Anda di halaman 1dari 34

Case Based Discussion

‘’Ureterolithiasis dengan Non Functional kidney’’

Oleh:
Nur Amiroh Aulia Sari (6120018034)

Pembimbing:
dr. Dwimantoro Iman Prilistyo, Sp.U

DEPARTEMEN/SMF ILMU BEDAH


RSI JEMURSARI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2019

STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI 1


LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama/NIM : Nur Amiroh Aulia Sari / 6120018034


Judul Presentasi Kasus : batu ureter dengan hidronefrosis berat
Universitas : Nahdlatul Ulama Surabaya

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada stase Ilmu
Bedah bagian bedah Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama
Surabaya.

Surabaya, 13 Nopember 2019

Mengetahui ,
Pembimbing

dr. Dwimantoro Iman Prilistyo, Sp.U

STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI 2


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME karena atas izinNya
penulis dapat menyusun tugas Case Based Discussion (CBD) dengan judul batu
uereter dengan hidronefrosis beratpada stase Ilmu Bedah bagian bedah Urologi
tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih dr.
Dwimantoro Iman Prilistyo, Sp.U yang telah memberikan bimbingan kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan CBD ini.
CBD ini dibuat sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik
Bedah di RS Islam Jemursari Surabaya. Bila ada kesalahan dalam penulisan tugas
ini penulis mohon maaf. Kritik dan saran sangat penulis harapkan.
Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih. Semoga penulisan tugas ini
bermanfaat bagi pembaca.

Surabaya, 13 Nopember 2019

Penulis

STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI 3


BAB I
PENDAHULUAN

Uroliltiasis merupakan penyakit yang salah satu dari gejalanya adalah


pembentukan batu di dalam saluran kemih(1). Di Indonesia penyakit batu saluran
kemih masih menempati porsi terbesar dari jumlah pasien di klinik urologi. Batu
pada uereter merupakan salah satu dari batu saluran kemih yang terbanyak.
Insidensi dan prevalensi yang pasti dari penyakit ini di Indonesia belum dapat
ditetapkan secara pasti.(2)

Dari data dalam negeri yang pernah dipublikasi didapatkan peningkatan


jumlah penderita batu ginjal yang mendapat tindakan di RSUPN-Cipto
Mangunkusumo dari tahun ke tahun mulai 182 pasien pada tahun 1997 menjadi 847
pasien pada tahun 2002, peningkatan ini sebagian besar disebabkan mulai
tersedianya alat pemecah batu ginjal non-invasif ESWL (Extracorporeal shock
wave lithotripsy) yang secara total mencakup 86% dari seluruh tindakan (ESWL,
PCNL, dan operasi terbuka).(2)
Dari data di luar negeri didapatkan bahwa resiko pembentukan batu
sepanjang hidup (life time risk) dilaporkan berkisar 5-10% (EAU Guidelines). Laki-
laki lebih sering dibandingkan wanita (kira-kira 3:1) dengan puncak insidensi
antara dekade keempat dan kelima, hal ini kurang lebih sesuai dengan yang
ditemukan di RSUPN-CM.(2)

STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI 4


BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.K

Usia : 56 tahun

Warga negara : Indonesia

Agama : Islam

Status : Menikah

Alamat : Surabaya

II. ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)

Keluhan utama:

Pasien datang dengan keluhan utama perut kanan terasa penuh dan ada yang
menggajal sesak sejak 1 minggu smrs

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan keluhan utama perut terasa penuh sesak sejak 1
minggu smrs, sebelumnya pada bulan 4 pasien di diagnosa batu di saluran
kemihnya dan direncanakan untuk operasi tetapi hanya belum siap.

Sejak 1 minggu smrs pasien sering mengalami lemah,lesu,sakit bagian


perut kanan depan ,mengganjal,jika tidur perut terasa penuh, penurunan berat
badan disangkal,BAK darah disangkal,nafsu makan sedikit.

Riwayat penyakit dahulu:

Riwayat DM (+) uncontrolled

Riwayat hipertensi (+) uncontrolled

Riwayat Penyakit Keluarga


- Pasien menyangkal memiliki keluarga menderita penyakit yang sama.

STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI 5


Riwayat Kebiasaan
- Pasien sering lupa minum, kopi,minuman kemasan disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Tanda Vital Antropometri
Tekanan darah : 168/90 mmHg BB : 53 kg
Nadi : 96 x /menit TB : 154 cm
Suhu : 37,8°C BMI : 22,9
Pernafasan : 24x/menit Kesan : normalweight
GCS : 456 (Compos mentis)

Status generalis
Kepala : Normocephalic, Rambut bewarna hitam, tidak mudah
rontok, A/I/C/D -/-/-/-, Pupil bulat isokor 3mm/3mm,
Refleks cahaya D/I (+/+), hidung dan telinga dbn

Leher : Trakea berada di tengah dan tidak terdapat deviasi. Tak


tampak adanya pembesaran KGB, tak tampak adanya
pembesaran tyroid.

Thorax

Jantung Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat, buah dada simetris,


gynecomastia (-), spider navy (-) efloresensi yang
bermakna (-).

Palpasi : ictus cordis teraba di midclavicular ICS V

STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI 6


Perkusi : batas jantung kanan di parasternal ICS III-IV dextra,
batas jantung kiri ICS III sternalis dan di midclavicular
ICS V sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I &II reguler, murmur (-), gallop (-).

