DF Akonfro
DF Akonfro
Drop foot adalah keterbatasan atau ketidakmampuan untuk mengangkat bagian depan
kaki yang mengacu kepada kelemahan otot-otot yang memungkinkan seseorang untuk
melenturkan pergelangan kaki dan jari kaki.
Etiologi
Drop Foot adalah gejala dari masalah yang mendasari, dari penyakit itu sendiri. Hal
ini dapat bersifat sementara atau permanen. Penyebab drop foot meliputi :
Cedera saraf. Merupakan penyebab yang paling sering terjadi, drop foot
disebabkan oleh cedera pada saraf peroneal. Saraf peroneal merupakan cabang
dari saraf sciatic yang membungkus dari belakang lutut ke depan tulang kering.
Karena itu duduk sangat dekat dengan permukaan, dapat menyebabkan cedera
dengan mudah.
Cedera pada saraf peroneal juga dapat dikaitkan dengan rasa sakit atau mati rasa
di sepanjang tulang kering atau bagian atas kaki.
Beberapa cara umum saraf peroneal rusak atau dikompresi meliputi :
Cedera olahraga
Diabtes Melitus
Hip or knee replacement surgery
Duduk bersila atau jongkok dalam waktu yang lama
Persalinan
Kehilangan sejumlah besar berat badan
Cedera pada akar saraf di tulang belakang juga dapat menyebabkan drop
foot.
2.4. Diagnosis
a) Anamnesis
Anamnesis pada penderita drop foot mencakup gejala yang menyertai seperti
ketidakmampuan mengangkat kaki bagian depan, nyeri, kelemahan pada kaki,
kelemahan hanya pada satu sisi saja atau kedua sisi, mati rasa, dan perubahan cara
berjalan. Sangat diperlukan riwayat penyakit yang pernah diderita yang berhubungan
dengan kelemahan kakinya. Riwayat trauma pada lutut atau pinggul. Riwayat
kebiasaan seperti duduk bersila, serta riwayat operasi pinggul atau lutut.
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sebenarnya sudah dimulai ketika penderita datang ke dokter
dengan mengamati penampakan umum penderita, raut muka, cara berjalan, cara
duduk dan cara tidur, proporsi tinggi badan terhadap anggota tubuh lainnya, keadaan
simetris bagian tubuh kiri dan kanan, cara berjalan dan tingkah laku, ekspresi wajah,
kecemasan serta reaksi emosional lainnya untuk melihat aspek-aspek emosional dan
somatis dari penderita.
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang paling penting dalam memperkuat
penemuan-penemuan yang berhasil kita dapatkan dari riwayat dan anamnesis yang
telah kita buat dan menambah atau mengurangi pilihan diagnosis yang dapat kita
lakukan .
Cara berjalan (gait)
Pengamatan gait merupakan aspek penting dari diagnosis yang dapat
memberikan informasi mengenai beberapa kondisi muskuloskeletal dan saraf.
Secara khusus, ada delapan gaits patologis dasar yang dapat dikaitkan dengan
kondisi neurologis : hemiplegia, diplegic kejang, neuropati, miopati,
Parkinsonian, choreiform, ataxic (serebelum) dan sensorik.
Hemiplegia Gait
Pasien berdiri dengan kelemahan unilateral pada sisi yang terkena,
lengan tertekuk, adduksi dan diputar secara internal. Kaki pada sisi yang
sama dalam ekstensi dengan fleksi plantar kaki dan jari kaki. Saat
berjalan, pasien akan terus memegang lengannya atau ke satu sisi dan
menyeret kaki yang terkena di setengah lingkaran (circumduction)
karena kelemahan otot distal (foot drop) dan ekstensor hypertonia di
tungkai bawah. Hal ini paling sering terlihat pada stroke. Dengan
hemiparesis ringan, kehilangan lengan ayun normal dan sedikit
circumduction mungkin satu-satunya kelainan .
Diplegic Gait
Pasien memiliki keterlibatan di kedua sisi dengan kelenturan di
ekstremitas bawah lebih buruk daripada ekstremitas atas. Pasien berjalan
dengan basis normal sempit, menyeret kedua kaki dan gesekan jari-jari
kaki. Cara berjalan ini terlihat pada lesi periventrikular bilateral, seperti
yang terlihat pada cerebral palsy. Ada juga karakteristik ekstrim
adductors pinggul yang dapat menyebabkan kaki untuk menyeberangi
garis tengah disebut sebagai gaya berjalan gunting. Di negara-negara
dengan perawatan medis yang memadai, pasien dengan cerebral palsy
mungkin memiliki operasi rilis adduktor hip untuk meminimalkan
scissoring.
Neuropathy Gait (steppage gait, Equine gait)
Terlihat pada pasien dengan drop foot (kelemahan kaki dorsofleksi),
penyebab gait ini adalah karena upaya untuk angkat kaki cukup tinggi
selama berjalan sehingga kaki menyeret di lantai. Jika unilateral,
penyebab termasuk peroneal kelumpuhan saraf dan L5 radiculopathy.
Jika bilateral, penyebab termasuk amyotrophic lateral sclerosis, penyakit
Charcot - Marie - Tooth dan neuropati perifer lainnya termasuk yang
berhubungan dengan diabetes yang tidak terkontrol.
Miopati Gait (Waddling Gait)
Otot panggul bertanggung jawab untuk menjaga tingkat panggul saat
berjalan. Jika Anda memiliki kelemahan pada satu sisi, hal ini akan
menyebabkan penurunan panggul di sisi kontralateral panggul sambil
berjalan (Trendelenburg tanda). Dengan kelemahan bilateral, Anda akan
menjatuhkan panggul di kedua sisi selama berjalan. Cara berjalan ini
terlihat pada pasien dengan miopati, seperti distrofi otot .
Gait Parkinsonian
Dalam gait ini, pasien akan memiliki kekakuan dan bradikinesia. Dia
akan membungkuk dengan kepala dan leher ke depan, dengan fleksi
pada lutut. Seluruh ekstremitas atas juga fleksi dengan jari biasanya
ekstensi. Pasien berjalan dengan langkah-langkah agak lambat diketahui
pada marche a petits pas (berjalan dari langkah-langkah kecil). Pasien
juga mungkin mengalami kesulitan memulai langkah. Pasien mungkin
menunjukkan kecenderungan tak sadar untuk mengambil langkah-
langkah percepatan, yang dikenal sebagai festinasi. Kiprah ini terlihat
pada penyakit Parkinson atau kondisi yang menyebabkan lain
parkinsonisme, seperti efek samping dari obat-obatan .
