Anda di halaman 1dari 27

PENILAIAN TINGKAT KESIAPAN INDUSTRI KONSTRUKSI DI INDONESIA

TERHADAP PENERAPAN INDUSTRI 4.0

Jati Utomo Dwi Hatmoko1, Joga Dharma Setiawan, Riqi Radian Khasani1, Pariyanto1, Dyah Ayu
Saraswati1, Daniel Hotland1

Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro


Jl. Prof. Soedarto, SH Tembalang, Semarang, Indonesia, 50275
Email: jati.hatmoko@ft.undip.ac.id

Abstrak
Dalam beberapa tahun terakhir, Industri 4.0 telah diperkenalkan sebagai era digitalisasi dan otomatisasi di lingkungan manufaktur.
Terlepas dari potensi manfaatnya dalam hal peningkatan produktivitas dan kualitas, konsep ini belum mendapatkan banyak perhatian
di industri konstruksi. Perkembangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa implikasi jangka panjang dari lingkungan manufaktur
yang terus didigitalkan dan otomatis masih belum diketahui secara luas pada industri konstruksi. Maksud dari jurnal ini dibuat adalah
untuk menilai tingkat kesiapan para pelaku Industri konstruksi di Indonesia dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 kendala yang
dihadapi oleh para pelaku industri konstruksi harapan kedepan nya untuk dapat menerapkan industri 4.0 dan strategi menuju Industri
4.0. Tujuannya adalah untuk membuka wawasan para pelaku industri konstruksi di Indonesia tentang Industri 4.0. Sasaran utama dari
penelitian ini adalah para pelaku industri konstruksi seperti owner, konsultan, kontraktor, dan supplier besar di Indonesia. Metode
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif berupa penyebaran kuesioner, wawancara dengan narasumber
berkompeten, dan FGD (Focus Group Disscusion).

Kata kunci: Kesiapan, Industri Konstruksi, Industri 4.0

1. PENDAHULUAN
Industri 4.0 mewakili revolusi industri keempat setelah mekanisasi, elektrik dan komputerisasi
lingkungan produksi (Kagermann et al., 2013). Ini berfokus pada peningkatan digitalisasi dan otomatisasi
industri manufaktur terutama melalui rantai nilai digital antara produk, mesin dan operator. Industri 4.0 akan
mempengaruhi industri manufaktur dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh teknologi smartphone
untuk dunia konsumen dengan perubahan perilaku dan sosial yang luas (Wang, 2018). Konsep ini telah
meluncurkan revolusi teknologi keempat seperti cyber physical system (CPS), Internet of things (IoT), Big
Data, Cloud Computing, dan Internet of services (IOS). Semua teknologi ini terhubung melalui internet yang
memungkinkan adanya interaksi dan pertukaran informasi tidak hanya antara manusia dan manusia, tetapi juga
antara mesin satu dengan mesin lain nya yang saling terhubung dan terintegrasi (Roblek et al, 2016).
Dalam beberapa tahun terakhir, Industri 4.0 telah diperkenalkan sebagai era digitalisasi dan otomatisasi
lingkungan manufaktur. Terlepas dari potensi manfaatnya dalam hal peningkatan produktivitas dan kualitas,
konsep ini belum mendapatkan banyak perhatian di industri konstruksi. Perkembangan ini didasarkan pada
kenyataan bahwa implikasi jangka panjang dari lingkungan manufaktur yang terus didigitalkan dan otomatis
masih belum diketahui secara luas (Oesterreich & Teuteberg, 2016). Namun, ada banyak tantangan khusus
yang dihadapi industri konstruksi misalnya, seluruh rantai nilai konstruksi atau rantai pasok nya sangat
dipengaruhi oleh kolaborasi yang erat dengan pelanggan (owner), subkontraktor, konsultan, supplier dan
pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu, proyek konstruksi memliki kompleksitas tinggi yang
membutuhkan tingkat pengetahuan spesialis yang lebih tinggi pula (Kraatz et al., 2014). Meskipun, industri
konstruksi menghadapi keprihatinan yang berbeda dari industri manufaktur dalam hal peningkatan
produktivitas. Seringkali, proyek konstruksi ditandai oleh sejumlah besar perusahaan yang berpartisipasi
dengan proses yang saling terkait terjadi pada tahap yang berbeda dan di lokasi yang berbeda. Proyek
konstruksi biasanya unik, terbatas waktu dan memerlukan tingkat penyesuaian yang tinggi (Dallasega, 2018)
Revolusi Industri Keempat tampaknya tidak hanya membawa manfaat dalam memajukan industri, tetapi
juga menghadirkan kembali wajah industri di Indonesia (Hidayatno et al.,2017). Untuk memajukan seluruh
sektor yang ada pada industri di Indonesia langkah maju Indonesia yaitu Pemerintah melalui Kementerian
Perindustrian akhirnya membentuk inisiatif “Making Indonesia 4.0” untuk menerapkan strategi tersebut ketika
memasuki era industri baru. Making Indonesia 4.0 telah diluncurkan baru-baru ini pada bulan April 2019 di 5
sektor, yaitu makanan dan minuman, tekstil dan mode, otomotif, elektronik, dan industri kimia. Industri
konstruksi, bagaimanapun, telah dikeluarkan dari daftar. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur telah berjalan
dengan cepat, dari sistem energi, transportasi jalan, gedung perkantoran dan sekolah, telekomunikasi, dan
jaringan pasokan air, yang semuanya membutuhkan kapasitas yang cukup, dan kecepatan serta produktivitas
industri konstruksi. Adopsi industri 4.0, cepat atau lambat, tidak terhindarkan dan diyakini dapat mempercepat
produktivitas, meningkatkan kapasitas, meningkatkan kualitas produk dan efisiensi industri konstruksi. Ini
akan meningkatkan daya saing industri, dengan kontribusi yang diharapkan bagi perekonomian Indonesia.

1
Oleh karena itu, untuk mendorong transformasi industri menuju Industri 4.0, sangat penting untuk menyelidiki
dan mengukur kesiapan industri konstruksi di Indonesia untuk era industri 4.0 yang akan datang. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menilai kesiapan industri konstruksi terhadap industri 4.0 menggunakan alat
pengindeksan, yang disebut Indeks Kesiapan 4.0 Industri Konstruksi Indonesia atau disingkat ICI4.0RI.
Pembahasan mengenai penelitian ini, khususnya mengenai penerapan Industri 4.0 di industri konstruksi
tentulah memiliki aspek yang luas untuk dapat diteliti sepenuhnya, maka itu perlu adanya batasan masalah
dalam penelitian ini, antara lain: Pada penelitian ini dilakukan pengambilan sampel pada beberapa perusahaan
kontraktor besar, perusahaan konsultan besar, owner Pemerintah dan swasta, serta perusahaan supplier
nasional besar yang ada di Indonesia. Penelitian ini hanya meninjau kesiapan perusahaan di industri konstruksi
bukan pada proyek yang sedang dilaksanakan dan penelitian ini dilakukan dengan cara pengisian kuesioner
dengan variabel yang telah ditetapkan dan wawancara langsung pada sebagian perusahaan.
Maksud dari penelitian ini adalah menilai tingkat kesiapan industri konstruksi di Indonesia terhadap
penerapan Industri 4.0. Sedangkan tujuan yang ingin di capai berdasarkan maksud dari penelitian ini adalah
sebagai berikut : Menganalisis seberapa jauh kesiapan industri konstruksi di Indonesia mempersiapkan diri
terhadap penerapan Industri 4.0 dilihat dari lima pilar. mengetahui kendala yang dihadapi industri konstruksi
di Indonesia dalam menghadapi Industri 4.0, Mengetahui perkiraan waktu yang dibutuhkan oleh industri
konstruksi di Indonesia untuk dapat menerapkan Industri 4.0, mengetahui pandangan dan seberapa besar
harapan industri konstruksi di Indonesia menerapkan Industri 4.0 dalam FGD (focus Group Disscussion)

