Tonsilektomi
Tonsilektomi
Pada penderita alergi seringkali mengalami infeksi berulang karena bila alergi tidak dikendalikan
akanmengakibatkan daya tahan tubuh menurun dan mudah terserang infekasi saluran naas
khususnya tonsilitis atau amandel. Bila infeksi batuk, pilek atau demam seringkali berulang
setiap bulan atau bahkan sebulan dua kali, maka akibat yang paling sering terjadi adalah tonsil
membesar atau yang seringkali disebut amandel hingga mengganggu pernapasan dan gangguan
tidur.
Pada banyak kasus, saat alergi dikendalikan maka daya tahan tubuh membaik sehingga resiko
untuk terjadi infeksi saluran anapas atas baik berupa batuk, pilek, demam (infeksi tenggorok,
tonsilitis dan sebagainya) akan semakin berkurang. Sebaliknya bila alergi sulit dikendalikan
maka infeksi berulang akan seriung terjadi mengakibatkan salah satunya tonsil membesar
(amandel), resiko sinuitis meningkat dan resiko otitis media juga meningkat.
Tonsilitis atau kalangan masyarakat awam menyebut dengan istilah penyakit Amandel.
Tonsillitis adalah infeksi (radang) tonsil (amandel) yang pada umumnya disebabkan oleh mikro-
organisme (bakteri dan virus). Terbanyak dialami oleh anak usia 5-15 tahun. Tonsillitis,
berdasarkan waktu berlangsungnya (lamanya) penyakit, terbagi menjadi 2, yakni Tonsilitis akut
dan Tonsilitis kronis.
Dikategorikan Tonsilitis akut jika penyakit (keluhan) berlangsung kurang dari 3 minggu.
Sedangkan Tonsilitis kronis jika infeksi terjadi 7 kali atau lebih dalam 1 tahun, atau 5 kali selama
2 tahun, atau 3 kali dalam 1 tahun secara berturutan selama 3 tahun. Adakalanya terdapat
perbedaan penggolongan kategori Tonsilitis akut dan Tonsilitis kronis.
Tonsilektomi merupakan pembedahan yang paling banyak dan biasa dilakukan di bagian THT
(Telinga, Hidung dan Teng-
gorok), oleh karena itu sering dianggap sebagai pembedahan kecil saja. Tetapi bagaimanapun
juga, tonsilektomi adalah suatu pembedahan yang merupakan tindakan manipulasi yang dapat
menimbulkan trauma dengan risiko kerusakan jaringan. Komplikasi mulai dari yang ringan
bahkan sampai mengancam kematian atau gejala subyektif pada pasien berupa rasa nyeri
pasca bedah dapat saja terjadi.
Tentu tidak semua keluhan dan tanda di atas diborong oleh satu orang penderita. Hal ini karena
keluhan bersifat individual dan kebanyakan para orang tua atau penderita akan ke dokter ketika
mengalami keluhan demam dan nyeri telan.
PENCEGAHAN
Tak ada cara khusus untuk mencegah infeksi tonsil (amandel). Secara umum disebutkan bahwa
pencegahan ditujukan untuk mencegah tertularnya infeksi rongga mulut dan tenggorokan yang
dapat memicu terjadinya infeksi tonsil. Namun setidaknya upaya yang dapat dilakukan adalah:
INDIKASI ABSOLUT:
1. Tonsil (amandel) yang besar hingga mengakibatkan gangguan pernafasan, nyeri telan
yang berat, gangguan tidur atau sudah terjadi komplikasi penyakit-penyakit
kardiopulmonal.
2. Abses peritonsiler (Peritonsillar abscess) yang tidak menunjukkan perbaikan dengan
pengobatan. Dan pembesaran tonsil yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan wajah
atau mulut yang terdokumentasi oleh dokter gigi bedah mulut.
3. Tonsillitis yang mengakibatkan kejang demam.
4. Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsi jaringan untuk menentukan gambaran
patologis jaringan.
INDIKASI RELATIF:
1. Jika mengalami Tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak menunjukkan
respon sesuai harapan dengan pengobatan medikamentosa yang memadai.
2. Bau mulut atau bau nafas tak sedap yang menetap pada Tonsilitis kronis yang tidak
menunjukkan perbaikan dengan pengobatan.
3. Tonsilitis kronis atau Tonsilitis berulang yang diduga sebagai carrier kuman Streptokokus
yang tidak menunjukkan repon positif terhadap pengobatan dengan antibiotika.
4. Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai berhubungan dengan
keganasan (neoplastik)
KONTRAINDIKASI
Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi melakukan pembedahan tonsil karena bila
dikerjakan dapat terjadi komplikasi pada penderita, bahkan mengancam kematian. Keadaan
tersebut adalah kelainan hematologik, kelainan alergi-imunologik dan infeksi akut.
