1. [Toba, pemuda miskin yang tinggal di Sumatera Utara dengan peralatan pancingnya,
masuk ke panggung. Ia hendak memancing]
2. Toba: [dengan logat batak, memperkenalkan diri] " Namaku Toba, aku tinggal dikampung
sebelah sana Bang. Dari kemaren aku belum makan Bang. Kek mana mau makan Bang, ikan
sebiji aja pun aku gak ada. Aku ini orang miskin Bang, kolok mau makan mesti mancing dulu
di sunge.
3. Toba: [terdengar suara handphone, Toba mengangkat handphone-nya] "Halo, Yang. Kek
mana kabarmu Yang? Ini kau lagi dimana Yang? Hah.... Kurang jelas Yang. Dimana? Di
Jakarta? Jadi kek mana hubungan kita Yang? Masak kau tinggal aku di sini Yang. Tega kali
kau. Hah? Kek mana? Putus? Janganlah dek... Masak kita putus. Nantilah kolok aku jadi
kerja kulamar pun kau nanti ya dek. Dek... Dek....
4. Toba: [dengan wajah dan suara sedih] Ck..... Nasib kali aku ini. Belum dapat makan, tak
punya uang, ini diputus pacar pula.
5. [lewat dua orang dengan suara kencang, seperti sedang menawarkan Bus luar kota]
Siantar..... Siantar...... Siantar...... Medan.... Medan..... Medan.....
6. Orang lewat: [sambil menghampiri Toba yang kebingungan] Siantar ... Siantar... Bang.
Ayo Bang... Ligat Bang.... Ligat Bang.....
7. Narator masuk: [menghampiri orang lewat tadi] Hoi.... Hoi apa ini.... Ini cerita Danau
Toba, bukan cerita Anak Medan. Sana kelen.... Bikin kacau cerita kelen.
8. Orang lewat: [berteriak lantang sambil menoleh ke samping panggung] Copet..... Copet...
Itu orangnya .... [sambil berlari keluar panggung]
9. Narator: Bikin kacau saja. Ayo sekarang kembali ke cerita [sambil kembali duduk di anak
tangga panggung.
10. Toba: "Nasib... Nasib... Kucoba lah mancing di sunge sini mana tau bisa dapat ikan buat
lauk makan"
11. [Toba melempar umpan yang telah diikatkan pada tali pancing. Setelahnya duduk
melamun, menunggu lagi beberapa saat]
12. Toba: [Toba dengan ekspresi terkejut, sigap memegang joran] “Keknya, ada ikan besar
nih... Lumayan buat makan dua hari”
13. [Toba menarik tali pancing sekuat tenaga bahkan sambil berdiri, hingga akhirnya seekor
ikan mas berhasil ditarik olehnya.]
14. Tapi yang keluar bukan ikan melainkan seorang perempuan yang tangannya memegang
erat tali pancing si Toba, seperti akan terjatuh
15. Narator: [sambil masuk ke panggung] Lho kek mana ini, kan mestinya yang keluar ikan,
baru nanti berubah jadi Putri
16. Putri: [sambil memperbaiki kainnya] Maaf Bang tadi rencananya ikan yang keluar, tapi
gak sempat cari-cari ikan jam segini Bang. Jadi aku lah yang langsung keluar. Ecek-eceknya
ikannya sudah berubah jadi Putri Bang.
17. Narator: Yah bolehlah. Tapi jangan pula nanti dikira orang ada cewek mandi di sunge trus
ditarik si Toba.
18. Toba: Nggak Bang, gak sampe kek gitu lah. Ngertinya orang kalo ini dari ikan yang
berubah jadi Putri
19. Narator: [sambil geleng-geleng kepala kembali duduk di anak tangga pangung] Lanjut....
20. Toba: “Putri dari mana kau? Dari kayangankah? Elok sekali paras kau.”
21. Putri: “Ya, aku Putri, dari kayangan, Abang ganteng. Aku begini gara-gara dikutuk jadi
ikan. Katanya kan kalo aku disentuh oleh manusia aku akan berubah jadi manusia juga,
Abangku.”
23. Putri: "Terserah Abang, mo kasih nama apa. Aku pasti mau [dengan suara manja]
24. Toba: "Amangoiiiii... Mantap kaleeeee. Kek gini lah kukasih namamu Putri saja lah ya"
25. Putri: “Bolehlah, Bang [dengan suara lembut merayu] Kalo Abang siapa namanya?”
28. Toba: “Amang tahe.. Rejeki kali aku ini. Berapanya nomor HP mu Dek. Atau WA kalo
ada. Atau Pin BB mu lah berapa”
29. Putri: Aku gak punya HP bang, rumahku pun di sini aku tak punya
32. Toba: "Orang tuaku sudah meninggal Dek. Aku sebatang kara. Istri pun aku tak punya”
38. Toba: "Ah, tenanglah dulu sikit. Jadi panas dingin aku mo ngomong"
39. Toba: [Setelah menarik napas panjang dan berlutut di hadapan Putri] "Putri yang jelita.
Sudilah kiranya engkau ke rumahku bersamaku. Akan kujadikan engkau penghias rumahku.
Akan kujadikan engkau istriku"
40. Putri: "Ahhh Abang Toba. Bolehlah Bang. Aku bersedia. Tapi dengan syarat: Abang tidak
boleh mengatakan mengenai asal-usulku. Dan jika kita punya anak nanti, Abang tak boleh
memanggilnya dengan sebutan anak ikan. Karena itu menyakitiku juga.”