Industri 4.0 dalam Industri Konstruksi


Industri 4.0 adalah strategi teknologi tinggi yang mewakili revolusi industri keempat, setelah munculnya
generasi mekanisasi, elektrik, dan komputerisasi (Kagermann et al.,2013). Industry 4.0 menggambarkan
peningkatan digitalisasi dan otomasi di lingkungan manufaktur, serta penciptaan rantai nilai digital untuk
memungkinkan komunikasi antara produk, lingkungan mereka dan mitra bisnis (Lasi et al.,2014). Meskipun
awalnya diterapkan pada manufaktur, transformasi digital di era Industri 4.0 perlahan tapi sangat mengubah
sektor konstruksi. Industri konstruksi menghadapi hambatan yang berbeda dari sektor manufaktur untuk
meningkatkan produktivitas. Sebagai contoh, tingginya jumlah proses yang saling terkait, sub-proses dan aktor
yang berpartisipasi pada tahap yang berbeda dan di lokasi bangunan yang berbeda membuat kompleks industri
konstruksi Kompleksitas ini menyebabkan tingkat ketidakpastian yang tinggi di industri. Proyek konstruksi
biasanya unik, terbatas waktu, memerlukan penyesuaian tingkat tinggi dan sebagian dilakukan di lokasi, lokasi
yang sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca.Selain itu, karena sifat sementara dari proyek konstruksi,
spesifikasi lengkap dan standar untuk proses, bahan, pekerjaan dan tim tidak ada (Dallasega,2018). sejumlah
masalah struktural dalam industri konstruksi yaitu :
 Kompleksitas: Proyek konstruksi adalah usaha kompleks karena tingginya jumlah proses yang saling
terkait, sub-proses dan tingginya jumlah stakeholders proyek yang terlibat (arsitek, kontraktor,
subkontraktor, pelanggan, pemasok) pada berbagai tahap dan lokasi (Dubois,2002 ; Arayici et al., 2012)
 Ketidakpastian: Karena setiap proyek konstruksi adalah proyek unik berbasis waktu yang terbatas waktu,
terdapat kekurangan spesifikasi lengkap untuk proses dan sub-proses dan keseragaman bahan, pekerjaan
dan tim di lokasi konstruksi, sehingga menghasilkan lingkungan yang tidak dapat diprediksi
(Dubois,2002)
 Rantai pasok yang terfragmentasi: Karakteristik spesifik industri lainnya adalah fragmentasi tinggi dalam
rantai pasokan dalam hal jumlah besar dari perusahaan kecil dan menengah dengan produk dan layanan
yang tidak dibedakan (Arayici et al., 2012) dan kemampuan terbatas untuk investasi dalam teknologi baru
(Kraatz et al.,2014)
 Pemikiran jangka pendek: Struktur industri konstruksi telah digambarkan oleh sebagai sistem yang
digabungkan secara longgar dengan kopling ketat dalam proyek individu dan kopling longgar dalam
jaringan permanen, yang mendukung pemikiran jangka pendek tetapi menghambat inovasi jangka
panjang dan belajar. Oleh karena itu, organisasi perusahaan konstruksi yang terdesentralisasi serta sifat
sementara dari proyek-proyek konstruksi merupakan penghalang inovasi (Oesterreich & Teuteberg,
2016).
 Budaya: Industri konstruksi terkenal dengan budaya yang kuat dan kaku serta ketahanannya yang kuat
terhadap perubahan tetapi sulit untuk dirubah pola pikirnya (Oesterreich & Teuteberg, 2016).

Implementasi Teknologi 4.0 dalam Industri Konstruksi


Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, empat kunci transformasi digital dipandang sebagai penentu:
data digital, otomatisasi, konektivitas, dan akses digital. Studi lain menunjukkan bahwa upaya manajerial di
industri konstruksi mengenai transformasi digital sedang dikembangkan. Selain itu, upaya penelitian dari

2
perhatian yang diterima Industri 4.0 di bidang manufaktur lainnya. Saat ini, Building Information Modeling
(BIM) dianggap sebagai teknologi utama untuk digitalisasi lingkungan manufaktur konstruksi (Li & Yang,
2016). Other associated technologies and concepts are well-known manufacturing concepts that are still under
developed in construction supply chain.These include Product-Lifecycle-Management (PLM); Modularization
and Robotics; Information and Communication Technologies, such as Mobile Computing and Radio-
Frequency Identification (RFID), which is one of the key technologies for Cyber-Physical Systems; and so-
called based technologies like the Internet of Things, Internet of Services, Cloud Computing, Big Data, Smart
Factory, 3D-Printing, Cyber-Physical Systems or Embedded Systems. Augmented Reality, Virtual Reality and
the Human-Computer-Interaction also are seen as major components of Industry 4.0 that enable digitized
construction environments. However, their potential has not yet been fully exploited in supply chain
management. Oesterreich and Teuteberg point to benefits the construction industry can obtain through Industry
4.0. Reduced labor costs can be achieved through the use of robotics and automatic workflows. Automatic
tracking of equipment and materials (through the use of embedded sensors like RFID can reduce material
costs.Time savings can be obtained by using concepts like Prefabrication and Additive Manufacturing rather
than conventional construction technology. Thoughtful use of BIM can improve building quality by allowing
timely discovery of potential problems through increased detail and information in the design phase. Cloud
and BIM-based platforms or social media apps can efficiently improve collaboration among companies and
help to decrease project delivery time and keep projects under budget (Irizarry et al., 2013). Big data dapat
mendukung manajer proyek dalam pengambilan keputusan yang lebih efektif melalui peningkatan akses ke
informasi (Mcmalcolm, 2015). Meningkatkan keselamatan kerja di lokasi juga penting dalam konstruksi,
mengingat lingkungan kerja yang berbahaya di industri dan tingginya tingkat cedera dan kecelakaan kerja
(Chun et al., 2012) . Di sini, Pelatihan Keselamatan Virtual atau teknologi yang dapat dipakai seperti Kacamata
Cerdas, Helm Pintar atau Pakaian Kerja Cerdas dapat meningkatkan keamanan pekerja. Digunakan bersama
dengan perangkat seluler atau komputasi yang dapat dipakai, teknologi seperti Augmented Reality, Virtual
Reality, atau Reality Campuran dapat meningkatkan pemahaman pelanggan tentang produk desain awal dan
fase desain untuk menghindari perubahan yang sia-sia selama pelaksanaan proyek (Jones,2017).

Construction Industry 4.0 Readiness Index (ICI4.0RI)


Implementasi Industri 4.0 pada industri konstruksi Indonesia dapat meningkatkan kualitas produk,
meningkatkan produktivitas, dan meningkatkan efisiensi produk. Oleh karena itu, ini akan meningkatkan daya
saing industri, dengan kontribusi yang diharapkan untuk PDB dan ekonomi Indonesia. Untuk mendorong
transformasi industri menuju Industri 4.0, diperlukan alat pengindeksan yang dapat digunakan untuk mengukur
kesiapan industri konstruksi di Indonesia, yang dinamakan Indeks Kesiapan Industri Konstruksi Indonesia 4.0
atau disingkat ICI4.0RI. ICI4.0RI dapat menjadi referensi penilaian yang digunakan oleh industri konstruksi
dan Pemerintah untuk mengukur kesiapan mereka terhadap Industri 4.0. Hasil pengindeksan akan menjadi
referensi dalam mengidentifikasi tantangan, menentukan strategi, dan sebagai dasar dalam menentukan
kebijakan Pemerintah untuk mendorong transformasi industri konstruksi menuju Industri 4.0. Untuk
mendorong industri konstruksi ke era digital, perusahaan harus memiliki indikator kesiapan yang harus
dicapai. Indikator atau acuan penilaian kesiapan tersebut dihadirkan dalam bentuk pilar konstruksi 4.0. Pilar
ini berisi beberapa variabel, diantaranya Manajemen dan Organisasi (Management and Organization), Orang
dan Budaya (People and Culture), Produk dan Layanan (Product and Services), Teknologi (Technology), dan
Onsite and Offsite Operations.
 Manajemen dan Organisasi
Untuk menerapkan teknologi Industri 4.0 di perusahaan yang dibutuhkan adalah praktik organisasi dan
keterampilan. Sistem manajemen dalam organisasi untuk mendorong karyawan mengembangkan metode kerja
agar dapat meningkatkan tingkat implementasi dalam Industri 4.0. Faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan penerapan teknologi Industri 4.0 tidak hanya keterampilan yang dibutuhkan karyawan dalam
penggunaan teknologi dan kemampuan untuk berkolaborasi dengan pihak luar dalam inovasi (Agostini et al.,
2019), tetapi juga budaya yang ada di perusahaan dan komunikasi yang baik dalam manajer organisasi dengan
perusahaan juga menentukan keberhasilan teknologi implementasi (Won et al., 2013). Untuk berhasil dalam
mengimplementasikan teknologi informasi tidak hanya membutuhkan kesiapan dalam satu organisasi, tetapi
juga di semua organisasi (Aziz et al., 2011). Dukungan manajemen dan kepemimpinan berfungsi sebagai faktor
penting untuk menerapkan teknologi Industri 4.0 dalam suatu organisasi. Implementasi Industri 4.0
membutuhkan komitmen penuh dari manajemen untuk mencapai implementasi Top-Down Industri teknologi
4.0 (Haron, 2013). Dalam manajemen dan organisasi, tingkat kesiapan dalam penerapan teknologi baru
ditinjau dari beberapa kategori, yaitu Kebijakan Inovasi, Investasi untuk 4.0, Strategi, Kepemimpinan,
Manajemen Kompetensi, dan Manajemen Implementasi.

