Anda di halaman 1dari 18

Problem Based Learning

Anemia Defisiensi Glukosa-6-Phospate-Dehydrogenase


Henry Sangapta Christian
10.2008.202
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Email: henreeeyy@hotmail.com

A. Pendahuluan
Anemia adalah kekurangan hemoglobin (Hb). Hb adalah protein dalam
sel darah merah, yang mengantar oksigen dari paru ke bagian tubuh yang lain.
Anemia menyebabkan kelelahan, sesak napas dan kepusingan. Orang dengan
anemia merasa badannya kurang enak dibandingkan orang dengan tingkat Hb
yang wajar. Mereka merasa lebih sulit untuk bekerja. Artinya mutu hidupnya
lebih rendah.
Tingkat Hb diukur sebagai bagian dari tes darah lengkap.Anemia
didefinisikan oleh tingkat Hb. Sebagian besar dokter sepakat bahwa tingkat
Hb di bawah 6,5 menunjukkan anemia yang gawat. Tingkat Hb yang normal
adalah sedikitnya 12 untuk perempuan dan 14 untuk laki-laki.Secara
keseluruhan, perempuan mempunyai tingkat Hb yang lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Begitu juga dengan orang yang sangat tua atau sangat
muda.
G6PD ini merupakan penyakit genetik yang sulit dideteksi kasat mata.
Penyakit ini baru bereaksi jika penderita bersentuhan dengan bahan oksidan,
seperti: mengkonsumsi obat-obat malaria (banyak mengandung oksidan),
makan kacang koro, mencium kapur barus, dll. Jika bersentuhan dengan bahan
tersebut penderita defiensi G6PD akan mengalami kejang otot, kelelahan otot,
infeksi kronis, anemia. Penderita G6DP juga memiliki kemungkinan besar
mengalami keguguran saat hamil dan melahirkan anak yang cacat.
Di Indonesia defisiensi G6PD ini merupakan penyakit yang kurang
populer. Meskipun kurang populer, populasi masyarakat Indonesia yang
terkena penyakit ini ternyata cukup tinggi sekitar 3,9% - 18,4% dan tersebar
dari Sabang sampai Merauke.

1
Ketidakpopuleran defisiensi G6PD terjadi karena penyakit ini sulit
dideteksi secara kasat mata - dalam kondisi biasa penderita defisiensi G6PD
tampak normal. Selain itu pada kenyataannya, selama ini para dokter juga
sering mengabaikan penyakit kekurangan enzim ini, sementara masyarakat
awam pun banyak yang belum mengetahui tentang penyakit ini karena
kurangnya penyuluhan.1, 2

B. Pembahasan
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan bertujuan untuk menyingkirkan diagnosis
banding yang lain. Selain itu, anamnesis dilakukan bertujuan untuk
mendeteksi adakah anggota keluarga yang lain yang turut mengalami
kondisi yang sama karena penyakit ini bersifat herediter. Di sini data yang
paling penting untuk diperolehi adalah riwayat penyakit terdahulu dan juga
riwayat penyakit keluarga.
Keluhan utama
1. Pucat dan lemas  anemia
Riwayat Pengobatan
1. Telah mengambil obat antibiotik
Anamnesis Tambahan
Anamnesis dilakukan secara allo-anamnesis kepada ibu pasien.
Intake :
1. Besi  sayur, daging ( asam amino glisin), hati )
2. Asam folat 
3. Vitamin B 12 
vegetarian, kurangnya daging merah, produk hewani dan sayuran
berdaun hijau - mungkin menunjukkan defisiensi makanan dari besi,
folat atau B12 sebagai penyebab anemia.
4. Nafsu makan anak bagaimana?
Riwayat penyakit sekarang
1. Trauma, perdarahan?
2. Demam sejak kapan?
3. Pucat sebelum atau setelah makan obat?
4. Jenis obat yang dikonsumsi? Paracetamol: oksidan
aspirin, obat anti-inflamasi, kortikosteroid dan warfarin
meningkatkan semua resiko kehilangan darah dari saluran
pencernaan, phenytoin dan methotrexate bisa mengurangi folat,

2
kloramfenikol, obat anti-kanker, sulphonamides dapat menyebabkan
kegagalan sumsum tulang.
Riwayat penyakit dahulu
1. Ginjal
2. Operasi jejunum dan ileum  Operasi perut atau usus kecil
sebelumnya dapat menyebabkan kekurangan vitamin B12, setiap
operasi baru-baru ini dapat menyebabkan kehilangan darah.
3. Penyakit kronis dapat menyebabkan anemia misalnya jaringan ikat
penyakit, keganasan, gangguan tiroid, penyakit Addison.
Riwayat penyakit keluarga
1. Apakah ada keluarga yang mengidap anemia?1, 3

2. Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : melihat pasien tampak sakit ringan, sedang atau berat.
Juga melihat kesadaran pada pasien.
 Periksa tanda-tanda vital :
 Tekanan darah
 Nadi
 Frekuensi nafas
 Suhu
 Inspeksi
Melakukan inspeksi pada wajah pasien untuk melihat apakah wajahnya
terlihat pucat atau tidak, konjunctiva anemis atau tidak, sclera ikterik
atau tidak.
 Palpasi
Pemeriksaan palpasi dengan cara meraba dilakukan pada thoraks,
abdomen dan lien untuk melihat apakan ada pembesaran pada bagian-
bagian tersebut atau masih dalam batas normal.

Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Darah Lengkap
No. Jenis Pemeriksaan Nilai Normal
1. Hb 13-16 g/dl
2. Leukosit 5.000-10.000 /µl
3. Hitung Jenis:
Basofil
0.1 %
Eosinofil

3
Neutrofil Batang 1-3 %
Neutrofil Segmen 2-6 %
Limfosit 50-70 %
Monosit 20-40 %
2-8 %
4. Trombosit 150.000-400.000 /µl
5. LED 0-10 mm/jam
6. MCV 82-92 fl
7. MCH 27-31 pg
8. MCHC 32-36 g/dl

Seseorang menderita anemia dapat dilihat dari kadar


hemoglobin dan hematokritnya. Selain itu, indeks eritrosit dapat
digunakan untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek
sintesa hemoglobin. Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan
bila > 100 dapat disebut sebagai makrositosis. Sedangkan MCH dan
MCHC dapat menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin
(hipokromia)3

3. Diagnosis
Diagnosis defisiensi G6PD berdasarkan penilaian aktivitas enzim,
secara kuantitatif dengan analisa spektrofotometri dari produksi
NADPH dari NADP, dipikirkan juga jika ditemukan hemolisis akut pada
laki-laki ras afrika. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang kemungkinan
terpapar dengan zat oksidan seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Pemeriksaan aktivitas enzim mungkin false negative jika eritrosit tua
defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu aktivitas enzim perlu diulang
2-3 bulan kemudian ketika ada sel-sel yang tua.
Aktivitas G6PD yang normal menurun hampir 50% pada waktu
usia eritrosit mencapai 120 hari. Pada Tipe A- penurunan ini terjadi sedikit
lebih cepat dan lebih cepat lagi pada ras afrika.
Sebagian besar individu defisiensi G6PD adalah asimtomatik
sepanjang hidup mereka, dan tidak menyadari keadaan ini. Pada umumnya
bermanifestasi sebagai anemia hemolitik akut, favism, neonatal jaundice,
atau anemia kronis non-hemolitik sferositik, yang biasanya muncul ketika
eritrosit mengalami stres oksidatif yang dipicu oleh zat oksidan seperti
obat-obatan, infeksi, atau mengkonsumsi kacang fava. Defisiensi G6PD

4
tampaknya tidak mempengaruhi angka harapan hidup, kualitas hidup atau
aktivitas individu. Beberapa gangguan klinis, seperti diabetes dan infark
miokard dan latihan fisik berat, telah dilaporkan memicu hemolisis pada
individu defisiensi G6PD; walaupun paparan bersama antara infeksi
atau oksidan obat dapat menyebabkan hal ini. Mekanisme yang tepat yang
meningkatkan sensitifitas terhadap kerusakan oksidatif menyebabkan
hemolisis tidak sepenuhnya diketahui penyebab hemolisis akut pada
defisiensi G6PD ditandai dengan kelelahan, sakit punggung, anemia, dan
jaundice. Peningkatan bilirubin tak terkonjugasi, laktat dehidrogenase,
dan retikulositosis adalah marker kelainan tersebut.2, 4

4. Diagnosis Banding
Anemia Sel Sabit
Penyakit Sel Sabit (sickle cell disease) adalah suatu penyakit
keturunan yang ditandai dengan sel darah merah yang berbentuk sabit dan
anemia hemolitik kronik. Pada penyakit sel sabit, sel darah merah
memiliki hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang bentuknya
abnormal, sehingga mengurangi jumlah oksigen di dalam sel dan
menyebabkan bentuk sel menjadi seperti sabit. Sel yang berbentuk sabit
menyumbat dan merusak pembuluh darah terkecil dalam limpa, ginjal,
otak, tulang dan organ lainnya; dan menyebabkan berkurangnya pasokan
oksigen ke organ tersebut. Sel sabit ini rapuh dan akan pecah pada saat
melewati pembuluh darah, menyebabkan anemia berat, penyumbatan aliran
darah, kerusakan organ dan mungkin kematian.

Penderita selalu mengalami berbagai tingkat anemia dan sakit


kuning (jaundice) yang ringan, tetapi mereka hanya memiliki sedikit gejala
lainnya. Berbagai hal yang menyebabkan berkurangnya jumlah oksigen
dalam darah, (misalnya olah raga berat, mendaki gunung, terbang di
ketinggian tanpa oksigen yang cukup atau penyakit) bisa menyebabkan
terjadinya krisis sel sabit, yang ditandai dengan:
 semakin memburuknya anemia secara tiba-tiba
 nyeri (seringkali dirasakan di perut atau tulang-tulang panjang)
 demam
 kadang sesak nafas.

