Anda di halaman 1dari 35

6 Hak Sesama Muslim RH

Kitabul Jaami’ Hadits 1


Hak Muslim Atas Muslim Yang Lain
November 8, 2013
awali dgn bismillah
ْْ:‫ل‬ َْ ‫عنْْأ َ ِبيْ ُه َري َر ْة َْرضيْهللاْعنهْقَا‬ َ
ْ‫علَى‬ َ ْ‫ْ َحقْْال ُمس ِل ِْم‬:ْ‫هللاِْﷺ‬ ْ ْ‫ل‬ ُْ ‫سو‬ ُ ‫لْ َر‬َْ ‫قَا‬
ْ‫ْ َو ِإذَا‬،‫علَي ِه‬ َ َ‫ْإذَاْلَ ِقيْت َ ْهُْف‬:ْ‫ال ُمس ِل ِْمْ ِست‬
َ ْْ‫س ِْلم‬
ْ،ُْ‫صح ْه‬ َ ‫ان‬ َ ‫ف‬ ْ ‫ك‬ ‫ح‬َ َ ‫ص‬ ‫ن‬ َ ‫ت‬ ‫اس‬ ْ ‫ا‬َ ‫ذ‬ ‫إ‬
َِ‫و‬ ْ ،ُ ‫ه‬ ‫ب‬ ‫ج‬ َ
ِ ‫عاكْفَأ‬ َ َ‫د‬
ْ‫ْ َْوْ ِإ ْذَا‬،ُْ‫س ِْمتْ ْه‬ َ َ‫هللاَْف‬
ْ َْ‫سْفَ َح ِم ْد‬ َْ ‫ط‬ َ ‫ع‬ َ ْ‫َو ِإذَا‬
ُ‫اتْفاتبَع ْه‬ َْ ‫ْ َو ِإذَاْ َم‬،ُْ‫ضْْفَعُد ْه‬ َْ ‫َم ِر‬
Dari Abu Hurairah t ia berkata:
Rasulullah saw bersabda:
“Hak seorang muslim terhadap sesama
muslim itu ada enam, yaitu:
(1) jika kamu bertemu dengannya maka
ucapkanlah salam,
(2) jika ia mengundangmu maka
penuhilah undangannya,
(3) jika ia meminta nasihat kepadamu
maka berilah ia nasihat,
(4) jika ia bersin dan mengucapkan:
‘Alhamdulillah’ maka do’akanlah ia
dengan Yarhamukallah (artinya =
mudah-mudahan Allah memberikan
rahmat kepadamu),
(5) jika ia sakit maka jenguklah dan
(6) jika ia meninggal dunia maka
iringilah jenazahnya”.
(HR. Muslim, no. 2162).
Dalam riwayat yang lain, disebutkan
dengan lafadz ‫ فَشمته‬sebagai ganti dari
َ َ‫ ف‬. Menggunakan huruf syiin sebagai
ُ‫س ِْمت ْه‬
pengganti siin.
Hadits ini diriwayatkan dalam Shahih
Bukhari dan Muslim dengan
menyebutkan 5 hak muslim terhadap
muslim lainnya. Lafadznya sebagai
berikut:
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim juga
disebutkan dengan lafadz, 5 kewajiban:
َّ ‫علَىْال ُمس ِل ِْمْخَمسْْ َردْْال‬
ُْ ‫س ََل ِْمْ َو ِعيَادَْة‬ َ ْ‫َحقْْال ُمس ِل ِْم‬
ُْ ‫عْال َجنَا ِئ ِْزْ َو ِإ َجابَ ْةُْالدَّع َوةِْْ َوتَش ِم‬
ْ‫يت‬ ُْ ‫يضْ َواتِبَا‬
ْ ِ ‫ال َم ِر‬
ْ ِ ‫اط‬
‫س‬ ِ َ‫الع‬
“Hak seorang muslim atas muslim
lainnya ada lima: (1) Menjawab salam,
(2) menjenguk orang sakit, (3)
mengantar jenazah, (4) memenuhi
undangan, dan (5) mendoakan yang
bersin.” (HR. Bukhari, no. 1240, dan
Muslim no. 2162)
Di tempat lain di Shahih Muslim,
diriwayatkan juga dengan redaksi yang
sedikit berbeda:
ُْ ‫ْ َوتَش ِم‬،‫س ََل ِم‬
ْ‫يت‬ َّ ‫ْ َردْْال‬:‫علَىْأ َ ِخي ِْه‬َ ْ‫بْ ِلل ُمس ِل ِْم‬ُْ ‫خَمسْْت َ ِج‬
ْ‫ع‬ُْ ‫ْ َواتِبَا‬،‫يض‬ ِ ‫ْ َو ِعيَادَْة ُْال َم ِر‬،ِ‫ْ َو ِإ َجابَ ْةُْالدَّع َوة‬،‫اط ِس‬ ِ َ‫الع‬
‫ال َجنَائِ ِْز‬
“Lima perkara yang wajib ditunaikan
seorang muslim terhadap saudaranya
yang muslim: (1) Menjawab salam, (2)
mendoakan yang bersin, (3) memenuhi
undangan, (4) menjenguk orang sakit,
dan (5) mengantar jenazah.” (HR.
Muslim, no. 2162).
Jadi riwayat yang menyebutkan 5 hak
muslim terhadap muslim yang lain,
terdapat di Shahih Bukhari dan Muslim.
Sedangkan yang menyebutkan 6 hak,
hanya terdapat di Shahih Muslim saja.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh
beberapa imam penyusun kitab hadits
seperti Imam Ahmad dan Imam
Baihaqi. Tapi kita cukupkan dengan
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Hadits pertama yang terdapat dalam
Kitab Al Jaami’ di Bulughul Maram,
menyebutkan 6 hak muslim terhadap
muslim lainnya. Sedangkan di
Riyadhush Shalihin, kedua hadits ini
(yang menyebutkan 5 dan 6 hak)
disebutkan kedua-duanya.
Derajat hadits:
Hadits ini adalah hadits shahih. Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Muslim,
dalam Bab Diantara kewajiban muslim
terhadap muslim lainnya adalah
menjawab salam, no. 2162.
Kedudukan Hadits ini:
Agama Islam adalah agama yang
sangat menekankan terwujudnya
persaudaraan dan kasih sayang. Agama
Islam selalu mendorong pemeluknya
untuk mewujudkan dan memelihara
persaudaraan dan kasih sayang. Oleh
karena itu, Islam mensyariatkan
beberapa amalan yang dapat
mewujudkan persaudaraan dan kasih
sayang tersebut.
Hadits ini menjelaskan hal-hal yang
dapat meneguhkan persaudaraan dan
kasih sayang. Yaitu dengan
melaksanakan kewajiban-kewajiban
sosial terhadap sesama muslim. Dlaam
hadits ini, diungkapkan dengan hak
muslim atas muslim yang lain. Dalam
bahasa Arab, ungkapan ini bisa
bermakna wajib dan juga bisa
bermakna sunnah yang sangat
dianjurkan. Karena hak artinya sesuatu
yang tidak sepantasnya ditinggalkan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Imam
Ibnul ‘Arabi. (Subulus Salaam 4/148).

