Jati Utomo Dwi Hatmoko1, Joga Dharma Setiawan, Riqi Radian Khasani1, Pariyanto1, Dyah Ayu
Saraswati1, Daniel Hotland1
Abstrak
Dalam beberapa tahun terakhir, Industri 4.0 telah diperkenalkan sebagai era digitalisasi dan otomatisasi di lingkungan manufaktur.
Terlepas dari potensi manfaatnya dalam hal peningkatan produktivitas dan kualitas, konsep ini belum mendapatkan banyak perhatian
di industri konstruksi. Perkembangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa implikasi jangka panjang dari lingkungan manufaktur
yang terus didigitalkan dan otomatis masih belum diketahui secara luas pada industri konstruksi. Maksud dari jurnal ini dibuat adalah
untuk menilai tingkat kesiapan para pelaku Industri konstruksi di Indonesia dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 kendala yang
dihadapi oleh para pelaku industri konstruksi harapan kedepan nya untuk dapat menerapkan industri 4.0 dan strategi menuju Industri
4.0. Tujuannya adalah untuk membuka wawasan para pelaku industri konstruksi di Indonesia tentang Industri 4.0. Sasaran utama dari
penelitian ini adalah para pelaku industri konstruksi seperti owner, konsultan, kontraktor, dan supplier besar di Indonesia. Metode
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif berupa penyebaran kuesioner, wawancara dengan narasumber
berkompeten, dan FGD (Focus Group Disscusion).
1. PENDAHULUAN
Industri 4.0 mewakili revolusi industri keempat setelah mekanisasi, elektrik dan komputerisasi
lingkungan produksi (Kagermann et al., 2013). Ini berfokus pada peningkatan digitalisasi dan otomatisasi
industri manufaktur terutama melalui rantai nilai digital antara produk, mesin dan operator. Industri 4.0 akan
mempengaruhi industri manufaktur dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh teknologi smartphone
untuk dunia konsumen dengan perubahan perilaku dan sosial yang luas (Wang, 2018). Konsep ini telah
meluncurkan revolusi teknologi keempat seperti cyber physical system (CPS), Internet of things (IoT), Big
Data, Cloud Computing, dan Internet of services (IOS). Semua teknologi ini terhubung melalui internet yang
memungkinkan adanya interaksi dan pertukaran informasi tidak hanya antara manusia dan manusia, tetapi juga
antara mesin satu dengan mesin lain nya yang saling terhubung dan terintegrasi (Roblek et al, 2016).
Dalam beberapa tahun terakhir, Industri 4.0 telah diperkenalkan sebagai era digitalisasi dan otomatisasi
lingkungan manufaktur. Terlepas dari potensi manfaatnya dalam hal peningkatan produktivitas dan kualitas,
konsep ini belum mendapatkan banyak perhatian di industri konstruksi. Perkembangan ini didasarkan pada
kenyataan bahwa implikasi jangka panjang dari lingkungan manufaktur yang terus didigitalkan dan otomatis
masih belum diketahui secara luas (Oesterreich & Teuteberg, 2016). Namun, ada banyak tantangan khusus
yang dihadapi industri konstruksi misalnya, seluruh rantai nilai konstruksi atau rantai pasok nya sangat
dipengaruhi oleh kolaborasi yang erat dengan pelanggan (owner), subkontraktor, konsultan, supplier dan
pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu, proyek konstruksi memliki kompleksitas tinggi yang
membutuhkan tingkat pengetahuan spesialis yang lebih tinggi pula (Kraatz et al., 2014). Meskipun, industri
konstruksi menghadapi keprihatinan yang berbeda dari industri manufaktur dalam hal peningkatan
produktivitas. Seringkali, proyek konstruksi ditandai oleh sejumlah besar perusahaan yang berpartisipasi
dengan proses yang saling terkait terjadi pada tahap yang berbeda dan di lokasi yang berbeda. Proyek
konstruksi biasanya unik, terbatas waktu dan memerlukan tingkat penyesuaian yang tinggi (Dallasega, 2018)
Revolusi Industri Keempat tampaknya tidak hanya membawa manfaat dalam memajukan industri, tetapi
juga menghadirkan kembali wajah industri di Indonesia (Hidayatno et al.,2017). Untuk memajukan seluruh
sektor yang ada pada industri di Indonesia langkah maju Indonesia yaitu Pemerintah melalui Kementerian
Perindustrian akhirnya membentuk inisiatif “Making Indonesia 4.0” untuk menerapkan strategi tersebut ketika
memasuki era industri baru. Making Indonesia 4.0 telah diluncurkan baru-baru ini pada bulan April 2019 di 5
sektor, yaitu makanan dan minuman, tekstil dan mode, otomotif, elektronik, dan industri kimia. Industri
konstruksi, bagaimanapun, telah dikeluarkan dari daftar. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur telah berjalan
dengan cepat, dari sistem energi, transportasi jalan, gedung perkantoran dan sekolah, telekomunikasi, dan
jaringan pasokan air, yang semuanya membutuhkan kapasitas yang cukup, dan kecepatan serta produktivitas
industri konstruksi. Adopsi industri 4.0, cepat atau lambat, tidak terhindarkan dan diyakini dapat mempercepat
produktivitas, meningkatkan kapasitas, meningkatkan kualitas produk dan efisiensi industri konstruksi. Ini
akan meningkatkan daya saing industri, dengan kontribusi yang diharapkan bagi perekonomian Indonesia.