Paru Inspeksi : Bentuk normal, pergerakan dada simetris, retraksi (-)

Palpasi : Pergerakan dada saat bernafas baik, vokal fremitus


simetris kanan dan kiri

Perkusi : Suara sonor di kedua lapang paru,

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-.

Abdomen Inspeksi : Tampak datar, venektasi (-), caput medusae (-).

Auskultasi : Bising usus 12x/menit

Perkusi : Timpani +

Palpasi : Perut teraba soepel. Nyeri tekan (-) RLQ abdomen,


nyeri lepas (-), defans muskular (-). Hepar teraba 3 cm
dibawah arcus costae, dan lien tidak diraba.

Ekstremitas Inspeksi : simetris, palmar eritem (-)

Status Urologis

Regio Inspeksi : datar, bekas luka (-), benjolan (-), perubahan warna (-),
Flank memar (-), bulging(-/-)

Palpasi : Teraba massa +/- dengan permukaan rata konsistensi


kenyal seperti fluktuatif kesan cairan batas tegas
,ballotement +/-, nyeri tekan -/-

STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI 7


Perkusi : nyeri ketok CVA +/-

Regio Inspeksi : Datar, bekas luka (-), benjolan/ massa (-), perubahan
Suprapubik warna (-), memar (-)

Palpasi : Buli tidak teraba penuh, nyeri tekan (-), benjolan/ massa
(-)

Regio genetalia

Eksterna vulva,perineum , inspeksi: hiperemi -, massa -, edema –

Palpasi :tak teraba massa, nyeri tekan –

MUE:

Anus dan Inspeksi : tampak normal, hiperemis (-), benjolan (-).


rectum
Palpasi : Pada pemeriksaan Rectal toucher, didapatkan Tonus
sphincter ani normotom, ampulla rectum kosong,
mukosa licin, prostat teraba kesan tidak ada
pembesaran, tidak ditemukan pembesaran massa yang
abnormal, nyeri tekan (-), pada handschoen tidak ada
feses, darah dan lendir yang menempel.

Diagnosa klinis: batu ureter dextra

Diagnosa banding:

- Tumor ginjal
- Renal CIST

STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI 8


Pemriksaan anjuran:

1. USG
2. Foto abdomen BOF
3. Ct scan dg kontras
4. Faal ginjal : Klirens kreatinin,GFR,Renogram,UL

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium

Pemeriksaan Darah lengkap (06 nopember 2019)

Pemeriksaan Nilai Satuan Range Normal

Hb 13,6 Gram % 12-16

AL 9,88 Ribu/ul 4-10

AE 4,30 Juta/ul 4,5-5,5

AT 160 Ribu/ul 150-450

Hematokrit 40,8 % 36-46

Eosinofil 0 % 2-4

Basofil 0 % 0-1

Batang 2 % 2-5

Segmen 49 % 31-67

Lymphosit 46 % 20-35

Monosit 3 % 4-8

STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI 9


Pemeriksaan Kimia Darah dan Hbs Ag (06 nopember 2019)

Tanggal Ureum

Ureum 33

Kreatin 1,15

SGOT 174

SGPT 143

GDS 149

Hbs Ag Negatif

Radiologi

USG GINJAL FOTO BOF

Kesan ginjal kanan : gambaran


hidronefrosis berat

1
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
0
Kesan : Tampak batu radioopak pada
proyeksi 1/3 proximal ureter

DS CT Urography Contrast (06 nopember 2019)

Kesan :

1
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
1
V. DIAGNOSIS KLINIS
Batu ureter dextra dengan hidronefrosis berat

DIAGNOSA BANDING
Tumor ginjal
Renal CIST

VI. PENATALAKSANAAN
- Infus PZ 14 tpm / 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 g
- Inj. Antrain 3 x 1 g
- Inj. Omeprazole 2 x 40 mg
- Ureterolitotomy + Nefrectomy ren dextra

- LAPORAN OPERASI
Diagnosis Pra
: Batu ureter dextra Tgl Operasi : 07-11-2019
Bedah

Diagnosis Pasca Mulai Jam 09.00


: Batu ureter dextra
Bedah Selesai Jam 10.00

Ureterolitotomy +
Jenis Tindakan : Asisten I : Adin T, A.Md Kep
neferctomy

Dwimantoro Iman
Nama Operator : Asisten II : Tidak Ada
Prilistiyo, dr. Sp. U

1
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
2
Jenis Mulai Jam 09.00
Nama Instrumentor : lala Anestesi : Selesai Jam
SAB 10.00

Urgensi No. K. Operasi :


Ardian Medianto, dr. 5
Nama Anestesist Operasi :
Sp.An
Elektif Ronde Ke : 1

Isi Laporan : Penjelasan Teknik Operasi Secara Kronologi (Kalo Perlu)

Inj. Ceftriaxone 2 X 1 G Program


Persiapan Operasi :
Antibiotic Profilaksis -

Posisi Pasien : Supine

Desinfeksi : Povidone Iodine 10%

Insisi Kulit Dan Pembukaan


:
Lapangan Op

Batu pada ueretr kira-kira 1,5 cm


Pendapatan Pada Explorasi :
Cortex ginjal menipis

Apa Yang Dikerjakan : Uerterolithomy dengan nefrectomy

Penutupan Lapangan Op & Kulit : Jahit Luka Operasi Lapis Demi Lapis

Komplikasi Op : Perdarahan

Pendarahan Durante Op : ± <10 Cc

Deskripsi Jaringan/Organ Yang Di


: Tetap
Eksisi & Diapakan Jar/Organ Itu

Lain2 Yang Perlu : -

Kesimpulan : Batu ureter kanan

Hasil operasi :