Hadits ini menjelaskan hak-hak sesama


kaum muslimin. Masing-masing hak ini,
hukumnya beragam. Ada yang
hukumnya wajib dan ada juga yang
sunnah.
Berikut ini, keenam hak-hak yang
disebutkan dalam hadits tersebut:
 Menebarkan salam. Perbuatan ini
termasuk dalam perilaku yang akan
semakin mempererat kecintaan kita
terhadap sesama muslim, sebagaimana
yang telah juga disabdakan oleh Nabi
shalallahu ‘alaihi wassalam,
ْ‫ْ َوال‬،‫الْتَد ُخلُونْال َجنَّ ْةَْ َحتَّىْتُؤ ِمنُوا‬
ْ‫علَى‬ ْ ‫ْ َأو‬،‫تُؤ ِمنُواْ َحتَّىْت َ َحابوا‬
َ ْْ‫الَْأدُل ُكم‬
ْ‫َلم‬
َْ ‫س‬ َّ ‫شواْال‬ ُ ‫شَيءْْ ِإذَاْفَعَلت ُ ُموْهُْت َ َحابَبتُم؟ْأف‬
‫بينكم‬
“Kalian tidak akan masuk surga sampai
kalian beriman. Kalian tidak akan
beriman sampai kalian saling
mencintai. Ketahuilah, maukah kalian
aku tunjukkan pada sebuah amalan
yang jika kalian mengerjakannya, kalian
akan saling mencintai? Tebarkanlah
salam di antara kalian” (HR. Muslim,
no. 54).
Para ulama sepakat bahwa mengawali
mengucapkan salam hukumnya adalah
sunnah (dianjurkan). Adapun
menjawab salam, maka hukumnya
adalah wajib. (Tafsir al Qurthubi 5/297-
304, Fathul Baari 11/2, 12-14, Ashalul
Madaarik 3/351-353 dan Syarhul
Minhaaj 4/215).
Jika yang diberi salam itu jamaah
(beberapa orang), maka hukumnya
fardlu kifayah. Maka jika sudah ada
salah satu yang menjawab, kewajiban
ini gugur dari yang lain. Jika semuanya
ikut menjawab maka semuanya turut
melaksanakan kewajiaban ini, baik
menjawab salamnya ini dilaksanakan
bersama-sama atau bergantian. Jika
semuanya tidak mau menjawab salam,
maka semuanya berdosa. (Al Mawsu’ah
al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah, 11/314).

Mengucapkan salam di sini dilakukan


dengan menggunakan salam yang kita
kenal dalam Islam, yaitu
“Assalamu’alaikum warahmatullaahi
wabarakaatuh” (atau cukup dengan
“Assalamu’alaikum”) bukan dengan
selamat pagi, selamat siang atau
selamat sore. Kebanyakan ulama
berpendapat bahwa menjawab ucapan
selamat selain dengan ucapan salam itu
tidak wajib. Baik ungkapan selamat
tersebut disampaikan secara lisan,
dengan isyarat jari, telapak tangan atau
kepala. (Raudlatuth Thaalibin 10/233,
Mughnil Muhtaaj 4/214, Nihayatul
Muhtaaj 8/48, al Inshaaf 4/233 dan al
Adzkaar Imam Nawawi 234).

