama
distribusi, penyimpanan hingga siap dikonsumsi (Herawati 2008). Menurut
Syarief et al. (1989), secara garis besar umur simpan dapat ditentukan dengan
menggunakan metode konvensional (extended storage studies, ESS) dan metode
akselerasi kondisi penyimpanan (accelerated storage studies, ASS atau
accelerated shelf life testing, ASLT). Metode konvensional membutuhkan waktu
yang lama dan biaya yang mahal karena pendugaan umur simpan produk
dilakukan dengan membuat kondisi normal sehari-hari hingga produk pangan
mengalami kerusakan. Namun pendugaan umur simpan dengan metode
konvensional ini memiliki keakuratan dan ketepatan yang tinggi.
Penentuan umur simpan produk dengan metode ASS atau sering disebut
dengan ASLT dilakukan dengan menggunakan parameter kondisi lingkungan
yang dapat mempercepat proses penurunan mutu (usable quality) produk pangan.
Salah satu keuntungan metode ASS yaitu waktu pengujian relatif singkat (3-4
bulan), namun ketepatan dan akurasinya tinggi. Metode ASLT dapat dilakukan
dengan dalam waktu yang relatif singkat karena pendugaan umur simpannya
dilakukan pada kondisi percobaan yang ekstrim, yaitu dengan mempercepat
proses penurunan mutu serta kerusakan fisik dan kimia produk dengan mengatur
parameter kritisnya, baik penggunaan suhu tinggi maupun kelembaban di atas
atau di bawah kondisi normal penyimpanan.
Kesempurnaan model secara teoritis ditentukan oleh kedekatan hasil yang
diperoleh (dari metode ASS) dengan nilai ESS. Hal ini diterjemahkan dengan
menetapkan asumsi-asumsi yang mendukung model. Variasi hasil prediksi antara
model yang satu dengan yang lain pada produk yang sama dapat terjadi akibat
ketidaksempurnaan model dalam mendiskripsikan sistem, yang terdiri atas
produk, bahan pengemas, dan lingkungan (Arpah 2001).
Penentuan umur simpan produk dengan metode akselerasi dapat dilakukan
dengan dua pendekatan, yaitu: 1) pendekatan kadar air kritis dengan teori difusi
dengan menggunakan perubahan kadar air dan aktivitas air sebagai kriteria
kedaluwarsa, dan 2) pendekatan semiempiris dengan bantuan persamaan
Arrhenius, yaitu dengan teori kinetika yang pada umumnya menggunakan ordo
11

nol atau satu untuk produk pangan. Model persamaan matematika pada
pendekatan kadar air diturunkan dari hukum difusi Fick unidireksional. Terdapat
empat model matematika yang sering digunakan, yaitu model Heiss dan Eichner
(1971), model Rudolph (1987), model Labuza (1982), dan model waktu paruh
(Syarief et al 1989). Prinsip dari pendugaan umur simpan dengan metode kadar
air kritis didasarkan pada akselerasi penyerapan air oleh produk pada kondisi
kelembaban relatif, hingga bahan berubah kandungan airnya hingga mencapai
kadar air kritis. Umur simpan ditentukan berdasarkan waktu yang diperlukan oleh
bahan untuk berubah kadar airnya dari kadar air awal hingga kadar air kritis.
Lamanya umur simpan dipengaruhi oleh kadar air awal, kadar air kritis,
permeabilitas uap air dari kemasan, luas kemasan yang kontak langsung dengan
produk, kemiringan (slope) kurva isotermis sorpsi air (ISA), dan kadar air
kesetimbangan (Labuza 1982). Tahapan penentuan umur simpan dengan metode
ASS pendekatan semiempiris meliputi penetapan parameter kriteria kedaluwarsa,
pemilihan jenis dan tipe pengemas, penentuan suhu untuk pengujian, prakiraan
waktu dan frekuensi pengambilan contoh, plotting data sesuai ordo reaksi, analisis
sesuai suhu penyimpanan, dan analisis pendugaan umur simpan sesuai batas akhir
penurunan mutu yang dapat ditolerir. Penentuan umur simpan dengan ASS perlu
mempertimbangkan faktor teknis dan ekonomis dalam distribusi produk yang di
dalamnya mencakup keputusan manajemen yang bertanggung jawab.

3 METODOLOGI

Lokasi Penelitian dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2017 hingga Juli 2018
bertempat di Laboratorium Pengolahan Pasca Panen, Pusat Pengembangan
Teknologi Tepat Guna (PPTTG), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Pembuatan beras analog dilaksanakan di F-TechnoPark Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pengujian permeabilitas uap air kemasan
dilakukan di Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain beras analog
singkong, garam pro analysis (NaOH, CH3COOK, MgCl2, KI, NaCl, KCl, BaCl2,
K2SO4) dan akuades yang diperoleh dari Laboratorium Kimia PPTTG LIPI, serta
plastik kemasan PP, kemasan nilon dan kemasan aluminium. Bahan pembuat
beras analog singkong antara lain singkong parut, tepung beras, tapioka, ampas
kelapa dan gliserol monostearat. Selain itu, untuk penyiapan sampel dalam
percobaan pengukuran ISA digunakan kapur api (CaO) untuk pengeringan
kemoreaksi selama 2-3 minggu hingga kadar air sampel sekitar 1%.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain oven pengering, cawan
porselin, desikator, neraca analitik, pencapit logam, cawan aluminium, box
plastik, toples hermetik, sealer, kemasan metalized, timbangan, penggaris, spidol,
pulpen dan gunting.
12

Prosedur Penelitian

Penelitian ini terdiri atas tiga tahapan sebagai berikut: (1) tahap pengukuran
isotermi sorpsi air beras analog; (2) tahap pemodelan kurva ISA; (3) tahap
perhitungan umur simpan. Sampel beras analog dibuat dengan teknologi hot
extrusion. Secara singkat, tahapan eksperimen dijelaskan dalam bagan alir
penelitian yang disajikan pada Gambar 4.

Pengukuran ISA Kurva


metode larutan garam jenuh kadar air kesetimbangan

Pemodelan kurva Model terbaik

Pengukuran kadar air awal


dan kadar air kritis

Penentuan berat bahan kering


Perhitungan umur simpan
Penentuan permeabilitas
kemasan dan luas kemasan

Penentuan slope kurva ISA

Gambar 4 Tahapan penelitian

Pengukuran isotermi sorpsi air beras analog


Kurva ISA ditentukan berdasarkan percobaan untuk menentukan kadar air
kesetimbangan (Me) yang sesungguhnya dan diawali dengan pembuatan larutan
garam jenuh untuk mengatur RH kesetimbangan di dalam desikator (Lutovska et
al. 2017). Tujuan penggunaan RH kesetimbangan yang berbeda-beda yaitu agar
diperoleh kurva ISA yang menggambarkan pola penyerapan air yang sebenarnya
pada berbagai nilai RH sehingga nilai kadar air kesetimbangan Me pada aw atau
RH tertentu dapat ditentukan. Kurva ISA ditentukan sebanyak 3 kali ulangan
dengan menyimpan sampel sebanyak 2 g pada cawan porselin yang telah
diketahui beratnya, kemudian diletakkan pada desikator berisi larutan garam jenuh
berbeda dan disimpan pada ruangan yang RH dan suhunya dipertahankan tetap
pada suhu dan RH lingkungan (modifikasi Alfiyani 2018). Garam yang digunakan
beserta nilai RH dan aw-nya dapat dilihat pada Tabel 2.
Sampel ditimbang setiap hari hingga tercapai bobot konstan, kemudian
diukur kadar airnya dan dinyatakan sebagai kadar air kesetimbangan (Me) hasil
percobaan (basis kering). Sampel mencapai bobot konstan apabila selisih 3 kali
penimbangan<2 mg untuk sampel yang disimpan pada RH<90%, dan <10 mg
untuk sampel yang disimpan pada RH>90%. Kurva ISA merupakan hasil plotting
hubungan antara kadar air kesetimbangan (sumbu y) dan RH atau aw (sumbu x).
13

Tabel 2 Nilai kelembaban relatif (RH, %) dan aktivitas air (aw)


dari garam yang dilarutkan hingga jenuh ( suhu 30°C)
No Larutan garam jenuh RH (%) aw
1 NaOH 8 0.08
2 CH3COOK 22 0.22
3 MgCl2 32 0.32
4 KI 68 0.68
5 NaCl 75 0.75
6 KCl 84 0.84
7 BaCl2 90 0.90
8 K2SO4 97 0.97
Sumber : Greenspan (1977), Kitic et al. (1986)

Pemodelan kurva isotermi sorpsi air


Model persamaan matematika diujicobakan pada data kadar air
kesetimbangan guna memperoleh pola kurva yang terbaik. Persamaan yang dipilih
adalah persamaan yang dapat diaplikasikan pada bahan pangan dan mempunyai
jangkauan RH dari 0-97%. Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini
ada enam yaitu model GAB, Caurie, Chen-Clayton, Halsey, Henderson, dan
Oswin. Model-model persamaan ISA diubah menjadi persamaan linier seperti
yang tertera pada Tabel 3.