5
Nyeri perut bisa sangat hebat dan bisa penderita bisa mengalami muntah;
gejala ini mirip dengan apendisitis atau suatu kista indung telur.

Pada anak-anak, bentuk yang umum dari krisis sel sabit adalah
sindroma dada, yang ditandai dengan nyeri dada hebat dan kesulitan
bernafas. Penyebab yang pasti dari sindroma dada ini tidak diketahui tetapi
diduga akibat suatu infeksi atau tersumbatnya pembuluh darah karena
adanya bekuan darah atau embolus (pecahan dari bekuan darah yang
menyumbat pembuluh darah). Sebagian besar penderita mengalami
pembesaran limpa selama masa kanak-kanak. Pada umur 9 tahun, limpa
terluka berat sehingga mengecil dan tidak berfungsi lagi. Limpa berfungsi
membantu melawan infeksi, karena itu penderita cenderung mengalami
pneumonia pneumokokus atau infeksi lainnya. Infeksi virus bisa
menyebabkan berkurangnya pembentukan sel darah, sehingga anemia
menjadi lebih berat lagi.
Lama-lama hati menjadi lebih besar dan seringkali terbentuk batu
empedu dari pecahan sel darah merah yang hancur. Jantung biasanya
membesar dan sering ditemukan bunyi murmur.
Anak-anak yang menderita penyakit ini seringkali memiliki tubuh
yang relatif pendek, tetapi lengan, tungkai, jari tangan dan jari kakinya
panjang.
Perubahan pada tulang dan sumsum tulang bisa menyebabkan nyeri
tulang, terutama pada tangan dan kaki. Bisa terjadi episode nyeri tulang dan
demam, dan sendi panggul mengalami kerusakan hebat sehingga pada
akhirnya harus diganti dengan sendi buatan.
Diagnosis: Anemia, nyeri lambung dan nyeri tulang serta mual-mual
pada seorang kulit hitam merupakan tanda yang khas untuk krisis sel sabit.
Pada pemeriksan contoh darah dibawah mikroskop, bisa terlihat sel darah
merah yang berbentuk sabit dan pecahan dari sel darah merah yang hancur.
Elektroforesis bisa menemukan adanya hemoglobin abnormal dan
menunjukkan apakah seseorang menderita penyakit sel sabit atau hanya
memiliki rantai sel sabit. Penemuan rantai sel sabit ini penting untuk
rencana berkeluarga, yaitu untuk menentukan adanya resiko memiliki anak
yang menderita penyakit sel sabit.

6
Sferositosis Herediter
Sferositosis herediter (HS) adalah penyakit dominan autosomal ini
menghasilkan sel darah merah yang abnormal dan biasanya timbul pada masa
kanak-kanak dengan pucat dan sering ikterus.
Patogenesis: HS biasanya disebabkan oleh defek protein yang
terlibat dalam interaksi vertical antara rangka membrane dan lapisan lemak
dua lapis eritrosit. Hilangnya membrane dapat terjadi akibat terlepasnya
bagian-bagian lemak dua lapis yang tidak ditunjang oleh rangka. Sumsum
tulang memproduksi eritrosit berbentuk bikonkraf normal, tetapi eritrosis
tersebut kehilangan membrannya dan menjadi semakin sferis (kehilangan
lus permukaan relative terhadap volume) selama bersirkulasi melalui
limpa dan system RE lainnya. Akhirnya sferosis tidak mampu melewati
mikrosirkulasi limpa, sehingga sferosit mati secara premature.
Gambaran klinis: Kelainan ini diwariskan secara dominan
autosomal dengan gambaran klinis bervariasi. Kadang-kadang dapat
bersifat resesif autosomal. Anemia dapat timbul pada usia berapapun dari
bayi sampai tua. Ikterus biasanya berfluktuasi dan sangat jelas bila anemia
hemolitik disertai penyakit gilbert (kelainan konjugasi bilirubin di hati)
splenomegali terjadi pada sebagian besar pasien. Batu empedu pigmen sering
ditemukan.
Temuan hematologik: Anemia lazim ditemukan, tetapi yidak selalu
ada; keparahannya cenderung serupa dengan anggota keluarga yang sama.
Retikulosit biasanya 5-20%. Sediaan apus darah memperlihatkan adanya
mikrosferosit yang terwarna padat dengan diameter lebih kecil
dibandingkan dengan eritrosit normal.
Pemeriksaan dan pengobatan: Temuan klasik adalah adanya
peningkatan fragilitas osmotik. Kelainan tersebut mungkin memerlukan
inkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC supaya tampak jelas.
Autohemolisis meningkat dan terkoreksi dengan glukosa. Eritrosit
diinkubasi dengan plasmanya sendiri selama 48 jam dengan atau tanpa
glukosa. Uji antiglobulin (Coombs) langsung hasilnya normal,
menyingkirkan penyebab sferositosis dan hemolisis autoimun. Bentuk utama
pengobatan adalah spelenektomi walaupun ini tidak boleh dilakukan kecuali