1
Oleh karena itu, untuk mendorong transformasi industri menuju Industri 4.0, sangat penting untuk menyelidiki
dan mengukur kesiapan industri konstruksi di Indonesia untuk era industri 4.0 yang akan datang. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menilai kesiapan industri konstruksi terhadap industri 4.0 menggunakan alat
pengindeksan, yang disebut Indeks Kesiapan 4.0 Industri Konstruksi Indonesia atau disingkat ICI4.0RI.
Pembahasan mengenai penelitian ini, khususnya mengenai penerapan Industri 4.0 di industri konstruksi
tentulah memiliki aspek yang luas untuk dapat diteliti sepenuhnya, maka itu perlu adanya batasan masalah
dalam penelitian ini, antara lain: Pada penelitian ini dilakukan pengambilan sampel pada beberapa perusahaan
kontraktor besar, perusahaan konsultan besar, owner Pemerintah dan swasta, serta perusahaan supplier
nasional besar yang ada di Indonesia. Penelitian ini hanya meninjau kesiapan perusahaan di industri konstruksi
bukan pada proyek yang sedang dilaksanakan dan penelitian ini dilakukan dengan cara pengisian kuesioner
dengan variabel yang telah ditetapkan dan wawancara langsung pada sebagian perusahaan.
Maksud dari penelitian ini adalah menilai tingkat kesiapan industri konstruksi di Indonesia terhadap
penerapan Industri 4.0. Sedangkan tujuan yang ingin di capai berdasarkan maksud dari penelitian ini adalah
sebagai berikut : Menganalisis seberapa jauh kesiapan industri konstruksi di Indonesia mempersiapkan diri
terhadap penerapan Industri 4.0 dilihat dari lima pilar. mengetahui kendala yang dihadapi industri konstruksi
di Indonesia dalam menghadapi Industri 4.0, Mengetahui perkiraan waktu yang dibutuhkan oleh industri
konstruksi di Indonesia untuk dapat menerapkan Industri 4.0, mengetahui pandangan dan seberapa besar
harapan industri konstruksi di Indonesia menerapkan Industri 4.0 dalam FGD (focus Group Disscussion)
2
perhatian yang diterima Industri 4.0 di bidang manufaktur lainnya. Saat ini, Building Information Modeling
(BIM) dianggap sebagai teknologi utama untuk digitalisasi lingkungan manufaktur konstruksi (Li & Yang,
2016). Other associated technologies and concepts are well-known manufacturing concepts that are still under
developed in construction supply chain.These include Product-Lifecycle-Management (PLM); Modularization
and Robotics; Information and Communication Technologies, such as Mobile Computing and Radio-
Frequency Identification (RFID), which is one of the key technologies for Cyber-Physical Systems; and so-
called based technologies like the Internet of Things, Internet of Services, Cloud Computing, Big Data, Smart
Factory, 3D-Printing, Cyber-Physical Systems or Embedded Systems. Augmented Reality, Virtual Reality and
the Human-Computer-Interaction also are seen as major components of Industry 4.0 that enable digitized
construction environments. However, their potential has not yet been fully exploited in supply chain
management. Oesterreich and Teuteberg point to benefits the construction industry can obtain through Industry
4.0. Reduced labor costs can be achieved through the use of robotics and automatic workflows. Automatic
tracking of equipment and materials (through the use of embedded sensors like RFID can reduce material
costs.Time savings can be obtained by using concepts like Prefabrication and Additive Manufacturing rather
than conventional construction technology. Thoughtful use of BIM can improve building quality by allowing
timely discovery of potential problems through increased detail and information in the design phase. Cloud
and BIM-based platforms or social media apps can efficiently improve collaboration among companies and
help to decrease project delivery time and keep projects under budget (Irizarry et al., 2013). Big data dapat
mendukung manajer proyek dalam pengambilan keputusan yang lebih efektif melalui peningkatan akses ke
informasi (Mcmalcolm, 2015). Meningkatkan keselamatan kerja di lokasi juga penting dalam konstruksi,
mengingat lingkungan kerja yang berbahaya di industri dan tingginya tingkat cedera dan kecelakaan kerja
(Chun et al., 2012) . Di sini, Pelatihan Keselamatan Virtual atau teknologi yang dapat dipakai seperti Kacamata
Cerdas, Helm Pintar atau Pakaian Kerja Cerdas dapat meningkatkan keamanan pekerja. Digunakan bersama
dengan perangkat seluler atau komputasi yang dapat dipakai, teknologi seperti Augmented Reality, Virtual
Reality, atau Reality Campuran dapat meningkatkan pemahaman pelanggan tentang produk desain awal dan
fase desain untuk menghindari perubahan yang sia-sia selama pelaksanaan proyek (Jones,2017).
