Anda di halaman 1dari 21

Seringkali terjadi pada penderita Alergi.

Pada penderita alergi seringkali mengalami infeksi berulang karena bila alergi tidak dikendalikan
akanmengakibatkan daya tahan tubuh menurun dan mudah terserang infekasi saluran naas
khususnya tonsilitis atau amandel. Bila infeksi batuk, pilek atau demam seringkali berulang
setiap bulan atau bahkan sebulan dua kali, maka akibat yang paling sering terjadi adalah tonsil
membesar atau yang seringkali disebut amandel hingga mengganggu pernapasan dan gangguan
tidur.

Pada banyak kasus, saat alergi dikendalikan maka daya tahan tubuh membaik sehingga resiko
untuk terjadi infeksi saluran anapas atas baik berupa batuk, pilek, demam (infeksi tenggorok,
tonsilitis dan sebagainya) akan semakin berkurang. Sebaliknya bila alergi sulit dikendalikan
maka infeksi berulang akan seriung terjadi mengakibatkan salah satunya tonsil membesar
(amandel), resiko sinuitis meningkat dan resiko otitis media juga meningkat.

Tonsilitis atau Penyakit Amandel

Tonsilitis atau kalangan masyarakat awam menyebut dengan istilah penyakit Amandel.
Tonsillitis adalah infeksi (radang) tonsil (amandel) yang pada umumnya disebabkan oleh mikro-
organisme (bakteri dan virus). Terbanyak dialami oleh anak usia 5-15 tahun. Tonsillitis,
berdasarkan waktu berlangsungnya (lamanya) penyakit, terbagi menjadi 2, yakni Tonsilitis akut
dan Tonsilitis kronis.

Dikategorikan Tonsilitis akut jika penyakit (keluhan) berlangsung kurang dari 3 minggu.
Sedangkan Tonsilitis kronis jika infeksi terjadi 7 kali atau lebih dalam 1 tahun, atau 5 kali selama
2 tahun, atau 3 kali dalam 1 tahun secara berturutan selama 3 tahun. Adakalanya terdapat
perbedaan penggolongan kategori Tonsilitis akut dan Tonsilitis kronis.

Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil/mandel/amandel. Operasi ini merupakan


operasi THT-KL yang paling sering dilakukan pada anak-anak. Para ahli belum sepenuhnya
sependapat tentang indikasi tentang tonsilektomi, namun sebagian besar membagi alasan
(indikasi) tonsilektomi menjadi: Indikasi absolut dan Indikasi relatif.

Tonsilektomi merupakan pembedahan yang paling banyak dan biasa dilakukan di bagian THT
(Telinga, Hidung dan Teng-
gorok), oleh karena itu sering dianggap sebagai pembedahan kecil saja. Tetapi bagaimanapun
juga, tonsilektomi adalah suatu pembedahan yang merupakan tindakan manipulasi yang dapat
menimbulkan trauma dengan risiko kerusakan jaringan. Komplikasi mulai dari yang ringan
bahkan sampai mengancam kematian atau gejala subyektif pada pasien berupa rasa nyeri
pasca bedah dapat saja terjadi.

GEJALA DAN TANDA

Keluhan yang dapat dialami penderita Tonsilllitis, antara lain:

 Tengorokan terasa kering, atau rasa mengganjal di tenggorokan (leher)


 Nyeri saat menelan (nelan ludah ataupun makanan dan minuman) sehingga menjadi
malas makan.
 Nyeri dapat menjalar ke sekitar leher dan telinga.
 Demam, sakit kepala, kadang menggigil, lemas, nyeri otot.
 Dapat disertai batuk, pilek, suara serak, mulut berbau, mual, kadang nyeri perut,
pembesaran kelenjar getah bening (kelenjar limfe) di sekitar leher.
 Adakalanya penderita tonsilitis (kronis) mendengkur saat tidur (terutama jika disertai
pembesaran kelenjar adenoid (kelenjar yang berada di dinding bagian belakang antara
tenggorokan dan rongga hidung).
 Pada pemeriksaan, dijumpai pembesaran tonsil (amandel), berwarna merah, kadang
dijumpai bercak putih (eksudat) pada permukaan tonsil, warna merah yang menandakan
peradangan di sekitar tonsil dan tenggorokan.

Tentu tidak semua keluhan dan tanda di atas diborong oleh satu orang penderita. Hal ini karena
keluhan bersifat individual dan kebanyakan para orang tua atau penderita akan ke dokter ketika
mengalami keluhan demam dan nyeri telan.