7
diindikasikan secara klinis karena anemia atau batu empedu, sebab terdapat
resiko sepsis pasca-spelenektomi, khususnya pada awal masa anak.anak.
Splenektomi harus selalu meningkatkan kadar hemoglobin menjadi normal,
walaupun mikrosferosit yang terbentuk di system RE sisanya akan tetap
ada. Asam folat diberikan pada kasus yang berat untuk mencegah
terjadinya defisiensi folat.

Intoksikasi Obat
Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat
yaitu: hapten/penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat,
pembentukan kompleks ternary (mekanisme kompleks imun tipe innocent
bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada
lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerapan/adsorpsi protein
nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes Coomb positip tanpa
kerusakan eritrosit.
Pada mekanisme hapten/absorpsi obat, obat akan melapisi eritrosit
dengan kuat. Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan
obat pada permukaan eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat
tersebut akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit
hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat
yang sama (misal penisilin).
Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau
metabolit obat, tempat ikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan
aktifasi komplemen. Antibodi melekat pada neoantigen yang terdiri dari
ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan
antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membran
eritrosit. Beberapa antibodi tersebut memiliki spesifisitas terhadap antigen
golongan darah tertentu seperti Rh, Kell, Kidd, atau I/i. Pemeriksaan
Coomb biasanya positif. Setelah aktifasi komplemen terjadi hemolisis
intravaskuler, hemoglobinemia dan hemoglobinuri. Mekanisme ini terjadi
pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamide, sulfonylurea, dan
thiazide.
Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap
eritrosit autolog, seperti contoh methyldopa. Methyldopa yang bersirkulasi

8
dalam plasma akan menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh
pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel
darah merah adalah autoantibodi, obat tidak melekat. Mekanisme
bagaimana induksi formasi autoantibodi ini tidak diketahui.
Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena
hemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan
mengalami kerusakan akibat zat oksidatif. Eritrosit yang tua makin mudah
mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi adalah
dengan ditemukannya methemeglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz bodies,
blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan
hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin,
aminosalicylic acid.
Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya tes Coomb
positip karena adsorpsi nonimunologis, immunoglobulin, komplemen,
albumin, fibrinogen dan plasma protein lain pada membran eritrosit.

Gambaran klinis: riwayat pemakaian obat tertentu positip. Pasien yang
timbul hemolisis melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya
bermanifestasi sebagai hemolisi ringan sampai sedang. Bila kompleks
ternary yang berperan maka hemolis akan terjadi secara berat, mendadak
dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut,
maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan dosis
tunggal.

Laboratorium: anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb positip.
Lekopenia, trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering
terjadi pada hemolisis yang diperantarai kompleks ternary.

Terapi: Dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu,
hemolisis dapat dikurangi. Kortikosteroid dan transfusi darah dapat
diberikan pada kondisi berat.2, 5, 6

5. Etiologi

Terjadinya kekurangan enzim G6PD disebabkan mutasi di dalam gen


G6PD. Gen G6PD memberikan arahan supaya enzim G6PD dibentuk.
Enzim ini terlibat dengan normal dalam metabolisme karbohidrat dan ia
juga melindungi sel-sel darah merah dari molekul berbahaya yang disebut

9
molekul oksigen reaktif. Reaksi kimia yang melibatkan G6PD
menghasilkan unsur yang mencegah molekul oksigen reaktif dan terkumpul
di dalam sel darah merah sekaligus melindungi sel darah merah sehingga
tidak pecah.
Sekiranya mutasi di dalam gen G6PD yang menyebabkan terjadinya
defisiensi enzim G6PD atau tertukar strukturnya, enzim ini tidak lagi dapat
memainkan peranannya sebagai pelindung sel darah merah sekaligus
menyebabkan pengumpulan molekul oksigen reaktif yang menyebabkan
kerusakan sel darah merah. Berkurangnya sel darah merah menyebabkan
timbulnya simptom dan tanda hemolitik anemia.
Banyak peneliti yakin bahwa carrier G6PD mungkin terlindung dari
penyakit malaria. Ini karena berkurangnya fungsi enzim G6PD
menyebabkan parasit sukar untuk masuk ke dalam sel darah merah.2, 4

