Anda di halaman 1dari 16

PENCEGAHAN CHILD SEXUAL ABUSE

NAMA : Sisilia Rumsori

NIM : 18061035

KELAS : B SEMESTER IV

MATA KULIAH : KEPERAWATAN ANAK

UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE MANADO

FAKULTAS KEPERAWATAN

2020
PENDIDIKAN SEKSUALITAS UNTUK ANAK MELALUI PEMASARAN SOSIAL
SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENCEGAHAN CHILD SEXUAL ABUSEPenelitian
Tindakan Terhadap Sepuluh Orang Tua yang Memiliki Anak pada Usia Taman Kanak-kanak
sampai dengan Kelas Empat Sekolah Dasar

Pendahuluan UU. No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak pun dikeluarkan sebagai salah
satu upaya untuk menjauhkan anak-anak dari segala sesuatu yang dapat mengganggu kondisi
fisik, psikologis dan sosial mereka. Namun realita yang ada pada saat ini masih
memperlihatkan bahwa kondisi dunia anak-anak yang jauh dari apa yang diharapkan. Adapun
salah satu kondisi yang menunjukkan bahwa implementasi UU. No. 23/2002, terutama pasal
13, masih jauh dari yang diharapkan adalah semakin banyaknya pemberitaan mengenai child
sexual abuse. Fakta yang menyedihkan adalah anak-anak yang menjadi korban sexual abuse
adalah anak-anak yang masih sangat muda.

Briggs dan Hawkins (1997: 114-115) pun mengungkapkan beberapa penyebab yang
membuat anak-anak mudah menjadi sasaran child sexual abuse, yaitu: anak-anak yang polos
mempercayai semua orang dewasa, anak-anak yang berusia belia tidak mampu mendeteksi
motivasi yang dimiliki oleh orang dewasa, anak-anak diajarkan untuk menuruti orang
dewasa, secara alamiah, anak-anak memiliki rasa ingin tahu mengenai tubuhnya, dan anak-
anak diasingkan dari informasi yang berkaitan dengan seksualitasnya.Oleh karena anak-anak
memiliki berbagai karakter yang dapat menjerumuskan mereka menjadi korban child sexual
abuse, anak-anak membutuhkan perlindungan dari orang dewasa terutama orang tuanya.
Orang tua harus dapat memberikan pendidikan seksualitas terhadap anak-anaknya sehingga
anak-anak dapat tercegah dari child sexual abuse.

Pendidikan seksualitas kepada anak-anak sebagai salah satu upaya pencegahan child sexual
abuse terhadap anak menjadi suatu hal yang penting karena child sexual abuse memiliki
berbagai dampak yang negatif. Tentu saja, pihak yang akan merasakan dampak negatifnya
secara langsung adalah korban child sexual abuse itu sendiri. Salah satu efek negatif yang
dapat berakibat kepada diri korban dalam jangka waktu yang panjang adalah seperti yang
dikemukakan oleh:

Brierre dan Runtz (dalam Briggs dan Hawkins, 1997: 120) bahwa: The anxiety, fear, and
depression previously noted as short term symptoms tended to become chronic and remain as
long-term symptoms (rasa cemas, rasa takut, dan depresi yang sebelumnya disebut sebagai
gejala jangka pendek cenderung menjadi kronis dan menetap menjadi gejala jangka panjang).
Kondisi psikologis yang akan dialami oleh anak yang mengalami child sexual abuse tersebut
tentu akan mempengaruhi bagaimana ia dalam berperan di masyarakat. Dengan demikian,
child sexual abuse tidak hanya memberikan dampak negatif pada level mikro saja (individu
dan keluarga), tetapi juga bisa berdampak pada proses pembangunan sosial di masa yang
akan datang karena dampak child sexual abuse juga menyangkut pada masalah kualitas
sumber daya manusia. Oleh karena itu diperlukan perubahan sosial terencana yang mampu
mengeliminir dampak negatif tersebut. Dalam ilmu kesejahteraan sosial dikenal beberapa
strategi intervensi yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perubahan sosial terencana
tersebut. Salah satu strategi intervensi yang dapat dikembangkan adalah strategi pemasaran
sosial.

Adi (2003: 88) mengungkapkan bahwa model intervensi komunitas yang diadopsi dari
bidang pemasaran ini memfokuskan pada upaya memasarkan produk sosial kepada kelompok
sasarannya. Strategi pemasaran sosial tersebut dapat dipergunakan untuk menggaungkan
urgensi dari pendidikan seksualitas sebagai salah satu upaya pencegahan child sexual abuse.

Dianawati (2003) mengatakan bahwa “pendidikan seksualitas yang diberikan oleh orang tua
akan jauh lebih efektif karena kebersamaan anak dan orang tua tidak dibatasi oleh waktu”.
Namun permasalahannya adalah orang tua kerap kali merasa tabu dalam melakukan
pendidikan seksualitas kepada anak-anaknya. Sementara itu, anak-anak membutuhkan
pendidikan seksualitas sejak dini sehingga mereka dapat terhindar dari child sexual abuse.
Oleh karenanya, penelitian ini dilakukan melalui penelitian tindakan. Dengan demikian,
penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana proses penyebarluasan
pemahaman perlunya upaya pencegahan child sexual abuse, proses penyebarluasan
pemahaman mengenai pendidikan seksualitas sebagai salah satu upaya pencegahan child
sexual abuse, perilaku kelompok sasaran dalam melakukan pendidikan seksualitas terhadap
anak sebagai salah satu upaya pencegahan child sexual abuse, kebutuhan kelompok sasaran
dalam melakukan pendidikan seksualitas terhadap anak sebagai salah satu upaya pencegahan
child sexual abuse, dan proses pelaksanaan kegiatan yang ditujukan untuk merubah perilaku
kelompok sasaran dalam melakukan pendidikan seksualitas terhadap anak sebagai salah satu
upaya pencegahan child sexual abuse.

Metode Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian tindakan ini adalah kualitatif.
Berdasarkan kemanfaatannya, penelitian ini adalah penelitian terapan. Jenis penelitian
terapan yang dipergunakan adalah penelitian tindakan (action research). Stringer (1991:19)
menyebutkan bahwa tahapan penelitian tindakan terdiri dari tahap look, think dan act.
Strategi pemasaran sosial yang dipergunakan dalam penelitian tindakan memilih Fakutas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok (FISIP UI), sebagai cakupan
wilayah sasaran. FISIP UI sebagai tempat pekerjaan dinilai strategis karena dapat
menjangkau orang tua (kelompok sasaran) yang sulit dicapai di lingkungan komunitas warga
karena sebagian besar waktu mereka dihabiskan di tempat pekerjaan.Teknik pengumpulan
data yang dipergunakan dalam penelitian tindakan ini adalah wawancara mendalam. Adapun
model wawancara yang dipergunakan adalah focused (terfokus) atau semi-structured
interviews (wawancara yang setengah terstruktur)Proses pemilihan kelompok sasaran yang
telah dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:

1. Kelompok sasaran dipilih dengan theoritical sampling, yaitu orang tua yang memiliki anak
dalam kelompok usia taman kanak-kanak sampai dengan kelompok usia kelas 4 sekolah
dasar. Peran yang dijalankan oleh orang tua di FISIP UI adalah beragam. Penelitian tindakan
ini memilih orang tua yang berperan sebagai pegawai FISIP UI.