PENCEGAHAN

Tak ada cara khusus untuk mencegah infeksi tonsil (amandel). Secara umum disebutkan bahwa
pencegahan ditujukan untuk mencegah tertularnya infeksi rongga mulut dan tenggorokan yang
dapat memicu terjadinya infeksi tonsil. Namun setidaknya upaya yang dapat dilakukan adalah:

 Mencuci tangan sesering mungkin untuk mencegah penyebaran mikro-organisme yang


dapat menimbulkan tonsilitis.
 Menghindari kontak dengan penderita infeksi tanggorokan, setidaknya hingga 24 jam
setelah penderita infeksi tenggorokan (yang disebabkan kuman) mendapatkan antibiotika.
KAPAN PERLU OPERASI

Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery (AAO-HNS),


operasi tonsillitis (tonsillectomy) perlu dilakukan jika memenuhi syarat-syarat berikut:

INDIKASI ABSOLUT:

1. Tonsil (amandel) yang besar hingga mengakibatkan gangguan pernafasan, nyeri telan
yang berat, gangguan tidur atau sudah terjadi komplikasi penyakit-penyakit
kardiopulmonal.
2. Abses peritonsiler (Peritonsillar abscess) yang tidak menunjukkan perbaikan dengan
pengobatan. Dan pembesaran tonsil yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan wajah
atau mulut yang terdokumentasi oleh dokter gigi bedah mulut.
3. Tonsillitis yang mengakibatkan kejang demam.
4. Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsi jaringan untuk menentukan gambaran
patologis jaringan.

INDIKASI RELATIF:

1. Jika mengalami Tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak menunjukkan
respon sesuai harapan dengan pengobatan medikamentosa yang memadai.
2. Bau mulut atau bau nafas tak sedap yang menetap pada Tonsilitis kronis yang tidak
menunjukkan perbaikan dengan pengobatan.
3. Tonsilitis kronis atau Tonsilitis berulang yang diduga sebagai carrier kuman Streptokokus
yang tidak menunjukkan repon positif terhadap pengobatan dengan antibiotika.
4. Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai berhubungan dengan
keganasan (neoplastik)

Alasan Yang Tidak benar yang dijadikan Pertimbangan Operasi

 Bila tidak operasi kecerdasan menurun


 Bila tidak dioperasi mengakibatkan sakit jantung dan sakit paru-paru
 Bila tidak di operasi maka oksigen ke otak berkurang anak jadi kurang konsentrasi
dan kurang cerdas

KONTRAINDIKASI

Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi melakukan pembedahan tonsil karena bila
dikerjakan dapat terjadi komplikasi pada penderita, bahkan mengancam kematian. Keadaan
tersebut adalah kelainan hematologik, kelainan alergi-imunologik dan infeksi akut.
Kontraindikasi pada kelainan hematologik adalah anemi, gangguan’ pada sistem hemostasis dan
lekemi. Pada kelainan alergi-imunologik seperti penyakit alergi pada saluran pernapasan,
sebaiknya tidak dilakukan tonsilektomi bila pengobatan kurang dari 6 bulan kecuali bila terdapat
gejala sumbatan karena pembesaran tonsil. Pembedahan tonsil sebagai pencetus serangan asthma
pernah dilaporkan. Tonsilektomi juga tidak dikerjakan apabila terdapat infeksi akut lokal, kecuali
bila disertai sumbatan jalan napas atas. Tonsilektomi sebaiknya baru dilakukan setelah minimal
23 minggu bebas dari infeksi akut. Di samping itu tonsilektomi juga tidak dilakukan pada
penyakit-penyakit sistemik yang tidak terkontrol seperti diabetes atau penyakit jantung pulmonal
JENIS TEKNIK OPERASI

1) Cara Guillotine Diperkenalkan pertama kali oleh Philip Physick (1828) dari Philadelphia,
sedangkan cara yang masih digunakan sampai sekarang adalah modifikasi Sluder. Di negara-
negara maju cara ini sudah jarang digunakan dan di Indonesia cara ini hanya digunakan pada
anak-anak dalam anestesi umum. Teknik

 Posisi pasien telentang dalam anestesi umum. Operator di sisi kanan berhadapan dengan
pasien.
 Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi dengan pembuka mulut.
Lidah ditekan dengan spatula.
 Untuk tonsil kanan, alat guillotine dimasukkan ke dalam mulut melalui sudut kiri.
 Ujung alat diletakkan diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian kutub bawah tonsil
dimasukkan ke dalam Iubang guillotine. Dengan jari telunjuk tangan kiri pilar anterior
ditekan sehingga seluruh jaringan tonsil masuk ke dalam Iubang guillotine.
 Picu alat ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit.
 Setelah diyakini seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang guillotine, dengan
bantuan jari, tonsil dilepaskan dari jaringan sekitarnya dan diangkat keluar. Perdarahan
dirawat.

