Anda di halaman 1dari 40

Definisi Drop Foot

Drop foot adalah keterbatasan atau ketidakmampuan untuk mengangkat bagian depan
kaki yang mengacu kepada kelemahan otot-otot yang memungkinkan seseorang untuk
melenturkan pergelangan kaki dan jari kaki.

Gejala dari Drop Foot


Gejala cedera saraf peroneal (foot drop) dapat meliputi :
 Ketidakmampuan untuk menunjukkan jari-jari kaki ke arah tubuh (dorsofleksi)
 Nyeri
 Kelemahan
 Mati rasa (pada shin atau atas kaki)
 Hilangnya fungsi kaki
 High-stepping walk (disebut steppage gait atau footdrop gait).
Gejala yang paling umum dari penurunan kaki, gaya berjalan steppage tinggi sering
ditandai dengan menaikkan paha dalam mode berlebihan sambil berjalan, seolah-
olah menaiki tangga.

Gambar 2.4. Compensating step for foot drop.

Steppage gait tinggi dikaitkan dengan salah satu dari berikut :


 Menyeret kaki dan jari kaki
 Menyeret jari kaki di tanah
 Jari kaki menapak dengan tidak terkontrol.

Etiologi
Drop Foot adalah gejala dari masalah yang mendasari, dari penyakit itu sendiri. Hal
ini dapat bersifat sementara atau permanen. Penyebab drop foot meliputi :
 Cedera saraf. Merupakan penyebab yang paling sering terjadi, drop foot
disebabkan oleh cedera pada saraf peroneal. Saraf peroneal merupakan cabang
dari saraf sciatic yang membungkus dari belakang lutut ke depan tulang kering.
Karena itu duduk sangat dekat dengan permukaan, dapat menyebabkan cedera
dengan mudah.
Cedera pada saraf peroneal juga dapat dikaitkan dengan rasa sakit atau mati rasa
di sepanjang tulang kering atau bagian atas kaki.
Beberapa cara umum saraf peroneal rusak atau dikompresi meliputi :
 Cedera olahraga
 Diabtes Melitus
 Hip or knee replacement surgery
 Duduk bersila atau jongkok dalam waktu yang lama
 Persalinan
 Kehilangan sejumlah besar berat badan
 Cedera pada akar saraf di tulang belakang juga dapat menyebabkan drop
foot.

 Gangguan otak atau tulang belakang. Kondisi neurologis yang dapat


berkontribusi untuk drop foot :
 Stroke
 Multiple sclerosis ( MS )
 Cerebral palsy
 Charcot - Marie - Tooth disease
 Gangguan otot. Kondisi yang menyebabkan otot-otot lemah secara progresif
atau memburuk yang dapat menyebabkan drop foot.
 Muscular dystrophy
 Amyotrophic lateral sclerosis (penyakit Lou Gehrig)
 Polio

2.4. Diagnosis
a) Anamnesis
Anamnesis pada penderita drop foot mencakup gejala yang menyertai seperti
ketidakmampuan mengangkat kaki bagian depan, nyeri, kelemahan pada kaki,
kelemahan hanya pada satu sisi saja atau kedua sisi, mati rasa, dan perubahan cara
berjalan. Sangat diperlukan riwayat penyakit yang pernah diderita yang berhubungan
dengan kelemahan kakinya. Riwayat trauma pada lutut atau pinggul. Riwayat
kebiasaan seperti duduk bersila, serta riwayat operasi pinggul atau lutut.

b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sebenarnya sudah dimulai ketika penderita datang ke dokter
dengan mengamati penampakan umum penderita, raut muka, cara berjalan, cara
duduk dan cara tidur, proporsi tinggi badan terhadap anggota tubuh lainnya, keadaan
simetris bagian tubuh kiri dan kanan, cara berjalan dan tingkah laku, ekspresi wajah,
kecemasan serta reaksi emosional lainnya untuk melihat aspek-aspek emosional dan
somatis dari penderita.
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang paling penting dalam memperkuat
penemuan-penemuan yang berhasil kita dapatkan dari riwayat dan anamnesis yang
telah kita buat dan menambah atau mengurangi pilihan diagnosis yang dapat kita
lakukan .
 Cara berjalan (gait)
Pengamatan gait merupakan aspek penting dari diagnosis yang dapat
memberikan informasi mengenai beberapa kondisi muskuloskeletal dan saraf.
Secara khusus, ada delapan gaits patologis dasar yang dapat dikaitkan dengan
kondisi neurologis : hemiplegia, diplegic kejang, neuropati, miopati,
Parkinsonian, choreiform, ataxic (serebelum) dan sensorik.
 Hemiplegia Gait
Pasien berdiri dengan kelemahan unilateral pada sisi yang terkena,
lengan tertekuk, adduksi dan diputar secara internal. Kaki pada sisi yang
sama dalam ekstensi dengan fleksi plantar kaki dan jari kaki. Saat
berjalan, pasien akan terus memegang lengannya atau ke satu sisi dan
menyeret kaki yang terkena di setengah lingkaran (circumduction)
karena kelemahan otot distal (foot drop) dan ekstensor hypertonia di
tungkai bawah. Hal ini paling sering terlihat pada stroke. Dengan
hemiparesis ringan, kehilangan lengan ayun normal dan sedikit
circumduction mungkin satu-satunya kelainan .
 Diplegic Gait
Pasien memiliki keterlibatan di kedua sisi dengan kelenturan di
ekstremitas bawah lebih buruk daripada ekstremitas atas. Pasien berjalan
dengan basis normal sempit, menyeret kedua kaki dan gesekan jari-jari
kaki. Cara berjalan ini terlihat pada lesi periventrikular bilateral, seperti
yang terlihat pada cerebral palsy. Ada juga karakteristik ekstrim
adductors pinggul yang dapat menyebabkan kaki untuk menyeberangi
garis tengah disebut sebagai gaya berjalan gunting. Di negara-negara
dengan perawatan medis yang memadai, pasien dengan cerebral palsy
mungkin memiliki operasi rilis adduktor hip untuk meminimalkan
scissoring.
 Neuropathy Gait (steppage gait, Equine gait)
Terlihat pada pasien dengan drop foot (kelemahan kaki dorsofleksi),
penyebab gait ini adalah karena upaya untuk angkat kaki cukup tinggi
selama berjalan sehingga kaki menyeret di lantai. Jika unilateral,
penyebab termasuk peroneal kelumpuhan saraf dan L5 radiculopathy.
Jika bilateral, penyebab termasuk amyotrophic lateral sclerosis, penyakit
Charcot - Marie - Tooth dan neuropati perifer lainnya termasuk yang
berhubungan dengan diabetes yang tidak terkontrol.
 Miopati Gait (Waddling Gait)
Otot panggul bertanggung jawab untuk menjaga tingkat panggul saat
berjalan. Jika Anda memiliki kelemahan pada satu sisi, hal ini akan
menyebabkan penurunan panggul di sisi kontralateral panggul sambil
berjalan (Trendelenburg tanda). Dengan kelemahan bilateral, Anda akan
menjatuhkan panggul di kedua sisi selama berjalan. Cara berjalan ini
terlihat pada pasien dengan miopati, seperti distrofi otot .
 Gait Parkinsonian
Dalam gait ini, pasien akan memiliki kekakuan dan bradikinesia. Dia
akan membungkuk dengan kepala dan leher ke depan, dengan fleksi
pada lutut. Seluruh ekstremitas atas juga fleksi dengan jari biasanya
ekstensi. Pasien berjalan dengan langkah-langkah agak lambat diketahui
pada marche a petits pas (berjalan dari langkah-langkah kecil). Pasien
juga mungkin mengalami kesulitan memulai langkah. Pasien mungkin
menunjukkan kecenderungan tak sadar untuk mengambil langkah-
langkah percepatan, yang dikenal sebagai festinasi. Kiprah ini terlihat
pada penyakit Parkinson atau kondisi yang menyebabkan lain
parkinsonisme, seperti efek samping dari obat-obatan .
 Choreiform Gait (hiperkinetik Gait)
Cara berjalan ini ini terlihat dengan gangguan ganglia basal tertentu
termasuk Sydenham 's chorea, Penyakit Huntington dan bentuk lain dari
chorea, athetosis atau dystonia. Pasien akan menampilkan gerakan tidak
teratur, gerakan involunter di semua ekstremitas. Berjalan dapat
menonjolkan gangguan gerakan dasar mereka .
 Ataxic Gait ( serebelum )
Paling sering terlihat pada penyakit serebelar, cara berjalan ini
digambarkan sebagai kikuk, gerakan mengejutkan dengan kiprah
berbasis lebar. Sambil berdiri diam, tubuh pasien akan bolak-balik dan
dari sisi ke sisi, yang dikenal sebagai titubasi. Pasien tidak akan mampu
berjalan dari tumit sampai ujung kaki atau dalam garis lurus. Kiprah
keracunan alkohol akut akan menyerupai kiprah penyakit cerebellar.
Pasien dengan ketidakstabilan yang lebih truncal lebih mungkin untuk
memiliki penyakit cerebellar garis tengah pada vermis .
 Gait sensorik
Saat kaki kita menyentuh tanah, kita menerima informasi
propioreceptive untuk memberitahu kita lokasi mereka. Cara berjalan
ataxic sensorik terjadi ketika kehilangan masukan propioreceptive ini.
Dalam upaya untuk mengetahui kapan kaki menapak dan lokasi mereka,
pasien akan membanting kaki keras ke tanah untuk merasakannya.
Kunci cara berjalan ini melibatkan eksaserbasi ketika pasien tidak dapat
melihat kaki mereka (yaitu dalam gelap). Cara berjalan ini juga kadang-
kadang disebut sebagai gait menghentak karena pasien dapat
mengangkat kaki mereka sangat tinggi untuk memukul tanah keras. Gait
ini dapat dilihat pada gangguan kolom dorsal (defisiensi B12 atau tabes
dorsalis) atau penyakit yang mempengaruhi saraf perifer (diabetes yang
tidak terkontrol). Dalam bentuk yang berat, gaya berjalan ini dapat
menyebabkan ataksia yang menyerupai gaya berjalan ataksia cerebellar.