Tabel 3 Linearisasi model-model sorpsi isotermi


Model Bentuk linier Polinomial
Caurie ln Me= ln P(1)-P(2)aw
Halsey log (ln(1/aw)= log P(1)-P(2) log Me
Oswin ln Me = ln P(1) + P(2) ln (aw/(1-aw))
Chen Clayton ln (ln(1/aw))=ln P(1)-P(2) Me
Henderson log (ln(1/(1-aw))) = log P(1) + P(2)log Me
aw/Me=(A/mo)(1/(B-1))aw2+
GAB
((B-2)/Bmo)aw +1/ABmo
Keterangan : P1, P2 (konstanta), Me (kadar air kesetimbangan), aw (aktivitas air), mo (kadar air monolayer)

Data kadar air kesetimbangan (KAK) dan aw hasil eksperimen digunakan


dalam perhitungan dengan ke-6 model, lalu dilakukan evaluasi ketepatan hasil
perhitungan KAK berdasarkan model. Uji ketepatan model isotermi sorpsi
dilakukan dengan menggunakan perhitungan Mean Relative Determination
(MRD) (Walpole 1990).

100 𝑀𝑖−𝑀𝑝𝑖
𝑀𝑅𝐷 = ∑𝑛𝑖=1 [ ] (1)
𝑛 𝑀𝑖

Dimana Mi adalah kadar air hasil percobaan, Mpi adalah kadar air hasil
perhitungan, dan n adalah jumlah data. Jika nilai (MRD)<5 maka model isotermi
sorpsi tersebut dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya, dan jika nilai
5<MRD<10 maka model tersebut agak tepat. Sedangkan jika nilai modulus
deviasi MRD>10 maka model tersebut tidak tepat untuk menggambarkan keadaan
14

sebenarnya. Model dengan nilai MRD terkecil dinyatakan sebagai model terbaik
dan digunakan dalam perhitungan pendugaan umur simpan beras analog.

Pendugaan umur simpan beras analog


Perhitungan umur simpan beras analog ditentukan dengan mensubstitusi
data kadar air awal, kadar air kesetimbangan, kadar air kritis, berat kering bahan,
luas permukaan kemasan, permeabilitas kemasan, tekanan uap air jenuh, dan nilai
slope isotermi sorpsi ke dalam persamaan Labuza (1982) dan asumsi
penyimpanan RH 84% pada suhu 30°C.

𝑀𝑒−𝑀𝑖
𝑙𝑛[𝑀𝑒−𝑀𝑐]
𝑡= 𝑘 𝐴 𝑃𝑜 (2)
𝑥 𝑊𝑠 𝑏

dimana t = umur simpan, Me = kadar air kesetimbangan (%bk), Mi = kadar air


awal (%bk), Mc = kadar air kritis (%bk), Ws = berat bahan kering (g), A = luas
permukaan (m2), k/x = permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg), Po =
tekanan uap air jenuh (mmHg), b= slope kurva isotermi sorpsi.

Penentuan kadar air kritis beras analog


Kadar air kritis ditentukan dengan menyimpan sampel selama 0, 6, 12, 18
dan 24 jam secara terbuka tanpa kemasan pada wadah penyimpanan tertutup yang
dilengkapi penyangga dan diisi air 2 L agar penurunan mutu berlangsung lebih
cepat (RH air 100% setara aw=1). Wadah penyimpanan tertutup terbuat dari box
plastik berukuran 37×29×15 cm dan dilengkapi ram kawat yang dibentuk
sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk menyangga sampel (modifikasi
Alfiyani 2018).
Sampel kemudian disajikan melalui uji organoleptik oleh 30 orang panelis
dengan uji rating hedonik untuk menentukan sampel mana yang mutunya tidak
diterima lagi secara organoleptik. Uji organoleptik ini diujicobakan pada nilai
kesukaan panelis terhadap parameter aroma, tekstur, dan warna dengan skor 1
(sangat tidak suka) hingga skor 7 (sangat suka).
Setelah diuji secara organoleptik, seri sampel ini juga diukur kadar airnya
dan dinyatakan dalam % bk (sumbu y), kemudian diplotkan dengan rata-rata skor
organoleptik (sumbu x) sehingga menghasilkan persamaan linier y=a+bx. Kadar
air kritis ditentukan dengan memasukkan nilai 4 yang dianggap sebagai batas
penolakan terhadap parameter mutu beras analog, sebagai nilai x pada persamaan
linier. Kuesioner yang digunakan pada uji rating hedonik terdapat pada Lampiran
7.

Penentuan permeabilitas kemasan


Pengukuran permeabilitas uap air-kemasan dilakukan dengan menggunakan
metode standar ASTM F-1249 (American Society for Testing Materials).
Pengukuran permeabilitas uap air kemasan PP, nilon dan aluminium dilakukan
menggunakan Permatran Mocon W*3/31 pada suhu 100°F (37.8°C). Kemasan
PP, nilon, dan aluminium dipotong sesuai cetakan lalu diukur ketebalannya.
Kemasan contoh terlebih dahulu dikondisikan pada ruang uji selama 24 jam.
Kemasan kemudian ditempatkan dalam cell pada alat uji. Data mengenai
15

ketebalan, luas kemasan, suhu pengujian, kelembaban udara, dan laju aliran udara
dialirkan melalui inside chamber (RH 0%), sedangkan gas nitrogen basah
dialirkan melalui outside chamber (RH 100%). Contoh uji (plastik) dalam cell
menjadi pembatas antara gas nitrogen basah dan nitrogen kering. Perbedaan
tekanan mengakibatkan uap air akan berdifusi menuju daerah yang bertekanan
rendah (inside chamber). Uap air yang berdifusi melalui kemasan kemudian
dibawa oleh gas nitrogen kering menuju sensor inframerah terdeteksi jumlahnya
sehingga laju uap air dapat dihitung. Pengujian berakhir bila kondisi
kesetimbangan telah tercapai (steady state) dan laju uap air yang terdeteksi sensor
inframerah telah menunjukkan nilai yang konstan. Pada akhir pengujian,
diperoleh nilai Water Vapour Transmission Rate (WVTR) g/m2/hari. Nilai
permeabilitas kemasan (k/x) dihitung dengan membagi nilai WVTR dengan hasil
perkalian tekanan uap murni (Po) pada suhu pengujian dengan nilai RH.

Penentuan nilai slope kurva sorpsi isotermi


Arpah (2001) menyatakan bahwa nilai slope kurva isotermi sorpsi (b)
ditentukan pada daerah linear. Yang dimaksud daerah linear untuk menentukan
nilai b diambil antara daerah kadar air awal (Mi) dan kadar air kritis (Mc) (Bell
dan Labuza 2000). Titik Mi dan Mc yang berada pada kurva isotermi sorpsi
berdasarkan model isotermi yang terpilih akan dihubungkan dengan garis lurus,
dan akan menghasilkan persamaan linear y=a+bx. Nilai b pada persamaan linear
tersebut adalah nilai slope kurva isotermi sorpsi.

Penentuan bobot solid per kemasan


Bobot solid per kemasan (Ws) dihitung dengan menimbang bobot awal
massa beras analog dalam satu kemasan (W), lalu dikoreksi nilainya berdasarkan
nilai kadar awalnya.

%solid = (1 – kadar air basis basah) × 100% (3)

Ws (g) = W × (%solid/100) (4)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air Kesetimbangan Beras Analog

Hasil kesetimbangan sampel yang dicapai dalam kurun waktu 1-3 minggu
dalam larutan garam jenuh diperlihatkan dalam Tabel 4. Kurva isotermi sorpsi air
dibentuk sebagai hasil plotting kadar air kesetimbangan dan aw ditampilkan pada
Gambar 5. Kurva ISA beras analog singkong menyerupai huruf S. Berdasarkan
klasifikasi Brunauer (Brunauer et al. 1940), kurva ISA yang menyerupai huruf S
berbentuk sigmoid dan tergolong dalam tipe II. Penelitian produk makanan
berbasis singkong juga dilaporkan mempunyai kurva ISA berbentuk sigmoid,
antara lain granula ubi kayu (Sugiyono et al. 2012), ubi kayu instan (Fitriani et al.
2015), tepung singkong (Ayala-Aponte 2016), dan tepung singkong terfermentasi
angkak (Alfiah et al. 2017). Kurva berbentuk sigmoid dikarenakan efek tambahan
hukum Raoult, efek kapiler, dan interaksi air permukaan (Sahin dan Sumnu 2006).
16

Tabel 4 Kadar air kesetimbangan (Me) beras analog dan waktu


tercapainya kesetimbangan
RH (%) aw Me (% bk)a waktu (hari)
8 0.08 2.72±0.02 7
22 0.22 5.65±0.03 6
32 0.32 7.11±0.02 7
68 0.68 12.87±0.03 7
75 0.75 14.45±0.05 7
84 0.84 17.37±0.12 17
90 0.90 23.07±0.10 14
97 0.97 - berkapang
b
97 0.97 37.27±0.05 14
a
rata-rata dan standar deviasi dari 3 ulangan; blarutan ditambah toluena 3 ml

25
kadar air kesetimbangan (% bk)

20

15

10

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
aktivitas air (aw)

Gambar 5 Kurva isotermi adsorpsi air beras analog


Kurva tipe II umum ditemui pada produk makanan dan sistem biologis.
Kurva sorpsi ini terbagi menjadi 3 daerah. Zona A menunjukkan wilayah kadar air
monolayer, dimana terikat kuat dengan bahan. Zona B meliputi kadar air
multilayer yang merupakan transisi ke sifat alami air bebas dan tersedia untuk
reaksi kimia. Air di zona C berada dalam kondisi bebas dan berada di rongga,
celah, dan kapiler (Menkov dan Durakova 2007).