2) Cara diseksi
Cara ini diperkenalkan pertama kali oleh Waugh (1909). Cara ini digunakan pada pembedahan
tonsil orang dewasa, baik dalam anestesi umum maupun lokal. Teknik :
 Bila menggunakan anestesi umum, posisi pasien terlentang dengan kepala sedikit
ekstensi. Posisi operator di proksimal pasien.
 Dipasang alat pembuka mulut Boyle-Davis gag.
 Tonsil dijepit dengan cunam tonsil dan ditarik ke medial
 Dengan menggunakan respatorium/enukleator tonsil, tonsil dilepaskan dari fosanya
secara tumpul sampai kutub bawah dan selanjutnya dengan menggunakan jerat tonsil,
tonsil diangkat. Perdarahan dirawat.

3) Cryogenic tonsilectomy Tindakan pembedahan tonsil dapat menggunakan cara cryosurgery


yaitu proses pendinginan jaringan tubuh sehingga terjadi nekrosis. Bahan pendingin yang dipakai
adalah freon dan cairan nitrogen.
4) Electrosterilization of tonsil Merupakan suatu pembedahan tonsil dengan cara koagulasi
listrik pada jaringan tonsil.

KOMPLIKASI
Komplikasi tonsilektomi dapat terjadi saat pembedahan atau pasca bedah.

 Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat. Jumlah
perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor operatornya
sendiri.Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan
atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang
lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan
kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan yang
terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang robek umumnya berhenti
spontan atau dibantu dengan tampon tekan. Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau
berasal dari pembuluh darah yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan
kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan
tampon atau gelfoam, kemudian pilar anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga
gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna. Dari laporan berbagai kepustakaan,
umumnya perdarahan yang terjadi pada cara guillotine lebih sedikit dari cara diseksi.
Trauma akibat alat umumnya berupa kerusakan jaringan di sekitarnya seperti kerusakan
jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau dislokasi sendi
temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.
 Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu
immediate, intermediate dan late complication.
 Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa perdarahan dan
komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera atau disebut juga
perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah.
Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks
batuk belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas menyebabkan
asfiksi. Asfiksi inilah yang dapat mengakibatkan tersumbatnya saluran napas dan
membuat komplikasi yang berat dan mengancam jiwa. Penyebabnya diduga karena
hemostasis yang tidak cermat atau terlepasnya ikatan.

Yang penting pada perawatan pasca tonsilektomi adalah


(1) baringkan pasien pada satu sisi tanpa bantal,
(2) ukur nadi dan tekanan darah secara teratur,
(3) awasi adanya gerakan menelan karena pasien mungkin menelan darah yang terkumpul di
faring dan
(4) napas yang berbunyi menunjukkan adanya lendir atau darah di tenggorok. Bila diduga ada
perdarahan, periksa fosa tonsil. Bekuan darah di fosa tonsil diangkat, karena tindakan ini dapat
menyebabkan jaringan berkontraksi dan perdarahan berhenti spontan. Bila perdarahan belum
berhenti, dapat dilakukan penekanan dengan tampon yang mengandung adrenalin 1:1000.
Selanjutnya bila masih gagal dapat dicoba dengan pemberian hemostatik topikal di fosa tonsil
dan hemostatik parenteral dapat diberikan. Bila dengan cara di atas perdarahan belum berhasil
dihentikan, pasien dibawa ke kamar operasi dan dilakukan perawatan perdarahan seperti saat
operasi.Mengenai hubungan perdarahan primer dengan cara operasi, laporan di berbagai
kepustakaan menunjukkan hasil yang berbeda-beda, tetapi umumnya perdarahan primer lebih
sering dijumpai pada cara guillotine. Komplikasi yang berhubungan dengan tindakan anestesi
segera pasca bedah umumnya dikaitkan dengan perawatan terhadap jalan napas. Lendir, bekuan
darah atau kadang-kadang tampon yang tertinggal dapat menyebabkan asfiksi.

 Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (interme-diate complication) dapat


berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru dan
otalgia. Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah.
Umumnya terjadi pada hari ke 5 10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi
serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang terlepas,
jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh
sehingga pembuluh darah di bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat
jarang terjadi karena umumnya berasal dari pembuluh darah permukaan.
 Cara penanganannya sama dengan perdarahan primer. Pada pengamatan pasca
tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem. Nekrosis uvula jarang terjadi, dan
biladijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah yang mendarahi uvula.
Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia dapat mengenai organ-
organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia
biasanya merupakan nyeri alih dari fosa tonsil, tetapi kadang- kadang merupakan gejala
otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses parafaring
akibat tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil berhubungan
dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru jarang
terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil.
 Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum mole. Bila
berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan ri nolalia. Komplikasi lain adalah
adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi
bilacukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher


Indonesia (PERHATI-KL) dan The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery (AAO-HNS) antara lain :
 Pembesaran amandel yang mengakibatkan penutupan jalan nafas, nyeri tenggorok hebat,
gangguan tidur atau komplikasi jantung-paru.
 Abses (nanah) di dalam amandel yang tak membaik dengan pengobatan,
 Tonsillitis/radang amandel yg mengakibatkan kejang demam
 Radang amandel berulang ( lebih dari 3 kali dalam satu tahun) walapun telah dilakukan
pengobatan optimal.
 Bau mulut dan nafas yang diakibatkan oleh radang amandel berulang dan tidak beresopon
baik dengan pengobatan.
 Tonsillitis yang disebabkan kuman streptococcus yang tidak berespon baik dengan
pengobatan
 Pembesaran amandel 1 sisi yang dicurigai suatu keganasan.

Tonsil atau amandel adalah benda bulat mirip bakso yang posisinya berada di belakang kiri dan
kanan tenggorokan. Ukuran amandel juga beragam, mulai dari sebesar kelereng hingga seukuran
bola pimpong seperti yang di jelaskan oleh dr Kristiawan SpTHT-KL dari Rumah Sakit Mitra
Keluarga Cikarang.

Amandel merupakan salah satu bagian tubuh (kelenjar getah bening) yang berfungsi sebagai
penghadang agar kuman tidak mudah masuk ke saluran pernapasan manusia, selain kelenjar
getah bening yang ada diseluruh bagian tubuh.

Amandel pada orang sehat akan berwarna sesuai dengan warna jaringan disekitarnya dan
berpermukaan rata. Sedangkan pada orang yang mengalami tonsilitis (infeksi atau radang
amandel) warnanya bisa menjadi kemerahan atau terdapat bercak putih pada amandel dan ukuran
tonsil kemudian membesar.

Sesuai dengan berbagai tingkatan kondisi penyakit amandel, penanganan tonsilitis (radang
amandel) sangatlah beragam, mulai dari terapi obat hingga operasi pengangkatan tonsil atau
amandel sebagai solusi akhir.

“Karena amandel sebenarnya mempunyai manfaat untuk tubuh, maka operasi dilakukan bila efek
buruknya lebih besar dibandingkan manfaatnya,” lanjut Dr. Kristiawan dengan ramah. Dr
Kristiawan menjelaskan ada dua macam operasi amandel, yaitu cara tradisional dan cara modern.

Cara tradisional

1. Teknik Guillotine

Yaitu dengan menjepit tonsil dengan alat guillotine kemudian dipotong. Teknik ini dalam
pengerjaannya sangat cepat namun demikian dalam pengelolaan perdarahan saat operasi cukup
lama dan resiko perdarahan pasca operasi juga cukup besar selain itu nyeri pasca oparasi juga
cukup mengganggu pasien dalam hal kenyamanan pasca operasi.

2. Teknik Diseksi
Yaitu dengan menggunakan pisau potong untuk memisahkan tonsil dari jaringan pengikatnya.
Operasi dengan teknik ini bisa cepat tapi komplikasinya sangat besar antara lain resiko
perdarahan pasca operasi, sehingga teknik ini sudah jarang dilakukan.

Cara modern

1. Teknik Elektrokauter

Teknik ini lebih cepat tapi panas yang dihasilkan sangat tinggi mencapai 400-600 derajat C,
sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan yang hebat pasca operasi.

2. Teknik Microderider

Teknik dengan menggunakan alat yang diputar dan bila terjadi perdarahan langsung disedot.
Tetapi kelemahannya harga alat masih mahal.

3. Teknik Radiofrekuensi

Teknik operasi dengan menggunakan energi temperatur rendah (40-70 derajat C), berbeda
dengan teknik elektrokauter yang menggunakan energi dengan temperatur mencapai 400 derajat
C. Teknik radiofrekuensi menggunakan gelombang radio pada frekuensi 1,5-4,5 MHz.