3
Orang dan Budaya
Budaya dalam perusahaan adalah organisasi yang memiliki komitmen luas dalam membangun sumber daya
manusia (SDM), proses kerja, dan hasil kerja yang lebih baik. Budaya dalam perusahaan di era revolusi industri
4.0 mampu mengubah kinerja karyawan karena perkembangan teknologi. Revolusi industri 4.0 akan dirasakan
oleh generasi milenial, sementara banyak dari generasi ini akan menjadi pekerja (Bintoro, 2017). Dengan
munculnya teknologi digital dan internet yang semakin maju, hal itu akan mengubah kebiasaan para pekerja
di era revolusi industri sebelumnya. Namun, dengan berkembangnya revolusi industri 4.0 masih ada unsur
budaya kerja yang harus dijaga, ada sikap terhadap pekerjaan, bertanggung jawab, disiplin kerja dan etika,
serta tata krama juga harus diperhatikan oleh setiap karyawan. Ini bisa menjadi dasar untuk merancang dan
menyelesaikan program kerja (Limited, 2018). Kesimpulannya, budaya dan disiplin kerja dapat berubah
dengan perkembangan teknologi dan internet di era revolusi industri 4.0, sehingga untuk mengatasi gangguan
ini, harus mampu meningkatkan kemampuan, keterampilan, dan kerja sama tim dalam menghadapi perubahan
teknologi. Orang dan budaya memiliki kriteria kesiapan yang terdiri dari: Budaya, Transparansi Perubahan,
Pengembangan Kompetisi, Peran dan Tanggung Jawab, Keterampilan dan Sikap, dan Lingkungan Kerja.
Produk dan Layanan
Produk yang telah terintegrasi dengan Industri 4.0 adalah produk yang memiliki fitur teknologi di dalamnya.
fitur dapat didefinisikan sebagai produk yang memiliki antarmuka yang terhubung ke internet, memiliki fitur
penyimpanan data (RFID, barcode, dan sebagainya) serta produk yang telah disesuaikan berdasarkan
permintaan pengguna (Kementerian Perindustrian, 2019). Sementara layanan cerdas berbasis data
menunjukkan bahwa perusahaan sudah mulai menggunakan teknologi berbasis Industri 4.0. Penggunaan data
oleh pelanggan untuk pengembangan sistem layanan dan produk juga merupakan elemen yang diukur untuk
menentukan kesiapan perusahaan untuk memulai era Industri 4.0 (Kementerian Perindustrian, 2019). Dari
kelima elemen ini, maka sejumlah kategori dapat ditentukan, yaitu: Kustomisasi Produk, Layanan Berbasis
Data, dan Produk Cerdas.
Teknologi
Dari banyak tantangan beragam dan menarik yang kita hadapi saat ini, yang paling intens dan penting adalah
bagaimana memahami dan membentuk revolusi teknologi baru, yang tidak lain membutuhkan transformasi
manusia (Schwab, 2017). Implementasi Industri 4.0 ditampilkan oleh transformasi dari produksi tradisional ke
penggunaan aplikasi industri maju, seperti dalam revolusi industri sebelumnya. Karakteristik unik dari Industri
4.0 adalah integrasi dan konvergensi teknologi canggih yang dapat menciptakan terobosan inovasi yang belum
pernah terjadi sebelumnya (Kagermann, 2015; Schwab, 2017). Efek dari konvergensi sinergis dari
transformasi teknologi utama dipandang sebagai penentu: Digitalisasi, Mesin Cerdas, Konektivitas, Keamanan
Siber, Perangkat Keras Dan Perangkat Lunak, Dan Dukungan Teknis.
Onsite and Offsite Operations
Industri konstruksi saat ini bertindak sebagai pemimpin pertumbuhan ekonomi di banyak negara. Kegiatan
konstruksi terdiri dari operasi di tempat dan di luar lokasi. Operasi di tempat adalah semua kegiatan yang ada
di lokasi kerja, misalnya pengecoran beton kolom atau balok bangunan. Ada juga kegiatan di luar lokasi
konstruksi yang bertujuan untuk memberikan kemudahan kerja bagi kontraktor, misalnya prefabrikasi,
pracetak, dan fabrikasi di luar lokasi. Istilah-istilah ini merujuk pada metode konstruksi umum yang ditandai
dengan produksi di luar lokasi, sebagai contoh adalah komponen pracetak yang secara khusus dibuat sesuai
dengan pesanan kontraktor (Mao et al., 2004). Masalah utama bagi industri konstruksi secara umum, adalah
penurunan kualitas dan produktivitas produk, kekurangan tenaga kerja, masalah kesehatan dan keselamatan
kerja, dan ada pekerjaan yang tidak dapat dilakukan orang. Salah satu pilihan untuk mengatasi masalah industri
konstruksi adalah bergerak menuju industrialisasi dengan mengadopsi mekanisasi dan otomatisasi untuk
mencapai efektivitas dan efisiensi kerja di industri konstruksi (Syariazulfa, 2016). Dari uraian ini, maka
sejumlah kategori dapat ditentukan, yaitu: Sistem Perawatan Cerdas, Proses yang Otonom, Penyimpanan dan
Sharing Data, serta Rantai Pasok dan Logistik Cerdas.
4
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References
Pembuatan
Langkah-langkah yang diambil dalam
Road Map
MO.2 mengembangkan kebutuhan dan tujuan dari Zakaria et al. (2013)
Penerapan
perusahaan.