c) Pemeriksaan Lokalis
Pemeriksaan dilakukan secara sitematis dengan urutan-urutan sebagai berikut:
 Inspeksi (Look)
Inspeksi dilakukan secara sistematik dan perhatian terutama ditujukan
pada :
a. Kulit, meliputi warna kulit dan tekstur kulit.
b. Jaringan lunak yaitu pembuluh darah, saraf, otot, tendo, ligamen,
jaringan lemak, fasia, kelenjar limfe.
c. Tulang dan Sendi
d. Sinus dan jaringan parut
 Palpasi (Feel)
Yang perlu diperhatikan pada palpasi adalah:
a. Suhu kulit, apakah lebih panas/dingin dari biasanya, apakah denyutan
arteri dapat diraba atau tidak.
b. Jaringan lunak; palpasi jaringan lunak dilakukan untuk mengetahui
adanya spasme otot, atrofi otot, keadaan membran sinovial, penebalan
membran jaringan sinovial, adanya tumor dan sifatnya, adanya cairan
di dalam/ di luar sendi atau adanya pembengkakan.
c. Nyeri tekan; perlu diketahui lokalisasi yang tepat dari nyeri, apakah
nyeri setempat atau nyeri yang bersifat kiriman dari tempat lain
(referred pain).
d. Tulang; diperhatikan bentuk, permukaan, ketebalan, penonjolan dari
tulang atau adanya gangguan di dalam hubungan yang normal antara
tulang yang satu dengan lainnya.
e. Pengukuran panjang anggota gerak; terutama untuk anggota gerak
bawah dimana adanya perbedaan panjang merupakan suatu hal yang
penting untuk dicermati. Pengukuran juga berguna untuk mengetahui
adanya atrofi/pembengkakan otot dengan membandingkan dengan
anggota gerak yang sehat.
 Penilaian deformitas yang menetap;pemeriksaan ini dilakukan apabila
sendi tidak dapat diletakkan pada posisi anatomis yang normal.
 Kekuatan otot (Power)
Pemeriksaan kekuatan otot penting artinya untuk diagnosis, tindakan,
prognosis serta hasil terapi. Penilaian dilakukan menurut Medical
Research Council dimana kekuatan otot dibagi dalam grade 0-5, yaitu:
Grade 0
Tidak ditemukan adanya kontraksi otot.
Grade 1
Kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus otot yang
dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakkan sendi.
Grade 2
Otot hanya mampu menggerakkan persendian tetapi kekuatannya tidak
dapat melawan pengaruh gravitasi.
Grade 3
Disamping dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh
gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan oleh pemeriksa.
Grade 4
Kekuatan otot seperti pada grade 3 disertai dengan kemampuan otot
terhadap tahanan yang ringan.
Grade 5
Kekuatan otot normal.
 Penilaian gerakan sendi baik pergerakan aktif maupun pasif (Move)
Pada pergerakan sendi dikenal dua istilah pergerakan yang aktif
merupakan pergerakan sendi yang dilakukan oleh penderita sendiri dan
pergerakan pasif yaitu pergerakan sendi dengan bantuan pemeriksa.
Pada pergerakan dapat diperoleh informasi mengenai:
a) Evaluasi gerakan sendi secara aktif dan pasif
 Apakah gerakan ini menimbulkan rasa sakit
 Apakah gerakan ini disertai dengan adanya krepitasi
b) Stabilitas sendi
Terutama ditentukan oleh integritas kedua permukaan sendi dan
keadaan ligamen yang mempertahankan sendi. Pemeriksaan
stabilitas sendi dapat dilakukan dengan memberikan tekanan pada
ligamen dan gerakan sendi diamati.
c) Pemeriksaan ROM (Range of Join Movement)
Pemeriksaan batas gerakan sendi harus dicatat pada setiap
pemeriksaan ortopedi yang meliputi batas gerakan aktif dan batas
gerakan pasif.
Setiap sendi mempunyai nilai batas gerakan normal yang
merupakan patokan untuk gerakan abnormal dari sendi. Dikenal
beberapa macam gerakan pada sendi, yaitu : abduksi, adduksi,
ekstensi, fleksi, rotasi eksterna, rotasi interna, pronasi, supinasi,
fleksi lateral, dorso fleksi, plantar fleksi, inversi dan eversi.

 Pemeriksaan Sensoris
Pemeriksaan sistem sensori sangat bergantung pada kemampuan dan keinginan
pasien untuk bekerja sama. Sensasi dirasakan oleh pasien (sifat subjektif) dan
oleh karena itu pemeriksa sangat bergantung pada tingkat kepercayaan kita
terhadap pasien. Pemeriksaan ini tidak perlu untuk memeriksa semua wilayah
di permukaan kulit.
Sebuah pemeriksaan cepat pada wajah, leher, lengan, badan, dan kaki dengan
jarum hanya membutuhkan beberapa detik. Biasanya salah satu tujuannya
adalah mencari perbedaan antara kedua sisi tubuh. Lebih baik untuk bertanya
apakah rangsangan pada sisi berlawanan dari tubuh terasa sama daripada
menanyakan apakah terasa berbeda. Pemeriksaan sensorik terdiri dari:
 Sentuhan ringan
 Sensasi nyeri
 Sensasi getaran
 Propriosepsi
 Lokalisasi taktil
Pada pasien tanpa tanda atau gejala penyakit neurologis, pemeriksaan fungsi
sensorik dapat dilakukan dengan cepat, dengan memeriksa adanya sensasi
normal pada ujung jari tangan dan kaki. Pemeriksa dapat memilih apakah ia
mau memeriksa sentuhan ringan, nyeri dan sensasi getaran. Jika semuanya
normal, pemeriksaan sensorik lainnya tidak diperlukan. Jika ada gejala atau
tanda yang menunjukkan gangguan neurologi, harus dilakuka pemeriksaan
lengkap.
a) Pemeriksaan Sentuhan Ringan
Sentuhan ringan diperiksa dengan menyentuh pasien secara ringan
dengan sepotong kecil kain kasa. Mintalah pasien untuk menutup
mata dan memberitahu anda jika anda sedang menyentuhnya.
Diusahakan menyentuh jari kaki dan tangan pasien. Jika
sensasinya normal, lanjutkan dengna pemeriksaan yang lain. Jika
sensasinya abnormal, lakukanlah pemeriksaan di bagian proksimal
sampai batas ketinggian gangguan sensorik dapat ditentukan.
b) Pemeriksaan Sensasi Nyeri
Rasa nyeri dapat dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya
dengan menusuk, memukul, merangsang dengan api atau sesuatu
yang sangat dingin dan juga dengan berbagai larutan kimia.
Sensasi nyeri diperiksa dengan menggunakan peniti dan
menanyakan kepada pasien apakah ia merasakannya. Mintalah
kepada pasien untuk menutup matanya. Bukalah peniti dan
sentuhlah pasien dengan ujungnya. Sebelumnya perlu
diberitahukan kepaa pasien bahwa yang diperiksa ialah rasa nyeri
dan bukan rasa raba. Kita periksa seluruh tubuh, dan bagian-bagian
yang simetris dibandingkan. Bila bagian yang simetris
dibandingkan, tusukan harus sama kuat. Bila kita memeriksa
sensibilitas pada pasien yang gelisah atau yang agak menurun
kesadarannya, maka pemeriksaan rasa tusuk masih dapat
dilakukan, sedang yang lainnya perlu ditangguhkan.
c) Pemeriksaan Sensasi Getar
Sensasi getaran diperiksa dengan menggunakan garpu tala 128 hz.
Ketuklah garpu tala dengan tumit tangan anda dan letakkanlah di
suatu tonjolan tulang di bagian distal tubuh pasien. Minta pasien
untuk memberitahukan anda kalau ia sudah tidak dapat merasakan
getaran itu lagi. Minta kepada pasien untuk menutup matanya.
Letakkan garpu tala yang sedang bergetar pada falangs distal jari
tangan pasien dan jari tangan anda sendiri. Dengan cara ini anda
akan dapat mersakan getaran melalui jari pasien untuk menentukan
ketepatan respon pasien. Setelah jari tangan periksa juga jari kaki.
Jika tidak ada gangguan lakukan pemeriksaan berikutnya. Jika ada
gangguan, tentukanlah batas gangguannya.
d) Pemeriksaan Propiosepsi
Sensasi posisi, atau propriosepsi, diperiksa dengan menggerakkan
falangs distal. Pemeriksa memegang falangs distal pada sisi
lateralnya dan menggerakkan ke atas sambil memberitahukan
pasien. Pemeriksa kemudian menggerakkan falangs distal pasien
ke bawah dan memberitahukannya. Dengan mata pasien tertutup,
pemeriksa menggerakkan falangs distal naik turun dan akhirnya
berhenti, setelah itu tanyakan pada pasien apakah falangs distal
terletak di atas atau di bawah. Secara rutin lakukanlah pemeriksaan
pada falang terminal sebuah jari pada tiap tangan dan falang
terminal jari kaki. Jika tidak ada gangguan sensasi posisi,
pemeriksa harus melanjutkan sisa pemeriksaan berikutnya.
e) Pemeriksaan Lokalisasi Taktil
Lokalisasi taktil, yang dikenal pula sebagai perangsangan simultan
ganda, diperiksa dengan meminta pasien menutup matanya sambil
menanyakan kepadanya bagian tubuh mana yang disentuh.
Pemeriksa dapat menyentuh pasien pada pipi kanannya dan lengan
kiri. Pasien kemudian ditanyakan dimana jari pemeriksa berada.
Biasanya pasien tidak menemukan kesulitan dalam menentukan
kedua daerah ini. Pasien dengan lesi lobus parietalis mungkin
merasakan kedua sentuhan ini, tetapi mungkin memadamkan
sensasi pada sisi kontralateral dengan sisi lesi. Perasaan ini
merupakan fenomena yang disebut ekstingsi.