Lafadz salam yang sempurna adalah


“Assalaamu’alaikum” atau
Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi
Wabarakaatuh. Dengan menggunakan
bentuk isim ma’rifat “Assalaaamu”
bukan Salaamun. Juga menggunakan
bentuk jamak “’alaikum”. Baik yang
diberi salam itu satu orang atau jamaah
beberapa orang. Inilah yang
diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan para salaf shaleh.
Meskipun menggunakan ungkapan
“Salaamun ’alaikum” juga boleh tetapi
“Assalaamu’alaikum” lebih utama. (Al
Mawsu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah,
25/157-158).

Menjawab ucapan salam bukan dengan


Wa’alaikumussalaam, menurut
kebanyakan ulama, tidak
menggugurkan kewajiban. Karena Allah
Ta’aala telah berfirman:
‫نْ ِمن َهاْأَوْْ ُردو َها‬ َ ‫َو ِإذَاْ ُح ِييتُمْْ ِبت َ ِحيَّةْْفَ َحيواْ ِبأَح‬
َْ ‫س‬
“Dan apabila kamu dihormati dengan
suatu (salam) penghormatan, maka
balaslah penghormatan itu dengan
yang lebih baik atau balaslah
(penghormatan itu yang sepadan)
dengannya.” (QS. An Nisaa’: 86)

Dalam ayat tersebut jelas ditegaskan


keharusan menjawab dengan yang
sama atau sepadan. Jadi tidak cukup
dengan jawaban lain selain salam. (Al
Fawaakih ad Dawaani 2/423, Al Jumal
‘Ala Syarhil Minhaaj 5/188 dan Tafsir
Ibnu Katsir 2/351)

Dalam al Mawsu’ah al Fiqhiyyah al


Kuwaitiyah dijelaskan tentang salam
kepada lawan jenis, yang ringkasnya
dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ucapan salam sesama wanita
dianjurkan sebagaimana ucapan salam
sesama laki-laki. Demikian pula
menjawab salam sesama wanita
hukumnya sama dengan menjawab
salam sesama laki-laki. Sedangkan
memberi salam dari laki-laki kepada
wanita, maka bisa dibagi menjadi 2
keadaan:
 Jika wanita tersebut adalah istri, ibu

atau mahram lainnya, maka


hukumnya sunnah dan fihak wanita
wajib menjawab salam tersebut.
Bahkan seorang laki-laki dianjurkan
memberi salam kepada keluarga dan
penghuni rumahnya.
 Jika wanita tersebut bukan
mahramnya, maka ada dua
kemungkinan:
Jika wanita tersebut sudah berusia
lanjut, maka memberi salam tersebut
hukumnya sunnah dan wanita tersebut
berkewajiban menjawab salam.
Jika wanita tersebut masih muda dan
dikhawatirkan menimbulkan fitnah baik
bagi fihak laki-laki atau fihak wanita,
maka ada 2 pendapat di kalangan
ulama:
Makruh menurut ulama Malikiyah,
Syafi’iyah, Hanabilah.
Ulama Hanafiyyah mengatakan
bahwa menjawab salamnya cukup di
dalam hati. Jika ada seorang wanita
memberi salam kepada laki-laki, maka
dijawab di dalam hati. Demikian pula
sebaliknya. Jika yang memberi salam
adalah laki-laki, maka fihak wanita
menjawab di dalam hati. Sedangkan
ulama Syafi’iyah mengharamkan
menjawab salam kepada laki-laki.

Sedangkan salamnya seorang laki-laki


kepada kaum wanita dalam jumlah
banyak, dibolehkan. Demikian pula
salamnya beberapa laki-laki kepada
satu orang wanita juga dibolehkan jika
aman dari fitnah. Dalil yang menjadi
dasar bolehnya seorang laki-laki
member salam kepada kaum wanita
dalam jumlah banyak, adalah hadits
Asma binti Yazid radliyallahu ‘anha,
beliau berkata: “Pernah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan
melewati beberapa wanita kemudian
beliau member salam kepada kami.”
(HR Abu Daud 5/383 dan Tirmidzi 5/58
dan Ibnu Majah, no 3701. Imam
Tirmidzi menghasankan hadits ini).
Dalam Shahih Bukhari, Imam Bukhari
membuat judul bab: Taslim al-Rijaal
‘alaal-Nisaa’ wa al-Nisaa’ ‘ala al-Rijaal
(Bab salamnya kaum laki-laki kepada
kaum wanita dan kaum wanita kepada
kaum laki-laki). Imam Al-Hafizh Ibnu
Hajar al Asqalani dalam Fathul Baari
(11/33) mengomentari bab tersebut
dengan mengatakan: “Imam al-Bukhari
mengisyaratkan dalam bab ini pada
bantahan riwayat yang dikeluarkan
oleh Abdurrazaq dari Ma’mar, dari
Yahya bin Abi Katsir yang berisi
makruhnya kaum lelaki mengucapkan
salam kepada kaum wanita dan
sebaliknya. Riawayat ini statusnya
maqthu’ (riwayatnya berhenti sampai
pada tabi’in) dan mu’dhal. Kemudian
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan
bahwa maksud dari bolehnya ini (kaum
lelaki mengucapkan salam kepada
kaum wanita dan sebaliknya) ketika
aman dari fitnah. Ibnul Hajar
rahimahullah juga menukil ucapan Ibnu
Bathal dari al-Muhallab, “Salamnya
kaum lelaki kepada kaum wanita
(bukan mahram) dan kaum wanita
kepada kaum lelaki hukumnya boleh
boleh, apabila aman dari fitnah.”