4. Teknik Thermal welding

Teknik operasi ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari teknik radiofrekuensi dimana
penggunaan energi temperature rendah hanya disebarkan diujung alat pemotong yang dilidungi
suatu bahan peredam panas, sehingga luas jaringan yang terpapar panas sangat minimal. Dengan
paparan panas yang minimal ini resiko nyeri pasca operasi lebih minimal, proses pemulihan lebih
cepat.

Hingga saat ini kebanyakan dokter THT khususnya di Indonesia masih menggunakan cara
konvensional untuk prosedur operasi amandel, yaitu dengan teknik Guillotine dan teknik diseksi.
Namun sejak satu dekade terakhir, diperkenalkan cara baru dengan menggunakan teknologi
mutakhir dalam operasi pengangkatan tonsil, yaitu dengan menggunakan teknik radiofrekuensi
dan teknik thermal welding.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di beberapa negara, disimpulkan bahwa penggunaan


radiofrekuensi dan thermal welding dalam tonsilektomi (pengangkatan tonsil/amandel) memiliki
beberapa keuntungan, diantaranya:

 Waktu operasi menjadi lebih singkat


 Jumlah perdarahan saat operasi lebih minimal
 Nyeri pasca operasi lebih ringan
 Kemungkinan perdarahan pasca operasi lebih kecil
 Penyembuhan luka operasi lebih singkat
 Biaya relatif lebih murah dibanding beberapa teknik modern lainnya
 Lebih aman
 TONSILEKTOMI

 IV.1 INDIKASI DAN KONTRAINDKASI


 IV.1.1 INDIKASI
 Pembesaran tonsil jarang merupakan indikasi untuk pengakalan kebanyakan anak anak
mempunyai tonsil yang besar, yang ukurannya akan menurun sejalan dengan perlambatan
usia.12
 Tonsilektomi dilakukan jika pasien mempunyai masalah-masalah berikut :12
 Saat ini indikasi tonsilektomi masih beragam. Di abad ke 20 tonsilektomi dilakukan
karena tonsil merupakan fokus infeksi untuk penyakit sistemik seperti reumatisme.
Menurut Ballenger (1997), tidak ada rumusan baku untuk indikasi tonsilektomi. Grey
(1994) dan Simpson (1967) membagi indikasi tonsilektomi menjadi indikasi local, fokal,
dan umum, sedangkan Boies (1997) atas indikasi relatif dan indikasi absolut. Royal
College Paediatric Child Health / RCPCH (2000) dan Scottish Intercollegiate Guideline
Network / SIGN (2001), tidak membagi indikasi tonsilektomi menjadi indikasi relatif dan
indikasi absolut.4
 Antoni W (2002) menyatakan bahwa Kriteria pasien dirujuk untuk tonsilektomi adalah :4
 Rekomendasi kriteria rujukan indiksai tonsilektomi pada tonsillitis dari Scottish
Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) adalah adanya semua kriteria berikut:4
 Indikasi yang menjadi perdebatan adalah definisi tonsillitis kronis dan tonsilitis rekuren,
di samping itu sampai sekarang belum ada definisi praktis tonsilitis yang jelas dan
diterima secara luas. Hal ini menyulitkan penelitian mengenai tonsilitis. Paradise et al.
(2003) mendefinisikan secara klinis sebagai :4
 Capper dan Canter menyatakan bahwa kesepakatan gambaran diagnostik tonsilitis dan
indikasi tonsilektomi sangat rendah. Indikasi yang paling banyak dianut adalah tonsilitis
rekuran dan obstruksi traktus aerodigestif. Perbedaan definisi antara peneliti
menyebabkan banyak penlitian sulit dibandingkan.4
 Simpson et al. (1967) dan Gray (1992) membedakan indikasi tonsilektomi dalam indikasi
lokal, fokal dan general (umum).4
 Indikasi tonsilektomi menurut Adam (1996) dibagi atas indikasi absolut dan indikasi
relatif.4
 Rekomendasi indikasi tonsilektomi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network
(SIGN) adalah pasien yang memenuhi semua criteria berikut :4
 Pasien jarang dirujuk ke spesialis dalam kondisi akut, oleh sebab itu pisode sakit dan
disability pasien harus dikonfirmasi. Dianjurkan periode 6 bulan pengamatan untuk
menentukan pola gejala sakit tenggorokan dan memberi kesempatan pasien
mempertimbangkan secara penuh implikasi operasi. Saaat keputusan tonsilektomi
diambil, seharusnya segera dilakukan saat keuntungan maksimal sebelum penyembuhan
alami terjadi.4
 Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan
prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi
di indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah
obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan the American Academy of
Otolaryngology- Head and Neck Surgery (AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi
terbagi menjadi : 5,13