Industri 4.0
Strategi yang digunakan oleh
Sistem
Strategi perusahaan dalam menghadapi Kegiatan pelatihan oleh perusahaan dalam
MO.3 pelatihan Liao et al. (2017)
perubahan teknologi menerapkan teknologi baru
teknologi baru
Dukungan keuangan
Investasi untuk perusahaan dalam Dukungan Tersedianya biaya awal dan investasi
MO.5 Won et al. (2013)
INDI 4.0 pengembangan perusahaan finansial berkelanjutan untuk implementasi industri 4.0
menuju teknologi baru
5
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References
Pembentukan
Adanya unit khusus yang dibentuk untuk
MO.10 Divisi Khusus Zakaria et al. (2013)
Menerapkan teknologi baru ke pengembangan teknologi baru.
4.0
Manajemen dalam proses bisnis dengan
Implementasi membangun sistem manajemen
yang baik Standarisasi Penerapan standarisasi teknologi baru pada
MO.11 Ma et al. (2019)
teknologi baru proyek yang dikerjakan
6
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References
Kesadaran
untuk Pengetahuan SDM perusahaan mengenai
OB.2 (Ma et al. 2019)
Mendorong personel untuk menerapkan manfaat dan keharusan penerapan Industri 4.0
Keterbukaan
beradaptasi perubahan teknologi baru
terhadap perubahan
teknologi yang baru.
Kemampuan Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
OB.3 (Aulbur, 2016)
beradaptasi cara kerja baru.
7
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References
Lingkungan
Adanya situasi dan suasana kerja yang kondusif
OB.8 kerja yang (Haron,2013)
Implementasi industri 4.0 dan nyaman.
kondusif
Work Environment didukung oleh karakteristik
lingkungan kerja yang baik
Sharing Berbagi dan bertukar informasi dan pengetahuan
OB.9 (Haron,2013)
knowledge tentang industri 4.0
Produk dan Cara perusahaan untuk Adanya ketersediaan alat secara jumlah dengan (Oke, Aghimien,
Layanan memenuhi kebutuhan dan PL.1 Kesiapan alat spesifikasi yang memadai dan dalam kondisi Aigbavboa, &
keinginan pasar dengan cara yang baik Musenga, 2019)
Kustomisasi Produk
melakukan kustomisasi produk
Penguasaan Metode yang sesuai dengan detail dari setiap (Branco et al.,
sesuai permintaan pasar, hal ini PL.2
metode pemesanan. 2019)
juga dapat dikatakan sebagai
8
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References
Adanya sistem Sistem yang ditandai dengan adanya arus (Craveiro, Duarte,
Produk yang ditawarkan sudah PL.7 yang informasi yang baik dan sudah didukung dengan Bartolo, & Bartolo,
memiliki fitur teknologi yang terintegrasi konektivitas pada internet 2019)
Produk Cerdas dapat terhubung dengan
internet dan memiliki fitur Adanya komunikasi yang terjadi antara produk (Osunsanmi,
Penggunaan
penyimpanan data PL.8 dan mesin pada saat proses produksi maupun Aigbavboa, & Oke,
Internet
proses operasi. 2018)
9
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References
Teknologi
Pengumpulan seluruh data yang tepat dari semua (McMalcolm,
T.1 Big data
perangkat agar dapat diakses dalam satu platform 2015).
10
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References
11
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References
Human-
Sistem yang menghubungkan mesin dan manusia
Computer-
T.8 dengan komputer untuk meningkatkan (Son et al., 2012)
Interaction
produktivitas kerja
(HCI)
12
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References
13
Pillar Category Readiness Criteria Criteria Operational Definition References
14
Gambar 1 The Indonesia Construction Industry 4.0 Readiness Index (ICI4.0RI)
2. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian kami, kami bertujuan untuk memahami hubungan antara konsep dan perkiraan
Industri 4.0 di Industri konstruksi. Secara khusus, kami berusaha memahami sejauh mana konsep dan
penerapan Industri 4.0 pada industri konstruksi di Indonesia telah dilaksanakan. Dalam penelitian ini
sebagian besar telah dilakukan melalui studi kasus berbagai jenis literatur sebagai sumber data primer,
termasuk makalah ilmiah, jurnal, artikel, majalah yang berhubungan dengan topik Industri 4.0. Alat
pengumpul yang digunakan untuk mengukur tingkat kesiapan Industri 4.0 pada bidang industri
konstruksi yaitu kuesioner, yang mana butir butir kuesioner berisi 5 pilar dari ICI4.0RI dengan total 27
soal. Kuesioner pada dasarnya menanyakan responden terhadap tingkat kepentingan kriteria kesiapan
Industri 4.0 dan kesiapan perusahaan dalam menerapkan Industri 4.0. Kuesioner disebarkan kepada
para pelaku industri konstruksi besar (owner, konsultan, kontraktor, supplier) melalui 3 metode yaitu :
via pos, email, in person (di datangi langsung). Data yang diperoleh melalui survei kuesioner dengan
120 responden yang bekerja untuk perusahaan di industri konstruksi, hasil kuesioner yang telah didapat
kemudian dilakukan pengujian kualiditas data dengan uji validitas dan uji reabilitas. Untuk memetakan
hasil tingkat level kesiapan para pelaku industri konstruksi terhadap Industri 4.0 digunakan instrumen
spiderweb. Spider web didapat dari nilai rata-rata setiap pilar yang telah dihitung berdasarkan hasil
kuesioner yang telah disebarkan. Dari hasil analisa deskriptif kuantitatif setiap pilar kemudian digambar
dalam bentuk spider web kesiapan 5 pilar yang mendukung penerapan Industri 4.0 menggunakan skala
level 0 sampai 4 yang mengindikasikan rentang dari belum siap hingga sudah menerapkan. Langkah
selanjutnya setelah mengetahui tingkat level Industri konstruksi dilakukan musyawarah atau FGD
(Focus Group Disscusion) untuk mengetahui pandangan dan harapan dari para pelaku industri
konstruksi terhadap hasil yang telah dianalisis.