3
 Orang dan Budaya
Budaya dalam perusahaan adalah organisasi yang memiliki komitmen luas dalam membangun sumber daya
manusia (SDM), proses kerja, dan hasil kerja yang lebih baik. Budaya dalam perusahaan di era revolusi industri
4.0 mampu mengubah kinerja karyawan karena perkembangan teknologi. Revolusi industri 4.0 akan dirasakan
oleh generasi milenial, sementara banyak dari generasi ini akan menjadi pekerja (Bintoro, 2017). Dengan
munculnya teknologi digital dan internet yang semakin maju, hal itu akan mengubah kebiasaan para pekerja
di era revolusi industri sebelumnya. Namun, dengan berkembangnya revolusi industri 4.0 masih ada unsur
budaya kerja yang harus dijaga, ada sikap terhadap pekerjaan, bertanggung jawab, disiplin kerja dan etika,
serta tata krama juga harus diperhatikan oleh setiap karyawan. Ini bisa menjadi dasar untuk merancang dan
menyelesaikan program kerja (Limited, 2018). Kesimpulannya, budaya dan disiplin kerja dapat berubah
dengan perkembangan teknologi dan internet di era revolusi industri 4.0, sehingga untuk mengatasi gangguan
ini, harus mampu meningkatkan kemampuan, keterampilan, dan kerja sama tim dalam menghadapi perubahan
teknologi. Orang dan budaya memiliki kriteria kesiapan yang terdiri dari: Budaya, Transparansi Perubahan,
Pengembangan Kompetisi, Peran dan Tanggung Jawab, Keterampilan dan Sikap, dan Lingkungan Kerja.
 Produk dan Layanan
Produk yang telah terintegrasi dengan Industri 4.0 adalah produk yang memiliki fitur teknologi di dalamnya.
fitur dapat didefinisikan sebagai produk yang memiliki antarmuka yang terhubung ke internet, memiliki fitur
penyimpanan data (RFID, barcode, dan sebagainya) serta produk yang telah disesuaikan berdasarkan
permintaan pengguna (Kementerian Perindustrian, 2019). Sementara layanan cerdas berbasis data
menunjukkan bahwa perusahaan sudah mulai menggunakan teknologi berbasis Industri 4.0. Penggunaan data
oleh pelanggan untuk pengembangan sistem layanan dan produk juga merupakan elemen yang diukur untuk
menentukan kesiapan perusahaan untuk memulai era Industri 4.0 (Kementerian Perindustrian, 2019). Dari
kelima elemen ini, maka sejumlah kategori dapat ditentukan, yaitu: Kustomisasi Produk, Layanan Berbasis
Data, dan Produk Cerdas.
 Teknologi
Dari banyak tantangan beragam dan menarik yang kita hadapi saat ini, yang paling intens dan penting adalah
bagaimana memahami dan membentuk revolusi teknologi baru, yang tidak lain membutuhkan transformasi
manusia (Schwab, 2017). Implementasi Industri 4.0 ditampilkan oleh transformasi dari produksi tradisional ke
penggunaan aplikasi industri maju, seperti dalam revolusi industri sebelumnya. Karakteristik unik dari Industri
4.0 adalah integrasi dan konvergensi teknologi canggih yang dapat menciptakan terobosan inovasi yang belum
pernah terjadi sebelumnya (Kagermann, 2015; Schwab, 2017). Efek dari konvergensi sinergis dari
transformasi teknologi utama dipandang sebagai penentu: Digitalisasi, Mesin Cerdas, Konektivitas, Keamanan
Siber, Perangkat Keras Dan Perangkat Lunak, Dan Dukungan Teknis.
 Onsite and Offsite Operations
Industri konstruksi saat ini bertindak sebagai pemimpin pertumbuhan ekonomi di banyak negara. Kegiatan
konstruksi terdiri dari operasi di tempat dan di luar lokasi. Operasi di tempat adalah semua kegiatan yang ada
di lokasi kerja, misalnya pengecoran beton kolom atau balok bangunan. Ada juga kegiatan di luar lokasi
konstruksi yang bertujuan untuk memberikan kemudahan kerja bagi kontraktor, misalnya prefabrikasi,
pracetak, dan fabrikasi di luar lokasi. Istilah-istilah ini merujuk pada metode konstruksi umum yang ditandai
dengan produksi di luar lokasi, sebagai contoh adalah komponen pracetak yang secara khusus dibuat sesuai
dengan pesanan kontraktor (Mao et al., 2004). Masalah utama bagi industri konstruksi secara umum, adalah
penurunan kualitas dan produktivitas produk, kekurangan tenaga kerja, masalah kesehatan dan keselamatan
kerja, dan ada pekerjaan yang tidak dapat dilakukan orang. Salah satu pilihan untuk mengatasi masalah industri
konstruksi adalah bergerak menuju industrialisasi dengan mengadopsi mekanisasi dan otomatisasi untuk
mencapai efektivitas dan efisiensi kerja di industri konstruksi (Syariazulfa, 2016). Dari uraian ini, maka
sejumlah kategori dapat ditentukan, yaitu: Sistem Perawatan Cerdas, Proses yang Otonom, Penyimpanan dan
Sharing Data, serta Rantai Pasok dan Logistik Cerdas.

4
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References

Manajemen Kepemimpinan Manajemen


dan dalam Mendorong Perusahaan Komitmen Top Keterlibatan dan komitmen manajemen puncak
Kepemimpinan MO.1 Sony et al. (2019)
Organisasi untuk Menerapkan Teknologi Management dalam mendukung perusahaan.
Baru

Pembuatan
Langkah-langkah yang diambil dalam
Road Map
MO.2 mengembangkan kebutuhan dan tujuan dari Zakaria et al. (2013)
Penerapan
perusahaan.
Industri 4.0
Strategi yang digunakan oleh
Sistem
Strategi perusahaan dalam menghadapi Kegiatan pelatihan oleh perusahaan dalam
MO.3 pelatihan Liao et al. (2017)
perubahan teknologi menerapkan teknologi baru
teknologi baru

Persyaratan-kualifikasi calon karyawan baru


Kebijakan
MO.4 yang terampil dalam penerapan teknologi Grit et al. (2017)
rekrutmen
industri 4.0.

Dukungan keuangan
Investasi untuk perusahaan dalam Dukungan Tersedianya biaya awal dan investasi
MO.5 Won et al. (2013)
INDI 4.0 pengembangan perusahaan finansial berkelanjutan untuk implementasi industri 4.0
menuju teknologi baru

5
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References

Inovasi Peningkatan pembelajaran produk serta proses Agostini et al.


Adanya dukungan dari MO.6
Berkelanjutan berkelanjutan oleh perusahaan. (2019)
manajemen perusahaan untuk
Kebijakan inovasi
melakukan inovasi terhadap
Kolaborasi regular antara perusahaan dengan Agostini et al.
teknologi baru MO.7 Inovasi terbuka
pihak luar. (2019)

Perubahan pola Pembentukan pola pikir baru di perusahaan yang


MO.8 Ma et al. (2019)
pikir sesuai dengan industri 4.0.
Penerapan teknologi baru yang
Manajemen
didukung oleh manajemen
Kompetensi Kolaborasi
kompetensi Kemampuan anggota dalam bekerja sama secara Agostini et al.
MO.9 yang efektif
aktif. (2019)
antar divisi

Pembentukan
Adanya unit khusus yang dibentuk untuk
MO.10 Divisi Khusus Zakaria et al. (2013)
Menerapkan teknologi baru ke pengembangan teknologi baru.
4.0
Manajemen dalam proses bisnis dengan
Implementasi membangun sistem manajemen
yang baik Standarisasi Penerapan standarisasi teknologi baru pada
MO.11 Ma et al. (2019)
teknologi baru proyek yang dikerjakan

6
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References

Orang dan Terdiri dari berbagi ide, adat


Budaya istiadat, asumsi, filsafat, tradisi,
adat-istiadat, nilai-nilai dan Budaya Adanya budaya yang sejalan dengan penerapan
Budaya OB.1 (Loc,2018)
pemahaman yang menentukan Perusahaan teknologi baru di perusahaan
bagaimana sekelompok orang
akan berperilaku

Kesadaran
untuk Pengetahuan SDM perusahaan mengenai
OB.2 (Ma et al. 2019)
Mendorong personel untuk menerapkan manfaat dan keharusan penerapan Industri 4.0
Keterbukaan
beradaptasi perubahan teknologi baru
terhadap perubahan
teknologi yang baru.
Kemampuan Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
OB.3 (Aulbur, 2016)
beradaptasi cara kerja baru.

Pengembangan kompetensi (Grzybowska et


OB.4 Kreativitas Kemampuan untuk menemukan inovasi baru.
diperlukan karena al.,2017)
Pengembangan
memengaruhi aturan
kompetensi
persaingan, struktur industri, Kemauan individu untuk mengembangkan
OB.5 Pelatihan (Haron,2013)
dan tuntutan pelanggan. keterampilan dan pengetahuan.

7
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References

Pembentukan peran dan


Peran dan
Roles & tanggung jawab individu terkait Peran dan tanggung jawab individu dalam
OB.6 tanggung jawab (Haron,2013)
responbility dengan implementasi industri pengembangan teknologi baru.
karyawan
4.0.

Keterampilan dan sikap yang


Keterampilan Kemampuan karyawan untuk menggunakan
Skill & attitude diperlukan individu untuk OB.7 (Haron,2013)
individu teknologi baru.
implementasi industri 4.0.

Lingkungan
Adanya situasi dan suasana kerja yang kondusif
OB.8 kerja yang (Haron,2013)
Implementasi industri 4.0 dan nyaman.
kondusif
Work Environment didukung oleh karakteristik
lingkungan kerja yang baik
Sharing Berbagi dan bertukar informasi dan pengetahuan
OB.9 (Haron,2013)
knowledge tentang industri 4.0

Produk dan Cara perusahaan untuk Adanya ketersediaan alat secara jumlah dengan (Oke, Aghimien,
Layanan memenuhi kebutuhan dan PL.1 Kesiapan alat spesifikasi yang memadai dan dalam kondisi Aigbavboa, &
keinginan pasar dengan cara yang baik Musenga, 2019)
Kustomisasi Produk
melakukan kustomisasi produk
Penguasaan Metode yang sesuai dengan detail dari setiap (Branco et al.,
sesuai permintaan pasar, hal ini PL.2
metode pemesanan. 2019)
juga dapat dikatakan sebagai

8
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References

respon dari adanya tantangan


Efisiensi Proses Proses produksi yang sistematis dan (Branco et al.,
dari lingkungan dan permintaan PL.3
Produksi terintegerasi, serta efektif dan efisien 2019)
pasar.