Pemodelan Matematika Isotermi Sorpsi Air

Berdasarkan Aqualab (2011) ada 270 model isotermi sorpsi yang diusulkan.
Manfaat model-model ini adalah untuk memprediksi kadar air kesetimbangan
pada kondisi aktivitas air tertentu dan digunakan untuk mengevaluasi fungsi
termodinamika air pada makanan. Selain itu, pada resolusi data yang rendah,
model ini diperlukan untuk interpolasi antara titik-titik data isotermi. Model–
model yang dipakai dalam penelitian ini sudah sering diujikan pada penelitian-
penelitan sebelumnya dan dapat menggambarkan keadaan isotermi sorpsi air
17

bahan pertanian dan pangan pada sepanjang rentang aktivitas air. Model-model
tersebut di atas tergolong model persamaan sederhana dan mempunyai sedikit
parameter sehingga lebih mudah diaplikasikan.

Tabel 5 Linierisasi model persamaan ISA


Model matematika Persamaan linier
GAB Me = 57.14288aw /(1 - 0.791017aw)(1 + 8.105303aw)
Halsey log (ln(1/aw))= -1.85837 - 1.54718 log Me
Chen-Clayton ln (ln(1/aw)) = 1.26683 - 16.29602 Me
Henderson log (ln(1/(1-aw))) = 1.48653 + 1.64942 log Me
Caurie ln Me = -3.54066 + 2.23083 aw
Oswin ln Me = -2.40673 + 0.43659 ln (aw/(1-aw))

Tabel 6 Kadar air kesetimbangan prediksi berdasarkan 6 model persamaan


Kadar air kesetimbangan (% bk)
prediksi
aw
percobaan Chen-
GAB Halsey Henderson Caurie Oswin
Clayton
0.08 2.72 2.85 3.41 1.96 2.69 3.43 3.02
0.22 5.65 5.50 4.83 5.26 5.43 4.76 5.21
0.32 7.11 6.88 5.84 7.06 7.13 5.99 6.55
0.68 12.87 12.96 11.71 13.67 13.63 13.28 12.57
0.75 14.45 14.95 14.16 15.48 15.36 15.52 14.62
0.84 17.37 18.23 19.29 18.41 18.05 18.80 18.47
0.90 23.07 21.34 26.41 21.39 20.65 21.45 23.18

Tabel 7 Nilai MRD model persamaan


Model ISA Nilai MRD
GAB 3.94
Halsey 13.50
Chen-Clayton 8.85
Henderson 4.52
Caurie 11.97
Oswin 5.33

Model persamaan dimodifikasi menjadi persamaan linier, sehingga


memudahkan penentuan nilai konstantanya. Data-data hasil percobaan isotermi
sorpsi diolah menggunakan metode kuadrat terkecil untuk mendapatkan nilai
konstanta. Persamaan linier dengan konstanta yang sudah diperoleh ditampilkan
dalam Tabel 5. Dengan memasukkan nilai aw pada persamaan linier akan
diperoleh nilai kadar air kesetimbangan (Me) prediksi berdasarkan masing-masing
model. Kadar air kesetimbangan prediksi ditampilkan pada Tabel 6. Hasil plotting
aw dan kadar air kesetimbangan prediksi dibandingkan dengan hasil percobaan
(Gambar 6-11). Dari hasil evaluasi MRD (Tabel 7), model persamaan GAB dan
18

Henderson tergolong tepat, dan model Oswin dan Chen-Clayton agak tepat dalam
memprediksi kadar air kesetimbangan beras analog.

1. Model GAB
Model GAB menghasilkan MRD sebesar 3.94. Nilai tersebut adalah paling
rendah di antara keenam model yang bisa diartikan sebagai model terbaik dalam
memprediksi kadar air kesetimbangan beras analog. Ketepatan pemodelan GAB
divisualisasikan dalam Gambar 6. Menurut Herawat et al. (2014), model GAB
mampu memprediksi ISA beras analog instan dan beras padi pada rentang RH 7%
hingga 97%. Brooker et al. (1992) menyatakan hanya persamaan GAB di antara
model ISA teoritis yang mampu memprediksi secara akurat ISA biji-bijian pada
seluruh rentang suhu dan RH yang ditemui pada situasi pengeringan biji-bijian
dalam tataran praktis. Penelitian Alfiah et al. (2017) meneliti tepung singkong
terfermentasi angkak dengan model GAB sebagai model terbaik dengan MRD
2.71.

25
kadar air kesetimbangan (% bk)

20

15

10

5
model GAB data percobaan

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
aktivitas air, aw
Gambar 6 Ketepatan kurva model GAB

2. Model Halsey
Model Halsey kurang tepat dalam memperkirakan kadar air kesetimbangan
beras analog singkong dengan MRD 13.50. Namun, penelitian Ayala-Aponte
(2016) melaporkan model Halsey cukup baik memprediksi ISA tepung singkong
dengan MRE kisaran 3-4%. Model Halsey juga baik dalam memprediksi ISA pia
kacang hijau Gorontalo dengan MRD 3.43 (Jamaluddin et al. 2014), dan kerupuk
tapioka dengan MRD 2.70 (Pakpahan et al. 2017). Kusnandar et al. (2010)
melaporkan model Halsey agak tepat memperkirakan kadar air kesetimbangan
biskuit adonan lunak dengan MRD 6.31. Penelitian ISA bandrek instan (Faridah
et al. 2013) melaporkan model Halsey kurang tepat memprediksi (MRD 11.88).

3. Model Chen-Clayton
Nilai MRD yang diperoleh model Chen-Clayton mengindikasikan model
cukup baik menduga kadar air kesetimbangan beras analog singkong (8.85).
Gambar 8 memperlihatkan ketepatan kurva model dalam memprediksi kurva ISA
hasil percobaan. Nilai MRD yang tidak jauh berbeda diperoleh pada penelitian
19

granula ubi kayu dengan MRD 8.08 (Sugiyono et al. 2012). Pada penelitian
Rahayu et al. (2010) tentang lada hitam, model ini tepat memprediksi ISA bubuk
lada hitam (MRD 4.35) namun kurang tepat pada biji lada hitam (MRD 11.58).
Penelitian Jacoeb et al. (2010) melaporkan model Chen Clayton tepat
memprediksi pola sorpsi air fish snack tanpa flavour dengan MRD 4.26 namun
kurang tepat pada fish snack dengan flavour (MRD 7.03).

30
kadar air kesetimbangan (% bk)

25

20

15

10

5
model Halsey data percobaan
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
aktivitas air, aw
Gambar 7 Ketepatan kurva model Halsey

25
kadar air kesetimbangan (% bk)

20

15

10

5 data percobaan model Chen-Clayton

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
aktivitas air, aw
Gambar 8 Ketepatan kurva model Chen-Clayton

4. Model Henderson
Evaluasi ketepatan model Henderson ditunjukkan pada Gambar 9 dan
menghasilkan MRD 4.52. Hal tersebut berarti model Henderson menjadi model
yang tepat dalam estimasi kadar air kesetimbangan beras analog singkong. Fitriani
et al. (2015) menyatakan model Henderson menjadi model yang tepat dalam
menduga pola isotermi sorpsi ubi kayu instan. Model Henderson adalah model
yang bisa digunakan pada seluruh rentang aw dan banyak digunakan terutama
20

pada produk berkadar gula tinggi. Namun pada produk granula ubi kayu prediksi
model Henderson tidak seakurat prediksi pada ubi kayu instan, tapi masih
tergolong cukup baik dengan MRD 6.98 (Sugiyono et al. 2012). Penelitian
Rahayu et al. (2005) melaporkan model ini tepat memprediksi ISA bubuk lada
hitam dengan MRD 3.52 dan agak tepat memprediksi biji lada hitam dengan
MRD 9.64. Di sisi lain, model ini belum bisa menjadi model yang baik untuk
memprediksi tortilla jagung dengan nilai MRD 86.56 (Budijanto et al. 2010).

25
kadar air kesetimbangan (% bk)

20

15

10

data percobaan model Henderson


0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
aktivitas air, aw
Gambar 9 Ketepatan kurva model Henderson

5. Model Caurie

25
kadar air kesetimbangan (% bk)

20

15

10

5
model Caurie data percobaan
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
aktivitas air, aw
Gambar 10 Ketepatan kurva model Caurie
Model Caurie dinilai kurang baik dalam estimasi kadar air kesetimbangan
beras analog singkong dengan evaluasi MRD 11.97. Penilaian kurang baik juga
dihasilkan pada pengukuran ISA tepung singkong terfermentasi angkak (Alfiah et
al. 2017), meskipun model ini cukup baik untuk memprediksi ISA granula ubi
kayu dengan MRD 7.01 (Sugiyono et al. 2012). Model Caurie menjadi model
21

yang baik dan tepat dalam memprediksi sorpsi air produk biskuit, seperti pada
penelitian Kusnandar et al. (2010) dengan produk biskuit adonan keras dengan
nilai MRD 1.9 dan penelitian Cahyanti et al. (2016) dengan produk biskuit
coklatnya. Penelitian Rahayu et al. (2005) melaporkan model Caurie cukup baik
memprediksi kadar air kesetimbangan lada hitam baik dalam bentuk bubuk (MRD
8.47) maupun dalam bentuk biji (MRD 6.67). Faridah et al. (2013) melaporkan
model Caurie kurang tepat memprediksi pola sorpsi bandrek instan dengan MRD
15.45.