Kontraindikasi pada kelainan hematologik adalah anemi, gangguan’ pada sistem hemostasis dan
lekemi. Pada kelainan alergi-imunologik seperti penyakit alergi pada saluran pernapasan,
sebaiknya tidak dilakukan tonsilektomi bila pengobatan kurang dari 6 bulan kecuali bila terdapat
gejala sumbatan karena pembesaran tonsil. Pembedahan tonsil sebagai pencetus serangan asthma
pernah dilaporkan. Tonsilektomi juga tidak dikerjakan apabila terdapat infeksi akut lokal, kecuali
bila disertai sumbatan jalan napas atas. Tonsilektomi sebaiknya baru dilakukan setelah minimal
23 minggu bebas dari infeksi akut. Di samping itu tonsilektomi juga tidak dilakukan pada
penyakit-penyakit sistemik yang tidak terkontrol seperti diabetes atau penyakit jantung pulmonal
JENIS TEKNIK OPERASI
1) Cara Guillotine Diperkenalkan pertama kali oleh Philip Physick (1828) dari Philadelphia,
sedangkan cara yang masih digunakan sampai sekarang adalah modifikasi Sluder. Di negara-
negara maju cara ini sudah jarang digunakan dan di Indonesia cara ini hanya digunakan pada
anak-anak dalam anestesi umum. Teknik
Posisi pasien telentang dalam anestesi umum. Operator di sisi kanan berhadapan dengan
pasien.
Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi dengan pembuka mulut.
Lidah ditekan dengan spatula.
Untuk tonsil kanan, alat guillotine dimasukkan ke dalam mulut melalui sudut kiri.
Ujung alat diletakkan diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian kutub bawah tonsil
dimasukkan ke dalam Iubang guillotine. Dengan jari telunjuk tangan kiri pilar anterior
ditekan sehingga seluruh jaringan tonsil masuk ke dalam Iubang guillotine.
Picu alat ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit.
Setelah diyakini seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang guillotine, dengan
bantuan jari, tonsil dilepaskan dari jaringan sekitarnya dan diangkat keluar. Perdarahan
dirawat.
2) Cara diseksi
Cara ini diperkenalkan pertama kali oleh Waugh (1909). Cara ini digunakan pada pembedahan
tonsil orang dewasa, baik dalam anestesi umum maupun lokal. Teknik :
Bila menggunakan anestesi umum, posisi pasien terlentang dengan kepala sedikit
ekstensi. Posisi operator di proksimal pasien.
Dipasang alat pembuka mulut Boyle-Davis gag.
Tonsil dijepit dengan cunam tonsil dan ditarik ke medial
Dengan menggunakan respatorium/enukleator tonsil, tonsil dilepaskan dari fosanya
secara tumpul sampai kutub bawah dan selanjutnya dengan menggunakan jerat tonsil,
tonsil diangkat. Perdarahan dirawat.
KOMPLIKASI
Komplikasi tonsilektomi dapat terjadi saat pembedahan atau pasca bedah.
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat. Jumlah
perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor operatornya
sendiri.Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan
atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang
lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan
kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan yang
terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang robek umumnya berhenti
spontan atau dibantu dengan tampon tekan. Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau
berasal dari pembuluh darah yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan
kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan
tampon atau gelfoam, kemudian pilar anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga
gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna. Dari laporan berbagai kepustakaan,
umumnya perdarahan yang terjadi pada cara guillotine lebih sedikit dari cara diseksi.
Trauma akibat alat umumnya berupa kerusakan jaringan di sekitarnya seperti kerusakan
jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau dislokasi sendi
temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu
immediate, intermediate dan late complication.
Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa perdarahan dan
komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera atau disebut juga
perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah.
Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks
batuk belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas menyebabkan
asfiksi. Asfiksi inilah yang dapat mengakibatkan tersumbatnya saluran napas dan
membuat komplikasi yang berat dan mengancam jiwa. Penyebabnya diduga karena
hemostasis yang tidak cermat atau terlepasnya ikatan.
Tonsil atau amandel adalah benda bulat mirip bakso yang posisinya berada di belakang kiri dan
kanan tenggorokan. Ukuran amandel juga beragam, mulai dari sebesar kelereng hingga seukuran
bola pimpong seperti yang di jelaskan oleh dr Kristiawan SpTHT-KL dari Rumah Sakit Mitra
Keluarga Cikarang.
Amandel merupakan salah satu bagian tubuh (kelenjar getah bening) yang berfungsi sebagai
penghadang agar kuman tidak mudah masuk ke saluran pernapasan manusia, selain kelenjar
getah bening yang ada diseluruh bagian tubuh.
Amandel pada orang sehat akan berwarna sesuai dengan warna jaringan disekitarnya dan
berpermukaan rata. Sedangkan pada orang yang mengalami tonsilitis (infeksi atau radang
amandel) warnanya bisa menjadi kemerahan atau terdapat bercak putih pada amandel dan ukuran
tonsil kemudian membesar.