Choreiform Gait (hiperkinetik Gait)
Cara berjalan ini ini terlihat dengan gangguan ganglia basal tertentu
termasuk Sydenham 's chorea, Penyakit Huntington dan bentuk lain dari
chorea, athetosis atau dystonia. Pasien akan menampilkan gerakan tidak
teratur, gerakan involunter di semua ekstremitas. Berjalan dapat
menonjolkan gangguan gerakan dasar mereka .
Ataxic Gait ( serebelum )
Paling sering terlihat pada penyakit serebelar, cara berjalan ini
digambarkan sebagai kikuk, gerakan mengejutkan dengan kiprah
berbasis lebar. Sambil berdiri diam, tubuh pasien akan bolak-balik dan
dari sisi ke sisi, yang dikenal sebagai titubasi. Pasien tidak akan mampu
berjalan dari tumit sampai ujung kaki atau dalam garis lurus. Kiprah
keracunan alkohol akut akan menyerupai kiprah penyakit cerebellar.
Pasien dengan ketidakstabilan yang lebih truncal lebih mungkin untuk
memiliki penyakit cerebellar garis tengah pada vermis .
Gait sensorik
Saat kaki kita menyentuh tanah, kita menerima informasi
propioreceptive untuk memberitahu kita lokasi mereka. Cara berjalan
ataxic sensorik terjadi ketika kehilangan masukan propioreceptive ini.
Dalam upaya untuk mengetahui kapan kaki menapak dan lokasi mereka,
pasien akan membanting kaki keras ke tanah untuk merasakannya.
Kunci cara berjalan ini melibatkan eksaserbasi ketika pasien tidak dapat
melihat kaki mereka (yaitu dalam gelap). Cara berjalan ini juga kadang-
kadang disebut sebagai gait menghentak karena pasien dapat
mengangkat kaki mereka sangat tinggi untuk memukul tanah keras. Gait
ini dapat dilihat pada gangguan kolom dorsal (defisiensi B12 atau tabes
dorsalis) atau penyakit yang mempengaruhi saraf perifer (diabetes yang
tidak terkontrol). Dalam bentuk yang berat, gaya berjalan ini dapat
menyebabkan ataksia yang menyerupai gaya berjalan ataksia cerebellar.
c) Pemeriksaan Lokalis
Pemeriksaan dilakukan secara sitematis dengan urutan-urutan sebagai berikut:
Inspeksi (Look)
Inspeksi dilakukan secara sistematik dan perhatian terutama ditujukan
pada :
a. Kulit, meliputi warna kulit dan tekstur kulit.
b. Jaringan lunak yaitu pembuluh darah, saraf, otot, tendo, ligamen,
jaringan lemak, fasia, kelenjar limfe.
c. Tulang dan Sendi
d. Sinus dan jaringan parut
Palpasi (Feel)
Yang perlu diperhatikan pada palpasi adalah:
a. Suhu kulit, apakah lebih panas/dingin dari biasanya, apakah denyutan
arteri dapat diraba atau tidak.
b. Jaringan lunak; palpasi jaringan lunak dilakukan untuk mengetahui
adanya spasme otot, atrofi otot, keadaan membran sinovial, penebalan
membran jaringan sinovial, adanya tumor dan sifatnya, adanya cairan
di dalam/ di luar sendi atau adanya pembengkakan.
c. Nyeri tekan; perlu diketahui lokalisasi yang tepat dari nyeri, apakah
nyeri setempat atau nyeri yang bersifat kiriman dari tempat lain
(referred pain).
d. Tulang; diperhatikan bentuk, permukaan, ketebalan, penonjolan dari
tulang atau adanya gangguan di dalam hubungan yang normal antara
tulang yang satu dengan lainnya.
e. Pengukuran panjang anggota gerak; terutama untuk anggota gerak
bawah dimana adanya perbedaan panjang merupakan suatu hal yang
penting untuk dicermati. Pengukuran juga berguna untuk mengetahui
adanya atrofi/pembengkakan otot dengan membandingkan dengan
anggota gerak yang sehat.
Penilaian deformitas yang menetap;pemeriksaan ini dilakukan apabila
sendi tidak dapat diletakkan pada posisi anatomis yang normal.
Kekuatan otot (Power)
Pemeriksaan kekuatan otot penting artinya untuk diagnosis, tindakan,
prognosis serta hasil terapi. Penilaian dilakukan menurut Medical
Research Council dimana kekuatan otot dibagi dalam grade 0-5, yaitu:
Grade 0
Tidak ditemukan adanya kontraksi otot.
Grade 1
Kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus otot yang
dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakkan sendi.
Grade 2
Otot hanya mampu menggerakkan persendian tetapi kekuatannya tidak
dapat melawan pengaruh gravitasi.
Grade 3
Disamping dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh
gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan oleh pemeriksa.
Grade 4
Kekuatan otot seperti pada grade 3 disertai dengan kemampuan otot
terhadap tahanan yang ringan.
Grade 5
Kekuatan otot normal.
Penilaian gerakan sendi baik pergerakan aktif maupun pasif (Move)
Pada pergerakan sendi dikenal dua istilah pergerakan yang aktif
merupakan pergerakan sendi yang dilakukan oleh penderita sendiri dan
pergerakan pasif yaitu pergerakan sendi dengan bantuan pemeriksa.
Pada pergerakan dapat diperoleh informasi mengenai:
a) Evaluasi gerakan sendi secara aktif dan pasif
Apakah gerakan ini menimbulkan rasa sakit
Apakah gerakan ini disertai dengan adanya krepitasi
b) Stabilitas sendi
Terutama ditentukan oleh integritas kedua permukaan sendi dan
keadaan ligamen yang mempertahankan sendi. Pemeriksaan
stabilitas sendi dapat dilakukan dengan memberikan tekanan pada
ligamen dan gerakan sendi diamati.
c) Pemeriksaan ROM (Range of Join Movement)
Pemeriksaan batas gerakan sendi harus dicatat pada setiap
pemeriksaan ortopedi yang meliputi batas gerakan aktif dan batas
gerakan pasif.
Setiap sendi mempunyai nilai batas gerakan normal yang
merupakan patokan untuk gerakan abnormal dari sendi. Dikenal
beberapa macam gerakan pada sendi, yaitu : abduksi, adduksi,
ekstensi, fleksi, rotasi eksterna, rotasi interna, pronasi, supinasi,
fleksi lateral, dorso fleksi, plantar fleksi, inversi dan eversi.