6. Model Oswin
Ketepatan model Oswin ditampilkan pada Gambar 11. Model Oswin
mendekati model yang baik dalam memprediksi kadar air kesetimbangan beras
analog singkong dengan MRD 5.33. Sugiyono et al. (2012) melaporkan model
Oswin tidak cukup baik dalam memperkirakan kurva ISA granula ubi kayu
dengan nilai MRD diatas 10 (12.80). Penelitian Budijanto et al. (2010)
melaporkan model Oswin baik dalam memprediksi ISA tortilla jagung dengan
nilai MRD 2.33. Model Oswin juga tepat dalam memprediksi profil isotermi
sorpsi air pia kacang hijau Gorontalo dengan MRD 4.06 (Jamaluddin et al. 2014).

25
kadar air kesetimbangan (% bk)

20

15

10

5
model Oswin data percobaan

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
aktivitas air, aw
Gambar 11 Ketepatan kurva model Oswin
Di antara keenam model, model GAB dan Henderson menjadi model yang
tepat memprediksi pola isotermi sorpsi air beras analog singkong karena
mempunyai MRD dibawah 5. Persamaan GAB menjadi yang terbaik dalam
memodelkan kadar air kesetimbangan beras analog singkong karena memiliki
nilai MRD terendah. Model GAB dikenal sebagai model yang superior karena
keberhasilannya dalam memodelkan banyak produk pangan dalam rentang aw
yang luas. Kelebihan GAB ini menurut Andrade et al. (2011) karena faktor : basis
teoritisnya sebagai penyempurnaan teori Langmuir dan BET mengenai adsorpsi
fisik, persamaan matematika yang sederhana, dan kemudahan dalam interpretasi
karena parameternya merepresentasikan kondisi fisik dalam hal proses sorpsi.
Persamaan GAB mempunyai kekurangan yaitu kurang prediktif di a w>0.93.
Berdasarkan Lomauro et al. (1985), model GAB berhasil memprediksi secara
22

tepat 50 % dari semua komoditas daging, buah dan sayuran yang diuji sifat
isotermi sorpsinya.

Kadar Air Awal dan Kadar Air Kritis

Kadar air awal beras analog singkong adalah 6.87% bk. Kondisi kadar air
tersebut relatif kering pada produk makanan, sehingga beras analog tergolong
dalam produk pangan kering. Kondisi tersebut dikarenakan beras analog
mengalami proses pengeringan dalam tahapan produksinya. Proses pengeringan
menguapkan kadar air pada beras analog hasil ekstrusi. Dengan kondisi kering,
diharapkan produk akan lebih tahan lama disimpan.
Produk kering (kadar air rendah) cenderung menyerap air dari
lingkungannya (higroskopis). Penambahan air dalam produk secara terus menerus
akan berakibat terjadinya perubahan fisik, kimia, bahkan mikrobiologi. Perubahan
fisik yang mungkin terjadi adalah perubahan tekstur menjadi lebih lunak. Potensi
perubahan kimia akan tinggi apabila kandungan air dalam produk memasuki zona
II dimana air multilayer tersedia untuk reaksi kimia. Efek yang terjadi pada
perubahan kimia biasanya berupa warna dan aroma yang berubah. Semakin
banyak air yang terserap, maka akan mengundang kapang dan jamur untuk
tumbuh sebagai tanda adanya aktivitas mikrobiologi. Oleh karena itu, metode
kadar air kritis bisa digunakan untuk menduga umur simpan beras analog.
Metode kadar air kritis menekankan pada kadar air dan aktivitas air sebagai
kriteria kadaluwarsa. Penentuan kadar air kritis dilakukan dengan cara
menempatkan beras analog di ruangan dengan kelembaban tinggi sehingga kadar
air meningkat sampai kadar air (kritis) dimana produk rusak dan mengalami
perubahan fisik/kimia/mikrobiologi yang sudah tidak diterima oleh konsumen
atau tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Pada percobaan ini, produk beras analog
diujikan kepada 30 panelis dalam beberapa tingkatan kadar air mulai dari kadar
air rendah (awal) sampai kadar air yang cukup tinggi. Panelis diminta menilai
aroma, tekstur, dan warna. Hasil pengujian menunjukkan pada kadar air kritis
15.24% bk. Pada kadar air ini produk beras analog memberikan aroma yang
menyengat serta tekstur yang agak lengket. Nilai kadar air ini setara pada aw 0.76,
pada penelitian lain dilaporkan kadar air kritis granula ubi kayu 15.24% bk
(Sugiyono et al. 2012), ubi kayu instan 16.1 % bk (Fitriani et al. 2015) dan beras
ubi 11.68% bk (Widowati et al. 2010).

Permeabilitas dan Luas Kemasan

Kemasan produk pangan merupakan salah satu faktor yang berperan penting
dalam umur simpan. Parameter yang diperhitungkan dalam perhitungan metode
kadar air kritis adalah permeabilitas kemasan dan luas kemasan. Semakin besar
nilai permeabilitas kemasan maka transfer uap air yang masuk ke dalam kemasan
semakin banyak sehingga mempersingkat waktu umur simpan. Pengukuran Water
Vapor Transmission Rate (WVTR) dan kondisi lingkungan (suhu dan RH)
merupakan faktor dari permeabilitas kemasan. Menurut Kusnandar et al. (2010)
penentuan permeabilitas kemasan harus dilakukan pada suhu konstan untuk
menghindari perluasan untuk menghindari peningkatan ukuran pori-pori plastik.
23

Tabel 8 Permeabilitas uap air dan WVTR kemasan


Besaran Kemasan
PP Nilon Aluminium*
2
WVTR ( g/m /24jam) 4.6269 2.3431 0.3052
RH (%) 90 90 75
Po (mmHg) 49.157 49.157 23.756
2
k
x
( g/m .hari.mmHg ) 0.105 0.053 0.017
*metode ASTM E-96 (25°C, 75%)

Luas kemasan yang dipakai diukur secara manual dan menghasilkan nilai
0.063 m2 untuk kemasan PP, 0.071 m2 untuk kemasan nilon, dan 0.079 m2 untuk
kemasan aluminium. Kemasan PP diambil dari plastik wadah biasa di pasaran
(ketebalan 0.05) yang setelah diisikan produk beras analog cukup disegel dengan
sealer pemanas di bagian atas. Untuk kemasan nilon dan aluminium berbentuk
standing pouch. Semakin besar luas permukaan maka luas paparan kontak
dengan lingkungan sekitar semakin besar dan memperbesar transfer uap air ke
dalam kemasan sehingga mempersingkat waktu umur simpan. Pada Tabel 8
disajikan permeabilitas uap air dan faktor-faktornya.

Pendugaan Umur Simpan

Parameter pendukung yang juga dibutuhkan untuk menghitung pendugaan


umur simpan persamaan Labuza yaitu berat solid per kemasan, tekanan uap jenuh,
dan slope kurva ISA. Berat produk beras analog yang dimasukkan ke dalam
kemasan sebanyak 600 gram. Dengan mengetahui bahwa kadar air awal adalah
6.87 % bk maka berat padatan per kemasan yaitu 561.45 gram. Tekanan uap jenuh
diambil pada suhu rata-rata di Indonesia 30°C yang diasumsikan sebagai suhu
penyimpanan. Tekanan uap jenuh pada suhu 30°C sebesar 31.824 mmHg diambil
dari tabel suhu-tekanan.
Kemiringan (slope) kurva ISA diambil dari kurva yang paling mendekati
representasi kadar air kesetimbangan hasil percobaan, sehingga diambil kurva
GAB sebagai model terbaik. Kurva digambarkan dalam hubungan antara RH (%)
dengan kadar air kesetimbangan (% bk) atau antara aw dengan kadar air
kesetimbangan (g H2O/g padatan). Nilai kemiringan didapatkan dengan
menghubungkan nilai kadar air awal dan kadar air kritis di sepanjang kurva
sehingga didapatkan nilai b 0.1916 (Gambar 12). Kadar air awal 6.87% setara
dengan RH 32.4% dan kadar air kritis 15.24% setara dengan RH 76.1%.
Berdasarkan Arpah (2001), nilai kemiringan kurva isotermi sorpsi air ditentukan
pada daerah linier kurva isotermi sorpsi air. Kemiringan kurva berbentuk sigmoid
dapat berbeda-beda karena dipengaruhi sifat alami bahan, suhu, kecepatan
adsorpsi yang terjadi selama penyimpanan (Fennema 1985).
Estimasi umur simpan produk beras analog dihitung menggunakan
persamaan Labuza (1982). Perhitungan pendugaan umur simpan metode kadar air
kritis dibedakan atas 3 jenis kemasan dan disimulasikan pada RH 84%. Kemasan
PP dengan nilai permeabilitas uap air kemasan terendah mempunyai prediksi
umur simpan terendah yaitu 22 bulan dan kemasan aluminium dengan
permeabilitas uap air kemasan 6 kali lipat lebih kecil mempunyai umur simpan 5
24

kali lipat lebih lama yaitu 110 bulan. Meskipun ada faktor luas kemasan yang
sedikit berpengaruh. Sedangkan, penggunaan kemasan nilon memberikan umur
simpan selama 3 tahun 3 bulan seperti ditampilkan pada Tabel 9. Nilai
permeabilitas uap air kemasan yang rendah mampu menimimalkan transfer uap
air ke dalam kemasan sehingga kerusakan akibat kenaikan kadar air dapat
dikendalikan dan menjaga usia simpan produk dalam jangka waktu lama.