 IV.1.2 KONTRAINDIKASI
 Kontraindikasi :5,8

 IV.2 TEKNIK OPERASI


 Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang masih
menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan.
Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik
operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pasca
operatif serta durasi operasi. Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baaru ditemukan
disamping teknik tonsilektomi standar. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak
digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.5
 Macam – macam teknik operasi tonsilektomi :5
 Tonsilektomi guillotine dipakai untu mengangkat tonsil secara cepat dan praktis. Tonsil
dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil
dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau
timbul perdarahan yang hebat.
 Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Metode
pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi. Tonsil
digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial, sehingga
menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan
pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
 Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai kauterisasi untuk
mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik
untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum
elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi
ini mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.
 Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan. Densitas baru
disekitar ujung elektrode cukup tinggi untuk membuka kerusakan bagian jaringan melalui
pembentukan panas. Selama periode 4 – 6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil
dan total volume jaringan berkurang.
 Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan mengkoagulasi
jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
 Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang untuk karena dapat
memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis jaringan.
Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari radiofrekuensi
bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang akan membentuk
kelompok plasma dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma tersebut akan
mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang
terionisasi yang akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil. Selain memecah ikatan
molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu
40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.
 Intracapsular tonsilektomi merupakan tensilektomi parsial yang dilakukan dengan
menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider endoskopi bukan merupakan
peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat
menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa
melukai kapsulnya.
 Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phosphat)
untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Tehnik ini mengurangi volume tonsil
dan menghilangkan recesses pada tonsil yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.

 IV.3 KOMPLIKASI TONSILEKTOMI


 Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal
maupun umum,sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan komplikasi
tindakan bedah dan anestesi.5
 Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
 Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :
 Komplikasi anestesi
 Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
 Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :
 Laringosspasme
 Gelisah pasca operasi
 Mual muntah
 Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
 Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung
 Hipersensitif terhadap obat anestesi.
 Komplikasi Bedah
 Perdarahan
 Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan dapat terjadi
selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi
pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam
jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
 Nyeri.

Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Juli 2007


TONSILEKTOMI
Writed by:
Dr. Arwansyah Wanri (2007)
Edited by:
Harry Wahyudhy Utama, S.Ked
Dedicated to:
Dr. H. Hanafi Zainuddin, SpTHT-KL
(Pembimbing kami, Pengajar kami, Bapak kami, dan Penguji kami. Terima
kasih untuk bimbingannya selama 5 minggu di THT kemarin dan ujiannya yang
begitu berkesan)
Nb: Buat kak Arwan, terima kasih untuk bantuan bahan tonsilektomi nya. Buat ujian...he..he...
untung ado kak, dak payah nyari lagi.
DEPARTEMEN TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2007
1 Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Juli 2007
TONSILEKTOMI
Arwansyah Wanri
Abstrak
Tonsilektomi merupakan suatu metode pengangkatan dari tonsil. Tonsilektomi termasuk tindakan
operasi yang paling sering dilakukan dalam sejarah operasi. Tonsilektomi telah dilakukan oleh dokter
THT, dokter bedah umum, dokter umum, dan dokter keluarga selama lebih dari 50 tahun. Namun
dalam 30 tahun terakhir, kebutuhan akan adanya standarisasi teknik operasi menyebabkan pergeseran
pola praktek operasi tonsilektomi. Saat ini di Amerika Serikat tonsilektomi secara eksklusif
dilakukan oleh dokter THT. Seiring dengan berjalannya waktu berkembang pula berbagai teknik
dalam pelaksanaan tonsilektomi
Kata kunci : Tonsil, teknik tonsilektomi
Abstract
Tonsillectomy is method to remove the tonsil. Tonsillectomy has been one of the most commonly
perform procedure in the history of surgery. Tonsillectomy has been performed by otolaryngologist,
general surgeon, general practitioners and family practitioners over the past 50 years. However, in
the last 30 years, recognition of the need for standardization of surgical technique resulted in a shift
practice pattern, so that today in United State the procedure is performed almost exclusively by
otolaryngologist. As time goes by many technique for tonsillectomy have been introduced
Key word : Tonsil, Technique of tonsillectomy
Pendahuluan
Tonsilektomi didefinisikan sebagai metode pengangkatan seluruh tonsil, berasal dari bahasa latin
tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu, serta dari bahasa yunani ektomi
yang berarti eksisi. Tonsilektomi sudah sejak lama dikenal yaitu sekitar 2000 tahun yang lalu.
Cornelius celcus seorang penulis dan peneliti Romawi yang pertama memperkenalkan cara
melepaskan tonsil dengan menggunakan jari dan disarankan memakai alat yang tajam, jika dengan
jari tidak berhasil.
Tahun 1867 dikatakan bahwa sejak tahun 1000 sebelum masehi orang Indian asiatik sudah terampil
dalam melakukan tonsilektomi. Frekuensi tindakan ini mulai menurun sejak ditemukannya antibiotik
untuk pengobatan penyakit infeksi.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti
tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan ketrampilan dan ketelitian yang
tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di Amerika, tonsilektomi digolongkan operasi mayor
karena kekhawatiran komplikasi, sedangkan di Indonesia tonsilektomi digolongkan operasi sedang
karena durasi operasi pendek dan tidak sulit.
Di Indonesia data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi belum
ada. Namun data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1993-2003) menunjukan
kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun
kedua (275 kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003 ( 152 kasus).
2 Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Juli 2007
Beragam teknik terus berkembang mulai dari abad ke-21, diantara teknik tersebut adalah diseksi
tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser dan
terakhir diperkenalkan tonsilektomi dengan coblation. Keseluruhan teknik ini mempunyai
keuntungan serta kerugian tersendiri dan masih terjadi perdebatan dalam pemilihan teknik yang
terbaik.
Anatomi
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer.
Jaringan limfoid yang mengelilingi faring, pertama kali digambarkan anatominya oleh Heinrich von
Waldeyer, seorang ahli anatomi Jerman. Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral
faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa
dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s).
Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak didalam fosa tonsil pada kedua sudut
orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).
Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan oral palatum mole dan berakhir pada sisi
lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertikal dan diatas melekat pada palatum
mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas kebawah sampai kedinding atas esofagus.
otot ini lebih penting daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak
melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan paltum mole. Di inferior akan
berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan lateral dinding faring.
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas kedalam jaringan tonsil. Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilaris. Bagian luar tonsil terikat longgar pada muskulus
konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kali makan.
Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih tonsil dapat meluas kearah
nasofaring sehingga dapat menimbulkan insufisiensi velofaring atau obstruksi hidung walau jarang
ditemukan. Arah perkembangan tonsil tersering adalah kearah hipofaring, sehingga sering
menyebabkan sering terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada jalan nafas. Secara
mikroskopik mengandung 3 unsur utama yaitu:
1) jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf, dan limfa,
2) folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda dan
3) jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai stadium.
Perdarahan tonsil didapatkan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu
1. Maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A palatina asenden,
2. A maksilaris interna dengan cabangnya A palatina desenden,
3. A lingualis dengan cabangnya A. Lingualis dorsalis,
4. A faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. Lingualis
dorsal dan bagian posterior oleh A palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh A tonsilaris, kutub atas tonsil diperdarahi oleh A faringeal asenden dan
A palatina desenden.

3 Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Juli 2007


Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran
balik melalui vena disekitar kapsul tonsil,vena lidah dan pleksus faringeal serta akan menuju v
jugularis interna.
Gb1. Perdarahan tonsil
Persarafan tonsil didapat dari serabut saraf trigeminus melalui ganglion sfenopalatina dibagian atas
dan saraf glosofaringeus dibagian bawah. Aliran limfe dari dari tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior dibawah M sternokleidomastoideus,
selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai
pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
Struktur histologi tonsil sesuai dengan fungsinya sebagai organ imunologi. Tonsil merupakan organ
limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limposit yang sudah disentisasi.
Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:
1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif
2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif
dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi di indikasikan untuk terapi
tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi
tonsil. Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery ( AAO-
HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
1. Indikasi absolut
a) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia
berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal
b) abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase,
kecuali jika dilakukan fase akut.
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d) Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi

2. Indikasi relatif
a) Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan
pengobatan medik yang adekuat
b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan
medik

4 Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Juli 2007


c) Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase.