Pemeriksaan Sensoris
Pemeriksaan sistem sensori sangat bergantung pada kemampuan dan keinginan
pasien untuk bekerja sama. Sensasi dirasakan oleh pasien (sifat subjektif) dan
oleh karena itu pemeriksa sangat bergantung pada tingkat kepercayaan kita
terhadap pasien. Pemeriksaan ini tidak perlu untuk memeriksa semua wilayah
di permukaan kulit.
Sebuah pemeriksaan cepat pada wajah, leher, lengan, badan, dan kaki dengan
jarum hanya membutuhkan beberapa detik. Biasanya salah satu tujuannya
adalah mencari perbedaan antara kedua sisi tubuh. Lebih baik untuk bertanya
apakah rangsangan pada sisi berlawanan dari tubuh terasa sama daripada
menanyakan apakah terasa berbeda. Pemeriksaan sensorik terdiri dari:
Sentuhan ringan
Sensasi nyeri
Sensasi getaran
Propriosepsi
Lokalisasi taktil
Pada pasien tanpa tanda atau gejala penyakit neurologis, pemeriksaan fungsi
sensorik dapat dilakukan dengan cepat, dengan memeriksa adanya sensasi
normal pada ujung jari tangan dan kaki. Pemeriksa dapat memilih apakah ia
mau memeriksa sentuhan ringan, nyeri dan sensasi getaran. Jika semuanya
normal, pemeriksaan sensorik lainnya tidak diperlukan. Jika ada gejala atau
tanda yang menunjukkan gangguan neurologi, harus dilakuka pemeriksaan
lengkap.
a) Pemeriksaan Sentuhan Ringan
Sentuhan ringan diperiksa dengan menyentuh pasien secara ringan
dengan sepotong kecil kain kasa. Mintalah pasien untuk menutup
mata dan memberitahu anda jika anda sedang menyentuhnya.
Diusahakan menyentuh jari kaki dan tangan pasien. Jika
sensasinya normal, lanjutkan dengna pemeriksaan yang lain. Jika
sensasinya abnormal, lakukanlah pemeriksaan di bagian proksimal
sampai batas ketinggian gangguan sensorik dapat ditentukan.
b) Pemeriksaan Sensasi Nyeri
Rasa nyeri dapat dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya
dengan menusuk, memukul, merangsang dengan api atau sesuatu
yang sangat dingin dan juga dengan berbagai larutan kimia.
Sensasi nyeri diperiksa dengan menggunakan peniti dan
menanyakan kepada pasien apakah ia merasakannya. Mintalah
kepada pasien untuk menutup matanya. Bukalah peniti dan
sentuhlah pasien dengan ujungnya. Sebelumnya perlu
diberitahukan kepaa pasien bahwa yang diperiksa ialah rasa nyeri
dan bukan rasa raba. Kita periksa seluruh tubuh, dan bagian-bagian
yang simetris dibandingkan. Bila bagian yang simetris
dibandingkan, tusukan harus sama kuat. Bila kita memeriksa
sensibilitas pada pasien yang gelisah atau yang agak menurun
kesadarannya, maka pemeriksaan rasa tusuk masih dapat
dilakukan, sedang yang lainnya perlu ditangguhkan.
c) Pemeriksaan Sensasi Getar
Sensasi getaran diperiksa dengan menggunakan garpu tala 128 hz.
Ketuklah garpu tala dengan tumit tangan anda dan letakkanlah di
suatu tonjolan tulang di bagian distal tubuh pasien. Minta pasien
untuk memberitahukan anda kalau ia sudah tidak dapat merasakan
getaran itu lagi. Minta kepada pasien untuk menutup matanya.
Letakkan garpu tala yang sedang bergetar pada falangs distal jari
tangan pasien dan jari tangan anda sendiri. Dengan cara ini anda
akan dapat mersakan getaran melalui jari pasien untuk menentukan
ketepatan respon pasien. Setelah jari tangan periksa juga jari kaki.
Jika tidak ada gangguan lakukan pemeriksaan berikutnya. Jika ada
gangguan, tentukanlah batas gangguannya.
d) Pemeriksaan Propiosepsi
Sensasi posisi, atau propriosepsi, diperiksa dengan menggerakkan
falangs distal. Pemeriksa memegang falangs distal pada sisi
lateralnya dan menggerakkan ke atas sambil memberitahukan
pasien. Pemeriksa kemudian menggerakkan falangs distal pasien
ke bawah dan memberitahukannya. Dengan mata pasien tertutup,
pemeriksa menggerakkan falangs distal naik turun dan akhirnya
berhenti, setelah itu tanyakan pada pasien apakah falangs distal
terletak di atas atau di bawah. Secara rutin lakukanlah pemeriksaan
pada falang terminal sebuah jari pada tiap tangan dan falang
terminal jari kaki. Jika tidak ada gangguan sensasi posisi,
pemeriksa harus melanjutkan sisa pemeriksaan berikutnya.
e) Pemeriksaan Lokalisasi Taktil
Lokalisasi taktil, yang dikenal pula sebagai perangsangan simultan
ganda, diperiksa dengan meminta pasien menutup matanya sambil
menanyakan kepadanya bagian tubuh mana yang disentuh.
Pemeriksa dapat menyentuh pasien pada pipi kanannya dan lengan
kiri. Pasien kemudian ditanyakan dimana jari pemeriksa berada.
Biasanya pasien tidak menemukan kesulitan dalam menentukan
kedua daerah ini. Pasien dengan lesi lobus parietalis mungkin
merasakan kedua sentuhan ini, tetapi mungkin memadamkan
sensasi pada sisi kontralateral dengan sisi lesi. Perasaan ini
merupakan fenomena yang disebut ekstingsi.
Studi Laboratorium
Penegakan diagnosis drop foot dengan menggunakan studi laboratorium sampai
saat ini belum menunjukan hasil yang bermakna. Penurunan kaki unilateral
spontan secara tiba tiba dengan keadaan awal yang sehat, memerlukan
investigasi lebih lanjut kedalam penyebab seperti penyebab metabolik,
termasuk diabetes, penyalahgunaan alkohol, dan paparan racun.
Tes – tes laboratorium yang sering digunakan adalah sebagai berikut.
Hemoglobin A1C
BUN
Kreatinin
Studi Pencitraan
Studi pencitraan dalam penegakan drop foot, pencitraan yang dapat dilakukan
adalah plain foto polos, ultrasonografi, magnetic renonance neurography.
Adapun penjelasnya adalah sebagai berikut.