 Memenuhi undangan.
Memenuhi undangan sesama kaum
muslimin sangat dianjurkan. Baik
undangan pernikahan atau undangan
kegiatan mubah lainnya.
Allah Subahaanahu Wa Ta’aalaa telah
berfirman:
َ ْ‫َولَ ِكنْْ ِإذَاْدُ ِعيتُمْْفَاد ُخلُواْفَإِذَا‬
ْْ‫ط ِعمتُم‬
‫فَانت َ ِش ُروا‬
“Tetapi jika kamu dipanggil maka
masuklah dan apabila kamu selesai
makan, keluarlah kamu” (QS. Al
Ahzaab: 53).
Dalam sebuah hadits shahih yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim (No.
3740), Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wassallam bersabda:
َْ ‫ساْ َك‬
ْ‫ان‬ ُ ْْ‫عاْأ َ َحدُ ُكمْْأَخَا ْهُْفَلْيُ ِجب‬
ً ‫عر‬ َ َ‫ِإذَاْد‬
ُ‫أَوْْنَح َوْه‬
“Bila salah seorang diantara kalian
mengundang saudaranya, maka
hendaklah ia memenuhi undangan
tersebut. Baik undangan tersebut
berupa walimah urs (resepsi
pernikahan) atau yang sejenisnya.”

Dalam lafadz yang lain di Shahih


Bukhari (No. 5174) dan Muslim (No.
1429) disebutkan,
‫يْأ َ َحدُ ُكمْْ ِإلَىْال َو ِلي َم ِْةْفَليَأ ِت َها‬
َْ ‫ِإذَاْدُ ِع‬
“Apabila salah seorang diantara kalian
diundang untuk menghadiri walimatul
urs (resepsi pernikahan), maka
hendaklah ia menghadirinya.”

Sedangkan hadits yang berisi ancaman


bahwa yang tidak menghadiri
undangan telah durhaka terhadap Allah
dan Rasul-Nya, adalah hadits dla’if
(lemah) yang diriwayatkan oleh Imam
Abu Daud (No. 3743), yang redaksinya:
ُ‫سولَ ْه‬
ُ ‫هللاَْ َو َر‬
ْ ْ‫صى‬ َ ْْ‫يْفَلَمْْيُ ِجبْْفَقَد‬
َ ‫ع‬ َْ ‫َمنْْدُ ِع‬
“Siapa yang diundang kemudian tidak
memenuhinya, maka sungguh ia telah
duhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya.”

Menghadiri walimatul ‘urs hukumnya


wajib ain (fardlu ‘ain) bagi setiap yang
diundang. (Jawaahir al Ikliil 1/325,
Mughnil Muhtaaj 3/244, al Mughni
karya Ibnu Qudamah 7/1, Syarhus
Sunnah karya Imam al Baghawi 9/132
dan Subulus Salaam 3/325).
Untuk udangan selain walimah, maka
hukum menghadirinya sunnah. Tidak
wajib. (Al Mughni 7/11, Hasyiyah al
Qolyuubi 3/295, Al Fataawa al
Hindiyah,5/343, Asy Syarh al Kabiir
ma’a Haasyiyah ad Dasuuqiy 2/337).

Jika undangan tersebut berasal dari


orang yang secara terang-terangan
melakukan perbuatan fasik, maka
ulama hanafiyah menegaskan bahwa
undangan tersebut tidak dipenuhi.
Supaya yang bersangkutan tahu bahwa
yang diundang tidak rela dengan
perbuatan fasiknya. Demikian pula
undangan dari orang yang mayoritas
hartanya berasal dari sumber haram.
Kecuali jika yang bersangkutan tidak
memberitahukan bahwa hartanya
bersumber dari penghasilan yang halal.
(Al Fataawa al Hindiyah,5/343).
Diantara hikmahnya adalah dapat
menyenangkan hati yang mengundang.
Namun apabila dalam acara undangan
tersebut terdapat hal-hal yang
melanggar ketentuan syariat dan kita
tidak bisa mengubahnya, maka kita
tidak berkewajiban untuk
mendatanginya.

 Memberikan nasehat.
Kita wajib memberi nasihat yang baik
kepada saudara kita bila yang
bersangkutan memintanya. Tidak boleh
mempermainkan mereka saat mereka
membutuhkan nasehat, apalagi
membohongi karena hal itu termasuk
pengkhianatan baginya.