25
kadar air kesetimbangan (% bk)

20

15 y = 0.1916x + 0.6574

10

0
0 20 40 60 80 100
RH (%)
Gambar 12 Penarikan slope kurva model GAB

Tabel 9 Perhitungan umur simpan pada RH 84% menggunakan model GAB

Parameter PP Nilon Aluminium


Kadar air awal
0.0687 0.0687 0.0687
(g H2O/ g padatan)
Kadar air kritis
0.1524 0.1524 0.1524
(g H2O/ g padatan)
Kemiringan kurva isotermi sorpsi 0.1916 0.1916 0.1916
Kadar air kesetimbangan
0.1832 0.1832 0.1832
(g H2O/ g padatan )
Permeabilitas kemasan
0.105 0.053 0.017
( g H2O / m2.hari.mmHg )
Luas kemasan (m2) 0.0626 0.0707 0.0787
Tekanan uap jenuh suhu 30°C
31.82 31.82 31.82
(mmHg)
Berat padatan per kemasan
561.45 561.45 561.45
(g padatan)
Umur simpan (bulan) 22.52 39.5 110.64
25

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Beras analog singkong mempunyai tipe kurva ISA sigmoid (tipe II) dengan
persamaan GAB dan Henderson menjadi model yang bisa memprediksi kadar air
kesetimbangan dengan baik. Kadar air kritis beras analog adalah 15.24 % bk
dimana aroma beras analog menyengat dan tekstur basah/lengket. Jenis kemasan
yang diuji ada 3 jenis, yaitu kemasan PP, nilon, dan aluminium dimana hasil
pengujian menunjukkan kemasan PP memiliki permeabilitas 0.105
g/m2.hari.mmHg dan kemasan nilon sebesar 0.053 g/m2.hari.mmHg. Dengan berat
sampel 600 gram per kemasan dan kadar air awal 6.87 % bk, maka berat padatan
561.45 gram/kemasan. Prediksi umur simpan beras analog singkong
menggunakan kemasan PP adalah 1 tahun 10 bulan dan bila menggunakan
kemasan nilon menjadi 3 tahun 3 bulan.

Saran

Beberapa parameter pendugaan umur simpan beras analog metode kadar air
kritis bisa diujicoba untuk mendekati hasil pengujian umur simpan secara
konvensional, seperti pemodelan menggunakan persamaan lain yang lebih baik,
cara penarikan slope kurva ISA, penetapan kadar air kesetimbangan dan
sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah DR, Soekarto ST. 2010. Pemodelan isotermis sorpsi air pada model
pangan. J Teknol Indust Pangan. 21(1): 33-39.
Alfiah MN, Hartini S, Cahyanti MN. 2017. Pemodelan matematika dan sifat
termodinamika isoterm sorpsi air tepung singkong terfermentasi angkak.
Alchemy. 13(1):29-40.
Al-Muhtaseb AH, McMinn WAM, Magee TRA. 2002. Moisture sorption
characteristics of food products: a review. Trans IchemE. 80(C):118-128.
Alfiyani N. 2018. Penetapan parameter kurva ISA dalam penentuan umur simpan
produk pangan kering metode kadar air kritis [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Anandito RBK, Siswanti, Purnamayanti L, Sodiq H. 2017. Shelf life
determination of fish koya using critical moisture content approach.
Proceedings of the Pakistan Academic of Sciences: B. Life and
Environmental Sciences. 54(3): 201-206.
Andrade PRD, Lemus MR, Perez CCE. 2011. Models of sorption isotherms for
food: uses and limitations. Vitae. 18(3): 325 -334.
Aqualab. 2011. Application note 13947-03: Fundamentals of Moisture Sorption
Isotherms. Pullman(US): Decagon Devices, Inc. [diunduh 2017 Sep 3].
26

Tersedia pada : http://www.aqualab.decagon.com.br/assets/Uploads/13947-


03-AN-Fundamentals-of-Moisture-Sorption-Isotherms.pdf
Arpah. 2001. Penentuan Kadaluwarsa Produk Pangan. Bogor (ID): Ilmu Pangan
IPB.
Ayala-Aponte AA. 2016. Thermodynamic properties of moisture sorption in
cassava flour. Dyna. 83(197):138 -144
Bajpai S, Tiwari P. 2013. Investigation of moisture sorption behavior of an
indiansweet ‘son-papdi. Intern J Microbiol Biotech Food Sci. 5: 2277-2282.
Barrozo MAS, Sartori DJM, Freire JT. 1994. Analysis of the kinetics and
equilibrium equations in soybean drying. Di dalam: Rudolph V, Keey RB,
Mujumdar AS, editor. Proceedings of the 9th International Drying
Symposium; 1994 Agust 1-4; Gold Coast, Australia. Gold Coast (AU): IDS
Pr. hlm 1053-1060.
Bell LN, Labuza TP. 2000. Moisture Sorption: Practical Aspects of Isotherm
Measurements and Use. Ed ke-2. St. Paul(US): American Association of
Cereal Chemists.
Brooker DB, Bakker-Arkema FW, Hall CW. 1992. Drying and Storage of Grains
and Oilseeds. New York (US):Van Nostrand Reinhold.
Brunauer S, Deming LS, Teller E. 1940. On a theory of Van der Waals adsorption
of gases. J Am Chem Soc. 62:1723–1732.
Bryant RJ, Kadan RS, Champagne ET, Vinyard BT, Boykin D. 2001. Functional
and digestive characteristics of extruded rice flour. Cereal Chem.
78(2):131–137.
Budijanto S, Sitanggang AB, Kartika YD. 2010. Penentuan umur simpan tortilla
dengan metode akselerasi berdasarkan kadar air kritis serta pemodelan
ketepatan sorpsi isotherminya. J Teknol Indust Pangan. 21(2): 165-170.
Budijanto S, Yuliyanti. 2012. Studi persiapan tepung sorgum (Sorgum bicolor L.
Moench) dan aplikasinya pada pembuatan beras analog. J Teknol Pertanian.
13(3): 177-186.
Cahyanti MN, Hindarto J, Lestario LN. 2016. Pemodelan isoterm sorpsi air
biskuit coklat mnggunakan persamaan caurie. JATP. 5(2):51-53.
Cordeiro DS, Raghavan GSV, Oliveira WP. 2006. Equilibrium moisture content
models for Maytenus ilicifolia leaves. Biosyst Eng. 94(2): 221-228.
Cuervo-Andrade P, Hensel O. 2013. Experimental determination and
mathematical fitting of sorption isotherms for Lemon Balm (Melissa
officinalis L.). Agric Eng Internat. 15(1): 139-145.
[Deptan] Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2011. Pedoman umum
gerakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan 2011. Jakarta
(ID): Badan Ketahanan Pangan Deptan.
[EUFIC] European Food Information Council. 2013. Food shelf life and its
importance for consumers [internet]. [diacu 2018]. Tersedia dari:
https://www.eufic.org/en/healthy-living/article/food-shelf-life-and-its-
importance-for-consumers .
Faridah DN, Yasni S, Suswantinah A, Aryani GW. 2013. Pendugaan umur simpan
dengan metode accelerated shelf life testing pada produk bandrek instan dan
sirup buah pala (Myristica fragrans). JIPI. 18(3): 144-153.
Fennema OR. 1985. Food Chemistry. Ed ke-2. New York (US): Marcell Dekker,
Inc.
27