Plain Foto Polos
Plain foto polos pada drop foot dilakukan dengan indikasi yakni, pasca
trauma dan non trauma. Plain foto pasca trauma dilakukan dengan plain foto
tibia dan fibula serta pergelangan kaki untuk melihat cedera tulang. Plain
foto polos non trauma dilakukan dengan indikasi kecurigaan adanya
disfungsi anatomi misalnya charot. Plain foto yang dilakukan dalam kasus
disfungsi anatomi adalah plain foto polos kaki dan pergelangan kaki,
dimana dari hasilnya nanti dapat memberikan informasi yang berguna.
Selain itu plain foto polos tulang belakang juga diperlukan untuk menilai
jarak intravertebralis dan pedicle untuk mengindikasikan adanya lesi pada
saraf yang disebabkan oleh proses metastase.
Ultrasonografi
Ultrasonografi dilakukan dalam kasus drop foot dengan kecurigaan terjadi
pendarahan pada pasien dengan pinggul atau lutut prosthesis.
Magnetic Resonance Imanging
Magnetic Resonance Imanging (MRI) dilakukan dengan indikasi
kecurigaan terhadap tumor atau massa tekan ke saraf peroneal, dimana
dilakukan dengan sistem standar 1,5 Tesla MRI. Magnetic Resonance
Imanging digunakan untuk menghasilkan gambar dengan resolusi tinggi
dari saraf perifer, serta intraneural dan ekstraneural terkait lesi yang terjadi.
Magnetic Resonance Imanging memnungkinkan akusisi cepat gambar
anatomi lebih rinci, bidang pandang yang lebih kecl, resolusi yanglebiih
tinggi, dan dengan bagian potongan yang lebih tipis. Keunggulan pada MRI
ini dapat memberikan gambar yang mampu menunjukan organisasi
fasciculus saraf perifer normal, sehingga membuat saraf lebih jelas daat
dibedakan dari jaringan lain (misalnya, tumor atau pembuluh darah)
Selain itu, gambar pada MRI dapat diproses lebih lanjut untuk
memungkinkan susunan bagian aksial dan memotong data di bagian lain.
Hal ini bermanfaat dalam mengetahui batas longitudinal keterlibatan saraf
tersebut.
Elektromyelogram
Gangguan metabolisme sering dijadikan diagnosis banding drop foot
seperti yang diuraikan sebelumnya. Drop foot biasanya juga di diagnosis
banding dengan beberapa keadaan seperti, spastisitas, distonia, penyakit motor
neuron, L5 radikulopati, plexopathy lumbosakral, kelumpuhan saraf siatik,
tekan peroneal neuropati, neuropati ferifer dan beberapa miopati.
Elektromyelogram (EMG) berguna dalam membedakan diagnosa ini.
Pemeriksaan ini dapat mengkonfirmasi jenis neuropati, menetapkan lokasi lesi,
memperkirakan luasnya cedera, dan memberikan prognosis. Selain itu EMG
juga berguna sebagai studi sekuensial yang bertujuan untuk memantau
pemulihan lesi akut. Elektromyelogram (EMG) sangat baik digunakan untuk
melokalisasi kepala fibula. Elektromyelogram juga digunakan untuk
mengetahui perlambatan atau penurunan amplitudo ekstensor digitorum brevis
di daerah kompresi pada lesi myelin. Pada perlambatan akann terlihat
demyelinasi segmental dan penurunan amplitudo terlihat dalam blok konduksi.
Elektromyelogram (EMG) juga baik digunakan untuk menentukan
prognosis dari drop foot.
Pada lesi mielin murni ( konduksi blok), pemulihan dapat terjadi setelah tiga
minggu sampai satu bulan.
Pada lesi aksonal yang berat, pemulihan dapat berlangsung dari enam bulan
sampai satu tahun.
Pada lesi campuran, pemulihan dapat berlangsung dari tiga minggu sampai
satu tahun.
Diagnosis banding drop foot dan gambaran pemeriksaan elektrofisiologi, dan protocol
pemeriksaan EMG pada lesi nervus peroneus terlihat pada tabel 01.
KHS n. peroneus
Lesi CMAP SNAP* Kelainan EMG jarum
Neuropati n. peroneus Blok-konduksi Normal/menurun m. tibialis anterior
setinggi kaput fibula setinggi kaput fibula m.peroneus
Neuropati n. iskiadikus Normal/menurun Normal/menurun m. tibialis anterior
m.peroneus
m. bisep femoris
Radikulopati L5-S1 Normal/menurun Normal/menurun m. tibialis anterior
m.peroneus
m. bisep femoris
m. gluteus medius
m. gluteus maksimus
m. paraspinal L5-S1
Penatalaksanaan foot drop meliputi fisioterapi, alat orthotik, terapi medik dengan obat-
obatan, stimulasi saraf tepi, dan pembedahan. Modalitas terapi tersebut dapat digunakan
sebagai modalitas tunggal atau kombinasi dua atau lebih modalitas. Penatalaksanaan lini
pertama yang biasa dilakukan adalah fisioterapi atau ankle-foot orthosis (AFO). Terapi medis
meliputi obat-obat oral seperti baclofen, dantrolene, atau tizanidine. Tindakan pembedahan
untuk penatalaksanaan drop foot meliputi selective tendon release, selective dorsal
rhizotomy, dan intrathecal baclofen pump.
Osteogenesis imperfecta merupakan suatu kondisi cacat kongenital karena terjadi suatu mutasi
genetik pada kode prokolagen tipe 1 yang menyebabkan terjadinya fragilitas pada tulang (Helmi,
2014). Osteogenesis Imperfecta diturunkan secara genetik, dengan karakteristik kerapuhan pada
tulang dan rendahnya massa tulang, mempunyai kecenderungan mengalami fraktur berulang
akibat trauma ringan sampai sedang. Kelainan ini disebut juga brittle bone disease (Ikatan Dokter
Anak, 2016).
Menurut Helmi (2014) penyebab terjadinya osteogenesis imperfecta hampir 90% dikarenakan
adanya kelainan struktural atau produksi dari dari prokolagen tipe I ( COL1A1 dan COL1A2 )
yang merupakan komponen protein utama matriks ekstraseluler tulang dan kulit.
