Anda di halaman 1dari 4

Industri peternakan sapi potong sebagai suatu kegiatan agribisnis mempunyai cakupan yang

sangat luas. Rantai kegiatan tidak terbatas pada kegiatan produksi di hulu tetapi juga sampai
kegiatan bisnis di hilir dan semua kegiatan bisnis pendukungnya. Kita mengimpikan
mempunyai suatu industri peternakan sapi potong yang tangguh dalam arti sebagai suatu
industri peternakan yang mempunyai daya saing yang tinggi dan mampu secara mandiri terus
tumbuh berkembang di era persaingan dalam ekonomi pasar yang global.

Sebelum tahun 1980-an, usaha peternakan sapi potong di Indonesia dapat dikatakan sebagai
suatu usaha dengan pendekatan usaha tani dan bersifat tradisional. Pemeliharaan sapi oleh
para petani umumnya dalam jumlah yang relatif kecil dan merupakan backyard farming.
Ternak sapi di fungsikan sebagai tabungan. Di beberapa daerah seperti di NTT dan NTB
dimana terdapat padang rumput tingkat pemilikan mungkin lebih besar, tetapi cara
pengelolaan pun masih tradisional. Program yang dikembangkan oleh instansi teknis
umumnya terbatas dengan peningkatan kualitas genetis melalui program IB atau penyebaran
bibit sapi lokal ataupun impor ke daerah transmigrasi. Kalau toh ada investasi dalam usaha
sapi potong, pada saat itu masih terbatas dalam
breeding dan dikelola oleh badan usaha milik negara. Dengan perkataan lain, usaha
peternakan masih terfokus di segmen hulu dan masih dalam skala yang sangat kecil.

Mulai awal tahun 1980-an, mulai ada titik perkembangan bangkitnya industri peternakan sapi
potong. Pengertian industri disini adalah suatu rangkaian kegiatan usaha yang ditangani
dengan pendekatan azas efisiensi, penggunaan managerial skill, dan dilandasi dengan kaidah-
kaidah ekonomi. Berlokasi di Jawa Barat, meskipun masih di tingkat hulu industri sapi
potong dimulai dengan adanya inovasi baru untuk melakukan penggemukan sapi dengan pola
pemeliharaan yang sangat intensif, berskala besar, dan dalam waktu tertentu yang relatif
singkat (2–3 bulan), dan padat modal. Bibit sapi yang digunakan adalah sapi-sapi muda
jantan yang dalam kondisi fase pertumbuhan dengan perhitungan dapat diperoleh
pertambahan berat yang maksimum dan efisien. Dengan adanya feedlot seperti ini, bayangan
bahwa usaha peternakan sapi potong hanya sebagai usaha tani dan backyard farming mulai
dapat dihapus
dan beralih sebagai suatu lapangan bisnis yang padat modal.
Dalam perjalanannya rintisan usaha feedlot oleh perusahaan semi swasta yang dikembangkan
dengan kapasitas keluaran sekitar 8000 ekor per tahun tidak dapat berjalan dengan mulus
karena tidak mudah untuk memperoleh sapi bakalan dari dalam negeri. Bertolak dari
kesulitan inilah sebagai awal mulai digunakannya sapi bakalan dari Australia dimana dengan
mudah dapat diperoleh dalam jumlah yang besar dan dengan harga yang relatif setara dengan
harga
sapi bakalan dari dalam negeri. Booming usaha feedlot telah mampu merangsang para
investor untuk terjun di bisnis penggemukan sapi potong. Mulailah tumbuh di Lampung,
Jawa Timur, Jawa Tengah serta beberapa propinsi lain. Pada akhir tahun 80-an merupakan
era dimana usaha penggemukan sapi tumbuh dan berkembang dengan pesat. Pasar daging di
dalam negeri telah yang sebelumnya utamanya dipasok daging yang bersumber dari sapi
lokal karya para petani kecil, telah bergeser ditambah sapi hasil penggemukan dengan
bakalan impor, dan daging impor.