Dalam hadits di Shahih Bukhari (No. 57)


dan Muslim (No. 45) dari Jarir bin
Abdillah, beliau mengatakan:
ْ‫ص ََل ِْة‬َّ ‫امْال‬ِْ َ‫علَىْ ِإق‬ َ ْ‫هللاِْﷺ‬
ْ ْ‫ل‬ َْ ‫سو‬ ُ ‫تْ َر‬ ُْ ‫بَايَع‬
ْ‫لْ ُمس ِلم‬ِْ ‫حِْ ِل ُك‬ َّ ْ‫اء‬
ْ ‫الز َكا ِْةْ َوالنص‬ ِْ َ ‫َو ِإيت‬
“Saya telah membai’at Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wassallam untuk
tetap menegakkan shalat,
mengeluarkan zakat dan memberi
nasehat kepada setiap muslim.”
Shahabat Anas bin Malik radliyallaahu
‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wassallam
tbersabda:
‫ألخي ِْهْ َماْيُ ِحبْْلنَف ِس ِْه‬
ِ ْ‫ب‬َّْ ‫نْأ َح ْدُ ُكمْْ َحتَّىْيُ ِح‬ ِ ُ‫الَْي‬
ُْ ‫ؤم‬ ْ
“Tidak beriman salah seorang diantara
kalian hingga ia mencintai untuk
saudaranya sebagaimana ia mencintai
untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari,
no. 13 dan Muslim, no. 45).

Imam al Khaththabi menjelaskan


bahwa nasehat artinya menginginkan
kebaikan untuk orang yang diberi
nasehat. (Syarh Syifa, 3/602).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi


wassallam menegaskan pentingnya
nasehat ini dalam sabda-nya:
ْ َ ‫لْا‬
ْ‫للِْ؟‬ َْ ‫سو‬ ُ ‫ْ ِل َمنْْيَاْ َر‬:‫ْقُلنَا‬.ُ‫صي َح ْة‬ ِ َّ‫ينْاَلن‬
ُْ ‫اَل ِْد‬
ْ‫سو ِل ِْهْ َو ِأل َ ِئ َّم ِْة‬ُ ‫ِلِْ َو ِل ِكتَا ِب ِْهْ َو ِل َر‬
ْ ِ ْ:‫ل‬َْ ‫قَا‬
ْ‫عا َّمتِ ِهم‬
َ ‫ينْ َو‬ َْ ‫ال ُمس ِل ِم‬
“Agama itu adalah nasehat”. Kami
tanyakan: “Kepada siapa, wahai
Rasulullah?” Beliau jawab: “Kepada
Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para imam
kaum muslimin dan khalayak kaum
muslimin.” (HR. Muslim, no. 55 dari
shahabat Tamim ad Daari radliyallahu
‘anhu).
Imam Bukhari membuat judul bab di
akhir kitab Iman dalam shahih Bukhari,
untuk karena pentingnya hadits ini dan
menjadi inti ajaran Islam. Sebagaimana
dijelaskan oleh Imam al ‘Aini dalam
bukunya ‘Umdatul Qoori (2/358).

Maksud dari memberi nasehat kepada


khalayak kaum muslimin adalah
memberikan arahan pada
kemaslahatan dunia dan akhirat
mereka, menolong mereka, menutup
aib (kejelekan) mereka, menolak
mudlarat yang bisa menimpa mereka,
memberi manfaat bagi mereka,
mengajak mereka berbuat sayang dan
ikhlas, menghormati yang tua di
kalangan mereka, berlaku lemah
lembut dengan yang lebih muda,
menasehat mereka, tidak menipu dan
berlaku hasad kepada mereka,
mencintai mereka seperti mencintai
dirinya sendiri, membenci semua yang
mereka benci jika terjadi pada dirinya.
(Syarah Shahih Muslim karya Imam
Nawawi 1/397, Fathul Baari 1/138, Asy
Syarhush Shaghiir 4/742, Tawdliihul
Ahkaam, 7/284 dan Dalilul Faalihiin
lithuruqi Riyadlish Shaalihiin 1/459).

Memberi nasehat itu hukumnya fardlu


kifayah. Jika sudah ada yang
mengerjakan dalam kadar yang cukup
maka kewajiban tersebut gugur bagi
yang lain. Memberi nasehat harus
dikerjakan sesuai kadar kemampuan
seseorang. (Syarah Shahih Muslim
karya Imam Nawawi 1/399, Subulus
Salaam 4/211 dan Tawdliihul Ahkaam,
7/284).