 Studi Laboratorium
Penegakan diagnosis drop foot dengan menggunakan studi laboratorium sampai
saat ini belum menunjukan hasil yang bermakna. Penurunan kaki unilateral
spontan secara tiba tiba dengan keadaan awal yang sehat, memerlukan
investigasi lebih lanjut kedalam penyebab seperti penyebab metabolik,
termasuk diabetes, penyalahgunaan alkohol, dan paparan racun.
Tes – tes laboratorium yang sering digunakan adalah sebagai berikut.

 Gula darah puasa

 Hemoglobin A1C

 Tingkat sedimentasi eritrosit


 C – reaktif protein

 Elektroforesis protein serum atau immunoelectro – osmophoresis

 BUN

 Kreatinin

 Tingkat Vitamin B-12

 Studi Pencitraan
Studi pencitraan dalam penegakan drop foot, pencitraan yang dapat dilakukan
adalah plain foto polos, ultrasonografi, magnetic renonance neurography.
Adapun penjelasnya adalah sebagai berikut.
 Plain Foto Polos
Plain foto polos pada drop foot dilakukan dengan indikasi yakni, pasca
trauma dan non trauma. Plain foto pasca trauma dilakukan dengan plain foto
tibia dan fibula serta pergelangan kaki untuk melihat cedera tulang. Plain
foto polos non trauma dilakukan dengan indikasi kecurigaan adanya
disfungsi anatomi misalnya charot. Plain foto yang dilakukan dalam kasus
disfungsi anatomi adalah plain foto polos kaki dan pergelangan kaki,
dimana dari hasilnya nanti dapat memberikan informasi yang berguna.
Selain itu plain foto polos tulang belakang juga diperlukan untuk menilai
jarak intravertebralis dan pedicle untuk mengindikasikan adanya lesi pada
saraf yang disebabkan oleh proses metastase.
 Ultrasonografi
Ultrasonografi dilakukan dalam kasus drop foot dengan kecurigaan terjadi
pendarahan pada pasien dengan pinggul atau lutut prosthesis.
 Magnetic Resonance Imanging
Magnetic Resonance Imanging (MRI) dilakukan dengan indikasi
kecurigaan terhadap tumor atau massa tekan ke saraf peroneal, dimana
dilakukan dengan sistem standar 1,5 Tesla MRI. Magnetic Resonance
Imanging digunakan untuk menghasilkan gambar dengan resolusi tinggi
dari saraf perifer, serta intraneural dan ekstraneural terkait lesi yang terjadi.
Magnetic Resonance Imanging memnungkinkan akusisi cepat gambar
anatomi lebih rinci, bidang pandang yang lebih kecl, resolusi yanglebiih
tinggi, dan dengan bagian potongan yang lebih tipis. Keunggulan pada MRI
ini dapat memberikan gambar yang mampu menunjukan organisasi
fasciculus saraf perifer normal, sehingga membuat saraf lebih jelas daat
dibedakan dari jaringan lain (misalnya, tumor atau pembuluh darah)
Selain itu, gambar pada MRI dapat diproses lebih lanjut untuk
memungkinkan susunan bagian aksial dan memotong data di bagian lain.
Hal ini bermanfaat dalam mengetahui batas longitudinal keterlibatan saraf
tersebut.
 Elektromyelogram
Gangguan metabolisme sering dijadikan diagnosis banding drop foot
seperti yang diuraikan sebelumnya. Drop foot biasanya juga di diagnosis
banding dengan beberapa keadaan seperti, spastisitas, distonia, penyakit motor
neuron, L5 radikulopati, plexopathy lumbosakral, kelumpuhan saraf siatik,
tekan peroneal neuropati, neuropati ferifer dan beberapa miopati.
Elektromyelogram (EMG) berguna dalam membedakan diagnosa ini.
Pemeriksaan ini dapat mengkonfirmasi jenis neuropati, menetapkan lokasi lesi,
memperkirakan luasnya cedera, dan memberikan prognosis. Selain itu EMG
juga berguna sebagai studi sekuensial yang bertujuan untuk memantau
pemulihan lesi akut. Elektromyelogram (EMG) sangat baik digunakan untuk
melokalisasi kepala fibula. Elektromyelogram juga digunakan untuk
mengetahui perlambatan atau penurunan amplitudo ekstensor digitorum brevis
di daerah kompresi pada lesi myelin. Pada perlambatan akann terlihat
demyelinasi segmental dan penurunan amplitudo terlihat dalam blok konduksi.
Elektromyelogram (EMG) juga baik digunakan untuk menentukan
prognosis dari drop foot.

 Pada lesi mielin murni ( konduksi blok), pemulihan dapat terjadi setelah tiga
minggu sampai satu bulan.
 Pada lesi aksonal yang berat, pemulihan dapat berlangsung dari enam bulan
sampai satu tahun.

 Pada lesi campuran, pemulihan dapat berlangsung dari tiga minggu sampai
satu tahun.

Diagnosis banding drop foot dan gambaran pemeriksaan elektrofisiologi, dan protocol
pemeriksaan EMG pada lesi nervus peroneus terlihat pada tabel 01.

Tabel 1. Gambaran elektrofisiologi pada drop foot

KHS n. peroneus
Lesi CMAP SNAP* Kelainan EMG jarum
Neuropati n. peroneus Blok-konduksi Normal/menurun m. tibialis anterior
setinggi kaput fibula setinggi kaput fibula m.peroneus
Neuropati n. iskiadikus Normal/menurun Normal/menurun m. tibialis anterior
m.peroneus
m. bisep femoris
Radikulopati L5-S1 Normal/menurun Normal/menurun m. tibialis anterior
m.peroneus
m. bisep femoris
m. gluteus medius
m. gluteus maksimus
m. paraspinal L5-S1

Penatalaksanaan Drop Foot

Penatalaksanaan foot drop meliputi fisioterapi, alat orthotik, terapi medik dengan obat-
obatan, stimulasi saraf tepi, dan pembedahan. Modalitas terapi tersebut dapat digunakan
sebagai modalitas tunggal atau kombinasi dua atau lebih modalitas. Penatalaksanaan lini
pertama yang biasa dilakukan adalah fisioterapi atau ankle-foot orthosis (AFO). Terapi medis
meliputi obat-obat oral seperti baclofen, dantrolene, atau tizanidine. Tindakan pembedahan
untuk penatalaksanaan drop foot meliputi selective tendon release, selective dorsal
rhizotomy, dan intrathecal baclofen pump.

Gambar 5. Siklus gaya jalan (gait) normal6

Gambar 6. Gaya jalan drop foot6

Penatalaksanaan di Bidang Medis

Penatalaksanaan foot drop diarahkan berdasarkan penyebabnya. Apabila keadaan foot


drop tidak dapat diperbaiki dengan pembedahan maka dapat dianjurkan penggunaan ankle-
foot orthosis (AFO). AFO juga dapat digunakan pada masa penyembuhan neurologis atau
penyembuhan setelah operasi. Penggunaan AFO secara spesifik bertujuan untuk memberikan
dorsofleksi jari-jari kaki pada saat fase mengayunkan kaki, stabilitas lateral dan medial pada
saat fase stasis, dan jika perlu juga dapat membantu stimulasi mendorong ke atas pada saat
fase stasis akhir.2 AFO hanya efektif digunakan apabila kaki dapat mencapai posisi
plantigrade ketika berdiri. Keberhasilan penggunaan AFO sebagai alat bantu jalan akan
berkurang apabila terdapat kontraktur equinus..
Peroneal nerve stimulation atau disebut juga Functional Electrical Stimulation (FES)
dapat dipertimbangkan pada foot drop yang disebabkan oleh hemiplegia. Nerve stimulation
memberikan efektifitas yang lebih apabila digunakan bersamaan dengan AFO karena nerve
stimulation memberikan koreksi gaya jalan (gait) aktif dan dapat disesuaikan dengan masing
masing pasien secara individual. Peroneal nerve stimulation dilakukan dengan memberikan
stimulasi elektrik durasi pendek pada nervus peronealis diantara fossa poplitea dan kepala
fibula. Sebuah saklar yang dipasang di tumit kaki yang menderita kelemahan akan
mengontrol aliran stimulasi elektrik. Stimulator akan diaktivasi pada saat kaki diangkat dan
berhenti pada saat kaki menyentuh lantai. Dengan demikian maka tercapai dorsofleksi dan
eversi selama fase mengayun pada gait.