2. Mencari informasi kepada setiap kepala unit FISIP UI mengenai jumlah pegawai yang
memenuhi kriteria sebagai kelompok sasaran. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari
masing-masing kepala unit di FISIP UI, pegawai FISIP UI yang memenuhi kriteria kelompok
sasaran tindakan ini adalah sejumlah 27 orang, yaitu 26 pegawai laki-laki dan 1 orang
pegawai perempuan.3. Mencari informasi mengenai pegawai FISIP UI–yang memenuhi
kriteria sebagai kelompok sasaran, yang bersedia untuk mengikuti setiap tahap penelitian
tindakan (convenience sampling). Dari 27 orang pegawai FISIP UI yang memenuhi kriteria
sebagai kelompok sasaran, diperoleh 10 orang pegawai FISIP UI yang bersedia untuk
berpartisipasi dalam penelitian tindakan ini, yaitu 9 orang laki-laki dan 1 orang perempuan.
HASIL Pemaparan hasil penelitian tindakan dituangkan berdasarkan tahapan penelitian
tindakan yang telah dilakukan, yaitu tahap look, think dan act. Pada setiap tahapan penelitian
tindakan tersebut, dijelaskan pula tahapan pemasaran sosial (Najib dan French) yang telah
dilakukan, yaitu: tahap analisa masalah/kebijakan, analisa situasi, analisa kelompok sasaran,
strategi komunikasi, membuat daftar aktivitas, rencana manajemen, rencana pembuatan
media, rencana pelatihan staf, dan rencana pengawasan dan evaluasi. Walaupun proses
pelaksanaan tahapan pemasaran sosial tersebut tidak bersifat linear, gambaran mengenai
temuan lapangan diuraikan secara berurutan berdasarkan tahapannya, sesuai kondisi akhir
pelaksanaan penelitian.