6. Epidemiologi
Frekuensi defisiensi G6PD di Asia diperkirakan 14% di Kamboja, 5%
di Cina Selatan, 2.6% di India dan 0.1% di Jepang. 15 Di Indonesia
frekuensi defisiensi G6PD sebagai berikut, di Irian Barat 8%, di Sasak
18.4%, di Bima 12%, di Flores 4% 16,19, Jawa Tengah di Semarang adalah
14%, di pulau Buru dan Halmahera sekitar 6%. Penelitian di Sumatra Utara
3.9%. Penelitian di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta menemukan 2.6%
defisiensi G6PD pada 3200 bayi baru lahir pada tahun 1979. Sedangkan
penelitian di RS dr.Soetomo menemukan 3% defisiensi G6PD dari 480 bayi
baru lahir pada tahun 1995.
Distribusi defisiensi enzim G6PD mirip dengan distribusi penyakit
thalasemia sehingga timbul pemikiran bahwa terdapat keuntungan selektif
tertentu terhadap infeksi endemik malaria, bahkan pada waktu lampau.
Luzzatto dkk menemukan bahwa individu normal dibandingkan dengan
individu defisiensi G6PD yang heterozigot, parasit malaria lebih banyak
ditemukan pada normal eritrosit.
Hal ini menunjukkan kepadatan infeksi parasit malaria yang berkurang
pada individu heterozigot, yang memiliki korelasi langsung dengan insiden
mortalitas malaria yang lebih rendah sehingga memberikan keuntungan
survival bagi individu dengan defisiensi enzim G6PD. Hal tersebut

10
didukung dengan bukti penelitian bahwa defisiensi G6PD di Sardinia lebih
umum ditemukan di daerah pantai dari pada di dataran tinggi, serta
defisiensi G6PD didapatkan sejajar dengan endemis malaria. Namun hal ini
bukan berarti individu dengan defisiensi G6PD imun terhadap malaria, hal
ini dapat dijelaskan dengan terjadinya adaptasi Plasmodium falciparum
terhadap sel yang mengalami defisiensi dengan memproduksi sendiri enzim
G6PD.
Defisiensi G6PD pada pria dapat dengan mudah dideteksi dengan
menggunakan tes skrining tertentu. Tes paling sederhana dikembangkan
oleh Beutler dan Mitchell berdasarkan tes fluoresensi NADPH, yang
menunjukkan jumlah enzim G6PD yang cukup. Tes ini juga dapat
digunakan pada sampel darah yang kering pada kertas filter yang mirip
dengan kartu Guthrie. Tes semacam ini telah digunakan secara rutin di
Hong Kong pada neonatus.3, 7

7. Patofisiologi
Sel eritrosit dewasa tidak mengandung inti, organel intrasel seperti
mitokondria, lisosom atau aparatus Golgi. ATP merupakan unsur yang
penting dalam berbagai proses yang membantu eritrosit mempertahankan
bentuk bikonkafnya disamping dalam proses pengaturan transportasi ion
dan air yang mengalir ke dalam serta keluar sel. ATP ini dihasilkan dari
proses glikolisis. Fungsi sel eritrosit yang spesifik adalah mengangkut
oksigen dari paru-paru kejaringan perifer yang dijalankan oleh hemoglobin.
Sebagai pengangkut oksigen hemoglobin bertanggung jawab kelenturan sel
eritrosit untuk melalui kapiler-kapiler pembuluh darah.
Hemoglobin terdiri dari porfirin besi yang dinamakan heme dan protein
yang disebut globin. Satu molekul hemoglobin terdiri dari 4 subunit protein
(globin) yaitu 2 rantai α dan 2 rantai β dan 4 molekul heme.
Setiap molekul heme mengikat zat besi. Setiap pengikatan oksigen
oleh hemoglobin melibatkan aktivitas dua komponen: heme {Fe (II)-
porfirin} dan suatu rantai polipeptida yang menyelubungi (globin). Hanya
hemoglobin dalam kondisi fero [Fe (II)] ini yang dapat mengikat oksigen
menjadi oksihemoglobin (Hb-Fe2+ + O2  HbFe2+O2 ). Ketika
menangkap oksigen terbentuk senyawa antara { Fe2+-O2  Fe(III)-O2*-}