Fitriani PPE, Wijaya IMAS, Gunam IBW. 2015. Pendugaan masa kadaluarsa ubi
kayu (Manihot esculenta Crantz) instan pada beberapa bahan kemasan.
MITP. 2(1):58-68.
Greenspan L. 1977. Humidity fixed points of binary saturated aqueous solutions.
Journal of Research of the National Bureau of Standards. 81A(1): 89-96.
Gultom RJ. 2014. Optimasi proses pragelatinisasi dalam pencetakan beras analog
dengan mesin twin roll berdasarkan Response Surface Methodology [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Gultom RJ, Sutrisno, Budijanto S. 2014. Optimasi proses gelatinisasi berdasarkan
Respon Surface Methodology pada pencetakan beras analog dengan mesin
twin roll. J Pascapanen. 11(2):67-79.
Handoko DD. 2004. Kajian isotermi sorpsi air dekstrin pati garut (Maranta
arundinaceae L.) pada berbagai tingkat hidrolisis [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Heiss R, Eichner E. 1971. Moisture content and shelf life II. Food Manufacture.
46(6): 37-42.
Singh RP, Heldman DR. 2009. Introduction to Food Engineering. Burlington
(US): Academic Press - Elsevier Inc.
Herawat H, Kusnandar F, Adawiyah DR, Budijanto S, Rahman MS. 2014.
Thermal characteristics and state diagram of extruded instant artificial rice.
Thermochimica Acta. 593(2014): 50-57.
Herawati H. 2008. Penentuan umur simpan pada produk pangan. J Litbang Pert.
27(4): 124-130.
Hidayat T, Suptijah T, Nurjanah. 2013. Karakterisasi tepung buah lindur
(Brugeira gymnorrhiza) sebagai beras analog dengan penambahan sagu dan
kitosan. MPHPI. 16(3): 268-277.
[IFST] Institute of Food Science and Technology. 1993. Shelf Life of Foods –
Guidelines for Its Determination and Prediction. London (GB): Institute of
Food Science & Technology.
Jacoeb AM, Nurilmala M, Hutasoit N. 2010. Penentuan umur simpan fish snack
(produk ekstrusi) menggunakan metode akselerasi dengan pendekatan kadar
air kritis dan metode konvensional. Akuatik. 4(1): 1-11.
Jamaluddin, Molenaar R, Tooy D. 2014. Kajian isotermi sorpsi air dan fraksi air
terikat kue pia kacang hijau asal kota gorontalo. J Ilm Teknol Pangan. 2(1):
27–37.
Kadan RS, Pepperman AB. 2002. Physicochemical properties of starch in
extruded rice flours. Cereal Chem. 79(4): 476-480.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2016. Outlook Komoditas Pertanian Padi.
Jakarta (ID): Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian.
Kitic D, Jardim DCP, Favetto GJ, Resnik SL, Chirife J. 1986. Theoretical
prediction of the water activity of standard saturated salt solutions at various
temperatures. J Food Scie. 51(4): 1037-1041.
Kurachi H, penemu; Japan Corn Starch Corp. 1995 Apr 4. Process of making
enriched artificial rice. Paten Amerika US 5403606A.
Kusmana A, Budiman A, Hidayat A, penghimpun. 2017. Perkembangan Produksi
dan Konsumsi Pangan di Indonesia [bibliografi]. Muenchen (DE): Munich
Personal RePEc Archive. esai MPRA nomor 79976.
Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan: Komponen Makro. Jakarta (ID): Dian Rakyat.
28

Kusuma NW, Atmaka W, Nursiwi A. 2015. Pendugaan umur simpan minuman


instan temulawak (Curcuma xanthorrhiza roxb.) menggunakan metode
accelerated shelf life test (ASLT) pendekatan isotherm sorpsi lembab (ISL).
Jurnal Teknosains Pangan. 4(4): 25-32.
Labuza TP. 1975. Interpretation of sorption data in relation to the state of
constituent water. Di dalam: Duckworth RB, editor. Water Relations of
Foods: Proceedings of an International Symposium; 1974 Sept; Glasgow,
Skotlandia. London (GB): Academic Press. hlm 155-172.
Labuza TP. 1982. Shelf-Life Dating of Foods. Westport (US): Food & Nutrition
Press, Inc.
Labuza TP, Altunakar B. 2007. Water activity prediction and moisture sorption
isotherms. Di dalam: Barbosa-Canovas GV, Fontana AJ Jr, Schmidt SJ,
Labuza TP, editor. Water Activity in Foods: Fundamentals and
Applications. Ames (US): Blackwell Publishing – IFT Press. hlm 109-154.
Levoguer CL, Williams DR. 2006. Application note 101: The Characterisation of
Pharmaceutical Materials by Dynamic Vapour Sorption. London (UK):
Surface Measurement Systems. Tersedia pada :
http://www.micromeritics.com/repository/files/Dynamic_vapor_sorption.pdf
Li Q. 2010. Investigating the glassy to rubbery transition of polydextrose and corn
flakes using automatic water vapor sorption instruments, DSC and texture
[tesis]. Urbana(US): University of Illinois at Urbana-Champaign.
Lisnan V. 2008. Pengembangan beras artifisial dari ubi kayu dan ubi jalar sebagai
upaya diversifikasi pangan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lomauro CJ, Bakshi AS, Labuza TP. 1985. Evaluation of food moisture sorption
isotherm equations part I : fruit, vegetable, and meat products. Lebensm.-
Wiss. u. –Technol. 18(2): 111-117.
Lutovska M, Mitrevski V, Pavkov I, Babic M, Mijakovski V, Geramitcioski T,
Stamenkovic Z. 2017. Different methods of equilibrium moisture content
determination. J Processing Energy Agric. 21(2): 91-96.
Menkov ND, Durakova AG. 2007. Moisture sorption isotherms of sesame flour
at several temperatures. Food Technol Biotechnol. 45(1): 96–100.
Mermelstein N. 2009. Measuring moisture content and water activity. J Food
Technol.
Mishra A, Mishra HN, Rao PS. 2012. Preparation of rice analogues using
extrusion technology. Internat J Food Scien Technol. 47: 1789-1797.
Muzaffar K, Kumar P. 2016. Moisture sorption isotherms and storage study of
spray dried tamarind pulp powder. Powder Technol. 291: 322-327.
Pakpahan N, Kusnandar F, Syamsir E. 2017. Perilaku isoterm sorpsi air dan
perubahan fisik kerupuk tapioka pada suhu penyimpanan yang berbeda. J
Teknol Indust Pangan. 28(2): 91-101.
Peleg M. 1993. Assessment of a semi-empirical four parameter general model for
sigmoid moisture sorption isotherms. J Food Proc Eng. 16: 21-37.
Penner EA. 2013. Comparison of the new vapor sorption analyzer to the
traditional saturated salt slurry method and the dynamic vapor sorption
instrument [tesis]. Urbana(US): University of Illinois at Urbana-Champaign.
Purnomo H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan.
Jakarta (ID): UI Press.
29

Rachtanapun P. 2007. Shelf life study of salted crackers in pouch by using


computer simulation models. Chiang Mai J Scien. 34(2): 209-218.
Rahayu WP, Arpah M, Diah E. 2005. Penentuan waktu kadaluwarsa dan model
sorpsi isotermis biji dan bubuk lada hitam (Piper nigrum L.). J Teknol
Indust Pangan. 16(1): 31-38.
Rudolph FB. 1987. Prediction of shelf life of package water-sensitive foods.
Lebensmittel Wissenschaft und Technologie. 20(1): 19-21.
Sahin S, Sumnu SG. 2006. Physical Properties of Food. New York (US):
Springer Science+BusinessMedia.
Samad MY. 2003. Pembuatan beras tiruan (artificial rice) dengan bahan baku ubi
kayu dan sagu. Prosiding Seminar Teknologi untuk Negeri vol II. BPPT.
hlm 36-40.
Seid RM, Hensel O. 2012. Experimental evaluation of sorption isotherms of chili
pepper: an Ethiopian variety Mareko Fana (Capsicum annum L.). Agric Eng
Internat. 14(4): 163-172.
Sinija VR, Mishra HN. 2008. Moisture sorption isotherms and heat of sorption of
instant (soluble) green tea powder and green tea granules. J Food
Engineering. 86: 494-500.
Soysal Y, Oztekin S. 2001. Comparison of seven equilibrium moisture content
equations for some medicinal and aromatic plants. J Agric Engineering Res.
78(1): 57-63.
Sugiyono, Satyagraha H, Joelijani W, Syamsir E. 2012. Pendugaan umur simpan
produk granula ubi kayu menggunakan model isoterm sorpsi air. Pangan.
21(3): 233-243.
Supriadi J. 2018. Pengembangan model bisnis beras analog [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Syarief R, Santausa S, Isyana S. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Bogor
(ID): Pusat Studi Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.
Troller JA, Christian JHB. 1978. Water Activity and Food. New York (US):
Academic Press.
Viollaz PE, Rovedo CO. 1999. Equilibrium sorption isotherms and
thermodynamic properties of starch and gluten. J Food Engineering. 40:
287-292.
Walpole RE. 1990. Pengantar Statistika. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Widowati S, Herawati H, Syarief R, Suyatma NE, Prasetia HA. 2010. Pengaruh
isoterm sorpsi air terhadap stabilitas beras ubi. J Teknol Indust Pangan.
21(2): 123-128.
Wijaya IMAS, Suter IK, Yusa NM. 2014. Karakteristik isotermis sorpsi air dan
umur simpan ledok instan. Agritech. 34(1): 29-35.
Yanniotis S, Blahovec J. 2009. Model analysis of sorption isotherms. Food Scie
Technol. 42: 1688-1695.
Yeh AI, Jaw YM. 1999. Effect of feed rate and screw speed on operating
characteristics and extrudate properties during single-screw extrusion
cooking of rice flour. Cereal Chem. 76(2): 236-242.
Yogendrarajah P, Samapundo S, Devlieghere F, De Saeger S, De Meulenaer B.
2015. Moisture sorption isotherms and thermodynamic properties of whole
black peppercorns (Piper nigrum L.). LWT-Food Scie Technol. 64: 177-188.
30

Yu X. 2007. Investigation of moisture sorption properties of food materials using


saturated salt solution and humidity generating techniques [disertasi].
Urbana(US): University of Illinois at Urbana-Champaign.
31