Pengertian Osteogenesis Imperfecta

Osteogenesis imperfecta merupakan suatu kondisi cacat kongenital karena terjadi suatu mutasi
genetik pada kode prokolagen tipe 1 yang menyebabkan terjadinya fragilitas pada tulang (Helmi,
2014). Osteogenesis Imperfecta diturunkan secara genetik, dengan karakteristik kerapuhan pada
tulang dan rendahnya massa tulang, mempunyai kecenderungan mengalami fraktur berulang
akibat trauma ringan sampai sedang. Kelainan ini disebut juga brittle bone disease (Ikatan Dokter
Anak, 2016).

Penyebab Osteogenesis Imperfecta

Menurut Helmi (2014) penyebab terjadinya osteogenesis imperfecta hampir 90% dikarenakan
adanya kelainan struktural atau produksi dari dari prokolagen tipe I ( COL1A1 dan COL1A2 )
yang merupakan komponen protein utama matriks ekstraseluler tulang dan kulit.
Patofisiologi Osteogenesis Imperfecta

Serat kolagen tipe 1 yang terdapat pada tulang, organ kapsular, fasia, kornea, sklera, meninges,
dan dermis yang mengalami mutasi tidak terkodekan merupakan penyebab osteogenesis
imperfecta yang diperoleh dari pemeriksaan histologis. adanya abnormalitas pada molekul
kolagen tipe 1 atau defek kualitatif dan penurunan pada produksi molekul kolagen tipe 1 atau
defek kuantitatif yang memberikan manfestasi modifikasi dari kolagen dan menimbulkan
sindrom dari osteogenesis imperfecta (Helmi, 2014).

Klasifikasi Osteogenesis Imperfecta

Menurut Helmi (2014) osteogenesis imperfecta dapat diklasifikasi menjadi empat yaitu
Osteogenesis imperfecta tipe I, Osteogenesis tipe II, Osteogenesis tipe III dan Osteogenesis tipe
IV.

1. Osteogenesis imperfecta tipe I


Osteogenesis tipe I yaitu tidak terdapat deformitas pada tulang Panjang, bisa ditemukan
sklera berwarna biru atau putih, ditemukannya dentinogenesis imperfecta, mengalami
fraktur 1-60 kali, fraktur sering terjadi saat usia bayi dan bisa terjadi disetiap fase usia,
tinggi badan biasanya normal, memiliki kemampuan adaptasi terhadap nyeri yang tinggi,
toleransi antara latihan dan kekuatan terjadi penurunan yang signifikan, kehilangan
pendengaran, kifoskoliosis dan mudah mengalami memar.
2. Osteogeneis imperfecta tipe I
Osteogenesis imperfecta tipe II yaitu ditemukannya sklera berwarna biru,
terjadinya fraktur di dalam rahim, termasuk tulang kepala, tulang belakang, dan tulang
panjang, adanya penonjolan tulang iga, terjadi deformitas berat pada tulang tulang
panjang.
3. Osteogenesis tipe III
Osteogenesis tipe III yaitu ditemukan adanya gangguan sendi ( hyperlaxity ),
kelemahan otot, nyeri tulang kronis, deformitas tengkorak, terjadi kerapuhan tulang
selama usia bayi, deformitas pada rangka atas, adanya perubahan sklera menjadi biru,
pemendekan rangka badan, sering memiliki wajah yang berbentuk segitiga disertai
maloklusi,vertigo,malformasi pada struktur jantung kongenital, hiperkalsiuria, komplikasi
pernapasan sekunder dari klifoskoliosis.
4. Osteogenesis imperfecta tipe IV
Osteogenesis imperfecta tipe IV merupakan tipe yang belum teridentifikasi
dengan jelas. Meskipun penderita memiliki tinggi badan yang normal dan sklera normal
namun, bisa ditemukan dentinogenesis imperfecta, fraktur yang sering di masa bayi,
biasanya terjadi pembengkokan pada tulang panjang.

Manifestasi klinis

Gejala penyakit osteogenesis imperfecta biasanya anak akan memiliki ukuran tubuh yang
pendek dan mungkin mengalami deformitas pada struktur tulang kranium dan anggota badan,
kulit tipis, sklera mata yang kebiruan, terjadinya kerapuhan gigi atau yang dikenal dengan
dentinogenesis imperfecta, adanya tanda penurunan pengendapan kolagen serta sering timbul
masalah pendengaran seiring bertambahnya usia anak akibat deformitas pada tulang pendengaran
dan pembentukan jaringan parut di telinga bagian tengah dan dalam (Corwin, 2009).

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada penderita osteogenesis imperfecta menurut
(Ikatan Dokter Anak, 2016).

1. Radiologi
Ditemukannya tanda berupa fraktur atau adanya penurunan densitas mineral tulang (
osteopenia atau osteoporosis ) dari USG prenatal, Bone survey, Bone mineral density ( bila
tersedia standar yang normal untuk anak yang sesuai dengan usianya ).
2. Laboratorium
Pemeriksaan biokimia tulang ( kalsium, vitamin D, fosfat, alkali fosfatase, magnesium
3. Jika klinis meragukan dan pemeriksaan yang memungkinkan, kultur fibroblast dan analisis
mutasi
Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk osteogenesis imperfecta menurut Helmi (2014).

1. Konservatif
Penatalkasanaan konservatif memiliki tujuan untuk memperkecil angka kejadian fraktur,
mencegah terjadinya deformitas pada tulang panjang dan scoliosis serta meningkatkan
luaran fungsional karena osteogenesis imperfecta adalah kondisi genetik, jadi tidak ada
pengobatan yang spesifik. Meskipun demikian pada beberapa penelitian menunjukkan
bisfosfonat intravena atau pamidronate dapat memberikan perbaikan bagi anak penderita
osteogenesis imperfecta. Bisfosfonat merupakan analog sintetis dari pirofosfat yang
merupakan penghambat alami reabsorpsi tulang osteoklastik sehingga mineralisasi tulang
meningkat dan menguatkan tulang. penderita osteogenesis imperfecta rentan terhadap
trauma dan membutuhkan imobilisasi dalam jangka yang lama karena fraktur yang sering
menyebabkan defisiensi vitamin D dan kalsium pada anak. Maka diperlukan supelemtaasi
vitamin D 400-800 IU dan 500-1.000 mg kalsium yang memiliki fungsi profilatik meskipun
tidak memperbaiki penyakit osteogenesis imperfecta.
2. Terapi bedah
Tata laksana ortopedi dengan tujuan untuk perawatan fraktur dan koreksi deformitas.
Fraktur akan dilakukan pemasangan spin atau cast.fraktur pada osteogenesis imperfecta akan
sembuh dengan baik, sedangkan cast diperlukan untuk meminimalkan osteoporosis karena
imobilisasi jangka waktu yang lama. Koreksi deformitas pada tulang panjang membutuhkan
prosedur osteotomi dan pemasangan rod intramedullary.
3. Aktivitas
Rehabilitasi fisik dimulai saat usia awal penderita sehingga penderita bisa mencapai
tingkat fungsional yang lebih tinggi yaitu berupa penguatan otot osotonik, stabilisasi sendi
dan latihan aerobik. Penderita tipe I dan pada beberapa kasus tipe IV penderita dapat
mobilisasi spontan. Kebanyakan penderita dari tipe III masih membutuhkan kursi roda akan
tetapi tetap tidak dapat mencegah adanya fraktur berulang. Kebanyakan penderita tipe IV
dan tipe III dapat melakukan mobilisasi dengan diberikan kombinasi terapi fisik penguatan
otot sendi panggul, peningkatan stamina, pemakaian bracing, dan koreksi ortopedi.