Patofisiologi Osteogenesis Imperfecta
Serat kolagen tipe 1 yang terdapat pada tulang, organ kapsular, fasia, kornea, sklera, meninges,
dan dermis yang mengalami mutasi tidak terkodekan merupakan penyebab osteogenesis
imperfecta yang diperoleh dari pemeriksaan histologis. adanya abnormalitas pada molekul
kolagen tipe 1 atau defek kualitatif dan penurunan pada produksi molekul kolagen tipe 1 atau
defek kuantitatif yang memberikan manfestasi modifikasi dari kolagen dan menimbulkan
sindrom dari osteogenesis imperfecta (Helmi, 2014).
Menurut Helmi (2014) osteogenesis imperfecta dapat diklasifikasi menjadi empat yaitu
Osteogenesis imperfecta tipe I, Osteogenesis tipe II, Osteogenesis tipe III dan Osteogenesis tipe
IV.
Manifestasi klinis
Gejala penyakit osteogenesis imperfecta biasanya anak akan memiliki ukuran tubuh yang
pendek dan mungkin mengalami deformitas pada struktur tulang kranium dan anggota badan,
kulit tipis, sklera mata yang kebiruan, terjadinya kerapuhan gigi atau yang dikenal dengan
dentinogenesis imperfecta, adanya tanda penurunan pengendapan kolagen serta sering timbul
masalah pendengaran seiring bertambahnya usia anak akibat deformitas pada tulang pendengaran
dan pembentukan jaringan parut di telinga bagian tengah dan dalam (Corwin, 2009).
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada penderita osteogenesis imperfecta menurut
(Ikatan Dokter Anak, 2016).
1. Radiologi
Ditemukannya tanda berupa fraktur atau adanya penurunan densitas mineral tulang (
osteopenia atau osteoporosis ) dari USG prenatal, Bone survey, Bone mineral density ( bila
tersedia standar yang normal untuk anak yang sesuai dengan usianya ).
2. Laboratorium
Pemeriksaan biokimia tulang ( kalsium, vitamin D, fosfat, alkali fosfatase, magnesium
3. Jika klinis meragukan dan pemeriksaan yang memungkinkan, kultur fibroblast dan analisis
mutasi
Penatalaksanaan
1. Konservatif
Penatalkasanaan konservatif memiliki tujuan untuk memperkecil angka kejadian fraktur,
mencegah terjadinya deformitas pada tulang panjang dan scoliosis serta meningkatkan
luaran fungsional karena osteogenesis imperfecta adalah kondisi genetik, jadi tidak ada
pengobatan yang spesifik. Meskipun demikian pada beberapa penelitian menunjukkan
bisfosfonat intravena atau pamidronate dapat memberikan perbaikan bagi anak penderita
osteogenesis imperfecta. Bisfosfonat merupakan analog sintetis dari pirofosfat yang
merupakan penghambat alami reabsorpsi tulang osteoklastik sehingga mineralisasi tulang
meningkat dan menguatkan tulang. penderita osteogenesis imperfecta rentan terhadap
trauma dan membutuhkan imobilisasi dalam jangka yang lama karena fraktur yang sering
menyebabkan defisiensi vitamin D dan kalsium pada anak. Maka diperlukan supelemtaasi
vitamin D 400-800 IU dan 500-1.000 mg kalsium yang memiliki fungsi profilatik meskipun
tidak memperbaiki penyakit osteogenesis imperfecta.
2. Terapi bedah
Tata laksana ortopedi dengan tujuan untuk perawatan fraktur dan koreksi deformitas.
Fraktur akan dilakukan pemasangan spin atau cast.fraktur pada osteogenesis imperfecta akan
sembuh dengan baik, sedangkan cast diperlukan untuk meminimalkan osteoporosis karena
imobilisasi jangka waktu yang lama. Koreksi deformitas pada tulang panjang membutuhkan
prosedur osteotomi dan pemasangan rod intramedullary.
3. Aktivitas
Rehabilitasi fisik dimulai saat usia awal penderita sehingga penderita bisa mencapai
tingkat fungsional yang lebih tinggi yaitu berupa penguatan otot osotonik, stabilisasi sendi
dan latihan aerobik. Penderita tipe I dan pada beberapa kasus tipe IV penderita dapat
mobilisasi spontan. Kebanyakan penderita dari tipe III masih membutuhkan kursi roda akan
tetapi tetap tidak dapat mencegah adanya fraktur berulang. Kebanyakan penderita tipe IV
dan tipe III dapat melakukan mobilisasi dengan diberikan kombinasi terapi fisik penguatan
otot sendi panggul, peningkatan stamina, pemakaian bracing, dan koreksi ortopedi.
AKONDROPLASIA
I. PENDAHULUAN
Akondroplasia adalah salah satu bentuk kekerdilan tubuh yang sering dijumpai. Nama
lain dari Akondroplasia ini diantaranya adalah Achondroplastic dwarfism, Chondrodystrophia
fetalis, Chondrodystrophy syndrome, dan Congenital osteosclerosis. Walaupun akondroplasia
secara harafiah berarti “tidak adanya pembentukan kartilago”, masalah yang mendasari keadaan
ini bukan pembentukan kartilago, melainkan konversi kartilago menjadi tulang.1,2
Penyakit ini merupakan kelainan kongenital tulang rawan. Gangguan terutama pada
pertumbuhan tulang-tulang panjang, paling sering pada tulang lengan dan tungkai. Penyakit ini
merupakan displasia skeleton murni yang diturunkan secara autosomal dominan. 1,2,3
Penyakit ini memberikan gambaran perawakan pendek pada tubuh dan anggota gerak
yang tidak proporsional. Pemendekan anggota gerak terutama pada segmen proksimal yang
disebut rhizomelia.1
II. INSIDEN
Ini merupakan suatu bentuk yang cukup umum dari dwarfisme. Sekitar 85-90% kasus
merupakan mutasi genetik. Akondroplasia pertama kali ditemukan oleh Parrot (1878). Angka
kejadian kelainan ini adalah 1/25.000 kelahiran.1
Sumber lain mengatakan bahwa di Amerika Serikat, akondroplasia merupakan penyakit
herediter yang paling umum terjadi menyangkut perawakan pendek yang tidak seimbang. Kasus
ini terjadi 1 dalam 15.000-40.000 kelahiran hidup. 2,3,4,5
III. EPIDEMIOLOGI
Tidak ada hubungan antara ras dengan kasus akondroplasia. Ditemukan lebih banyak
penderita akondroplasia pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Akondroplasia dapat
dideteksi saat antenatal. Akondroplasia diturunkan secara autosomal dominan. Jika salah satu
orang tua menderita akondroplasia, 50% kemungkinan akan diturunkan kepada anaknya. Jika
kedua orang tua memiliki kelainan ini, kemungkinannya akan meningkat 75%. 1,3,4,5,6
Walaupun demikian, kira-kira 80% dari orang dengan akondroplasia memiliki orang tua
yang berperawakan sedang atau rata-rata. Hal ini disebabkan oleh mutasi baru dari gen FGFR3.