A.Tahap Identifikasi Permasalahan dan Kebutuhan ( tahap look)Tahap look dalam penelitian
tindakan ini akan memberikan pemaparan mengenai beberapa tahapan perencanaan
pemasaran sosial, yaitu analisa masalah/situasi dan analisa kelompok sasaran. Pemaparan
mengenai tahapan masalah dan analisa situasi diuraikan menjadi satu bagian, yang
selanjutnya akan dijelaskan analisa kelompok sasaran.A.1. Analisa Masalah dan
SituasiSeluruh anggota kelompok sasaran memiliki sikap yang negatif terhadap fenomena
child sexual abuse. Mereka merasa prihatin terhadap child sexual abuse yang diberitakan oleh
berbagai media massa karena pelaku child sexual abuse yang mereka ketahui dari berbagai
media massa adalah ayah kandung, kakek, guru pramuka, dan teman sebaya. Pengetahuan
kelompok kelompok sasaran mengenai pelaku child sexual abuse membuat mereka sangat
khawatir terhadap keselamatan anaknya. Berbagai upaya yang selama ini dilakukan oleh
kelompok sasaran untuk melindungi anaknya dari child sexual abuse tidak memperhitungkan
bahwa anak-anak dapat mengalami child sexual abuse dalam keadaan orang tua sedang
lengah dan bahwa mereka dapat mengalami child sexual abuse oleh orang terdekatnya. Oleh
karena itu, kelompok sasaran perlu memperhitungkan upaya pemberdayaan anak semaksimal
mungkin untuk mencegah terjadinya child sexual abuse sedini mungkin. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan orang tua dalam proses pemberdayaan anak adalah dengan memberikan
pendidikan seksualitas kepada anaknya sejak dini. Sehingga anak-anak pun dapat mencegah
terjadinya child sexual abuse pada saat sedang tidak dalam pengawasan orang tuanya, baik
dari pelakunya adalah orang asing maupun orang terdekat.Berdasarkan analisa situasi yang
telah dilakukan, terdapat organisasi yang bersedia untuk menyelenggarakan kegiatan
pemasaran sosial dalam penelitian tindakan ini. Organisasi tersebut adalah Program
Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI.. A.2. Analisa Kelompok Sasaran 6 dari
seluruh jumlah anggota kelompok sasaran memiliki persepsi bahwa pendidikan seksualitas
merupakan suatu hal yang berbeda dengan pendidikan agama. Kemudian 7 orang dari 10
orang anggota kelompok sasaran mengungkapkan bahwa penyampaian mengenai pendidikan
seksualitas oleh orang tua bukan suatu hal yang tepat. Selanjutnya 9 orang anggota kelompok
sasaran, termasuk anggota kelompok sasaran yang berniat untuk melakukan pendidikan
seksualitas sejak dini dan memiliki pengetahuan yang banyak mengenai pendidikan
seksualitas (An), juga merasa bahwa pendidikan seksualitas tidak efektif untuk mencegah
terjadinya perilaku salah secara seksual kepada anak yang masih berusia belia.Berdasarkan
informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi orang tua dalam melakukan
pendidikan seksualitas pada kelompok sasaran, produk sosial yang akan ditawarkan kepada
para kelompok sasaran lebih banyak yang berupa pengetahuan (gagasan). Produk sosial
tersebut diharap dapat menyelesaikan permasalahan kelompok sasaran yang merasa
pengetahuannya mengenai pendidikan seksualitas untuk anak, masih kurang. Pada awalnya,
produk sosial tersebut akan ditawarkan kepada kelompok sasaran dalam sebuah kegiatan
diskusi kelompok. Mengenai hal tersebut, kelompok sasaran tidak berniat untuk berpartisipasi
secara aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan. Bahkan beberapa orang anggota kelompok
sasaran yang tidak berniat untuk melakukan pendidikan seksualitas kepada anaknya sejak
dini pun merasa enggan untuk menghadiri kegiatan pemasaran sosial yang diselenggarakan
dalam penelitian tindakan ini. Padahal anggota kelompok sasaran tersebut telah
menandatangani surat kesepakatan untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang
diselenggarakan dalam penelitian tindakan ini. Oleh karenanya, metode diskusi kelompok
dinilai tidak efektif. Pemilihan metode pemasaran sosial perlu dipertimbangkan secara masak
mengingat isu yang diangkat dalam penelitian tindakan ini masih dipandang tabu dan setiap
anggota kelompok sasaran memiliki sikap yang berbeda terhadap pendidikan seksualitas
untuk anak. Tambahan pula, beberapa orang anggota kelompok sasaran pun ada yang
mengungkapkan bahwa mereka tidak begitu pandai dalam mengungkapkan pendapatnya.
Dengan demikian, kegiatan pemasaran sosial dalam penelitian tindakan ini dilakukan dalam
bentuk seminar. Seminar yang dilaksanakan dalam penelitian tindakan ini juga terbuka untuk
peserta umum. Dengan demikian, gagasan yang ditawarkan dalam seminar dapat lebih
diperkaya oleh peserta seminar yang lain dan kelompok sasaran dapat memperoleh
pengetahuan yang lebih banyak. 2 Kelompok sasaran mengetahui, menyadari dan
menyepakati bahwa pendidikan seksualitas yang diberikan oleh orang tua juga merupakan
kebutuhan anak.3. Kelompok sasaran mengetahui, menyadari dan menyepakati bahwa
pendidikan seksualitas merupakan salah satu upaya pencegahan child sexual abuse, sejak
anak masih belia. Angka yang akan dipergunakan sebagai tolak ukur keberhasilan pemasaran
sosial ditetapkan berdasarkan jumlah anggota kelompok sasaran yang menyepakati isu
mengenai urgensi pendidikan seksualitas sebagai salah satu upaya pencegahan child sexual
abuse. Sebagaimana yang tergambar dalam tahapan analisa kelompok sasaran, dari 10 orang
anggota kelompok sasaran, hanya empat orang yang tidak memisahkan pendidikan
seksualitas dengan pendidikan agama. Kemudian dalam tahapan analisa kelompok sasaran
juga disebutkan bahwa hanya satu orang anggota kelompok sasaran yang memiliki persepsi
bahwa pendidikan seksualitas dari orang tua merupakan kebutuhan anak dan urgensi
pendidikan seksualitas sejak dini sebagai salah satu upaya pencegahan child sexual abuse.
Kemudian dari 10 orang anggota kelompok sasaran, hanya 3 orang anggota kelompok
sasaran yang menyatakan bahwa mereka berniat untuk melakukan pendidikan seksualitas
kepada anak sebagai salah satu upaya pencegahan child sexual abuse. Dengan demikian,
angka yang paling realistis untuk dijadikan tolak ukur keberhasilan dari kegiatan pemasaran
sosial adalah 5 dari 10 anggota kelompok sasaran menyepakati berbagai gagasan yang
ditawarkan dalam seminar pada penelitian tindakan ini.B.2. Strategi KomunikasiSetelah