AKONDROPLASIA
I. PENDAHULUAN
Akondroplasia adalah salah satu bentuk kekerdilan tubuh yang sering dijumpai. Nama
lain dari Akondroplasia ini diantaranya adalah Achondroplastic dwarfism, Chondrodystrophia
fetalis, Chondrodystrophy syndrome, dan Congenital osteosclerosis. Walaupun akondroplasia
secara harafiah berarti “tidak adanya pembentukan kartilago”, masalah yang mendasari keadaan
ini bukan pembentukan kartilago, melainkan konversi kartilago menjadi tulang.1,2
Penyakit ini merupakan kelainan kongenital tulang rawan. Gangguan terutama pada
pertumbuhan tulang-tulang panjang, paling sering pada tulang lengan dan tungkai. Penyakit ini
merupakan displasia skeleton murni yang diturunkan secara autosomal dominan. 1,2,3
Penyakit ini memberikan gambaran perawakan pendek pada tubuh dan anggota gerak
yang tidak proporsional. Pemendekan anggota gerak terutama pada segmen proksimal yang
disebut rhizomelia.1

II. INSIDEN
Ini merupakan suatu bentuk yang cukup umum dari dwarfisme. Sekitar 85-90% kasus
merupakan mutasi genetik. Akondroplasia pertama kali ditemukan oleh Parrot (1878). Angka
kejadian kelainan ini adalah 1/25.000 kelahiran.1
Sumber lain mengatakan bahwa di Amerika Serikat, akondroplasia merupakan penyakit
herediter yang paling umum terjadi menyangkut perawakan pendek yang tidak seimbang. Kasus
ini terjadi 1 dalam 15.000-40.000 kelahiran hidup. 2,3,4,5

III. EPIDEMIOLOGI
Tidak ada hubungan antara ras dengan kasus akondroplasia. Ditemukan lebih banyak
penderita akondroplasia pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Akondroplasia dapat
dideteksi saat antenatal. Akondroplasia diturunkan secara autosomal dominan. Jika salah satu
orang tua menderita akondroplasia, 50% kemungkinan akan diturunkan kepada anaknya. Jika
kedua orang tua memiliki kelainan ini, kemungkinannya akan meningkat 75%. 1,3,4,5,6
Walaupun demikian, kira-kira 80% dari orang dengan akondroplasia memiliki orang tua
yang berperawakan sedang atau rata-rata. Hal ini disebabkan oleh mutasi baru dari gen FGFR3.
Komplikasi dari akondroplasia mempengaruhi seluruh kelompok usia. Pasien dengan tipe
homozigot dari akondroplasia jarang yang mampu bertahan hidup karena dapat mengalami
masalah serius yang berkaitan dengan pertumbuhan tulang dan biasanya akan meninggal pada
saat lahir atau beberapa lama setelah lahir oleh karena kegagalan napas. 2,4,5

IV. ETIOLOGI
Akondroplasia termasuk dalam kelompok penyakit osteokondrodisplasia (gangguan
pertumbuhan tulang dan kartilago) yang paling sering terjadi, mencakup beragam kelompok
penyakit yang ditandai dengan abnormalitas intrinsik dari kartilago atau tulang atau keduanya.
2,4,5,8,9

Keadaan ini memberikan ciri-ciri berikut : 7


1. Transmisi genetik
2. Abnormalitas dalam ukuran dan bentuk dari tulang anggota gerak, vertebra dan atau kranium
Akondroplasia disebabkan oleh mutasi dari gen reseptor faktor 3 pertumbuhan fibroblast
(fibroblast growth factor receptor 3/ FGFR3 gene). Gen FGFR3 menyediakan perintah untuk
membuat protein yang terlibat dalam perkembangan dan pemeliharaan tulang dan jaringan otak.
Protein ini membatasi pembentukan tulang dari kartilago (proses yang disebut osifikasi),
terutama pada tulang-tulang panjang. Dua jenis mutasi spesifik pada gen FGFR3 bertanggung
jawab untuk sekitar 99% kasus akondroplasia. Sisa 1% disebabkan oleh mutasi yang berbeda
pada gen yang sama. Para peneliti yakin bahwa mutasi-mutasi ini menyebabkan protein menjadi
lebih overaktif sehingga mempengaruhi perkembangan tulang dan terjadi gangguan pertumbuhan
tulang seperti yang terlihat pada penyakit ini. 2,5,7
Kerusakan primer adalah proliferasi kondrosit yang abnormal pada lempeng
pertumbuhan tulang yang menyebabkan pemendekan tulang-tulang panjang, tetapi ketebalan
tulang tetap sesuai/tidak berubah. Bagian yang lain dari tulang panjang ini mungkin tidak
dipengaruhi. Manifestasi dari gangguan ini adalah pendeknya anggota gerak (khususnya bagian
proksimal), tulang belakang yang normal, pembesaran kepala, saddle nose/jembatan hidung rata,
dan lordosis lumbal yang berlebihan. Penyakit ini diturunkan secara genetik. Walaupun
demikian, banyak kasus akondroplasia terjadi karena mutasi gen (perubahan gen). 2,4,5
V. ANATOMI DAN FISIOLOGI TULANG
Akondroplasia merupakan salah satu dari penyakit kondrodistrofi atau
osteokondrodisplasia dimana perkembangan kartilago dan tulang terganggu, mencakup beragam
kelompok penyakit yang ditandai dengan abnormalitas intrinsik dari kartilago atau tulang atau
keduanya. 5,7,8,10
Tulang-tulang panjang memendek tetapi ukurannya menjadi lebar karena pertumbuhan
tambahan tulang tidak dipengaruhi. Tulang tengkorak juga ikut membesar. Kolumna spinalis
memiliki panjang yang relatif normal, tetapi menjadi bentuk kifosis karena kelainan dari vertebra
dan bentuk tubuh. 5,11

1. Tulang
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Pembentuk jaringan tulang terdiri atas
sel-sel tulang (sel osteoprogenitor, osteoblast, osteosit, dan osteoklas) dan matriks tulang.
Komponen-komponen nonselular utama dari tulang adalah mineral-mineral dan matriks organik
(kolagen dan proteoglikan). Kalsium dan kristal membentuk suatu garam kristal (hidroksiapatit)
yang merupakan matriks non organik, yang tertimbun pada matriks kolagen dan proteoglikan.
Mineral-mineral ini memadatkan kekuatan tulang. Matriks organik tulang disebut juga osteoid.
Sekitar 70% dari osteoid adalah kolagen tipe 1 yang kaku. Materi organik lain yang menyusun
tulang berupa proteoglikan seperti asam hialuronat. 12
Secara makroskopik, tulang terdiri atas spongiosa (kanselosa) dan kompak (padat).
Permukaan luar tulang dilapisi selubung fibrosa (periosteum). Lapis tipis jaringan ikat
(endosteum) melapisi rongga sumsum dan meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak. 12
Secara mikroskopik, tulang terdiri atas : 12
1. Sistem Havers yaitu saluran Havers (saraf, pembuluh darah, aliran limfe)
2. Lamella (lempeng tulang yang tersusun konsentris).
3. Lakuna (ruangan kecil yang terdapat di antara lempengan–lempengan yang mengandung sel
tulang).
4. Kanalikuli (memancar di antara lakuna dan tempat difusi makanan sampai ke osteon).
Tulang panjang utamanya memiliki bagian-bagian yang khas meliputi diafisis, metafisis
dan epifisis. Diafisis atau batang merupakan bagian tengah tulang yang berbentuk silinder.
Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang besar. Metafisis
merupakan bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang. Daerah ini terutama disusun
oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa yang mengandung sel-sel hematopoetik. Lempeng
epifisis merupakan daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak dan bagian ini akan
menghilang pada tulang dewasa. Bagian ini langsung berbatasan dengan sendi tulang panjang
yang bersatu dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang terhenti. Seluruh tulang
diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum yang mengandung sel-sel yang dapat
berproliferasi dan berperan dalam proses pertumbuhan transversal tulang panjang. 12
Lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan ini memiliki 4 lapisan. Lapisan sel yang
letaknya paling atas dekat dengan epifisis disebut daerah sel istirahat. Lapisan berikutnya adalah
zona proliferasi, dimana pada zona ini terjadi pembelahan aktif sel, dan di sini dimulainya suatu
pertumbuhan tulang panjang. Sel-sel yang aktif ini didorong ke arah batang tulang ke dalam zona
hipertrofi, suatu tempat di mana sel-sel membengkak menjadi lemah dan secara metabolik
menjadi tidak aktif. 12
Di dalam daerah kalsifikasi tambahan inilah sel-sel tulang mulai menjadi keras karena
mineral disimpan dalam kolagen dan proteoglikan. Kerusakan pada daerah proliferasi dapat
menyebabkan pertumbuhan terhenti dengan retardasi pertumbuhan longitudinal anggota gerak
tersebut atau terjadi deformitas progresif bila hanya sebagian dari lempeng tulang yang
mengalami kerusakan berat. 12

Gambar 1. Proses perkembangan tulang 8


Pembagian tulang menurut bentuknya adalah: 12
1. Ossa longa (tulang panjang) yaitu tulang yang ukuran panjangnya terbesar, contoh: os
humerus.
2. Ossa brevia (tulang pendek) yaitu tulang yang ketiga ukurannya (panjang, lebar, dan
tebal) kira-kira sama besar, contoh: ossa carpi
3. Ossa plana (tulang gepeng/pipih): tulang yang ukuran lebarnya terbesar, contoh: os
parietal
4. Ossa irregular (tulang tak beraturan), contoh: os sphenoidale
5. Ossa pneumatica (tulang berongga udara), contoh: os maxilla.

2. Tulang Rawan/Kartilago
Tulang rawan berkembang dari mesenkim membentuk sel yang disebut kondrosit . Kondrosit
menempati rongga kecil (lakuna) di dalam matriks dengan substansi dasar seperti gel (berupa
proteoglikans) yang basofilik. Kalsifikasi menyebabkan tulang rawan tumbuh menjadi tulang
keras. Pertumbuhan tulang rawan berakhir selama periode dewasa. 12
Berdasarkan jenis dan jumlah serat di dalam matriks, ada 3 macam tulang rawan: 12
1. Tulang rawan hialin: matriks mengandung serat kolagen. Kartilago jenis ini yang paling
banyak dijumpai
2. Tulang rawan elastin: serupa dengan tulang rawan hialin tetapi lebih banyak serat elastin
yang mengumpul pada dinding lakuna yang mengelilingi kondrosit
3. Fibrokartilago: tidak pernah berdiri sendiri tetapi secara berangsur menyatu dengan
tulang rawan hialin atau jaringan ikat fibrosa yang berdekatan.
Ada dua cara pertumbuhan tulang rawan, yaitu : 12
1. Appositional growth yaitu pertumbuhan tulang rawan dari luar. Sel pembentuk kartilago
di dalam perikondrium menyekresi matriks baru ke permukaan luar kartilago yang sudah
ada.
2. Interstisial growth yaitu pertumbuhan dari dalam. Kondrosit yang berikatan dengan
lakuna di dalam kartilago membelah dan menyekresi matriks baru dan memperluas
kartilago dari dalam.