11
selanjutnya akan melepaskan superoksida (O2*- ) menjadi methemoglobin
{Fe(III)-porfirin} yang tidak dapat menangkap oksigen. Pada oksigenasi
hemoglobin dapat menghasilkan ion superoksida (O2*-) dan akan
berbahaya apabila bersamaan dengan hidrogen peroksida (H2O2) karena
akan membentuk radikal hidroksil (*OH). Radikal hidroksil (*OH) adalah
senyawa oksigen reaktif (SOR) atau dikenal dengan ROS (reactive oxygen
species) yang paling reaktif dan berbahaya. Radikal hidroksil (*OH) dapat
merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas
sel, yaitu: (1). asam lemak, khususnya asam lemak tak jenuh yang
merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran sel. (2) DNA,
yang merupakan perangkat genetik sel. (3) Protein, yang memegang
berbagai peran penting seperti enzim, reseptor, antibodi dan pembentuk
matriks serta sitoskleleton. Dapat disimpulkan bahwa pembentukan radikal
hidroksil (*OH) diperlukan tiga komponen, yaitu: logam transisi Fe atau
Cu, H2O2 dan O2*-.
Untuk itu dibutuhkan anti oksidan untuk melindungi sel dari pengaruh
radikal, yaitu dengan mencegah keberadaan ion Fe++ dan Cu+ bebas yang
dihasilkan reaksi Fenton. Peranan beberapa protein penting antara lain
adalah transferin atau feritin untuk Fe++ , sedang untuk Cu adalah
seruloplasmin atau albumin.
Gugusan sulfhidril pada GSH berfungsi sebagai donor elektron, GSH
oleh GSHPX akan dioksidasi menjadi bentuk disulfida (GSSG). Ratio
GSH/GSSG di dalam sel normal tinggi oleh karena itu perlu mekanisme
untuk mereduksi agar GSSG kembali menjadi GSH. GSH didapat kembali
dengan cara mereduksi GSSG oleh enzim GSSGR. Aktivitas GSSGR
memerlukan elektron dengan bantuan NADPH. NADPH berasal dari jalur
heksose monofosfat hasil kerja G6PD.
Dasar yang tepat tentang destruksi dini pada sel eritrosit dengan
defisiensi G6PD belum diketahui dengan tepat. Beberapa obat-obatan dan
bahan kimia tertentu atau bahan makanan dan sebab lain yang dapat
menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2). H2O2 merupakan salah satu
SOR yang menyebabkan hemolisis pada penderita defisiensi G6PD.
Dalam keadaan normal H2O2 akan dihilangkan terutama melalui
reaksi yang dikatalisis oleh enzim glutation peroksida (GSHPX). Pada

12
defisiensi G6PD, reaksi tersebut berkurang atau bahkan menghilang
sehingga terjadi penumpukan H2O2 yang mengakibatkan denaturasi
hemoglobin, terjadi pelepasan ion fero (reaksi Fenton) yang dapat
berinteraksi dengan H2O2 dan O*- untuk membentuk radikal hidroksil
(OH*). OH* dapat merusak tiga jenis senyawa (DNA, protein dan asam
lemak) yang penting untuk mempertahankan integritas sel, karena sel
eritrosit dewasa tidak mengandung inti sel sehingga OH* tersebut hanya
berdampak negatif pada asam lemak terutama pada membran yang kaya
mengandung fosfolipid sebagai asam lemak tak jenuh dan proteinnya saja
yang dikenal dengan nama peroksidasi lipid (lipid peroxidation), yang
menyebabkan terputusnya rantai asam lemak menjadi senyawa yang
bersifat toksik terhadap sel. Apabila lemak yang rusak adalah konstituen
suatu membran biologi, susunan lapisan ganda lemak yang kohesif dan
organisasi struktural akan terganggu, sehingga terjadi peroksidasi membran
dan kerusakan tersebut akan memudahkan sel eritrosit mengalami hemolisis
selanjutnya protein berpresipitasi di dalam eritrosit, dan membentuk badan
Heinz. Badan Heinz ini merusak kelenturan membran dan merapuhkan
bentuk membran. Adanya badan Heinz menunjukkan bahwa eritrosit telah
mengalami stres oksidatif. Terbentuknya badan Heinz dan adanya lipid
peroksidatif dalam membran sel, memudahkan sel eritrosit mengalami
hemolisis.
Sel eritrosit pada orang yang menderita defisiensi G6PD tidak dapat
menghasilkan NADPH yang cukup untuk membentuk kembali GSH dari
GSSG. Selanjutnya akan mengganggu kemampuannya untuk meredam
H2O2 dan radikal oksigen sehingga berakibat peningkatan senyawa
oksidan. Peningkatan oksidan ini dapat menyebabkan oksidasi gugus SH
dan kemungkinan pula menimbulkan peroksidasi lipid membran sel
eritrosit yang mengakibatkan lisis membran sel eritrosit. Sebagian gugus
SH pada hemoglobin akan teroksidasi, dan protein berpresipitasi di dalam
sel eritrosit, dan akan membentuk badan Heinz. Adanya badan Heinz
menunjukkan bahwa sel ertrosit telah mengalami stres oksidatif.8, 9

8. Penatalaksanaan
Non-medikamentosa

13
1. Jauhi faktor pencetus. Dalam kasus ini diduga riwayat pemakaian obat
penurun panas menjadi faktor pencetus terjadinya anemia sehingga
menimbulkan masalah pucat dan lemas. Jadi dianjurkan untuk
menghentikan penggunaan obat tersebut.
2. Transfusi darah diberikan bila kadar Hb dibawah 7g/dl dan terdapat
kejadian hemolisis yang berlanjut dan ditandai dengan persisten
hemoglobinuria.
3. Jauhi makanan yang dapat mencetuskan anemia hemolitik pada
defisiensi enzim G6PD. Misalnya kacang parang
4. Kurangkan aktivitas
5. Jaga kesehatan