menetapkan tujuan pemasaran sosial, hal lain yang perlu dilakukan dalam tahap awal
perencanaan pemasaran sosial adalah membuat strategi pemasaran sosial, yang terdiri dari
pengolahan metode dan bentuk pesan komunikasi dari kegiatan pemasaran sosial itu sendiri.
Dengan demikian, tidak seperti kegiatan ceramah atau pada umumnya, kegiatan pemasaran
sosial yang dikemas dalam sebuah kegiatan seminar yang berjudul “Berani untuk Berdiskusi
Masalah Seksualitas Bersama Anak sebagai Salah Satu Upaya Pencegahan Child Sexual
Abuse” tersebut membagi jadwal acara kegiatan menjadi tiga sesi. Sesi pertama adalah
pembahasan fenomena child sexual abuse yang dilaporkan ke Pusat Krisis Terpadu RSCM.
Sesi kedua adalah pembahasan urgensi pendidikan seksualitas sebagai upaya pencegahan
child sexual abuse berdasarkan aspek religi. Sedangkan sesi ketiga merupakan sesi yang
membahas urgensi pendidikan seksualitas sebagai upaya pencegahan child sexual abuse
berdasarkan aspek psikologi.Produk sosial yang akan ditawarkan dalam pemasaran sosial ini
akan dikemas dalam desain metode pemasaran sosial berupa slides dan dalam pertemuan
massal. Sedangkan desain pesan yang dipergunakan antara lain: ajakan secara emosi, ajakan
secara negatif, ajakan secara masa, ajakan secara serius, argumen dua arah, argumen secara
langsung atau tidak langsung, kesimpulan pasti atau terbuka, dan ajakan satu kali. C.
Tahap C.1. Perencanaan Kegiatan SeminarHal yang paling penting untuk direncanakan
dengan baik adalah isi dari setiap materi pembahasan yang akan diuraikan pada saat seminar
berlangsung. Untuk itu, harapan mengenai isi pembahasan setiap narasumber disampaikan
melalui term of reference. Term of reference tersebut pun diupayakan untuk bisa disampaikan
secara langsung kepada narasumber yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal ini, ada
beberapa daftar aktivitas yang perlu dilakukan. Daftar aktivitas yang terdiri dari semua
kegiatan persiapan dikomunikasikan kepada seluruh anggota tim pemasaran. Adapun yang
dipersiapkan oleh panitia adalah berbagai hal yang dibutuhkan untuk seminar –selain
penyiapan term of reference dan penyampaian term of reference kepada narasumber, adalah
perizinan, undangan, persiapan ruang seminar beserta perlengkapannya (sound system, LCD,
laptop, dan lain-lain), konsumsi, fotokopi materi seminar yang disampaikan narasumber,
dokumentasi, dan lain-lain. Berbagai kebutuhan tersebut dipersiapkan secara detil dalam
bentuk rencana manajemen. Dengan demikian, setiap anggota tim pemasar mengetahui
gambaran kerjanya masing-masing.Salah satu persiapan yang perlu dilakukan dalam
pemasaran sosial adalah pre-test dan post-test. Namun penelitian tindakan ini tidak
melakukannya karena waktu penelitian yang sempit. C.2. Implementasi KegiatanGambaran
mengenai implementasi kegiatan seminar yang akan dipaparkan adalah berbagai materi yang
dibahas dalam seminar dari masing-masing narasumber. Sedangkan berbagai hal lain yang
berkaitan dengan manajemen pelaksanaan yang bersifat teknis tidak digambarkan karena
dinilai tidak berkaitan dengan proses perubahan perilaku kelompok sasaran. Dengan
demikian, pemaparan implementasi kegiatan seminar yang telah dilakukan dalam seminar ini
dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama dijelaskan proses pembahasan mengenai
fenomena child sexual abuse yang dilaporkan ke PKT RSCM. Kemudian pada bagian yang
kedua dijelaskan proses pembahasan mengenai urgensi pendidikan seksualitas sebagai salah
satu upaya pencegahan child sexual abuse berdasarkan aspek religi. Sedangkan pada bagian
yang ketiga dijelaskan proses pembahasan mengenai urgensi pendidikan seksualitas sebagai
salah satu upaya pencegahan child sexual abuse berdasarkan aspek psikologi.a.
Pembahasan Fenomena Child Sexual Abuse yang Dilaporkan ke PKT
RSCM.Pembahasan mengenai fenomena child sexual abuse dimulai dengan pemaparan
mengenai definisi anak. Setelah itu dijelaskan kepada para kelompok sasaran mengenai jenis-
jenis kekerasan seksual kepada anak. Kelompok sasaran juga diberi penjelasan mengenai
Pusat krisis terpadu RSCM (PKT RSCM). Pembahasan pun dilanjutkan dengan pemaparan
mengenai kasus-kasus yang dilaporkan ke PKT RSCM sejak tahun 2002 sampai dengan
tahun 2006. Data yang diberikan antara lain jumlah kasus child sexual abuse yang dilaporkan
ke PKT RCM, gambar luka fisik korban child sexual abuse, dan lain-lain.Salah satu informasi
yang sangat penting untuk diketahui oleh kelompok sasaran sebagai orang tua yang bekerja
adalah informasi mengenai waktu dan tempat kejadian child sexual abuse. Dalam seminar ini
dijelaskan bahwa child sexual abuse biasanya terjadi pada jam 6.00-12.00 wib. Kejadiannya
berlangsung di rumah si korban pada saat orang tua sedang tidak ada di rumah. Kelompok
sasaran juga diberikan informasi bahwa dampak fisik yang diderita korban child sexual abuse
tidak sepele. Gambar-gambar yang ditampilkan menimbulkan banyak reaksi dari para
kelompok sasaran. Ada yang tidak mau melihat, ada yang mengernyitkan keningnya, dan
lain-lain. Berdasarkan pertanyaan peserta seminar, Narasumber menjelaskan bahwa yang
mengantarkan korban ke PKT RSCM biasanya adalah polisi, orang tua, lembaga swadaya
masyarakat, dan ada pula kasus dimana anak melapor sendiri. Kondisi orang tua pun biasanya
stress dan tidak menyangka bahwa pelaku adalah orang terdekat anak. Orang tua juga ada
yang diberikan konseling dan ada juga pelaku yang diberikan konseling. Narasumber juga
menjelaskan bahwa kasus yang dilaporkan biasanya berasal dari kalangan ekonomi lemah.
Kejadian child sexual abuse pun biasanya terjadi pada rumah petak. Apabila pelaku adalah
anak, penyebab yang mempengaruhi mereka untuk melakukan sexual abuse adalah karena
mereka melihat orang tuanya. Child sexual abuse juga terjadi di kalangan ekonomi atas tapi
tidak di laporkan karena orang yang berasal dari kalangan ekonomi atas merasa kejadian ini
merupakan suatu aib bagi mereka. Pelaku pada kalangan atas biasanya adalah sopir,
pengasuh, dan lain-lain. Solusi yang diberikan narasumber untuk mencegah child sexual
abuse kepada anaknya adalah memberi tahu kepada anak-anak mengenai bagian tubuh mana