Seperti halnya dengan industri ataupun usaha lain yang bergantung pasokan bahan baku dari
impor, pada saat terjadi krisis moneter yang dimulai akhir 1997, usaha feedlot juga
mengalami goncangan. Tercatat sekitar 50 investor yang ikut meramaikan khasanah industri
penggemukan sapi potong harus menghadapi badai krisis. Nilai tukar dollar yang melonjak
dengan sangat drastis dan kondisi perekonomian dalam negeri yang berantakan menyebabkan
para investor harus tiarap. Bahkan lebih dari itu, sebagian besar investor harus menanggung
kerugian yang sangat besar. Baru setelah memasuki tahun 2001 terdapat beberapa pengusaha
penggemukan sapi potong yang mulai bangkit lagi, dan pada tahun 2003 diperoleh suatu
kondisi yang sama dengan sebelum krisis. Ini dapat diindikasi dengan mulai masuknya sapi
bakalan impor. Saat ini
dikatakan kondisi bisnis feedlot sudah kembali seperti sebelum krisis yang ditandai dengan
kesamaan volume sapi bakalan yang diimpor. Data yang ada impor sapi bakalan dari
Australia
di tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 rata-rata sekitar 325.000 - 375.000 ekor. Pada tahun
2006 dan 2007 terjadi lonjakan kenaikan jumlah impor sapi bakalan. Data terakhir dari
Departemen Pertanian di tahun 2007 telah diimpor sapi bakalan sejumlah 496.000 ekori.
Impor
daging (baik frozen maupun chilled) juga menunjukkan kenaikan yang konsisten dari tahun
ke tahun. Tercatat berdasarkan data Departemen Pertanian di tahun 2007 diimpor daging dan
jeroan sejumlah 64.000 Ton. Diperkirakan dari jumlah tersebut sekitar 60–70 % adalah jeroan
(offal).
Sampai sejauh ini sebagian besar pengusaha feedlot masih terbatas memasarkan hasil
penggemukan dalam bentuk sapi hidup. Hanya beberapa buah pengusaha yang telah merintis
mengembangkan usaha sampai dengan pemasaran dalam produk daging segar ataupun
produk turunan daging lainnya. Sebagian terbesar sapi yang dipotong masuk ke wet market di
pasar-pasar tradisionil dimana aspek kualitas masih belum mendapat perhatian yang
sepenuhnya. Dapat dikatakan bahwa jaringan pemasaran yang tangguh dan ideal untuk
memasarkan komoditas dalam peternakan sapi potong belum terwujud baik dari segi pelaku
bisnis yang terlibat ataupun konsumen sendiri.
Permasalahan dalam industri sapi potong Terdapat beberapa permasalahan ataupun kendala
untuk membangun industri peternakan sapi potong yang tangguh di tanah air, antara lain :
- Pertama, sampai saat ini dapat diindikasi bahwa industri hulu yang ada di tanah air sama
sekali sangat lemah. Besar dan kecenderungan meningkatnya jumlah sapi bakalan dan juga
volume daging sapi yang diimpor merupakan indikasi bahwa sumber sapi dalam negeri tidak
mampu memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.
- Kedua, kita saat ini tidak memiliki data riil tentang populasi sapi di tanah air kita. Ada
keraguan bahwa angka populasi yang ada saat ini lebih tinggi dari realitas. Ini yang sering
menyebabkan bias dalam proses pengambilan kebijakan oleh berbagai pihak.