VI. PATOFISIOLOGI
Pertumbuhan tulang yang normal tergantung pada produksi kartilago (suatu jaringan
penyambung tipe fibrosa yang bertindak sebagai dasar pembentukan tulang). Kalsium
didepositkan dalam kartilago, akan menyebabkannya menjadi keras dan berubah menjadi tulang.
Pada akondroplasia, kelainan dari proses ini menghalangi tulang-tulang (utamanya tulang pada
anggota gerak) untuk dapat bertumbuh panjang
sebagaimana yang seharusnya, tetapi pada saat yang sama justru tulang menebal secara
abnormal. Tulang-tulang pada trunkus dan kranium kebanyakan tidak dipengaruhi, walaupun
foramen magnum sering menyempit dibandingkan dengan yang normal, dan kanalis spinalis
mengecil. 6,13
Akondroplasia merupakan penyakit genetik yang disebabkan oleh mutasi pada gen
FGFR3 yang menghambat pertumbuhan kartilago pada lempeng pertumbuhannya. FGFR3
mengkode suatu protein yang disebut Fibroblast Growth Factor Receptor 3. Protein ini
merupakan tempat bekerjanya faktor pertumbuhan utama yang bertanggung jawab terhadap
proses pemanjangan tulang. Ketika faktor pertumbuhan ini tidak dapat bekerja dengan baik
karena hilangnya reseptor tersebut, pertumbuhan tulang pada kartilago lempeng pertumbuhan
akan mengalami perlambatan. Hal ini mengakibatkan pemendekan tulang, bentuk tulang yang
abnormal dan perawakan pendek. 2,5,6

VII. DIAGNOSIS
A. Diagnosis Klinik
Akondroplasia dapat didiagnosis berdasarkan karakteristik klinis dan gambaran radiologi.
Pada bayi, dimana diagnosis mungkin sulit dilakukan, dan pada seseorang dengan gejala yang
tidak khas, tes molekul genetik dapat digunakan untuk mendeteksi mutasi dari gen FGFR3 (lokus
4p16.3). 2,4
Diagnosis akondroplasia ditegakkan berdasarkan gejala klinik yaitu perawakan tubuh dan
anggota gerak yang pendek, tidak proporsional, disertai kepala yang besar (brakisefal) dengan
penonjolan frontal, penonjolan tulang mandibula dan hidung pesek. 1
Gibbus pada daerah lumbal merupakan tanda umum akondroplasia dan akan menghilang
pada tahun pertama. Selanjutnya punggung akan menjadi lurus dan berganti dengan lordosis
lumbal. Pada kasus ini ditemukan adanya lordosis setinggi vertebra torakal 12 sampai lumbal 5.1
Batang tubuh dan tungkai pendek. Tungkai bengkok dan segmen tungkai proksimal lebih
pendek (rhizomelia). Diameter kranium biasanya lebih besar daripada persentil ke-97 dengan
penonjolan dahi (frontal bossing), bagian tengah wajah sering mengecil, nostril menyempit dan
jembatan hidung rata (saddle nose). Biasanya ada brakidaktili dan menyerupai trident. Siku
mungkin terbatas dalam ekstensi dan pronasi. 3
Ciri-ciri dari akondroplasia selalu nyata saat lahir. Kebanyakan dari individu yang
menderita kelainan ini memiliki intelegensi yang normal. Pada bayi, hipotoni ringan sampai
sedang, dan kemampuan perkembangan motorik sering terlambat. Bayi kesulitan menegakkan
kepalanya karena hipotonia dan besarnya ukuran kepala. 1,4
Masalah respirasi dapat terjadi pada anak dan bayi. Obstruksi dari jalan napas dapat
berasal dari pusat pernapasan karena kompresi dari foramen magnum atau yang berasal dari
obstruksi karena penyempitan rongga hidung. Gejala dari obstruksi jalan napas termasuk stridor
dan apnu saat tidur. Individu yang mengalami hal ini sering tidur dengan posisi hiperekstensi
leher. Dwarfisme dengan akondroplasia merupakan sebab primer dari pemendekan anggota
gerak. tungkai biasanya lurus pada bayi, tetapi lutut menjadi bentuk valgus saat anak-anak mulai
berjalan. Pada anak yang sudah mampu berjalan, lutut berubah menjadi bentuk varus. Jari tangan
dan kaki memendek. 4
Infeksi telinga bagian tengah sering terjadi pada bayi dan anak karena kecilnya ukuran
dari saluran hidung dan karena disfungsi pada tuba eustachius. Infeksi telinga yang menetap
dapat menyebabkan penurunan pendengaran. Mandibula juga dapat membesar. Hal ini
mengakibatkan gigi berdesak-desakan.3,4
Manifestasi klinik dari akondroplasia dapat dirangkum sebagai berikut : 3,4,13
 Pemendekan anggota gerak (terutama lengan dan tungkai bagian proksimal) atau
rhizomelia yang dapat dikenali pada saat lahir
 Pembesaran kepala dengan penonjolan dahi (frontal bossing)
 Hipoplasi bagian tengah wajah/bentuk wajah kurang berkembang, saddle nose (jembatan
hidung menjadi rata/hidung berbentuk seperti pelana)
 Tangan berbentuk trident, dimana antara jari tengah dan jari manis terdapat jarak
sehingga tangan seperti garpu bersusuk tiga
 Pembatasan ekstensi siku, tetapi tidak mempengaruhi penderita akondroplasia untuk
dapat beraktivitas secara normal
 Gibus di regio torakolumbal pada bayi. Tulang belakang membengkok dengan
penonjolan bokong pada anak dan orang dewasa, waddling gait.
 Genu varum

B. Gambaran Radiologi
Gambaran radiologik menunjang diagnosis yaitu ditemukannya basis kranium yang kecil,
kepala relatif lebih lebar dari wajah dengan penonjolan frontal dan hipoplasia mandibula,
pemendekan tulang-tulang panjang dan pelvis yang sempit. Riwayat adanya akondroplasia dalam
keluarga semakin memperkuat diagnosis ini. 4

1. Foto Polos X-Ray


a. Vertebra
Roentgenogram menampakkan diameter anteroposterior dari korpus vertebra pendek,
tetapi tinggi dari tulang vertebra tidak berkurang secara signifikan. Pada regio torakolumbal
(vertebra torakalis bawah atau vertebra lumbalis atas), satu atau dua dari korpus vertebra dapat
tampak seperti baji anterior atau menonjol seperti moncong peluru (bullet-nosed). Korpus
vertebra torakolumbal mungkin mirip seperti yang ditemukan pada sindrom Hurler. Lekuk-lekuk
dari bagian posterior tulang vertebra dapat terlihat, utamanya vertebra lumbalis. 3,6
Gambar 2 Gambar 3
Gambar 2. Stenosis spinalis. Korpus vertebra posterior
berlekuk-lekuk di antara daerah distal, di atas teka yang
opak. 6

Gambar 3. Penyempitan progresif dari kanalis vertebralis


daerah lumbal, bullet-nose vertebra, dan lordosis
lumbalis. Tulang-tulang iga memendek.4

Kanalis spinalis pada daerah lumbal meruncing ke arah kaudal sehingga jarak
4
A. (Tulang-tulang
interpedinkulus berkurang dari L1 iga memendek.
sampai L5 (pedikel tampak pendek), berlawanan dengan
pelebaran kaudal pada normalnya. Ini merupakan tanda yang membedakan akondroplasia,
walaupun tidak tampak pada bayi baru lahir. Ruang diskus bertambah karena pada penampakan
lateral akan menunjukkan pengecilan dari kanalis spinalis. Gejala yang berat dari protrusi diskus
intervertebralis kemungkinan besar akan berkembang pada masa mendatang. Stenosis spinalis
pada regio lumbosakral merupakan faktor predisposisi yang penting dan dapat dikonfirmasi
dengan pemeriksaan radikulografi, CT atau MRI. 3,6

b. Pelvis
Pelvis menjadi pendek, kecil dan diameternya berkurang. Sayap iliaka menjadi lebih
lebar dan sedikit memberikan gambaran batu nisan (tombstone appereance). Asetabulum letak
posterior dan atap asetebulum menjadi horizontal. L5 letak lebih dalam dan kemiringan pelvis
berlebihan menyebabkan penonjolan dari gluteus dan bentuk punggung lordosis. Lekukan
sakroiskiadika yang sempit dan dalam (champagne glass appereance). 3,6

Gambar 4.

Sayap iliaka melebar dengan atap


asetabulum menjadi horizontal.
Penyempitan jarak interpedikel pada
daerah lumbosakral dan kerusakan pada
metafisis femur bagian distal. 6
Gambar 5.