saja yang tidak boleh dipegang oleh orang lain. Sedangkan kepada anak yang sudah
menginjak remaja, kelompok sasaran disarankan untuk memberikan perlindungan yang
maksimal kepada anak dan tidak perlu sampai paranoid yang berlebihan.b. Urgensi
Pendidikan Seksualitas Sebagai Salah Satu Upaya Pencegahan Child Sexual Abuse
berdasarkan Aspek Religi.Narasumber menyampaikan makalhnya yang berjudul “Pendekatan
Pendidikan Agama dalam Pendidikan Seks Sebagai Upaya Pencegahan Child sexual abuse”.
Ia mencoba untuk menjelaskan kepada kelompok sasaran bahwa pendidikan seks merupakan
upaya pengajaran penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang
diberikan kapada anak sejak ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks,
naluri, dan perkawinan. Narasumber menekankan bahwa pendidikan seks akan lebih baik
apabila diberikan oleh orang tua dalam suasana akrab dan terbuka antara orang tua dan anak.
Sedangkan pendidikan seksualitas di sekolah merupakan kelanjutan dari pendidikan yang
diberikan oleh orang tua. Pendidikan seksualitas yang diberikan oleh orang tua maupun
sekolah sebaiknya tidak dilakukan dengan komunikasi yang bersifat dua arah. Orang tua
maupun guru sebaiknya tidak hanya memberikan larangan kepada anak, tetapi juga
menjelaskan alasan mengapa sebuah perilaku dilarang.Berdasarkan beberapa pertanyaan
yang diajukan oleh peserta seminar, narasumber menjelaskan bahwa orang tua harus berhati-
hati dengan pemberian USB kepada anak, karena ada kasus dimana USB anak berisi video
atau gambar-gambar porno dimana anak mengambilnya dari internet. Kemudian narasumber
juga menjelaskan bahwa dari kasus-kasus yang muncul, jika anak tidak mendapatkan
pendidikan seks dalam perspektif agama, mereka akan berpacaran dengan melakukan hal-hal
yang biasa dilakukan oleh orang yang sudah menikah. c. Urgensi Pendidikan Seksualitas
Sebagai Salah Satu Upaya Pencegahan Child Sexual Abuse berdasarkan Aspek
Psikologi.Narasumber yang membahas mengenai urgensi pendidikan seksualitas sebagai
salah satu upaya pencegahan child sexual abuse berdasarkan aspek psikologi, menampilkan
pokok bahasan sesinya dengan tema “Melawan Kekerasan Seksual Kepada Anak”. Beliaupun
memulai pemaparannya dengan data-data yang berkaitan dengan peristiwa child sexual
abuse. Berdasarkan pemaparannya tersebut, narasumber menekankan bahwa pada zaman ini,
memandang enteng persoalan ini sama dengan mengorbankan anak sendiri. Walaupun
demikian, narasumber menambahkan bahwa orang tua tidak perlu berasumsi bahwa semua
orang tua itu jahat. Ada yang jahat, tapi ada juga yang baik, kita tetap perlu hati-
hatiNarasumber memberikan penekanan bahwa pemberdayaan anak sebagai salah satu upaya
pencegahan child sexual abuse sangat penting karena anak tidak mungkin diawasi terus,
pelaku kekerasan makin canggih, saat-saat yang menentukan justru harus diputuskan oleh
korban, dan saksi paling menentukan dalam kasus kekerasan seksual adalah saksi korban.
Oleh karena itu, pendidikan seksualitas kepada anak memang perlu dilakukan.Pendidikan
seksualitas perlu diberikan oleh orang tua sejak anak berusia tiga tahun. Di Amerika, anak
yang berusia tiga tahun sudah diajarkan oleh orang tuanya untuk tidak menerima pemberian
orang lain tanpa sepengetahuan orang tuanya. Apabila anak dipaksa, anak harus memanggil
guru atau orang tua. Orang tua juga harus memberitahu anak bahwa ada bagian-bagian
tertantu yang tidak boleh dipegang oleh orang lain. Jika anak sudah berusia 10-11 tahun anak
harus diajari masalah-masalah seksual. Berdasarkan pertanyaan yang diajukan dalam
seminar, narasumber menjelaskan bahwa kelompok sasaran sebagai orang tua harus
menjelaskan kepada anak apa yang berbahaya. Jika kita menjelaskan apa yang bahaya bagi
anak, anak dapat lebih siap menghadapi permasalahan. Selain itu, orang dewasa pada
dasarnya memiliki otoritas untuk menetapkan peraturan dan mengatur informasi
dikeluarganya. Narasumber pun menekankan supaya orang tua memberitahu kepada anak
agar harus bermain di tempat yang terbuka dan bisa diawasi oleh orang banyak. Kemudian
apabila ada orang dewasa yang bermain bersama anak telah memegang bagian tubuh anak
yang dilarang untuk disentuh, maka orang tua harus melarang anak bermain lagi dengan
pelakunya.C.3. Evaluasi Setelah mengikuti seminar, salah seorang anggota kelompok sasaran
yang sebelumnya tidak berniat untuk melakukan pendidikan seksualitas sejak dini (Mkj),
pada akhirnya mengatakan bahwa pendidikan seksualitas penting untuk diberikan kepada
anak. Perubahan sikap ini terjadi karena ia khawatir apabila anaknya menjadi korban child
sexual abuse. Selain itu, dua orang anggota kelompok sasaran (An dan Rst) juga semakin
meyakini bahwa child sexual abuse yang dapat dilakukan oleh orang terdekat mereka. Oleh
karena itu, kedua anggota kelompok sasaran tersebut semakin waspada terhadap aktivitas
yang dilakukan oleh anaknya walaupun aktivitas tersebut dilakukan bersama paman atau
sepupunya.Walaupun tujuh orang anggota kelompok partisipan telah bersepakat terhadap
urgensi pendidikan seksualitas sebagai salah satu upaya pencegahan child sexual abuse,
mereka masih merasa memiliki hambatan untuk melakukan pendidikan seksualitas kepada
anak di usianya yang masih dini. Mereka merasa perlu mengetahui lebih jauh mengenai
bagaimana cara berkomunikasi dengan anak, sehingga ia dapat menjawab setiap pertanyaan
yang dilontarkan oleh anaknya.Sedangkan kelompok sasaran yang tidak bersepakat akan
urgensi pendidikan seksualitas sebagai upaya pencegahan child sexual abuse (Oa), merasa
tidak perlu berkomunikasi secara proaktif kepada anaknya. Menurutnya, pendidikan agama
tetap yang paling utama dan diyakini dapat menjaga anaknya dari berbagai kejadian yang
tidak diinginkan. Ia berpikir bahwa agama itu suatu hal yang baku dan tidak dapat dikaitkan
dengan pendidikan seksualitas. Ia juga menyatakaan kekecewaannya terhadap materi yang
disampaikan dalam seminar, terutama pada tampilan gambar kondisi fisik korban child sexual
abuse. Partisipan tersebut juga tidak mau melaksanakan kiat-kiat yang diberikan oleh
narasumber ketiga (pemberdayaan anak untuk berkata tidak jika diberi iming-iming oleh
orang lain).