Kesiapan Perusahaan telah memiliki software yang (Branco et al.,


PL.4
software mendukung sistem layanan berbasis data. 2019)
Perusahaan memiliki database
(Craveiro, Duarte,
untuk produk yang dipasarkan Sumber dan Kesiapan dan ketersediaan sumber data untuk
Layanan Berbasis PL.5 Bartolo, & Bartolo,
serta memiliki data dari Kesiapan Data diolah maupun diakses.
Data 2019)
pengguna produk yang bisa
saling diakses Transparansi Keterbukaan/pembatasan sejauh mana dan oleh
(Castelo-branco et
PL.6 Informasi siapa saja informasi mengenai produk dan
al., 2019)
Produk layanan dapat diakses.

Adanya sistem Sistem yang ditandai dengan adanya arus (Craveiro, Duarte,
Produk yang ditawarkan sudah PL.7 yang informasi yang baik dan sudah didukung dengan Bartolo, & Bartolo,
memiliki fitur teknologi yang terintegrasi konektivitas pada internet 2019)
Produk Cerdas dapat terhubung dengan
internet dan memiliki fitur Adanya komunikasi yang terjadi antara produk (Osunsanmi,
Penggunaan
penyimpanan data PL.8 dan mesin pada saat proses produksi maupun Aigbavboa, & Oke,
Internet
proses operasi. 2018)

9
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References

Adanya alat untuk melakukan simulasi dan (Osunsanmi,


Modelling
PL.9 virtualisasi, yang dapat menunjukkan gambaran Aigbavboa, & Oke,
Utility
produk. 2018)

Teknologi
Pengumpulan seluruh data yang tepat dari semua (McMalcolm,
T.1 Big data
perangkat agar dapat diakses dalam satu platform 2015).

Penggunaan teknologi berbasis cloud computing


Implementasi yang didukung Cloud (Merschbrock and
T.2 untuk mengakses informasi dari perangkat
oleh alat teknologi digital di computing Munkvold, 2015)
komunikasi apa pun dengan akses Internet
perusahaan. Baik dalam proses,
Digitalisasi produk maupun proses Penggunaan mobile computing (smartphones dan
pengambilan keputusan untuk Mobile tablet) sebagai standar komunikasi dan
T.3 (Son et al., 2012)
meningkatkan proses produksi computing kolaborasi yang berbasis digital selama proses
dan kerja. konstruksi

Media yang efektif untuk menghubungkan,


berinteraksi, dan berbagi informasi seperti (Grover and Froese,
T.4 Media sosial
meningkatkan rekrutmen, manajemen proyek, 2016)
dan jejaring klien.

Mesin Cerdas terdiri dari berbagai teknologi T.5 Mesin Cerdas


mesin atau sistem pintar yang

10
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References

sudah dilengkapi dengan


kecerdasan buatan yang
terkoneksi dengan internet atau
intranet untuk mengotomatisasi teknologi mesin pintar yang sudah dilengkapi (Kemenperin, 2019;
proses konstruksi. Mesin pintar dengan kecerdasan buatan yang terkoneksi Oesterreich &
dapat mengakomodir adanya dengan internet Teuteberg, 2016)
kolaborasi baik antara manusia
dan mesin, atau kolaborasi antar
mesin/system

Kemampuan mesin, perangkat, sensor, dan orang


Internet of (Herman et al.,
T.6 untuk terhubung dan berkomunikasi satu sama
things (IOT) 2016)
konektivitas antar mesin, lain melalui Internet of Things (IoT)
perangkat atau sistem dalam
proses kerja berupa adanya adanya sistem yang terintegrasi antara para
Konektivitas
interkoneksi yang real-time pemangku kepentingan proyek (supplier,
Integrasi sistem
dengan vendor atau mitra stakeholders, mitra perusahaan, vendor) untuk
T.7 horizontal dan (Gilchrist, 2016)
perusahaan. mengurangi kompleksitas, ketidakpastian, dan
vertikal
meningkatkan pertukaran informasi dan
komunikasi

11
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References

Human-
Sistem yang menghubungkan mesin dan manusia
Computer-
T.8 dengan komputer untuk meningkatkan (Son et al., 2012)
Interaction
produktivitas kerja
(HCI)

Kemampuan suatu perusahaan


mengaplikasikan sistem
keamanan dalam menyimpan, (Sung, 2017; Torres
Keamanan sistem keamaan cyber dalam menyimpan,
Keamanan cyber mentransfer dan mengolah data T.9 et al., 2012;
cyber mentransfer dan mengolah data
untuk menjamin bahwa Kemenperin, 2019)
konektivitas berbasis data
tersebut aman.

perangkat teknologi yang telah


didukung oleh software dan
hardware yang digunakan
ICT adanya suatu perangkat teknologi yang telah (Zakaria et al.,
ICT Infrastructure dalam pengolahan, penyusunan, T.10
Infrastructure didukung oleh software dan hardware 2013)
dan penyimpanan data melalui
berbagai cara untuk memproses
dan menyampaikan informasi

12
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References

Onsite and Data perusahaan untuk optimasi


Offsite proses konstruksi sudah
Penyimpanan Adanya ketersediaan penyimpanan dan sharing (Kemenperin, 2019
Operation Penyimpanan dan dikelola dengan baik; dimana
OP.1 dan Sharing data perusahaan yang dapat dikelola dengan ; Madsen &
Sharing data proses penyimpanan data dan
data baik. Burtschy, 2013)
transfer data sudah memiliki
standarisasi yang baku.

Manajemen rantai pasok dan


logistik cerdas sudah
terintegrasi dengan proses
Rantai pasok Rantai pasok dan logistik perusahaan yang
Rantai pasok dan konstruksi, dimana stakeholder (Kemenperin, 2019
OP.2 dan logistik memiliki integrasi dengan proses konstruksi
logistik cerdas proyek dapat memantau kondisi ; Stadtler, 2015)
cerdas untuk meningkatkan efisiensi.
logistik aktual dari jarak jauh
untuk meningkatkan efisiensi
perusahaan.

Setiap tahapan dalam proyek


konstruksi sudah otonom dalam
pelaksanaan maupun (Kemenperin, 2019
Proses yang Otomatisasi dalam setiap tahapan proyek
Proses yang otonom pengambilan keputusannya OP.3 ; Oesterreich &
otonom konstruksi.
untuk mempermudah dan Teuteberg, 2016)
mempersingkat waktu
pekerjaan.

13
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References

Adanya sistem kontrol


pekerjaan dan perawatan alat
konstruksi dengan berbasis Sistem (Kemenperin, 2019
Sistem Perawatan Sistem kontrol dan perawatan alat konstruksi
internet sehingga dapat OP.4 Perawatan ; Lattanzi et al.,
Cerdas yang berbasis internet.
membantu dalam pemberian Cerdas 2017)
diagnosa dan saran perawatan
kepada alat konstruksi.

14
Gambar 1 The Indonesia Construction Industry 4.0 Readiness Index (ICI4.0RI)
2. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian kami, kami bertujuan untuk memahami hubungan antara konsep dan perkiraan
Industri 4.0 di Industri konstruksi. Secara khusus, kami berusaha memahami sejauh mana konsep dan
penerapan Industri 4.0 pada industri konstruksi di Indonesia telah dilaksanakan. Dalam penelitian ini
sebagian besar telah dilakukan melalui studi kasus berbagai jenis literatur sebagai sumber data primer,
termasuk makalah ilmiah, jurnal, artikel, majalah yang berhubungan dengan topik Industri 4.0. Alat
pengumpul yang digunakan untuk mengukur tingkat kesiapan Industri 4.0 pada bidang industri
konstruksi yaitu kuesioner, yang mana butir butir kuesioner berisi 5 pilar dari ICI4.0RI dengan total 27
soal. Kuesioner pada dasarnya menanyakan responden terhadap tingkat kepentingan kriteria kesiapan
Industri 4.0 dan kesiapan perusahaan dalam menerapkan Industri 4.0. Kuesioner disebarkan kepada
para pelaku industri konstruksi besar (owner, konsultan, kontraktor, supplier) melalui 3 metode yaitu :
via pos, email, in person (di datangi langsung). Data yang diperoleh melalui survei kuesioner dengan
120 responden yang bekerja untuk perusahaan di industri konstruksi, hasil kuesioner yang telah didapat
kemudian dilakukan pengujian kualiditas data dengan uji validitas dan uji reabilitas. Untuk memetakan
hasil tingkat level kesiapan para pelaku industri konstruksi terhadap Industri 4.0 digunakan instrumen
spiderweb. Spider web didapat dari nilai rata-rata setiap pilar yang telah dihitung berdasarkan hasil
kuesioner yang telah disebarkan. Dari hasil analisa deskriptif kuantitatif setiap pilar kemudian digambar
dalam bentuk spider web kesiapan 5 pilar yang mendukung penerapan Industri 4.0 menggunakan skala
level 0 sampai 4 yang mengindikasikan rentang dari belum siap hingga sudah menerapkan. Langkah
selanjutnya setelah mengetahui tingkat level Industri konstruksi dilakukan musyawarah atau FGD
(Focus Group Disscusion) untuk mengetahui pandangan dan harapan dari para pelaku industri
konstruksi terhadap hasil yang telah dianalisis.