1
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
3
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

FOLLOW UP HARIAN
Tanggal S Perut terasa penuh ,sedikit cemas
05-11-2019 O KU : cukup
GCS 456 (CM)
TD 140/100 mmHg
RR 20 x/menit
N 84 x/menit
S 36,2◦C
Saturasi O2 99%
A  Batu uereter kanan
 Hidronefrosis berat Kanan
 DM
 HT
P - Infus PZ 14 tpm / 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 g
- Inj. Antrain 3 x 1 g
- Inj. Omeprazole 2 x 40 mg
- Inj. Kalnex 3 x 500 mg
Tanggal S Tidak bisa tidur ,sedikit cemas tapi siap operasi besok
1
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
4
06-10-2019 O  KU : Tampak Baik
 GCS 456
 TD 160/100 mmHg
 RR 20 x/menit
 N 88 x/menit
 S 36,5◦C
 NT URQ +
A  Batu uereter kanan
 Hidronefrosis berat Kanan
 DM
 HT
P - Infus PZ 14 tpm / 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 g
- Inj. Antrain 3 x 1 g
- Inj. Omeprazole 2x40mg
- Drip tramadol 2 x 100 mg dala 500 cc PZ
- Inj. Ondancentron 3 x 4 mg

Tanggal S Siap operasi,tidak ada keluhan hanya perut kanan seperti ada
07-11-2019 yang menganganjal
O  KU : Tampak Baik
 GCS 456
 TD 160/90 mmHg
 RR 20 x/menit
 N 92 x/menit
 S 37◦C
A  Batu uereter kanan
 Hidronefrosis berat Kanan
 DM
 HT
P - Infus PZ:D5% 2:1 / 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 g
- Inj. Antrain 3 x 1 g
- Inj. Omeprazole 2 x 40 mg
- Inj. Ondancentron 3 x 4 mg
- Inj. Kalnex (asam tranexamat) 3 x 500 mg

Tanggal S Mual ,nyeri sperti perut tertarik, lemas,belum kentut,


08-11-2019 O  KU : Tampak Baik
 GCS 456
Drain : 200cc/18jam
 TD 150/90 mmHg
 RR 20 x/menit Urinoutput:Masih
 N 80 x/menit merah,1200 cc
 S 36,5◦C

1
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
5
A  Batu uereter kanan
 Hidronefrosis berat Kanan
 DM
 HT
P - Infus PZ:D5% 2:1 / 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 g
- Inj. Antrain 3 x 1 g
- Inj. Ondancentron 3 x 4 mg
- Inj. Kalnex (asam tranexamat) 3 x 500 mg
-
Tanggal - Masih lemas,sudah kentut, sedikit bisa miring ,nyeri
09-11-19
s berkurang,tetapi semalam tidak bisa tidur, lemas
O  KU : Tampak Baik
 GCS 456 Drain : 20cc/24jam
 TD 150/90 mmHg
Urinoutput:Masih sedikit
 RR 20 x/menit
merah
 N 80 x/menit
 S 36,5◦C

A  Batu uereter kanan


 Hidronefrosis berat Kanan
 DM
 HT
P -

Tanggal S - Sudah baik,sedikit nyeri jadi semalam bisa tidur, mual


10-11-19 karena bau kuah makanan dari gizi
O  KU : Tampak Baik
 GCS 456 Drain : 5cc/24jam
 TD 150/90 mmHg
 RR 20 x/menit Urinoutput:sudah jernih
 N 80 x/menit
 S 36,5◦C

A  Batu uereter kanan


 Hidronefrosis berat Kanan
 DM
 HT
P -

Tanggal S - Tidak ada keluhan sudah membaik


11-11-19 - Ingin cepat pulang
O  KU : Tampak Baik
 GCS 456 Drain : 1cc/24jam
 TD 130/90 mmHg Urinoutput:sudah jernih

1
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
6
 RR 20 x/menit
 N 80 x/menit
 S 36,5◦C
-
A  Batu uereter kanan
 Hidronefrosis berat kanan
 DM
 HT
P - KRS
- Kontrol

1
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
7
TINJAUAN PUSTAKA

Uroliltiasis merupakan penyakit yang salah satu dari gejalanya adalah


pembentukan batu di dalam saluran kemih(1). Di Indonesia penyakit batu saluran
kemih masih menempati porsi terbesar dari jumlah pasien di klinik urologi.
Insidensi dan prevalensi yang pasti dari penyakit ini di Indonesia belum dapat
ditetapkan secara pasti.(2)

Dari data dalam negeri yang pernah dipublikasi didapatkan peningkatan


jumlah penderita batu ginjal yang mendapat tindakan di RSUPN-Cipto
Mangunkusumo dari tahun ke tahun mulai 182 pasien pada tahun 1997 menjadi 847
pasien pada tahun 2002, peningkatan ini sebagian besar disebabkan mulai
tersedianya alat pemecah batu ginjal non-invasif ESWL (Extracorporeal shock
wave lithotripsy) yang secara total mencakup 86% dari seluruh tindakan (ESWL,
PCNL, dan operasi terbuka).(2)
Dari data di luar negeri didapatkan bahwa resiko pembentukan batu
sepanjang hidup (life time risk) dilaporkan berkisar 5-10% (EAU Guidelines). Laki-
laki lebih sering dibandingkan wanita (kira-kira 3:1) dengan puncak insidensi
antara dekade keempat dan kelima, hal ini kurang lebih sesuai dengan yang
ditemukan di RSUPN-CM.(2)