Komplikasi dari akondroplasia mempengaruhi seluruh kelompok usia. Pasien dengan tipe
homozigot dari akondroplasia jarang yang mampu bertahan hidup karena dapat mengalami
masalah serius yang berkaitan dengan pertumbuhan tulang dan biasanya akan meninggal pada
saat lahir atau beberapa lama setelah lahir oleh karena kegagalan napas. 2,4,5
IV. ETIOLOGI
Akondroplasia termasuk dalam kelompok penyakit osteokondrodisplasia (gangguan
pertumbuhan tulang dan kartilago) yang paling sering terjadi, mencakup beragam kelompok
penyakit yang ditandai dengan abnormalitas intrinsik dari kartilago atau tulang atau keduanya.
2,4,5,8,9
1. Tulang
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Pembentuk jaringan tulang terdiri atas
sel-sel tulang (sel osteoprogenitor, osteoblast, osteosit, dan osteoklas) dan matriks tulang.
Komponen-komponen nonselular utama dari tulang adalah mineral-mineral dan matriks organik
(kolagen dan proteoglikan). Kalsium dan kristal membentuk suatu garam kristal (hidroksiapatit)
yang merupakan matriks non organik, yang tertimbun pada matriks kolagen dan proteoglikan.
Mineral-mineral ini memadatkan kekuatan tulang. Matriks organik tulang disebut juga osteoid.
Sekitar 70% dari osteoid adalah kolagen tipe 1 yang kaku. Materi organik lain yang menyusun
tulang berupa proteoglikan seperti asam hialuronat. 12
Secara makroskopik, tulang terdiri atas spongiosa (kanselosa) dan kompak (padat).
Permukaan luar tulang dilapisi selubung fibrosa (periosteum). Lapis tipis jaringan ikat
(endosteum) melapisi rongga sumsum dan meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak. 12
Secara mikroskopik, tulang terdiri atas : 12
1. Sistem Havers yaitu saluran Havers (saraf, pembuluh darah, aliran limfe)
2. Lamella (lempeng tulang yang tersusun konsentris).
3. Lakuna (ruangan kecil yang terdapat di antara lempengan–lempengan yang mengandung sel
tulang).
4. Kanalikuli (memancar di antara lakuna dan tempat difusi makanan sampai ke osteon).
Tulang panjang utamanya memiliki bagian-bagian yang khas meliputi diafisis, metafisis
dan epifisis. Diafisis atau batang merupakan bagian tengah tulang yang berbentuk silinder.
Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang besar. Metafisis
merupakan bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang. Daerah ini terutama disusun
oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa yang mengandung sel-sel hematopoetik. Lempeng
epifisis merupakan daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak dan bagian ini akan
menghilang pada tulang dewasa. Bagian ini langsung berbatasan dengan sendi tulang panjang
yang bersatu dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang terhenti. Seluruh tulang
diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum yang mengandung sel-sel yang dapat
berproliferasi dan berperan dalam proses pertumbuhan transversal tulang panjang. 12
Lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan ini memiliki 4 lapisan. Lapisan sel yang
letaknya paling atas dekat dengan epifisis disebut daerah sel istirahat. Lapisan berikutnya adalah
zona proliferasi, dimana pada zona ini terjadi pembelahan aktif sel, dan di sini dimulainya suatu
pertumbuhan tulang panjang. Sel-sel yang aktif ini didorong ke arah batang tulang ke dalam zona
hipertrofi, suatu tempat di mana sel-sel membengkak menjadi lemah dan secara metabolik
menjadi tidak aktif. 12
Di dalam daerah kalsifikasi tambahan inilah sel-sel tulang mulai menjadi keras karena
mineral disimpan dalam kolagen dan proteoglikan. Kerusakan pada daerah proliferasi dapat
menyebabkan pertumbuhan terhenti dengan retardasi pertumbuhan longitudinal anggota gerak
tersebut atau terjadi deformitas progresif bila hanya sebagian dari lempeng tulang yang
mengalami kerusakan berat. 12
2. Tulang Rawan/Kartilago
Tulang rawan berkembang dari mesenkim membentuk sel yang disebut kondrosit . Kondrosit
menempati rongga kecil (lakuna) di dalam matriks dengan substansi dasar seperti gel (berupa
proteoglikans) yang basofilik. Kalsifikasi menyebabkan tulang rawan tumbuh menjadi tulang
keras. Pertumbuhan tulang rawan berakhir selama periode dewasa. 12
Berdasarkan jenis dan jumlah serat di dalam matriks, ada 3 macam tulang rawan: 12
1. Tulang rawan hialin: matriks mengandung serat kolagen. Kartilago jenis ini yang paling
banyak dijumpai
2. Tulang rawan elastin: serupa dengan tulang rawan hialin tetapi lebih banyak serat elastin
yang mengumpul pada dinding lakuna yang mengelilingi kondrosit
3. Fibrokartilago: tidak pernah berdiri sendiri tetapi secara berangsur menyatu dengan
tulang rawan hialin atau jaringan ikat fibrosa yang berdekatan.
Ada dua cara pertumbuhan tulang rawan, yaitu : 12
1. Appositional growth yaitu pertumbuhan tulang rawan dari luar. Sel pembentuk kartilago
di dalam perikondrium menyekresi matriks baru ke permukaan luar kartilago yang sudah
ada.
2. Interstisial growth yaitu pertumbuhan dari dalam. Kondrosit yang berikatan dengan
lakuna di dalam kartilago membelah dan menyekresi matriks baru dan memperluas
kartilago dari dalam.
VI. PATOFISIOLOGI
Pertumbuhan tulang yang normal tergantung pada produksi kartilago (suatu jaringan
penyambung tipe fibrosa yang bertindak sebagai dasar pembentukan tulang). Kalsium
didepositkan dalam kartilago, akan menyebabkannya menjadi keras dan berubah menjadi tulang.