 Mendoakan ketika bersin lalu


mengucapkan hamdalah.
Yaitu dengan mengucapkan
“yarhamukallahu” setelah saudara kita
bersin dan mengucapkan hamdalah
(alhamdulillah). Ia pun juga disyariatkan
ketika mendengar ada yang
mendoakannya untuk membalas
dengan doa, “yahdikumullah wa
yushlihu baalakum”.
Tata cara tersebut dijelaskan dalam
hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wassallam:
ْْ‫ْ َوليَقُل‬،ِ‫ِل‬ ْ ِ ُْ‫ْاَل َحم ْد‬:ْ‫سْأ َ َحدُ ُكمْْفَلْيَقُل‬ َْ ‫ط‬ َ ‫ع‬ َ ْ‫ِإذَا‬
ْ:ُ‫لْلَ ْه‬ َّ َ ْ‫ك‬
َْ ‫ْفَإِذَاْقَا‬،ُ‫ّللَا‬ َْ ‫لَ ْهُْأ َ ُخو ْهُْيَر َح ُم‬
ْ‫ح‬
ُْ ‫ْ َويُص ِل‬,ُ‫لل‬ ْ َ ‫ْيَه ِدي ُك ُْمْا‬:ْ‫ْفَليَقُل‬،ُ‫لل‬ ْ َ ‫كْا‬َْ ‫يَر َح ُم‬
ْ‫بَالَ ُكم‬
“Apabila salah seorang di antara kalian
bersin, maka ucapkanlah
“alhamdulillah”, dan hendaknya
saudaranya mengucapkan untuknya
“yarhamukallaah”. Apabila ia
mengucapkan kepadanya
“yarhamukallaah”, hendaklah ia (orang
yang bersin) mengucapkan “yahdii
kumullaah wa yushlihu baalakum”.
(artinya: Mudah-mudahan Allah
memberikan petunjuk dan
memperbaiki hatimu).” (HR. Bukhari
6224).

 Menjenguk orang sakit.


Ada beberapa hadits yang
menunjukkan keutamaan menjenguk
orang yang sakit, antara lain:
a. Dari Tsauban radhiyallaahu ‘anhu,
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda:
ْ‫ضاْلَمْْيَزَ لْْفِىْ ُخرفَ ِْةْال َجنَّ ِْة‬
ً ‫عا ْدَْ َم ِري‬
َ ْْ‫َمن‬
‫َحتَّىْيَر ِج َْع‬
“Barang siapa yang menjenguk orang
sakit, ia berada dalam kebun surga
sampai ia kembali.” (HR. Muslim, no.
2568).
b. Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu
berkata: “Saya mendengar Rasulullah
Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
ْ‫صلَّى‬
َ ْ ْ
‫ال‬َّ ‫غدوةْ ِإ‬ُ ْ‫َماْ ِمنْْ ُمس ِلمْيَعُو ْدُْ ُمس ِل ًْما‬
ْْ‫ْ َوإن‬،‫فْ َملَكْْ َحتَّىْيُم ِسي‬ َْ ‫ونْأل‬ َْ ُ‫سبع‬ َ ْ‫علَي ِْه‬َ
ْ‫ف‬
َْ ‫ونْأل‬
َْ ُ‫سبع‬ َ ْ ْ
‫ه‬
ِ ‫ي‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ْ ‫ى‬ َّ ‫ل‬ ‫ص‬
َ ْْ
‫ال‬َّ ‫إ‬ ً
ِ ‫ع ِشيَّ ْة‬
ْ َ ُْ‫عادَْه‬َ
ْ‫انْلَ ْهُْخ َِريفْْفي‬ َْ ‫ْ َو َك‬،ْ‫ح‬ َْ ‫َملَكْْ َحتَّىْيُصب‬
‫ال َجنَّ ِْة‬
“Tidaklah seorang muslim yang
menjenguk muslim lainnya di pagi hari
kecuali ada 70 ribu malaikat yang
mendoakannya hingga sore hari. Dan
jika menjenguknya di sore hari, ada 70
ribu malaikat yang mendoakannya
hingga pagi, dan baginya satu kebun di
surga.” (HR. Tirmidzi, no. 969. Beliau
mengatakan hadits ini hasan gharib).
c. Dari Abu Hurairah radhiyallaahu
‘anhu, Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda:
ْ‫اء‬ِْ ‫س َم‬َّ ‫ضاْنَادَىْ ُمنَادْْ ِمنْْال‬ ً ‫عا ْدَْ َم ِري‬
َ ْْ‫َْمن‬
ْ‫تْ ِمنْْال َجنَّ ِْة‬
َْ ‫َاكْ َوتَبَ َّوأ‬
َْ ‫ابْ َممش‬
َْ ‫ط‬ َ ‫تْ َو‬ َْ ‫ِطب‬
ْ ً ‫َمن ِز‬
‫ال‬
“Siapa yang menjenguk orang sakit,
maka ada yang menyeru dari langit:
“Mudah-mudahan kehidupanmua
menjadi baik, langkahmu juga baik dan
engkau berhak menempati satu tempat
di surga.” (HR. Tirmidzi no. 2008, Ibnu
Majah no. 1443. Ibnu Hibban
menshahihkannya sebagaimana yang
disebutkan Ibnul Hajar dalam Fathul
Baari. Hadits ini dinilai hasan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan
Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibnu Majah).
d. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallaahu
‘anhu, ia berkata: Rasulullah
Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
ْ‫وضْ ِفي‬ُْ ‫ْلَمْْيَزَ لْْيَ ُخ‬،‫ضا‬ ً ‫عا ْدَْ َم ِري‬ َ ْْ‫َمن‬
ْ‫س‬ َْ َ‫ْفَإِذَاْ َجل‬،‫س‬
َْ ‫سْاغت َ َم‬ َ ‫ل‬
ِ ‫ج‬ َ ‫ي‬ ْ ‫ى‬َّ ‫الرح َم ِْةْ َحت‬
َّ
‫فِي َها‬
“Siapa yang menjenguk orang sakit, ia
terus dalam naungan rahmat sehingga
duduk. Maka apabila ia duduk, ia
tenggelam ke dalamnya.” (HR. Ahmad
3/304. Dishahihkan Al-Albani dalam al-
Silsilah al-Shahihah, no. 2504)
e. Diriwayatkan dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Siapa di antara kalian yang berpuasa di
pagi ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya.”
Beliau bertanya, “Siapa di antara kalian
yang sudah menjenguk orang sakit hari
ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya.”
Beliau bertanya lagi, “Siapa di antara
kalian yang telah menghadiri jenazah di
pagi ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya.”
Beliau bertanya lagi, “Siapa di antara
kalian yang telah memberi makan
orang miskin di pagi ini? Abu Bakar
menjawab, “Saya”. Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda, “Tidaklah semua ini
terkumpul dalam diri seseorang kecuali
pasti ia masuk surga.” (Dishahihkan
oleh Al-Albani dalam al-Silsilah al-
Shahihah, no. 88)