15
Analisa Spiderweb
Spider web digunakan untuk melihat seberapa jauh tingkat kesiapan penerapan Industri 4.0 di bidang
konstruksi oleh perusahaan supplier di Pulau Jawa pada setiap pilar yang telah ditentukan. Spider web
didapat dari nilai rata-rata setiap pilar yang telah dihitung berdasarkan hasil kuesioner yang telah
disebarkan. Dari hasil analisa deskriptif kuantitatif setiap pilar kemudian digambar dalam bentuk
spiderweb kesiapan 5 pilar yang mendukung penerapan Industri 4.0. Dalam menentukan rentang skala
interval, dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut : RS=(m-n)/b = (4-0)/5=0,8. Keterangan : RS:
Rentang skala pada interval kelas, m: Skor tertinggi pada skala likert, n: Skor terendah pada skala likert,
b: Jumlah kelas.
Tabel 1 Skala Level
Indeks Level Keterangan
0,0 < Mean ≤ 0,8 Level 0 Belum Siap Belum ada dukungan
Level 1 Memiliki rencana
0,8 < Mean ≤ 1,6 Kesiapan Awal
bertransformasi ke Industri 4.0
Mulai bertransformasi ke
1,6 < Mean ≤ 2,4 Level 2 Kesiapan Sedang
Industri 4.0
Sudah ditransformasikan ke
2,4 < Mean ≤ 3,2 Level 3 Kesiapan Matang
Industri 4.0
Sudah Sudah menerapkan seluruh
3,2 < Mean ≤ 4,0 Level 4
Menerapkan Industri 4.0

3. HASIL DAN ANALISA DATA


Peneliti akan menggambarkan data yang telah diperoleh, dari penyebaran hasil kuesioner kepada
responden terkait dengan kesiapan penerapan Revolusi Industri 4.0 pada industri konstruksi skala besar.
Data yang didapat tersebut berupa penyebaran kuesioner kepada pimpinan (Top Management) atau staff
perusahaan yang berkompeten sebagai responden kuesioner penelitian dan FGD (Focus Group
Disscusion) oleh perwakilan perusahaan sebagai peserta untuk melengkapi dan memvalidasi hasil
kuesioner yang telah diisi. Hasil dari data tersebut diharapkan akan mampu menjawab rumusan masalah
serta tujuan yang telah disusun. Hasil dari data ini akan dapat menjawab tujuan yang telah disiapkan,
termasuk kesiapan perusahaan dalam menerapkan Industri 4.0, kendala pada penerapan Revolusi
Industri 4.0, waktu yang dibutuhkan industri konstruksi dalam menerapkan Industri 4.0, strategi dan
harapan para pelaku industri konstruksi terhadap penerapan Industri 4.0, dan pandangan kontraktor
tentang Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) 22 Tahun 2018.

Respon Rate Kuesioner


Dalam penyebaran kuesioner peneliti melakukan survey terlebih dahulu terhadap para pelaku industri
konstruksi di Indonesia baik owner, konsultan, kontaktor, dan supplier skala besar. Kemudian daftar
perusahaan dilihat dari halaman web LPJK.net dan sispro.id. Berikut persebaran kuesioner pada industri
konstruksi di Indonesia.
Tabel 2 Respon Rate Kuesioner
Response Response
Via Via In Kuesioner Kuesioner
Responden rate (via rate (via
Pos Email Person Kembali yang diisi
pos) email)
Kontraktor 711 648 32 77 46 6.5% 7.1%
Konsultan 222 199 2 0 19 8.6% 9.5%
Supplier 54 60 4 3 15 20,37% 3.33%
Owner
0 0 11 0 23
Pemerintah
Owner
60 54 0 0 17 28.3% 31.5%
Swasta

1.1 Spider Web Tingkat Kesiapan Para Pelaku Industri Konstruksi


Kuesioner yang telah disebarkan kepada para pelaku industri konstruksi (konsultan, kontraktor,
dan supplier) kemudian dilakukan analisis data menggunakan spider web untuk memetakan level

16
kesiapan pada setiap pilarnya. Berikut hasil kesiapan Industri 4.0 pada para pelaku industri
konstruksi berdasarkan lima pilar:

Manajemen dan
Organisasi
4
3
2
Onsite and Offsite
1 Orang dan Budaya
Operations
0

Teknologi Produk dan Layanan

Kontaktor Supplier Konsultan

Gambar 2: Spiderweb Level Kesiapan Industri Konstruksi


Dilihat pada Gambar 2 bahwa pilar yang memiliki level paling tinggi berada pada pilar produk
dan layanan yang didominasi oleh perusahaan supplier kemudian untuk tingkat level paling rendah
berada pada pilar teknologi. Berikut merupakan persebaran hasil tingkat level setiap para
pemangku industri konstruksi :
 Kontraktor : Manajemen dan Organisasi = 1,79 level 2 ; orang dan budaya = 1,87 level 2 ; produk
dan layanan=1,95 level 2; teknologi=1,39 level 1 ; onsite dan offsite operations= 1,38 level 1
 Konsultan : manajemen dan organisasi =1,22 level 1 ; orang dan budaya = 1,83 level 2 ; produk
dan layanan=2,17 level 2 ; teknologi=1,57 level 1 ; onsite dan offsite operations= 1,85 level 2
 Supplier : manajemen dan organisasi =2,04 level 2 ; orang dan budaya = 1,86 level 2 ; produk
dan layanan=2,47 level 3 ; teknologi= 1,63 level 2 ; onsite dan offsite operations= 1,97 level 2
Dapat dikatakan bahwa level pilar produk dan layanan paling tinggi ada pada perusahaan supplier,
berada pada level 3 yang berarti memiliki ‘’kesiapan matang’’, sesuai dengan keadaan para
pemangku rantai pasok konstruksi perusahaan supplier harus lebih unggul dalam segi produk dan
layanan yang mereka berikan kepada customer. Dimana dalam menghadapi ancaman persaingan
pasar, perusahaan supplier saat ini menyadari kebutuhan untuk memberikan pelayanan yang
memuaskan untuk pelanggan khusunya permintaan pelanggan dalam membuat produk yang sesuai
dengan keinginan stakeholder terkait menciptakan sebuah proyek. Sedangkan level teknologi
berada pada level yang paling rendah dibandingkan dengan pilar lain nya, padahal di era digitalisasi
saat ini, sistem teknologi dan informasi memiliki peran sangat penting bagi proses bisnis
perusahaan mulai dari proses awal hingga produk jadi, dan kecepatan serta akurasi yang tinggi
untuk meningkatkan daya saing perusahaan. Pemanfaatan teknologi, khususnya dalam hal
Teknologi Informasi (TI) menjadi elemen penting dalam menciptakan dampak mendasar dalam
proses bisnis yang dijalankan agar lebih efisien, dan akurat (Kagermann, 2015; Schwab, 2017).
Berikut merupakan penjelasan setiap pilar sesuai dengan keadaan para pelaku Industri Konstruksi
 Manajemen dan Organisasi
Dari hasil analisis data, kesiapan perusahaan industri konstruksi rata-rata berada pada level 2, yaitu
kesiapan sedang. Dari pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan dan diskusi yang dilakukan,
pihak manajemen sangat mendukung dengan perkembangan teknologi Industri 4.0. Hal ini dapat