Pada akondroplasia, kelainan dari proses ini menghalangi tulang-tulang (utamanya tulang pada
anggota gerak) untuk dapat bertumbuh panjang
sebagaimana yang seharusnya, tetapi pada saat yang sama justru tulang menebal secara
abnormal. Tulang-tulang pada trunkus dan kranium kebanyakan tidak dipengaruhi, walaupun
foramen magnum sering menyempit dibandingkan dengan yang normal, dan kanalis spinalis
mengecil. 6,13
Akondroplasia merupakan penyakit genetik yang disebabkan oleh mutasi pada gen
FGFR3 yang menghambat pertumbuhan kartilago pada lempeng pertumbuhannya. FGFR3
mengkode suatu protein yang disebut Fibroblast Growth Factor Receptor 3. Protein ini
merupakan tempat bekerjanya faktor pertumbuhan utama yang bertanggung jawab terhadap
proses pemanjangan tulang. Ketika faktor pertumbuhan ini tidak dapat bekerja dengan baik
karena hilangnya reseptor tersebut, pertumbuhan tulang pada kartilago lempeng pertumbuhan
akan mengalami perlambatan. Hal ini mengakibatkan pemendekan tulang, bentuk tulang yang
abnormal dan perawakan pendek. 2,5,6
VII. DIAGNOSIS
A. Diagnosis Klinik
Akondroplasia dapat didiagnosis berdasarkan karakteristik klinis dan gambaran radiologi.
Pada bayi, dimana diagnosis mungkin sulit dilakukan, dan pada seseorang dengan gejala yang
tidak khas, tes molekul genetik dapat digunakan untuk mendeteksi mutasi dari gen FGFR3 (lokus
4p16.3). 2,4
Diagnosis akondroplasia ditegakkan berdasarkan gejala klinik yaitu perawakan tubuh dan
anggota gerak yang pendek, tidak proporsional, disertai kepala yang besar (brakisefal) dengan
penonjolan frontal, penonjolan tulang mandibula dan hidung pesek. 1
Gibbus pada daerah lumbal merupakan tanda umum akondroplasia dan akan menghilang
pada tahun pertama. Selanjutnya punggung akan menjadi lurus dan berganti dengan lordosis
lumbal. Pada kasus ini ditemukan adanya lordosis setinggi vertebra torakal 12 sampai lumbal 5.1
Batang tubuh dan tungkai pendek. Tungkai bengkok dan segmen tungkai proksimal lebih
pendek (rhizomelia). Diameter kranium biasanya lebih besar daripada persentil ke-97 dengan
penonjolan dahi (frontal bossing), bagian tengah wajah sering mengecil, nostril menyempit dan
jembatan hidung rata (saddle nose). Biasanya ada brakidaktili dan menyerupai trident. Siku
mungkin terbatas dalam ekstensi dan pronasi. 3
Ciri-ciri dari akondroplasia selalu nyata saat lahir. Kebanyakan dari individu yang
menderita kelainan ini memiliki intelegensi yang normal. Pada bayi, hipotoni ringan sampai
sedang, dan kemampuan perkembangan motorik sering terlambat. Bayi kesulitan menegakkan
kepalanya karena hipotonia dan besarnya ukuran kepala. 1,4
Masalah respirasi dapat terjadi pada anak dan bayi. Obstruksi dari jalan napas dapat
berasal dari pusat pernapasan karena kompresi dari foramen magnum atau yang berasal dari
obstruksi karena penyempitan rongga hidung. Gejala dari obstruksi jalan napas termasuk stridor
dan apnu saat tidur. Individu yang mengalami hal ini sering tidur dengan posisi hiperekstensi
leher. Dwarfisme dengan akondroplasia merupakan sebab primer dari pemendekan anggota
gerak. tungkai biasanya lurus pada bayi, tetapi lutut menjadi bentuk valgus saat anak-anak mulai
berjalan. Pada anak yang sudah mampu berjalan, lutut berubah menjadi bentuk varus. Jari tangan
dan kaki memendek. 4
Infeksi telinga bagian tengah sering terjadi pada bayi dan anak karena kecilnya ukuran
dari saluran hidung dan karena disfungsi pada tuba eustachius. Infeksi telinga yang menetap
dapat menyebabkan penurunan pendengaran. Mandibula juga dapat membesar. Hal ini
mengakibatkan gigi berdesak-desakan.3,4
Manifestasi klinik dari akondroplasia dapat dirangkum sebagai berikut : 3,4,13
Pemendekan anggota gerak (terutama lengan dan tungkai bagian proksimal) atau
rhizomelia yang dapat dikenali pada saat lahir
Pembesaran kepala dengan penonjolan dahi (frontal bossing)
Hipoplasi bagian tengah wajah/bentuk wajah kurang berkembang, saddle nose (jembatan
hidung menjadi rata/hidung berbentuk seperti pelana)
Tangan berbentuk trident, dimana antara jari tengah dan jari manis terdapat jarak
sehingga tangan seperti garpu bersusuk tiga
Pembatasan ekstensi siku, tetapi tidak mempengaruhi penderita akondroplasia untuk
dapat beraktivitas secara normal
Gibus di regio torakolumbal pada bayi. Tulang belakang membengkok dengan
penonjolan bokong pada anak dan orang dewasa, waddling gait.
Genu varum
B. Gambaran Radiologi
Gambaran radiologik menunjang diagnosis yaitu ditemukannya basis kranium yang kecil,
kepala relatif lebih lebar dari wajah dengan penonjolan frontal dan hipoplasia mandibula,
pemendekan tulang-tulang panjang dan pelvis yang sempit. Riwayat adanya akondroplasia dalam
keluarga semakin memperkuat diagnosis ini. 4
Kanalis spinalis pada daerah lumbal meruncing ke arah kaudal sehingga jarak
4
A. (Tulang-tulang
interpedinkulus berkurang dari L1 iga memendek.
sampai L5 (pedikel tampak pendek), berlawanan dengan
pelebaran kaudal pada normalnya. Ini merupakan tanda yang membedakan akondroplasia,
walaupun tidak tampak pada bayi baru lahir. Ruang diskus bertambah karena pada penampakan
lateral akan menunjukkan pengecilan dari kanalis spinalis. Gejala yang berat dari protrusi diskus
intervertebralis kemungkinan besar akan berkembang pada masa mendatang. Stenosis spinalis
pada regio lumbosakral merupakan faktor predisposisi yang penting dan dapat dikonfirmasi
dengan pemeriksaan radikulografi, CT atau MRI. 3,6
b. Pelvis
Pelvis menjadi pendek, kecil dan diameternya berkurang. Sayap iliaka menjadi lebih
lebar dan sedikit memberikan gambaran batu nisan (tombstone appereance). Asetabulum letak
posterior dan atap asetebulum menjadi horizontal. L5 letak lebih dalam dan kemiringan pelvis
berlebihan menyebabkan penonjolan dari gluteus dan bentuk punggung lordosis. Lekukan
sakroiskiadika yang sempit dan dalam (champagne glass appereance). 3,6
Gambar 4.