Etiologi Batu Saluran Kemih(1)

 Idiopatik
 Gangguan aliran kemih
o Fimosis, striktur meatus, hipertrofi prostat, refluks vesiko – uretral,
uretrokel, konstriksi hubungan uteropelvik.
 Gangguan metabolisme
o Hiperparatiroidisme
o Hiperurisemia
o Hiperkalsiuria
 Infeksi saluran kemih oleh mikroorganisme yang mampu membuat urease
(Proteus mirabilis)
 Dehidrasi
o Kurang minum, suhu lingkungan tinggi
 Benda asing
o Fragmen kateter, telur sistosoma
 Jaringan mati (nekrosis papil)
 Multifaktor
o Anak di negara berkembang

1
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
8
o Penderita multitrauma

Teori Pembentukan Batu(3)


A. Teori inti (nukleus); kristal dan benda asing merupakan tempat
pengendapan kristal pada urin yang sudah mengalami supersaturasi.
B. Teori matriks; matriks organik yang berasal dari serum atau protein-protein
urin memberikan kemungkinan pengendapan kristal.
C. Teori inhibitor kristalisasi; beberapa substansi dalam urin menghambat
terjadi kristalisasi, konsentrasi yang rendah atau absennya substansi ini
memungkinkan terjadinya kristalisasi.

Ketiga faktor ini mempengaruhi pembentukan batu, pembentukan batu disebabkan


oleh lebih dari satu faktor pada urin yang mengalami supersaturasi:

Hiperkalsiuria dapat disebabkan oleh :


- Hiperkalsiuria absorbtif; gangguan meabolisme yang menyebabkan
absorpsi usus yang berlebihan juga pengaruh dari vitamin D dan
hiperparatiroid
- Hiperkalsiuria renal; kebocoran pada ginjal

Hiperoksaluria:
- Primer
- Oral dan inhalasi, pemakaian vitamin C dosis tinggi dalam waktu yang
lama, methoxyflurane (obat bius).
- Hiperoksaluria enternik

Hiperurikusuria:
- Makanan yang banyak mengandung purine
- Pemberian sitostatika pada pengobatan neoplasma
- Dehidrasi kronis
- Obat-obatan; thiazide (diuretik), salisilat.

Komposisi Batu(4,5)
1. Batu Kalsium

Batu jenis ini, paling banyak dijumpai, yaitu sekitar 70-80% dari seluruh
batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini, terdiri atas kalsium oksalat, kalsium
fosfat atau campuran dari kedua unsur itu. Batu kalsium oksalat biasanya terbentuk
pada suasana urine asam. Batu kalsium bentuknya bergerigi sehingga jarang keluar
spontan. Faktor terjadinya batu kalsium adalah:

a. Hiperkalsiuri

1
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
9
Yaitu kadar kalsium dalam urine > 250-300 mg/24 jam. Terdapat 3 macam
penyebab terjadinya hiperkalsiuria, antara lain :
 Hiperkalsiuria absorbtif : keadaan hiperkalsiuria absorbtif terjadi karena
adanya peningkatan absorbsi kalsium melalui usus
 Hiperkalsiuri renal : keadaan hiperkalsiuria renal dapat terjadi karena
adanya gangguan kemampuan reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal
 Hiperkalsiuria resorptif : keadaan hiperkalsiuria resorptif terjadi karena
adanya peningkatan resorpsi kalsium tulang. Banyak terjadi pada
hiperparatiroidisme primer atau pada tumor paratiroid.

b. Hiperoksaluri
Adalah ekskresi oksalat urine melebihi 45 gram / hari. Keadaan
hiperoksaluria banyak dijumpai pada pasien dengan gangguan pada usus setelah
menjalani pembedahan usus dan pada pasien yang banyak mengkomsumsi
makanan kaya akan oksalat seperti teh, kopi instant, soft drink, kokoa, arbei, jeruk,
sitrun, dan sayuran berwarna hijau terutama bayam.

c. Hiperurikosuria

Adalah kadar asam urat di dalam urine melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat
yang berlebihan dalam urine, bertindak sebagai inti batu / nidus untuk terbentuknya
batu kalsium oksalat. Sumber asam urat di dalam urine berasal dari makanan
mengandung banyak purin seperti daging, ikan, unggas maupun berasal dari
metabolisme endogen.

d. Hipositraturia
Dapat terjadi pada asidosis tubulus ginjal, sindrom malabsorbsi, atau
pemakaian diuretik golongan thiazide dalam jangka waktu lama

e. Hipomagnesiuria
Penyebab tersering hipomagnesiuria adalah penyakit inflamasi usus
(inflammatory bowel disease) yang diikuti gangguan malabsorbsi.

2. Batu struvit
Disebut juga sebagai batu infeksi, karena terbentuknya batu struvit
disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi adalah
kuman golongan pemecah urea yang dapat menghasilkan enzim urease dan
merubah urine menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak.
Suasana basa memudahkan garam-garam magnesium, amonium, fosfat dan
karbonat membentuk batu magnesium amonium fosfat dan karbonat apatit. Karena
terdiri atas 3 kation, dikenal sebagai batu triple phosphate. Kuman-kuman yang
termasuk pemecah urea diantaranya adalah Proteus spp, Klebsiella, Serratia,
Enterobacter, Pseudomonas, dan Stafilokokus.