Splenektomi diindikasikan untuk keadaan :


1. Pembesaran limpa menimbulkan ketidaknyamanan
2. Pembesaran limpa yang terlalu masif
3. Terjadi anemia berat
Splenektomi terbukti dapat mengurangi hemolisis sehingga dapat
merubah penderita tergantung transfusi menjadi tidak lagi tergantung
dengan transfusi.10

9. Pencegahan

Pada kasus G6PD upaya yang kita dapat lakukan hanyalah pencegahan
agar tidak timbul manifestasi klinis, terdapat beberapa pencegahan yang
dapat dilakukan:
1. Upaya pencegahan primer
Upaya pencegahan primer termasuk skrining untuk mengetahui
frekuensi (angka kejadian) kelainan enzim G6PD di masyarakat yang
membantu diagnosis dini karena sebagian besar defisiensi G6PD tidak
menunjukkan gejala klinis, sehingga pemahaman mengenai akibat
yang mungkin timbul pada penderita defisiensi G6PD yang terpapar
bahan oksidan masih belum sepenuhnya dipahami serta disadari yang
dapat mengakibatkan diagnosis dini terlewatkan.
Masih termasuk pencegahan primer yaitu dengan memberikan
informasi dan pendidikan kepada masyarakat mengenai kelainan enzim
G6PD, termasuk berupa konseling genetik pada pasangan resiko tinggi.

14
Diagnosa dibuat berdasarkan satu dari beberapa tes yang dirancang
untuk mengetahui aktivitas G6PD eritrosit. Beberapa uji saring yang
relatif sederhana dan memuaskan telah dikembangkan untuk
menentukan defisiensi G6PD secara kualitatif antara lain: Fluorescent
Spot test, Methemoglobin Reduction Test, Formazan ring test,
Ascorbate-cyanide screening test, Methemoglobin elution tets . Hampir
semua uji saring tersebut dapat mengidentifikasi penderita defisiensi
G6PD hemizigot (pria) dengan tepat, sayangnya tidak sensitif untuk
diagnosis penderita defisiensi G6PD yang heterozigot (wanita) ,
kecuali penggunaan Formazan ring test .
Metoda Formazan ring test selain bisa mendeteksi defisiensi
G6PD yang heterozigot, biaya relatif murah, mudah penggunaannya
hanya memerlukan inkubator dan dapat digunakan sampel dalam
jumlah besar .
2. Upaya pencegahan sekunder
Upaya pencegahan sekunder berupa pencegahan terpaparnya
penderita defisiensi enzim G6PD dengan bahan bahan oksidan yang
dapat menimbulkan manifestasi klinis yang merugikan, sehingga dapat
tercapai sumber daya manusia yang optimal.
Sekali diagnosa defisien enzim G6PD ditegakkan, orang tua
harus dianjurkan untuk menghindari bahan bahan oksidan termasuk
obat obat tertentu, juga harus dijelaskan mengenai resiko terjadinya
hemolisis pada infeksi berulang. Selain itu juga perlu dilakukan
skrining G6PD pada saudara kandung dan anggota keluarga yang
lainnya.
3. Upaya pencegahan tersier
Upaya pencegahan tersier berupa pencegahan terjadinya
komplikasi akibat paparan bahan oksidan maupun infeksi yang
menimbulkan gejala klinik yang merugikan, seperti mencegah
terjadinya kern ikterus pada hiperbilirubinemi neonatus yang dapat
menyebabkan retardasi mental, mencegah kerusakan ginjal maupun
syok akibat hemolisis akut masif maupun mencegah terjadinya juvenile
katarak pada penderita defisiensi enzim G6PD.6, 9

15
10. Komplikasi
Sebagian besar manifestasi varian mutan gen G6PD yang
mengakibatkan defisiensi enzim G6PD kurang dari 60% dari normal,
terjadi setelah paparan obat atau bahan kimia yang memicu terjadi anemia
hemolitik akut. Umumnya, setelah satu sampai tiga hari terpapar bahan
bahan tersebut, penderita akan mengalami demam, letargi, kadang disertai
gejala gastrointestinal. Hemoglobinuria merupakan tanda cardinal
terjadinya hemolisis intravascular ditandai dengan terjadinya urine
berwarna merah gelap hingga coklat. Kemudian timbul ikterus dan anemia
yang disertai takikardia. Pada beberapa kasus berat dapat terjadi syok
hipovolemik. Dapat terjadi komplikasi berupa Acute tubular necrosis pada
episode hemolitik, terutama bila terdapat penyakit dasar berupa gangguan
hepar seperti hepatitis.
Kerusakan eritrosit akibat oksidatif yang parah seperti pada defisiensi
enzim G6PD ditandai dengan marker berupa eritrosit hemighost. Selain
menegakkan diagnosa dengan tepat, persentase sel hemighost dapat
menunjukkan jumlah eritrosit yang akan mengalami hemolisis dalam waktu
24-48 jam mendatang. Hal ini juga dapat digunakan sebagai peringatan
untuk mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut. Pada pengecatan
sel darah tepi dengan methyl violet akan tampak adanya Heinz body. Tidak
didapatkan haptoglobin dan sering terjadi methemoglobinemia.
Komplikasi dapat dicegah dengan mempertahankan Renal Blood Flow
atau menggunakan forced alkaline diuresis. Bila penderita mengalami
gangguan fungsi ginjal atau produksi urin rendah, penggunaan transfusi
tukar untuk menyingkirkan sel eritrosit rusak yang dapat merusak
mikrosirkulasi akan memperberat komplikasi pada ginjal. Pada beberapa
penderita, komplikasi berupa DIC (disseminated intravascular coagulation)
dapat terjadi dan memperparah keadaan.7, 10