LAMPIRAN
32

Lampiran 1 Penetapan konstanta model GAB dan prediksi kadar air


kesetimbangan

aw %bk aw/m
0.0758 2.716753 0.027901
0.222 5.647741 0.039308
0.325 7.108535 0.04572
0.682 12.8714 0.052986
0.752 14.44853 0.052047
0.838 17.36581 0.048256
0.897 23.06615 0.038888

0.06
0.05
0.04
aw/m

0.03 y = -0.1122x2 + 0.128x + 0.0175


0.02 R² = 0.95
0.01
0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
aw

aw/Mm = 0.0175 + 0.128 aw - 0.1122 aw2


α = 1 = 0.0175
C k Mm
(CK - 2K)
β =
C k Mm = 0.128
Ck -2k = 0.128/0.017
Ck -2k = 7.314286
K = 7.314286 / (C-2)
2 2
γ = (k - Ck ) = -0.1122
C k Mm
2
K (1 - C) = -6.41143
2
(7.314286) (1 - C) = -6.41143
(C - 2) 2
53.4987755 2 (1- C) = -6.41143
(C - 4C  4)
1 - C = -0.11984 (C2 - 4C +4)
0.11984 C2 -1.47936 C + 1.47936 =0
dengan menggunakan rumus abc :
-b (b 2 - 4 a c)
C12 =
2a
C1 = 11.24687
C2 = 1.097591
33

Lampiran 1 Penetapan konstanta model GAB dan prediksi kadar air


kesetimbangan (lanjutan)

dari persamaan sebelumnya diperoleh nilai


K = 7.314286 / (C-2)
selanjutnya dengan memasukkan nilai C1 dan C2 diperoleh nilai :
K1 = 0.791001
K2 = -8.10529
Nilai K yang digunakan untuk perhitungan selanjutnya adalah yang memiliki nilai positif.
Untuk mendapatkan nilai Mm digunakan persamaan sebelumnya
α = 1 = 0.0175
C k Mm
maka diperoleh nilai
Mm = 6.423224

Mm.C.K .a w
Me =
(1  K .a w )(1  K .a w  C.K .a w )

Me %bk
aw Mm.C.K.aw 1-K.aw 1-K.aw+C.K.aw |(Mi-Mpi)/Mi|
%bk Me GAB

0.0758 2.72 4.331428571 0.94004 1.614380762 2.854 0.05057652


0.222 5.65 12.68571429 0.82440 2.799373734 5.497 0.026709483
0.325 7.11 18.57142857 0.74292 3.634218305 6.878 0.032369695
0.682 12.87 38.97142857 0.46054 6.527805797 12.963 0.007137539
0.752 14.45 42.97142857 0.40517 7.095175893 14.948 0.034568058
0.838 17.37 47.88571429 0.33714 7.792230583 18.228 0.049633775
0.897 23.07 51.25714286 0.29047 8.270442522 21.336 0.074989442
jumlah 0.275984512
MRD 3.942635881
34

Lampiran 2 Penetapan konstanta persamaan Halsey dan prediksi kadar air


kesetimbangan

 
  P1 
Persamaan Halsey : a w  exp
 P2 

 M e 
Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan linier : y=a+bx

log(ln(1/Aw)) = log P1 – P2 log Me


Dalam hal ini:
 
y = log  ln  1   x = log Me a = log P1 b = -P2
  a w 

sehingga menjadi persamaan : log(ln(1/Aw)) = a + b log Me

Nilai a dan b merupakan nilai konstanta yang dihitung dengan metode kuadrat terkecil.

a
 y .  x   x . 
n
i 1 1
n
i 1
2
i
n
i 1 i
n
i 1
xi . y i  a  Y  bX
n. x    x 
n 2 n 2

i 1 i 1

n. x . y    x 
. y 
i i

b  Y  a 
n n n

b i 1 i 1 i 1
i i i i

n. x    x 
n 2 n 2 X
i 1 i i 1 i
dimana : xi = nilai x di titik i
yi = nilai y di titik i
n = jumlah data
maka diperoleh nilai
b = -1.54718 a = -1.85837
sehingga persamaan Hasley yang diperoleh: log (ln(1/aw))= -1.85837 - 1.54718 log Me

Me Mi  Mpi
Aw Me x=Log Me Y=log(ln(1/Aw)) x^2 xy log Me
Halsey Mi
0.08 0.027 -1.5659 0.4116 2.4522 -0.6445 -1.4671 0.034 0.2555
0.22 0.056 -1.2481 0.1776 1.5578 -0.2216 -1.3159 0.048 0.1445
0.32 0.071 -1.1482 0.0507 1.3184 -0.0583 -1.2339 0.058 0.1791
0.68 0.129 -0.8904 -0.4171 0.7928 0.3714 -0.9315 0.117 0.0904
0.75 0.144 -0.8402 -0.5451 0.7059 0.4580 -0.8488 0.142 0.0197
0.84 0.174 -0.7603 -0.7527 0.5781 0.5723 -0.7147 0.193 0.1108
0.90 0.231 -0.6370 -0.9638 0.4058 0.6139 -0.5782 0.264 0.1450
Sum -7.0902 -2.0388 7.8110 1.0912 Total 0.95
Kuadrat 50.2706 MRD 13.50
X-Y bar -1.0129 -0.2913
b -1.54718
a -1.85837
35

Lampiran 3 Penetapan konstanta persamaan Chen-Clayton dan prediksi kadar air


kesetimbangan

  P1 
Persamaan Chen-Clayton : a w  exp 
 exp P 2 Me 
Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan linier : y=a+bx

ln(ln(1/aw)) = ln P1 – P2 Me
Dalam hal ini:
 
y = ln  ln  1
 x = Me a = ln P1 b = -P2
  a w 

sehingga menjadi persamaan : ln(ln(1/aw)) = a + b Me

Nilai a dan b merupakan nilai konstanta yang dihitung dengan metode kuadrat terkecil.
Kemudian diperoleh nilai
b = -16,29602 a = 1,26683

sehingga persamaan Chen-Clayton yang diperoleh: ln(ln(1/aw)) = 1.26683 - 16.29602 Me

Me Chen- Mi  Mpi
Aw Me X = Me Y=ln(ln(1/Aw)) X^2 XY
Clayton Mi
0.08 0.027 0.0272 0.9477 0.0007 0.0257 0.0196 0.2791
0.22 0.056 0.0565 0.4088 0.0032 0.0231 0.0526 0.0678
0.32 0.071 0.0711 0.1168 0.0051 0.0083 0.0706 0.0073
0.68 0.129 0.1287 -0.9604 0.0166 -0.1236 0.1367 0.0619
0.75 0.144 0.1445 -1.2552 0.0209 -0.1814 0.1548 0.0711
0.84 0.174 0.1737 -1.7331 0.0302 -0.3010 0.1841 0.0601
0.90 0.231 0.2307 -2.2192 0.0532 -0.5119 0.2139 0.0726
Sum 0.8322 -4.6946 0.1298 -1.0607 Total 0.62
Kuadrat 0.6926 MRD 8.85
X-Y bar 0.1189 -0.6707
b -16.29602
a 1.26683
36

Lampiran 4 Penetapan konstanta persamaan Henderson dan prediksi kadar air


kesetimbangan

Persamaan Henderson : 
1  a w  exp  KMe n 
Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan linier : y=a+bx

log (ln(1/(1-aw))) = log K + n log Me


Dalam hal ini:
  1 
y = log  ln    x = log Me a = log K b=n
 1 a 
  w 

sehingga menjadi persamaan : log (ln(1/(1-aw))) = a + b log Me

Nilai a dan b merupakan nilai konstanta yang dihitung dengan metode kuadrat terkecil.
Kemudian diperoleh nilai
b = 1.64942 a = 1.48653

sehingga persamaan Henderson yang diperoleh:


log (ln(1/(1-aw))) = 1.48653 + 1.64942 log Me

Me Mi  Mpi
Aw Me X = Log Me Y=log(ln(1/(1-Aw))) X^2 XY log Me
Henderson Mi
0.08 0.027 -1.5659 -1.1033 2.4522 1.7278 -1.5702 0.0269 0.0096
0.22 0.056 -1.2481 -0.6003 1.5578 0.7492 -1.2652 0.0543 0.0385
0.32 0.071 -1.1482 -0.4056 1.3184 0.4657 -1.1471 0.0713 0.0025
0.68 0.129 -0.8904 0.0591 0.7928 -0.0526 -0.8654 0.1363 0.0591
0.75 0.144 -0.8402 0.1444 0.7059 -0.1213 -0.8137 0.1536 0.0628
0.84 0.174 -0.7603 0.2601 0.5781 -0.1978 -0.7435 0.1805 0.0393
0.90 0.231 -0.6370 0.3566 0.4058 -0.2272 -0.6850 0.2065 0.1047
Sum -7.0902 -1.2890 7.8110 2.3438 Total 0.32
Kuadrat 50.2706 MRD 4.52
X-Y bar -1.0129 -0.1841
b 1.64942
a 1.48653
37