2
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
0
3. Batu Asam Urat
Merupakan 5-10% dari seluruh batu saluran kemih. Sebagian besar terdiri
atas batu asam urat murni, sisanya merupakan campuran kalsium oksalat. Penyakit
batu asam urat banyak diderita oleh pasien-pasien penyakit gout, mieloproliferatif,
pasien dengan terapi antikanker, dan banyak menggunakan obet urikosurik, antara
lain sulfinpirazole, thiazide, dan salisilat. Kegemukan, peminum alkohol, dan diet
tinggi protein berpeluang besar mendapat penyakit ini. Batu asam urat berbentuk
bulat dan halus sehingga seringkali keluar spontan.
Sumber asam urat berasal dari diet mengandung purin dan metabolisme
endogen di dalam tubuh. Purin di dalam tubuh didegradasi oleh asam inosinat,
dirubah menjadi hipoxanthin,. Dengan bantuan enzim xanthin oksidase,
hipoxanthin dirubah menjadi xanthin yang akhirnya dirubah menjadi asam urat.
Pada manusia, karena tidak memiliki enzim urikase, maka asam urat diekskresikan
ke dalam urine dalam bentuk asam urat bebas dan garam urat. Garam urat lebih
sering berikatan dengan natrium membentuk natrium urat, yang lebih mudah larut
di dalam air dibandingkan asam urat bebas. Asam urat bebas relatif tidak larut di
dalam urine, sehingga pada keadaan tertentu mudah sekali membentuk kristal asam
urat dan selanjutnya membentuk batu asam urat. Beberapa faktor yang
mempengaruhi terbentuknya batu asam urat adalah :
 Urine yang terlalu asam ( pH urine < 6 )
 Volume urine yang jumlahnya sedikit ( < 2 liter / hari ) atau dehidrasi
 Hiperurikosuria atau kadar asam urat yang tinggi

BATU URETER

Latar Belakang(6)
Batu ureter pada umumnya adalah batu yang terbentuk di dalam sistim kalik
ginjal, yang turun ke ureter. Terdapat tiga penyempitan sepanjang ureter yang
biasanya menjadi tempat berhentinya batu yang turun dari kalik yaitu ureteropelvic
junction (UPJ), persilangan ureter dengan vasa iliaka, dan muara ureter di dinding
buli.

Komposisi batu ureter sama dengan komposisi batu saluran kencing pada
umumnya yaitu sebagian besar terdiri dari garam kalsium, seperti kalsium oksalat
monohidrat dan kalsium oksalat dihidrat. Sedang sebagian kecil terdiri dari batu
asam urat, batu struvit dan batu sistin.

2
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
1
Gambaran Klinis

Keluhan yang disampaikan oleh pasien, tergantung pada posisi batu, ukuran
batu dan penyulit yang telah terjadi. Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien
adalah nyeri pada pinggang, baik berupa nyeri kolik maupun bukan kolik. Nyeri
kolik disebabkan oleh adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises
meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Peningkatan
peristaltik menyebabkan tekanan intraluminal meningkat sehingga terjadi
peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri. Sedangkan nyeri
non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau
infeksi pada ginjal akibat stasis urine. (1,4,5,8)
Hematuria sering dikeluhkan oleh pasien akibat trauma pada mukosa
saluran kemih karena batu. Kadang hematuria didapatkan dari pemeriksaan
urinalisis berupa hematuria mikroskopik. Jika didapatkan demam, harus dicurigai
suatu urosepsis. (4)
Pada pemeriksaan fisis, mungkin didapatkan nyeri ketok pada daerah kosto-
vertebra, teraba ginjal pada sisi yang sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda-tanda
gagal ginjal, dan adanya retensi urine.(4)
Pada pemeriksaan sedimen urine, menunjukkan adanya leukosituria,
hematuria dan dijumpai kristal-kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urine
mungkin menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.(4)

Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, dan pemeriksaan fisik,
selain itu perlu ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium, radiologik, dan dengan
pencitraan untuk menentukan kemungkinan adanya gangguan fungsi ginjal.

Pemeriksaan Penunjang yang dapat menegakan diagnosis antara lain :

Laboratorium :
1. Urin
- pH urin
- Batu kalsium, asam urat dan batu sistin terbentuk pada urin dengan pH yang
rendah (pH<7).
- Batu struvit terbentuk pada urin dengan pH yang tinggi (pH> 7)
- Sedimen
- Sel darah meningkat (90%), pada infeksi sel darah putih akan meningkat.
- Ditemukan adanya kristal, misalnya kristal oksalat
- Biakan urin untuk melihat jenis mikroorganisme penyebab infeksi pada
saluran kemih

2
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
2
2. Darah
- Hemoglobin, adanya gangguan fungsi ginjal yang kronis dapat terjadi
anemia
- Leukosit, infeksi saluran kemih oleh karena batu menyebabkan leukositosis
- Ureum kreatinin, parameter ini digunakan untuk melihat fungsi ginjal
- Kalsium, dan asam urat.