15
Analisa Spiderweb
Spider web digunakan untuk melihat seberapa jauh tingkat kesiapan penerapan Industri 4.0 di bidang
konstruksi oleh perusahaan supplier di Pulau Jawa pada setiap pilar yang telah ditentukan. Spider web
didapat dari nilai rata-rata setiap pilar yang telah dihitung berdasarkan hasil kuesioner yang telah
disebarkan. Dari hasil analisa deskriptif kuantitatif setiap pilar kemudian digambar dalam bentuk
spiderweb kesiapan 5 pilar yang mendukung penerapan Industri 4.0. Dalam menentukan rentang skala
interval, dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut : RS=(m-n)/b = (4-0)/5=0,8. Keterangan : RS:
Rentang skala pada interval kelas, m: Skor tertinggi pada skala likert, n: Skor terendah pada skala likert,
b: Jumlah kelas.
Tabel 1 Skala Level
Indeks Level Keterangan
0,0 < Mean ≤ 0,8 Level 0 Belum Siap Belum ada dukungan
Level 1 Memiliki rencana
0,8 < Mean ≤ 1,6 Kesiapan Awal
bertransformasi ke Industri 4.0
Mulai bertransformasi ke
1,6 < Mean ≤ 2,4 Level 2 Kesiapan Sedang
Industri 4.0
Sudah ditransformasikan ke
2,4 < Mean ≤ 3,2 Level 3 Kesiapan Matang
Industri 4.0
Sudah Sudah menerapkan seluruh
3,2 < Mean ≤ 4,0 Level 4
Menerapkan Industri 4.0
16
kesiapan pada setiap pilarnya. Berikut hasil kesiapan Industri 4.0 pada para pelaku industri
konstruksi berdasarkan lima pilar:
Manajemen dan
Organisasi
4
3
2
Onsite and Offsite
1 Orang dan Budaya
Operations
0
17
dilihat dari perusahaan yang setuju dengan ketetapan regulasi Pemerintah terkait dengan
penggunaan teknologi 4.0, khususnya BIM untuk pekerjaan konstruksi dari awal perencanaan
hingga pelaksanaan. Menurut Bapak Zamrud, selaku BIM Manager di PT. Virama Karya
mengatakan bahwa ‘’perusahaan sangat mendukung dengan berkembangnya teknologi saat ini,
Sejujurnya regulasi itu paling penting. Ada beberapa yang sudah menerapkan teknologi dari awal
hingga akhir. Dan setuju berbicara jasa konsultasi dan konstruksi tidak melulu tentang BIM.
Teknologi Industri 4.0 dapat memberikan kecepatan, tetapi proses pembelajaran harus dilakukan
untuk mengetahui efektivitas dari penggunaan Industri 4.0’’. Selain strategi perusahaan, investasi
merupakan hal paling penting untuk menerapkan Industri 4.0, rata-rata jumlah investasi
perusahaan tahun ini hanya 10% dari investasi per tahun yang telah dikeluarkan oleh perusahaan
untuk bertransformasi ke Industri 4.0. Menurut Bapak Nurkholid Widyapraja Mirza, BIM Manager
PT. Adhi Karya “salah satu kendala yang dirasakan oleh perusahaan untuk mengimplementasikan
Industri 4.0 adalah tingginya pendanaan yang harus dikeluarkan, khususnya untuk investasi di
bidang teknologi yang akan digunakan”. Artinya, perusahaan masih belum mempertimbangkan
perbandingan manfaat yang didapat dengan biaya yang dikeluarkan untuk kedepannya.
Orang dan Budaya
Orang merupakan unsur yang sangat penting dalam proses transformasi perusahaan ke Industri
4.0. Hal ini juga termasuk budaya dari karyawan perusahaan, seperti kedisiplinan, kemauan untuk
terus belajar dan menerima suatu perubahan (Kementerian Perindustrian, 2019) . Karyawan yang
cenderung terbuka dengan perubahan akan lebih siap untuk bertransformasi ke Industri 4.0,
sebaliknya jika karyawan bersikap antipati terhadap adanya perubahan, maka perusahaan akan
lebih sulit untuk menerapkan Industri 4.0. Level kesiapan industri konstruksi pada Pilar Produk
dan Layanan rata-rata berada pada level 2. Artinya, kesiapan orang dan budaya mulai
bertransformasi ke Industri 4.0. Dari hasil kuesioner dapat dilihat bahwa sebagian perusahaan
sudah memiliki rencana training/ workshop/ pendidikan/ sertifikasi terkait Industri 4.0, tetapi
sebagian besar perusahaan belum melakukan pelatihan. Hal ini disebabkan, karena ketertarikan
dari generasi muda saat ini lebih cenderung memilih jasa pelaksana konstruksi. Bapak Zamrud
BIM manager dari PT. Virama Karya mengatakan bahwa ‘Dan yang kita tahu disini, kita sebagai
konsultan bahwa regenerasi dari kita sangat terbelakang karena para millennial saat ini tidak
berminat masuk dunia konsultasi, dan cenderung masuk ke dunia konstruksi atau kontraktor.