- Ketiga, masih belum adanya persepsi yang sama dari para stakeholder dalam industri
sapi potong. Hal ini berimplikasi tidak adanya derap langkah yang sama untuk membangun
industri peternakan yang tangguh di tanah air.
- Keempat, ada implikasi kekeliruan menafsirkan otonomi daerah dari sementara pihak yang
berakibat terjadinya ekonomi biaya tinggi dalam usaha sapi potong. Otonomi daerah yang
seharusnya diartikan juga sebagai instrument untuk menggali potensi ekonomi menjadi
kekuatan ekonomi riil dalam prakteknya justru sebaliknya. Selain daripada itu terdapat
beberapa hal lain yang menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi dalam pengembangan
usaha sapi potong.
- Kelima, semakin melemahnya penegakan hukum, disinyalir telah mendorong keberanian
beberapa pengusaha memasukkan daging secara illegal dari negara-negara yang secara
perundangan tidak diijinkan karena belum bebas dari PMK. Hadirnya daging dengan harga
yang sangat murah dibawah harga daging dari sapi lokal ataupun sapi hasil penggemukan
usaha feedlot dalam waktu cepat atau lambat akan memukul industri sapi potong dalam
negeri.
Hal ini akan merupakan potensi ancaman hancurnya potensi produksi sapi lokal. Hancurnya
usaha peternakan sapi di dalam negeri akan menyebabkan kerugian yang sangat mahal karena
membutuhkan waktu dan biaya yang sangat tinggi untuk recovery. Belum terhitung kerugian
ekonomi dan sosial bagi sebagian masyarakat khususnya di daerah pedesaan.
Seperti dinyatakan oleh OIE (Organization of International des Epizootica) bahwa PMK
(Foot and Mouth Desease) merupakan penyakit hewan yang paling menular dan sangat
berbahaya
serta dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi negara yang mengalami
endemi.
- Keenam, belum maksimalnya usaha untuk mengambil kesempatan mengambil peluang
memperoleh nilai tambah dari rantai peternakan sapi potong khususnya dalam memproduksi
berbagai produk daging baik untuk keperluan dalam negeri ataupun ekspor.
- Ketujuh, jaringan pemasaran produk sapi potong yang belum mantap menyebabkan antara
lain belum optimalnya konsumsi daging di masyarakat.
Langkah pendekatan untuk membangun industri sapi potong yang tangguh
Dari gambaran ideal industri sapi potong dalam negeri dan bertolak dari kondisi aktual serta
berbagai kendala yang ada, beberapa langkah pendekatan yang mungkin dapat dilakukan
adalah antara lain :
- Pertama, perlu adanya keputusan politik dari pemerintah untuk membangun industri sapi