Radiologik :
1. Foto Polos Abdomen
Bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radioopak di saluran
kemih. Batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radioopak dan paling
sering dijumpai, sedangkan batu asam urat bersifat radiolusen.(7)

2. Pielografi Intra Vena


Bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu juga dapat
mendeteksi adanya batu semi opak ataupun batu non opak yang tidak dapat terlihat
oleh foto polos perut. Jika pielografi intra vena (selanjutnya disebut dengan PIV)
belum dapat menjelaskan keadaan sistem saluran kemih akibat adanya penurunan
fungsi ginjal, sebagai gantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograde. (7)

3. Ultrasonografi
Dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV, yaitu
pada keadaan alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun dan pada
wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menilai adanya batu
di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow), hidronefrosis,
pionefrosis, atau adanya pengkerutan ginjal. (7)

TES FUNGSI GINJAL SPESIFIK

 RENOGRAM

Indikasi Renogram

Indikasi untuk dilakukan pemeriksaan renogram adalah 1) ukuran fungsi ginjal


relatif pada tiap ginjal; dapat membantu ahli bedah menentukan antara dilakukannya
nefrektomi atau pembedahan yang lebih konservatif 2) pemeriksaan obstruksi traktus
urinarius 3) diagnosis sebab reno-vaskular bagi hipertensi, 4) sistografi indirek, dan 5)
pemeriksaan untuk transplantasi ginjal.

Renogram Konvensional

2
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
3
Disebut juga pemeriksaan radionuklida ginjal dinamik, dengan prinsip
pemeriksaan menilai penangkapan radionuklida oleh ginjal yang dialirkan melalui nefron
dan dieksresikan ke dalam pelvis ginjal, kemudian melalui ureter sampai dengan kandung
kemih. Kurva hasil pemeriksaannya menunjukkan perubahan aktivitas ginjal terhadap
waktu yang menggambarkan fisiologis ginjal seperti fungsi penangkapan, waktu transit dan
efisiensi outflow.

Indikasi:

1. Obstruktif Uropati

2. Transplantasi Ginjal

3. Kelainan kongenital pada ginjal

4. Evaluasi trauma saluran kemih

5. Gagal ginjal akut dan kronis

6. Uji saring hipertensi renovaskular

Radiofarmaka:

• Tc – 99m MAG3 dengan dosis 2,5 mCi


• Tc – 99m DTPA dengan dosis 5 mCi
• Tc – 99m EC dengan dosis 2,5 mCi
• I – 123 Hippuran dengan dosis 2 mC

Persiapan pasien:

1. Menjaga status dehidrasi pasien selama pemeriksaan


2. Penderita dewasa : minum 400 ml air 20-30 menit sebelum pemeriksaan
3. Penderita anak-anak : diberikan volume cairan sesuai dengan berat badan
4. Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan renogram bersamaan dengan
pemeriksaan IVP
5. Penderita harus mengosongkan vesika urinaria sebelum pemeriksaan
6. Pada pemakaian radiofarmaka I-131 Hippuran, penderita sebelumnya diberikan
larutan lugol 10 tetes untuk melindungi tiroid (Rasad, Kartoloksono, & Ekayuda,
2000)

2
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
4
Prosedur:

1. Pasien supine atau tidur terlentang dengan kamera gamma berada diposterior atau
punggung pasien
2. Duduk atau setengah duduk agar lebih fisiologis
3. Radiofarmaka disuntikkan pada vena mediana kubiti
4. Deteksi ditempatkan sedemikian rupa hingga ginjal dan kandung kemih berada
dalam lapang pandang pencitraan (30 menit sebelum disuntikkan sampai 30 menit
setelah suntikan atau sampai aktivitas tinggal 50% di ginjal) (Rasad,
Kartoloksono, & Ekayuda, 2000).

2.2.4 Renogram Diuretik

Merupakan salah satu metode pemeriksaan kedokteran nuklir pada pasien dengan
dilatasi saluran kemih bagian atas dan follow up pasien dengan hidronephrosis (untuk
mengetahui tingkat obstruksi apakah total atau parsial). Selain diberikan radiofarmaka,
furosemide juga diinjeksikan secara intravena dengan dosis 0,5-1 mg/kg BB; dosis
maksimal 20 mg.

Protokol pemilihan waktu penyuntikkan diuretik:

• Radiofarmaka + 20 (F + 20). Volume pelvis ginjal penuh pada 20 menit setelah


radiofarmaka disuntikkan (furosemide diberikan 20 menit setelah radiofarmaka).
• Radiofarmaka + 0 (F – 0). Furosemide disuntikkan secara intravena segera setelah
penyuntikkan radiofarmaka. Dapat mengurangi frekuensi gangguan pada saat
pencitraan oleh pasien yang disebabkan keinginan pasien untuk miksi. Metode ini
nyaman digunakan pada pasien bayi dan anak-anak, karena tidak perlu melakukan
penyuntikkan sebanyak 2 kali
• Radiofarmaka – 15 (F – 15). Furosemide diberikan 15 menit sebelum
radiofarmaka disuntikkan. Pada menit 15 – 18 setelah penyuntikkan furosemide
volume urin tinggi, sehingga akan didapat nilai urine yang maksimal pada saat
penyuntikkan radiofarmaka

Prosedur:

• Posisi pasien supine atau tidur terlentang.