Sehingga dalam pengguna dari digital sendiri itu tidak terakomodir ke dunia konsultan. Perlu
adanya subsidi sumber daya manusai untuk konsultan untuk pengguna digitalisasi‘’. Selain itu
Bapak Fauzi manager teknik dari PT. Waskita Beton Precast juga mengatakan bahwa‘’di
perusahaan kita memang sudah banyak karyawan baru yang memiliki pola pikir yang sangat maju,
kita yang menjadi karyawan lama harus beradaptasi dan mengikuti pola pikir mereka agar dapat
sejalan dengan mereka. kita juga sudah melakukan beberapa pelatihan untuk dapat melatih
keterampilan karyawan disini. Beberapa saat lalu kita sudah melakukan pelatihan di masing-
masing divisi pada bagian job desk masing-masing’’. Sedangkan menurut Bapak Deni Dwiraharja
selaku Manajer Produksi PT. Nindya Karya mengatakan “SDM yang ada di perusahaan dirasa
belum siap dan kemauan yang ada datang dari karyawan sendiri masih belum besar (belum
antusias untuk mempelajari teknologi baru)”. Karyawan yang memiliki keterampilan baru dapat
membantu perusahaan mewujudkan transformasi digital mereka, karena karyawan paling
berpengaruh dengan adanya perubahan teknologi dalam suatu organisasi akan berdampak langsung
pada lingkungan kerja mereka. Dari hasil kuesioner bahwa sebagian perusahaan konsultan telah
memiliki < 25 % dari total karyawan yang memiliki keahlian dalam teknologi Industri 4.0, hal itu
dikarenakan keterbukan karyawan yang masih kurang terhadap perkembangan teknologi Industri
4.0 .
Produk dan Layanan
Pada pilar produk dan layanan perusahaan supplier berada pada level 3 yang berarti memiliki
‘’kesiapan matang’’ Dimana dalam menghadapi ancaman persaingan pasar, perusahaan supplier
saat ini menyadari kebutuhan untuk memberikan pelayanan yang memuaskan untuk pelanggan
khususnya permintaan pelanggan dalam membuat atau mengkostumisasi produk yang sesuai
dengan keinginan stakeholder seperti owner maupun kontraktor terkait menciptakan sebuah
proyek. Pak Santo Mugi dari PT PP Urban Divisi Precast mengatakan bahwa ‘’Perusahaan-
perusahaan supplier saat ini terutama precast beton sudah menghadirkan kustomisasi produk,
18
yaitu pelanggan dapat melakukan kustom produk yang sesuai dengan keinginan. Bentuk seperti
apapun, selama kita dari perusahaan mempertimbangkan kaidah transportasi, kaidah metode, dan
akses menuju proyek, kita bisa mengkustomnya, inovasi dalam bentuk kustom yang pasti
menghasilkan proses dan produk yang baru, dari sisi inovasi proses, sisi efisiensi beton, sisi proses
handly, pengaturan alur kerja produk dan alat berat’’. Sedangkan untuk konsultan produk dan
layanan nya berada pada level 1 yang artinya masih kesiapan awal dalam bertransformasi ke
Industri 4.0. seperti yang kita ketahui bahwa konsultan adalah sebuah jasa perencanaan yang
menghasilkan sebuah produk berupa gambar atau DED. Jadi hanya sebagian kecil teknologi yang
dapat dimanfaatakan oleh perusahaan konsultan hanya terkait dengan penggunaan perangkat lunak
atau software seperti BIM untuk menunjang pekerjaan perusahaan. Menurut Bapak Zamrud dari
PT. Virama Karya “jasa konsultasi tidak melulu tentang BIM, belum ada software yang bisa
integrasi, tetapi pada fase DED kita perlu integrasi yang lain. Digitalisasi ini bisa mengurangi
efsiensi sangat besar, produk kita hanya paper, tidak ada efisiensi, BIM hanya kecil sekali, proses
pembelajaran perlu dilakukan”. Pada perusahaan kontraktor Pilar Produk dan Layanan berada
pada level 2, artinya produk dan layanan dari perusahaan mulai bertransformasi ke Industri 4.0.