potong dalam negeri khususnya untuk menangani segmen hulu yang lebih spesifik lagi adalah
pada usaha breeding sapi. Tanpa adanya keputusan politik dengan segala konsekuensinya
terlalu sulit bagi negara kita untuk menjadi tuan di negara sendiri dalam industri sapi potong.
Namun demikian keputusan politik tidaklah cukup tanpa dibarengi dengan kemauan yang
besar dari para pelaku bisnis sapi potong baik di segmen hulu maupun hilir. Dalam konteks
pembibitan sapi potong, para investor dipastikan tidak sanggup kalau mengambil kegiatan
tersebut sebagai suatu kegiatan bisnis karena di atas kertas ataupun dalam operasional
dipastikan usaha breeding sapi tidak feasible. Secara teknis usaha penggemukan sapi dengan
jangka waktu yang sangat pendek yakni sekitar 2–3 bulan sangat berbeda dengan usaha
breeding sapi yang membutuhkan jangka waktu yang sangat panjang. Demikian pula
kebutuhan lahan yang luas untuk pembibitan secara komersial.
Berita terakhir seperti dilansir oleh berbagai media massa bahwa pemerintah akan
menyediakan dana untuk mensubsidi bunga untuk usaha breeding sapi merupakan langkah
yang pantas untuk kita acungi jempol. Namun demikian perlu keputusan tersebut di kawal
agar dapat menjadi realita. Perlu pula dipertimbangkan bahwa keringanan bukan hanya dari
bunga bank, tetapi jangka waktu kredit dan grace period harus diperhitungkan secara cermat
agar program breeding sapi dapat berjalan.
- Kedua, perlu adanya suatu kesamaan persepsi dari seluruh stakeholder untuk
membangun industri sapi potong untuk kepentingan bersama termasuk konsumen daging agar
memperoleh daging yang sehat dan harga yang layak dan kompetetif. Efisiensi usaha saja
tidaklah cukup. Masih ada unsur lain yang dibutuhkan untuk tegaknya industri sapi potong
yakni adanya unggulan yang diyakini dapat memberikan nilai lebih dalam kompetisi.
- Ketiga, semua unsur yang menyebabkan biaya ekonomi tinggi harus dihapuskan baik yang
didukung dengan peraturan daerah ataupun yang bersifat tidak resmi. Ekonomi biaya tinggi
ini berakibat menurunkan efisiensi usaha dan menurunkan daya saing yang tentunya akan
mempunyai rangkaian ekses dan implikasi.
- Keempat, perlu adanya penataan dan peningkatan para usahawan yang bermain di hilir
untuk secara serius menggarap pasar dalam negeri ataupun ekspor dengan inovasi-inovasi
baru. Selain adanya nilai tambah yang diperoleh, mantapnya segmen di hilir ini akan
mempunyai dampak menghela segmen hulu. Dalam konteks ini pemerintah perlu
memberikan iklim yang kondusif bagi investor dan ikut serta menggalang potensi yang ada di
tanah air untuk memperluas jaringan outlet bagi produk daging ataupun produk turunannya.
Berbagai kemudahan usaha dan juga dalam memperoleh kredit merupakan unsur yang
penting untuk memacu perkembangan di segmen hilir dalam industri sapi potong.
- Kelima, bertolak kenyataan bahwa sejauh ini sebagian kebutuhan daging dipenuhi dari
impor, baik dalam bentuk daging ataupun sapi hidup, maka yang perlu mendapat prioritas
adalah bagaimana dapat diperoleh nilai tambah yang maksimal dari komoditi yang di impor
tersebut. Apabila melihat angka impor sapi dan daging untuk memenuhi kebutuhan daging
dalam negeri, kita sementara dapat tarik kesimpulan bahwa untuk swasembada dalam arti
kata semua daging dipenuhi dari potensi lokal, rasanya sangat berat dan membutuhkan waktu
dan biaya yang cukup besar. Namun demikian tidak berarti bahwa kita tidak berusaha untuk
memperbaiki segmen hulu dengan mengurangi ketergantungan kebutuhan sapi bakalan
ataupun daging dari luar negeri. Oleh karena itu seperti telah disebutkan diatas, kita harus
mampu bertindak secara realistis dan mengupayakan agar komoditas yang kita impor tersebut
dapat di maksimalisasi nilai tambahnya dan bila mungkin menjadi komoditas ekspor.
- Keenam, kita harus dapat menampilkan unggulan di setiap segmen kegiatan. Kita harus
menyadari bahwa efisiensi dalam setiap segmen hulu menjadi kunci keberhasilan dan
kuatnya daya saing.
Penutup
Tugas untuk membangun industri peternakan sapi potong yang tangguh di tanah air bukanlah
hal yang mudah. Banyak sekali peluang di masa lalu untuk membangun peternakan yang
terlewat begitu saja. Berbagai proyek dari hutang luar negeri tidak jelas hasilnya sampai saat
ini. Namun demikian jumlah penduduk yang sangat besar dan semakin meningkatnya sadar
gizi dan tingkat pendapatan sebagian masyarakat di yakini bahwa negara kita merupakan
pasar
yang potensial bagi komoditas daging sapi. Apabila kita tidak mampu memanfaatkan potensi
dan peluang pasar yang ada tersebut, dipastikan akan dimanfaatkan oleh negara lain selaras
dengan adanya semangat pasar bebas.
Pembibitan sapi baik untuk menghasilkan sapi untuk tujuan konsumsi ataupun untuk
mengembangkan sapi bibit merupakan satu keharusan. Namun demikian, seperti yang
disampaikan diatas, untuk kegiatan ini perlu adanya suatu keputusan politik yang at all cost
dari pem XDerintah.
Teguh Boediyana

Anda mungkin juga menyukai