• Detektor ditempatkan sedemikian rupa sehingga ginjal dan vesica urinaria berada
dalam lapang pandang pencitraan dari proyeksi posterior.
• Radiofarmaka disuntikkan pada vena mediana kubiti secara bolus

2
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
5
• Berikan radiofarmaka dan furosemide sesuai dengan protokol pemilihan waktu
penyuntikkan yang digunakan.
• Total waktu pemeriksaan adalah protokol pemilihan waktu penyuntikan yang
dipilih ditambah 10 menit

Perbedaan dari hasil renogram pada ginjal yang mengalami obstruksi atau tidak dapat
dilihat dari respon terhadap diuresis. Pada ginjal normal, injeksi furosemide 20 menit
setelah diberikan radiofarmaka (F + 20) menunjukkan peningkatan cepat dari aliran urin.
Jika aktivitas ginjal menurun hingga di bawah 50% dalam 20 menit awal setelah
penyuntikan diuretik, maka kemungkinan adanya obstruksi kecil (low-grade obstruction).
Namun apabila aktivitas ginjal tidak menunjukkan penurunan/peningkatan (konstan), atau
bahkan meningkat, menunjukkan kemungkinan adanya obstruksi pada ginjal

2.2.5 Renogram Kaptopril

Merupakan modifikasi dari renografi konvensional yang dapat membantu para


klinisi dalam menegakkan diagnosa pada hipertensi renovaskuler (HTRV). Prinsip
pemeriksaannya dengan memberikan 25 – 50 mg kaptopril atau dengan memberikan 2,5
mg enalapril sebelum pemeriksaan (sebelum radiofarmaka diinjeksikan)

Pada penyakit HTRV, tekanan perfusi arteriol aferen glomerulus berkurang dan
dikompensasi oleh vasokontriksi arteriol eferen yang dimediasi oleh system RAA (Renin-
Angiotensin-Aldosterone). Penggunaan ACE inhibitor seperti Caoptopril, memblokade
vasokontriksi eferen (efek vasodilatasi), menurunkan tekanan filtrasi, dan mengakibatkan
penurunan GFR. Karena terjadi penurunan GFR, reabsorpsi air pada ginjal meningkat dan
menyebabkan perubahan pada hasil renogram kaptopril

Fungsi Kaptopril:

1. Memperburuk atau membuat gangguan fungsi dari ginjal pada kasus renovaskuler
tetapi bukan pada kasus hipertensi esensial
2. Meningkatkan aliran darah sehingga memperbaiki fungsi ginjal
3. Menghambat vasokontriksi arteriolar glomerulus, aliran urin, dan retensi garam di
ginjal yang sakit
4. Pada ginjal dengan SAR (Stenosis Arteri Renalis), penurunan fungsi akan terlihat
setelah pemberian katopril

Radiofarmaka yang digunakan adalah Tc – 99m MAG3 sebanyak 5 mCi atau 300 µCi I-
131 Hippuran disuntikkan intravena melalui vena mediana cubiti

Persiapan:

2
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
6
1. Penderita harus mengosongkan vesika urinaria sebelum pemeriksaan
2. Penderita dewasa minum 400 ml air 20-30 menit sebelum pemeriksaan
3. Penderita anak-anak diberikan volume cairan sesuai dengan berat badan
4. Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan renogram bersamaan dengan
pemeriksaan IVP 1 jam sebelum pemeriksaan
5. Penderita diberikan 25 –50 mg kaptopril atau 2,5 mg enalapril per oral
6. Tekanan darah dipantau sebelum pemberian kaptopril dan setiap interval waktu 5
menit sampai 30 menit (menit 1, 2, 5, 10, 20, dan 30) setelah pemberian kaptopril
7. Jika tekanan diastol turun sebesar 10 mmHg atau lebih selama pemantauan, maka
ini merupakan tanda bahwa efek kaptopril telah bekerja dan renografi sudah bisa
dimulai
Prosedur:

1. Posisi penderita supine atau tidur terlentang


2. Detektor ditempatkan sedemikian rupa hingga ginjal dan vesika urinaria berada
dalam lapang pandang pencitraan dari proyeksi posterior
3. Radiofarmaka dan kaptopril disuntikkan pada vena mediana Cubiti secara bolus
Untuk interpretasi hasil renogram captopril dapat dilihat menggunakan grading system
dari Eropa:

Grade 1 Mild delay in Tmax (6-11 min using 99mTc-DTPA) with a falling excretion
phase)

Grade 2a More prolonged delay in Tmax (greater than 11 min) but still with an
excretion phase

Grade 2b Continually rising or flat curve

Grade 3 As grade 2b, with marked reduction in function of the affected kidney

2.2.6 Gambar Renogram

2
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
7
2
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
8
2.2.7 Fase Renogram

1. Fase Initial
Terjadi peningkatan secara cepat segera setelah penyuntikan radiofarmaka yang
menunjukkan kecepatan injeksi dan aliran darah vaskular ke dalam ginjal. Menunjukkan
teknik penyuntikan radiofarmaka, apakah bolus atau tidak (terjadi kurang dari 2 menit)

2. Fase Sekresi

Menunjukkan kenaikan yang lebih lamban dan meningkat secara bertahap. Fase ini
berkaitan dengan proses penangkapan radiofarmaka oleh dan di dalam ginjal melalui proses
difusi lewat sel-sel tubuli ke dalam lumen tubulus dalam keadaan normal (mencapai puncak
dalam waktu 2 – 5 menit)

3. Fase Ekskresi

Tampak kurva menurun dengan cepat setelah mencapai puncak kurva yang menunjukkan
keseimbangan antara radioaktivitas yang masuk dan meninggalkan ginjal (Rasad,
Kartoloksono, & Ekayuda, 2000)

Fase penilaian kurva abnormal:

• Jika ginjal tidak berfungsi maka penangkapan radioaktivitas akan minimum atau
tidak ada sama sekali
• Pada kasus obstruksi total, vesika urinaria tidak tampak. Fase kedua akan tampak
naik terus dan tidak terlihat adanya fase ketiga.
• Kurva akan berjalan datar/tidak beraturan karena pada kurva tersebut hanya
menggambarkan aktivitas background saja