17
dilihat dari perusahaan yang setuju dengan ketetapan regulasi Pemerintah terkait dengan
penggunaan teknologi 4.0, khususnya BIM untuk pekerjaan konstruksi dari awal perencanaan
hingga pelaksanaan. Menurut Bapak Zamrud, selaku BIM Manager di PT. Virama Karya
mengatakan bahwa ‘’perusahaan sangat mendukung dengan berkembangnya teknologi saat ini,
Sejujurnya regulasi itu paling penting. Ada beberapa yang sudah menerapkan teknologi dari awal
hingga akhir. Dan setuju berbicara jasa konsultasi dan konstruksi tidak melulu tentang BIM.
Teknologi Industri 4.0 dapat memberikan kecepatan, tetapi proses pembelajaran harus dilakukan
untuk mengetahui efektivitas dari penggunaan Industri 4.0’’. Selain strategi perusahaan, investasi
merupakan hal paling penting untuk menerapkan Industri 4.0, rata-rata jumlah investasi
perusahaan tahun ini hanya 10% dari investasi per tahun yang telah dikeluarkan oleh perusahaan
untuk bertransformasi ke Industri 4.0. Menurut Bapak Nurkholid Widyapraja Mirza, BIM Manager
PT. Adhi Karya “salah satu kendala yang dirasakan oleh perusahaan untuk mengimplementasikan
Industri 4.0 adalah tingginya pendanaan yang harus dikeluarkan, khususnya untuk investasi di
bidang teknologi yang akan digunakan”. Artinya, perusahaan masih belum mempertimbangkan
perbandingan manfaat yang didapat dengan biaya yang dikeluarkan untuk kedepannya.
 Orang dan Budaya
Orang merupakan unsur yang sangat penting dalam proses transformasi perusahaan ke Industri
4.0. Hal ini juga termasuk budaya dari karyawan perusahaan, seperti kedisiplinan, kemauan untuk
terus belajar dan menerima suatu perubahan (Kementerian Perindustrian, 2019) . Karyawan yang
cenderung terbuka dengan perubahan akan lebih siap untuk bertransformasi ke Industri 4.0,
sebaliknya jika karyawan bersikap antipati terhadap adanya perubahan, maka perusahaan akan
lebih sulit untuk menerapkan Industri 4.0. Level kesiapan industri konstruksi pada Pilar Produk
dan Layanan rata-rata berada pada level 2. Artinya, kesiapan orang dan budaya mulai
bertransformasi ke Industri 4.0. Dari hasil kuesioner dapat dilihat bahwa sebagian perusahaan
sudah memiliki rencana training/ workshop/ pendidikan/ sertifikasi terkait Industri 4.0, tetapi
sebagian besar perusahaan belum melakukan pelatihan. Hal ini disebabkan, karena ketertarikan
dari generasi muda saat ini lebih cenderung memilih jasa pelaksana konstruksi. Bapak Zamrud
BIM manager dari PT. Virama Karya mengatakan bahwa ‘Dan yang kita tahu disini, kita sebagai
konsultan bahwa regenerasi dari kita sangat terbelakang karena para millennial saat ini tidak
berminat masuk dunia konsultasi, dan cenderung masuk ke dunia konstruksi atau kontraktor.
Sehingga dalam pengguna dari digital sendiri itu tidak terakomodir ke dunia konsultan. Perlu
adanya subsidi sumber daya manusai untuk konsultan untuk pengguna digitalisasi‘’. Selain itu
Bapak Fauzi manager teknik dari PT. Waskita Beton Precast juga mengatakan bahwa‘’di
perusahaan kita memang sudah banyak karyawan baru yang memiliki pola pikir yang sangat maju,
kita yang menjadi karyawan lama harus beradaptasi dan mengikuti pola pikir mereka agar dapat
sejalan dengan mereka. kita juga sudah melakukan beberapa pelatihan untuk dapat melatih
keterampilan karyawan disini. Beberapa saat lalu kita sudah melakukan pelatihan di masing-
masing divisi pada bagian job desk masing-masing’’. Sedangkan menurut Bapak Deni Dwiraharja
selaku Manajer Produksi PT. Nindya Karya mengatakan “SDM yang ada di perusahaan dirasa
belum siap dan kemauan yang ada datang dari karyawan sendiri masih belum besar (belum
antusias untuk mempelajari teknologi baru)”. Karyawan yang memiliki keterampilan baru dapat
membantu perusahaan mewujudkan transformasi digital mereka, karena karyawan paling
berpengaruh dengan adanya perubahan teknologi dalam suatu organisasi akan berdampak langsung
pada lingkungan kerja mereka. Dari hasil kuesioner bahwa sebagian perusahaan konsultan telah
memiliki < 25 % dari total karyawan yang memiliki keahlian dalam teknologi Industri 4.0, hal itu
dikarenakan keterbukan karyawan yang masih kurang terhadap perkembangan teknologi Industri
4.0 .
 Produk dan Layanan
Pada pilar produk dan layanan perusahaan supplier berada pada level 3 yang berarti memiliki
‘’kesiapan matang’’ Dimana dalam menghadapi ancaman persaingan pasar, perusahaan supplier
saat ini menyadari kebutuhan untuk memberikan pelayanan yang memuaskan untuk pelanggan
khususnya permintaan pelanggan dalam membuat atau mengkostumisasi produk yang sesuai
dengan keinginan stakeholder seperti owner maupun kontraktor terkait menciptakan sebuah
proyek. Pak Santo Mugi dari PT PP Urban Divisi Precast mengatakan bahwa ‘’Perusahaan-
perusahaan supplier saat ini terutama precast beton sudah menghadirkan kustomisasi produk,

18
yaitu pelanggan dapat melakukan kustom produk yang sesuai dengan keinginan. Bentuk seperti
apapun, selama kita dari perusahaan mempertimbangkan kaidah transportasi, kaidah metode, dan
akses menuju proyek, kita bisa mengkustomnya, inovasi dalam bentuk kustom yang pasti
menghasilkan proses dan produk yang baru, dari sisi inovasi proses, sisi efisiensi beton, sisi proses
handly, pengaturan alur kerja produk dan alat berat’’. Sedangkan untuk konsultan produk dan
layanan nya berada pada level 1 yang artinya masih kesiapan awal dalam bertransformasi ke
Industri 4.0. seperti yang kita ketahui bahwa konsultan adalah sebuah jasa perencanaan yang
menghasilkan sebuah produk berupa gambar atau DED. Jadi hanya sebagian kecil teknologi yang
dapat dimanfaatakan oleh perusahaan konsultan hanya terkait dengan penggunaan perangkat lunak
atau software seperti BIM untuk menunjang pekerjaan perusahaan. Menurut Bapak Zamrud dari
PT. Virama Karya “jasa konsultasi tidak melulu tentang BIM, belum ada software yang bisa
integrasi, tetapi pada fase DED kita perlu integrasi yang lain. Digitalisasi ini bisa mengurangi
efsiensi sangat besar, produk kita hanya paper, tidak ada efisiensi, BIM hanya kecil sekali, proses
pembelajaran perlu dilakukan”. Pada perusahaan kontraktor Pilar Produk dan Layanan berada
pada level 2, artinya produk dan layanan dari perusahaan mulai bertransformasi ke Industri 4.0.
Pada pilar ini, kustomisasi produk sangat berkaitan dengan kontraktor, karena setiap produk yang
dihasilkan, yaitu proyek konstruksi sangat bergantung terhadap permintaan klien. Oleh karena itu,
semakin meningkatnya kustomisasi produk, maka harus dibarengi dengan peningkatan
kemampuan personil perusahaan. Dengan adanya kustomisasi produk yang dibarengi dengan
peningkatan digital akan dapat menurunkan biaya operasi internal (Oesterreich and Teuteberg,
2016). Selain kustomisasi produk, juga ada layanan berbasis data, yang dapat diartikan sebagai
kesiapan perusahaan untuk menyediakan basis data produk yang akan dijual atau dipasarkan yang
dapat diakses baik oleh pelanggan dan perusahaan itu sendiri. Juga perusahaan harus memiliki data
dari pelanggan misalnya data setiap pesanan dengan detail (Castelo-branco et al., 2019). Banyak
dari perusahaan telah memiliki basis data produk yang komprehensif walaupun belum optimal
untuk diakses oleh stakeholder rantai pasok konstruksi terkait.
 Teknologi
Dari hasil analisis data, level kesiapan industri konstruksi pada Pilar Teknologi masih berada pada
level 1. Artinya, teknologi yang dimiliki perusahaan masih dalam tahap rencana untuk
bertransformasi menuju Industri 4.0. Salah satu kendala terbesar yang dihadapi industri konstruksi
Indonesia, yaitu infrastruktur teknologi, dimana banyak inovasi baru yang hadir di era Industri 4.0
ini. Teknologi yang cukup populer, yaitu Internet of Things (IoT), dimana dengan adanya teknologi
ini memudahkan proses komunikasi antara mesin, perangkat, sensor, dan manusia melalui jaringan
internet. Teknologi ini sangat penting di industri konstruksi karena kesuksesan dan kelancaran
sebuah proyek konstruksi dinilai dari adanya kolaborasi dan komunikasi antar stakeholder terkait.
Oleh karena itu, dengan adanya IoT diharapkan mampu menunjang kebutuhan pertukaran
informasi dan terciptanya komunikasi yang baik di semua bagian yang terlibat (Osunsanmi dkk,
2018). Namun, teknologi ini belum banyak digunakan oleh pelaku industri konstruksi,
penggunaannya masih terbatas pada perusahaan BUMN.
Dari data yang sudah dikumpulkan dan di analisis, kesiapan teknologi berada pada level 1, yang
dapat diartikan bahwa teknologi perusahaan masih berada pada ‘’kesiapan awal’’ yaitu teknologi
dalam rencana untuk ditransformasi ke Industri 4.0. Sehingga masih dikatakan cukup jauh bagi
perusahaan konsultan untuk mengimplementasikan teknologi digitalisasi terkait dengan Industri
4.0. Menurut Bapak Ignatius dari PT. Wiratman “Pemahaman 4.0 tidak hanya digitalisasi, dari
tahun 89 juga kami sudah mulai digital tetapi baru autocad. Bukan hanya BIM, kami juga sudah
mulai dari 2010, kalau ujungnya dari konsultan investasinya luar biasanya. Kami targetnya
dibawah 2 tahun sudah full. Harapan kami ada bantuan dari stakeholder yang lain untuk
implementasi ini. Misalnya, menggunakan BIM mendapat insentif misalnya loan. Kami sudah
merencanakan 2 tahun lalu, tetapi itu tidak mudah, bagaimana harganya, infrastrukturnya.:”
 Onsite dan Offsite Operations
Pilar onsite dan offsite operations rata rata berada pada level 2 yaitu kesiapan sedang pada
perusahaan supplier dan konsultan, atau pada tahap ‘’kesiapan awal’’ yang dapat diartikan bahwa
sudah mulai mengenal Industri 4.0. Apabila dilihat dari hasil analisis data yang telah dilakukan,
penyimpanan data perusahaan rata-rata masih dilakukan di pusat server internal perusahaan atau
departemen IT perusahaan, sehingga untuk sharing data masih belum seefektif apabila