No Anggota kelompok sasaran Sikap kelompok sasaran terhadap ujuan seminar


KategoriKelompok sasaran Sepakat bahwa pendidikan seksualitas terintegrasi dalam
Pendidikan Agama Sepakat bahwa pendidikan seksualitas yang diberikan oleh orang tua
juga merupakan kebutuhan anak Sepakat dengan urgensi pendidikan seksualitas sebagai
salah satu upaya pencegahan child sexual abuse, kepada anaknya yang masih belia

1 Srd Sebelum mengikuti seminar, kelompok sasaran tidak berniat melakukan


pendidikan seksualitas sejak dini X X X √ X √

3 Eng X √ X √ X √

4 Mkj √ √ X √ X √

5 Oa Sebelum mengikuti seminar, kelompok sasaran tidak berniat melakukan


pendidikan seksualitas sejak dini X X X X X X

6 Mld Sebelum mengikuti seminar, kelompok sasaran berniat melakukan pendidikan


seksualitas sejak dini √ √ √ √ √ √

7 Srn X √ X √ X √

8 An √ √ √ √ X √

Keterangan:

√ = Ya
X = Tidak

Berdasarkan tabel 1, lebih dari lima orang menyepakati setiap gagasan yang ditawarkan
dalam kegiatan seminar. Tetapi ada salah seorang kelompok sasaran yang bersepakat
terhadap isu urgensi pendidikan seksualitas sebagai salah satu upaya pencegahan sexual
abuse (srd), belum merubah sikapnya terhadap gagasan bahwa pendidikan seksualitas
terintegrasi dalam pendidikan agama. Hal ini dikarenakan kelompok sasaran tersebut tidak
menghadiri seminar secara penuh. Sesi yang menjelaskan pendidikan seksualitas berdasarkan
aspek religi pun dihadirinya ketika sesi tersebut akan berakhir. Ketidakhadirannya dalam sesi
tersebut membuat srd merasa tidak memahami keterkaitan pendidikan agama dengan
pendidikan seksualitas. Sedangkan sikapnya yang cenderung positif terhadap dua isu lain
dikarenakan ia membaca fotokopi materi seminar yang disampaikan narasumber pada saat
seminar.Berdasarkan tabel tersebut pula, ada satu orang anggota kelompok sasaran (Oa) yang
begitu konsisten untuk menolak isu mengenai urgensi pendidikan seksualitas sebagai salah
satu upaya pencegahan child sexual abuse. Sikapnya yang negatif terhadap isu yang
digulirkan dalam kegiatan seminar tersebut menarik untuk dibandingkan dengan sikap dua
orang anggota kelompok sasaran yang tidak mengikuti seminar. Gambaran mengenai sikap
anggota kelompok yang tidak mengikuti seminar tersebut dapat dilihat dalam tabel 2 berikut
ini:

Tabel 2. Evaluasi perubahan sikap anggota kelompok sasaran yang tidak mengikuti seminar

No Partisipan Sikap kelompok sasaran terhadap tujuan seminar KategoriKelompok


sasaran Sepakat bahwa pendidikan seksualitas terintegrasi dalam Pendidikan Agama
Sepakat bahwa pendidikan seksualitas yang diberikan oleh orang tua juga merupakan
kebutuhan anak Sepakat dengan urgensi pendidikan seksualitas sebagai salah satu
upaya pencegahan child sexual abuse, kepada anaknya yang masih belia

1 Sgn Kelompok sasaran yang tidak berniat melakukan pendidikan seksualitas sejak
dini X √ X √ X X

2 Srs √ √ √ √ X X

Keterangan:

√ = Ya

X = Tidak

Berdasarkan tabel 2, salah seorang kelompok sasaran (sgn) yang tidak menghadiri kegiatan
seminar menyatakan bahwa ia sepakat apabila pendidikan seksualitas merupakan suatu hal
yang terintegrasi dengan pendidikan agama. Hal ini disebabkan kelompok sasaran tersebut
merasa bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan anak memang harus
dilandasi dengan nilai agama. Jika tidak, pendidikan anak menjadi tidak berarah. Kemudian
ia pun memiliki kesepakatan terhadap gagasan bahwa pendidikan seksualitas dari orang tua
juga merupakan kebutuhan anak. Perubahan sikap ini disebabkan kelompok sasaran tersebut
telah menonton sebuah acara di televisi mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak.
Walaupun demikian, kelompok sasaran tersebut tetap bersikukuh bahwa pendidikan
seksualitas hanya dapat diberikan kepada anak-anak yang sudah remaja. Berdasarkan apa
yang disampaikan oleh Sgn dan Oa, terlihat bahwa Sgn dan Oa memiliki persepsi yang
berbeda terhadap pendidikan agama. Sgn melihat bahwa pendidikan agama dapat dikaitkan
dengan pendidikan seksualitas. Dengan demikian, menurut Sgn, pendidikan seksualitas yang
diberikan kepada anak lebih terarah. Sedangkan Oa memandang bahwa pendidikan agama
suatu hal yang baku dan tidak bisa dicampuradukkan dengan hal lain, terutama pendidikan
seksualitas yang dipersepsikannya sebagai suatu hal vulgar. Itulah mengapa, Oa tidak
bersepakat terhadap berbagai isu yang digulirkan dalam seminar. Oa juga memiliki persepsi
upaya pencegahan child sexual abuse lebih efektif apabila dilakukan dengan memberikan
penyadaran kepada para pelaku child sexual abuse. PEMBAHASAN A. Penyebarluasan
Pemahaman Mengenai Perlunya Upaya Pencegahan Child Sexual AbuseUpaya pencegahan
child sexual abuse perlu mempertimbangkan berbagai hal yang menjadi penyebab terjadinya
child sexual abuse. David Finkelhor (Quinn: 163) membuat teori bahwa ada empat prasyarat
timbulnya child sexual abuse terhadap anak. Empat prasyarat tersebut adalah:a. Prasyarat
1: Pelaku Memiliki Motivasi melakukan perlakuan salah secara seksual.Pelaku pasti memiliki
pemikiran, kepentingan dan keinginan secara seksual pada seorang anak dan merasakan
bahwa anak tersebut dapat memenuhi kebutuhannya. Faktor yang mempengaruhi hal tersebut
antara lain keyakinan bahwa laki-laki harus dominan secara seksual, berkuasa dalam sebuah
hubungan dimana pasangannya harus pasif, tidak ada keinginan dan lemah.b. Prasyarat 2.
Pelaku Menguasai Hambatan Internal. Pelaku berhasil dalam meniadakan atau mengecilkan
suara-suara yang menyatakan bahwa child sexual abuse merupakan suatu hal yang salah dan
menyakitkan, pelanggaran, dan suatu hal yang ‘seharusnya tidak saya lakukan’. Hal ini
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti toleransi masyarakat untuk kejahatan yang disebabkan
mabuk, keyakinan individu bahwa anak-anak adalah makhluk yang mempesona, eksistensi
pornografi anak.c. Prasyarat 3. Menguasai hambatan eksternal.Pelaku menciptakan akses
dan kesempatan untuk melakukan perlakuan salah secara seksual tanpa dapat diketahui… hal
ini dapat difasilitasi oleh keluarga yan terisolasi dari jaringan pendukung dan keyakinan
adanya privasi dan kesakralan dalam sebuah keluargad. Prasyarat 4. Pelaku Menguasai
Penolakan AnakPelaku memaksa, memanipulasi, mengancam, menyuap, menakuti atau
mengakali anak untuk melakukan hubungan seksual dan tidak berbicara pada siapapun. Hal
ini didukung oleh beberapa faktor seperti pengetahuan anak yang kurang terhadap
pengetahuan seksualitas dan kelemahan secara umum pada anak-anak pada masyarakat kita.
Berdasarkan teori tersebut, kelompok sasaran tidak memperhitungkan salah satu prasyarat
(precondition) terjadinya child sexual abuse dalam mencegah terjadinya child sexual abuse
pada anaknya. Prasyarat yang tidak dipertimbangkan adalah prasyarat ke-4. Dalam prasyarat
tersebut, pelaku akan mengakali anak dengan cara lain apabila cara memaksa, memanipulasi,
mengancam, menyuap, atau menakuti anak tidak berhasil membuat anak menjadi korban
child sexual abuse. Oleh karena itu, berbagai informasi yang disampaikan dalam seminar
ditujukan supaya kelompok sasaran menyadari betul bahwa upaya pencegahan child sexual
abuse perlu dilakukan secermat mungkin. Kelompok sasaran perlu menyadari bahwa upaya
pencegahan child sexual abuse perlu dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa anak
memiliki potensi untuk melindungi dirinya dari child sexual abuse. B. Penyebarluasan
Pemahaman Mengenai Pendidikan Seksualitas Sebagai Salah Satu Upaya Pencegahan Child
Sexual AbuseSalah satu komponen yang perlu dipertimbangkan dalam membuat perencanaan
kegiatan pencegahan adalah level kegiatan pencegahan. Level kegiatan pencegahan yang
dimaksudkan terdiri dari level primer, tersier dan sekunder (Hardiker, Exton dan Barker,
1999, h.18) Di setiap level kegiatan tersebut, dapat dilakukan dengan berbagai strategi
pencegahan sebagaimana yang dijelaskan Quinn dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 3. Model perencanaan untuk perlindungan dan pencegahan child sexual abuse.

Pencegahan Primer—Komunitas Umum Pencegahan Sekunder—Target khusus,


kelompok yang riskan Pencegahan Tersier—Identitas korban, pelaku keluarga mereka

Strategi ditujukan pada kondisi sebelum terjadinya child sexual abuse (CSA) Strategi
ditujukan pada kondisi sebelum terjadinya child sexual abuse (CSA) Strategi bertujuan
untuk menetralkan kondisi sebelumnya dan mendampingi korban yang selamat/sembuh dan
keselamatan yang akan datang

Ditujukan untuk mengatasi prasyarat 1 dan 2 Ditujukan untuk mengatasi prasyarat 1 dan 2
Ditujukan untuk mengatasi prasyarat 1 dan 2

Tindakan legal melawan pemasaran yang merencahkan derajat anak dan perempuan, dan
yang mengeksploitasi seksualitas anak-anak dan perempuan Konsultasi dan
mendukung anak-anak yang selamat dari perlakuan salah secara seksual, terutama laki-laki
yang akan menjadi orang tua Program yang ditujukan kepada pelaku sehingga mereka
bertanggung jawab terhadap kelakuannya dan dampak kelakuannya

Pendidikan komunitas untuk melawan sikap yang bertoleransi terhadap kekerasan Tindakan
melawan kelompok pedofil, membatasi kesempatan mereka untuk memperluas
jaringanTindakan yang ditujukan untuk membuat pelaku menghadapi dampak negatif yang
telah mereka lakukan,misalnya mempergunakan pernyataan dari korban mengenai dampak
yang dideritanya

Pendidikan untuk orang tua dan berbagi mengenai peran yang seharusnya dijalankan orang
tua

Ditujukan pada preconditions 3 dan 4Ditujukan pada preconditions 3 dan 4Ditujukan pada
preconditions 3 dan 4

Pendidikan komunitas melawan sikap bahwa anak-anak adalah hak orang tua dan
permasalahan keluarga tidak dapat dicampuri oleh orang lain Mendidik praktisi, orang
tua, kelompok komunitas yang termasuk dalam indikasi terjadinya CSA Memberdayakan
orang tua bukan pelakuLobi untuk hak anak-anak Kontrak kerja untuk terhadap para
praktisi termasuk pernyataan mengenai konsekuensi apabila gagal menghargai hal anak, hak
untuk keselamatan dan kerahasiaan Mempergunakan kekuatan hukum untuk melawan
pelaku