Dalam Shahih Bukhari (5743) dan


Muslim (2191), dari ‘Aisyah
radliyallaahu ‘anha, Nabi Shallallaahu
‘Alaihi Wasallam pernah menjenguk
salah seorang keluarganya. Beliau
mengusap bagian tubuh dari orang
yang sakit dengan tangan kanannya,
seraya berdoa:
ْ‫ف‬ ِْ ‫ْاِش‬،‫س‬ َ ‫أ‬َ ‫ب‬ ‫ال‬ ْ ْ
‫ب‬
ِ ‫ه‬ِ ‫ذ‬ َ ‫أ‬ ْ ، ْ
‫اس‬ِ َّ ‫ن‬ ‫ال‬ ْ ْ
‫ب‬َّ ‫ر‬ َ َّ ‫اَلل‬
ْ ْ
‫م‬ ‫ه‬
ُ َّ
ْ َ ْ‫ْ ِشفَا ًْء‬،‫الْ ِشفَا ُؤ َك‬
ْ‫ال‬ ْ َّ ‫شافِيْ َال ِشفَا َْءْ ِإ‬ َّ ‫تْال‬ َْ ‫أن‬
‫سقَ ًما‬
َ ْ‫يُغَا ِد ُْر‬
“Ya Allah, Rabb sekalian manusia,
hilangkanlah penderitaannya,
sembuhkanlah ia karena sesungguhnya
Engkau adalah Dzat Yang Maha
Menyembuhkan. Tidak ada
kesembuhan melainkan kesembuhan
yang berasal dari-Mu. Kesembuhan
yang tidak lagi meninggalkan penyakit.”

Dalam riwayat lain dari Anas bin Malik


radhiyallaahu ‘anhu, di Shahih Bukhari
(5742), diriwayatkan dengan lafadz
yang sedikit berbeda:
ْ َ ْ،‫شا ِفي‬
ْ‫ال‬ َّ ‫تْال‬َْ ‫فْأن‬ ِْ ‫ْاِش‬،‫أس‬ ِ َ‫بْالب‬َْ ‫ْ ُمذ ِه‬،‫اس‬ َّْ ‫اللَّ ُه َّْمْ َر‬
ِ َّ‫بْالن‬
‫سقَ ًما‬ ْ َ ْ‫ْ ِشفَا ًْء‬،‫ت‬
َ ْ‫الْيُغَا ِد ُْر‬ َ ‫الَّْأن‬
ْ ‫يْ ِإ‬
َْ ِ‫شَاف‬
“Ya Allah, Rabb sekalian manusia, Yang
Menghilangkan penderitaan,
sembuhkanlah ia karena sesungguhnya
Engkau adalah Dzat Yang Maha
Menyembuhkan. Tidak ada yagn
menyembuhkan melainkan Engkau.
Kesembuhan yang tidak lagi
meninggalkan penyakit.”

Banyak hikmah yang terdapat dalam


ibadah ini, antara lain adalah, akan
menguatkan tali persaudaraan dan
menguatkan perasaannya dan
membuatnya begitu berarti di mata
saudara-saudaranya.

Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam tidak


hanya menganjurkan kaum muslimin
untuk menjenguk orang sakit. Beliau
sendiri memberi teladan langsung.
Beliau menjenguk orang sakit,
menghiburnya, mendoakannya, dan
meringankan beban-bebannya.
Shahabat Utsman bin ‘Affan
Radhiyallaahu ‘Anhu berkata: “Demi
Allah, sungguh kami sering menemani
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam
dalam safar maupun muqim. Beliau
menjenguk yang sakit di antara kami,
mengantarkan jenazah orang yang
meninggal diantara kami, berperang
bersama kami dan membantu kami
dengan yang sedikit dan banyak.” (HR.
Ahmad)
Banyak riwayat yang menunjukkan
Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam
menjenguk sebagian sahabatnya yang
sakit. Dalam Shahih Bukhari, beliau
pernah menjenguk seorang anak
Yahudi yang masih kecil, lalu
mengajaknya masuk Islam sehingga ia
menjadi seorang Muslim.