Lampiran 5 Penetapan konstanta persamaan Caurie dan prediksi kadar air


kesetimbangan

Persamaan Caurie : ln Me  ln P1  P2 a w
Dalam hal ini:
y = ln Me x = aw a = ln P1 b = -P2

sehingga menjadi persamaan : ln Me = a + b aw

Nilai a dan b merupakan nilai konstanta yang dihitung dengan metode kuadrat terkecil.
Kemudian diperoleh nilai
b = 2,23083 a = -3,54066

sehingga persamaan Caurie yang diperoleh: ln Me = -3.54066 + 2.23083 aw

Me Mi  Mpi
Aw Me X = aw Y=ln Me X^2 XY ln Me
Caurie Mi
0.08 0.027 0.0758 -3.6057 0.0057 -0.2733 -3.3716 0.0343 0.2639
0.22 0.056 0.2220 -2.8739 0.0493 -0.6380 -3.0454 0.0476 0.1576
0.32 0.071 0.3250 -2.6439 0.1056 -0.8593 -2.8156 0.0599 0.1578
0.68 0.129 0.6820 -2.0502 0.4651 -1.3982 -2.0192 0.1328 0.0314
0.75 0.144 0.7520 -1.9346 0.5655 -1.4548 -1.8631 0.1552 0.0741
0.84 0.174 0.8380 -1.7507 0.7022 -1.4671 -1.6712 0.1880 0.0827
0.90 0.231 0.8970 -1.4668 0.8046 -1.3157 -1.5396 0.2145 0.0702
Sum 3.7918 -16.3257 2.6981 -7.4064 Total 0.84
Kuadrat 14.3777 MRD 11.97
X-Y bar 0.5417 -2.3322
b 2.23083
a -3.54066
38

Lampiran 6 Penetapan konstanta persamaan Oswin dan prediksi kadar air


kesetimbangan

P2
 a 
Persamaan Oswin : Me  P1  w 
1  a w 
Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan linier : y=a+bx

ln Me = ln P1 + P2 ln (aw/(1-aw))
Dalam hal ini:
 a 
y = ln Me x = ln  w  a = ln P1 b = P2
 1  aw 

sehingga menjadi persamaan : ln Me = a + b ln (aw/(1-aw))

Nilai a dan b merupakan nilai konstanta yang dihitung dengan metode kuadrat terkecil.
Kemudian diperoleh nilai
b = 0.43659 a = -2.40673

sehingga persamaan Oswin yang diperoleh: ln Me = -2.40673 + 0.43659 ln (aw/(1-aw))

Me Mi  Mpi
Aw Me X = ln(aw/(1-aw)) Y=ln Me X^2 XY ln Me
Oswin Mi
0.08 0.027 -2.5008 -3.6057 6.2542 9.0173 -3.4986 0.0302 0.1131
0.22 0.056 -1.2540 -2.8739 1.5726 3.6040 -2.9542 0.0521 0.0772
0.32 0.071 -0.7309 -2.6439 0.5342 1.9324 -2.7258 0.0655 0.0787
0.68 0.129 0.7630 -2.0502 0.5821 -1.5642 -2.0736 0.1257 0.0232
0.75 0.144 1.1093 -1.9346 1.2306 -2.1460 -1.9224 0.1463 0.0122
0.84 0.174 1.6434 -1.7507 2.7008 -2.8771 -1.6892 0.1847 0.0634
0.90 0.231 2.1643 -1.4668 46843 -3.1746 -1.4618 0.2318 0.0050
Sum 1.1943 -16.3257 17.5588 4.7917 Total 0.37
Kuadrat 1.4263 MRD 5.33
X-Y bar 0.1706 -2.3322
b 0.43659
a -2.40673
39

Lampiran 7 Formulir uji rating hedonik beras analog singkong

Uji Rating Hedonik

Nama : Tanggal :
Sampel : Beras analog singkong
Kriteria : aroma, tekstur, warna

Instruksi :
Di hadapan anda akan disajikan beberapa sampel.
1. Amatilah tektur dan warna sampel dari kiri ke kanan dan ciumlah
aromanya.
2. Nyatakan nilai kesukaan Anda pada tekstur, warna, dan aroma sampel
pada tabel nilai kesukaan
3. Jangan membandingkan antar sampel
4. Skala kesukaan yang digunakan:
1 : sangat tidak suka
2 : tidak suka
3 : agak tidak suka
4 : netral
5 : agak suka
6 : suka
7 : sangat suka
5. Tentukan sampel yang mulai tidak diterima lagi

Kode sampel
212 135 322 428 505
Aroma

Tekstur

Warna

Kode sampel yang mulai tidak diterima :


40

Lampiran 8 Hasil penilaian terhadapa parameter aroma beras analog singkong

Lama penyimpanan (jam)


No
0 6 12 18 24
kode 212 135 322 428 505
1 6 5 4 4 4
2 6 4 3 3 2
3 5 3 3 3 3
4 6 3 2 1 1
5 6 4 4 3 4
6 6 6 5 4 3
7 1 2 5 4 5
8 3 4 5 5 5
9 3 4 6 4 4
10 6 5 4 4 4
11 5 3 3 2 2
12 4 3 5 5 5
13 2 5 7 3 2
14 3 5 6 6 6
15 2 4 4 4 4
16 4 3 5 5 5
17 5 3 3 4 4
18 5 6 6 5 6
19 6 4 4 4 4
20 5 3 5 2 6
21 6 2 2 2 2
22 3 3 4 3 4
23 3 2 5 6 5
24 5 3 3 3 3
25 5 5 5 6 4
26 5 2 1 1 3
27 6 4 4 2 3
28 4 5 6 3 3
29 3 5 6 6 6
30 5 5 5 6 6
31 6 6 6 5 5
4.51613 3.9032 4.3871 3.80645 3.96774
ka %bk 6.8658 11.64 15.4904 17.6593 18.9603
41

Lampiran 9 Hasil penilaian terhadap parameter tekstur beras analog singkong

Lama penyimpanan (jam)


No
0 6 12 18 24
kode 212 135 322 428 505
1 6 5 5 4 4
2 5 4 2 4 4
3 5 3 3 3 3
4 2 2 2 6 2
5 6 5 6 3 3
6 6 4 4 3 4
7 4 4 6 4 4
8 5 3 3 3 3
9 3 4 6 3 3
10 7 7 6 5 5
11 6 2 2 2 2
12 6 5 6 3 3
13 5 5 3 3 5
14 3 4 6 3 5
15 6 6 4 5 4
16 5 5 3 5 5
17 4 5 4 4 5
18 6 6 6 6 7
19 4 4 5 4 4
20 5 3 3 2 2
21 6 2 2 2 2
22 4 4 3 3 2
23 6 3 6 2 5
24 6 4 3 2 3
25 4 4 4 5 5
26 6 5 3 4 3
27 5 5 3 3 4
28 6 6 5 3 3
29 4 5 4 4 4
30 5 5 4 5 5
31 5 6 5 5 5
5.0323 4.354839 4.096774 3.645161 3.80645
ka %bk 6.8658 11.64004 15.49038 17.65931 18.9603
42

Lampiran 10 Penentuan kadar air kritis pada parameter aroma dan tekstur

20
18
Aroma
16
14
kadar air (% bk)

12
y = -9.6217x + 53.727
10 R² = 0.3801
8
6
4
2
0
3.6 3.8 4 4.2 4.4 4.6
skor

Nilai kadar air saat skor 4 adalah 15.24 % bk

20
18
16
Tekstur
14
kadar air (%bk)

12
10
8
y = -8.7718x + 50.852
6 R² = 0.9472
4
2
0
0 1 2 3 4 5 6
skor

Nilai kadar air saat skor 4 adalah 15.76 % bk


43

Lampiran 11 Profil ISA beras analog jagung suhu 25°C, 30°C, 35°C dan 45°C
DVS Hydrosorb 1000

25°C 30°C

35°C 45°C
44

Lampiran 11 Profil ISA beras analog jagung suhu 25°C, 30°C, 35°C dan 45°C
DVS Hydrosorb 1000 (lanjutan)

30 adsorpsi 25C adsorpsi 30C adsorpsi 35C adsorpsi 45C


desorpsi 25C desorpsi 35C desorpsi 45C
kadar air kesetimbangan, g H2O/100 g berat kering

25

20

15

10

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
aktivitas air (aw)
45

Lampiran 12 Water Vapor Sorption Analyzer Quantachrome Hydrosorb 1000


46

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 19 Mei 1984 sebagai anak


sulung dari dua bersaudara dari pasangan Muh. Abdul Cholik dan
Suliestyaningsih. Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Teknik Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian IPB, lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2014,
penulis diterima di Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan pada
Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh melalui
Program Karyasiswa Ristek tahun 2014 dari Kementerian Riset dan Teknologi
Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai Peneliti Pertama di Pusat Pengembangan Teknologi
Tepat Guna (PPTTG) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak tahun
2010 dan bertempat di Subang, Jawa Barat. Bidang penelitian yang menjadi
tanggung jawab peneliti adalah teknologi pasca panen.
Selama mengikuti program S2, penulis aktif di lembaga kemahasiswaan
pascasarjana IPB yaitu Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana (Himmpas)
pada tahun 2015 dan Bogor Science Club (BSC) pada tahun 2016. Karya ilmiah
berjudul “Measurement of Moisture Sorption Isotherm by DVS Hydrosorb” telah
dipresentasikan pada The 2nd International Conference “Agricultural
Engineering for Sustainable Agricultural Production” (The 2nd AESAP) di Bogor
pada bulan 23-25 Oktober 2017 (publikasi daring 14 Mei 2018) sebagai bagian
dari publikasi penelitian penulis.

Anda mungkin juga menyukai