41. Toba: “Tenang saja. Kalo kek gitu saja amanlah. Yang penting kita kawin. Kawin,
kawin.... Kawin, kawin [dengan gaya seperti anak-anak][ Toba dan Putri berjalan beriringan
ke samping panggung]”
42. Narator: “Singkat cerita si Toba dan si Putri kawin, dan mereka tinggal di rumah si Toba.
Si Putri ini orangnya rajin. Semua urusan rumah tangga dikerjakannya, kayak masak, nyuci,
ngepel dan sebagainya. Dan dia banyak mendatangkan rejeki buat mereka. Jadi si Toba pun
tak miskin lagi. Tak terasa waktu berjalan dan mereka dikaruniakan seorang anak laki-laki
dan diberi nama Samosir”
44. Narator: Samosir tumbuh menjadi anak yang tampan, tetapi dia punya kebiasaan buruk.
Anak ini tukang makan. Hal ini seringkali membuat bapaknya marah [sambil duduk di anak
tangga panggung]
45. Di atas panggung Putri dan Samosir seolah-olah sedang bicara-bicara. Lalu Toba masuk
ke panggung
46. Toba: [berteriak sambil setengah marah] “Putri, gak masaknya kau hari ini? Kek mana
kau ini, tak tahunya kau aku capek kerja. Sampai rumah tak ada makan pula.”
47. Putri: “Maaflah, Bang. Tadi si Samosir lapar kali. Jadi, bekal buat Abang dimakan dia. Ini
lah biar kubuatkan untuk Abang. Bentar lah ya, Bang.”
48. Toba: [masih setengah marah] “Ya, cepatlah. Lain kali jangan kek gitu lah. [Putri berjalan
keluar panggung] Samosir, mananya kau? Sudah kenyang kau makan, Nak? Enak kau makan
jatah punya bapakmu ini? Kau, tahu bapakmu ini capek.”
49. Samosir: “Maaf, Pak. Tadi, aku lapar kali. Jadi, kumakan punya bapak.”
50. Toba: “Ya sudah, gak apa-apa lah itu. Tapi lain kali, jangan kek gitu, mengerti?”
53. Narator: Hal ini berlangsung terus sampai berulang kali. Akhrinya kesabaran si Toba
sudah melampaui batas
54. Toba: [dengan nada marah] “Samosir, apanya maksudmu ! Kemarin dulu kan kau janjigak
makan jatah bapak? Sekarang kau bikin lagi kek gitu. Yang gak adanya otakmu?
Sekarangkau harus kuhukum. [menarik cuping telinga Samosir] Kau tahu bapak ini bekerja di
ladang, banting tulang. Untuk siapa? Untuk kau! Tapi, seenaknya saja kau makan bekal
bapak. Sekali, dua kali sudah Ayah maafkan, tapi ini sudah berulang kali. Kau tahu itu
bukan?”
55. Samosir: [menangis] “Maaf, Pak! Samosir akan mencoba untuk tidak mengulanginya
lagi. Jangan hukum Samosir lagi Ayah.”
56. Toba: “Sudah! Tak ada lagi kata maaf buat anak nakal seperti kau! Dasar anak kurang
ajar. Tidak tahu diuntung. Betul-betul kau keturunan ikan!!” [Toba berjalan kelua panggung
meninggalkan Samosir yang menangis]
57. Putri: [masuk ke panggung] “Eh, kenapa nya kau Nak ku? Kok nangis kau?”
59. Putri: [sambil mengelus kepala Samosir] "Gak apalah. Memang kek gitu bapakmu itu.
Sukanya marah-marah"
61. Putri: [dengan terkejut] "Apa? Kek gitu dibilang bapakmu? Yang benarlah coy. Main-
main nya kau kan?"
62. Samosir: [Menggeleng] “Nggak, Ma. Apa benar aku ini anak ikan, Mak? Jawablah, Mak!
63. Putri: “Sekarang, Mamak minta kau gak usah pikirkan omongan Bapakmu. Cepatlah kau
pergi naik bukit dekat rumah kita ini terus kau panjat pohon kayu tertinggi ada di puncak
bukit itu.”
67. Putri: [sambil berlari kecil ke depan samping panggung] “Sudah tidak ada lagi yang bisa
kupercaya. Toba sudah berkhianat!”
68. Narator: "Akhir cerita, setibanya Putri di tepi sungai, mendadak langit menggelap, kilat
menyambar disertai bunyi guruh yang menggelegar. Putri kemudian melompat ke dalam
sungai. Ia berubah menjadi seekor ikan besar lagi. Pada saat yang sama, sungai itu pun banjir
besar dan turun pula hujan yang sangat lebat. Beberapa waktu kemudian, air sungai itu sudah
meluap ke mana-mana dan tergenanglah lembah tempat sungai itu mengalir. Toba tak bisa
menyelamatkan dirinya, ia mati tenggelam oleh genangan air. Lama-kelamaan, genangan air
itu semakin luas dan berubah menjadi danau yang sangat besar. Di kemudian hari, orang-
orang menyebutnya Danau Toba dan pulau kecil yang berada di tengah-tengahnya dinamai
Pulau Samosir."