 Mengiringi jenazahnya.
Mengiringi jenazah hukumnya sunnah.
(ad Dur al Muhtaar 1/833, asy Syarh al
Kabiir 1/418, al Muhadzdzab 1/136,
Mughnil Muhtaaj 1/367, al Majmu’
5/286 dan al Mughni 2/473).
Hal ini berdasarkan hadits al Baraa’ bin
‘Azib radhiyallaahu ‘anhu, beliau
berkata:
ْ‫ْونهاناْعن‬،ْ‫هللاِْﷺْبسبع‬ ُْ ‫سو‬
ْ ْ‫ل‬ ُ ‫أ َ َم َرنَاْ َر‬
ِْ‫اع‬
ْ َ‫ْ َواتِب‬،ْ‫ْأ َم َرنَاْبعيَادَةْال َم ِريض‬:ْ‫سبع‬
ِ‫ال َجنَازَ ْة‬
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam
memerintahkan kami dengan tujuh hal
dan melarang kami dari tujuh perkara.
Beliau memerintahkan kami untuk
menjenguk orang sakit, mengiringi
jenazah.. (HR. Bukhari, no. 1239 dan
Muslim, no. 2066).
Dalam Shahih Bukhari (1325) dan
Muslim (945), dari Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah
Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam
menjelaskan keutamaan mengiringi
jenazah:
ُْ‫صلَّىْ َعلَي َهاْفَلَ ْه‬ َ ُ‫ش ِه ْدَْال ِجنَازَ ْة َْ َحتَّىْي‬ َ ْْ‫َمن‬
ُْ‫نْفَلَ ْه‬ َْ َ‫ش ِهدَ َهاْ َحتَّىْتُدف‬ َ ْْ‫ْ َو َمن‬،‫يراط‬ َ ِ‫ق‬
ُْ ‫ْ ِمث‬:‫ل‬
ْ‫ل‬ َْ ‫ان؟ْقَا‬ ِ َ
‫ط‬ ‫ا‬‫ير‬
َ ‫ق‬
ِ ‫ل‬َ ‫ا‬ ْ ‫ا‬ ‫م‬ ‫و‬
َ َ ْ: ْ
‫ل‬
َ ‫ي‬ ‫ق‬
ِ ْ. ْ
‫ان‬ َ
ِ ‫يرا‬
‫ط‬ َ ِ‫ق‬
ِْ ‫نْاَلعَ ِظي َمي‬
‫ن‬ ِْ ‫اَل َجبَلَي‬
“Siapa yang menghadiri jenazah hingga
jenazah tersebut dishalatkan maka
baginya pahal satu qirath. Siapa yang
menghadirinya sampai proses
pemakaman, maka baginya dua qirath”.
Kemudian ditanyakan: “Apakah yang
dimaksud dengan dua qirath?” Beliau
menjawab: “Seperti dua gunung
besar.”
Dalam riwayat di Shahih Muslim
(2/653) disebutkan: sampai jenazah
diletakkan di liang lahat.
Menurut riwayat Bukhari (47) pula dari
hadits Abu Hurairah radhiyallaahu
‘anhu:
ْ‫انْ َمعَ ْهُْ َحتَّى‬ َْ ‫ْ َْو َك‬،‫سابًا‬ َ ‫َمنْْت َ ِب َْعْ َجنَازَ ْة َْ ُمس ِلمْْ ِإي َمانًاْ َواح ِت‬
ْ،‫طي ِن‬ َ ‫يرا‬ َْ ‫علَي َهاْ َويُف َر‬
َ ‫غْ ِمنْْدَفنِ َهاْفَإِنَّ ْهُْيَر ِج ُْعْ ِب ِق‬ َ ْ‫صلَّى‬ َ ُ‫ي‬
ْ‫ل‬ َ ْ‫صلَّى‬
َْ ‫ْث ُ َّْمْ َر َج َْعْقَب‬،‫علَي َها‬ َ ْْ‫ْ َو َمن‬.ْ‫لْأ ُ ُحد‬ ُْ ‫يراطْْ ِمث‬ َ ِ‫ُكلْْق‬
َ ‫ْفَإنَّ ْهُْيَر ِج ُْعْ ِب‬،ْ‫ن‬
ْ‫قيراط‬ َْ َ‫أنْْتُدف‬
“Barangsiapa mengikuti jenazah
seorang muslim karena iman dan
mengharapkan pahala, ia bersamanya
sampai disholatkan dan selesai
pemakamannya, maka sesungguhnya ia
pulang dengan dua qirath, tiap qirath
seperti gunung Uhud. Siapa yang
menyalatkan kemudian pulang sebelum
dimakamkan maka sesungguhnya ia
pulang dengan satu qirath.

Anda mungkin juga menyukai