11. Prognosis
Dengan penanganan dan perawatan yang tepat, penderita anemia
defisiensi G6PD memiliki prognosis yang baik.

C. Kesimpulan

16
G6PD merupakan satu-satunya enzim yang menyediakan NADPH
yang dibutuhkan sebagai kofaktor untuk meredam senyawa oksidan (ROS)
didalam sel eritrosit. Kekurangan enzim ini diturunkan secara X-linked resesif
dapat menyebabkan hemolisis pada eritrosit dan manifestasi klinis lainnya
terkait berkurangnya perlindungan sel terhadap senyawa oksidan.
Prevalensi penderita defisiensi G6PD cukup tinggi di dunia, Asia
Tenggara maupun di Indonesia. Terutama di daerah endemis malaria, kelainan
ini dapat memberikan keuntungan selektif bagi individu penderita untuk
survive terhadap malaria.
Berdasarkan penelitian dan analisis molekuler selama lebih dari 40
tahun sejak defisiensi enzim G6PD diidentifikasikan, jenis varian G6PD
didapatkan 442 varian dan diduga 400 juta penduduk dunia menderita kelainan
ini. Berbagai jenis mutasi (varian) gen G6PD dapat mengakibatkan penurunan
aktivitas G6PD. Mutasi pada exon 6 dan exon 10 dapat menyebabkan gejala
klinis (anemia hemolitik) yang berat. Gejala klinis pada umumnya
asimptomatik, namun bila terpapar bahan oksidan, infeksi atau makan fava
beans mempunyai potensi terjadinya anemia hemolitik, ikterus neonatorum
(neonatal jaundice) yang sering mengakibatkan kerusakan syaraf permanen
dan dapat menyebabkan kematian. Selain itu dapat juga menimbulkan katarak,
kelelahan otot dan infeksi berulang.
Tata laksana hanya dititikberatkan pada upaya pencegahan,
sebagaimana penyakit herediter lainnya. Upaya pencegahan terbagi menjadi
pencegahan primer, pencegahan sekunder maupun pencegahan tersier.

D. Daftar Pustaka
1. Baldy CM. Gangguan sel darah merah. In: Price SA, Wilson LM,editors.
Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi keenam.
Jakarta:EGC ; 2007.p.256-7
2. Bakta MI. Hematologi klinis ringkas. Jakarta: EGC; 2007.p.51-9
3. Sutedjo AY. Pemeriksaan hematologi. Pemeriksaan laboratorium. Jakarta:
amara books; 2009.p.25-40
4. Sutedjo AY. Pemeriksaan kimia darah untuk faal hati dan untuk faal ginjal.
Pemeriksaan laboatorium. Jakarta:amara books; 2009.p.79-81,95-7.

17
5. Price SA, Wilson LM. Gangguan sel darah merah. In : Hartanto H, Susi N,
Wulanasari P, Mahanani DA, Editors. Patofisiologi konsep klinis proses-
proses penyakit volume 2. 6th ed. Jakarta : EGC; 2005; p. 256-7
6. Priyana A. Patologi klinik untuk kurikulum pendidikan dokter berbasis
kompetensi. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti; 2007. p. 23
7. Guyton AC, Hall JE. Hati sebagai suatu organ. In: Rachman LY, Hartanto
H, Novrianti A, Wulandari N, Editors. Buku ajar fisiologi kedokteran.
11th ed. Jakarta: EGC; 2007. p. 907
8. Mitchell. Kumar. Abas. Fausto. Dasar Patologis Penyakit.
Jakarta:EGC;2007.p.364.
9. Rinaldi Ikhwan, Sudoyo Aru W. In: Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang,
Alwi Idrus, editors. Anemia Hemolitik non autoimun. Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: interna Publishing; 2009.p.1159.
10. Berger Barbara J. In: Chernecky Cynthia C, editors. Glucose 6-phosphate
dehydrogenase quantitative. Laboratory Test and Diagnostic Procedures.
USA: saunders; 2008.p.591-2.

18

Anda mungkin juga menyukai