19
menggunakan Cloud yang sudah terintegrasi dengan ERP (Enterprise Resource Planning). Lalu,
dari segi sistem perawatan mesin atau alat konstruksi, rata-rata perusahaan sudah perawatan
preventif, dimana pemeliharaan dan perawatan yang dilakukan dilakukan sebelum terjadinya
permasalahan pada mesin/alat. Sedangkan pada perusahaan kontraktor, pilar ini masih berada pada
level 1. Artinya, perusahaan sudah memiliki rencana untuk bertransformasi menuju Industri 4.0.
Pilar ini berkenaan dengan proses produksi yang terjadi di lapangan/ site maupun di luar site/
fabrikasi. Aspek penting pada pilar ini, antara lain sistem perawatan cerdas pada mesin dan alat
konstruksi, proses otomasi, penyimpanan dan sharing data, serta rantai pasok dan logistik.
Sebagian besar, perusahaan kontraktor masih menggunakan sistem perawatan korektif, dimana
perawatan dilakukan setelah ada kerusakan yang terdeteksi, baik itu kerusakan ringan, sedang
maupun kerusakan berat. Lalu, penyimpanan data pada perusahaan kontraktor masih dilakukan
pada server masing-masing departemen, sehingga untuk sharing data belum terlalu efektif apabila
menggunakan penyimpanan pada Cloud Computing.
Setelah peneliti melakukan analisa pilar yang mempengaruhi tingkat kesiapan Industri 4.0,
kemudian dilakukan pemetaan terhadap level perusahaan, apakah perusahaan sudah berada pada
level menerapkan atau belum, berikut hasil level perusahaan para pelaku industri konstruksi :

Level Kesiapan Perusahaan


66.67%

56.76%
50.00%

37.84%

21.43% 21.43%
13.33% 13.33%
5.41% 6.67% 7.14%
0.00% 0.00%
0.00%
0.00%

Level 0 Level 1 Level 2 Level 3 Level 4

Kontraktor Konsultan Supplier

Gambar 3: Level Kesiapan Perusahaan Industri Konstruksi

20
Tingkat Kesiapan Pelaku Industri Konstruksi Menurut
Owner (Pemerintah & Swasta)
1 2 3

Sudah Menerapkan
2
5%
Siap
12
31%
Belum Siap
25
64%

Total Responden:
39
Gambar 4: Tingkat Kesiapan Pelaku Indutri Konstruksi Menurut Owner
Dari hasil kuesioner yang telah disebarkan kepada owner, baik dari owner swasta maupun
Pemerintah, tingkat kepentingan pengimplementasian Industri 4.0 oleh pelaku industri konstruksi
jika dilihat dari sisi owner dibedakan menjadi 3, yaitu belum dibutuhkan, penting dan sangat
penting. Secara garis besar, yaitu sebanyak 63% responden menganggap bahwa hal ini sangat
penting, kemudian sebanyak 37% menjawab bahwa hal ini penting dan tidak ada responden yang
mengatakan bahwa pengimplementasian Industri 4.0 oleh pelaku industri konstruksi belum
dibutuhkan. Maka, dapat disimpulkan bahwa menurut owner penerapan ini sangat penting dan
owner mendukung adanya penerapan Industri 4.0 oleh para pelaku industri konstruksi dimana
dalam peneltian ini yang dimaksud adalah kontraktor, supplier dan konsultan. Melihat respon yang
diberikan oleh owner sebagai pemilik proyek dan pemilik dana, maka seharusnya owner dapat
melakukan langkah-langkah yang dapat mendorong penggunaan teknologi yang berkaitan dengan
Industri 4.0. Seperti, apabila owner merupakan owner swasta, maka dapat meminta kepada pelaku
industri terkait untuk dapat menggunakan teknologi-teknologi tertentu, seperti contohnya, owner
dapat meminta adanya penggunaan metode BIM dalam pengerjaan proyek. Lalu, apabila owner
yang dimaksud adalah Pemerintah, maka terdapat beberapa langkah lain yang dapat dilakukan,
diantaranya adalah owner Pemerintah sebagai pemegang dan pembuat kebijakan, maka dapat
memberlakukan peraturan yang bersifat mewajibkan kepada pelaku industri konstruksi untuk
menggunakan teknologi-teknologi tertentu. Hal lain yang dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah
dengan memberikan nilai harga satuan yang berbeda pada proyek-proyek yang menggunakan
metode atau teknologi terkait.

21
1.2 Alasan Pentingnya Impelementasi Industri 4.0 Menurut Owner

Alasan Pentingnya Implementasi Industri 4.0 Menurut Owner


Mempermudah dan meningkatkan efisiensi pekerjaan 29.69%
Menyesuaikan perkembangan zaman 19; 26.56%
Mempermudah controlling dan monitoring 17; 10.94%
Efisiensi anggaran 7; 7.81%
Mengurangi kegagalan 5; 6.25%
Akuntabel dan analisa akan lebih akurat 4; 4.69%
Mempermudah pengarsipan 3; 3.13%
Benefit yang akan didapat besar 2; 3.13%
Mempermudah pendataan aset PUPR 2; 1.56%
Mempercepat pengambilan keputusan 1; 1.56%
Menghindari konflik kepentingan 1; 1.56%
Untuk mengatasi biaya personil yang semakin tinggi 1; 1.56%
Integrasi Data 1; 1.56%

Gambar 5: Alasan Pentingnya Implementasi Industri 4.0 Menurut Owner


Beberapa alasan yang melatar belakangi pentingnya pengimplementasian Indusri 4.0 jika dilihat
oleh owner adalah yang pertama karena pengimplementasian Industri 4.0 dapat mempermudah dan
meningkatkan efisiensi pekerjan, hal ini dapat terjadi karena kebanyakan proses konstruksi sudah
otomatis dan menggunakan teknologi digital dimana terdapat konektivitas pada setiap komponen
proyek yang didukung dengan adanya koneksi pada internet. Alasan kedua adalah perubahan ini
terjadi karena adanya tuntutan, dunia telah secara perlahan maju menuju Industri 4.0, dan hal ini
lama kelamaan akan menuntut Industri konstruksi, begitu pula dengan yang ada di Indonesia untuk
mengikuti hal ini, untuk dapat bersaing dan bertahan, terlebih persaingan yang ada saat ini sangat
ketat, dimana perusahaan asing dapat masuk atau melakukan kerjasama, sehingga daya saing
semakin tinggi dan semakin ketat. Kemudian alasan ketiga adalah dengan adanya teknologi-
teknologi baru ini dapat mempermudah controlling dan monitoring, dimana hal ini sangat
didukung dengan adanya kemampuan untuk dapat mengetahui progress proyek secara real time,
sehingga personil perusahaan dapat melakukan monitoring dan controlling dengan lebih mudah
dan lebih akurat. Lalu alasan berikutnya adalah analisa yang dilakukan dapat lebih akurat serta
mempermudah pengarsipan, hal ini dapat didukung dengan adanya kemampuan virtualisasi dan
simulasi yang mampu dihadirkan pada era 4.0 ini, yaitu dengan adanya Virtual Reality dan
Augmented Reality, kemudian fungsi pengarsipan dapat menjadi lebih mudah, efisien dan
komprehensif karena semua data dapat tersimpan melalui adanya Cloud Computing dan Big Data
sehingga semua keputusan adalah data based dan pengarsiapan menjadi lebih rapi dan
komprhensif.

22
1.3 Potensi Manfaat dari Pengimplementasian Industri 4.0 Menurut Owner
Potensi Manfaat dari Pengimplementasian Industri 4.0 Menurut
Owner

Memiliki database mengenai proyek dan stakeholder


29; 21.32%
yang komprehensif dan mudah diakses karena…

Adanya kemudahan dalam mengintepretasikan suatu


27; 19.85%
proyek (karena sudah memiliki teknologi virtualisasi…

Dapat meningkatkan alur komunikasi yang baik dan


28; 20.59%
efisien dengan stakeholder terkait

Mempermudah dalam pengambilan keputusan 25; 18.38%

Data analisis, dapat menganalisis keadaan dan


23; 16.91%
perkembangan di lokasi proyek dengan lebih akurat…

Desain lebih akurat 1; 0.74%

Efisiensi biaya dan personil 2; 1.47%

Menjamin profitability usaha 1; 0.74%

Gambar 6: Potensi Manfaat dari Pengimplementasian Industri 4.0 Menurut Owner


Potensi manfaat yang mungkin didapatkan oleh pelaku industri konstruksi menurut pandangan dari
owner, diantaranya adalah kepemilikan atas database proyek yang komprehensif, dengan data yang
komprehensif, maka setiap keputusan yang diambil akan didasari dengan data yang sudah ada,
sehingga semua keputusan yang diambil memiliki alasan dan tidak hanya berdasarkan perkiraan
semata. Lalu kemudahan dalam mengintepretasikan proyek, dimana hal ini dapat memberikan
keuntungan pada penghematan waktu dan mengurangi adanya kemungkinan miss design, karena
design dapat dipresentasikan secara visual kepada semua pihak dalam waktu bersamaan melalui
teknologi seperti VR dan AR. Kemudian adalah dapat meningkatkan alur komunikasi yang baik
dan efisien, hal ini adalah karena teknologi yang dihadirkan dengan basis internet, yang dapat
meningkatkan konektivitas antar komponen proyek dan antar stakeholder yang terkait, serta
adanya kemampuan mengakses progress proyek secara real time yang dapat dilakukan oleh pihak-
pihak yang memang memiliki akses, sehingga tidak perlu ada alur komunikasi yang bertele-tele
antar 1 stakeholder dan yang lain.