Penyempitan progresif jarak


interpedikel dengan gambaran
pelvis champagne-glass. Kedua
tungkai lurus pada bayi. 4

c. Tulang-tulang Panjang
Tulang panjang, panjangnya berkurang, terutama pada segmen tungkai proksimal,
tampak agak lebar dan pendek gemuk. Pemendekan paling besar pada falang. Tubulus tulang
memendek, tampak melebar dan memiliki insersi otot yang jelas. Humerus dan femur lebih
dipengaruhi dibandingkan dengan tulang-tulang distal (rhizomelia). Fibula memanjang dan
membengkok. Celah sendi mengalami pelebaran ke arah proksimal epifisis dan metafisis dan
dapat tampak berbentuk V (tanda sirkumfleksi). Keterlambatan proses osifikasi dan pengurangan
diameter anteroposterior menyebabkan ujung tulang femur, misalnya pada bayi menampakkan
densitas radiolusen. Defek yang terjadi pada anak yang lebih tua berada di epifisis dari
tuberkulum tibia karena kelebihan kartilago yang tidak terkalsifikasi pada usia ini. 3,6
Gambar 6. Gambar 7

Gambar 6. Humerus membengkok ke posterior, menyebabkan ekstensi


lengan berkurang. Dislokasi kaput radius ke arah posterior juga dapat
menjadi salah satu penyebab.4

Gambar 7. Tanda sirkumfleksi (inverted V configuration), yang


mengakibatkan gaya berjalan waddling gait.4

d. Perubahan Tulang Tengkorak


Perubahan-perubahan ini penting untuk diagnosis dari akondroplasia. Tulang kalvaria
(atap tengkorak) relatif membesar dibandingkan dengan wajah disertai dengan penonjolan frontal
dan hipoplasia maksila, tetapi basis krani memendek. Sela tursika dapat mengecil. Foramen
magnum mengecil dan berbentuk corong (funnel-shapped) yang tidak teratur. 3,6
Hidrosefalus dapat terjadi dan telah dihubungkan oleh penyebab mekanik ini.

Gambar 8.

Pembesaran kalvaria kranii (atap


tengkorak). Perhatikan adanya
pembesaran mandibula dan
penonjolan frontal (frontal
bossing). 4

e. Dada
Diameter anteroposterior dada berkurang disertai pemendekan iga anterior. Gambaran
radiologis akondroplasia serupa dengan pseudoakondroplasia, tapi pada pseudoakondroplasia
kelainannya di epifisis, sedangkan akondroplasia terletak di metafisis. Dengan foto lateral tulang
belakang pada pseudoakondroplasia terlihat penonjolan di pusat vertebra yang berasal dari
permukaan depan, sedang pada akondroplasia kelainan pada arkus bagian belakang. 3,6
Tulang-tulang iga menjadi pendek, ujung anterior costa melebar, sternum pendek dan
lebar/besar. Skapula memiliki bentuk ganjil/aneh, di mana skapula akan
Gambar 9

Pemendekan tulang-tulang iga.4

kehilangan sudutnya yang tajam. Fossa glenoid kecil dalam hubungannya dengan kaput
humerus. 3,6

f. Tangan dan Kaki


Tubulus tulang dari tangan dan kaki terlihat pendek dan melebar, tetapi tulang-tulang
karpal dan tarsal sedikit dipengaruhi. Pemendekan paling besar pada falang. Tangan berbentuk
trident sering ditemukan, di mana semua jari hampir memiliki panjang yang sama, berpasangan
ditambah dengan ibu jari dan menjauh satu dengan yang lain.3,6

Gambar 10.

Tangan berbentuk trident (Trident


hands). Jari-jari melebar dengan panjang
yang hampir sama.4
2. CT-Scan
CT-Scan menunjukkan bahwa anak-anak dengan akondroplasia memiliki beberapa
derajat penekanan foramen magnum. Sekitar 96% anak-anak, foramen magnum kurang dari 3
standar deviasi. CT-Scan dan atau MRI dapat menggambarkan perubahan ini. 4
Kanalis spinalis yang kecil terjadi pada servikal sejak lahir, tetapi gejala dari stenosis
kanalis servikalis secara umum tidak timbul sampai usia pertengahan atau lebih. Pencitraan
preoperatif dengan CT, CT mielografi dan atau MRI penting untuk suatu operasi. 4
Sensitivitas CT mielografi lebih besar daripada mielografi konvensional. CT
menggambarkan tulang lebih mendetail daripada MRI. MRI memiliki keuntungan bebas dari
radiasi, tetapi banyak klinikus yang menganggap bahwa derajat stenosis biasanya paling baik
dilihat dengan menggunakan mielografi. 4
Fossa posterior dari otak dan sumsum tulang lebih baik terlihat pada MRI daripada CT.
Edema sumsum tulang dan perubahan-perubahan yang menyertai myelomalacia biasanya tidak
dapat dilihat dengan CT. CT-Scan juga hanya memberikan kelainan yang menyertai secara tidak
langsung, seperti syringomyelia, sedangkan MRI menunjukkan karakteristik secara langsung dan
lebih jelas. 4

3. MRI
Pada kanalis spinalis, kelainan yang menyertai akondroplasia seperti syringomyelia dan
perubahan myelomalacia dapat dicitrakan dengan baik oleh MRI. Pada syringomyelia, MRI akan
memperlihatkan cairan sentral yang mengisi kavitas.4,15
Pada stenosis spinalis, MRI juga dapat mendemonstrasikan protrusi diskus
intervertebralis dan osteofit yang menyebabkan penekanan tulang belakang serta hidrosefalus.
MRI merupakan teknik nonivasif yang ideal untuk anak-anak karena tidak menggunakan radiasi
ionisasi. MRI memiliki keuntungan lebih daripada CT-scan untuk menampilkan secara mendetail
mengenai sumsum tulang bagian fossa kranialis posterior. 4
Pemeriksaan klinis dan MRI yang lebih dini perlu dilakukan untuk menentukan apakah
bayi dengan akondroplasia mengalami kompresi medula bagian servikal. Dengan diagnosis yang
lebih cepat, dekompresi sedang pun dapat ditangani dengan baik untuk menghindari komplikasi
serius yang sering menyertai kompresi ini, termasuk kematian mendadak. 4
CT menggambarkan secara mendetail tentang tulang dan tingkatan stenosis spinalis lebih
baik dibandingkan dengan MRI. 4

Gambar 11.

Potongan sagital vertebra bagian


servikal. MRI menunjukkan
penyempitan foramen magnum pada
level C1, ruang subarachnoid tidak
terlihat jelas. Pasien berumur 6 tahun
dengan tanda defisit neurologi.4

4. Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat dilakukan pada pemeriksaan antenatal terhadap wanita yang
memiliki risiko akondroplasia. Ultrasonografi merupakan suatu modalitas yang noninvasif dan
baik untuk menilai keadaan ventrikel pada bayi sebelum fontanela menutup. USG mungkin dapat
ditambah dengan CT dan atau MRI kepala untuk memonitor kompresi dari foramen magnum. 4
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Patel dan Filly pada 15 fetus dengan
risiko akondroplasia tipe homozigot, disimpulkan bahwa pembentukan lengkung pertumbuhan
femoral pada trimester kedua dengan sonogram serial memungkinkan kita untuk membedakan
tipe homozigot, heterozigot dan fetus normal dari kedua orang tua yang menderita akondroplasia
tipe heterozigot. 4