Pada pilar ini, kustomisasi produk sangat berkaitan dengan kontraktor, karena setiap produk yang
dihasilkan, yaitu proyek konstruksi sangat bergantung terhadap permintaan klien. Oleh karena itu,
semakin meningkatnya kustomisasi produk, maka harus dibarengi dengan peningkatan
kemampuan personil perusahaan. Dengan adanya kustomisasi produk yang dibarengi dengan
peningkatan digital akan dapat menurunkan biaya operasi internal (Oesterreich and Teuteberg,
2016). Selain kustomisasi produk, juga ada layanan berbasis data, yang dapat diartikan sebagai
kesiapan perusahaan untuk menyediakan basis data produk yang akan dijual atau dipasarkan yang
dapat diakses baik oleh pelanggan dan perusahaan itu sendiri. Juga perusahaan harus memiliki data
dari pelanggan misalnya data setiap pesanan dengan detail (Castelo-branco et al., 2019). Banyak
dari perusahaan telah memiliki basis data produk yang komprehensif walaupun belum optimal
untuk diakses oleh stakeholder rantai pasok konstruksi terkait.
Teknologi
Dari hasil analisis data, level kesiapan industri konstruksi pada Pilar Teknologi masih berada pada
level 1. Artinya, teknologi yang dimiliki perusahaan masih dalam tahap rencana untuk
bertransformasi menuju Industri 4.0. Salah satu kendala terbesar yang dihadapi industri konstruksi
Indonesia, yaitu infrastruktur teknologi, dimana banyak inovasi baru yang hadir di era Industri 4.0
ini. Teknologi yang cukup populer, yaitu Internet of Things (IoT), dimana dengan adanya teknologi
ini memudahkan proses komunikasi antara mesin, perangkat, sensor, dan manusia melalui jaringan
internet. Teknologi ini sangat penting di industri konstruksi karena kesuksesan dan kelancaran
sebuah proyek konstruksi dinilai dari adanya kolaborasi dan komunikasi antar stakeholder terkait.
Oleh karena itu, dengan adanya IoT diharapkan mampu menunjang kebutuhan pertukaran
informasi dan terciptanya komunikasi yang baik di semua bagian yang terlibat (Osunsanmi dkk,
2018). Namun, teknologi ini belum banyak digunakan oleh pelaku industri konstruksi,
penggunaannya masih terbatas pada perusahaan BUMN.
Dari data yang sudah dikumpulkan dan di analisis, kesiapan teknologi berada pada level 1, yang
dapat diartikan bahwa teknologi perusahaan masih berada pada ‘’kesiapan awal’’ yaitu teknologi
dalam rencana untuk ditransformasi ke Industri 4.0. Sehingga masih dikatakan cukup jauh bagi
perusahaan konsultan untuk mengimplementasikan teknologi digitalisasi terkait dengan Industri
4.0. Menurut Bapak Ignatius dari PT. Wiratman “Pemahaman 4.0 tidak hanya digitalisasi, dari
tahun 89 juga kami sudah mulai digital tetapi baru autocad. Bukan hanya BIM, kami juga sudah
mulai dari 2010, kalau ujungnya dari konsultan investasinya luar biasanya. Kami targetnya
dibawah 2 tahun sudah full. Harapan kami ada bantuan dari stakeholder yang lain untuk
implementasi ini. Misalnya, menggunakan BIM mendapat insentif misalnya loan. Kami sudah
merencanakan 2 tahun lalu, tetapi itu tidak mudah, bagaimana harganya, infrastrukturnya.:”
Onsite dan Offsite Operations
Pilar onsite dan offsite operations rata rata berada pada level 2 yaitu kesiapan sedang pada
perusahaan supplier dan konsultan, atau pada tahap ‘’kesiapan awal’’ yang dapat diartikan bahwa
sudah mulai mengenal Industri 4.0. Apabila dilihat dari hasil analisis data yang telah dilakukan,
penyimpanan data perusahaan rata-rata masih dilakukan di pusat server internal perusahaan atau
departemen IT perusahaan, sehingga untuk sharing data masih belum seefektif apabila
19
menggunakan Cloud yang sudah terintegrasi dengan ERP (Enterprise Resource Planning). Lalu,
dari segi sistem perawatan mesin atau alat konstruksi, rata-rata perusahaan sudah perawatan
preventif, dimana pemeliharaan dan perawatan yang dilakukan dilakukan sebelum terjadinya
permasalahan pada mesin/alat. Sedangkan pada perusahaan kontraktor, pilar ini masih berada pada
level 1. Artinya, perusahaan sudah memiliki rencana untuk bertransformasi menuju Industri 4.0.
Pilar ini berkenaan dengan proses produksi yang terjadi di lapangan/ site maupun di luar site/
fabrikasi. Aspek penting pada pilar ini, antara lain sistem perawatan cerdas pada mesin dan alat
konstruksi, proses otomasi, penyimpanan dan sharing data, serta rantai pasok dan logistik.
Sebagian besar, perusahaan kontraktor masih menggunakan sistem perawatan korektif, dimana
perawatan dilakukan setelah ada kerusakan yang terdeteksi, baik itu kerusakan ringan, sedang
maupun kerusakan berat. Lalu, penyimpanan data pada perusahaan kontraktor masih dilakukan
pada server masing-masing departemen, sehingga untuk sharing data belum terlalu efektif apabila
menggunakan penyimpanan pada Cloud Computing.