c. Tulang-tulang Panjang
Tulang panjang, panjangnya berkurang, terutama pada segmen tungkai proksimal,
tampak agak lebar dan pendek gemuk. Pemendekan paling besar pada falang. Tubulus tulang
memendek, tampak melebar dan memiliki insersi otot yang jelas. Humerus dan femur lebih
dipengaruhi dibandingkan dengan tulang-tulang distal (rhizomelia). Fibula memanjang dan
membengkok. Celah sendi mengalami pelebaran ke arah proksimal epifisis dan metafisis dan
dapat tampak berbentuk V (tanda sirkumfleksi). Keterlambatan proses osifikasi dan pengurangan
diameter anteroposterior menyebabkan ujung tulang femur, misalnya pada bayi menampakkan
densitas radiolusen. Defek yang terjadi pada anak yang lebih tua berada di epifisis dari
tuberkulum tibia karena kelebihan kartilago yang tidak terkalsifikasi pada usia ini. 3,6
Gambar 6. Gambar 7
Gambar 8.
e. Dada
Diameter anteroposterior dada berkurang disertai pemendekan iga anterior. Gambaran
radiologis akondroplasia serupa dengan pseudoakondroplasia, tapi pada pseudoakondroplasia
kelainannya di epifisis, sedangkan akondroplasia terletak di metafisis. Dengan foto lateral tulang
belakang pada pseudoakondroplasia terlihat penonjolan di pusat vertebra yang berasal dari
permukaan depan, sedang pada akondroplasia kelainan pada arkus bagian belakang. 3,6
Tulang-tulang iga menjadi pendek, ujung anterior costa melebar, sternum pendek dan
lebar/besar. Skapula memiliki bentuk ganjil/aneh, di mana skapula akan
Gambar 9
kehilangan sudutnya yang tajam. Fossa glenoid kecil dalam hubungannya dengan kaput
humerus. 3,6
Gambar 10.
3. MRI
Pada kanalis spinalis, kelainan yang menyertai akondroplasia seperti syringomyelia dan
perubahan myelomalacia dapat dicitrakan dengan baik oleh MRI. Pada syringomyelia, MRI akan
memperlihatkan cairan sentral yang mengisi kavitas.4,15
Pada stenosis spinalis, MRI juga dapat mendemonstrasikan protrusi diskus
intervertebralis dan osteofit yang menyebabkan penekanan tulang belakang serta hidrosefalus.
MRI merupakan teknik nonivasif yang ideal untuk anak-anak karena tidak menggunakan radiasi
ionisasi. MRI memiliki keuntungan lebih daripada CT-scan untuk menampilkan secara mendetail
mengenai sumsum tulang bagian fossa kranialis posterior. 4
Pemeriksaan klinis dan MRI yang lebih dini perlu dilakukan untuk menentukan apakah
bayi dengan akondroplasia mengalami kompresi medula bagian servikal. Dengan diagnosis yang
lebih cepat, dekompresi sedang pun dapat ditangani dengan baik untuk menghindari komplikasi
serius yang sering menyertai kompresi ini, termasuk kematian mendadak. 4
CT menggambarkan secara mendetail tentang tulang dan tingkatan stenosis spinalis lebih
baik dibandingkan dengan MRI. 4
Gambar 11.
4. Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat dilakukan pada pemeriksaan antenatal terhadap wanita yang
memiliki risiko akondroplasia. Ultrasonografi merupakan suatu modalitas yang noninvasif dan
baik untuk menilai keadaan ventrikel pada bayi sebelum fontanela menutup. USG mungkin dapat
ditambah dengan CT dan atau MRI kepala untuk memonitor kompresi dari foramen magnum. 4
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Patel dan Filly pada 15 fetus dengan
risiko akondroplasia tipe homozigot, disimpulkan bahwa pembentukan lengkung pertumbuhan
femoral pada trimester kedua dengan sonogram serial memungkinkan kita untuk membedakan
tipe homozigot, heterozigot dan fetus normal dari kedua orang tua yang menderita akondroplasia
tipe heterozigot. 4
IX. PENANGANAN
Salah satu komplikasi dari akondroplasia adalah hidrosefalus yang biasanya diakibatkan
dari obstruksi foramen magnum dan karena sindrom kompresi medula spinalis segmen lumbalis
dan akar saraf, maloklusi gigi, gangguan pendengaran karena otitis media berulang dan
strabismus (akibat dismorfisme kraniofasial). Pembengkokan kaki dan kifosis menetap dapat
juga memerlukan perhatian. Di samping pengenalan segera dan pengobatan yang tepat,
manajemen masalah psikologis pada masa kanak-kanak harus diperhatikan. Terapi segera dan
tepat terutama diperlukan pada setiap episode otitis media akut. Hidrosefalus tidak lazim tetapi
harus dikenali seawal mungkin. Ada beberapa sumber mengatakan bahwa fisioterapi dan
penahan selama masa anak-anak dan dapat memperbaiki komplikasi kifosis infantil yang lama
atau lordosis berat yang dapat memperjelek stenosis lumbalis pada umur dewasa. Osteotomi
dapat terindikasi tepat sebelum atau selama remaja untuk mengoreksi pembengkokan kaki
progresif berat. 3
X. PROGNOSIS
Harapan hidup pada akondroplasia adalah normal, kecuali untuk sedikit (jarang)
penderita dengan hidrosefalus atau dengan komplikasi berat kompresi medula spinalis servikalis
atau lumbalis. Rata-rata tinggi orang dewasa pada akondroplasia sekitar 131,5 cm pada pria dan
125cm pada wanita. 3
Bayi yang homozigot pada akondroplasia jarang yang bertahan hidup lebih dari beberapa
bulan. Akondroplasia yang bersifat homozigotik disebabkan oleh adanya 2 alel yang mutan pada
nukleotida 1138 dari gen FGFR3, merupakan penyakit yang serius sehubungan dengan
perubahan-perubahan radiologi yang secara kualitatif berbeda dari kebanyakan kasus
akondroplasia. Kematian dini terjadi karena insufisiensi pernapasan yang berhubungan dengan
kecilnya kavum toraks dan defisit neurologis karena stenosis medula spinalis daerah servikal.
Kematian karena penyakit jantung yang terjadi pada umur 25-35 tahun, sepuluh kali lebih tinggi
dibandingkan dengan kematian pada populasi umum. 4
DAFTAR PUSTAKA