2
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
9
Penatalaksanaan
Tujuan pengelolaan batu pada ginjal adalah untuk menghilangkan obstruksi,
mengobati infeksi, menghilangkan rasa nyeri, mencegah terjadinya gagal ginjal dan

3
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
0
mengurangi kemungkinan terjadinya rekurensi. Untuk mencapai tujuan tersebut,
langkah-langkah yang dapat diambil adalah sebagai berikut (1,4,5,8):
 Diagnosis yang tepat mengenai adanya batu, lokasi dan besarnya batu
 Menentukan akibat adanya batu seperti rasa nyeri, obstruksi yang disertai
perubahan pada ginjal, infeksi dan adanya gangguan fungsi ginjal
 Menghilangkan obstruksi, infeksi dan rasa nyeri
 Analisis batu
 Mencari latar belakang terjadinya batu
 Mengusahakan pencegahan terjadinya rekurensi

Tindakan penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah (4):

1. Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5
mm, karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan lebih
bersifat simtomatis, yaitu bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran
urine dengan memberikan diuretikum, dan minum banyak supaya dapat mendorong
batu keluar.

2. ESWL ( Extracorporeal Shockwave Lithotripsy )


Alat ESWL dapat memecah batu ginjal tanpa melalui tindakan invasif dan
tanpa pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah
dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang, pecahan-pecahan batu yang
sedang keluar menimbulkan perasaan nyeri kolik dan menyebabkan hematuria.

3. Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan
batu, tindakan tersebut terdiri atas memecah batu, dan kemudian mengeluarkannya
dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih.
Alat tersebut dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit
(perkutan). Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan
memakai energi hidroulik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser.
Beberapa tindakan endourologi untuk mengeluarkan batu pada ginjal adalah .

a. PNL ( Percutaneous Nephro Litholapaxy )


Yaitu mengeluarkan batu di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan
alat endoskopi ke sistem kalises ginjal melalui insisi pada kulit. Batu kemudian
dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.

b. Uretero atau Uretero-renoskopi

3
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
1
Yaitu memasukkan alat ureteroskopi per uretram guna melihat kedaan
ureter atau sistem pielokaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu yang
berada di dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan
ureterorenoskopi.

4. Bedah Terbuka
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk
tindakan-tindakan endourologi, laparaskopi maupun ESWL, pengambilan batu
masih dilakukan melalui pembedahan terbuka. Pembedahan itu antara lain adalah
pielolitotomi atau nefrolitotomi untuk mengambil batu pada saluran ginjal. Tidak
jarang pasien harus menjalani tindakan nefrektomi karena ginjalnya sudah tidak
berfungsi dan telah terjadi pionefrosis, korteksnya sudah sangat tipis atau
mengalami pengkerutan akibat batu yang menimbulkan obstruksi dan infeksi yang
menahun.

5. Nefrectomy

a. Definisi
Suatu tindakan pembedahan untuk mengangkat ginjal dengan atau tanpa kelenjar
getah bening regional.
b. Ruang lingkup
Semua penderita yang datang dengan keluhan nyeri pada daerah pinggang dan
hematuria serta dalam pemeriksaan penunjang (foto polos abdomen, pyelografi
intravena dan ultrasonografi, CT scan) diketahui penyebabnya adalah tumor ginjal
atau ruptur ginjal.
c. Indikasi operasi

 Karsinoma ginjal
 Ruptur ginjal dimana didapatkan fragmentasi ginjal atau ruptur pedikel
dengan hemodinamik yang tidak stabil,grade 3, 4.
 Pieonefrosis
 Hidronefrosis berat
 Non fungsional ginjal

Pencegahan
Tindakan selanjutnya yang tidak kalah penting setelah pengeluaran batu
adalah upaya menghindari timbulnya kekambuhan. Pada umumnya pencegahan itu
berupa (4,5):

3
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
2
 Menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahakan produksi urine
sebanyak 2-3 L/hari
 Aktivitas harian yang cukup
 Diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu

DAFTAR PUSTAKA

1. Samsuhidajat R, De Jong W. 2004. Buku ajar Ilmu bedah Edisi 2. Penerbit


EGC: Jakarta. Hal. 756-764.

3
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
3
2. Rahardjo D, Hamid R. 2004. Perkembangan penatalaksanaan batu ginjal
di RSCM tahun 1997-2002. J I Bedah Indonesia: Jakarta. Hal 58-63.
3. Reksoprodjo, S. 2000. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Bedah
FKUI RSCM: Jakarta. Hal 156 -160.
4. Purnomo, B. 2003. Batu Ginjal dan Ureter dalam Dasar-Dasar Urologi.
Sagung Seto: Yogyakarta. Hal 57-68.
5. Tanagho EA, McAninch JW. 2004.Smith’s General Urology. Edisi ke-16.
New York: Lange Medical Book. Hal 256-283.
6. http://www.iaui.or.id/ast/file/batu_saluran_kemih.doc
7. Sjahriar dkk. 2000. Nefrolitiasis, Radiologi Diagnostik. Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
8. Sabiston C. D. Jr, MD. 1997. Batu Ginjal dan Ureter. Buku Ajar Bedah 2.
Penerbit EGC: Jakarta. Hal 472 – 483.

3
STASE ILMU BEDAH BAGIAN UROLOGI
4

Anda mungkin juga menyukai