Sesuai dengan berbagai tingkatan kondisi penyakit amandel, penanganan tonsilitis (radang
amandel) sangatlah beragam, mulai dari terapi obat hingga operasi pengangkatan tonsil atau
amandel sebagai solusi akhir.
“Karena amandel sebenarnya mempunyai manfaat untuk tubuh, maka operasi dilakukan bila efek
buruknya lebih besar dibandingkan manfaatnya,” lanjut Dr. Kristiawan dengan ramah. Dr
Kristiawan menjelaskan ada dua macam operasi amandel, yaitu cara tradisional dan cara modern.
Cara tradisional
1. Teknik Guillotine
Yaitu dengan menjepit tonsil dengan alat guillotine kemudian dipotong. Teknik ini dalam
pengerjaannya sangat cepat namun demikian dalam pengelolaan perdarahan saat operasi cukup
lama dan resiko perdarahan pasca operasi juga cukup besar selain itu nyeri pasca oparasi juga
cukup mengganggu pasien dalam hal kenyamanan pasca operasi.
2. Teknik Diseksi
Yaitu dengan menggunakan pisau potong untuk memisahkan tonsil dari jaringan pengikatnya.
Operasi dengan teknik ini bisa cepat tapi komplikasinya sangat besar antara lain resiko
perdarahan pasca operasi, sehingga teknik ini sudah jarang dilakukan.
Cara modern
1. Teknik Elektrokauter
Teknik ini lebih cepat tapi panas yang dihasilkan sangat tinggi mencapai 400-600 derajat C,
sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan yang hebat pasca operasi.
2. Teknik Microderider
Teknik dengan menggunakan alat yang diputar dan bila terjadi perdarahan langsung disedot.
Tetapi kelemahannya harga alat masih mahal.
3. Teknik Radiofrekuensi
Teknik operasi dengan menggunakan energi temperatur rendah (40-70 derajat C), berbeda
dengan teknik elektrokauter yang menggunakan energi dengan temperatur mencapai 400 derajat
C. Teknik radiofrekuensi menggunakan gelombang radio pada frekuensi 1,5-4,5 MHz.
Teknik operasi ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari teknik radiofrekuensi dimana
penggunaan energi temperature rendah hanya disebarkan diujung alat pemotong yang dilidungi
suatu bahan peredam panas, sehingga luas jaringan yang terpapar panas sangat minimal. Dengan
paparan panas yang minimal ini resiko nyeri pasca operasi lebih minimal, proses pemulihan lebih
cepat.
Hingga saat ini kebanyakan dokter THT khususnya di Indonesia masih menggunakan cara
konvensional untuk prosedur operasi amandel, yaitu dengan teknik Guillotine dan teknik diseksi.
Namun sejak satu dekade terakhir, diperkenalkan cara baru dengan menggunakan teknologi
mutakhir dalam operasi pengangkatan tonsil, yaitu dengan menggunakan teknik radiofrekuensi
dan teknik thermal welding.
IV.1.2 KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi :5,8
2. Indikasi relatif
a) Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan
pengobatan medik yang adekuat
b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan
medik
3. Kontraindikasi
a) Riwayat penyakit perdarahan
b) Resiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak terkontrol
c) Anemia
d) Infeksi akut
Teknik operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang masih menjadi
kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyembuhan luka
pada tonsilektomi terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada
morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi operasi.
Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baaru ditemukan disamping teknik tonsilektomi
standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine
dan diseksi
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untu mengangkat tonsil secara cepat dan praktis. Tonsil
dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil
dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau
timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai kauterisasi untuk
mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik
untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum
elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi
ini mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.
4. Radiofrekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan. Densitas baru
disekitar ujung elektrode cukup tinggi untuk membuka kerusakan bagian jaringan melalui
pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil
dan total volume jaringan berkurang.
5. Skapel harmonik
5 Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Juli 2007
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan mengkoagulasi
jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
5. Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unuk karena dapat
memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis jaringan.
Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari radiofrekuensi
bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang akan membentuk
kelompok plasma dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma tersebutakan
mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang
terionisasi yang akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil. Selain memecah ikatan
molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu
40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tensilektomi parsial yang dilakukan dengan
menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider endoskopi bukan merupakan
peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat
menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa
melukai kapsulnya.
8. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phosphat)
untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Tehnik ini mengurangi volume tonsil
dan menghilangkan recesses pada tonsil yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren
Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal maupun
umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan
anestesi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Komplikasi yang
dapat ditemukan berupa :
• Laringosspasme
• Gelisah pasca operasi
• Mual muntah
• Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
• Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung
• Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2. Komplikasi Bedah
a) Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan dapat terjadi
selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada
1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam jumlah
yang sama membutuhkan transfusi darah.
b) Nyeri