Setelah peneliti melakukan analisa pilar yang mempengaruhi tingkat kesiapan Industri 4.0,
kemudian dilakukan pemetaan terhadap level perusahaan, apakah perusahaan sudah berada pada
level menerapkan atau belum, berikut hasil level perusahaan para pelaku industri konstruksi :
56.76%
50.00%
37.84%
21.43% 21.43%
13.33% 13.33%
5.41% 6.67% 7.14%
0.00% 0.00%
0.00%
0.00%
20
Tingkat Kesiapan Pelaku Industri Konstruksi Menurut
Owner (Pemerintah & Swasta)
1 2 3
Sudah Menerapkan
2
5%
Siap
12
31%
Belum Siap
25
64%
Total Responden:
39
Gambar 4: Tingkat Kesiapan Pelaku Indutri Konstruksi Menurut Owner
Dari hasil kuesioner yang telah disebarkan kepada owner, baik dari owner swasta maupun
Pemerintah, tingkat kepentingan pengimplementasian Industri 4.0 oleh pelaku industri konstruksi
jika dilihat dari sisi owner dibedakan menjadi 3, yaitu belum dibutuhkan, penting dan sangat
penting. Secara garis besar, yaitu sebanyak 63% responden menganggap bahwa hal ini sangat
penting, kemudian sebanyak 37% menjawab bahwa hal ini penting dan tidak ada responden yang
mengatakan bahwa pengimplementasian Industri 4.0 oleh pelaku industri konstruksi belum
dibutuhkan. Maka, dapat disimpulkan bahwa menurut owner penerapan ini sangat penting dan
owner mendukung adanya penerapan Industri 4.0 oleh para pelaku industri konstruksi dimana
dalam peneltian ini yang dimaksud adalah kontraktor, supplier dan konsultan. Melihat respon yang
diberikan oleh owner sebagai pemilik proyek dan pemilik dana, maka seharusnya owner dapat
melakukan langkah-langkah yang dapat mendorong penggunaan teknologi yang berkaitan dengan
Industri 4.0. Seperti, apabila owner merupakan owner swasta, maka dapat meminta kepada pelaku
industri terkait untuk dapat menggunakan teknologi-teknologi tertentu, seperti contohnya, owner
dapat meminta adanya penggunaan metode BIM dalam pengerjaan proyek. Lalu, apabila owner
yang dimaksud adalah Pemerintah, maka terdapat beberapa langkah lain yang dapat dilakukan,
diantaranya adalah owner Pemerintah sebagai pemegang dan pembuat kebijakan, maka dapat
memberlakukan peraturan yang bersifat mewajibkan kepada pelaku industri konstruksi untuk
menggunakan teknologi-teknologi tertentu. Hal lain yang dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah
dengan memberikan nilai harga satuan yang berbeda pada proyek-proyek yang menggunakan
metode atau teknologi terkait.
21
1.2 Alasan Pentingnya Impelementasi Industri 4.0 Menurut Owner
22
1.3 Potensi Manfaat dari Pengimplementasian Industri 4.0 Menurut Owner
Potensi Manfaat dari Pengimplementasian Industri 4.0 Menurut
Owner
23
1.4 Kendala yang dihadapi Para Pelaku Industri Konstruksi Terhadap Penerapan Industri 4.0
24
1.5 Waktu yang Dibutuhkan Para Pelaku Industri Konstruksi dalam Menerapkan Industri 4.0
Kedepan nya
Waktu Pengimplementasian I4.0 oleh Pelaku Industri Konstruksi
100%
80%
69%
70%
58%
60%
50%
40%
30%
21%
18%
20% 14%
10% 7% 5% 4% 7% 5%
0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
0%
1 - 5 Tahun Kedepan 5 - 10 Tahun Kedepan 10 - 20 Tahun Kedepan < 1 Tahun Kedepan > 20 Tahun Kedepan
25
1.6 Pandangan Para Pelaku Industri Konstruksi tentang Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat (PUPR) 22 Tahun 2018.
58%
Setuju dan Mendukung 55%
53%
33%
28%
BIM dapat merencanakan dan mengontrol proses 30%
konstruksi 47%
33%
6%
Butuh biaya yang tinggi 0%
0%
22%
3%
Perlu adanya edukasi, sosialisasi, dan pelatihan 9%
0%
11%
6%
Lebih efektif untuk high-rise building (> 6 lantai) 6%
0%
0%
26
[1] J.A. Kraatz, K.D. Hampson, A.X. Sanchez, The global construction industry and R&D, R&D
Investment and Impact in the Global Construction Industry, 1st ed., Routledge, 2014, pp. 4–
23.
H. Kagermann, J. Helbig, A. Hellinger, W. Wahlster, Recommendations for Implementing the Strategic Initiative
INDUSTRIE 4.0: Securing the Future of German Manufacturing Industry, acatech, Munich, 2013.
[42] H. Lasi, P. Fettke, H.-G. Kemper, T. Feld, M. Hoffmann, Industry 4.0, Bus. Inf. Syst. Eng. 6 (2014) 239–
242.
[1] A. Dubois, L.-E. Gadde, The construction industry as a loosely coupled system: implications
for productivity and innovation, Constr. Manag. Econ. 20 (October (7)) (2002) 621–631.
[2] Y. Arayici, P. Coates, A system engineering perspective to knowledge transfer: a case study
approach of BIM adoption, in: T. Xinxing (Ed.), Virtual Reality – Human Computer
Interaction, ed., InTech, 2012.
27