3. Kontraindikasi
a) Riwayat penyakit perdarahan
b) Resiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak terkontrol
c) Anemia
d) Infeksi akut

Teknik operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang masih menjadi
kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyembuhan luka
pada tonsilektomi terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada
morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi operasi.
Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baaru ditemukan disamping teknik tonsilektomi
standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine
dan diseksi
1. Guillotine

Tonsilektomi guillotine dipakai untu mengangkat tonsil secara cepat dan praktis. Tonsil
dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil
dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau
timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi

Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Metode


pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi. Tonsil
digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial, sehingga
menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan
pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
3. Teknik elektrokauter

Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai kauterisasi untuk
mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik
untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum
elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi
ini mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.
4. Radiofrekuensi

Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan. Densitas baru
disekitar ujung elektrode cukup tinggi untuk membuka kerusakan bagian jaringan melalui
pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil
dan total volume jaringan berkurang.
5. Skapel harmonik
5 Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Juli 2007
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan mengkoagulasi
jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
5. Teknik Coblation

Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unuk karena dapat
memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis jaringan.
Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari radiofrekuensi
bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang akan membentuk
kelompok plasma dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma tersebutakan
mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang
terionisasi yang akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil. Selain memecah ikatan
molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu
40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tensilektomi parsial yang dilakukan dengan
menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider endoskopi bukan merupakan
peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat
menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa
melukai kapsulnya.
8. Laser (CO2-KTP)

Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phosphat)
untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Tehnik ini mengurangi volume tonsil
dan menghilangkan recesses pada tonsil yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren
Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal maupun
umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan
anestesi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Komplikasi yang
dapat ditemukan berupa :
• Laringosspasme
• Gelisah pasca operasi
• Mual muntah
• Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
• Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung
• Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2. Komplikasi Bedah
a) Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan dapat terjadi
selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada
1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam jumlah
yang sama membutuhkan transfusi darah.
b) Nyeri

6 Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Juli 2007


Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau
vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri
berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi
c) Komplikasi lain
Dehidrasi,demam, kesulitan bernapas,gangguan terhadap suara (1:10. 000), aspirasi, otalgia,
pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan
pneumonia

7 Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Juli 2007


Daftar Pustaka
1. Adams GL,Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams GL,Boies buku
ajar penyakit THT,Jakarta, Penerbit buku kedokteran EGC edisi 6, 1994 : 337-40
2. Hatmansyah, Tonsilektomi. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran no 89. 1993: 18-21
3. American academy of otolaryngology head and neck dissection. Lesspain and quicker
recovery with coblation assisted tonsillectomy. avaible from: http://www.
medicalnewstoday. com/medic alnews. php?newsid=13677
4. Ballenger JJ. Anatomi bedah tonsil. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit
telinga,hidung,tenggorok,kepala dan leher Edisi 13. Jakarta,Binarupa aksara 1994:
p321-7
5. Drake A. Tonsillectomy. avaible from: http://www. emedicine. com/ent/topic315.
htm/emed tonsilektomi
6. Kornblut A,Kornblut AD. Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Paparella,Gluckman
S,Mayerhoff, eds. Otolaryngology head and neck surgery. Philadelphia, WB Saunders
3rd edition,1991:2149-56
7. Tukel DE,Little JP. Pediatric head and neck emergency. In : Eiscle DW and McQuone
SJ. Emergency of the head and neck. Mosby. USA. 2000:324-326
8. Brodsky L and Poje C. Tonsilitis, Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Bailey. Head
and neck surgery-otolaryngology. Philadelphia. 2001:980-91
9. Liston SI. Embriologi, anatomi dan fisiologi rongga mulut, faring,esophagus dan leher.
Dalam : Adam,Boies dan Higler. Boies. EGC. Jakarta. 1997:263-71
10. HTA. Tonsilektomi pada anak dan dewasa. Unit Pengkajian Teknologi Kesehatan
Direktorat Jenderal pelayanan Medik Depkes RI. 2004
11. hhtp:/www. etnet. org/Kids ENT/tonsil procedures. efm
12. Chowdhury K. et al. Post tonsillectomy and adenoidectomy hemorrhage. J
Otolaryngology. 1998 Febr : 17 (1):46-9
13. Chang KW. Randomized controlled trial of coblation versus electrocautery
tonsillectomy. Otolaryngology head and neck surgery 2005: 132(2):273-80
14. Bluestone CD. Controversies in tonsillectomy, adenoidectomy and tympanostomy
tubes. In Bailey BJ, Healy GB, Johnson JT et all,eds Head and neck surgery
otolaryngology. Philadelphia, Wolter kluwer company. 3rd edition,2001:993-6
15. Blomgren et all. A prospective Study on pros and Cros of Electrodissection
Tonsillectomy. Laryngoscopy. March 2001:111(3):478-82

Anda mungkin juga menyukai