Pendidikan komunitas untuk melawan sikap yang negatif terhadap anak-anak, misalnya anak-
anak tidak dapat dipercaya, manipulatif atau memiliki fantasi Peningkatan kewaspadaan
terhadap para praktisi berkaitan dengan kelompok yang riskan seperti anak cacat, bahasa
inggris yang terbatas dan anak-anak yang sebelumnya telah diperlakukan secara salah
Membangun dan memperkuat hubungan antara orang tua—yang bukan pelaku, dengan
anaknya,Memperkuat jaringan orang dewasa di sekitar anak. Memberikan kekuatan melalui
pengetahuan dan sumber daya

Sumber: Quinn (1999: 164-165)

Berdasarkan tabel 3, isi materi produk sosial yang ditawarkan kepada kelompok sasaran
termasuk dalam kategori model perencanaan di tingkat primer, karena seminar yang
dilakukan berupaya untuk memberikan informasi kepada kelompok sasaran bahwa anak-anak
pada dasarnya memiliki kekuatan untuk melindungi dirinya. Pengetahuan tersebut sedikit
bertentangan dengan pengetahuan kelompok sasaran yang memiliki persepsi bahwa anak-
anak itu lemah, tidak berdaya, dan harus selalu dilindungi dan diawasi oleh orang tua.
Padahal, anak-anak tidak dapat diawasi selamanya oleh orang tua. Tujuan pelaksanaan
kegiatan pencegahan child sexual abuse adalah untuk mengatasi salah satu prasyarat
terjadinya child sexual abuse yang ke-4, dimana pelaku selalu berupaya mengatasi penolakan
yang dilakukan oleh anak. C. Perilaku Kelompok Sasaran dalam Melakukan Pendidikan
Seksualitas terhadap Anak Sebagai Salah Satu Upaya Pencegahan Child Sexual
Abuse.Perilaku kelompok sasaran untuk melakukan pendidikan seksualitas –sebagai salah
satu upaya pencegahan child sexual abuse—adalah beragam. Hal tersebut terjadi karena
pengetahuan setiap anggota kelompok sasaran mengenai pendidikan seksualitas berbeda
antara yang satu dengan yang lainnya. Mereka yang bersikap negatif terhadap isu yang
dipasarkan dalam seminar memiliki persepsi yang keliru terhadap tujuan pendidikan
seksualitas, isi materi pendidikan seksualitas yang harus diberikan kepada anak, dan kapan
waktu yang tepat untuk memberikan pendidikan seksualitas kepada anak-anak. Namun
melalui kegiatan seminar yang diselenggarakan dalam penelitian tindakan ini, 6 orang dari 8
orang kelompok sasaran –yang tidak berniat untuk melakukan pendidikan seksualitas dan
mengikuti seminar–mau melakukan perubahan sikapnya. Salah satu hal yang membuat
kelompok sasaran merubah sikapnya adalah rasa takut kelompok sasaran terhadap kasus-
kasus child sexual abuse, yang ternyata lebih mengerikan dari yang selama ini mereka
bayangkan. Gambar mengenai dampak fisik yang dialami para korban child sexual abuse
membuat kelompok sasaran menjadi sadar bahwa child sexual abuse harus dicegah, salah
satunya dengan memberikan pendidikan seksualitas. Apalagi setelah mengikuti seminar,
mereka menjadi tahu bahwa pendidikan seksualitas tidak bertolak belakang dengan nilai
agama. Kelompok sasaran menjadi sadar bahwa mereka harus meminimalisir rasa tabu yang
selama ini menghalangi mereka untuk melakukan pendidikan seksualitas. Namun informasi
yang disampaikan dalam seminar masih terlampu sedikit untuk menjadi bekal kelompok
sasaran dalam melakukan pendidikan seksualitas kepada anak-anaknya. Oleh karena itu,
kelompok sasaran diberikan dorongan untuk mengasah ketrampilannya dalam melakukan
pendidikan seksualitas. Dengan demikian, pendidikan seksualitas dapat diberikan
berdasarkan kesiapan dan kebiasaan yang ada dikeluarganya masing-masing, dan yang
terpenting, dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan anak. D. Kebutuhan Kelompok
Sasaran Dalam Melakukan Pendidikan Seksualitas terhadap Anak Sebagai Salah Satu Upaya
Pencegahan Child Sexual AbuseBerbagai hal yang perlu dipertimbangkan oleh seorang
pemasar sosial untuk mengenal kelompok sasarannya dan membuat produk sosial sesuai
dengan kelompok sasarannya adalah tidak sederhana. Secara lebih jelas lagi, “The Roger’s
Shoemaker Adoption Diffusion Paradigm” (Kotler dan Roberto, 1989: 128) menguraikan
keterkaitan antara berbagai atribut yang dimiliki oleh individu yang termasuk dalam
kelompok sasaran, dengan kegiatan pemasaran sosial, dan keputusan individu yang termasuk
dalam kelompok sasaran tersebut untuk mengadopsi atau menolak produk sosial yang
ditawarkan. Dalam “The Roger’s Shoemaker Adoption Diffusion Paradigm” dijelaskan
kesesuaian antara produk sosial pengetahuan individu–yang termasuk dalam kelompok
sasaran, sebagai kebutuhannya dapat memberikan kesempatan kepada individu tersebut untuk
mengadopsi produk sosial yang ditawarkan. Dengan demikian, produk sosial yang akan
ditawarkan untuk merubah kelompok sasaran perlu mempertimbangkan pengetahuan individu
yang termasuk dalam kelompok sasaran. Namun, salah seorang dari kelompok sasaran tetap
teguh memegang pendiriannya bahwa pendidikan seksualitas bukan suatu hal yang berkaitan
dengan pendidikan agama. Sikap tersebut muncul karena kelompok sasaran tersebut memiliki
pengetahuan bahwa pendidikan agama tidak bisa disangkutpautkan permasalahan lain yang
menyangkut permasalahan duniawi. Sebaliknya anggota kelompok sasaran yang mudah
menerima salah satu produk sosial yang ditawarkan dalam seminar tersebut memiliki
pengetahuan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini memang harus dikaitkan dengan
pendidikan agama. Berdasarkan sikapnya, anggota kelompok sasaran yang bersikeras dengan
pendiriannya nampaknya belum memiliki kebutuhan untuk melakukan inovasi (variabel
penerima). Ia telah merasa puas dengan upaya pencegahan child sexual abuse yang
dilakukannya selama ini. Ia juga merasa bahwa produk sosial yang ditawarkan dalam seminar
tidak sesuai dengan kebutuhannya (karakteristik inovasi yang dimiliki sumber komunikasi).
Itulah mengapa, isu urgensi pendidikan seksualitas sebagai salah satu upaya pencegahan
perlakuan salah secara seksual seharusnya dapat dilakukan dengan cara dan bahasa yang
sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki kelompok sasaran mengenai pendidikan agama itu
sendiri. Kekhilafan dalam memperhatikan variabel penerima dan variabel sistem sosial yang
mempengaruhi pengetahuan individu dapat berakibat fatal terhadap keberhasilan pemasaran
sosial. E. Penyelenggaraan Kegiatan yang Ditujukan untuk Merubah Perilaku Kelompok
Sasaran dalam Melakukan Pendidikan Seksualitas terhadap Anak–Sebagai Salah Satu Upaya
Pencegahan Child Sexual Abuse.Salah satu bentuk produk sosial yang ditawarkan kepada
kelompok sasaran adalah berupa ide, yaitu ide mengenai “berani untuk berdiskusi mengenai
seksualitas bersama anak sebagai salah satu upaya pencegahan child sexual abuse”. Kata
berani mengawali tema seminar dimaksudkan supaya kelompok sasaran tidak merasa tabu
untuk berdiskusi mengenai seksualitas karena pendidikan seksualitas bisa mencegah child
sexual abuse. Salah satu cara untuk menawarkan gagasan tersebut adalah dengan memberikan
informasi kepada kelompok sasaran mengenai dampak fisik dan psikologis kepada kepada
kelompok sasaran seperti yang dilakukan oleh narasumber pertama. Melalui informasi
tersebut, kelompok sasaran diyakinkan kembali bahwa pencegahan child sexual abuse adalah
suatu hal yang sangat penting dan bukan suatu hal yang sepele. Berdasarkan hasil evaluasi
yang dilakukan, cara penyampaian pesan seperti ini cukup efektif untuk mendorong
kelompok sasaran merubah sikapnya yang dimiliki selama ini. Enam orang anggota
kelompok sasaran penelitian yang mengikuti seminar menjadi jauh lebih waspada terhadap
berbagai kemungkinan negatif yang akan terjadi pada anaknya. Beberapa anggota kelompok
sasaran ternyata ada yang tidak mengetahui bahwa korban child sexual abuse dapat
mengalami luka yang sedemikian parah (misalnya selaput dara dapat robek hanya karena
dimasukkan tangan pelaku, dubur korban sodomi dapat berbentuk corong, dan lain-
lain).Selain berupa keyakinan, produk sosial yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan
kelompok sasaran adalah berupa sikap atau seperangkat pengetahuan yang mampu
mendorong kelompok sasaran untuk mengevaluasi sikap yang selama ini memperngaruhi
perilakunya.. Produk sosial ini cukup efektif dalam memasarkan gagasan yang ditawarkan.
Efektivitasnya dapat dilihat dari informasi beberapa orang anggota kelompok sasaran
mengaku telah membacanya kembali di rumah dan berusaha untuk serta mendalaminya di
rumah. Jenis produk sosial dan tempat dimana produk sosial tersebut akan ditawarkan juga
menjadi dasar pertimbangan pada saat menetapkan seberapa besar biaya yang harus
dikeluarkan oleh kelompok sasaran untuk mengadopsi produk sosial yang ditawarkan.
Apalagi produk sosial yang ditawarkan kali ini menuntut perubahan mendasar dari kelompok
sasaran yang sebagian besar merasa tabu terhadap pendidikan seksualitas dan tidak berniat
untuk melakukan pendidikan seksualitas kepada anaknya masih belia. Adapun tujuan yang
telah ditetapkan dari kegiatan pemasaran sosial dalam penelitian tindakan ini adalah
kelompok sasaran mengetahui, menyadari dan menyepakati bahwa pendidikan seksualitas
merupakan salah satu upaya yang dapat dipergunakan untuk mencegah terjadinya child
sexual abuse. Berdasarkan tujuan tersebut, tuntutan perubahan kepada para kelompok sasaran
tidak hanya pada perubahan pengetahuan saja, tetapi juga aspek kognisi dan konasi mereka.
Dengan demikian, biaya yang harus dikeluarkan kelompok sasaran tidak sedikit. Itulah
mengapa, desain strategi komunikasi yang dirancang untuk menawarkan produk sosial
kepada para kelompok sasaran harus memperhitungkan berbagai keuntungan yang akan
didapat oleh kelompok sasaran. Berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan, teridentifikasi
bahwa para kelompok sasaran mengeluarkan beberapa biaya yang terdiri dari ide/nilai, pola
perilaku dan energi. Sedangkan keuntungan yang didapat berdasarkan masing-masing biaya
adalah keuntungan psikologis, produk (tidak kasat mata), keuntungan pelayanan dan sosial.
Dengan demikian, berbagai keuntungan yang didapat oleh kelompok sasaran seimbang
dengan biaya yang harus dikeluarkannya. Misalnya, jika kelompok sasaran harus
meninggalkan perilaku lama, ia mengetahui perilaku baru yang dapat dipraktikkan secara
langsung. Kelompok sasaran juga merasa puas karena ia mendapatkan pengetahuan dan
ketrampilan yang bisa diterapkan guna keselamatan anaknya. KESIMPULAN Seluruh
anggota kelompok sasaran meyakini bahwa child sexual abuse harus dicegah. Namun upaya
pencegahan yang mereka lakukan selama ini tidak memperhitungkan faktor internal anak
yang berpotensi untuk melindungi diri dari child sexual abuse. Melalui seminar yang
dilakukan dalam penelitian tindakan ini, sebagian besar anggota kelompok sasaran mendapat
pengetahuan bahwa child sexual abuse memiliki dampak yang mengerikan. Mereka pun
memiliki kesadaran bahwa child sexual abuse harus dihindari dengan berbagai cara, salah
satunya dengan upaya pemberdayaan anak.Salah seorang anggota kelompok sasaran ada yang
memegang sikapnya yang negatif terhadap pendidikan seksualitas sebagai salah satu upaya
pencegahan child sexual abuse.Hasil yang diperoleh dari penelitian tindakan ini perlu tindak
lanjut dan pengembangan lagi. Beberapa saran yang perlu dilakukan, antara lain:1.
Diperlukan pelatihan yang dilakukan dengan metode diskusi kelompok yang dapat
memfasilitasi kelompok sasaran untuk lebih mengasah pengetahuan dan ketrampilannya
untuk melakukan pendidikan seksualits sebagai salah satu upaya pencegahan child sexual
abuse, sesuai dengan kebutuhannya. 2. Perlu dibuat produk kasat mata–baik berupa
booklet, buku, dan lain-lain, yang praktis dan sederhana sehingga kelompok sasaran memiliki
pengetahuan yang lebih praktis dalam memberikan pendidikan seksualitas kepada anak
sebagai salah satu upaya pencegahan kepada anak.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, I.R.(2003). Pemberdayaan, pengembangan masyarakat dan intervensi komunitas:


Pengantar pada pemikiran dan pendekatan praktis. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.

Assifi, Najib M dan James H. French. (tanpa tahun).

Guidelines for Planning Communication Support for Rural Developments Campaigns.


UNDP/DTCP.

Briggs, F. dan Hawkins, R. (1997).

Child protection: A guide for teacher and child care professionals. Sydney: Southwest Pty
Ltd.Dianawati, A. (2003).

Pendidikan seks untuk remaja. Jakarta: Kawan Pustaka.Kotler, P. dan Roberto, E.L.(1989).

Anda mungkin juga menyukai