23
1.4 Kendala yang dihadapi Para Pelaku Industri Konstruksi Terhadap Penerapan Industri 4.0

Kendala Penerapan I4.0 oleh Pelaku Industri Konstruksi


63%
Kapasitas SDM masih kurang 56%
55%
46%
6%
Teknologi, alat, dan infrastruktur digital belum memadai 12%
20%
33%
25%
Mahalnya biaya dan investasi 12%
25%
4%
6%
Komitmen Top Management masih kurang 10%
0%
9%
0%
Kurangnya edukasi, sosialisasi, dan pelatihan 10%
0%
9%

Konsultan Kontraktor Supplier Owner

Gambar 7: Kendala Penerapan Industri 4.0


Kendala yang paling dirasakan oleh semua pelaku industri konstruksi disini adalah kurangnya
kemampuan dan kompetensi yang dimiliki oleh Sumber Daya Manusia yang dimiliki oleh
perusahaan. SDM yang ada di perusahaan belum menguasai penggunaan hardware dan software
baru terkait Industri 4.0. Selain itu, jumlah personil yang mampu mengoperasikan teknologi ini
masih sedikit. Sehingga diperlukan adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan serta
kompetensi yang dimiliki oleh SDM perusahaan, selain itu diperlukan juga penambahan jumlah
personil yang kompeten. Kemudian, kendala yang dialami adalah bahwa pelaku industri konstruksi
belum memiliki hardware, software dan infrastruktur teknologi yang memadai. Dimana
pemenuhan ini memerlukan biaya yang cukup besar serta dibutuhkan waktu baik untuk
membelinya dan untuk mempelajarinya, selain itu, diperlukan pengetahuan yang cukup dari pihak
perusahaan sebelum melakukan investasi untuk pemenuhan teknologi ini, agar investasi yang
dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan perusahaan, dan merupakan teknologi yang dapat
mendatangkan manfaat terbesar bagi perusahaan. Kendala berikutnya yang dirasakan adalah
besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan, terlebih kurangnya pengetahuan
mengenai benefit dan kemungkinan resiko menyebabkan kekhawatiran bagi perusahaan untuk
mengeluarkan investasi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan adanya peningkatan
awareness dan pengetahuan, sehingga perusahaan dapat mengetahui benefit yang akan didapatkan.

24
1.5 Waktu yang Dibutuhkan Para Pelaku Industri Konstruksi dalam Menerapkan Industri 4.0
Kedepan nya
Waktu Pengimplementasian I4.0 oleh Pelaku Industri Konstruksi
100%

90% 87% 86%

80%
69%
70%
58%
60%

50%

40%

30%
21%
18%
20% 14%

10% 7% 5% 4% 7% 5%
0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
0%
1 - 5 Tahun Kedepan 5 - 10 Tahun Kedepan 10 - 20 Tahun Kedepan < 1 Tahun Kedepan > 20 Tahun Kedepan

Supplier Konsultan Owner Kontraktor

Gambar 7: Waktu Pengimplementasian Industri 4.0 oleh Pelaku Industri Konstruksi


Dari semua stakeholder yang terkait, beranggapan bahwa dalam waktu 1 – 5 tahun ke depan kita
akan dapat mengimplementasikan Industri 4.0 di bidang konstruksi. Maka dapat disimpulkan
bahwa semua stakeholder optimis. Namun, masih banyak perusahaan yang belum memiliki
roadmap, dimana roadmap merupakan salah satu langkah nyata yang dapat dilakukan perusahaan
untuk menentukan langkah yang dapat diambil untuk perlahan menerapkan Industri 4.0.
Optimisme yang tinggi dari semua stakeholder terkait seharusnya diikuti dengan adanya tindakan
untuk bertransformasi menuju Konstruksi 4.0. Hal ini dapat dilakukan baik oleh owner maupun
oleh perusahaan, owner dapat memberikan suatu keharusan untuk menerapkan terknologi terkait
atau sebagai pembuat kebijakan, Pemerintah dapat membuat kebijakan baru yang mendukung
penerapan Industri 4.0 atau dengan melakukan sosialisasi dan edukasi bagi perusahaan mengenai
teknologi ini. Dengan kata lain, diperlukan adanya standarisasi teknologi. Kemudian, perusahaan
juga harus memulai untuk menentukan langkah-langkah yang akan diambil, karena cepat atau
lambat perusahaan harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang terjadi agar
dapat bertahan dan bersaing dengan perusahaan lain.

25
1.6 Pandangan Para Pelaku Industri Konstruksi tentang Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat (PUPR) 22 Tahun 2018.

Pandangan Pelaku Industri Konstruksi terhadap Permen PUPR 22/2018

58%
Setuju dan Mendukung 55%
53%
33%
28%
BIM dapat merencanakan dan mengontrol proses 30%
konstruksi 47%
33%
6%
Butuh biaya yang tinggi 0%
0%
22%
3%
Perlu adanya edukasi, sosialisasi, dan pelatihan 9%
0%
11%
6%
Lebih efektif untuk high-rise building (> 6 lantai) 6%
0%
0%

Kontraktor Owner Supplier Konsultan

Peraturan Menteri Republik Indonesia 22/PRT/M/2018 mewajibkan penggunaan BIM (Building


Information Modelling) pada Bangunan Gedung Negara tidak sederhana dengan luas diatas 2000 m²
dan di atas 2 lantai. Kebanyakan perusahaan setuju dan mendukung pemberlakuan peraturan tersebut,
berharap dengan adanya pengimplementasian BIM maka dapat mempercepat proses konstruksi, seperti
yang disampaikan oleh Beatriks Thomana dari PT. Brantas Abipraya “saya setuju dengan adanya
penerapan BIM, karena perusahaan bisa melakukan perencanaan dan controlling proses konstruksi
baik yang akan dilaksanakan maupun yang tengah dilaksanakan”. Pengimplementasian BIM juga
dapat mengurangi adanya miss design sehingga, dalam pelaksanaan tidak akan mengalami banyak
perubahan desain. Keuntungan lain yang didapat dari pengimplementasian BIM adalah bisa
meningkatkan efisiensi terhadap waktu, biaya, tenaga kerja dan juga memungkinkan adanya efisiensi
terhadap material pada saat proses konstruksi berlangsung. Selain itu, dengan adanya
pengimplementasian Industri 4.0 salah satunya dengan kewajiban menggunakan BIM, dianggap dapat
memicu persaingan yang baik antar sesama pelaku industri konstruksi, dan dapat meningkatkan
produktivitas perusahaan, karena tingkat akurasi perhitungan dan visualisasi yang lebih tinggi. Permen
PUPR 22/2018 pun dianggap dapat mengurangi friksi atau perdebatan yang kerap terjadi dalam sebuah
siklus proyek. BIM dapat dikatakan sebagai alat bantu yang handal sebagai alat kontrol atau manajemen
proyek yang dapat dijadikan standar pelaporan baik untuk internal kontraktor maupun untuk ke pihak
owner. Meski kebanyakan perusahaan setuju dan mendukung dengan adanya kewajiban penggunaan
BIM, terdapat beberapa hal yang dirasa masih kurang dalam hal ini. Seperti dari segi biaya, kewajiban
penggunaan BIM dirasa sangat memberatkan untuk diterapkan pada nilai proyek yang kecil karena
prosesnya yang padat akan teknologi, belum lagi bagi perusahaan yang baru akan memulai, karena
perangkat yang harus dimiliki tidak murah harganya, dan perusahaan masih merasa sulit untuk
mendapatkan software dengan lisensi yang resmi, terlebih untuk pembelian dan atau menyewa akan
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Selain itu, sebagian perusahaan beranggapan bahwa peraturan
ini lebih efektif apabila diterapkan pada bangunan di atas 6 lantai atau high-rise building.

26
[1] J.A. Kraatz, K.D. Hampson, A.X. Sanchez, The global construction industry and R&D, R&D
Investment and Impact in the Global Construction Industry, 1st ed., Routledge, 2014, pp. 4–
23.
H. Kagermann, J. Helbig, A. Hellinger, W. Wahlster, Recommendations for Implementing the Strategic Initiative
INDUSTRIE 4.0: Securing the Future of German Manufacturing Industry, acatech, Munich, 2013.
[42] H. Lasi, P. Fettke, H.-G. Kemper, T. Feld, M. Hoffmann, Industry 4.0, Bus. Inf. Syst. Eng. 6 (2014) 239–
242.
[1] A. Dubois, L.-E. Gadde, The construction industry as a loosely coupled system: implications

for productivity and innovation, Constr. Manag. Econ. 20 (October (7)) (2002) 621–631.
[2] Y. Arayici, P. Coates, A system engineering perspective to knowledge transfer: a case study

approach of BIM adoption, in: T. Xinxing (Ed.), Virtual Reality – Human Computer
Interaction, ed., InTech, 2012.

27

Anda mungkin juga menyukai