C. Tes Molekul Genetik


Tes molekul genetik dapat digunakan untuk mendeteksi mutasi gen FGFR3. Beberapa tes
99% sensitif dan tersedia pada laboratorium klinik. Seorang dokter dapat mendiagnosis penyakit
ini sejak neonatus berdasarkan gejala-gejala fisik yang didapatkan. Untuk mengkonfirmasi
dwarfisme yang disebabkan oleh akondroplasia ini dapat digunakan foto polos X-ray. 4,13
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Walaupun lebih dari 100 displasia tulang yang menyebabkan perawakan pendek telah
diketahui, banyak di antaranya yang jarang ditemukan, dan semuanya memiliki gambaran klinik
dan radiologi yang membedakannya dengan akondroplasia. Berbeda dengan displasia skeletal
lainnya, tanda-tanda klinik dari akondroplasia terlihat saat lahir, tetapi tidak disertai dengan
insufisiensi napas. 4
1. Hipokondroplasia sering sukar untuk dibedakan dari keadaan-keadaan perawakan pendek
yang lain. Namun, dapat disimpulkan bahwa vertebra lumbal dan tungkai merupakan daerah
yang paling sering menjadi fokus diagnosis untuk penyakit ini. Untuk mengurangi risiko
kesalahan diagnosis, evaluasi radiologi dan pemeriksaan fisis diperlukan terutama untuk
pasien yang tidak memiliki kelainan genetik. 4
2. Pseudoakondroplasia merupakan displasia spondiloepimetafisis yang ditandai dengan
perawakan pendek yang tidak seimbang, kelemahan ligamen dan osteoarthritis prekoks. Pada
kebanyakan keluarga, penyakit ini dapat pula diturunkan secara autosomal dominan. 4
3. Akondrogenesis merupakan dwarfisme letal yang diturunkan secara autosomal resesif. Kedua
osifikasi endokondral dan membranosa dipengaruhi. Kalvaria, tulang belakang, dan tulang-
tulang panjang dapat dipengaruhi dan sering terjadi fraktur iga yang berulang. Pemendekan
anggota-anggota gerak sangat buruk. Kranium dan tulang-tulang kurang terosifikasi.
Penyempitan rongga dada juga menyertai kondisi ini, tetapi kepala tidak membesar relatif
terhadap postur tubuh. Polihidramnion juga selalu terjadi. 4
4. Chondroectodermal dysplasia atau Ellis-van Creveld syndrome merupakan penyakit genetik
yang diturunkan secara autosomal resesif dengan tampilan yang bermacam-macam. Tulang-
tulang iga sangat pendek. Penyakit ini disertai dengan pemendekan tulang anggota-anggota
gerak, penyempitan rongga toraks, polidaktili, dan penyakit jantung bawaan. Kira-kira 50%
pasien memiliki defek septum atrial (ASD) yang besar. Ukuran dari rongga toraks sangat
menyolok ketika dibandingkan dengan ukuran abdomen dan kepala. 4
5. Osteogenesis imperfekta tipe IIa merupakan keadaan letal yang diturunkan secara autosomal
dominan. Kalvaria kranii penderita menjadi tipis yang mungkin dapat kolaps dan pasien ini
juga mempunyai anggota-anggota gerak yang pendek, menebal dan membengkok oleh
karena terjadi fraktur multipel. 4,14
6. Displasia diastrofik merupakan suatu penyakit autosomal resesif dengan kontraktur multipel
dan ibu jari yang melengkung ke dalam (hitchhiker’s thumb).4
7. Displasia tanatoforik terjadi secara sporadik dan merupakan displasia skeletal yang bersifat
letal terbanyak. Sekitar 14% pasien memiliki kepala berbentuk daun semanggi (cloverleaf
skull). Penyakit ini mungkin diturunkan pula secara autosomal resesif. Displasia tanatoforik
ditandai dengan penyempitan rongga toraks dan mikromelia. Pembesaran ukuran kepala
dengan dahi yang menonjol, kadang-kadang hidrosefalus dan polihidramnion pada masa
fetus. Jaringan-jaringan lunak pada anggota gerak mungkin menebal. Displasia tanatoforik
ini lebih sering terjadi pada fetus laki-laki daripada fetus perempuan. 4
8. Fibrokondrogenesis merupakan suatu penyakit autosomal resesif yang disertai dengan
kalvaria krani yang tipis. Sering pula terjadi kolaps sutura. Tulang-tulang anggota gerak
menjadi pendek dan tipis, tulang-tulang iga tipis dan sulit untuk divisualisasikan pada foto
thoraks. Tulang belakang tidak termineralisasi dengan baik dan metafisis menjadi lebar. 4

IX. PENANGANAN
Salah satu komplikasi dari akondroplasia adalah hidrosefalus yang biasanya diakibatkan
dari obstruksi foramen magnum dan karena sindrom kompresi medula spinalis segmen lumbalis
dan akar saraf, maloklusi gigi, gangguan pendengaran karena otitis media berulang dan
strabismus (akibat dismorfisme kraniofasial). Pembengkokan kaki dan kifosis menetap dapat
juga memerlukan perhatian. Di samping pengenalan segera dan pengobatan yang tepat,
manajemen masalah psikologis pada masa kanak-kanak harus diperhatikan. Terapi segera dan
tepat terutama diperlukan pada setiap episode otitis media akut. Hidrosefalus tidak lazim tetapi
harus dikenali seawal mungkin. Ada beberapa sumber mengatakan bahwa fisioterapi dan
penahan selama masa anak-anak dan dapat memperbaiki komplikasi kifosis infantil yang lama
atau lordosis berat yang dapat memperjelek stenosis lumbalis pada umur dewasa. Osteotomi
dapat terindikasi tepat sebelum atau selama remaja untuk mengoreksi pembengkokan kaki
progresif berat. 3

X. PROGNOSIS
Harapan hidup pada akondroplasia adalah normal, kecuali untuk sedikit (jarang)
penderita dengan hidrosefalus atau dengan komplikasi berat kompresi medula spinalis servikalis
atau lumbalis. Rata-rata tinggi orang dewasa pada akondroplasia sekitar 131,5 cm pada pria dan
125cm pada wanita. 3
Bayi yang homozigot pada akondroplasia jarang yang bertahan hidup lebih dari beberapa
bulan. Akondroplasia yang bersifat homozigotik disebabkan oleh adanya 2 alel yang mutan pada
nukleotida 1138 dari gen FGFR3, merupakan penyakit yang serius sehubungan dengan
perubahan-perubahan radiologi yang secara kualitatif berbeda dari kebanyakan kasus
akondroplasia. Kematian dini terjadi karena insufisiensi pernapasan yang berhubungan dengan
kecilnya kavum toraks dan defisit neurologis karena stenosis medula spinalis daerah servikal.
Kematian karena penyakit jantung yang terjadi pada umur 25-35 tahun, sepuluh kali lebih tinggi
dibandingkan dengan kematian pada populasi umum. 4
DAFTAR PUSTAKA

1. Hartiono, V dan Satriono, R. Sub.Bagian Endokrinologi BIKA FK - Unhas RSUP Dr.


Wahidin Sudirohusodo. Akondroplasia. [online]. Available from:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_Akonroplasia.pdf/15_Akonroplasia.html
[diunduh pada tanggal 16/02/2010]
2. Best, M.A, MD, MPH, MBA, FCAP,FASCP.Achondroplasia.[online].
Availablefrom:http://www.accessdna.com/condition/Achondroplasia/15?gclid =
COXav5fRiqACFdRR6wodJ2bFcA URL : www.freemedicaljournals.com
[diunduh pada tanggal 16/02/2010]
3. Hall, B.D. Akondroplasia. Gangguan Tulang dan Sendi. In: Nelson Ilmu Kesehatan Anak
(Nelson Textbook of Pediatrics) Edisi 15 Vol.3. Nelson, MD et.al. Trans: Wahab,
Prof.DR.dr.SpA. EGC. Jakarta. 2000; 2397-2398
4. Khan, A.N. MBBS, FRCS, FRCP, FRCR. Achondroplasia. [online]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/415494-overview [diunduh pada tanggal
25/02/2010]
5. Favus, M.J and Vokes, T.J. Achondroplasia. Paget Disease and Other Dysplasias of The
Bone. In : Harrison’s Principles of Internal Medicine. 15th Ed. Braunwald et.al. Mc.Graw
Hill. India. 2003; 2244
6. Renton, P and Green, R. Achondroplasia. Congenital Skeletal Anomalies : Skeletal
Dysplasias, Chromosomal Disorders. In : Textbook of Radiology and Imaging. Volume
II. 7th Edition. Sutton D. (Editor). Elsevier Churchill Livingstone. Philadelphia. 2003;
1062, 1138-1141
7. Reiter, E.O and Rosenfeld, R.G. Achondroplasia. Normal and Aberrant Growth. In :
Williams Textbook of Endocrinology. 10th Ed. Larsen, et.al. Saunders. Philadelphia.
2003; 1034-1035
8. Murray, J.R.D, Holmes, E.J, Misra, R.R. Dysplasia:Developmental Disorders. In: A-Z of
Musculoskeletal and Trauma Radiology. Misra, R.R. Cambridge University Press.
Cambridge. 2008; 55
9. Bracchman. Skeletal Dysplasias. Scoliosis and Kyphosis. In: Campbell’s Operative
Orthopaedics. Vol2. 10th Ed. Canale, S.T. Mosby. Toronto. 2003;1931-1933
10. Helms, C.A. Achondroplasia. Miscellaneous Bone Lesions. In: Fundamental of
Diagnostic In Radiology. 2nd Ed. Brant, W.E, Helms, C.A. Lippincott Williams and
Wilkins. Virginia. 2007; 1183-1185
11. Carter, M.A. Anatomi dan Fisiologi Tulang dan Sendi. Gangguan Sistem Muskuloskeletal
dan Jaringan Ikat. In: Patofisiologi Konsep-Konsep Klinis Penyakit. Vol.2. Ed.6. Price,
S.A, Wilson, L.M. Trans: Pendit,dkk. EGC. Jakarta. 2006; 1357-1363
12. DeWitt, R.C, MD. Achondroplasia. [online]. Available from:
http://healthtools.aarp.org/galecontent/achondroplasia-2/3
URL:www.freemedicaljournals.com [diunduh pada tanggal 25/02/2010]
13. Anonym. Achondroplasia. [online]. Available from:
http://www.lifescript.com/Health/A-Z/Conditions_A-
Z/Conditions/A/Achondroplasia.aspx?gclid=CPrZ6JzPiqACFclA6wodQHCsdA&tr
ans=1&du=1&ef_id=1350:3:s_09ca01afe9b7cdae46cf140e563f6a96_2630480431:S4T
rldBbriUAAHamMm4AAABA:20100224090421 URL
:www.freemedicaljournals.com
14. Eastman, G.W, MD. Generalized Bone Diseases. Disease of The Bone. In: Getting
Started in Clinical Radiology, From Image to Diagnosis. Eastman, G.W, Wald, C,
Crossin, J, MD. Thieme. Germany. 2006; 135-137
15. Patel, P.R. Siringomielia. Neuroradiologi. In: Lecture Notes Radiologi Ed.2. Patel, P.R.
Trans: Umami, V, dr. Erlangga. Jakarta; 286

Anda mungkin juga menyukai